Anda di halaman 1dari 54

“RESUME”

Disusun untuk memenuhi tugas terstuktur


dalam Mata Kuliah Evaluasi Pembelajaran Biologi

Dosen pengampu :
ROSNITA, M.A

Di susun oleh :

NAMA : HAFIZAH KHAIRINA UMAROH


NIM : 0310181031
KELAS : PENDIDIKAN BIOLOGI-2
SEMESTER : IV

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2020
RESUME DARI MATERI KELOMPOK 1
PENILAIAN DALAM EVALUASI

Pengertian Penilaian
Penilaian merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dalam sistem
pendidikan saat ini. Peningkatan kualitas pendidikan dapat dilihat dari nilai-nilai
yang diperoleh siswa. Tentu saja untuk itu diperlukan sistem penilaian yang baik
dan tidak bias. Sistem penilaian yang baik akan mampu memberikan gambaran
tentang kualitas pembelajaran sehingga pada gilirannya akan mampu membantu
guru merencanakan strategi pembelajaran. Bagi siswa sendiri, sistem penilaian
yang baik akan mampu memberikan motivasi untuk selalu meningkatkan
kemampuannya. Dalam sistem evaluasi hasil belajar, penilaian merupakan langkah
lanjutan setelah dilakukan pengukuran. informasi yang diperoleh dari hasil
pengukuran selanjutnya dideskripsikan dan ditafsirkan. Karenanya, menurut
Djemari Mardapi (1999: 8) penilaian adalah kegiatan menafsirkan atau
mendeskripsikan hasil pengukuran. Menurut Cangelosi (1995: 21) penilaian adalah
keputusan tentang nilai. Oleh karena itu, langkah selanjutnya setelah melaksanakan
pengukuran adalah penilaian. Penilaian dilakukan setelah siswa menjawab soal-
soal yang terdapat pada tes. Hasil jawaban siswa tersebut ditafsirkan dalam bentuk
nilai.
Menurut Djemari Mardapi (2004: 18) ada dua acuan yang dapat
dipergunakan dalam melakukan penilaian yaitu acuan norma dan acuan kriteria.
Dalam melakukan penilaian dibidang pendidikan, kedua acuan ini dapat
dipergunakan. Acuan norma berasumsi bahwa kemampuan seseorang berbeda serta
dapat digambarkan menurut kurva distribusi normal. Sedangkan acuan kriteria
berasumsi bahwa apapun bisa dipelajari semua orang namun waktunya bisa
berbeda. Penggunaan acuan norma dilakukan untuk menyeleksi dan mengetahui
dimana posisi seseorang terhadap kelompoknya. Misalnya jika seseorang
mengikuti tes tertentu, maka hasil tes akan memberikan gambaran dimana posisinya
jika dibandingkan dengan orang lain yang mengikuti tes tersebut.
Adapun acuan kriteria dipergunakan untuk menentukan kelulusan
seseorang dengan membandingkan hasil yang dicapai dengan kriteria yang telah
ditetapkan terlebih dahulu. Acuan ini biasanya digunakan untuk menentukan
kelulusan seseorang. Seseorang yang dikatakan telah lulus berarti bisa melakukan
apa yang terdapat dalam kriteria yang telah ditetapkan dan sebaliknya. Acuan
kriteria, ini biasanya dipergunakan untuk ujian-ujian praktek. Dengan adanya acuan
norma atau kriteria, hasil yang sama yang didapat dari pengukuran ataupun
penilaian akan dapat diinterpretasikan berbeda sesuai dengan acuan yang
digunakan. Misalnya, kecepatan kendaraan 40 km/jam akan memiliki interpretasi
yang berbeda apabila kendaraan tersebut adalah sepeda dan mobil.

Ruang Lingkup Aspek Penilaian


Hasil belajar siswa, bila diklasifikasikan berdasarkan taxonomy Bloom
meliputi; aspek kognitif, sikap dan keterampilan. Oleh karena itu, penilaian hasil
belajar juga harus bersifat komprehensif (menyeluruh) meliputi ketiga aspek di atas.
Disamping itu, proses belajar mengajar (pembelajaran) yang ditempuh oleh guru
dan siswa juga harus mendapat perhatian dalam penilaian ini. Sebagai bahan
masukan untuk perbaikan proses pembelajaran berikutnya. Secara umum bentuk-
bentuk soal yang digunakan untuk menilai aspek kognitif dapat diklasifikasikan ke
dalam lima bentuk soal, yaitu :
(a) soal bentuk pilihan ganda,
(b) soal bentuk benar salah,
(c) soal menjodohkan,
(d) uraian /jawaban singkat, dan
(e) soal bentuk uraian bebas (free essay).
Dilihat dari segi cara atau pola jawaban yang diberikan, soal dapat
dibedakan ada soal yang telah disediakan jawabannya, peserta tes tinggal memilih
jawaban tersebut (pilihan ganda, benar salah, menjodohkan) dan ada soal yang tidak
disediakan jawabannya (uraian). Kemudian dilihat dari segi cara pemberian
skornya, dibedakan ke dalam soal yang bersifat objektif dan soal yang bersifat
subjektif. Sikap merupakan bagian dari hasil belajar, dengan demikian sikap dapat
dibentuk, diarahkan, dipengaruhi dan dikembangkan. Sikap seorang siswa
menentukan bagaimana ia bereaksi terhadap situasi yang dihadapi dan menentukan
apa yang dicari dan diperjuangkan dalam kehidupannya. Sikap selalu berkenaan
dengan suatu objek, dan sikap terhadap objek tersebut muncul setelah ia
mempelajari, mengamati dan mengenali objek itu.
Ada dua kemungkinnan sikap individu terhadap suatu objek yang
dipelajarinya, sikap positif atau sikap negatif. Sikap positif muncul apabila individu
itu memandang objek tersebut bernilai dan akan muncul sikap negatif apabila
individu memandang objek tersebut bukan saja tidak bernilai, juga mmerugikan.
Sikap siswa dapat dibentuk melalui pengalaman yang berulang-ulang, imitasi
(peniruan), identifikasi (mengenali secara mendalam) dan sugesti. Untuk
mengukur hasil belajar aspek sikap, paling tepat menggunakan instrumen sekala
sikap. Yaitu sejenis angket tertutup dimana pertanyaan/pernyataan mengandung
sifat nilai-nilai sikap yang menjadi tujuan pengajaran. Salah satu jenis sekala sikap
yang banyak digunakan adalah sekala Likert.
Penilaian penampilan (keterampilan) berkenaan dengan hasil pengajaran
yang berkaitan dengan aspek keterampilan. Seperti halnya dengan jenis penilaian
yang lain, hakekat penilaian penampilan terutama ditentukan oleh karakteristik
hasil belajar yang akan diukur. Penilaian penampilan mengacu kepada prosedur
melakukan suatu kegiatan dan atau mengacu kepada hasil yang dicapai dari suatu
kegiatan. Dengan kata lain, mengukur tingkat kemahiran tingkat keterampilan
seseorang tentang suatu kegiatan bisa dilihat pada saat seseorang sedang
melakukan kegiatan atau dilihat dari hasil/produk dari kegiatan tersebut.
Walaupun pengukuran pengetahuan dapat menggambarkan kemampuan
peserta didik melakukan sesuatu kegiatan dalam situasi tertentu, namun penilaian
penampilan diperlukan untuk menilai kemampuan yang sebenarnya. Meskipun
penilaian penampilan amat diperlukan, namun seringkali diabaikan dalam penilaian
hasil belajar. Hal ini disebabkan:
1. Banyak guru/penilai yang beranggapan bahwa untuk mengukur penampilan
peserta didik cukup dilakukan melalui tes pengetahuan saja. Padahal yang
sesungguhnya, tes pengetahuan hanya tepat jika penilai ingin mengukur apa
yang diketahui peserta didik tentang sesuatu, sedangkan jika ingin mengetahui
sejauhmana kemahiran peserta didik didalam menampilkan suatu kegiatan, yang
harus digunakan adalah tes penampilan. Dengan demikian skor tes pengetahuan
jelas tidak dapat dipakai untuk menggambarkan keterampilan penampilan
peserta didik.
2. Pelaksanaan penilaian relatif lebih sukar dibandingkan penilaian terhadap aspek
pengetahuan. Tes penampilan memerlukan waktu lebih banyak untuk
mempersiapkan dan melaksanakannya serta pemberian skornya sering subjektif
dan membebani.

Mutu hasil penilaian penampilan akan sangat tinggi apabila menempuh


prosedur yang benar dan sistematis. Adapun prosedur penilaian penampilan secara
umum meliputi :
(l) memilih topik / pokok bahasan,
(2) merumuskan tujuan pembelajaran/pelatihan,
(3) mengidentifikasi penampilan yang hendak diukur,
(4) memilih jenis tes yang digunakan,
(5) merumuskan instruksi (suruhan) kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta
didik, dan
(6) membuat format penilaian.
Penilaian terhadap proses seringkali diabaikan, setidaknya tidak mendapat
porsi yang seimbang dengan penilaian terhadap hasil. Padahal pendidikan tidak
berorientasi kepada hasil semata, tetapi juga kepada proses. Terlebih-lebih saat ini
sedang digalakan sistem pembelajaran yang menekankan kepada keterampilan
proses, dimana kegiatan siswa di dalam mencari dan mengolah informasi materi
pelajaran mendapat porsi yang sangat tinggi (student centre). Penilaian terhadap
hasil belajar semata tanpa menilai proses, cenderung siswa menjadi kambing hitam
kegagalan pendidikan. Padahal tidak menutup kemungkinan penyebab kegagalan
itu adalah lemahnya proses pengajaran, dimana guru sebagai penanggung
jawabnya. Tujuan penilaian proses belajar mengajar lebih ditekankan kepada
perbaikan dan pengoptimalan kegiatan belajar mengajar, terutama berkaitan dengan
efisiensi, efektiivitas dan produktivitas kegiatan tersebut dalam mencapai tujuan
pengajaran. Teknik dan instrumen yang sering diigunakan untuk menilai proses ini
adalah teknik observasi.

Langkah-Langkah Pengembangan Penilaian Pembelajaran


Agar dapat memperoleh hasil yang efektif penilaian hasil belajar perlu
direncanakan secara sistematis sehingga jelas abilitas yang hendak diukur, materi,
alat dan interpretasi penilainnya. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam
perencanaan evaluasi hasil belajar yaitu :
(1) pengambilan sampel dan pemilihan butir soal,
(2) tipe tes yang akan digunakan,
(3) aspek yang akan diuji,
(4) format butir soal,
(5) jumlah butir soal,
(6) distribusi tingkat kesukaran butir soal.
Empat langkah pokok dalam pengembangan penilaian pembelajaran yaitu:
1. Menentukan tujuan tes,
2. Mengidentifikasi hasil belajar yang akan diukur,
3. Membuat tabel spesifikasi (kisi-kisi tes), dan
4. Menulis soal yang relevan dengan kisi-kisi tes.

