Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kualitas Hidup

1. Pengetian

Kualitas hidup adalah kondisi fisik dan psikis yang mendukung

kegiatan sehari hari dalam kondisi sosial budaya tertentu, kualitas hidup

dapat dinilai apakah sangat baik, baik, sedang, atau kurang (Pangkahila,

2014).

Ada 4 ranah yang mencakup dalam kualitas hidup yang dapat

dinilai yaitu:

1) Ranah kesehatan fisik.

2) Ranah psikologis.

3) Ranah hubungan sosial.

4) Ranah lingkungan.

Setiap ranah memiliki beberapa aspek, yang pada semua ranah

berjumlah dua puluh empat aspek. Semua aspek berpengaruh dalam

melakukan kegiatan sehari-hari dan dalam berinteraksi dengan orang lain

dan lingkungan dimana manusia berada (Pangkahila, 2014).

Pada ranah kesehatan fisik terdapat aktivitas sehari hari, tergantung

kepada obat dan alat bantu, energi dan kelelahan, mobilitas, aspek nyeri

dan tidak nyaman, kapasitas kerja, tidur, dan istirahat. Pada ranah

psikologis terdapat aspek citra dan penampilan tubuh, perasaan negatif,

perasaan positif, harga diri, agama, berfikir, belajar, ingatan dan

konsentrasi (Pangkahila, 2014).

12
13

Beberapa aspek yang tercakup dalam ranah hubungan sosial adalah

hubungan pribadi, dukungan sosial, dan aktivitas sexual. Ranah lingkunag

meliputi aspek keuangan, kemerdekaan, keamanan, dan keselamatan fisik,

jaminan sosial dan kesehatan, lingkungan rumah, kesempatan mendapat

informasi baru dan keterampilan, partisipasi dan kesempatan untuk

rekreasi, lingkungan fisik, dan transportasi (Pangkahila, 2014).

Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas hidup seseoarang, yang

dapat di kelompokan menjadi faktor fisik dan faktor psikis. Faktor fisik

utama ialah keadaan kesehatan, gaya hidup, dan sosial ekonomi. Faktor

psikis yang penting adalah suasana lingkunag keluarga dan lingkungan

sosial (Pangkahila, 2014).

2. Kualitas Hidup Terkait Kesehatan

Menurut WHOQoL (The World Health Organization Quality of

Life) faktor yang mempengaruhi kualitas hidup terdiri dari 4 bidang.

Keempat bidang dari WHOQoL BREF meliputi :

a. Kesehatan fisik berhubungan dengan kesakitan dan kegelisahan

ketergantungan pada perawatan medis, energi dan kelelahan, mobilitas,

tidur dan istirahat, aktifitas kehidupan sehari-hari, dan kapasitas kerja.

b. Kesehatan psikologis berhubungan dengan pengaruh positif dan negatif

spiritual, pemikiran pembelajaran (pengetetahuan), daya ingat dan

konsentrasi, gambaran tubuh dan penampilan, serta penghargaan

terhadap diri sendiri.

c. Hubungan sosial terdiri dari hubungan personal, aktivitas seksual dan

hubungan sosial
14

d. Dimensi lingkungan terdiri dari keamanan dan kenyamanan fisik,

lingkungan fisik, sumber penghasilan, kesempatan memperoleh

informasi, partisipasi dan kesempatan untuk rekreasi, atau aktifitas pada

waktu luang.

3. Dampak Hemodialisis Terhadap Kualitas Hidup

Dampak hemodialisis akan berakibat terhadap respon pasien. Hal

ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya karakteristik individu,

pengalaman sebelumnya dan mekanisme koping. Masing – masing

dimensi mempunyai pengaruh tersendiri terhadap kualitas hidup.

a. Dimensi fisik

Dimensi fisik mempunyai beberapa dampak terhadap kualitas

hidup penderita penyakit ginjal kronik. Dimensi fisik merujuk pada

gejala-gejala yang terkait penyakit dan pengobatan yang dijalani.

Pada penderita penyakit ginjal kronik akan mengalami perubahan

fisik. Kelemahan merupakan hal utama yang dirasakan oleh pasien

penyakit ginjal kronik. Kelemahan berhubungan dengan gangguan

pada kondisi fisik, termasuk malnutrisi, anemia uremia. Kelemahan

fisik dapat menurunkan motivasi. Kelemahan secara signifikan

berhubungan dengan timbulnya gejala gangguan masalah tidur, status

kesehatan fisik yang menurun dan depresi yang dapat mempengaruhi

kualitas hidupnya (Farida 2010).

