Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

BAHASA INDONESIA
Peran kiyai dalam menentukan jodoh anak"nya sebagai
living syari'ah

Di susun oleh :
1. Mushofa
2. Abdul Ghoni

Mahasiswa Semester 1 ( Ekstensi )


Dosen Pengampu : Bpk Haris Diar Rizki, M.Pd

PROGRAM STUDI
Bimbingan Konseling Islam (BKI) Sekolah Tinggi Agama Islam
(STAI) BREBES
Jl. Yos Sudarso No. 26 Pasarbatang Kec. Brebes, Kab. Brebes
Jawa Tengah 52211 2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan
kemudahan, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tanpa
pertolongan-Nya tentu kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini.

Sholawat dan Salam semoga terlimpah kepada baginda Nabi Muhammad SAW
sang pembawa pelita dan ilmu pengetahuan yang menerangi kegelapan di alam
raya ini. Semoga kita selaku umatnya yang selalu setia mengikuti ajarannya akan
mendapatkan syafa’atnya di hari kiamat nanti amin amin ya robbal alamin.

Adapun penulisan makalah ini merupakan bentuk dari pemenuhan tugas Mata
Kuliah Bahasa Indonesia yang mana makalah ini membahas tentang “Peran kiyai
dalam menentukan jodoh anak"nya sebagai living syari'ah’’

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih
banyak kesalahan serta kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca supaya makalah ini dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada bapak
Haris Diar Rizki, M.Pd selaku dosen Mata Kuliah Bahasa Indonesia, dan guru-
guru kami yang lain yang selalu membimbing kami dengan penuh keikhlasan.
kedua orang tua kami yang selalu mendukung langkah positif kami baik moril
maupun spirituil dan juga kepada semua pihak yang terlibat dalam pembuatan
makalah ini.

Kami tidak dapat membalas apa-apa atas semua kebaikan ini hanya iringan do’a
(Jazakumullah Achsanal Jaza) semoga Allah SWT membalas kebaikan bpk/ibu
semua dengan balasan yang sebaik-baiknya amin. Dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk orang banyak dan menjadi jariyah bagi kami amin

Brebes, Januari 2023


Penyusun

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan suatu ketentuan dari ketentuan-ketantuan Allah di


dalam menjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum, berlaku
tanpa kecuali baik bagi manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan .[1]. Akan tetapi
Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas
mengikuti naluri dan hawa nafsunya, serta berhubungan antara jantan dan betina
tanpa adanya aturan. Untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia, Allah
SWT menciptakan hukum sesuai dengan martabat tersebut, dan Islam menjadikan
pernikahan untuk memformat kasih sayang di antara mereka dalam membangun
rumah tangga yang baik dan sah menurut agama. Salah satu dasar terpenting
membangun rumah tangga adalah cinta. Cinta merupakan keadaan ketertarikan
kepada seseorang kepada seorang lainnya, yang bersamanya ia merasakan
kesatuan emosianal dan spiritual. Inilah adanya persahabatan antara laki-laki dan
perempuan yang saling mencintai berubah menjadi keadaan jasadi setelah
sebelumnya berupa keadaan rasional dan spiritual.[2]

Dari perkawinan akan timbul hubungan suami isteri dan kemudian


hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya. Timbul pula hubungan
kekeluargaan sedarah dan semenda. Oleh karena itu perkawinan mempunyai
pengaruh yang sangat luas, baik dalam hubungan kekeluargaan pada khususnya,
maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara pada umumnya, karena
perkawinan merupakan titik awal pembentukan keluarga, dan keluarga merupakan
suatu unit terkecil dari suatu bangsa.[3].

[1] Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya : Bina Ilmu. 1995), hlm. 41

[2] Sayyid Muhammad Husain Fadlullah, Dunia Wanita dalam Islam, alih bahasa. Muhammad
Abdul Qodir Al-Kaf, (Jakarta: Lemtara Basritama. 2000), hlm. 143
[3] Mona Eliza, Pelanggaran Terhadapa UU Perkawinan dan Akibat Hukumnya, (Tangerang
Selatan: Adelina Bersaudara. 2009), hlm. 2

Perkawinan menurut syara’ adalah akad yang menimbulkan kebolehan


bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusian dalam
kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan
kewajiban-kewajiban [4]. Sedangkan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1
tahun 1974 Tentang Perkawinan pada pasal 1 dijelaskan bahwa: “Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.[5].

Perkawinan dilakukan atas prinsip:

1. Kerelaan (al-taraadhi), bahwa melangsungkan sebuah perkawinan tidak boleh


ada unsur paksaan, baik secara fisik maupun psikis dari pihak calon suami
dan
calon istri.

2. Kesetaraan (al-musaawah), bahwa sebuah perkawinan tidak boleh muncul


diskriminasi dan subordinasi di antara pihak karena merasa dirinya memiliki
suporioritas yang lebih kuat dalam mengambil sebuah kebijakan, yang
akibatnya merugikan pihak lain Melainkan perkawinan adalah sebuah
hubungan kemitra sejajaran antara suami, istri, dan anak-anak yang
dilahirkan

3. Keadilan (al-adaalah), bahwa menjalin sebuah kehidupan rumah tangga


diperlukan adanya kesepahaman bahwa antara suami dan istri sama-sama
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan setara.

4. Kemaslahatan (al-maslahat), bahwa dalam menjalankan sebuah perkawinan


yang dituntut adalah bagaimana mewujudkan sebuah keluarga sakinah,
mawaddah warahmah, yang dapat membawa implikasi positif di lingkungan
masyarakat yang lebih luas.
[4] Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Prenada Media. 2009), hlm. 39

[5] Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pada pasal 1.