Kemudian dalam menentukan bentuk soal mana yang akan digunakan, perlu
mempertimbngkan hal-hal berikut :
(1) Karakteristik mata pelajaran yang akan diujikan,
(2) tujuan khusus pembelajaran yang harus dicapai siswa,
(3) tipe informasi yang dibutuhkan dari tujuan evaluasi,
(4) usia dan tingkat perkembangan mental siswa yang akan mengikuti tes, dan
(5) besarnya kelompok siswa yang akan mengikuti tes .

Kualitas tes khususnya yang berkaitan dengan validtas dan reliabilitas tes,
banyak ditentukan oleh prosedur yang ditempuh dalam pengembangannya. Mulai
dari penentuan tujuan penilaian, pengambilan sampel bahan tes, penentuan abilitas
yang hendak diukur, penentuan bentuk dan format tes, penggunaan bahasa dan
kalimat yang digunakan dalam penulisan butir soal, teknik pengolahan
dan analisis hasil penilaian. Karakteristik tujuan dan materi pelajaran juga
menentukan bentuk dan format tes yang harus dikembangkan. Mengukur
kemampuan aspek pengetahuan berbeda caranya dengan mengukur kemampuan
aspek keterampilan dan sikap, demikian pula mengukur kemampuan siswa dalam
pelajaran bahasa berbeda dengan mengukur kemampuan siswa dalam pelajaran
ilmu pasti. Adapun langkah-langkah umum pengembangan alat penilaian adalah
sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi kompetensi, pokok bahasan dan sub pokok bahasan
serta tujuan pengajaran

Pada tahap ini guru menginventarisir kompetensi apa yang diharapkan


dimiliki oleh siswa, pokok-pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang telah
diberikan kepada siswa serta tujuan khusus maupun tujuan umum dalam setiap
bidang studi/mata pelajaran dalam satuan waktu tertentu sesuai dengan peruntukan
test. Misalnya, satu catur wulan, satu tahun atau satu satuan jenjang pendidikan
seperti EBTA.

2. Menentukan sample aspek kemampuan yang akan diukur


Dari sekian banyak pokok bahasan/sub pokok dan tujuan pengjaran,
diambil sebagian unuk dikembnagkan ke dalam alat penelitian (test) sesuaui dengan
jumlah soal yang dibutuhkan dan waktu yang tersedia untuk test tersebut.
Penentuan sample tersebut harus dilakukan dengan cermat sehingga dapat mewakili
atau mencerminkan ruang lingkup kemampuan siswa yang sebenarnya.

3. Membuat tabel spesifikasi atau kisi-kisi test


Pada intinya kisi-kisi test ini merupakan gambaran mengenai ruang lingkup
dan isi dari apa yang akan ditestkan, serta memberikan perincian mengenai
penyebaran soal-soal dalam setiap jenjang/aspek kemampuan ke dalam bentuk soal
yang akan dikembangkan (pilihan ganda, menjodohkan, benar salah atau uraian).
Kisi-kisi ini disusun berdasarkan hasil penyampelan ruang lingkup materi test yang
telah ditetapkan pada langkah kedua. Format kisi-kisi beragam bentuknya, namun
pada intinya menyangkut unsur-unsur; identitas sekolah dan bidang studi, tujuan
umum, pokok/sub pokok bahasan yang akan ditestkan, bentuk soal yang akan
dikembangkan, dan jumlah soal atau panjang test. Format kisi-kisi ini biasanya
berbentuk matrik.
4. Penulisan Soal
Mengacu pada kisi-kisi yang telah dibuat, langkah selanjutnya adalah
menulis soal pada setiap pokok bahasan dan setiap unsur kemampuan sesuai dengan
yang telah dientukan dalam kisi-kisi. Setiap pertanyaan yang harus dijawab dan
setiap suruhan yang harus dilakukan oleh setiap peserta test dirumuskan sedemikian
rupa sehingga jelas apa yang ditanyakan dan jawaban apa yang dituntut dari peserta
test. Untuk memperoleh rumusan soal yang baik, setelah soal itu ditulis hendaknya
diadakan review dan revisi sampai merasa yakin bahwa rumusan soal tersebut
sudah tepat menurut kaidah-kaidah penulisan soal.
Bila semua soal telah dirumuskan maka kegiatan selanjutnya menyusun atau
mengorganisir soal-soal tersebut menjadi sebuah test. Penetuan nomor soal
sebaiknya diacak agar skor yang diperoleh dari test tersebut dapat dipercaya.
Langkah-langkah dalam penulisan soal ini meliputi; merumuskan definisi konsep
materi yang akan diteskan, merumuskan definisi oprasional dari konsep yang telah
ditetapkan, menentukan indikator-indikator dan menulis butir soal.

5. Pelaksanaan/Penyajian Test
Setelah penulisan soal selesai dan telah disusun penomorannya serta telah
diperbanyak sesuai dengan jumlah peserta test, kemudian test tersebut disajikan
kepada peserta test. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan test antara
lain : waktu yang harus disediakan untuk mengerjakan test, petunjuk cara
mengerjakan soal, pengaturan posisi tempat duduk siswa, dan menjaga ketertiban
dan ketenagaan suasana kelas, sehimga peserta test dapat mengerjakan soal-soal
tersbut dengan penuh konsentrasi.

6. Pemeriksaan Hasil Test


Hasil jawaban peserta test hendaknya diperiksa dengan cermat dan diberi
skor sesuai dengan petunjuk/pedoman penskoran yang telah ditetapkan. Teknik
penskoran dalam setiap bentuk soal biasanya berbeda-beda. Oleh karena itu
pedoman penskoran harus ditentukan terlebih dahulu. Buatlah kunci jawaban atau
rambu-rambu jawaban yang diinginkan beserta pembobotan skornya, sediakan
waktu dan tenaga yang cukup leluasa sehingga tidak terburu-buru terutama dalam
pemeriksaan hasil test soal bentuk uraian.

7. Pengolahan dan penafsiran hasil test


Skor yang diperoleh dari test dapat diolah dalam berbagai tekhnik
pengolahan tergantung informasi yang dibutuhkan. Seperti rata-rata skor, standar
deviasi, variansi, kecenderungan sentral, menentukan batas lulus, mentransper skor
ke dalam nilai baku (skala 10, skala 4, dan lain-lain). Ada dua pendekatan
penafsiran hasil test yaitu berdasarkan acuan patokan (PAP) dan
pendekatan berdasarkan acuan norma (PAN). Acuan patokan untuk
mendeskripsikan tingkat penguasaan siswa terhadap materi yang ditestkan.,
sedangkan acuan norma untuk melihat kedudukan diantara siswa/peserta test.
Pendekatan yang mana yang akan dipilih tergantung kepada tujuan dari
pelaksanaan test.

8. Penggunaan Hasil Test


Penggunaan hasil test ini sangat erat kaitannya dengan tujuan test tersebut,
apakah untuk tujuan formatif, sumatif, diagnostik, atau penempatan. Hasil penilaian
in sangat berguna terutama sebagai bahan perbaikan program pengajaran, melihat
tingkat ketercapaian kurikulum, memotivasi belajar siswa, bahan laporan kepada
orang tua siswa dan sebagai bahan laporan kepada atasan untuk kepentingan
supervisi dan monotoring program serta sebagai bahan penyusunan progran
berikutnya sebagai tindak lanjut.
RESUME DARI MATERI KELOMPOK 2
PENGUKURAN DALAM EVALUASI

Pengukuran
Pengukuran pada dasarnya merupakan kegiatan penentuan angka bagi suatu
objek secara sistematik. Penentuan angka ini merupakan usaha untuk
menggambarkan karakteristik suatu objek. Selain itu, pengukuran objek juga pada
dasarnya merupakan kuantifikasi suatu objek atau gejala. Semua gejala atau objek
dinyatakan dalam bentuk angka atau skor, dan objek yang diukur bisa berupa fisik
maupun nonfisik. Pengukuran pobjek fisik seperti berat badan, tinggi badan, dan
lain-lain. Sedangkan nonfisikmialnya prestasi belajar, prestasi kerja, dan lain-lain.
Atau dengan kata lain, pengukuran dapat diartikan sebagai suatu proses atau
kegiatan untuk menetukan kuantitas tertentu. Dalam pengukuran harus
menggunakan alat ukur (tes atau non-tes). Alat ukur tersebut harus memiliki derajat
validitas dan reliabilitasi yang tinggi. Dalam bidang pendidikan, psiologi, maupun
variabel-variabel sosial lainnya, kegiatan pengukuran biasanya menggunakan tes.

Pengertian Pengukuran Menurut Pendapat Para Ahli


1. Menurut Yusuf ( 2005 ) :
pengukuran dalam proses belajar merupakan suatu prosedur penerpan angka atau
simbol terhadap suatu objek atau kegiatan maupun kejadian sesuaindengan aturan.

2. Cangelosi ( 1995 ):
berpendapat bahwa pengukuran ( measurement ) adalah suatu proses pengumpuln
data melalui pengamatan empioris untuk mengumpulkan informasi yang relevan
dengan tujuan yang telah ditentukan.
Kedudukan Pengukuran Di Dalam Evaluasi
Evaluasi merupakan suatu proses penetapan untuk menyatakan baik atau
buruk, berhasil atau gagal, sukses atau tidaknya sesuatu. Dengan kata lain evaluasi
adalah proses untuk menentukan kualitas atau mutu sesuatu. Agar dapat dilakukan
proses tersebut, maka harus ada data yang dijadikan dasar untuk penetapannya.
Data harus benar-benar dapat dipercaya. Oleh karena itu diperlukan adanya alat
atau instrumen penilaian yang dipakai dalam kegiatan pengukuran atau dapat pula
disebut sebagai alat ukur. Ada alat ukur yang berupa tes dan ada pula alat ukur yang
tergolong nontes. Agar dapat diperoleh alat penilaian atau alat ukur yang baik perlu
dikembangkan suatu prosedur yang benar akurat agar ketetapan yang diambil tidak
salah.

Prosedur pengembangan alat penilaian yang meliputi:


1. perencanaan penilaian yang memuat maksud dan tujuan penilaian.
2. penyusunan kisi-kisi.
3. penyusunan instrumen/alat ukur.
4. penelahan (review) untuk menilai kualitas alat ukur/instrumen secara
kualitatif, yakni sebelum digunakan.
5. uji coba alat ukur, untuk menyelidiki kesahihan dan keandalan secara empiris.
6. pelaksanaan pengukuran.
7. penilaian yang merupakan interpretasi hasil pengukuran.
8. pemanfaatan hasil penilaian.
Jenis-Jenis Skala Pengukuran
1. Skala Nominal
Skala Nominal adalah skala yang disusun menurut kategorinya atau fungsi
bilangan hanya sebagai simbol untuk membedakan sebuah karakteristik dengan
karakteristik lainnya. Ciri-ciri skala nominal adalah :
• Angka yang tertera hanya bentuk label/kategorisasi
• Tidak dapat dilakukan operasi matematika hitung
• Tidak memiliki nilai nol yang mutlak atau absolut
• Tidak memiliki urutan atau ranking

2. Skala Ordinal
Skala ordinal adalah skala yang didasarkan pada ranking diurutkan dari
jenjang yang lebih tinggi sampai jenjang terendah ataupun sebaliknya. Contoh skala
ordinal adalah mengukur prestasi kejuaraan.