Tallis 2005 (dalam Mardiyaningsih, 2014) menyatakan bahwa

perubahan fisik pada pasien dengan penyakit ginjal kronik tidak

terbatas pada sistem ginjal, sistem tubuh lain juga dapat dipengaruhi
15

dan dapat mengakibatkan penurunan status kesehatan dan kualitas

hidup. Farida (2010) mengenai kualitas hidup penderita penyakit

ginjal kronik dalam konteks asuhan keperawatan didapatkan hasil

bahwa kualitas hidup secara fisik akan menurun setelah mengalami

penyakit ginjal dan harus menjalani hemodialisis. Seluruh

aktivitasnya terbatas dikarenakan kelemahan, respon fisik dirasakan

menurun, merasa mudah capek, dan keterbatasan dalam asupan cairan

dan nutrisi serta merasakan kurang tidur. Hal ini mempengaruhi

semua kesehatan fisik penderita penyakit ginjal kronik sehingga tidak

dapat melakukan kegiatan seperti saat sebelum menjalani

hemodialisis. Adaptasi yang dilakukan penderita dalam mengatasi

kesehatan fisik yang menurun berupa membatasi aktivitas fisik

seperti tidak melakukan pekerjaan yang berat, membatasi pemasukan

cairan dan nutrisi sesuai yang dianjurkan berdasarkan kesehatannya.

b. Dimensi psikologi

Tallis 2005 (dalam Mardiyaningsih, 2014) respon psikologis

pada pasien penyakit ginjal kronik dapat bervariasi dan sering

berhubungan dengan kerugian, baik aktual maupun potensial, dan

telah disamakan dengan proses kesedihan. Depresi merupakan respon

psikologis yang paling umum dan telah dilaporkan berhubungan

dengan kualitas hidup yang rendah yang berhubungan dengan

kesehatan. Kemarahan dan penolakan yang sering dilakukan oleh

pasien untuk melindungi diri dan emosi tak terkendali, ini dapat

memiliki efek negatif yang dapat menyebabkan penurunan kepatuhan


16

pasien terhadap rejimen pengobatan dan mengurangi komunikasi

yang efektif antara pasien dan tim kesehatan.

Penderita penyakit ginjal kronik akan mengalami perubahan

dalam hal spiritual. Pasien lebih mendekatkan diri kepada Tuhan

dibandingkan sebelum terkena penyakit ginjal dan melakukan

hemodialisis. Mendekatkan diri kepada Tuhan dilakukan dengan

menjalankan aturan agama dan tidak berbuat hal yang dilarang

agama. Lebih memikirkan kehidupan untuk bekal diakherat. Kualitas

hidup secara spiritual dirasakan lebih meningkat dengan cara

mendekatkan diri kepada Tuhan dan berbuat baik (Farida 2010).

Inti dari spiritual adalah kualitas dari suatu proses menjadi

lebih religius, berusaha mendapatkan inspirasi, penghormatan,

perasaan kagum, memberi makna dan tujuan yang dilakukan oleh

individu yang percaya dan tidak percaya kepada Tuhan. Lebih

memikirkan kehidupan untuk bekal diakherat. Selain dampak

spiritual, penderita akan merasa mudah putus asa, malu, merasa

bersalah, hal ini dapat menyebabkan depresi. Rasa kehilangan

pekerjaan, peran dalam keluarga dan kehilangan teman, serta tingkat

pendidikan yang rendah merupakan resiko utama terjadinya depresi.

Depresi merupakan hal yang berpengaruh terhadap kualitas hidup

pasien. Adaptasi psikologi yang dilakukan adalah menjadi lebih

sabar, menerima keadaan dan ikhlas (Farida 2010).


17

c. Dimensi hubungan sosial

Tallis 2005 (dalam Mardiyaningsih, 2014) nutrisi merupakan

komponen penting dalam kehidupan pasien dengan penyakit ginjal

kronik. Efek samping jika mengalami gangguan nutrisi adalah

hiperkalemia, hiperfosfatemia, protein yang berhubungan dengan

kekurangan gizi dan kelebihan cairan. Sebagian besar dari interaksi

orang, melibatkan makan dan minum sehingga tidak jarang untuk

pasien dengan ESRF untuk mengurangi keterlibatan sosial mereka

karena pembatasan makanan dan minuman yang ketat. Masalah sosial

lainnya dapat dipengaruhi oleh penyakit kronis dan termasuk status

kerja pasien, hubungan antara keluarga dan teman- teman, dan

bahkan keinginan untuk melakukan kegiatan rekreasi. Perubahan

aspek sosial dapat disebabkan oleh perubahan fisik dan / atau

psikologis dan bisa ada siklus negatif yang jika dipelihara maka

penyebabnya juga dapat menjadi efek.

Diaz et al. 2006 (dalam Mardiyaningsih, 2014) pasien

hemodialisis juga mengalami gangguan sosial berupa disfungsi

seksual. Dusfungsi seksual terjadi pada klien penyakit ginjal kronik

tahap akhir dengan hemodialisis. Pada pasien penyakit ginjal kronik,

umumnya mendapatkan terapi antidepresan, dimana obat ini dapat

berefek menurunkan libido dan menunda orgasme pada wanita,

menurunkan ereksi dan ejakulasi pada laki – laki. Selain faktor

depresan hal lain yang berkontribusi pada disfungsi seksual adalah

body image, defisiensi zinc dan gangguan hormonal.