5. Demokratis (al-diimuqrathiyyah), bahwa sebuah perkawinan dapat berjalanan


dengan baik sesuai dengan fungsi-fungsinya, apabila pihak- pihak
memahami
dengan baik hak dan kewajibannya dalam keluarga.[6].

Di tengah-tengah masyarakat, sikap berhati-hati dalam mempertimbangkan


berbagai faktor yang terkait dengan pelaksanaan pernikahan adalah wajar, karena
pernikahan diharapakan akan berjalan dengan baik dan langgeng seumur hidup.
Pertimbangan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia meliputi tiga kriteria dan
dikenal dengan nama bobot bibit bebet. Bahkan, dalam komunitas Islam
tradisional pesantren (Jawa) pada umumnya, untuk menentukan pilihan siapa
calon suami atau istri bagi anaknya mendapat perhatian yang matang dari
keluarga. Hal ini bukan hanya menyangkut idealisme dalam memilih pasangan
hidup semata, melainkan juga menyangkut rasa tanggung jawab.[7]. terhadap
keluarga, karena calon menantu adalah calon anggota baru. Untuk itu, dalam
menentukan jodoh biasanya orang tua sangat berperan penting dan anaknya akan
mengikuti pilihan orang tuanya, bahkan pada pondok pesantren salaf (khususnya),
perjodohan di kalangan keluarga kyai atau santri seolah telah menjadi tradisi di
kalangan mereka hingga saat ini. Meski demikian perjodohan di lingkungan
pesantren pada dasarnya dilandasi rasa tanggung jawab yang besar seorang ayah
(kyai) terhadap anak-anaknya agar terjaga diri keluarga dan masa depannya (dunia
akhirat).[8].
[6] Muhammad Zain dan Mukhtar Al ashodiq, Membangun Keluarga Humanis (Jakarta:
Grahacipta, 2005), hlm.25-26

[7] Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren (Jakarta: Dharma Bakti, 1958), hlm, 14-15

[8] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren.(Jakarta: LP3S. 2011) hlm 121

PEMBAHASAN

1.TUJUAN BERKELUARGA MENURUT ISLAM


Agama Islam memiliki ajaran yang komprehensif .[9]. dan terinci dalam
masalah keluarga. Ada puluhan ayat Al-Qur’an dan ratusan hadis Nabi saw. Yang
memberikan petunjuk yang sangat jelas menyangkut persoalan keluarga, mulai
dari awal pembentukan keluarga, hak dan kewajiban masing-masing unsur dalam
keluarga hingga masalah kewarisan dan perwalian.
Islam memang memberikan perhatian besar pada penataan keluarga. Ini
terbukti dari seperempat bagian dari fiqh (hukum Islam) yang dikenal dengan
rub’u al-munâkahat (seperempat masalah fiqh nikah) berbicara tentang keluarga.
Tidak ragu lagi, bahwa tujuan pokok perkawinan ialah demi kelangsungan hidup
umat manusia dan memelihara martabat serta kemurnian silsilahnya. Sedang
kelangsungan hidup manusia ini hanya mungkin dengan berlangsungnya
keturunan. Kehadiran anak dalam keluarga merupakan qurratu a’yun (buah hati
yang menyejukan):
Allah SWT berfirman yang artinya :
“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami
isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Furqan: 74)

Dan zinat al-hayat al-dunya (perhiasan kehidupan dunia)


Allah SWT berfirman yang artinya :
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan
yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih
baik untuk menjadi harapan”. (QS. Al-Kahfi: 46).
Namun tentu saja seorang anak akan menjadi buah hati dan perhiasan dunia jika ia
tumbuh menjadi manusia yang sehat, baik dan berkualitas.

[9] luas dan lengkap (tentang ruang lingkup atau isi) KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia
Al-Qur’an juga mengingatkan bahwa anak selain merupakan kebanggaan dan
hiasan keluarga, juga dapat menjadi musuh dan ujian (fitnah), dalam arti
terkadang dapat menjerumuskan orang tua melakukan perbuatan yang dilarang
agama akibat tidak mengerti cara melimpahkan kasih dan cintanya kepada anak.

Allah SWT. Berfirman yang artinya :

“Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara Isteri- isterimu dan anak-


anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap
mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni
(mereka). Maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi
Allah-lah pahala yang besar”. (QS. At-Taghâbun:14-15)

Anak juga merupakan sebuah amanah dan menjaga amanah adalah kewajiban
orang yang beriman. Allah SWT. Berfirman yang artinya :

“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan


janjinya”. (QS. Al-Mu’minûn: 8 ).

Untuk itu, orang tua berkewajiban memberi nafkah dan memenuhi


kebutuhan anak, baik materiil maupun spiritual, dalam bentuk kasih sayang,
perhatian, pemenuhan sandang, pangan, tempat tinggal, pendidikan dan kesehatan
sampai anak itu mencapai usia dewasa (bâligh) .[10] Jadi, salah satu tujuan
berkeluarga dalam Islam adalah untuk membentuk keluarga abadi, bahagia,
sejahtera, dan lahir keturunan-keturunan yang berkualitas baik secara agama
maupun keahlian duniawi. Di samping itu, tujuan pernikahan dalam Islam adalah
untuk memberikan ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan manusia.

