Anda di halaman 1dari 20

Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan

Landasan Pendidikan

Disusun Oleh:

Kelompok 7

Lintang Maharani (22086368)

Rosi (22075044)

Dosen Pengampu:

Prof.Dr.Rakimahwati,M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN JASMANI KESEHATAN DAN REKREASI

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KEOLAHRAGAAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2023/2024
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan yang sekaligus membedakan manusia dengan
makhluk hidup lainnya. Hewan juga belajar tetapi lebih ditentukan dengan instingnya. Sedangkan
belajarnya manusia merupakan rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang
lebih berarti.

Anak-anak menerima pendidikan dari orang tuanya, disaat anak ini dewasa dan berkeluarga mereka
akan mendidik anak-anak mereka juga, begitu juga disekolah dan perguruan tinggi. Para siswa dan
mahasiswa diajar oleh guru dan dosen. Dalam pendidikan tentunya ada istilah mengajar dan mendidik,
untuk melakukan kedua hal itu tentunya di perlukan acuan supaya proses mengajar dan mendidik dapat
berjalan sebagaimana mestinya, acuan tersebut dikenal dengan istilah pendidikan.

Landasan pendidikan diperlukan dalam dunia pendidikan khususnya di indonesia, agar pendidikan yang
sedang berlangsung di negara kita ini memiliki pondasi atau pijakan yang sangat kuat karena pendidikan
disetiap negara tidak sama. Untuk negara kita diperlukan landasan pendidikan berupa landasan hukum,
landasan filsafat, landasan histori, landasan sosial budaya, landasan psikologis, beserta landasan
sosiologis dan antropologis.

B. Rumusan Masalah

Dalam sebuah permasalahan perlu adanya rumusan masalah. Rumusan masalah adalah usaha untuk
menyatakan secara tersurat pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicarikan jalan
pemecahan masalahnya. Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai landasan pendidikan, ada
beberapa masalah yang harus kita selesaikan setelah pembahasan tersebut. Adapun identifikasi masalah
tersebut :

1. Apa yang dimaksud dengan landasan pendidikan ?

2. Apa yang dimaksud dengan landasan yuridis pendidikan dan landasan filosofis pendidikan ?

3. Apa yang dimaksud dengan landasan psikologis pendidikan dan landasan sosiologis pendidikan ?

4. Apa yang dimaksud dengan landasan antropologis pendidikan dan landasan historis pendidikan ?

5. Apa yang dimaksud dengan landasan ekonomi pendidikan ?

6. Fungsi dan tujuan dari landasan pendidikan ?

7. landasan pendidikan ?

C. Tujuan
Dari semua masalah yang kita angkat pada pembahasan landasan pendidikan ini. Merupakan langkah
awal untuk menambah wawasan serta pengetahuan kita serta cara pandang kita akan Landasan
Pendidikan. Beberapa tujuan yang timbul akibat permasalahan yang kita angkat ini, diantaranya sebagai
berikut :

1. Agar dapat menjelaskan tentang pengertian landasan pendidikan.

2. Agar dapat menjelaskan tentang landasan yuridis pendidikan dan landasan filosofis pendidikan.

3. Agar dapat menjelaskan tentang landasan psikologis pendidikan dan landasan sosiologis pendidikan.

4. dapat menjelaskan tentang landasan antropologis pendidikan dan landasan historis pendidikan.

5. Agar dapat menjelaskan tentang landasan ekonomi pendidikan.

6. Agar dapat mengetahui Fungsi dan tujuan dari landasan pendidikan.

7. Agar dapat mengetahui Jenis-jenis landasan pendidikan.

BAB II

PEMBAHASAN
A. LANDASAN PENDIDIKAN

Landasan pendidikan secara singkat dapat dikatakan sebagai tempat bertumpu atau dasar dalam
melakukan analisis kritis terhadap kaidah- kaidah dan kenyataan (fakta) tentang kebijakan dan praktik
pendidikan (Moeliono, 1989; Soedomo, 1989/1990). Kajian analisis kritis terhadap kaidah dan fakta
tersebut dapat dijadikan titik tumpu atau dasar dalam upaya penemuan kebijakan dan praktik
pendidikan yang tepat guna dan bernilai guna. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa landasan pendi-
dikan merupakan dasar bagi upaya pengembangan kependidikan dalam segala aspeknya.

Terdapat beberapa landasan yang dapat dijadikan sebagai titik tum- pu dalam melakukan analisis kritis
terhadap kaidah-kaidah dan kenyata- an dalam rangka membuat kebijakan dan praktik pendidikan,
sebagai- mana akan dibahas berikut ini.

1. Landasan Filosofis

Landasan filosofis merupakan landasan yang berkaitan dengan makna atau hakikat pendidikan, yang
berusaha menelaah masalah-ma- salah pokok dalam pendidikan, seperti apakah pendidikan itu,
mengapa pendidikan diperlukan, dan apa yang seharusnya menjadi tujuan pendi- dikan. Sehubungan
dengan itu, landasan filosofis merupakan landasan yang berdasarkan atau bersifat filsafat. Sesuai
dengan sifatnya, makalandasan filsafat menelaah sesuatu secara radikal, menyeluruh dan kon- septual
yang menghasilkan konsepsi-konsepsi mengenai kehidupan dan dunia.

Konsepsi-konsepsi tentang kehidupan dan dunia tersebut bersum- ber dari religi dan etika serta ilmu
pengetahuan. Religi dan etika bertumpu kepada keyakinan. Adapun ilmu pengetahuan bertumpu pada
penalaran. Oleh karena itu, filsafat, termasuk filsafat pendidikan, yang menghasilkan konsepsi tentang
kehidupan dan dunia termasuk dalam kawasan religi dan etika ditambah dengan ilmu pengetahuan.
Meskipun demikian, fil- safat lebih dekat dengan ilmu pengetahuan. Sebab, sama halnya dengan ilmu
pengetahuan, filsafat berawal dari keraguan dan mengandalkan penalaran.Oleh karena filsafat
menelaah sesuatu secara radikal, menyeluruh, dan konseptual berdasarkan religi dan etika, terutama
sekali ilmu penge- tahuan yang mengandalkan penalaran, maka tinjauan filosofis tentang sesuatu,
termasuk pendidikan, berarti berpikir bebas sejauh-jauhnya tentang sesuatu, dalam hal ini yakni
pendidikan. Dari berpikir bebas se- jauh-jauhnya tersebut diharapkan akan muncul sesuatu yang dapat
dija- dikan sebagai landasan dalam mengambil kebijakan serta pertimbangan dalam praktik
pendidikan.Antara filsafat dan pendidikan terdapat kaitan yang sangat erat. Fil- safat mencoba
merumuskan citra tentang manusia dan masyarakat. Ada- pun pendidikan berusaha mewujudkan citra
tersebut. Rumusan tentang harkat dan martabat manusia beserta masyarakatnya ikut menentukan
tujuan dan cara-cara penyelenggaraan pendidikan. Rumusan tentang harkat dan martabat manusia
beserta masyarakatnya di Indonesia dilan- dasi oleh filsafat yang dianut oleh bangsa Indonesia, yakni
Pancasila.Perincian tentang dasar pendidikan tercantum dalam penjelasan Un- dang-Undang RI No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menegaskan bahwa pembangunan nasional
termasuk pendidikan adalah pengamalan Pancasila. Sehubungan dengan itu, pendidikan na- sional
mengusahakan pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya
dan mandiri. Hal tersebut berarti bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian
bang- sa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara Re- publik Indonesia.Pancasila
sebagai sumber dari segala gagasan mengenai wujud ma- nusia dan masyarakat yang dianggap baik,
sumber dari segala sumber nilai yang menjadi pangkal serta muara dari setiap keputusan dan tindak- an
dalam pendidikan. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa Pancasilaadalah sumber sistem nilai dalam
pendidikan. Sehingga dengan demiki- an, dapat dikatakan bahwa Pancasila adalah landasan filosofis
dalam segala kebijakan dan praktik pendidikan.