18

d. Dimensi lingkungan

Penelitian yang dilakukan oleh Chang (dikutip dalam Farida

2010) mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi kemampuan dalam

melakukan koping pada pasien yang menjalani hemodialisis. Hasil

penelitian mengatakan penyebab stres utama adalah yang berhubungan

dengan masalah ekonomi dan ketidakmampuan untuk mendapatkan

uang.

B. Pengukuran Kualitas Hidup

Instrumen WHOQOL dikembangkan bersama-sama di sejumlah pusat

di seluruh dunia, dan telah banyak teruji dilapangan. Versi pertama adalah

WHOQOL- 100 yang berisi 100 pertanyaan. Akan tetapi penggunaan versi

ini membutuhkan waktu yang lama sehingga dikembangkan versi terbarunya

yaitu WHOQOL-BREF yang berisi 26 pertanyaan sehingga bisa digunakan

untuk penelitian yang waktu pelaksanaannya singkat.

Cara pengukuran kualitas hidup menurut WHOQoL (The World

Health Organization Quality of Life) : Semua pertanyaan terdiri dari 26

pertanyaan dengan skor tertinggi bernilai 5. Pada tiap pertanyaan jawaban

poin terendah adalah 1=sangat tidak memuaskan, sampai dengan 5=sangat

memuaskan, kecuali untuk pertanyaan nomer 3, 4, dan 26 karena pertanyaan

bersifat negatif maka memiliki jawaban mulai skor 5=sangat memuaskan

hingga skor 1=sangat tidak memuaskan.

Domain dan aspek dalam WHOQoL adalah berikut ini;


19

Tabel 2.1
Domain dan aspek yang dinilai dalam WHOQOL-BREF
Domain Aspek yang dinilai
Seluruh kualitas hidup dan kesehatan a. Keseluruhan kualitas hidup
umum b. Kepuasan terhadap kesehatan
I. Kesehatan fisik 1. Nyeri dan ketidaknyamanan
2. Ketergantungan pada perawatan
medis
3. Energi dan kelelahan
4. Mobilitas
5. Tidur dan istirahat
6. Aktivitas sehari-hari
7. Kapasitas bekerja
II. Kesehatan lingkungan 8. Aspek positif
9. Spiritual
10. Berpikir, belajar, memori dan
konsentrasi
11. Body image danpenampakan
12. Harga diri
13. Afek negatif
III. Hubungan sosial 14. Hubungan personal
15. Aktivitas seksual
16. Dukungan keluarga
IV. Lingkungan 17. Keamanan fisik
18. Lingkungan fisik (polusi, suara,
lalu lintas, iklim)
19. Sumber keuangan
20. Peluang untuk mendapatkan
informasi dan keterampilan
21. Partisipasi dan kesempatan untuk
rekreasi/aktivitas yang
menyenangkan
22. Lingkungan rumah
23. Perawatan kesehatan dan sosial;
kemampuan akses dan kualitas
24. transportasi
Sumber: Murphy et al, 2000 (dalam Nurchayati, 2010)

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Pasien PGK

Kualitas hidup merupakan sebuah persepsi individu terhadap posisi

mereka dalam kehidupan konteks budaya dan nilai di tempat mereka tanggal

serta berkaitan dengan tujuan mereka, harapan, standard an kekhawatiran

(Anees et al, 2011). Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas hidup


20

seseoarang, yang dapat di kelompokan menjadi faktor fisik dan faktor psikis.

Faktor fisik utama ialah keadaan kesehatan, gaya hidup, dan sosial ekonomi.

Faktor psikis yang penting adalah suasana lingkungan keluarga dan

lingkungan sosial (Pangkahila, 2014).

1.  Gaya Hidup

a. Pengertian Gaya Hidup

Gaya hidup individu, yang dicirikan dengan pola perilaku

individu, akan memberi dampak pada kesehatan individu dan

selanjutnya pada kesehatan orang lain. Dalam “kesehatan” gaya

hidup seseorang dapat diubah dengan cara memberdayakan individu

agar merubah gaya hidupnya, tetapi merubahnya bukan pada si

individu saja, tetapi juga merubah lingkungan sosial dan kondisi

kehidupan yang mempengaruhi pola perilakunya. Harus disadari

bahwa tidak ada aturan ketentuan baku tentang gaya hidup yang

“sama dan cocok” yang berlaku untuk semua orang. Budaya,

pendapatan, struktur keluarga, umur, kemampuan fisik, lingkungan

rumah dan lingkungan tempat kerja, menciptakan berbagai “gaya”

dan kondisi kehidupan lebih menarik, dapat diterapkan dan diterima

(Ari, 2010).

Gaya hidup merupakan gambaran bagi setiap orang yang

mengenakannya dan menggambarkan seberapa besar nilai moral

orang tersebut dalam masyarakat disekitarnya. Gaya hidup adalah

suatu seni yang dibudayakan oleh setiap orang. Gaya hidup juga

sangat berkaitan erat dengan perkembangan zaman dan teknologi.