[10] dalam Fiqih tanda tanda baligh ada 3 : 1,sudah genap umur 15 th bagi pria dan wanita
2,sudah pernah mimpi keluar mani bagi pria dan wanita 3, sudah mengalami haid bagi wanita usia
9th keatas
Allah SWT. Berfirman yang artinya :

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu


istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang ...” (Q.S. Ar- Rûm:
21).
Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Islam menginginkan pasangan suami
istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat
langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan
menyayangi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah
tangganya. Rumah tangga seperti inilah yang diinginkan Islam, yakni rumah
tangga sakinah, sebagaimana diisyaratkan Allah SWT. dalam surat ar-Rûm ayat
21 di atas.
Ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah dalam ayat tersebut,
dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut Islam , yaitu
sakinah (as-sakînah), mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (ar-rahmah). Ulama
tafsir menyatakan bahwa as-sakînah adalah suasana damai yang melingkupi
rumah tangga yang bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan perintah
Allah SWT. dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi. Dari suasana
as-sakînah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi (al-
mawaddah), sehingga rasa tanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi.
Selanjutnya, para mufasir mengatakan bahwa dari as-sakînah dan al-mawaddah
inilah nanti muncul ar-rahmah, yaitu keturunan yang sehat dan penuh berkat dari
Allah SWT., sekaligus sebagai pencurahan rasa cinta dan kasih suami istri dan
anak- anak mereka.

Di Antara Tujuan Pernikahan Dalam Islam Adalah :

1.Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi


Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi
kebutuhan ini adalah dengan aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan
dengan cara yang Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk
memenuhi kebutuhan ini adalah dengan aqad nikah (melalui jenjang pernikahan),
bukan dengan cara yang kotor dan menjijikan, seperti cara-cara orang sekarang ini
dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain
sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

2. Untuk Membentengi Akhlaq Yang Mulia


Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya :
"Wahai, para pemuda! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah,
maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih
membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka
hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya". [11].

3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami


Dalam Al Qur’an disebutkan, bahwa Islam membenarkan adanya thalaq
(perceraian), jika suami isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas
Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
dalam ayat berikut yang artinya :

"Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum
Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim". (QS: Al Baqarah: 222)

[11]. HR Ahmad (I/424, 425, 432), Bukhari no. 1905, 5065, 5066, Muslim (IV/128), At Tirmidzi
no. 1.081, An Nasa-i (VI/56-58), Ad Darimi (II/132) dan Al Baihaqi (VII/77) dari sahabat
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu.30

Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami isteri melaksanakan
syari'at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga
berdasarkan syari'at Islam adalah wajib. Oleh karena itu, setiap muslim dan
muslimah harus berusaha membina rumah tangga yang Islami. Ajaran Islam telah
memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal, agar terbentuk
rumah tangga yang Islami. Di antara kriteria itu ialah harus kafa'ah dan shalihah.
Kafa'ah Menurut Konsep Islam Kafa'ah (setaraf, sederajat) menurut Islam hanya
diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta akhlaq seseorang, bukan diukur
dengan status sosial, keturunan dan lain-lainnya.

Allah SWT berfirman yang artinya :

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang wanita dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS: Al
Hujurat:13)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya :


"Seorang wanita dinikahi karena empat hal. Karena hartanya, keturunannya,
kecantikannya, dan agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang taat
agamanya (ke-Islamannya), niscaya kamu akan beruntung". [12].

Orang yang hendak menikah, harus memilih wanita yang shalihah, pula wanita
harus memilih laki-laki yang shalih.

[12]. HR Bukhari no. 5.090, Muslim no. 1.466, Abu Dawud no. 2.047, Nasa’i (6/68), Ibnu Majah
1.858, Ahmad (2/428) dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu

Allah berfirman yang artinya :


"Dan wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki- laki yang baik
untuk wanita-wanita yang baik pula." (QS: An Nuur: 26)
Menurut Al Qur’an, wanita yang shalihah adalah :
"Wanita yang shalihah ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri bila
suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka)". (QS: An Nisaa:
34)
Menurut Al Qur’an dan Al Hadits yang shahih, diantara ciri-ciri wanita
yang shalihah ialah :
a. Ta'at kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan ta'at kepada Rasulullah SAW
b. Ta'at kepada suami dan menjaga kehormatannya di saat suami ada atau tidak
ada,
serta menjaga harta suaminya.
c. Menjaga shalat yang lima waktu tepat pada waktunya.
d. Melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan.
Banyak shadaqah dengan seizin suaminya.
f. Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer
kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al Ahzab:33).
g. Tidak berbincang-bincang dan berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan
mahramnya, karena yang ketiganya adalah syetan.
h. Tidak menerima tamu yang tidak disukai oleh suaminya.
i. Ta'at kepada kedua orang tua dalam kebaikan. Berbuat baik kepada
tetangganya
sesuai dengan syari’at
k. Mendidik anak-anaknya dengan pendidikan Islami.
Bila kriteria ini dipenuhi, insya Allah rumah tangga yang Islami akan
terwujud.

4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah


Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda Yang artinya :
"Dan di hubungan suami-isteri salah seorang diantara kalian adalah sedekah!
Mendengar sabda Rasulullah, para sahabat keheranan dan bertanya: "Wahai,
Rasulullah. Apakah salah seorang dari kita memuaskan syahwatnya (kebutuhan
biologisnya) terhadap isterinya akan mendapat pahala?" Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam menjawab: "Bagaimana menurut kalian, jika mereka (para suami)
bersetubuh dengan selain isterinya, bukankah mereka berdosa?" Jawab para
sahabat: "Ya, benar". Beliau bersabda lagi: "Begitu pula kalau mereka
bersetubuh dengan isterinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh
pahala!.[13].