2. Landasan Sosiologis

Pendidikan merupakan peristiwa sosial yang berlangsung dalam latar interaksi sosial. Dikatakan
demikian, karena pendidikan tidak dapat dilepaskan dari upaya dan proses saling pengaruh
memengaruhi antara individu yang terlibat di dalamnya. Dalam posisi yang demikian, apa yang
dinamakan pendidik dan peserta didik, menunjuk kepada dua isti- lah yang dilihat dari kedudukannya
dalam interaksi sosial. Artinya, siapa yang bertanggung jawab atas perilaku dan siapa yang memiliki
peranan penting dalam proses mengubahnya. Karena itu, proses pendidikan se- ring kali sukar untuk
menunjukkan siapa yang menjadi pendidik dan sia- pa yang menjadi peserta didik secara permanen,
karena keduanya dapat saling berubah fungsi dan kedudukan.Suatu hal yang dapat dipastikan adalah
bahwa pendidikan tidak akan pernah terjadi dalam kehampaan sosial, artinya pendidikan tidak akan
pernah terjadi tanpa interaksi antara individu, antara satu generasi dan generasi lainnya, dan bahkan
antara satu kelompok dan kelompok lain- nya. Namun oleh karena pendidikan membawa misi normatif,
maka ke- luasan interaksi tersebut dibatasi oleh tata nilai dan norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat. Sehubungan dengan itu pula, lembaga pendi- dikan tidak pernah berada di dalam
kehampaan sosial. Jika lembaga pen- didikan bergerak secara dinamis, maka masyarakat pun akan
berkembang dengan cara yang sama, jika masyarakat bergerak secara dinamis, maka lembaga
pendidikan akan berkembang dengan cara yang sama. Sebalik- nya, jika lembaga pendidikan mengalami
stagnasi, masyarakat juga akan mengalami stagnasi, jika masyarakat mengalami stagnasi, lembaga
pendi- dikan akan mengalami hal yang sama.Berkenaan dengan latar sosiologis masyarakat Indonesia,
maka dia mempunyai perjalanan sejarah yang panjang, telah dimulai pada zaman prasejarah, zaman
Kerajaan Nusantara, zaman penjajahan, sampai za- man kemerdekaan sekarang ini. Dari dahulu hingga
kini, ciri yang menon- jol dari masyarakat Indonesia adalah sebagai masyarakat majemuk (dari segi suku
bangsa, agama, adat istiadat, dan kebudayaan) yang tersebar di ribuan pulau di Nusantara. Melalui
perjalanan yang panjang, masyarakat yang Bhinneka tersebut akhirnya mencapai suatu kesatuan politik
untuk mendirikan satu negara serta mewujudkan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang ber-
Bhinneka Tunggal Ika.Selain itu, sampai saat ini masyarakat Indonesia ditandai oleh dua ciri yang unik.
Secara horizontal ditandai oleh adanya kesatuan sosial atau komunitas berdasarkan perbedaan suku,
agama, adat istiadat, dan kedae- rahan. Secara vertikal ditandai oleh adanya perbedaan pola kehidupan
antara lapisan atas, menengah, dan bawah. Ketelitian dalam memaha- mi semua latar sosial tersebut,
proses perubahan dan dampak ikutannya akan menentukan keberhasilan pendidikan dan sebaliknya.
Artinya, latar sosial masyarakat Indonesia yang berbeda tersebut harus dijadikan se- bagai tempat
bertumpu atau dasar dalam melakukan analisis kritis dalam upaya menentukan, mengarahkan, dan
mengembangkan kebijakan dan praktik pendidikan.Oleh karena landasan sosiologis merupakan tempat
bertumpu da- lam menentukan, mengarahkan, dan mengembangkan kebijakan serta praktik pendidikan,
maka dalam hal tersebut, menurut Ardhan (1986) secara sosiologis perlu dikaji empat bidang.

1.hubungan sistem pendidikan dengan berbagai aspek kemasyarakatan, yang mencakup:

(a) fungsi pendidikan dalam kebudayaan;

(b) hubungan sistem pendidikan dan proses kontrol sosial dengan sistem kekuasaan yang menentukan
kebijakan pendidikan;

(c) fungsi sistem dalam memelihara dan men- dorong proses sosial dan perubahan kebudayaan;

(d) hubungan pendi- dikan dengan kelas sosial atau sistem status; dan

(e) fungsionalisasi sistem pendidikan dalam hubungannya dengan ras, kebudayaan, atau kelom- pok-
kelompok dalam masyarakat.

2, hubungan kemanusiaan di sekolah. Sifat kebudayaan seko- lah yang berbeda dengan kebudayaan di
luar sekolah. Hal tersebut dika- renakan peserta didik yang datang ke sekolah berasal dari berbagai latar
sosial budaya yang masing-masingnya berbeda, sementara itu sekolah mempunyai pola interaksi dan
struktur sosial sendiri. Keadaan yang de- mikian, di samping akan mendatangkan berbagai konflik sosial
budaya, dari sisi pendidikan adalah juga tidak mungkin untuk melakukan pen- dekatan yang sama
terhadap peserta didik yang berbeda tersebut.