3. Skala Interval
Skala interval adalah skala yang menunjukkan jarak anatara satu dengan
yang lain dan memiliki bobot yang sama. Contoh skala interval adalah kelompok
skor ujian.

4. Skala Rasio
Merupakan pengukuran yang paling tinggi. Skala rasio adalah hasil
pengukuran untuk nilai yang sesungguhnya, bukan kategori seperti pada
skala nominal, ordinal maupun interval.
Kesalahan-Kesalahan Dalam Pengukuran
Adanya ketidaktepatan data atau data yang tidak dapat dipercaya
kebenarannya dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor, di antaranya :

1. Kesalahan pada alat ukur


Seperti halnya dalam Ilmu Sosial pada umumnya, variabel-variabel dalam
bidang pendidikan banyak yang bersifat abstrak fenomenanya. Oleh karena itu
terhadap variabel yang demikian, sukar dilakukan pengukuran secara langsung.
Jadi, tidak seperti mengukur tinggi peserta didik, panjang jangkauannya atau berat
tubuhnya karena fenomenanya benar-benar kongkrit. Guru tidak dapat mengukur
kecakapan subjek belajar dalam mata pelajaran Biologi secara langsung misalnya.
Kita juga tidak dapat secara langsung mengukur intelegensi subjek belajar.
Dengan demikian jika fenomenanya sendiri abstrak, maka hanya dapat
dilakukan pengukuran secara tak langsung. Persoalannya adalah bagaimana kita
mampu menyusun alat ukur yang sahih (valid) dalam arti bahwa hasil pengukuran
mencerminkan apa yang diukur. Kedua, bagaimana kita dapat menghasilkan alat
ukur yang dapat memberikan data yang ajeg atau konsisten (reliable), yakni yang
menghasilkan skor yang sama jika dilakukan pengukuran berulang-ulang. Variabel
yang memiliki fenomena abstrak diukur secara tidak langsung yakni dengan
menetapkan indikan-indikan/indikatorindikator dari variabel yang bersangkutan.
Agar mampu mencari indikan yang tepat, maka variabel yang akan diukur
harus didefinisikan dengan tegas. Misalnya, apa yang dimaksud subjek belajar telah
menguasai Perlindungan Khusus dalam bidang Perawatan Gigi? Apakah subjek
belajar harus hafal semua teks tentang Perlindungan Khusus atau mampu
memecahkan berbagai persoalan perlindungan khusus terhadap gigi, atau terampil
menguasai kemampuan dalam melakukan perlindungan khusus terhadap gigi, atau
ketiganya? Demikian pula apa indikan-indikannya siswa berminat terhadap
Biologi? Adanya definisi akan menegaskan apa sebenarnya indikan-indikan dari
variabel tersebut.
Dengan adanya indikan yang tepat kemudian disusun pertanyaan-
pertanyaan yang sesuai. Persoalan yang muncul adalah apakah pertanyaan yang
dibuat sudah benar-benar mengukur indikan yang dimaksud. Kadang-kadang
variabel yang akan kita ukur bersifat multidooensi. Sementara, dalam melakukan
pengukuran seharusnya dilakukan terhadap satu dimensi atau harus bersifat
unidimensional. Selain itu, suatu variabel harus bersifat unidimensional, dalam arti
jika dilakukan pengukuran maka setiap hasil pengukuran dapat ditentukan letaknya
pada garis yang menggambarkan keseluruhan harga dari variabel yang
bersangkutan.
Dengan kata lain hasil pengukuran harus dapat diplotkan pada garis abstrak
(abstract continuum) yang merupakan garis variabel tersebut. Namun demikian,
pada kenyataannya sering suatu variabel dapat mengandung banyak dimensi,
sehingga pada saat melakukan pengukuran terhadap variabel tersebut harus
mencakup pengukuran terhadap seluruh dimensinya. Untuk itu perlu dicari terlebih
dahulu apa saja dimensi dari variabel yang akan kita ukur. Setelah diperoleh
dimensinya baru kita jabarkan ke dalam indikan-indikar/indikatorindikatornya.

2. Kesalahan dalam proses pengukuran


Kesalahan ini ditimbulkan ketidaktelitian fihak yang melakukan
pengukuran, seperti kesalahan dalam mengoreksi jawaban, kesalahan dalam
memberikan skor. Kesalahan tersebut dalam proses pengukuran juga dapat
diakibatkan karena kesalahan dalam menerapkan alat ukur terhadap pihak yang
akan diukur; maksudnya, apakah pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam alat ukur
tersebut benar-benar cocok untuk pihak yang akan diukur.

3. Kondisi pihak yang diukur


Karena yang diukur adalah manusia, maka situasi pada saat dilakukan
pengukuran akan sangat menentukan skor hasil pengukuran. Hasil pengukuran
daiam kondisi stress akan lain dengan dalam kondisi yang bugar. Anak yang
penakut, dalam kondisi cemas, akan memberikan hasil pengukuran yang lain jika
dilakukan pengukuran terhadapnya pada situasi yang berbeda.
4. Kondisi/situasi selama dilakukan pengukuran
Karena yang diukur seseorang, maka situasi yang gaduh akan menghasilkan
skor yang berbeda dibandingkan dengan situasi yang tertib dan tenang pada waktu
dilakukan pengukuran, khususnya untuk anak-anak yang mudah terganggu oleh
situasi tersebut.

5. Pengaruh pengulangan pengukuran


Untuk keperluan tertentu maka pengukuran dengan menggunakan alat ukur
yang sama dilakukan secara berulang. Jika jarak antara pengukuran pertama dengan
pengukuran uiang terlalu dekat, maka pihak ada efek testing. Efek testing
merupakan efek yang ditimbulkan akibat subjek yang diukur masih memiliki
ingatan yang baik terhadap alat ukur tersebut, sehingga ia masih ingat apa jawaban-
jawaban yang diberikan pada pengukuran pertama. Sebaliknya, jika pengulangan
pengukuran terlampau lama selang waktunya, maka kemampuan seseorang akan
menurun kalau ia tidak memiliki kesempatan untuk berlatih kembali, sehingga akan
terjadi hasil yang berbeda antara pengukuran pertama dengan pengukuran
ulangnya.
RESUME DARI MATERI KELOMPOK 3
EVALUASI

Pengertian Evaluasi
Secara harafiah evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti
penilaian atau penaksiran (John M. Echols dan Hasan Shadily: 1983). Menurut
Stufflebeam, dkk. (1971) mendefinisikan evaluasi sebagai “The process of
delineating, obtaining, and providing useful information for judging decision
alternatives”. Artinya evaluasi merupakan proses menggambarkan, memperoleh,
dan menyajikan informasi yang berguna untuk merumuskan suatu
alternativekeputusan. Guba dan Lincoln (Hamid Hasan, 1988) mendefinisikan
evaluasi itu merupakan suatu proses memberikan pertimbangan mengenai nilai dan
arti sesuatu yang dipertimbangkan. Sesuatu yang dipertimbangkan itu bisa berupa
orang, benda, kegiatan, keadaan, atau sesuatu kesatuan tertentu.
Menurut Bloom dan kawan-kawan dalam buku yang
terkenal, yaitu Handbook Onformative and Summative Evaluation of Stuudent
Learning yang khusus membicarakan evaluasi hasil belajar. Evaluasi adalah
pengumpulan bukti-bukti yang cukup untuk dijadikan dasar dalam menetapkan ada
atau tidak perubahan-perubahan dan tingkat perubahan yang terjadi pada diri anak
didik. Dari penjelasan di atas disimpulkan bahwa evaluasi adalah suatu kegiatan
pengumpulan data mengenai belajar yang dilakukan secara sistematis dan menurut
prosedur tertentu untuk dapat memberikan arti mengenai berbagai aspek belajar
yaitu aspek perolehan dalam belajar.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa evaluasi adalah pemberian nilai
terhadap kualitas sesuatu. Selain dari itu, evaluasi juga dapat dipandang sebagai
proses merencanakan, memperoleh, dan menyediakan informasi yang sangat
diperlukan untuk membuat alternatif-alternatif keputusan. Dengan demikian,
Evaluasi merupakan suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat
keputusan sampai sejauh mana tujuan-tujuan pengajaran telah dicapai oleh siswa
(Purwanto, 2002).
Jenis-Jenis Evaluasi Pembelajaran
Dilihat dari pengertian, tujuan, fungsi, prosedur dan sistem pembelaja
ran, maka pada hakikatnya pembelajaran adalah suatu program. Artinya, evaluasi
yang digunakan dalam pembelajaran adalah evaluasi program, bukan penilaian
hasil belajar. Penilaian hasil belajar hanya merupakan bagian dari evaluasi
pembelajaran. Sebagai suatu program, evaluasi pembelajaran dibagi menjadi lima
jenis, yaitu :
1) Evaluasi perencanaan dan pengembangan. Hasil evaluasi ini sangat diperlukan
untuk mendesain program pembelajaran. Sasaran utamanya adalah memberikan
bantuan tahap awal dalam penyusunan program pembelajaran. Persoalan yang
disoroti menyangkut tentang kelayakan dan kebutuhan. Hasil evaluasi ini dapat
meramalkan kemungkinan implementasi program dan tercapainya keberhasilan
program pembelajaran. Pelaksanaan evaluasi dilakukan sebelum program
sebenarnya disusun dan dikembangkan.
2) Evaluasi monitoring, yaitu untuk memeriksa apakah program pembelajaran
mencapai sasaran secara efektif dan apakah program pembelajaran terlaksana
sebagaimana mestinya.
3) Evaluasi dampak, yaitu untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh suatu
program pembelajaran. Dampak ini dapat diukur berdasarkan kriteria
keberhasilan sebagai indikator ketercapaian tujuan program pembelajaran.
4) Evaluasi efisiensi-ekonomis, yaitu untuk menilai tingkat efisiensi program
pembelajaran. Untuk itu, diperlukan perbandingan antara jumlah biaya,
tenaga dan waktu yang diperlukan dalam program pembelajaran dengan
program lainnya yang memiliki tujuan yang sama.
5) Evaluasi program komprehensif, yaitu untuk menilai program pembelajaran
secara menyeluruh, seperti pelaksanaan program, dampak program, tingkat
keefektifan dan efisiensi.Sedangkan penilaian proses dan hasil belajar, dapat
dibagi menjadi empat jenis, yaitu penilaian formatif, penilaian sumatif, penilaian
diagnostik, dan penilaian penempatan.
Adapun pembagian lain dari jenis-jenis evaluasi pembelajaran dapat dibagi
kedalam bagian-bagian sebagai berikut:
1) Jenis evaluasi berdasarkan tujuan dibedakan atas lima jenis evaluasi:
a. Evaluasi diagnostik, evaluasi yang ditujukan untuk menelaah kelemahan-
kelemahan siswa beserta faktor-faktor penyebabnya.
b. Evaluasi selektif, adalah evaluasi yang digunakan untuk memilih siswa yang
paling tepat sesuai dengan kriteria program kegiatan tertentu.
c. Evaluasi penempatan, adalah evaluasi yang digunakan untuk menempatkan
siswa dalam program pendidikan yang sesuai dengan karakteristik siswa.
d. Evaluasi formatif, adalah evaluasi yang dilaksanakan untuk memperbaiki dan
meningkatkan proses belajar mengajar.
e. Evaluasi sumatif, adalah evaluasi yang dilakukan untuk menentukan hasil dan
kemajuan berkarya siswa.