5. Untuk Memperoleh Keturunan Yang Shalih


Tujuan pernikahan diantaranya ialah untuk melestarikan dan
mengembangkan Bani Adam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
yang artinya :
"Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan
menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan
memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada
yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ? " (QS: An Nahl: 72)
Yang terpenting lagi dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh
anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu
mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah SWT. Sebagaimana firman
Allah SWT yang artinya :
"Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian (yaitu anak)". (QS:Al
Baqarah:187)
Yang dimaksud dengan ayat ini, “Hendaklah kalian mencampuri isteri
kalian dan berusaha untuk memperoleh anak. [14].

2. APA ITU KELUARGA SAKINAH, MAWADDAH, WA RAHMAH


Istilah sakinah, mawaddah, wa rahmah cukup populer di Indonesia. Ia
sering muncul dalam kartu undangan perkawinan, dan doa-doa yang dipanjatkan
bagi calon mempelai dan pengantin baru.

[13]. HR Muslim no. 1.006, dan Ahmad (5/167-168), Ibnu Hibban no. 1.298 (Mawarid) dari
sahabat Abu Dzar z . Lafazh ini milik Muslim.
[14]. Tafsir Ibnu Katsir (I/236), Cet. Daarus Salam.
Ketiga istilah ini diambil dari QS. 30:21 sebagai berikut:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
pasangan (istri/suami) dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berpikir.
Mari kita lihat lebih dekat makna dari istilah-istilah tersebut.
Sakinah. Kata sakinah secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai kedamaian.
Berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an (QS. Al- Baqarah/2:248; QS. At-Taubah/9:26
dan 40; QS. Al-Fath/48: 4, 18, dan 26), sakinah atau kedamaian itu didatangkan
Allah ke dalam hati para Nabi dan orang-orang yang beriman agar tabah dan tidak
gentar menghadapi rintangan apapun. Jadi berdasarkan arti kata sakinah pada
ayat-ayat tersebut, maka sakinah dalam keluarga dapat dipahami sebagai keadaan
yang tetap tenang meskipun menghadapi banyak rintangan dan ujian kehidupan.
Mawaddah. Quraish Shihab dalam Pengantin Al-Qur’an menjelaskan
bahwa kata ini secara sederhana, dari segi bahasa, dapat diterjemahkan sebagai
“cinta.” Istilah ini bermakna bahwa orang yang memiliki cinta di hatinya akan
lapang dadanya, penuh harapan, dan jiwanya akan selalu berusaha menjauhkan
diri dari keinginan buruk atau jahat. Ia akan senantiasa menjaga cinta baik di kala
senang maupun susah atau sedih.
Rahmah. Secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai “kasih sayang.”
Istilah ini bermakna keadaan jiwa yang dipenuhi dengan kasih sayang. Rasa kasih
sayang ini menyebabkan seseorang akan berusaha memberikan kebaikan,
kekuatan, dan kebahagiaan bagi orang lain dengan cara-cara yang lembut dan
penuh kesabaran. Jadi keluarga ideal adalah keluarga yang mampu menjaga
kedamaian, dan memiliki cinta dan kasih sayang. Unsur cinta dan kasih sayang
harus ada untuk saling melengkapi agar pasangan dapat saling membahagiakan.
Kebahagiaan mungkin akan terasa pincang jika hanya memiliki salah satunya.
Cinta (mawaddah) adalah perasaan cinta yang melahirkan keinginan
untuk membahagiakan dirinya. Ungkapan yang bisa menggambarkanya adalah,
“Aku ingin menikahimu karena aku bahagia bersamamu.” Sedangkan kasih
sayang (rahmah) adalah perasaan yang melahirkan keinginan untuk
membahagiakan orang yang dicintainya. Ungkapan ini menggambarkan rahmah,
“Aku ingin menikahimu karena aku ingin membuatmu bahagia.” Pasangan suami-
istri memerlukan mawaddah dan rahmah sekaligus, yakni perasaan cinta yang
melahirkan keinginan untuk membahagiakan dirinya sendiri sekaligus
pasangannya dalam suka maupun duka Tanpa menyatukan keduanya, akan
muncul kemungkinan pasangan suami dan istri hanya peduli pada kebahagiaan
dirinya masing- masing atau memanfaatkan pasangannya demi kebahagiaannya
sendiri tanpa peduli pada kebahagiaan pasangannya. Ringkasnya, mawaddah dan
rahmah adalah landasan batiniah atau dasar ruhani bagi terwujudnya keluarga
yang damai secara lahir dan batin.