3.pengaruh sekolah terhadap perilaku anggotanya. Kajian pengaruh-pengaruh perilaku sekolah terhadap
anggotanya ini mencakup:

(a) peranan sosial guru;

(b) sifat kepribadian guru;

(c) pengaruh kepriba- dian guru terhadap perilaku peserta didik; dan

(d) fungsi sekolah dalam sosialisasi peserta didik.

4, interaksi antara kelompok sosial sekolah dan kelompok lain dalam komunitasnya. Kajian ini meliputi:

(a) lukisan tentang komunitas seperti yang tampak pengaruhnya terhadap organisasi sekolah;

(b) anali- sis tentang proses pendidikan dalam hubungannya dengan sistem sosial setempat; dan

(c) faktor demografi dan ekologi dalam hubungannya de- ngan organisasi sekolah.

3. Landasan Legalistik (Hukum)


Pendidikan merupakan peristiwa multidimensi, bersangkut paut de- ngan berbagai aspek kehidupan
manusia dan masyarakat. Kebijakan, pe- nyelenggaraan, dan pengembangan pendidikan dalam
masyarakat perlu disalurkan oleh titik tumpu hukum yang jelas dan sah. Dengan berlan- daskan hukum,
kebijakan, penyelenggaraan, dan pengembangan pendi- dikan dapat terhindar dari berbagai benturan
kebutuhan. Setidaknya dengan landasan hukum segala hak dan kewajiban pendidik dan peserta didik
dapat terpelihara.Lebih lanjut dapat dikatakan, bahwa berbagai pihak yang terkait dengan kebijakan,
penyelenggaraan, dan pengembangan pendidikan di samping perlu memperoleh perlindungan hukum,
dengan landasan hukum semua pihak tersebut mengetahui hak dan kewajibannya dalam
penyelenggaraan pendidikan. Semuanya itu dapat diketahui melalui perundang-undangan dan
peraturan yang berlaku. Selain daripada itu, dengan landasan hukum dapat dikaji posisi, fungsi, dan
permasalahan pendidikan dalam segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, tata urut ber- bagai produk
peraturan perundang-undangan perlu ditemukenali dalam rangka pengambilan kebijakan dan
penyelenggaraan praktik pendidikan agar penyimpangan dan kealpaan diketahui sedini mungkin.

4. Landasan Kultural

Peristiwa pendidikan adalah bagian dari peristiwa budaya. Hal ter- sebut dikarenakan pendidikan dan
kebudayaan mempunyai hubungan timbal balik. Kebudayaan dapat dilestarikan dan/atau dikembangkan
dengan jalan mewariskannya dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pendidikan, baik
pendidikan informal, nonformal, maupun for- mal (sekolah). Sebaliknya, ciri-ciri dan pelaksanaan
pendidikan ikut di- tentukan oleh kebudayaan masyarakat tempat proses pendidikan ber langsung. Oleh
sebab itu, langkah-langkah pengembangan pendidikan tidak boleh bebas dari kebudayaan tempat
pendidikan tersebut diselenggarakan dan dikembangkan. Oleh sebab itu pula, perancang, pengambil
kebijakan, dan pelaksana pengembangan pendidikan harus memperhi- tungkan faktor sosial budaya
dalam merancang, mengambil kebijakan, dan melaksanakan pengembangan pendidikan supaya segala
kegiatan tersebut tidak menimbulkan kegoncangan budaya.Untuk menghindarkan kegoncangan budaya
dalam penyelengga-raan pendidikan, Dewantara (1977) memberikan tiga asas yang disebut trikon,
untuk dipedomani.

Pertama, kontinuitet, yang berarti bahwa garis hidup sekarang harus merupakan lanjutan dari hidup
yang silam, jangan sekadar merupakan pengulangan atau tiruan dari garis hidup masa lalu atau bangsa
lain.

Kedua, konvergensi, merupakan keharusan untuk menghindari hidup menyendiri atau mengisolasi diri.
Sehubungan de ngan itu, tidak tertutup kemungkinan untuk belajar dan menggunakan budaya lain
untuk mampu hidup bersama dengan berbagai bangsa di dunia.

Ketiga, konsentristet, yang berarti bahwa kebudayaan lain boleh saja digunakan dan diintegrasikan
dengan kebudayaan sendiri, namun jangan sampai kehilangan jati diri.Berhubungan dengan pentingnya
memperhitungkan faktor budaya dalam pengembangan pendidikan, maka pengembangan pendidikan
dalam budaya nasional difokuskan kepada upaya:

(a) melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa;


(b) mengembangkan nilai-nilai budaya dan pranata sosial dalam menunjang proses pemba ngunan
nasional; dan

(c) merancang kegairahan masyarakat untuk menumbuhkan kreativitas ke arah pembaruan dalam
usaha pendidikan yang tanpa mengabaikan kepribadian bangsa.

5. Landasan Psikologis

Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan manusia. Oleh sebab itu, landasan psikologis merupakan
salah satu landasan yang penting dalam bidang pendidikan. Landasan psikologis pendidikan terutama ter
tuju kepada pemahaman manusia, khususnya berkenaan dengan proses belajar manusia (baca: peserta
didik).Pemahaman terhadap peserta didik, terutama sekali yang berhu bungan dengan aspek kejiwaan,
merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam pendidikan. Oleh karena itu, hasil kajian dan penemuan
psikolo gis sangat diperlukan penerapannya, pengetahuan tentang aspek-aspek pribadi, urutan dan ciri-
ciri pertumbuhan setiap aspek, dan konsep tentang cara-cara paling tepat untuk pengembangan
kepribadian.Untuk maksud tersebut, yakni pengembangan kepribadian yang merupakan tugas
pendidikan, psikologi menyediakan sejumlah informasi tentang kehidupan pribadi manusia pada
umumnya serta gejala-gejala yang berkaitan dengan aspek pribadi khususnya. Hal tersebut dikare nakan
setiap individu memiliki bakat, kemampuan, minat, kekuatan, serta tempo dan irama perkembangan
yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Adalah tidak mungkin untuk mengharapkan kesamaan
antara dua orang individu atau lebih.

Salah satu informasi penting dalam hal pengembangan kepribadi- an ialah bahwa kepribadian itu
mencakup aspek behavioral dan aspek motivasional. Selain daripada itu, kepribadian harus dipandang
sebagai sistem psikofisik, yakni merupakan kesatuan antara berbagai keadaan kondisi fisik dengan
kondisi rohani yang saling memengaruhi yang pada gilirannya menghasilkan pribadi yang utuh. Oleh
karena itu, pemahaman terhadap peserta didik haruslah dilandaskan pada aspek behavioral dan
motivasional serta aspek fisik dan rohani secara utuh dan dinamis.