2) Jenis evaluasi berdasarkan sasaran, di bagi menjadi tiga bagian yaitu:


a. Evaluasi konteks, adalah evaluasi yang ditujukan untuk mengukur konteks
program baik mengenai rasional tujuan, latar belakang program, maupun
kebutuhan –kebutuhan yang muncul dalam perencanaan.
b. Evaluasi input, adalah evaluasi yang ditujukan untuk meihat proses pelaksanaan,
baik mengenai kelancaraan proses, kesesuain dengan rencana, faktor pendukung
dan faktor hambatan yang muncul dalam proses pelaksanaan.
c. Evaluasi hasil atau produk, adalah evaluasi yang diarahkan untuk melihat proses
hasil program yang dicapai sebagai dasar untuk menentukan keputusan akhir,
diperbaiki, dimodifikasi, ditingkatkan, atau dihentikan.

3) Jenis evaluasi berdasarkan lingkup pembelajaran, dibagi menjadi tiga bagian,


yaitu sebagai berikut:
a. Evaluasi program pembelajaran, adalah evaluasi yang mencakup terhadap tujuan
pembelajaran, isi program pembelajaran, starategi belajar, aspek-aspek program
pemebelajaran yang lain.
b. Evaluasi proses pembelajaran, adalah evaluasi yang mencakup kesesuain antara
proses pembelajaran dengan garis besar pembelajaran yang ditetepkan, kemampuan
guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, kemampuan siswa mengikuti
proses pembelajaran.
c. Evaluasi hasil pembelajaran, adalah evaluasi yang mencakup tingkat penguasaan
siswa terhadap tujuan pembelajaran yang ditetapkan, baik umum maupun khusus,
ditinjau dari aspek afektif dan psikomotorik.

Langkah-Langkah Evaluasi Pembelajaran :


Adapun langkah-langkah dalam pelaksanaan evaluasi pembelajaran adalah
sebagai berikut:
a) Langkah Perencanaan
Tidak akan berlebihan kiranya kalau diketahui di sini bahwa, sukses yang akan
dapat dicapai oleh suatu program evaluasi telah turut ditentukan oleh memadai atau
tidaknya langkah-langkah yang dilaksanakan dalam perencanaan ini. Sukses atau
tidaknya suatu program evaluasi pada hakikatnya turut menentukan oleh baik
tidaknya perencanaan. Makin sempurna kita melakukan langkah pokok
perencanaan ini makin sedikitlah kesulitan-kesulitan yang akan kita jumpai dalam
melaksanakan langkah-langkah berikutnya.
b) Langkah Pengumpulan Data
Soal pertama yang kita hadapi dalam melakukan langkah ini ialah
menentukandata apa saja yang kita butuhkan untuk melakukan tugas evaluasi yang
kita butuhkan untuk melakukan tugas evaluasi yang kita hadapi dengan baik. Kalau
kita rangkumkan kembali uraiannya maka kita dapat jalan pikiran yaitu rumusan
tentang tugas kita sebagai seorang pengajar dalam suatu usaha pendidikan
menghasilkan ketentuan-ketentuan tentang tujuan yang harus kita capai dengan
materi yang kita ajarkan.
c) Langkah Penelitian Data
Data yang telah terkumpul harus disaring lebih dahulu sebelum diolah lebih
lanjut, proses penyaringan ini kita sebut penelitian data atau verifikasi data dan
maksudnya ialah untuk memisahkan data yang “baik” yang akan dapat memperjelas
gambaran yang akan kita peroleh mengenai individu yang sedang kita evaluasi, dari
data yang kurang baik yang hanya akan merusak atau mengaburkan gambaran yang
akan kita peroleh apa bila turut kita olah juga. Oleh karna itu kita selalu menyadari
baik buruknya setiap data yang kita pergunakan untuk memperoleh data langsung
dari orang yang bersangkutan oleh karena itu dalam evaluasi yang baik, kkita selalu
berusaha untuk hanya mempergunakan alat-alat yang sebaik-baiknya yang tersedia
bagi kita.

d) Langkah-Langkah Pengolahan Data


Langkah pengolahan data dilakukan untuk memberikan “makna” terhadap
data yang pada kita. Jadi hal ini berarti bakwa tanpa kita olah, dan diatur lebih dulu
data itu sebenarnya tidak dapat menceritakan suatu apapun kepada kita. Sering
sekali seorang memiliki data yang cukup lengkap tentang seorang murid atau
sekelompok murid yang sedang dievalusinya tetapi karena ia kurang pandai
mengolah data yang dimilikinya tadi tidak banyaklah arti atau makna yang dapat
dikeluarkannya dari datanya. Fungsi pengolahan data dalam proses evaluasi yang
perlu disadari benar-benar pada tarafmemperoleh gambaran yang selengkap-
lengkapnya tentang diri orang yang sedang di evaluasi.

e) Langkah Penafsiran Data


Kalau kita perhatikan segenap uraian yang telah di sajikan mengenai
langkah data tadi akan segera tampak pada kita bahwa memisahkan langkah
penafsiran dari langkah pengolahan sebenarnya merupakan suatu pemisahan yang
terlalu dibuat-buat. Memang dalam praktek kedua langkah ini tidak dipisah-
pisahkan kalau kita melakukan suatu pengolahan terhadap sekumpulan data,
dengan sendirinya kita akan memperoleh “tafsir” makna data yang kita hadapi.
f) Langkah Meningkatkan Daya Serap Peserta Didik
Hasil pemikiran memiliki fungsi utama untuk memperbaiki tingkat
penguasaan peserta didik. Hasil pengukuran secara umum dapat dikatakan bisa
membantu, memperjelas tujuan instruksional, menentukan kebutuhan peserta didik,
dan menentukan keberhasilan peserta didik dalam suatu proses pembelajaran.

g) Laporan Hasil Penelitian


Pada akhir penggal waktu proses pembelajaran, antara lain akhir catur wulan,
akhir semester, akhir tahun ajaran, akhir jenjang per sekolahan, diperlukan suatu
laporan kemajuan peserta didik, yang selanjutnya merupakan laporan kemajuan
sekolah. Laporan ini akan memberikan bukti sejauh mana pendidikan yang
diharapkan oleh anggota masyarakat khususnya orang tua peserta didik dapat
tercapai.
RESUME DARI MATERI KELOMPOK 4
FUNGSI DAN TUJUAN EVALUASI PENDIDIKAN

Fungsi Evaluasi Pendidikan


Secara umum, evaluasi sebagai suatu tindakan atau proses setidak-tidaknya
memiliki tiga macam fungsi pokok, yaitu:
1. Menguukur kemajuan
2. Penunjang penyusunan rencana
3. Memperbaiki atau melakukan penyempurnaan kembali.

Jika dilihat dari fungsi diatas setidaknya ada dua macam kemungkinan hasil
yang diperoleh dari kegiatan evaluasi , yaitu:
a. Hasil evaluasi yang diperoleh dari kegiatan evaluasi itu ternyata mengembirakan,
sehingga dapat memberikan rasa lega bagi evaluator, sebab tujuan yang telah
ditentukan dapat dicapai sesuai dengan yang direncanakan.
b. Hasil evaluasi itu ternyata tidak mengembirakan atau bahkan mengkhawatirkan,
dengan alasan bahwa berdsar hasil evaluasi ternyata dijumpai adanya
penyimpangan, hambatan, atau kendala, sehingga mengharuskan evaluator
untuk bersikap waspada. Ia perlu memikirkan dan melakukan pengkajian ulang
terhadap rencana yang telah disusun, atau mengubah dan memperbaiki cara
pelaksanaannya. Berdasar data hasil evaluasi itu selanjutnya dicari metode-
metode lain yang dipandang lebih tepat dan lebih sesuai dengan keadaan dan
keperluan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pungsi evaluasi itu memiliki
fungsi: menunjang penyusunan rencana. Sedangkan secara khusus, fungsi evaluasi
dalam dunia pendidikan dapat dilihat dari 3 segi:

1) Segi psikologis, kegiatan evaluasi dalam dunia pendidikan disekolah dapat


disoroti dari 2 sisi, yaitu sisi peserta didik dan dari sisi pendidik.
• Bagi peserta didik, evaluasi pendidikan secara psikologis akan memberikan
pedoman atau pegangan batin kepada mereka untuk mengenal kapasitas dan
status dirinya masing-masing ditengah-tengah kelompok atau kelasnya.
• Bagi pendidik, evaluasi pendidikan akan memberikan kapasitas atau
ketepatan hati kepada diri pendidik tersebut, sudah sejauh manakah kiranya
usaha yang telah dilakukannya selama ini yang telah membawa hasil,
sehingga secara psikologis ia memiliki pedoman guna menentukan langkah-
langkah apa saja perlu dilakukan selanjutnya.

2) Segi didaktik.
Bagi peserta didik, evaluasi pendidikan secara didaktik(khususnya evaluasi
hasil belajar) akan dapat memberikan dorongan (motivasi) kepada mereka untuk
dapat memperbaiki, meningkatkan, dan mempertahankan prestasinya. Bagi
pendidik, evaluasi pendidikan secara didaktik itu setidak-tidaknya memiliki 5
macam fungsi, yaitu:
a. Memberikan landasan untuk menilai hasil usaha (prestasi) yang telah dicapai
oleh peserta didiknya.
b. Memberikan informasi yang sangat berguna, guna mengetahui posisi masing-
masing peserta didik di tengah-tengah kelompoknya.
c. Memberikan bahan yang penting untuk memilih dan kemudian menetapkan
status peserta didik.
d. Memberikan pedoman untuk mencari dan menemukan jalan keluar bagi peserta
didik yang memang memerlukannya.
e. Memberikan petunjuk tentang sejauh manakah program pengajaran yang telah
ditetukan dapat dicapai.
3) Segi administratif, evaluasi pendidikan setidak-tidaknya memiliki 3 macam
fungsi:
a. Memberikan laporan
b. Memberikan bahan-bahan keterangan (data)
c. Memberikan gambaran.