3. Ciri-ciri Keluarga Sakinah


Masyarakat Indonesia mempunyai istilah yang beragam terkait dengan
keluarga yang ideal. Ada yang menggunakan istilah Keluarga Sakinah, Keluarga
Sakinah Mawaddah wa Rahmah(Keluarga Samara), Keluarga Sakinah Mawaddah
wa Rahmah dan Berkah, Keluarga Maslahah, Keluarga Sejahtera, dan lain- lain.
Semua konsep keluarga ideal dengan nama yang berbeda ini sama-sama
mensyaratkan terpenuhinya kebutuhan batiniyah dan lahiriyah dengan baik.
Berikut ini disajikan tiga pendapat tentang ciri-ciri keluarga yang ideal tersebut.
Pertama, ada yang berpendapat bahwa ciri Keluarga Sakinah mencakup
hal-hal sebagai berikut:
1. Berdiri di atas fondasi keimanan yang kokoh,
2. Menunaikan misi ibadah dalam kehidupan,
3. Mentaati ajaran agama,
4. Saling mencintai dan menyayangi,
5. Saling menjaga dan menguatkan dalam kebaikan,
6. Saling memberikan yang terbaik untuk pasangan,
7. Musyawarah menyelesaikan permasalahan,
8. Membagi peran secara berkeadilan,
9. Kompak mendidik anak-anak,
10. Berkontribusi untuk kebaikan masyarakat, bangsa, dan negara.
Kedua, organisasi Muhammadiyah menggunakan istilah Keluarga Sakinah
yang dipahami sebagai keluarga yang setiap anggotanya senantiasa
mengembangkan kemampuan dasar fitrah kemanusiaannya, dalam rangka
menjadikan dirinya sendiri sebagai manusia yang memiliki tanggung jawab atas
kesejahteraan sesame manusia dan alam, sehingga anggota keluarga tersebut
selalu merasa aman, tentram, damai, dan bahagia. Lima cirinya adalah sebagai
berikut:
1. Kekuatan/kekuasaan dan keintiman (power and intimacy). Suami dan istri
memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan. Ini adalah dasar penting untuk kedekatan hubungan.
2. Kejujuran dan kebebasan berpendapat (honesty and freedom of
expression). Setiap anggota keluarga bebas mengeluarkanpendapat,
termasuk pendapat yang berbeda-beda. Walaupun berbeda pendapat tetap
diperlakukan sama.
3. Kehangatan, kegembiraan, dan humor (warmth, joy and humor). Ketika
kegembiraan dan humor hadir dalam hubungan keluarga, setiap anggota
keluarga akan merasakan kenyamanan dalam berinteraksi. Keceriaan dan
rasa saling percaya di antara seluruh komponen keluarga merupakan
sumber penting kebahagiaan rumah tangga.
4. Keterampilan organisasi dan negosiasi (organization and negotiating).
Mengatur berbagai tugas dan melakukan negosiasi (bermusyawarah)
ketika terdapat bermacam-macam perbedaan pandangan mengenai banyak
hal untuk dicarikan solusi terbaik.
5. Sistem nilai (value system) yang menjadi pegangan bersama. Nilai moral
keagamaan yang dijadikan sebagai pedoman seluruh komponen keluarga
merupakan acuan pokok dalam melihat dan memahami realitas kehidupan
serta sebagai rambu-rambu dalam mengambil keputusan.
Ketiga, Nahdlatul Ulama menggunakan istilah Keluarga Maslahah
(Mashalihul Usrah), yaitu keluarga yang dalam hubungan suami-istri dan
orangtua-anak menerapkan prinsip-prinsip keadilan (i’tidal), keseimbangan
(tawazzun), moderat (tawasuth), toleransi (tasamuh) dan amar ma’ruf nahi
munkar; berakhlak karimah; sakinah mawaddah wa rahmah; sejahtera lahir batin,
serta berperan aktif mengupayakan kemaslahatan lingkungan sosial dan alam
sebagai perwujudan Islam rahmatan lil’alamin.
Keluarga Maslahah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Suami dan istri yang saleh, yakni bisa mendatangkan manfaat dan faedah
2. bagi dirinya, anak-anaknya, dan lingkungannya sehingga darinya
tercermin prilaku dan perbuatan yang bisa menjadi teladan (uswatun
hasanah) bagi anak-anaknya maupun orang lain,
3. Anak-anaknya baik (abrar), dalam arti berkualitas, berakhlak mulia,
sehat
ruhani dan jasmani, produktif dan kreatif sehingga pada saatnya dapat
hidup mandiri dan tidak menjadi beban orang lain atau masyarakat,
3. Pergaulannya baik. Maksudnya pergaulan anggota keluarga itu terarah,
Mengenal lingkungan yang baik, dan bertetangga dengan baik tanpa
mengorbankan prinsip dan pendirian hidupnya,
4. Berkecukupan rizki (sandang, pangan, dan papan). Artinya tidak harus
kaya atau berlimpah harta, yang penting bias membiayai hidup dan
kehidupan keluarganya, dari kebutuhan sandang, pangan, dan papan,
biaya pendidikan dan ibadahnya.
Pada dasarnya, keluarga sakinah sukar diukur karena merupakan satu
perkara yang abstrak dan hanya boleh ditentukan oleh pasangan yang
berumahtangga. Namun, terdapat beberapa ciri-ciri keluarga sakinah,
diantaranya :
a. Rumah Tangga Didirikan Berlandaskan Al-Quran Dan Sunnah
Asas yang paling penting dalam pembentukan sebuah keluarga sakinah
ialah rumah tangga yang dibina atas landasan taqwa, berpandukan Al-Quran dan
Sunnah dan bukannya atas dasar cinta semata-mata. Ia menjadi panduan kepada
suami istri sekiranya menghadapi berbagai masalah yang akan timbul dalam
kehidupan berumahtangga.
Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa’ ayat 59 yang artinya :
“Kemudian jika kamu selisih faham / pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah
kepada Allah (Al- Quran) dan Rasulullah (Sunnah)”.
b. Rumah Tangga Berasaskan Kasih Sayang (Mawaddah Warahmah)
Tanpa ‘al-mawaddah’ dan ‘al-Rahmah’, masyarakat tidak akan dapat hidup
dengan tenang dan aman terutamanya dalam institusi kekeluargaan. Dua perkara
ini sangat sangat diperlukan kerana sifat kasih sayang yang wujud dalam sebuah
rumah tangga dapat melahirkan sebuah masyarakat yang bahagia, saling
menghormati, saling mempercayai dan tolong-menolong. Tanpa kasih sayang,
perkawinan akan hancur, kebahagiaan hanya akan menjadi angan-angan saja.
c. Mengetahui Peraturan Berumahtangga
Setiap keluarga seharusnya mempunyai peraturan yang patut dipatuhi oleh
setiap ahlinya yang mana seorang istri wajib taat kepada suami dengan tidak
keluar rumah melainkan setelah mendapat izin, tidak menyanggah pendapat suami
walaupun si istri merasakan dirinya betul selama suami tidak melanggar syariat,
dan tidak menceritakan hal rumahtangga kepada orang lain. Anak pula wajib taat
kepada kedua orangtuanya selama perintah keduanya tidak bertentangan dengan
larangan Allah. Lain pula peranan sebagai seorang suami. Suami merupakan ketua
keluarga dan mempunyai tanggung jawab memastikan setiap ahli keluarganya
untuk mematuhi peraturan dan memainkan peranan masing-masing dalam
keluarga supaya sebuah keluarga sakinah dapat dibentuk.
Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa’: 34 yang artinya :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah
melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena
mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu
Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka)
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.
d. Menghormati dan Mengasihi Kedua Ibu Bapak
Perkawinan bukanlah semata-mata menghubungkan antara kehidupan
kedua pasangan tetapi ia juga melibatkan seluruh kehidupan keluarga kedua belah
pihak, terutamanya hubungan terhadap ibu bapak kedua pasangan. Oleh itu,
pasangan yang ingin membina sebuah keluarga sakinah seharusnya tidak
menepikan ibu bapak dalam urusan pemilihan jodoh, terutamanya anak lelaki.
Anak lelaki perlu mendapat restu kedua ibu bapaknya karena perkawinan tidak
akan memutuskan tanggungjawabnya terhadap kedua ibu bapaknya. Selain itu,
pasangan juga perlu mengasihi ibu bapak supaya mendapat keberkatan untuk
mencapai kebahagiaan dalam berumahtangga.
Firman Allah SWT yang menerangkan kewajiban anak kepada ibu
bapaknya dalam Surah al-Ankabut : 8 yang artinya :
“Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-
bapanya. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku khabarkan
kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan”