21

Semakin bertambahnya zaman dan semakin canggihnya teknologi,

maka semakin berkembang luas pula penerapan gaya hidup oleh

manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dalam arti lain, gaya hidup

dapat memberikan pengaruh positif atau negatif bagi yang

menjalankannya, tergantung pada bagaimana orang tersebut

menjalaninya. Dewasa ini, gaya hidup sering disalahgunakan oleh

sebagian besar remaja. Para remaja yang berada dalam kota

metropolitan.

Mereka cenderung bergaya hidup dengan mengikuti mode

masa kini.Mode yang mereka tiru adalah mode dari orang barat.

Mereka dapat memilih dengan baik dan tepat, maka pengaruhnya

juga akan positif. Sebaliknya, jika tidak pintar dalam memilih mode

orang barat, maka akan berpengaruh negatif bagi mereka sendiri

(Nurhasanah, 2009).

b. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Gaya Hidup

Faktor- faktor yang mempengaruhi gaya hidup (life style)

seseorang dapat dilihat dari perilaku yang dilakukan oleh individu

seperti kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan atau mempergunakan

barang-barang dan jasa, termasuk didalamnya proses pengambilan

keputusan pada penentuan kegiatan-kegiatan tersebut. Faktor- faktor

yang mempengaruhi gaya hidup seseorang ada 2 faktor yaitu faktor

yang berasal dari dalam diri individu (internal) dan faktor yang

berasal dari luar (eksternal). Faktor internal yaitu sikap, pengalaman,


22

dan pengamatan, kepribadian,konsep diri, motif, dan persepsi

(Nugraheni, 2003) dengan penjelasannya sebagai berikut :

1) Sikap, Sikap berarti suatu keadaan jiwa dan keadaan pikir yang

dipersiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu objek

yang diorganisasi melalui pengalaman dan mempengaruhi secara

langsung pada perilaku. Keadaan jiwa tersebut sangat

dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan, kebudayaan dan lingkungan

sosialnya.

2) Pengalaman dan pengamatan, Pengalaman dapat mempengaruhi

pengamatan sosial dalam tingkah laku, pengalaman dapat

diperoleh dari semua tindakannya dimasa lalu dan dapat

dipelajari, melalui belajar orang akan dapat memperoleh

pengalaman. Hasil dari pengalaman sosial akan dapat

membentuk pandangan terhadap suatu objek.

3) Kepribadian, Kepribadian adalah konfigurasi karakteristik

individu dan cara berperilaku yang menentukan perbedaan

perilaku dari setiap individu.

2. Sosial Ekonomi

Kebutuhan ekonomi yang semakin bertambah seiring dengan terapi

hemodialisis yang dilakukan ditambah lagi dengan kondisi partisipan yang

sudah tidak mampu untuk bekerja. Hal ini membuat partisipan

mengungkapkan kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat. Perubahan

tersebut diperparah dengan kondisi pasien yang saat ini sudah total tidak

bekerja. Akibat dari kehilangan pekerjaan, membuat partisipan berfikir 2x


23

lipat untuk mendapatkan uang yang digunakan untuk memenuhi

kebutuhan hemodialisis dankebutuhan sehari – hari. Kring & Crane

(dikutip dalam Farida 2010) mengatakan pada tahun 2006 biaya yang

dibutuhkan untuk pasien dengan penyakit penyakit ginjal kronik melebihi

23 miliar atau 6,4% dari seluruh biaya kesehatan di Amerika. Menurut

standar BPS SUMBAR (2015) menyatakan standar masyarakat dikatakan

miskin adalah mendapatkan BBM dan raskin.

3. Suasana Lingkungan Keluarga

Suasana Lingkungan Keluarga merupakan faktor yang memberikan

kontribusi terhadap kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik, karena

suasana dan dukungan yang diberikan oleh keluarga mempengaruhi

kualitas hidup pada pasien PGK. Keluarga menurut adalah sekumpulan

orang yang dihubungan oleh perkawinan, adopsi, dan kelahiran yang

bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum,

meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dari

individu-individu yang ada didalamnya terlihat dari pola interaksi yang

saling ketergantungan untuk mencapai tujuan bersama (Achjar, 2012).

Dukungan keluarga didefinisikan oleh Gottlieb (1983) dalam

Achjar (2012) yaitu informasi verbal, sasaran, bantuan yang nyata atau

tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek

didalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal yang

dapat memberikan keuntungan emosional atau pengaruh pada tingkah laku

penerimaannya. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan

sosial, secara emosional merasa lega diperhatikan, mendapat saran atau


24

kesan yang menyenangkan pada dirinya. Dukungan Sosial sebagai suatu

proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosialnya. Jenis-Jenis

Dukungan Keluarga terdiri atas 4 (Empat) macam, yaitu :

1) Dukungan Instrumental

Keluarga merupakan sumber pertolongan praktis dan konkrit.

2) Dukungan Informasional

Keluarga berfungsi sebagai diseminator atau penyebar informasi.