Jika ditinjau dari berbagai segi dalam sistem pendidikan, maka fungsi evaluasi
ada beberapa hal :
1. Evaluasi berfungsi selektif
Dengan cara mengadakan evaluasi guru mempunyai cara untuk
mengadakan seleksi terhadap siswanya. Seleksi itu sendiri mempunyai berbagai
tujuan, antara lain :
a) Untuk memilihg siswa yang dapat diterima di sekolah tertentu.
b) Untuk memilih siswa yang dapat naik ke kelas atau tingkat berikutnya
c) Untuk memilih siswa yang seharusnya mendapat beasiswa.
d) Untuk memilih siswa yang sudah berhak meninggalkan sekolah dan sebagainya

2. Evaluasi berfungsi diagnostic


Apabila alat yang digunakan dalam evaluasi cukup memenuhi persyaratan,
maka dengan melihat hasilnya, guru akan mengetahui kelemahan siswa. Di
samping itu diketahui pula sebab-musabab kelemahan itu.

3. Evaluasi berfungsi sebagai penempatan


System baru yang kini banyak dipipulerkan di negeri barat, adalah system
belajar sendiri. Belajar sendiri dapat dilakukan dengan cara mempelajari sebuah
paket belajar, baik itu berbentuk modul maupun paket belajar yang lain. Sebagai
alasan dari timbulnya system ini adalah adanya pengakuan yang besar terhadap
kemampuan individual. Akan tetapi disebabkan keterbatasan sarana dan tenaga,
pendidikan, yang bersifat individual kadang-kadang sukar sekali di laksanakan.
Pendekatan yang lebih bersifat melayani perbedaan kemampuan, adalah pengajaran
secara kelompok. Untuk dapat menentukan dengan pastidi kelompok mana seorang
siswa harus ditempatkan, digunakan suatu evaluasi. Sekelompok siswa yang
mempunyai hasil evaluasi yang sama, akan berada dalam kelompok yang sama
dalam belajar.

4. Evaluasi berfungsi sebagai pengukuran keberhasilan.


Fungsi keempat dari evaluasi ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh
mana suatu program berhasil diterapkan. Keberhasilan program ditentukan oleh
beberapa factor guru, metode mengajar, kurikulum, sarana dan system kurikulum.

Tujuan Evaluasi Pendidikan


Tujuan evaluasi adalah untuk melihat dan mengetahui proses yang terjadi
dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran memiliki 3 hal penting yaitu,
input, transformasi dan output. Input adalah peserta didik yang telah dinilai
kemampuannya dan siap menjalani proses pembelajaran. Transformasi adalah
segala unsur yang terkait dengan proses pembelajaran yaitu ; guru, media dan bahan
beljar, metode pengajaran, sarana penunjang dan sistem administrasi. Sedangkan
output adalah capaian yang dihasilkan dari proses pembelajaran. Jika kita ingin
melakukan kegiatan evaluasi, terlepas dari jenis evaluasi apa yang digunakan, maka
guru harus mengetahui dan memahami terlebih dahulu tentang tujuan dan fungsi
evaluasi. Bila tidak, maka guru akan mengalami kesulitan merencanakan dan
melaksanakan evaluasi. Hampir setiap orang yang membahas evaluasi pula tentang
tujuan dan fungsi evaluasi.
Tujuan evaluasi pembelajaran adalah untuk mengetahui keefektifan dan
efisiensi sistem pembelajaran, baik yang menyangkut tentang tujuan materi,
metode, media sumber belajar, lingkungan maupun sistem penilaian itu sendiri.
Sedangkan tujuan khusus evaluasi pembelajaran disesuaikan dengan jenis evaluasi
pembelajaran itu sendiri, seperti evaluasi perencanaan dan pengembangan, evaluasi
monitoring, evaluasi dampak, evaluasi efisinensi-ekonomi, dan evaluasi program
komprehensif.
Dalam konteks yang lebih lulas lagi, Gilbert Sax (1980 : 28) mengemukakan
tujuan evaluasi dan pengukuran adalah untuk “selection, placement, diagnosis and
remediation, feedback : norm-referenced and criterion-referenced interpretation,
motivation and guidance of learning, program and curriculum interpretation,
formative and summative evaluation, and theory development.” Tujuan utama
melakukan evaluasi dalam proses belajar mengajar adalah untuk mendapatkan
informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian tujuan instruksional oleh siswa
sehingga dapat diupayakan tindak lanjutnya. Tindak lanjut termaksud merupakan
fungsi evaluasi dan dapat berupa :
1. Penempatan pada tempat yang tepat
2. Pemberian umpan balik
3. Diagnosis kesulitan belajar siswa
4. Penentuan kelulusan
RESUME DARI MATERI KELOMPOK 5
PENILAIAN RANAH KOGNITIF

Hakikat Penilaian
Penilaian merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin dipisahkan dari
kegiatan pembelajaran secara umum. Semua kegiatan pembelajaran yang dilakukan
harus selalu diikuti atau disertai dengan kegiatan penilaian. Kiranya merupakan
suatu hal yang tidak lazim jika terjadi adanya kegiatan pembelajaran yang
dilakukan seorang guru di kelas tanpa pernah diikuti oleh adanya suatu penilaian.
Tanpa mengadakan suatu penilaian, guru tidak mungkin dapat menilai dan
melaporkan hasil pembelajaran peserta didik secara objektif.
Pada hakikatnya kegiatan penilaian yang dilakukan tidak semata-mata untuk
meraih hasil belajar peserta didik saja, melainkan juga berbagai faktor yang lain,
antara lain kegiatan pembelajaran yang dilakukan itu sendiri. Artinya, berdasarkan
informasi yang diperoleh dari penilaian terhadap hasil belajar peserta didik itu dapat
pula dipergunakan sebagai salah satu sarana untuk menilai kualitas pembelajaran
yang dilakukan. Selain itu, penilaian juga dapat dimanfaatkan sebagai umpan balik
kegiatan pembelajaran yang selanjutnya.
Pelaksanaan penilaian yang dilakukan secara benar seseuai dengan rambu-
rambu dalam banyak hal akan menjamin peningkatan kualitas pembelajaran. Data
hasil penilaian amat dibutuhkan untuk menyusun dan mengembangkan program
pembelajaran selanjutnya. Penilaian hasil pembelajaran merupakan bagian integral
dari keseluruhan proses belajar mengajar. Semua komponen sistem pembelajaran
saling memengaruhi dan menentukan satu dengan yang lain sehingga jika semua
komponen berjalan dengan baik. Berdasarkan hasil kegiatan penilaian sebelumnya
kita akan mengetahui kompetensi apa yang sudah, belum, atau kurang dikuasai
peserta didik dan karenanya dapat dilakukan tindakan selanjutnya yang sesuai.
Penilaian hasil belajar peserta didik memperhatikan prinsip-prinsip
penilaian sebagai berikut:
1. Sahih, berarti penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan
yang diukur.
2. Objektif, berarti penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas,
tidak dipengaruhi subjektivitas penilai.
3. Adil, berarti penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik
karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku,
budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender.
4. Terpadu, berarti penilaian merupakan salah satu komponen yang tidak
terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.
5. Terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan
keputusan dapat diketahui oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
6. Menyeluruh dan berkesinambungan, berarti penilaian mencakup semua aspek
kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai, untuk
memantau perkembangan kemampuan peserta didik.
7. Sistematis, berarti penilaian dilakukan secara terencana dan bertahap dengan
mengikuti langkah-langkah baku.
8. Beracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian
kompetensi yang ditetapkan. dan
9. Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik,
prosedur, maupun hasilnya.
Aspek Ranah Kognitif
Ranah Kognitif berisi tentang perilaku-perilaku aspek intelektual, seperti
pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. Indikator kognitif proses
merupakan perilaku (behavior) siswa yang diharapkan muncul setelah melakukan
serangkaian kegiatan untuk mencapai kompetensi yang diharapkan. Selain ranah
afektif dan psikomotorik, hasil belajar yang perlu diperhatikan adalah dalam ranah
kognitif. Seseorang dapat dikatakan telah belajar sesuatu dalam dirinya apabila
telah terjadi perubahan, akan tetapi tidak semua perubahan terjadi.
Hasil belajar merupakan pencapaian tujuan belajar dan hasil belajar sebagai
produk dari proses belajar. Perilaku ini sejalan dengan keterampilan proses sains,
tetapi yang karakteristiknya untuk mengembangkan kemampuan berfkir siswa.
Indikator kognitif produk berkaitan dengan perilaku siswa yang diharapkan tumbuh
untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan. Indikator kognitif produk
disusun dengan kompetensi yang telah ditetapkan. Indikator kognitif produk
disusun dengan menggunakan kata kerja operasional aspek kognitif. Dalam
Taksonomi Bloom yang direvisi oeh David R. Krathwohl di jurnal Theory into
Practice, aspek kognitif dibedakan atas enam jenjang yang diurutkan seperti gambar
berikut :
Penjabaran keenam tingkat tersebut yaitu:
1. Mengingat (Remembering), pada tahap ini menuntut siswa untuk mampu
mengingat (recall) berbagai informasi yang telah diterima sebelumnya, misalnya
fakta, rumus, dan lain sebagainya. Mengingat merupakan dimensi yang berperan
penting dalam proses pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) dan
pemecahan masalah (problem solving). Kemampuan ini dimanfaatkan untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan yang jauh lebih kompleks.Mengingat
meliputi mengenali (recognition) dan memanggil kembali (recalling) Mengenali
berkaitan dengan mengetahui pengetahuan masa lampau yang berkaitan dengan
hal-hal yang konkret, misalnya tanggal lahir, alamat rumah, dan usia, sedangkan
memanggil kembali (recalling) adalah proses kognitif yang membutuhkan peng
etahuan masa lampau secara cepat dan tepat.

2. Memahami/mengerti (Understanding), memahami/mengerti berkaitan dengan


membangun sebuah pengertian dari berbagai sumber seperti pesan, bacaan dan
komunikasi. Memahami/mengerti berkaitan dengan aktivitas
mengklasifikasikan (classification) dan membandingkan (comparing).
Mengklasifikasikan akan muncul ketika seorang siswa berusaha mengenali
pengetahuan yang merupakan anggota dari kategori pengetahuan
tertentu. Mengklasifikasikan berawal dari suatu contoh atau informasi yang
spesifik kemudian ditemukan konsep dan prinsip umumnya. Membandingkan
merujuk pada identifikasi persamaan dan perbedaan dari dua atau lebih obyek,
kejadian, ide, permasalahan, atau situasi. Membandingkan berkaitan dengan
proses kognitif menemukan satu persatu ciri-ciri dari obyek yang
diperbandingkan.