4.UNSUR-UNSUR TERBENTUKNYA KELUARGA SAKINAH


Keluarga sakinah merupakan harapan setiap orang yang telah
melaksanakan akad nikah, hal ini selaras dengan lantunan doa yang disematkan
ketika selesai ijab dan qabul. Namun harapan tersebut dapat terwujud tidak hanya
sebatas pada ungkapan doa yang disampaikan oleh para tamu dalam walimah,
butuh direncanakan sejak pasangan pengantin menetapkan niat untuk mencari
pendamping hidup sampai pada tahap melaksanakan perkawinan. Upaya tersebut
dapat dilakukan jika masing-masing dari mereka telah memiliki pikiran yang
matang dan stabil untuk menikah, baik secara fisik maupun mental, memahami
hak dan kewajiban satu sama lain, mapan secara ekonomi, mengetahui arti
penting berumah tangga dan resika apa saja yang akan dilewati di kemudian hari.
Hal ini merupakan sebagian kecil yang harus dipersiapkan untuk dipersiapkan
menuju rumah tangga yang tentram/sakinah.
Ketentraman pasca perkawinan akan sekadar menjadi mimpi ketika
kematangan dalam berpikir menjadi labil, tidak jarang berdampak pada terjadinya
kasus perceraian pasca pernikahan. Katika keluarga kecil tadi telah dikaruniai
anak, maka merekalah yang pertama manjadi korban dari perceraian tersebut,
terutama korban dalam bentuk prsikis. Ketika terjadi perceraian diharapkan sosok
ayah dan ibu masih melekat pada diri sang anak. Jangan sampai karena perpisahan
ayah dan ibunya, lantas sianak menjadi terlantar.
Agama Islam memberikan tuntunan sedemikian agar rumah tangga tetap
rukun dan damai, mulai dari memilih pasangan hidup yang berpengetahuan agama
yang kuat, sehat jasmani dan ruhani, memiliki latar belakang keturunan yang
jelas, berpenampilan yang bagus, dan mapan.
a. Memilih pasangan yang ideal
Sesungguhnya manusia normal pasti punya keingian untuk berumah
tangga, hal ini menegaskan bahwa manusia memiliki jodohnya masing-masing
sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Salah satu perkara yang telah ditetapan oleh
Allah bagi setiap manusia adalah jodoh. Oleh karena itu manusia tidak perlu
merasa khawatir bahw dia tidak akan mendapatkan pendamping hidupnya.
Meskipun demikian, bukan berarti jodoh tidak perlu dicari. Tetapi perlu adanya
ikhtiar untuk menjemput jodoh itu. Ingat, mencari jodoh yang baik adalah syarat
utama membentuk generasi Rabbani, penerus peradaban, umat yang kelak
dibanggakan Rasulullah karena tidak hanya jumlahnya yang banyak, tetapi karena
ketaatannya pada Agama.

b. Membina dan Menanamkan Nilai-Nilai agama dalam Keluarga.