6. Landasan Ilmiah dan Teknologi

Pendidikan dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS) mempunyai kaitan yang sangat erat.
Hal tersebut dikarenakan IPTEKS menjadi bagian utama dalam pendidikan, terutama dalam bentuk pem-
belajaran. Oleh karena itu, tidak dapat tidak, pendidikan berperan sangat penting dalam pewarisan dan
pengembangan IPTEKS.Sementara itu, dewasa ini, perkembangan IPTEKS sangatlah pesat. Oleh karena
muatan utama dari kegiatan pendidikan adalah IPTEKS, maka setiap perkembangan IPTEKS harus segera
diakomodasi oleh pen- didikan, yakni dengan segera memasukkan hasil pengembangan IPTEKS tersebut
ke dalam isi bahan ajar.Mengakomodasi perkembangan IPTEKS ke dalam bahan ajar tidak- lah mudah,
diperlukan pula berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk dapat mengakomodasikan hal tersebut,
terutama sekali ilmu pen- didikan dan ilmu-ilmu perilaku lainnya, seperti sosiologi, psikologi, dan
antropologi. Ilmu-ilmu tersebut juga mengalami kemajuan yang pesat, yang menyebabkan tersedianya
informasi empiris yang cepat dan tepat, yang pada gilirannya diterjemahkan menjadi program, alat
dan/atau prosedur kerja dalam kegiatan pendidikan. Dengan kata lain, dapat dika- takan kemajuan
IPTEKS dijadikan sebagai landasan dalam menentukan kebijakan dan praktik pendidikan.

7. Landasan Ekonomi

Manusia pada umumnya tidak bisa lepas dari kebutuhan ekonomi. Sebab kebutuhan dasar manusia
membutuhkan ekonomi. Orang tidak mampu pun memerlukan uang untuk mengisi perutnya dan
sekadar ber- teduh di waktu malam. Dengan demikian, pembahasan tentang ekonomi tidak hanya
menyangkut orang kaya, tetapi semua orang, termasuk dunia pendidikan yang ditekuni.

Dunia sekarang ini tidak hanya ditimbulkan oleh dunia politik, me- lainkan juga masalah dari dunia
ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menja-di tinggi, dan penghasilan negara bertambah, walaupun utang
luar negeri cukup besar dan penghasilan rakyat kecil masih minim. Perkembangan ekonomi pun menjadi
pengaruh dalam bidang pendidikan. Globalisa- si ekonomi yang melanda dunia, otomatis memengaruhi
hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia. Alasannya sederhana, yaitu karena takut digulung
dan dihempaskan oleh gelombang globalisasi ekonomi dunia.

Perkembangan ekonomi makro berpengaruh pula dalam bidang pendidikan. Cukup banyak orang kaya
sudah mau secara sukarela men- jadi bapak angkat agar anak-anak dari orang tidak mampu bisa berse-
kolah. Perkembangan lain yang menggembirakan di bidang pendidikan adalah terlaksananya sistem
ganda dalam pendidikan. Sistem ini bisa berlangsung pada sejumlah pendidikan, yaitu kerja sama antara
sekolah dan pihak usahawan dalam proses belajar mengajar para siswa adalah berkat kesadaran para
pemimpin perusahaan atau industri akan pen- tingnya pendidikan.

Implikasi lain dari keberhasilan pembangunan ekonomi secara makro adalah munculnya sejumlah
sekolah unggul. Inti tujuan pendi- dikan ini adalah membentuk mental yang positif atau cinta terhadap
prestasi, cara kerja, dan hasil kerja yang sempurna. Tidak menolak peker- jaan kasar, menyadari akan
kehidupan yang kurang beruntung dan mam- pu hidup dalam keadaan apa pun.

8. Landasan Historis (Sejarah)

Sejarah adalah keadaan masa lampau dengan segala macam keja- dian atau kegiatan yang didasari oleh
konsep tertentu. Sejarah penuh dengan informasi yang mengandung kejadian-kejadian, model-model,
konsep-konsep, teori-teori, praktik-praktik, moral, cita-cita, dan sebagai- nya. Informasi yang lampau ini
terutama yang bersifat kebudayaan pada umumnya berisi konsep, praktik, dan hasil yang diperoleh.
Setiap bidang kegiatan yang dikerjakan oleh manusia untuk maju, pada umumnya dikaitkan juga dengan
bagaimana keadaan bidang itu pada masa lampau. Demikian juga dalam bidang pendidikan sebelum
menangani bidang itu, terlebih dahulu mereka memeriksa sejarah tentang pendidikan baik yang bersifat
nasional maupun internasional.
Landasan sejarah memberikan peranan yang penting karena dari suatu landasan sejarah bisa membuat
arah pemikiran kepada masa kini. Menurut Pidharta (2007: 109), sejarah adalah keadaan masa lampau
de- ngan segala macam kejadian atau kegiatan yang didasari oleh konsep- konsep tertentu. Sejarah
penuh dengan informasi-informasi yang me-ngandung kejadian, model, konsep, teori, praktik, moral,
cita-cita, bentuk, dan sebagainya.

Dengan demikian, setiap bidang kegiatan yang ingin dicapai manu- sia untuk maju, pada umumnya
dikaitkan dengan bagaimana keadaan bidang tersebut pada masa yang lampau (Pidarta, 2007: 110).
Demikian juga halnya dengan bidang pendidikan. Sejarah pendidikan merupakan bahan pembanding
untuk memajukan pendidikan suatu bangsa.

9. Landasan Religius

Landasan religius merupakan landasan yang paling mendasari dari landasan-landasan pendidikan, sebab
landasan agama adalah landasan yang diciptakan oleh Allah SWT. Landasan agama berupa firman Allah
SWT dalam kitab suci Al-Qur'an dan Al-Hadis berupa risalah yang di- bawakan oleh Rasulullah SAW
untuk umat manusia yang berisi tentang tuntutan-tuntutan atau pedoman hidup manusia untuk
mencapai keba- hagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat, serta merupakan rahmat untuk seluruh
alam.