3. Menerapkan (Applying), menerapkan menunjuk pada proses kognitif


memanfaatkan atau mempergunakan suatu prosedur untuk melaksanakan
percobaan atau menyelesaikan permasalahan. Menerapkan berkaitan dengan
dimensi pengetahuan prosedural (procedural knowledge). Menerapkan meliputi
kegiatan menjalankan prosedur (executing) dan mengimplementasikan
(implementing). Menerapkan merupakan proses yang kontinu, dimulai dari
siswa menyelesaikan suatu permasalahan menggunakan prosedur baku atau
standar yang diketahui. Kegiatan ini berjalan teratur sehingga siswa benar-benar
mampu melaksanakan prosedur ini dengan mudah, kemudian berlanjut pada
munculnya permasalahan-permasalahan baru yang asing bagi siswa, sehingga
siswa dituntut untuk mengenal dengan baik permasalahan tersebut dan memilih
prosedur yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan.

4. Menganalisis. Merupakan memecahkan suatu permasalahan dengan


memisahkan tiap-tiap bagian dari permasalahan dan mencari keterkaitan dari
tiap-tiap bagian tersebut dan mencari tahu bagaimana keterkaitan tersebut dapat
menimbulkan permasalahan. Menganalisis berkaitan dengan proses
kognitif memberi atribut (attributeing) dan mengorganisasikan (organizing).
Memberi atribut akan muncul apabila siswa menemukan permasalahan dan
kemudian memerlukan kegiatan membangun ulang hal yang
menjadi permasalahan. Mengorganisasikan menunjukkan identifikasi unsur-
unsur hasil komunikasi atau situasi dan mencoba mengenali bagaimana unsur-
unsur ini dapat menghasilkan hubungan yang baik.

5. Mengevaluasi. Hal ini berkaitan dengan proses kognitif memberikan penilaian


berdasarkan kriteria dan standar yang sudah ada. Kriteria yang biasanya
digunakan adalah kualitas, efektivitas, efisiensi, dan konsistensi.

6. Menciptakan (Creating), menciptakan mengarah pada proses kognitif


meletakkan unsur-unsur secara bersama-sama untuk membentuk kesatuan yang
koheren dan mengarahkan siswa untuk menghasilkan suatu produk baru dengan
mengorganisasikan beberapa unsur menjadi bentuk atau pola yang berbeda dari
sebelumnya. Menciptakan sangat berkaitan erat dengan pengalaman belajar
siswa pada pertemuan sebelumnya.
Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang
mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai
pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk
menghubungkan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur
yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Apabila melihat kenyataan
yang ada dalam sistem pendidikan yang diselenggarakan, pada umumnya baru
menerapkan beberapa aspek kognitif tingkat rendah, seperti pengetahuan,
pemahaman dan sedikit penerapan. Sedangkan tingkat analisis, sintesis dan evaluasi
jarang sekali diterapkan. Apabila semua tingkat kognitif diterapkan secara merata
dan terus-menerus maka hasil pendidikan lebih baik.

Penilaian Kognitif
Penilaian kognitif merupakan penilaian untuk mengukur kemampuan
peserta didik berupa pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif,
serta kecakapan berpikir tingkat rendah sampai tinggi. Penilaian ini berkaitan
dengan ketercapaian Kompetensi Dasar pada KI-3 yang dilakukan oleh guru mata
pelajaran. Penilaian kognif dilakukan dengan berbagai teknik penilaian. Pendidik
menetapkan teknik penilaian sesuai dengan karakteristik kompetensi
yang akan dinilai. Penilaian dimulai dengan perencanaan pada saat menyusun
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan mengacu pada silabus.
Penilaian kognitif, selain untuk mengetahui apakah peserta didik telah
mencapai ketuntasan belajar, juga untuk mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan
penguasaan pengetahuan peserta didik dalam proses pembelajaran (diagnostic).
Oleh karena itu, pemberian umpan balik (feedback) kepada peserta didik oleh
pendidik merupakan hal yang sangat penting, sehingga hasil penilaian dapat segera
digunakan untuk perbaikan mutu pembelajaran. Ketuntasan belajar untuk
pengetahuan ditentukan oleh satuan pendidikan dengan mempertimbangkan batas
standar minimal nilai Ujian Nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara
bertahap satuan pendidikan terus meningkatkan kriteria ketuntasan belajar
dengan mempertimbangkan potensi dan karakteristik masing-masing satuan
pendidikan sebagai bentuk peningkatan kualitas hasil belajar.
Teknik Penilaian Kognitif
1. Tes Tertulis
Instrumen tes tulis umumnya menggunakan soal pilihan ganda dan soal
uraian. Soal tes tertulis yang menjadi penilaian autentik adalah soal-soal yang
menghendaki peserta didik merumuskan jawabannya sendiri, seperti soal-soal
uraian. Soal-soal uraian menghendaki peserta didik mengemukakan atau
mengekspresikan gagasannya dalam bentuk uraian tertulis dengan menggunakan
kata-katanya sendiri, misalnya mengemukakan pendapat, berpikir logis, dan
menyimpulkan.
Pada pembelajaran kimia yang menggunakan pendekatan scientific,
instrumen penilaian harus dapat menilai keterampilan berpikir tingkat tinggi
(HOTS, “Higher Order thinking Skill”) menguji proses analisis, sintesis, evaluasi
bahkan sampai kreatif. Untuk menguji keterampilan berpikir peserta didik, soal-
soal untuk menilai hasil belajar Kimia dirancang sedemikian rupa sehingga peserta
didik menjawab soal melalui proses berpikir yang sesuai dengan kata kerja
operasional dalam taksonomi Bloom. Misalnya untuk menguji ranah analisis
peserta didik pada pembelajaran Kimia, guru dapat membuat soal dengan
menggunakan kata kerja operasional yang termasuk ranah analisis seperti
menganalisis, mendeteksi, mengukur, dan menominasikan. Ranah evaluasi
contohnya membandingkan, menilai, memprediksi, dan menafsirkan.

Bentuk Soal
Bentuk soal yang akan dibahas untuk penilaian hasil belajar kimia meliputi
soal pilihan ganda, soal uraian, lembar observasi (lembar pengamatan/check list)
untuk tes uji petik kerja.
Soal Pilihan Ganda
Soal pilihan ganda terdiri dari bagian pokok soal dan pilihan jawaban.
Pada pilihan jawaban terdiri dari pilihan yang benar dan pengecoh. Pengecoh
yang baik adalah pengecoh yang tingkat kerumitan atau tingkat kesederhanaan,
serta panjang-pendeknya relatif sama dengan kunci jawaban. Kaidah penulisan
soal pilihan ganda harus memperhatikan materi soal dan konstruksinya. Materi soal
sebaiknya mengikuti kriteria penulisan soal seperti berikut ini.
1) Soal harus sesuai dengan indikator. Artinya soal harus
menanyakan perilaku dan materi yang hendak diukur sesuai dengan rumusan
indicator dalam kisi-kisi.
2) Pengecoh harus bertungsi, pengecoh dianggap yang berfungsi dengan baik
dipilih lebih banyak oleh kelompok rendah
3) Setiap soal harus mempunyai satu jawaban yang benar. Artinya, satu soal hanya
mempunyai satu kunci jawaban.

Konstruksi soal sebaiknya mengikuti kriteria penulisan soal seperti berikut ini :
1) Pokok soal harus dirumuskan secara jelas dan tegas. Kemampuan atau materi
yang hendak diukur/ditanyakan harus jelas. Setiap butir soal hanya mengandung
satu persoalan/gagasan
2) Rumusan pokok soal dan pilihan jawaban harus merupakan pernyataan yang
diperlukan saja.
3) Pokok soal tidak memberi petunjuk ke arah jawaban yang benar.
4) Pokok soal tidak mengandung pernyataan yang bersifat negatif ganda.
5) Pokok soal tidak memberi petunjuk ke arah jawaban yang benar dan logis
ditinjau dari segi materi. Semua pilihan jawaban harus berasal dari konsep yang
sama seperti yang ditanyakan pokok soal, penulisannya harus setara, dan semua
pilihan jawaban harus berfungsi.
6) Panjang rumusan pilihan jawaban harus relatif sama.
7) Pilihan jawaban jangan mengandung pernyataan “Semua pilihan jawaban di atas
salah" atau "Semua pilihan jawaban di atas benar".
8) Pilihan jawaban yang berbentuk angka atau waktu harus disusun berdasarkan
urutan besar kecilnya nilai angka atau kronologis.
9) Gambar, grafik, tabel, diagram, wacana, dan sejenisnya yang terdapat pada soal
harus jelas dan berfungsi.
10) Rumusan pokok soal tidak menggunakan ungkapan atau kata yang bermakna
tidak pasti seperti: sebaiknya, umumnya, kadang-kadang.
11) Butir soal jangan bergantung pada jawaban soal sebelumnya.

Soal Uraian
Soal bentuk uraian yaitu soal yang menuntut peserta didik untuk
mengorganisasikan gagasan dengan cara mengemukakan atau mengekspresikan
gagasan secara tertulis dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Kaidah
penulisan soal uraian sebaiknya memperhatikan beberapa hal baik dari materi soal
maupun konstruksinya. Kriteria soal uraian adalah sebagai berikut :
1) Soal harus sesuai dengan indikator.
2) Setiap pertanyaan harus diberikan batasan jawaban yang diharapkan.
3) Materi yang ditanyakan harus sesuai dengan tujuan pengukuran.
4) Materi yang ditanyakan harus sesuai dengan jenjang atau tingkat kelas.

Konstruksi soal sebaiknya mengikuti kriteria penulisan soal seperti berikut ini.
1) Menggunakan kata tanya/perintah yang menuntut jawaban terurai.
2) Ada petunjuk yang jelas tentang cara mengerjakan soal.
3) Setiap soal harus ada pedoman penskorannya.
4) Tabel, gambar, grafik, peta, atau yang sejenisnya disajikan dengan
jelas, terbaca, dan berfungsi.
2. Observasi Terhadap Diskusi, Tanya Jawab dan Percakapan
Penilaian terhadap pengetahuan peserta didik dapat dilakukan melalui
observasi terhadap diskusi, tanya jawab, dan percakapan. Teknik ini adalah
cerminan dari penilaian autentik. Ketika terjadi diskusi, guru dapat mengenal
kemampuan peserta didik dalam kompetensi pengetahuan (fakta, konsep, prosedur)
seperti melalui pengungkapan gagasan yang orisinal, kebenaran konsep, dan
ketepatan penggunaan istilah/fakta/prosedur yang digunakan pada waktu
mengungkapkan pendapat, bertanya, atau pun menjawab pertanyaan. Hasil
observasi digunakan untuk mendeteksi kelemahan/kekuatan penguasaan
kompetensi pengetahuan dan memperbaiki proses pembelajaran khususnya
pada indikator yang belum muncul.