3) Dukungan Penilaian (Appraisal)

Keluarga bertindak sebagai sebuah umpan balik, membimbing dan

menengahi pemecahan masalah dan sebagai sumber serta validator

identitas keluarga.

4) Dukungan Emosional

Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat

dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi.

Menurut House (1994) dalam Achjar (2012), Setiap bentuk

Dukungan Sosial Keluarga mempunya ciri-ciri antar lain:

1) Informatif

Yaitu bantuan informasi yang disediakan agar dapat digunakan

oleh seseorang dalam menanggulangi permasalahan-permasalahan yang

dihadapi, yang meliputi pemberian nasihat, pengarahan, ide-ide atau

informasi lainnya yg dibutuhkan.

2) Perhatian Emosional

Dukungan ini berupa dukungan rasa simpati dan empati, cinta

kasih, kepercayaan dan penghargaan. Dengan demikian seseorang yang


25

sedang menghadapi permasalahan merasa dirinya tidak menanggung

beban sendiri tetapi masih ada orang lain yang memperhatikan, mau

mendengar segala keluhannya, bersimpati dan empati terhadap

permasalahan yang sedang dihadapinya, bahkan mau membantu

memecahkan masalah yang dihadapinya.

3) Bantuan Instrumental

Bantuan ini bertujuan untuk mempermudah seseorang dalam

melakukan aktifitasnya berkaitan dengan permasalahan-permasalahan

yang dihadapinya atau menolong secara langsung kesulitan yang sedang

dihadapi. Misalnya dengan menyediakan peralatan yang lengkap dan

memadai bagi penderita, menyediakan obat-obatan yang dibutuhkan, dsb.

4) Bantuan Penilaian

Merupakan suatu bentuk penghargaan yang diberikan seseorang

kepada pihak lain berdasarkan kondisi sebenarnya dari penderita. Dan

penilaian yang diharapkan dalam hal ini tentunya adalah penilaian yang

bersifat positif (Setyawan, 2012).

C. Penyakit Ginjal Kronik

1. Defenisi

Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronik

(PGK) didefinisikan sebagai adanya kerusakan ginjal yang ditandai

dengan ekskresi albumin abnormal atau penurunan fungsi ginjal yang

dilihat dengan pemeriksaan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang

berlangsung selama lebih dari 3 bulan (Thomas et al, 2008).


26

Tabel 2.2
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
Penanda kerusakan Ginjal (≥1 Albuminuria (AER ≥ 30 mg/dl; ACR ≥ 30
selama >3 bulan) mg/g)
Kelainan sedimen urin
Kelainan elektrolit karena tubular disorder
Kelainan berdasarkan pemeriksaan
histologi
Kelainan struktur berdasarkan imaging
Riwayat transplantasi ginjal
Penurunan GFR selama >3 GFR <60 mL/menit per 1.73 m2 (kategori
bulan GFR G3a-G5)
Sumber : Turner, Bauer, Abramowitz, Melamed, & Hostetter, 2012

Chronic Kidney Disease atau Penyakit Ginjal Kronik adalah suatu

keadaan yang ditandai dengan kelaianan dari struktur atau fungsi ginjal

yang muncul selama lebih dari 3 bulan, yang berpengaruh terhadap

kondisi kesehatan. Kriteria penyakit ginjal kronik yaitu, durasi lebih dari

3 bulan, terdapat penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari

2
60ml/menit/1,73m , dengan atau tanpa adanya kerusakan ginjal (NKF-

KDIGO, 2013).

Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO)

Penyakit ginjal dapat akut atau kronik. Penyakit ginjal yang terjadi

selama lebih dari 3 bulan dikategorikan sebagai penyakit ginjal kronik.

Ginjal memiliki banyak fungsi antara lain, fungsi ekskretori, endokrin dan

fungsi metabolisme. Glomerular Filtration Rate (GFR) adalah salah satu

komponen dari fungsi ekskretoris. Namun secara luas GFR diterima

sebagai indeks untuk menilai keseluruhan fungsi ginjal. Karena, secara

umum GFR berkurang setelah terjadi kerusakan struktural yang luas.

2
GFR <60ml/min/1.73m dapat dideteksi dengan pemeriksaan
27

laboratorium secara rutin. Sedangkan kerusakan ginjal dapat terjadi pada

parenkim ginjal, pembuluh darah, dan sistem kolektivus ginjal.

Kerusakan ginjal lebih sering diperiksa menggunakan marker (penanda)

ginjal daripada menggunakan pemeriksaan langsung jaringan ginjal.

Marker pada kerusakan ginjal dapat memberikan petunjuk pada lokasi

ginjal yang mengalami kerusakan (NKF-KDIGO, 2013).

Prevalensi pasien End-Stage Renal Disease (ESRD) yang

menjalani hemodialisis dari tahun 2002 sampai 2006 terus meningkat

yaitu, 1425, 1656, 1908, 2525, dan 3079 (Proodjosudjadi & Suhardjono,

2009). Prevalensi penyakit ginjal kronis berdasarkan pernah didiagnosis

dokter di Indonesia sebesar 0,2 % dan penyakit batu ginjal sebesar 0,6 %

(Riskesdas, 2013).