Upaya menuju keluarga sakinah, kedudukan agama menjadi amat berarti.
Ajaran agama tidak hanya dimengerti dan dipahami, namun wajib diamalkan oleh
setiap anggota keluarga, sehingga kehidupan dalam keluarga tersebut akan dapat
meresakan hidup berumah tangga dengan penuh ketentraman, kenyamanan serta
ketenangan yang dijiwai oleh ajaran dan aturan yang ada dalam agama. Jadi,
setiap anggota keluarga memiliki kewajiban untuk berupaya mendekatkan diri
pada Allah dengan cara melaksanakan segala perintah Allah dan berusaha sekuat
tenaga meninggalkan larangan-Nya. Kedekatan kepada Allah melalui pelaksanaan
nilai-nilai agama dan ketaqwaan itulah yang akan bias memudahkan menetralisir
permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga, hal ini sebagaimana telah
digariskan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat at-Talaq ayat 1-2:
Bahtera Rumah tangga yang dibangun dengan nilai-nilai agama dan penuh
ketaqwaan kepada Allah akan tergambar dalam kehidupan sehari-hari seperti
selalu menjalankan ibadah baik wajib maupun sunnah, memperkokoh ikatan tali
silaturrahim antara keluarga suami maupun istri, kepada tetangga maupun kepada
masyarakat. dalam pengalaman ibadah tiap hari, disamping itu pula hendak
nampak terus menjadi membaiknya ikatan dengan saudara, orang sebelah serta
warga lingkungannya.
c. Membina Hubungan Antara keluarga dan lingkungan
Keluarga dalam konteks yang lebih besar bukan hanya terdiri dari ayah,
ibu dan anak, namun setiap orang yang terkait dengan hubungan kekerabatan
kedua belah pihak dalam keluarga tersebut. Ikatan yang serasi antara suami istri
dan anggota keluarga tidak berjalan dengan sendirinya, namun harus selalu
diupayakan secara baik dan serius. Menjaga keluarga agar tetap baik bagaikan
memelihara tanaman.
Tanaman akan tumbuh subur dan selalu berkembang jika dipelihara
dengan baik, disiram dengan air yang cukup, dipupuk dan dijaga dari hama yang
akan membuat tanaman rusak. cinta dan kasih sayang juga perlu dipelihara
dengan baik salah satunya jalin komunikasi pada setiap anggota keluarga,
membina keluarga dengan keimanan, hindari konflik dan perdebatan dan
tumbuhkan sikap saling memahami satu sama lain.
d. Menanamkan Sifat Qona’ah dalam Keluarga.
Keluarga akan menemukan saling pengertian adalah dengan cara
menerima apa adanya baik itu sifat yang dimiliki oleh pasangan masing-masing
maupun pendapatan yang diperoleh keduanya. Islam mengajarkan agar manusia
untuk selalu berusaha mencari yang terbaik dalam pemenuhan kebutuhan hidup
dan diikuti dengan sifat Qona’ah. Sifat ini perlu ditumbuh kembangkan dalam
keluarga, sebab dengan sifat qonaah akan merasa rela dan cukup atas apa yang
dimiliki oleh suami atau istri. Apalagi dalam era globalisasi yang ditandai denga
tingginya tuntutan kebebasan individu dan hak asasi, menonjolkan sifat.
materialistis di tengah masyarakat akan dapat menagancam ketentraman rumah
tangga. Oleh karena itu sifat qona’ah harus menjadi benteng dalam rumah tangga
agar keharmonisan dalam keluarga dapat terpelihara sehingga keretakan dan
kehancuran rumah tangga dapat dihindari

5. EMPAT PILAR PERKAWINAN YANG KOKOH DALAM ISLAM:


1. Perkawinan adalah berpasangan (zawaj).
Suami dan istri laksana dua sayap burung yang memungkinkan terbang,
saling melengkapi, saling menopang, dan saling kerjasama. Dalam ungkapan al-
Qur’an, suami adalah pakaian bagi istri dan istri adalah pakaian bagi suami (QS.
Al-Baqarah/2:187).
2. Perkawinan adalah ikatan yang kokoh (mitsaqan ghalizhan/QS.
An-Nisa/4:21)
Sehingga bisa menyangga seluruh sendi- sendi kehidupan rumah tangga.
Kedua pihak diharapkan menjaga ikatan ini dengan segala upaya yang dimiliki.
Tidak bisa yang satu menjaga dengan erat sementara yang lainnya
melemahkannya.
3.Perkawinan harus dipelihara melalui sikap dan perilaku saling berbuat
baik (mu’asyarah bil ma’ruf/ QS. An-Nisa/4:19).
Seorang suami harus selalu berpikir, berupaya, dan melakukan segala yang
terbaik untuk istri. Begitupun sang istri berbuat hal yang sama kepada suaminya.
4. Perkawinan mesti dikelola dengan musyawarah (QS. Al- Baqarah/2:23).
Musyawarah adalah cara yang sehat untuk berkomunikasi, meminta
masukan, menghormati pandangan pasangan, dan mengambil keputusan yang
terbaik. Empat pilar ini dapat menguatkan ikatan perkawinan dan memperdalam
rasa saling memahami dan kasih-sayang. Semua itu akan bermuara pada
terwujudnya keluarga yang harmonis. Dengan empat pilar ini, suami dan istri
akan senantiasa termotivasi untuk membangun rumah tangga sesuai amanat ilahi.
Berusaha manjaga amanat ilahi berarti pula berusaha menjadi orang yang salih di
mata Tuhan.
Dalam suatu hadis disebutkan bahwa yang artinya : Harta terindah bagi
seorang suami adalah istri yang salihah (HR. Abu Dawud). Dan tentu saja, bagi
seorang istri, harta terindahnya adalah suami yang salih. Hal-hal seperti itulah
yang akan membantu terwujudnya keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.
Paparan di atas adalah yang menjadi faktor atau pertimbangan bagi orang
tua (kyai) dalam menentukan jodoh anak-anaknya dengan tujuan mendapatkan
kebaikan kebaikan serta Rhidho dan Rahmat Allah SWT.Sehingga tradisi
perjodohan anak oleh orang tua terutama di kalangan kyai atau santri sampai
sekarang masih ada.
PENUTUP