3. Penugasan
Penugasan adalah penilaian yang dilakukan oleh pendidik yang dapat
berupa pekerjaan rumah baik secara individu ataupun kelompok sesuai
dengan karakteristik tugasnya. Instrumen penugasan berupa pekerjaan rumah
dan/atau projek yang dikerjakan secara individu atau kelompok sesuai
dengan karakteristik tugas.
RESUME DARI MATERI KELOMPOK 6
PENILAIAN RANAH AFEKTIF

Hakikat Pembelajaran Afektif


Hasil belajar menurut Bloom (1976) mencakup prestasi belajar, kecepatan
belajar, dan hasil afektif. Andersen (1981) sependapat dengan Bloom bahwa
karakteristik manusia meliputi cara yang tipikal dari berpikir, berbuat, dan
perasaan. Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan
dengan ranah psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif.
Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, atau
nilai. Ketiga ranah tersebut merupakan karakteristik manusia sebagai hasil belajar
dalam bidang pendidikan. Menurut Popham (1995), ranah afektif menentukan
keberhasilan belajar seseorang. Orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran
tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang yang
berminat dalam suatu mata pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran
yang optimal. Oleh karena itu semua pendidik harus mampu membangkitkan minat
semua peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Selain itu
ikatan emosional sering diperlukan untuk membangun semangat kebersamaan,
semangat persatuan, semangat nasionalisme, rasa sosial, dan sebagainya. Untuk itu
semua dalam merancang program pembelajaran, satuan pendidikan harus
memperhatikan ranah afektif.
Keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotor dipengaruhi
oleh kondisi afektif peserta didik. Peserta didik yang memiliki minat belajar dan
sikap positif terhadap pelajaran akan merasa senang mempelajari mata pelajaran
tertentu, sehingga dapat mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Walaupun para
pendidik sadar akan hal ini, namun belum banyak tindakan yang dilakukan pendidik
secara sistematik untuk meningkatkan minat peserta didik. Oleh karena itu untuk
mencapai hasil belajar yang optimal, dalam merancang program pembelajaran dan
kegiatan pembelajaran bagi peserta didik, pendidik harus memperhatikan
karakteristik afektif peserta didik.
Tingkatan Ranah Afektif
Menurut Krathwohl (1961) bila ditelusuri hampir semua tujuan kognitif
mempunyai komponen afektif. Dalam pembelajaran sains, misalnya, di dalamnya
ada komponen sikap ilmiah. Sikap ilmiah adalah komponen afektif. Tingkatan
ranah afektif menurut taksonomi Krathwohl ada lima, yaitu:

1. Tingkat receiving
Pada tingkat receiving atau attending, peserta didik memiliki keinginan
memperhatikan suatu fenomena khusus atau stimulus, misalnya kelas, kegiatan,
musik, buku, dan sebagainya. Tugas pendidik mengarahkan perhatian peserta didik
pada fenomena yang menjadi objek pembelajaran afektif. Misalnya pendidik
mengarahkan peserta didik agar senang membaca buku, senang bekerjasama, dan
sebagainya. Kesenangan ini akan menjadi kebiasaan, dan hal ini yang diharapkan,
yaitu kebiasaan yang positif.

2. Tingkat responding
Responding merupakan partisipasi aktif peserta didik, yaitu sebagai bagian
dari perilakunya. Pada tingkat ini peserta didik tidak saja memperhatikan fenomena
khusus tetapi ia juga bereaksi. Hasil pembelajaran pada ranah ini menekankan pada
pemerolehan respons, berkeinginan memberi respons, atau kepuasan dalam
memberi respons. Tingkat yang tinggi pada kategori ini adalah minat, yaitu hal-hal
yang menekankan pada pencarian hasil dan kesenangan pada aktivitas khusus.
Misalnya senang membaca buku, senang bertanya, senang membantu teman,
senang dengan kebersihan dan kerapian, dan sebagainya.
3. Tingkat valuing
Valuing melibatkan penentuan nilai, keyakinan atau sikap yang
menunjukkan derajat internalisasi dan komitmen. Derajat rentangannya mulai dari
menerima suatu nilai, misalnya keinginan untuk meningkatkan keterampilan,
sampai pada tingkat komitmen. Valuing atau penilaian berbasis pada internalisasi
dari seperangkat nilai yang spesifik. Hasil belajar pada tingkat ini berhubungan
dengan perilaku yang konsisten dan stabil agar nilai dikenal secara jelas. Dalam
tujuan pembelajaran, penilaian ini diklasifikasikan sebagai sikap dan apresiasi.

4. Tingkat organization
Pada tingkat organization, nilai satu dengan nilai lain dikaitkan, konflik
antar nilai diselesaikan, dan mulai membangun sistem nilai internal yang konsisten.
Hasil pembelajaran pada tingkat ini berupa konseptualisasi nilai atau organisasi
sistem nilai. Misalnya pengembangan filsafat hidup.

5. Tingkat characterization
Tingkat ranah afektif tertinggi adalah characterization nilai. Pada tingkat ini
peserta didik memiliki sistem nilai yang mengendalikan perilaku sampai pada
waktu tertentu hingga terbentuk gaya hidup. Hasil pembelajaran pada tingkat ini
berkaitan dengan pribadi, emosi, dan sosial.

Karakteristik Ranah Afektif


Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan
sebagai ranah afektif (Andersen, 1981:4). Pertama, perilaku melibatkan perasaan
dan emosi seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain
yang termasuk ranah afektif adalah intensitas, arah, dan target. Intensitas
menyatakan derajat atau kekuatan dari perasaan. Beberapa perasaan lebih kuat dari
yang lain, misalnya cinta lebih kuat dari senang atau suka. Sebagian orang
kemungkinan memiliki perasaan yang lebih kuat dibanding yang lain. Arah
perasaan berkaitan dengan orientasi positif atau negatif dari perasaan yang
menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk. Misalnya senang pada pelajaran
dimaknai positif, sedang kecemasan dimaknai negatif. Bila intensitas dan arah
perasaan ditinjau bersama-sama, maka karakteristik afektif berada dalam suatu
skala yang kontinum. Target mengacu pada objek, aktivitas, atau ide sebagai arah
dari perasaan. Bila kecemasan merupakan karakteristik afektif yang ditinjau, ada
beberapa kemungkinan target. Peserta didik mungkin bereaksi terhadap sekolah,
matematika, situasi sosial, atau pembelajaran. Tiap unsur ini bisa merupakan target
dari kecemasan. Kadang-kadang target ini diketahui oleh seseorang namun kadang-
kadang tidak diketahui. Seringkali peserta didik merasa cemas bila menghadapi tes
di kelas. Peserta didik tersebut cenderung sadar bahwa target kecemasannya adalah
tes.

Ada 5 (lima) tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat,
konsep diri, nilai, dan moral.
1. Sikap
Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau
tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan
menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima
informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan
yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap
adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap
mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya. Menurut Fishbein
dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon
secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap
peserta didik terhadap objek misalnya sikap terhadap sekolah atau terhadap mata
pelajaran. Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999).
Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, misalnya bahasa Inggris, harus
lebih positif setelah peserta didik mengikuti pembelajaran bahasa Inggris dibanding
sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu indikator
keberhasilan pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Untuk itu
pendidik harus membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar
peserta didik yang membuat sikap peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi
lebih positif.

2. Minat
Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir
melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus,
aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian.
Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia (1990: 583), minat atau
keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting
pada minat adalah intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif
yang memiliki intensitas tinggi.

Penilaian minat dapat digunakan untuk:


a. mengetahui minat peserta didik sehingga mudah untuk pengarahan dalam
pembelajaran,
b. mengetahui bakat dan minat peserta didik yang sebenarnya,
c. pertimbangan penjurusan dan pelayanan individual peserta didik,
d. menggambarkan keadaan langsung di lapangan/kelas,
e. mengelompokkan peserta didik yang memiliki minat sama,
f. acuan dalam menilai kemampuan peserta didik secara keseluruhan dan memilih
metode yang tepat dalam penyampaian materi,
g. mengetahui tingkat minat peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan
pendidik,
h. bahan pertimbangan menentukan program sekolah,
i. meningkatkan motivasi belajar peserta didik.
3. Konsep Diri
Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu
terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas
konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri
biasanya orang tetapi bisa juga institusi seperti sekolah. Arah konsep diri bisa
positif atau negatif, dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah
kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi. Konsep diri ini penting untuk
menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan
kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik.
Selain itu informasi konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi
belajar peserta didik dengan tepat. Penilaian konsep diri dapat dilakukan dengan
penilaian diri. Kelebihan dari penilaian diri adalah sebagai berikut :
• Pendidik mampu mengenal kelebihan dan kekurangan peserta didik.
• Peserta didik mampu merefleksikan kompetensi yang sudah dicapai.
• Pernyataan yang dibuat sesuai dengan keinginan penanya.
• Memberikan motivasi diri dalam hal penilaian kegiatan peserta didik.
• Peserta didik lebih aktif dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran.
• Dapat digunakan untuk acuan menyusun bahan ajar dan mengetahui standar input
peserta didik.
• Peserta didik dapat mengukur kemampuan untuk mengikuti pembelajaran.
• Peserta didik dapat mengetahui ketuntasan belajarnya.
• Melatih kejujuran dan kemandirian peserta didik.
• Peserta didik mengetahui bagian yang harus diperbaiki.
• Peserta didik memahami kemampuan dirinya.
• Pendidik memperoleh masukan objektif tentang daya serap peserta didik.
• Mempermudah pendidik untuk melaksanakan remedial, hasilnya dapat untuk
instropeksi pembelajaran yang dilakukan.
• Peserta didik belajar terbuka dengan orang lain.
• Peserta didik mampu menilai dirinya.
• Peserta didik dapat mencari materi sendiri.
• Peserta didik dapat berkomunikasi dengan temannya.

4. Nilai
Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan tentang
perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk.
Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah
keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu pada Target
nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga berupa sesuatu seperti sikap dan
perilaku. Arah nilai dapat positif dan dapat negatif. Selanjutnya intensitas nilai
dapat dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada situasi dan nilai yang diacu.
Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai adalah suatu
objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat,
sikap, dan kepuasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa manusia belajar menilai suatu
objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap,
dan kepuasan. Oleh karenanya satuan pendidikan harus membantu peserta didik
menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta didik
untuk memperoleh kebahagiaan personal dan memberi konstribusi positif terhadap
masyarakat.

5. Moral
Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan moral anak.
Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan
tindakan moral. Ia hanya mempelajari prinsip moral seseorang melalui penafsiran
respon verbal terhadap dilema hipotetikal atau dugaan, bukan pada bagaimana
sesungguhnya seseorang bertindak. Moral berkaitan dengan perasaan salah atau
benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang
dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang lain, membohongi orang lain, atau
melukai orang lain baik fisik maupun psikis.
Ranah afektif lain yang penting adalah:
• Kejujuran: peserta didik harus belajar menghargai kejujuran dalam berinteraksi
dengan orang lain.
• Integritas: peserta didik harus mengikatkan diri pada kode nilai, misalnya moral
dan artistik.
• Adil: peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang mendapat perlakuan
yang sama dalam memperoleh pendidikan.
• Kebebasan: peserta didik harus yakin bahwa negara yang demokratis memberi
kebebasan yang bertanggung jawab secara maksimal kepada semua orang.