2. Etiologi

Etiologi dari penyakit ginjal kronik bervariasi antara satu

negara dengan negara yang lainnya. Di Indonesia, Perhimpunan

Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) mencatat penyebab penyakit ginjal

yang menjalani hemodialisis di Indonesia pada tahun 2000 sebagai

berikut :
28

Tabel 2.3

Penyebab Penyakit Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia


tahun 2000

Penyebab Insiden

Glomerulonefritis 46,39%

Diabetes Melitus 18,65%

Obstruksi dan Infeksi 12,85%

Hipertensi 8,46%

Sebab Lain 13,65%

Sumber: Turner, Bauer, Abramowitz, Melamed, & Hostetter, 2012

3. Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada

penyakit yang mendasarinya. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan

hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai

upaya kompensasi. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang

diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.

proses kompensasi ini kemudian diikuti oleh proses maladaptasi yaitu

sklerosis nefron. Dengan adanya peningkatan aktivitas aksis renin-

angiotensin-aldosteron, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya

hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut (Suwitra, 2014).

Pada stadium dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya

cadang ginjal. Kemudian terjadi penurunan fungsi nefron yang ditandai

dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada keadaan LFG

sebesar 60% pasien masih asimtomatik. Selanjutnya pada LFG sebesar

30% mulai timbul keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah,

mual, nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan. Setelah kadar
29

LFG dibawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang

nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme

fosfor dan kalsium, gangguan keseimbangan elektrolit. Pada saat LFG di

bawah 15% terjadi gejala dan komplikasi yang serius, pada tahap ini

pasien sudah membutuhkan terapi pengganti ginjal (Renal Replacement

Therapy) antara lain, hemodialisis, peritoneal dialisis, atau transplantasi

ginjal (Suwitra, 2014).

4. Klafisikasi

Penyakit Ginjal Kronik diklasifikasikan berdasarkan penyebab,

laju filtrasi glomerulus, dan kategori albuminuria.

Tabel 2.4
Kategori albuminuria pada PGK
Kategori AER ACR Keterangan
(approximate equivalent)
(mg/24 jam) Mg/mmol Mg/g
A1 < 30 < 30 < 30 Normal peningkatan
ringan
A2 30-300 30-300 30-300 Peningkatan sedang
A3 >300 >300 >300 Peningkatan berat
Sumber: NKF- KDIGO, 2013

Tabel 2.5
GFR kategori pada PGK
Kategori GFR GFR (ml/min/1.73 m2) Keterangan
G1 >90 Normal atau tinggi
G2 60-89 Turun (ringan)
Penurunan ringan ke
G3a 45-59
sedang
Penurunan sedang ke
G3b 30-44
berat
G4 15-29 Penurunan berat
G5 <15 Penyakit ginjal
Sumber: NKF- KDIGO, 2013
30

5. Penatalaksanaan

Pengobatan pada Penyakit ginjal kronik bertujuan untuk

memperlambat perkembangan penyait menjadi End-Stage Renal Disease

(ESRD). kontrol tekanan darah menggunakan Angiotensin-Converting

Enzyme (ACE) Inhibitors atau Angiotensin II Receptor Blockers (ARBs)

secara efektif dapat membantu memperlambat perkembangan dari PGK.

Selain itu control glikemik pada pasien dengan diabetes dapat

menghambat perkembangan dari PGK (Turner et al., 2012).

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi, terapi spesifik

terhadap penyakit yang mendasarinya, penecegahan dan terapi terhadap

kondisi komorbid, pencegahan dan terapi terhadap penyakit

kardiovaskuar, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, terapi

pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Terapi spesifik

terhadap penyakit dasarnya diberikan ketika sebelum terjadi penurunan

LFG, sehingga tidak terjadi perburukan ginjal. Jika sudah terjadi

penurunan LFG maka terapi terhadap penyakit dasarnya ini sudah tidak

banyak bermanfaat. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid

juga penting. Sedangkan untuk terapi pengganti ginjal dilakukan pada

penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit

(Suwitra, 2014).
31

D. Hemodialisis

Ada 3 jenis terapi pengganti ginjal untuk pasien dengan End-Stage

Renal Disease yaitu, Hemodialisis (HD), peritoneal dialisis, dan transplantasi

ginjal. Lamanya pasien menjalani terapi hemodialisis dapat mempengaruhi

keberhasilan terapi (Suhardjono, 2014).

1. Defenisi

Hemodialisis dapat didefinisikan sebagai suatu proses

pengubahan komposisi solute darah oleh larutan lain (cairan dialisat)

melalui membran semi permeabel (membran dialisis). Tetapi pada

prinsipnya, hemodialisis adalah suatu proses pemisahan atau penyaringan

atau pembersihan darah melalui suatu membran semipermeabel yang

dilakukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal baik akut maupun

kronik (Suhardjono, 2014).