Bahkan Sistem Pendidikan Nasional mengharuskan setiap peserta didik mengikuti pendidikan agama
tidak hanya pendidikan formal. Kare- na sistem pendidikan agama diharapkan tidak saja sebagai
peyangga ni- lai-nilai, akan tetapi sekaligus sebagai penyeru pikiran-pikiran produk- tif dan berkolaborasi
dengan kebutuhan zaman yang semakin modern. Pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik dan
bukan negara atau organisasi keagamaan.Pendidilkan yang idealnya dapat meningkatkan kualitas hidup
dan kesejahteraan serta berupaya merekonstruksi suatu peradaban adalah sa- lah satu kebutuhan asasi
yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Hal ini juga yang merupakan pekerjaan wajib yang harus diemban
oleh negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan ke- mampuan untuk
menjalankan fungsi-fungsi kehidupan yang selaras de- ngan fitrahnya serta mampu mengembangkan
kehidupannya menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa. Kesemuanya itu tidak luput dari per- an ilmu
agama sebagai pembentuk karakteristik dan mental peserta didik yang berbudi luhur. Sehingga
penguasaan terhadap ilmu pengetahuan- teknologi, aspek-aspek teknologi (hasil-hasil teknologi) dan
kemajuan- kemajuan lainnya merupakan sesuatu yang harus disadari oleh peserta didik sebagai
kebutuhan dan kewajiban yang harus selslu dilaksanakan dalam menjaga keharmonisan
kehidupan.Pembentukan karakter dan mental merupakan bagian penting dari proses. Agama yang
menjadi sistem kontrol dalam pembentukan karak-ter dan mental peserta didik hanya ditempatkan
pada posisi yang mini- mal, dan tidak menjadi landasan dari seluruh aspek. Padahal, agama sangat
dibutuhkan dalam penyusunan kurikulum, demi terwujudnya suasana belajar dalam proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan
spiritual keaga- maan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta ke- terampilan
yang diperlukan diri untuk bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Penerapan pendidikan sekuler
materialistik melahirkan kua- litas sumber daya manusia yang rendah. Kondisi kualitas sumber daya
manusia yang rendah ini memperburuk kehidupan bermasyarakat. Me- mang dengan pendidikan
sekarang masih melahirkan generasi yang ahli dalam pengetahuan sains dan teknologi, namun ini bukan
merupakan prestasi, karena pendidikan seharusnya menghasilkan generasi dengan kepribadian yang
unggul dan sekaligus menguasai ilmu pengetahuan yang mampu bersikap luhur dari masa ke masa

B. ASAS-ASAS PENDIDIKAN

Memperhatikan makna kata, maka antara landasan dan asas da- pat dikatakan mempunyai makna yang
hampir bersamaan. Meskipun demikian, dengan memperhatikan Soedomo (1989-1990) dan Tirtara-
hardja dan Sulo (1994), dapat dikatakan bahwa landasan pendidikan lebih menekankan kepada kajian
kritis terhadap kaidah-kaidah dan kenyataan tentang kebijakan dan praktik pendidikan bagi upaya
mengembangkan kebijakan dan praktik pendidikan berikutnya. Adapun asas pendidikan merupakan
tumpuan cara berpikir yang memberikan corak terhadap pendidikan. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa asas pendidikan lebih memfokuskan perhatian kepada cara penyelenggaraan pendidikan yang
dilandasi oleh pemikiran-pemikiran tentang bagaimana layaknya pendidikan diselenggarakan.

1. Asas Semesta, Menyeluruh, dan Terpadu

Semesta maksudnya pendidikan diselenggarakan secara terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menyeluruh maksudnya, pendidikan harus mencangkup semua jenis dan jenjang pendidikan. Terpadu
artinya pen- didikan tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan pembangunan Bangsa.Asas semesta,
menyeluruh, dan terpadu, yang berarti bahwa pendi- dikan nasional terbuka bagi setiap manusia
Indonesia, mencakup semua jenis dan jenjang pendidikan, dan merupakan satu kesatuan usaha sa- dar
yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan usaha pembangunan bangsa.

2. Asas Pendidikan Seumur Hidup

Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang dari sisi lain terhadap
pendidikan seumur hidup (life long edu- cation). Kurikulum yang dapat meracang dan
diimplementasikan dengan memperhatikan dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan horizontal.

a. Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah meliputi keterkaitan dan kesinambungan antartingkatan
persekolahan dan keterkaitan de- ngan kehidupan peserta didik di masa depan.
b. Dimensi horizontal dari kurikulum sekolah, yaitu keterkaitan antarapengalaman belajar di sekolah
dengan pengalaman di luar sekolah.Pada dasarnya manusia adalah makhluk "menjadi", yakni makhluk
yang tidak pernah sempurna, dia selalu berkembang mengikuti perkem- bangan yang terjadi di
lingkungan kehidupannya. Apa yang dipelajari hari ini belum tentu sesuai dengan tantangan perubahan
pada beberapa tahun berikutnya. Implikasi dari konsep yang demikian ialah bahwa ma- nusia harus
selalu belajar sepanjang hayat, sehingga dia dapat mempel- ajari dan menyesuaikan diri sesuai dengan
perubahan yang berlangsung.

Dewasa ini, akibat kemajuan ilmu dan teknologi yang sangat pesat, maka terjadi perubahan yang sangat
pesat dalam berbagai aspek kehi- dupan. Akibatnya, apa yang dipelajari oleh seseorang pada beberapa
tahun yang lalu dapat menjadi tidak berarti atau tidak bermanfaat. Sebab, apa yang telah dipelajarinya
sudah tidak relevan lagi dengan berbagai masalah kehidupan yang dihadapinya.

Implikasi dari kemajuan ilmu dan teknologi yang sangat pesat terse- but ialah seseorang dituntut untuk
mau dan mampu belajar sepanjang hayat. Dengan kemauan dan kemampuan untuk dapat belajar
sepanjang hayat, maka konsep belajar tidak lagi sekadar belajar untuk tahu (learning to know) dan
mampu (learning to do), akan tetapi belajar sepanjang hayat yang menuntut kemauan dan kemampuan
seseorang guna belajar untuk menjadi (learning to be).

3. Asas Tanggung Jawab Bersama

Tanggung jawab adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya; fung- si menerima pembebanan sebagai
akibat sikap tidak sendiri atau pihak lain (Em Zul Fajri & Ratu Aprilia, Senja Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, hlm. 974). Tanggung jawab berkaitan dengan kewajiban seseorang terha- dap tugas atau
perbuatan yang dilakukan. Perbuatan yang dilakukan harus dapat dipertanggungjawabkan dari segi
tujuan dan konsekuensi lain yang ditimbulkannya. Sesuatu aktivitas atau perbuatan yang dilakukan
tanpatanggung jawab akan terjadi secara tidak terarah dan mungkin asal-asalan saja, dan akibatnya
adalah menimbulkan masalah atau hal-hal yang tidak diharapkan. Jika perbuatan, perilaku, dan tindakan
yang dilakukan dilan- dasi oleh tanggung jawab kepada segala pihak yang berhadapan dengan orang
tersebut, maka orang itu akan selalu berada di jalan yang benar.