Kesimpulan
Perkawinan merupakan suatu ketentuan dari ketentuan-ketantuan Allah
SWT di dalam menjadikan dan menciptakan alam ini. Untuk menjaga
kehormatan dan martabat manusia, Allah SWT menciptakan hukum sesuai dengan
martabat tersebut, dan Islam menjadikan pernikahan untuk memformat kasih
sayang di antara mereka dalam membangun rumah tangga yang baik dan sah
menurut agama.
Agama Islam memiliki ajaran yang komprehensif dan terinci dalam masalah
keluarga. Ada puluhan ayat Al-Qur’an dan ratusan hadis Nabi saw. Yang
memberikan petunjuk yang sangat jelas menyangkut persoalan keluarga, mulai
dari awal pembentukan keluarga, hak dan kewajiban, masing-masing unsur dalam
keluarga hingga masalah kewarisan dan perwalian. Tidak ragu lagi, bahwa tujuan
pokok perkawinan ialah demi kelangsungan hidup umat manusia dan memelihara
martabat serta kemurnian silsilahnya. Sedang kelangsungan hidup manusia ini
hanya mungkin dengan berlangsungnya keturunan. Jadi, salah satu tujuan
berkeluarga dalam Islam adalah untuk membentuk keluarga abadi, bahagia,
sejahtera, dan lahir keturunan-keturunan yang berkualitas baik secara agama
maupun keahlian duniawi.
Di samping itu, tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk memberikan
ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan manusia.

Allah SWT. Berfirman yang artinya :“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya


ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih sayang ...” (Q.S. Ar- Rûm: 21).
Di Antara Tujuan Pernikahan Dalam Islam Adalah :
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
2. Untuk Membentengi Akhlaq Yang Mulia
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
5. Untuk Memperoleh Keturunan Yang Shalih dan shalihah
Keluarga Sakinah atau Maslahah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Suami dan istri yang saleh,
2. Anak-anaknya baik (abrar),
3. Pergaulannya baik.
4. Berkecukupan rizki (sandang, pangan, dan papan).
5. Rumah Tangga Didirikan Berlandaskan Al-Quran Dan Sunnah
6. Rumah Tangga Berasaskan Kasih Sayang (Mawaddah Warahmah)
7. Mengetahui Peraturan Berumahtangga
8. Menghormati dan Mengasihi Kedua Ibu Bapak
Keluarga sakinah merupakan harapan setiap orang yang telah
melaksanakan akad nikah, hal ini selaras dengan lantunan doa yang disematkan
ketika selesai ijab dan qabul. Agama Islam memberikan tuntunan sedemikian agar
rumah tangga tetap rukun dan damai, mulai dari memilih pasangan hidup yang
berpengetahuan agama yang kuat, sehat jasmani dan ruhani, memiliki latar
belakang keturunan yang jelas, berpenampilan yang bagus, dan mapan.
a. Memilih pasangan yang ideal
b. Membina dan Menanamkan Nilai-Nilai agama dalam Keluarga.
c. Membina Hubungan Antara keluarga dan lingkungan
d. Menanamkan Sifat Qona’ah dalam Keluarga.
Empat Pilar Perkawinan Yang Kokoh Dalam Islam :
1.Perkawinan adalah berpasangan (zawaj).
2.Perkawinan adalah ikatan yang kokoh (mitsaqan ghalizhan/QS. An-Nisa/4:21)
3.Perkawinan harus dipelihara melalui sikap dan perilaku saling berbuat baik
mu’asyarah bil ma’ruf/ QS. An-Nisa/4:19).
4.Perkawinan mesti dikelola dengan musyawarah (QS. Al- Baqarah/2:23).

Paparan di atas adalah yang menjadi faktor atau pertimbangan bagi orang tua
(kyai) dalam menentukan jodoh anak-anaknya dengan tujuan mendapatkan
kebaikan kebaikan serta Rhidho dan Rahmat Allah SWT.Sehingga tradisi
perjodohan anak oleh orang tua terutama di kalangan kyai atau santri sampai
sekarang masih ada.

Sekian

Daftar pustaka

- Dedi Muhadi, “Tradisi Perjodohan dalam Komunitas Pesantren (Studi


Pada Keluarga Kiai Pondok Buntet Pesantren)” Skripsi Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta: Skripsi tidak
diterbitkan).
- Zakiyuddin Abdul Adhim, S.H. (perjodohan di kalangan keluarga kiai
pondok pesantren lirboyo kediri (perspektif antropologi hukum islam)
universitas islam negeri sunan kalijaga yogyakarta untuk memenuhi
sebagian dari syarat-syarat memperoleh gelar magister hukum islam
yogyakarta 2019
- Al-Irsyad Al-Nafs, Jurnal Bimbingan Penyuluhan Islam Volume 6, Nomor
2 Desember 2019
- Cholil Nafis (Fikih Keluarga, Menuju Keluarga Sakinah, Mawaddah, Wa
Rahmah Keluarga Sehat, Sejahtera, dan Berkualitas) Mitra Abadi Press
Jagakarsa,Jakarta Selatan
- Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas Kiat-Kiat Menuju Keluarga
Sakinah Islam House com 2015 – 1436
- Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah (Fondasi Keluarga Sakinah)
Direktorat Bina KUA & Keluarga Sakinah Jakarta, Februari 2017 Ditjen Bimas
Islam Kemenag RI Tahun 2017

Anda mungkin juga menyukai