Hemodialisis adalah salah satu terapi pengganti ginjal untuk pasien

penyakit ginjal kronik. Terapi ini dilakukan untuk menggantikan fungsi

ginjal yang rusak (Brunner & Suddarth, 2001).

2. Prinsip

Terdapat 3 komponen utama yang terlibat dalam proses

hemodialisis yaitu alat dialiser, cairan dialisat dan sistem penghantaran

darah. Dialiser adalah alat dalam proses dialisis yang mampu mengalirkan

darah dan dialisat dalam kompartemen-kompartemen di dalamnya, dengan

dibatasi membran semi permeabel (Depner, 2005).


32

Hemodialisis merupakan gabungan dari proses difusi dan

ultrafiltrasi. Difusi adalah perpindahan zat terlarut melalui membran

semipermeabel. Laju difusi terbesar terjadi pada perbedaan konsentrasi

molekul terbesar. Ini adalah mekanisme utama untuk mengeluarkan

molekul kecil seperti urea, kreatinin, elektrolit, dan untuk menambahkan

serum bikarbonat. Zat terlarut yang terikat dengan protein tidak dapat

dibuang melalui difusi karena protein yang terikat ridak dapat menembus

membran (Suhardjono, 2014).

Sedangkan ultrafiltrasi adalah aliran konveksi (air dan zat terlarut)

yang terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik maupun tekanan

osmotik. Ultrafiltrasi terjadi karena perbedaan positif pada kompartemen

darah dengan tekanan negatif yang terbentuk pada kompartemen dialisat

yang dihasilkan oleh pompa dialisat. (Transmembran Pressure). Pada

proses hemodialisis, proses difusi dan filtrasi berjalan secara bersamaan

serta dapat diprogram sesuai dengan keadaan klinis pasien. Dalam proses

hemodialisis, cairan dialisat mengalir berlawanan arah dengan darah,

sehingga tetap mempertahankan kecepatan difusi yang optimal

(Suhardjono, 2014).

Hemofiltrasi serupa dengan filtrasi glomerulus. Jika darah dipompa

pada tekanan hidrostatik yang lebih tinggi daripada cairan disisi lain

membran, maka air dalam darah akan dipaksa bergerak melewati membran

dengan cara ultrafiltrasi, dengan membawa serta elektrolit dan zat terlarut

lainnya (O’Callaghan, 2009).


33

Berbeda dengan HD, Hemofiltrasi (HF) memakai prinsip konveksi

dengan tekanan hidrostatik dan membran high flux, sehingga ultrafiltrat

yang berupa larutan (air dan zat terlarut) dapat banyak keluar melalui

membran dialiser. Plasma ultrafiltrat digantikan dengan elektrolit atau

cairan yang diproduksi oleh mesin dialisis sendiri secara on-line.

Hemodiafiltrasi (HDF) menggabungkan manfaat dari hemodialisis dan

hemofiltrasi. Pada pasien Penyakit Ginjal Kronik tahap akhir,

hemodiafiltrasi digunakan sebagai terapi pengganti intermiten untuk

keadaan-keadaan khusus. HDF memberikan beberapa manfaat dalam

optimalisasi koreksi anemia, mengurangi atau mengatasi inflamasi, stress

oksidatif, profil lipid, dan produk kalsium-fosfat pasien penyakit ginjal

kronik tahap akhir. Tetapi saat ini terapi HDF ini masih mahal, sehingga

masih terbatas digunakan (Suhardjono, 2014).

3. Indikasi dan Kontra Indikasi

Kidney Disease Outcome Quality (KDOQI) tahun 2015

merekomendasikan untuk mempertimbangkan manfaat serta resiko

memulai terapi pengganti ginjal pada pasien dengan LFG <30

2
mL/menit/1.73m (Tahap 4). Edukasi mengenai Penyakit Ginjal Kronik

dan pilihan terapi dialisis mulai diberikan kepada pasien dengan Penyakit

Ginjal Kronik tahap 4, termasuk pasien yang memiliki kebutuhan segera

untuk dialisis. Keputusan untuk memulai perawatan dialisis pada pasien

harus didasarkan pada penilaian tanda atau gejala uremia pada pasien,

tanda kekurangan energi-protein, bukan pada pasien dengan stadium

tertentu tanpa adanya tanda tanda atau gejala tersebut (Rocco et al., 2015).
34

Pada pasien dengan Penyakit Ginjal Kronik tahap 5 inisiasi HD

dimulai dengan indikasi sebagai berikut :

a. Kelebihan (Overload) cairan ekstraseluler yang sulit dikendalikan dan/

hipertensi.

b. Hiperkalemia yang refrakter terhadap restriksi diit dan terapi

farmakologis.

c. Asidosis metabolik yang refrakter terhadap pemberian terapi

bikarbonat.

d. Hiperfosfatemia yang refrakter terhadap restriksi diet dan terapi

pengikat fosfat.

e. Anemia yang refrakter terhadap pemberian eritropoetin dan besi.

f. Adanya penurunan kapasitas fungsional atau kualitas hidup tanpa sebab

yang jelas

g. Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama apabila disertai gejala

mual, muntah, atau adanya bukti lain gastroduodenitis.

h. Adanya gangguan neurologis (neuropati ensefalopati, gangguan

psikiatri), pleuritis atau perikarditis yang tidak disebabkan oleh

penyebab lain, serta diatesis hemoragik dengan pemanjangan waktu

perdarahan.