Aktivitas yang dilakukan dalam proses pendidikan harus selalu di- dasarkan pada asas tanggung jawab,
karena kegiatan apa pun yang dila- kukan dalam pendidikan selalu diarahkan untuk mencapai tujuan,
yakni mendidik dan membimbing peserta didik agar dapat tumbuh dan ber- kembang secara optimal
sesuai dengan kemampuan dan segala potensi yang dimiliki. Sekecil apa pun tindakan atau perbuatan
yang dilakukan pendidik dalam proses pendidikan harus dapat dipertanggungjawabkan dari segi
pencapaian tujuan, bukan berdasarkan selera, atau kemauan pendidik. Secara lebih luas dan
menyeluruh, tanggung jawab itu melipu- ti tanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat-
bangsa, dan Negara Indonesia, dan terutama tanggung jawab terhadap Tuhan Yang Mahakuasa dan
Mahatahu. Asas usaha bersama, yang berarti pendidikan menekankan kebersamaan antara keluarga
sekolah dan masyarakat.

4. Asas Manfaat, Adil, dan Merata

Asas manfaat, yang berarti pendidikan harus mengingat kemanfaat- annya bagi masa depan peserta
didik, bagi masyarakat, bangsa, negara, dan agama. Sementara itu, asas adil dan merata maksudnya
adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Asas man- faat, adil, dan merata yang meliputi asas
nondiskriminatif, yang meman- dang manusia Indonesia seutuhnya tanpa diskriminasi. Pendidikan yang
diselenggarakan harus berguna bagi peningkatan hidup manusia dan masyarakat.

5. Asas Tut Wuri Handayani

Asas Tut Wuri Handayani yang merupakan asas pendidikan Indo- nesia hingga saat ini, bersumber dari
asas Pendidikan Taman Siswa. Asas Tut Wuri Handayani bermakna bahwa setiap orang berhak mengatur
dirinya sendiri dengan berpedoman kepada tata tertib kehidupan yang umum. Dalam penyelenggaraan
pendidikan dengan asas tersebut berarti bahwa kepada peserta didik diberi kesempatan untuk mandiri.
Artinya, dalam kegiatan pendidikan, pendidik bukanlah segala-galanya, akan te- tapi kepada peserta
didik diberi kesempatan untuk mencari, mempelajari,dan memecahkan masalah sendiri tanpa harus
dicampuri, diperintah, dan bahkan dipaksa. Dengan cara yang demikian, maka kegiatan belajar tidak
berpusat kepada guru, akan tetapi berpusat kepada peserta didik sendiri. Dapat dikatakan bahwa asas
Tut Wuri Handayani merupakan cikal bakal dari pendekatan atau cara belajar siswa aktif.

Sebagai asas pertama, Tut Wuri Handayani merupakan inti dari sis- tem Among perguruan taman siswa.
Asas yang dikumandangkan oleh Ki Hajar Dewantara ini kemudian dikembangkan oleh Drs. R.M.P.
Sostro- kartono dengan menambahkan dua semboyan lagi, yaitu Ing Ngarso Sung Sung Tulodo dan Ing
Madyo Mangun Karso.

Kini ketiga semboyan tersebut telah menyatu menjadi satu kesatuan asas, yaitu:

a. Ing Ngarso Sung Tulodo (jika di depan memberi contoh).


b. Ing Madyo Mangun Karso (jika di tengah-tengah memberi dukungan dan semangat).

C. Tut Wuri Handayani (jika di belakang memberi dorongan).

6. Asas Kemandirian dalam Belajar

Baik Tut Wuri Handayani maupun belajar sepanjang hayat secara langsung erat kaitannya dengan asas
kemandirian dalam belajar. Asas Tut Wuri Handayani pada prinsipnya bertolak dari asumsi kemampuan
peserta untuk mandiri, termasuk mandiri dalam belajar. Dalam kegiatan belajar mengajar, sedapat
mungkin dikembangkan kemandirian dalam belajar itu dengan menghindari campur tangan pendidik,
namun selalu siap untuk membantu apabila diperlukan. Selanjutnya, asas belajar se- panjang hayat
hanya dapat diwujudkan apabila didasarkan pada asumsi bahwa peserta didik mau dan mampu mandiri
dalam belajar, karena ada- lah tidak mungkin seseorang belajar sepanjang hayatnya apabila selalu
tergantung dari bantuan orang lain..

Perwujudan kemandirian dalam belajar akan menempatkan pendi- dik dalam peran utama sebagai
fasilitator, informator, dan motivator, di samping peran-peran lain seperti organisator. Sebagai
fasilitator, guru diharapkan menyediakan dan mengatur berbagai sumber belajar dengan sedemikian
rupa, sehingga memudahkan peserta didik berinteraksi de- ngan sumber-sumber tersebut. Sebagai
informator, pendidik harus me- nyadari bahwa dirinya hanya merupakan bagian kecil dari sumber infor-
masi yang datangnya membanjir dewasa ini. Hal tersebut berarti bahwa pendidik perlu memberikan dan
bahkan merangsang peserta didik untuk memburu informasi selain dari dirinya sendiri. Adapun sebagai
moti-vator, pendidik mengupayakan timbulnya prakarsa peserta didik untuk memanfaatkan sumber
belajar secara maksimal.

7. Alam Takambang Jadi Guru

Salah satu asas pendidikan yang diterapkan dalam proses pendi- dikan di Indonesia adalah asas "alam
takambang jadi guru". Asas ini diambil dari falsafah pendidikan yang digunakan di Minangkabau. Pene-
rapan asas ini tidak dapat diketahui sejak kapan pastinya digunakan se- bagai filsafat pendidikan, namun
pepatah ini sudah sering digunakan dan didengungkan dewasa ini terutama dalam menyosialisasikan
pendidikan karakter di Indonesia. "alam takambang jadi guru" diambil dari bahasa Minang yang kalau
diindonesiakan menjadi alam terkembang menjadi guru. Sebagaimana diketahui bahwa bahasa Minang
merupakan bahasa sehari-hari yang digunakan oleh suku Minangkabau yang mendiami salah satu
provinsi di Indonesia, yaitu Sumatera Barat. Pengertian dari "alam takambang jadi guru" dapat dilihat
dari istilah yang digunakan, yaitu "Alam" berarti tempat kita hidup, sesuatu yang berada di sekitar, tem-
pat lahir dan berkembang yang dijadikan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. "Takambang" memiliki makna
bahwa alam yang diciptakan Tuhan itu bukanlah alam yang sempit, namun memiliki keluasan cakupan,
tempat terjadinya aneka peristiwa, dan dinamika kehidupan di dalamnya. Ada- pun "jadi guru" dapat
diartikan bahwa alam tersebut dapat dijadikan se- bagai sumber belajar, tempat terjadinya proses
pendidikan yang maha- luas, banyak hikmah yang dapat diambil pelajaran sebagai pedoman hidup
manusia dalam mengalami kehidupannya.

Hal ini berarti bahwa bahwa alam sekitar yang dijadikan sumber belajar bermakna jauh lebih luas dan
lebih bervariasi jika dibandingan dengan "guru" di sekolah sebagai sumber belajar. Belajar dengan alam
takambang akan selalu serasi dan selaras dengan perkembangan, karena belajar dengan alam
takambang tidak akan ada dijumpai apa yang dise- but dengan keterikatan, keterbelakangan,
keterbatasan, kedaluwarsa, dan lain sebagainya. Alam takambang dijadikan guru tidak jadi soal jauh
atau dekat karena dengan bantuan teknologi banyak hal menjadi sangat mu- dah. Pemanfaatan alam
sebagai sumber pemenuhan kebutuhan manusia mutlak harus dijaga dan dipelihara, karena
menyangkut keberlangsungan hidup mereka sekarang ataupun untuk anak keturunan di kemudian hari.

Orang Minangkabau berpikir dan menarik pembelajaran dari ke- tentuan alam. Sehingga tidak jarang
pepatah dan petitih yang menja- di panduan adat mereka bersumber dari peristiwa yang terjadi di alam.
Ketentuan dari alam yang kita maksudkan umpamanya daratan, lautan,gunung, bukit, lurah, batu, air,
api, besi, tumbuh-tumbuhan, binatang-bi- natang, langit, bumi, bintang, matahari, bulan, warna-warna,
bunyi, dan sebagainya yang mempunyai ketentuannya sendiri-sendiri. Seum- pama ketentuan lautan
berombak, gunung berkabut, lurah berair, air menyuburkan, api membakar, batu dan besi keras, kelapa
bermata, buluh berbuku, pokok bertunas, ayam berkokok, murai berkicau, elang berkulit, merah, putih,
hitam, dan sebagainya (Hakimy, 2001: 3).

Sementara itu, nilai-nilai kemanusiaan seperti penghargaan pada sesama, toleransi, tolong-menolong,
dan lain sebagainya digali untuk dijadikan dasar berperilaku dalam interaksi sosial masyarakat. Pembel-
ajaran seperti ini merupakan manifestasi dari keyakinan mereka bahwa agar menjadi pribadi yang utuh
manusia haruslah memiliki pandangan yang bijak dalam memahami alam sebagai guru kehidupan.
Sebagai guru alam sudah seharusnya melaksanakan proses pendidikan yang se- benarnya. Pendidikan
yang dimaksud tentulah pendidikan yang bersifat menyeluruh, padu yang tak terpisahkan dari
kehidupan itu sendiri. Itu- lah, pendidikan yang tak hanya terkait dengan ilmu sebagai sekadar pe-
ngetahuan, tetapi "ilmu yang hidup" menjadi amal perbuatan dalam ke- hidupan, yang tidak hanya
sekadar untuk mencapai ijazah ataupun gelar yang diinginkan. Nilai pendidikan akan dangkal jika dipatok
harganya de- ngan selembar ijazah. Sedemikian mulianya nilai pendidikan bagi orang Minangkabau,
sehingga menganggap ilmu itu sesuatu yang hidup, men- dampingi manusia dalam mencapai
kebahagiaan hakiki dalam hidup dan kehidupannya. Eksistensi ilmu turut membangun dinamika
kehidupan yang lebih bermartabat, karena pada dasarnya ilmu itu diperoleh dari proses pendidikan yang
tidak pernah berhenti dalam usaha mewujudkan manusia yang sesuai dengan hakikatnya sebagai
makhluk Tuhan.

Alam takambang jadi guru banyak sekali mengandung nilai luhur yang dapat dijadikan sebagai pedoman
dalam merancang sistem pendi- dikan sekarang dan untuk masa depan. Keterpurukan dunia pendidikan
dewasa ini tidak terlepas dari sejauh mana usaha yang dilakukan oleh seluruh komponen pendidik dalam
menanamkan nilai tersebut. Proses pendidikan saat ini seakan-akan telah memisahkan anak didik
dengan alam tempat mereka selama ini tumbuh dan dibesarkan. Suasana pen- didikan sekarang terlalu
mengutamakan lingkungan akademik yang ber- orientasi pada penguasaan konsep untuk mencapai
indeks prestasi yang tinggi tanpa memedulikan penerapannya dalam lingkungan kehidupan

yang sesungguhnya. Alam takambang jadi guru mengandung pengertian bahwa setiap orang ataupun
kelompok mempunyai kedudukan yang sama, tidak adayang lebih tinggi dari yang lain, baik sebagai
individu, kelompok, maupun golongan. Secara historis pandangan hidup semacam itu memberikan spirit
tersendiri bagi individu untuk mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, oleh karenanya mereka
saling berkompetisi meningkatkan harga diri dan martabat mereka masing-masing. Sistem masyarakat
yang komunal dan kolektif tersebut senantiasa menentang eksistensi personal yang dengan sendirinya
bisa melahirkan generasi yang sensitif akan ke- hidupan masyarakat ke depan. Karena di satu sisi, alam
takambang jadi guru mengajarkan bahwa suatu keniscayaan bagi seseorang untuk men- junjung dan
menempatkan harga diri pada posisi yang wajar dan ter- hormat agar tidak terjadi kesenjangan sosial di
tengah masyarakat. Tujuan akhir dari falsafah ini adalah kesuksesan bersama dengan memberdaya- kan
potensi individu sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Dalam falsafah alam takambang jadi
guru tidak ada manusia yang tidak "terpakai". Memang kita tidak menampik kelebihan kecerdasan
antara orang yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda tetapi perbedaan tersebut bukanlah suatu
halangan bahkan sebenarnya dapat dijadikan sarana untuk saling melengkapi dalam mencapai tujuan.

C. PENERAPAN ASAS-ASAS PENDIDIKAN DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN

Asas pendidikan bukan hanya sebagai konsep, melainkan harus di- laksanakan dalam proses
pembelajaran. Dalam hal penerapan asas-asas pendidikan dalam kegiatan pembelajaran, setidaknya
terdapat tiga ma- salah yang perlu mendapat perhatian, yakni masalah cara berkomunikasi dan peranan
guru dalam pembelajaran serta tujuan pembelajaran. Ketiga masalah tersebut akan dijelaskan secara
lebih perinci pada uraian berikut ini.
1. Pendekatan Komunikasi oleh Guru

Dewasa ini masih terdapat kecenderungan bahwa para pendidik masih terikat oleh penggunaan
komunikasi satu arah dalam kegiatan pembelajaran dengan mengandalkan metode ceramah. Dalam
komuni- kasi yang demikian, pendidik menempatkan dirinya dalam kedudukan yang lebih tinggi dari
peserta didik. Bahkan, tidak jarang pendidik men- jadikan peserta didik sebagai objek komunikasi belaka.
Akibatnya, arus komunikasi cenderung satu arah, rendahnya kemungkinan umpan balik dari peserta
didik, dan cenderung hanya menghasilkan perubahan pe- ngetahuan (Rogers dan Schoemaker, 1981 &
Depdikbud, 1983). Komuni-kasi yang demikian memberikan implikasi yang negatif terhadap output
pendidikan, yakni membuat peserta didik tidak terdorong untuk belajar mandiri, mereka lebih
tergantung kepada informasi yang datangnya dari pendidik.