Kontraindikasi dilakukannya hemodialisis dibedakan menjadi 2


35

yaitu, kontraindikasi absolut dan kontraindikasi relatif. Kontraindikasi

absolut adalah apabila tidak didapatkannya akses vascular. Sedangkan

untuk kontraindikasi relatif adalah apabila ditemukannya kesulitan akses

vaskular, fobia terhadap jarum, gagal jantung, dan koagulopati

(Suhardjono, 2014).

4. Dosis dan Adekuasi

Kecukupan dialisis ditentukan berdasarkan kriteria klinis, dan

atas dasar formula Kxt/V, seperti yang direkomendasikan oleh KDOQI. K

adalah klirens urea dari dialiser, t adalah lama dialisis, dan V adalah

volume distribusi urea (Rocco et al., 2015).

Dosis hemodialisis merupakan jumlah bersihan fraksi urea dalam

satu sesi dialisis yang dipengaruhi oleh ukuran tubuh pasien, fungsi ginjal

sisa, asupan protein dalam makanan, derajat anabolisme atau katabolisme,

dan adanya komorbid. Kecukupan (adequacy) dialisis menjadi target

dosis dialisis Saat ini dipakai juga URR (% Urea Reduction Rate) atau

besarnya penurunan ureum dalam persen. URR = 100% x (1-(ureum

sebelum/ureum sesudah dialisis)). Pada hemodialisis yang dilakukan 3

kali seminggu dianjurkan target URR setiap kali hemodialisis adalah

diatas 65% (Suhardjono, 2014).

Untuk setiap sesi dialisis, status fisiologis pasien harus dinilai

sehingga resep dialisis dapat disejajarkan dengan tujuan setiap terapinya

(Himmelfarb & Ikizler, 2010).

5. Komplikasi
36

Komplikasi akut yang sering paling sering terjadi adalah

hipotensi terutama pada pasien diabetes. Hipotensi pada HD dapat dicegah

dengan melakukan evaluasi berat badan kering dan modifikasi dari

ultrafiltrasi, sehingga diharapkan jumlah cairan yang dikeluarkan lebih

banyak pada awal dibandingkan di akhir dialisis. Kram otot juga sering

terjadi selama proses hemodialisis. Beberapa faktor pencetus yang

dihubungkan dengan kejadian kram otot ini adalah adanya gangguan

perfusi otot karena pengambilan cairan yang agresif dan pemakaian

dialisat rendah sodium. Reaksi anafilaktoid juga merupakan salah satu

komplikasi dari hemodialisis. Reaksi anafilaktoid terhadap dialiser sering

dijumpai pada pemakaian pertama (Suhardjono, 2014).

Komplikasi kronik pasien hemodialisis dapat dibagi menjadi dua

kategori yaitu :

a. Komplikasi yang terjadi karena terapi hemodialisis seperti, hipotensi;

anemia; endocarditis, dll.

b. Komplikasi yang terjadi karena penyakit ginjal primer seperti

nefropati, kronik gromeluropati, glomerulonefritis, dll (Suhardjono,

2014).

Komplikasi kronik atau komplikasi jangka panjang yang dapat

terjadi pada pasien yang menjalani terapi hemodialisa antara lain, penyakit

kardiovaskular (Suhardjono, 2014). Salah satu kesulitan utama pada pasien

dialisis jangka panjang adalah mortalitas yang berhubungan dengan infark

miokard dan penyakit serebrovaskuler. Hal ini mungkin diakibatkan oleh

faktor risiko yang umum pada pasien uremik, seperti, hipertensi,


37

hiperlipidemi, kalsifikasi vaskuler akibat hipertiroidisme dan curah

jantung yang tinggi akibat anemia atau faktor lain (Suhardjono, 2014).

6. Lama Terapi Hemodialisis

KDOQI merekomendasikan bahwa pasien dengan residual

kidney function rendah (kurang dari 2 ml/menit) menjalani hemodialisis

tiga kali seminggu dengan durasi 3 jam setiap kali hemodialisis. Lama

terapi henodialisis terdiri-dari 3 yaitu, kurang dari 12 bulan, 12-24 bulan,

dan lebih dari 24 bulan (Potter & Perry. 2012).

Pasien yang menjalani hemodialisis selama lebih dari 10 tahun

kemudian melakukan transplantasi ginjal memiliki outcome yang lebih

buruk dibandingkan dengan pasien yang melakukan transplantasi ginjal

yang sebelumnya melakukan terapi hemodialisis dalam waktu yang

lebih singkat (Potter & Perry. 2012).

Anda mungkin juga menyukai