2. Peranan Pendidik

Sejalan dengan pendekatan komunikasi yang cenderung digunakan pendidik, yakni pendekatan
komunikasi satu arah, pendidik sering me- nempatkan dirinya sebagai orang yang paling dominan.
Artinya, tidak ja- rang pendidik, apakah itu orangtua, guru, dosen, atau tutor sering menem- patkan
dirinya sebagai orang yang serba tahu dalam segala hal pada waktu kegiatan belajar berlangsung.
Seolah-olah yang benar itu cuma datang- nya dari pendidik, selain yang dikemukakan oleh pendidik
salah. Padahal, dalam era komunikasi canggih dewasa ini, sumber informasi datangnya membanjir dari
segala arah. Dewasa ini, institusi pengajaran (sekolah dan sejenisnya) bukan satu-satunya sumber
informasi, akan tetapi berbagai institusi dapat menjadi sumber informasi. Misalnya media massa dengan
segala jenisnya, seperti televisi, majalah, koran, radio, dan bahkan inter- net. Oleh karena itu, tidak
tertutup kemungkinan bahwa orangtua, guru, dosen, atau tutor ketinggalan informasi dibandingkan
dengan peserta di- dik. Sehingga dengan demikian, sangatlah penting untuk mendorong pe- serta didik
guna berupaya mencari informasi sendiri yang dapat dikatakan sebagai upaya belajar mandiri.

3. Masalah Tujuan Belajar

Sebagaimana dikemukakan pada bagian terdahulu, kemajuan ilmu dan teknologi yang sangat pesat
menuntut orang untuk belajar secara terus-menerus sepanjang hayatnya. Sehubungan dengan itu,
tujuan bel- ajar yang learning to know dan learning to do saja ternyata belum cukup. Oleh karena
kemajuan teknologi, terutama kemajuan transportasi dan komunikasi, membuat dunia semakin
"sempit", sehingga intensitas in- teraksi antarmanusia semakin tinggi tanpa dibatasi oleh perbedaan
suku, agama, ras, dan asal usul. Sehubungan dengan itu, tujuan belajar sudah harus diperluas dari
sekadar learning to know dan learning to do dengan menambahkan learning to live together.
Selanjutnya, akibat kemajuan ilmu dan teknologi yang berimplikasi pada perubahan lapangan kerja,
mengakibatkan apa yang dipelajari hari ini belum tentu sesuai dengan tuntutan lapangan kerja yang
berubah pada beberapa tahun berikutnya. Untuk itu, tujuan kegiatan pembelajaran perlu diperluas
dengan learn- ing to be, sehingga dengan tujuan yang demikian apa yang dipelajari hariini dapat
dijadikan sebagai dasar untuk belajar lebih lanjut dalam rangka menyesuaikan diri dengan perubahan
lapangan kerja dan bahkan per- ubahan dalam berbagai aspek kehidupan.
Rangkuman

Landasan pendidikan ialah dasar atau titik tumpu dalam penentuan kebijakan dan praktik pendidikan.
Adapun asas pendidikan adalah pertimbangan yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang
dilandasi oleh pemikiran- pemikiran tentang bagaimana layaknya pendidikan diselenggarakan.

Sehubungan dengan pengertian tersebut, maka landasan pendidikan Indonesia terdiri dari landasan
filosofis, sosiologis, hukum, kultural, psikologis, ilmiah dan teknologis, ekonomi, sejarah, dan agama.
Adapun asas-asas pendidikan Indone- sia yaitu: (a) semesta, menyeluruh, dan terpadu; (b) pendidikan
seumur hidup; (c) tanggung jawab bersama; (d) manfaat, adil, dan merata; (e) Tut Wuri Handayani, (f)
kemandirian dalam belajar; (g) alam takambang jadi guru

Penerapan asas-asas pokok pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah dengan berpedoman
kepada kebebasan dalam belajar sepanjang hayat yang bermuara kepada kemandirian dalam belajar.
Untuk itu, seorang pendidik per- lu menyesuaikan pendekatan yang digunakannya dalam kegiatan
pembelajar- an. Pendekatan dalam pembelajaran tersebut ialah pendekatan yang berpusat kepada
peserta didik, sehingga pendidik menempatkan dirinya sebagai fasili- tator, informator, motivator, dan
organisator.
Daftar Pustaka

Depdiknas. 2005. PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendi- dikan. Jakarta:
Depdiknas.H.A.R. Tilaar. 2007. Mengembangkan Ilmu Pendidikan Berdimensi Global.Jakarta: Lembaga
Manajemen UNJ. Made Pidarta. 2007. Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak
Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

M. Dimyati. 1988. Landasan Kependidikan: Suatu Pengantar Pemikiran Keilmuan tentang Kegiatan
Pendidikan. Jakarta: P2LPTK. Depdikbud. Pokja Pengembangan Peta Keilmuan Pendidikan. 2005. Peta
Keilmuan Pendidikan. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Ke- pendidikan dan Ketenagaan
PT Ditjen Dikti.

Prayitno. 2005. Sosok Keilmuan Ilmu Pendidikan. Padang: FIP UNP. -. 2009. Dasar, Teori, dan Praksis
Pendidikan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.Shanon, A. G. 1973. Arti Pendidikan bagi Masa
Depan. Terjemahan Mhd.

Ansyar. Jakarta: Pustekom Depdikbud. Suardi. 2012. Pengantar Pendidikan Teori dan Aplikasi. Jakarta:
PT Indeks. Syafril & Zelhendri Zen. 2012. Pengantar Pendidikan. Padang: Sukabina.T.

Naisbit & P. Aburdane. 1990. Mega Trends 2000. Jakarta: BinarupaAksara.Undang-Undang RI Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem PendidikanNasional. Jakarta: Balai Pustaka Cipta Karya. Undang-Undang RI
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Ja- karta: Depdiknas.

Anda mungkin juga menyukai