Pengembangan Instrumen Penilaian Afektif


Instrumen penilaian afektif meliputi lembar pengamatan sikap, minat,
konsep diri, nilai, dan moral. Ada 11 (sebelas) langkah dalam mengembangkan
instrumen penilaian afektif, yaitu:
1. menentukan spesifikasi instrumen
2. menulis instrumen
3. menentukan skala instrumen
4. menentukan pedoman penskoran 5. menelaah instrumen
6. merakit instrumen
7. melakukan ujicoba
8. menganalisis hasil ujicoba
9. memperbaiki instrumen
10. melaksanakan pengukuran
11. menafsirkan hasil pengukuran
RESUME DARI MATERI KELOMPOK 7
PENILAIAN RANAH PSIKOMOTORIK

Pengertian Psikomotor
Hasil belajar peserta didik dapat dikelompokkan menjadi tiga ranah, yaitu
kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga ranah ini tidak dapat dipisahkan satu sama
lain secara eksplisit. Apapun mata pelajarannya selalu mengandung tiga ranah itu,
namun penekanannya berbeda. Mata pelajaran yang menuntut kemampuan praktik
lebih menitik beratkan pada ranah psikomotor sedangkan mata pelajaran yang
menuntut kemampuan teori lebih menitik beratkan pada ranah kognitif, dan
keduanya selalu mengandung ranah afektif. Ranah kognitif berhubungan dengan
kemampuan berpikir, termasuk di dalamnya kemampuan menghafal, memahami,
menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi. Ranah afektif
mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Ranah
psikomotor adalah ranah yang berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari,
melompat, melukis, menari, memukul, dan sebagainya. Berkaitan dengan
psikomotor, Bloom (1979) berpendapat bahwa ranah psikomotor berhubungan
dengan hasil belajar yang pencapaiannya melalui keterampilan manipulasi yang
melibatkan otot dan kekuatan fisik.
Singer (1972) menambahkan bahwa mata pelajaran yang berkaitan dengan
psikomotor adalah mata pelajaran yang lebih beorientasi pada gerakan dan
menekankan pada reaksi–reaksi fisik dan keterampilan tangan. Keterampilan itu
sendiri menunjukkan tingkat keahlian seseorang dalam suatu tugas atau
sekumpulan tugas tertentu. Menurut Mardapi (2003), keterampilan psikomotor ada
enam tahap, yaitu: gerakan refleks, gerakan dasar, kemampuan perseptual, gerakan
fisik, gerakan terampil, dan komunikasi nondiskursif. Gerakan refleks adalah
respons motorik atau gerak tanpa sadar yang muncul ketika bayi lahir. Gerakan
dasar adalah gerakan yang mengarah pada keterampilan komplek yang khusus.
Kemampuan perseptual adalah kombinasi kemampuan kognitif dan motorik atau
gerak. Kemampuan fisik adalah kemampuan untuk mengembangkan gerakan
terampil.
Gerakan terampil adalah gerakan yang memerlukan belajar, seperti
keterampilan dalam olah raga. Komunikasi nondiskursif adalah kemampuan
berkomunikasi dengan menggunakan gerakan. Buttler (1972) membagi hasil
belajar psikomotor menjadi tiga, yaitu: specific responding, motor chaining, rule
using. Pada tingkat specific responding peserta didik mampu merespons hal-hal
yang sifatnya fisik, (yang dapat didengar, dilihat, atau diraba), atau melakukan
keterampilan yang sifatnya tunggal, misalnya memegang raket, memegang bed
untuk tenis meja. Pada motor chaining peserta didik sudah mampu menggabungkan
lebih dari dua keterampilan dasar menjadi satu keterampilan gabungan, misalnya
memukul bola, menggergaji, menggunakan jangka sorong, dll. Pada tingkat rule
using peserta didik sudah dapat menggunakan pengalamannya untuk melakukan
keterampilan yang komplek, misalnya bagaimana memukul bola secara tepat agar
dengan tenaga yang sama hasilnya lebih baik.
Dave (1967) dalam penjelasannya mengatakan bahwa hasil belajar
psikomotor dapat dibedakan menjadi lima tahap, yaitu: imitasi, manipulasi, presisi,
artikulasi, dan naturalisasi. Imitasi adalah kemampuan melakukan kegiatankegiatan
sederhana dan sama persis dengan yang dilihat atau diperhatikan sebelumnya.
Contohnya, seorang peserta didik dapat memukul bola dengan tepat karena pernah
melihat atau memperhatikan hal yang sama sebelumnya. Manipulasi adalah
kemampuan melakukan kegiatan sederhana yang belum pernah dilihat tetapi
berdasarkan pada pedoman atau petunjuk saja. Sebagai contoh, seorang peserta
didik dapat memukul bola dengan tepat hanya berdasarkan pada petunjuk guru atau
teori yang dibacanya. Kemampuan tingkat presisi adalah kemampuan melakukan
kegiatan-kegiatan yang akurat sehingga mampu menghasilkan produk kerja yang
tepat. Contoh, peserta didik dapat mengarahkan bola yang dipukulnya sesuai
dengan target yang diinginkan. Kemampuan pada tingkat artikulasi adalah
kemampuan melakukan kegiatan yang komplek dan tepat sehingga hasil kerjanya
merupakan sesuatu yang utuh. Sebagai contoh, peserta didik dapat mengejar bola
kemudian memukulnya dengan cermat sehingga arah bola sesuai dengan target
yang diinginkan.
Dalam hal ini, peserta didik sudah dapat melakukan tiga kegiatan yang tepat,
yaitu lari dengan arah dan kecepatan tepat serta memukul bola dengan arah yang
tepat pula. Kemampuan pada tingkat naturalisasi adalah kemampuan melakukan
kegiatan secara reflek, yakni kegiatan yang melibatkan fisik saja sehingga
efektivitas kerja tinggi. Sebagai contoh tanpa berpikir panjang peserta didik dapat
mengejar bola kemudian memukulnya dengan cermat sehingga arah bola sesuai
dengan target yang diinginkan. Untuk jenjang Pendidikan SMA, mata pelajaran
yang banyak berhubungan dengan ranah psikomotor adalah pendidikan jasmani,
olahraga dan kesehatan, seni budaya, fisika, kimia, biologi, dan keterampilan.
Dengan kata lain, kegiatan belajar yang banyak berhubungan dengan ranah
psikomotor adalah praktik di aula/lapangan dan praktikum di laboratorium. Dalam
kegiatan-kegiatan praktik itu juga ada ranah kognitif dan afektifnya, namun hanya
sedikit bila dibandingkan dengan ranah psikomotor.

Pembelajaran Psikomotor
Menurut Ebel (1972), ada kaitan erat antara tujuan yang akan dicapai,
metode pembelajaran, dan evaluasi yang akan dilaksanakan. Oleh karena ada
perbedaan titik berat tujuan pembelajaran psikomotor dan kognitif maka strategi
pembelajarannya juga berbeda. Menurut Mills (1977), pembelajaran keterampilan
akan efektif bila dilakukan dengan menggunakan prinsip belajar sambil
mengerjakan (learning by doing). Leighbody (1968) menjelaskan bahwa
keterampilan yang dilatih melalui praktik secara berulang-ulang akan menjadi
kebiasaan atau otomatis dilakukan. Sementara itu Goetz (1981) dalam
penelitiannya melaporkan bahwa latihan yang dilakukan berulang-ulang akan
memberikan pengaruh yang sangat besar pada pemahiran keterampilan. Lebih
lanjut dalam penelitian itu dilaporkan bahwa pengulangan saja tidak cukup
menghasilkan prestasi belajar yang tinggi, namun diperlukan umpan balik yang
relevan yang berfungsi untuk memantapkan kebiasaan. Sekali berkembang maka
kebiasaan itu tidak pernah mati atau hilang.
Sementara itu, Gagne (1977) berpendapat bahwa kondisi yang dapat
mengoptimalkan hasil belajar keterampilan ada dua macam, yaitu kondisi internal
dan eksternal. Untuk kondisi internal dapat dilakukan dengan cara :
(a) mengingatkan kembali bagian dari keterampilan yang sudah dipelajari, dan
(b) mengingatkan prosedur atau langkah-langkah gerakan yang telah dikuasai.

Sementara itu untuk kondisi eksternal dapat dilakukan dengan :


(a) instruksi verbal,
(b) gambar,
(c) demonstrasi,
(d) praktik, dan
(e) umpan balik.

Dalam melatihkan kemampuan psikomotor atau keterampilan gerak ada


beberapa langkah yang harus dilakukan agar pembelajaran mampu membuahkan
hasil yang optimal. Mills (1977) menjelaskan bahwa langkah-langkah dalam
mengajar praktik adalah :
(a) menentukan tujuan dalam bentuk perbuatan,
(b) menganalisis keterampilan secara rinci dan berutan,
(c) mendemonstrasikan keterampilan disertai dengan penjelasan singkat dengan
memberikan perhatian pada butir-butir kunci termasuk kompetensi kunci yang
diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan dan bagian-bagian yang sukar,
(d) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba melakukan praktik
dengan pengawasan dan bimbingan,
(e) memberikan penilaian terhadap usaha peserta didik

Edwardes (1981) menjelaskan bahwa proses pembelajaran praktik


mencakup tiga tahap, yaitu :
(a) penyajian dari pendidik,
(b) kegiatan praktik peserta didik, dan
(c) penilaian hasil kerja peserta didik.
Guru harus menjelaskan kepada peserta didik kompetensi kunci yang
diperlukan untuk menyelesaikan tugas tertentu. Kompetensi kunci adalah
kemampuan utama yang harus dimiliki seseorang agar tugas atau pekerjaan dapat
diselesaikan dengan cara benar dan hasilnya optimal. Sebagai contoh, dalam
memukul bola, kompetensi kuncinya adalah kemampuan peserta didik
menempatkan bola pada titik ayun. Dengan cara ini, tenaga yang dikeluarkan hanya
sedikit namun hasilnya optimal. Contoh lain, dalam mengendorkan mur dari
bautnya, kompetensi kuncinya adalah kemampuan peserta didik memegang kunci
pas secara tepat yakni di ujung kunci. Dengan cara ini tenaga yang dikeluarkan
untuk mengendorkan mur jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan pengendoran
mur dengan cara memegang kunci pas yang tidak tepat.
Dalam proses pembelajaran keterampilan, keselamatan kerja tidak boleh
dikesampingkan, baik bagi peserta didik, bahan, maupun alat. Leighbody (1968)
menjelaskan bahwa keselamatan kerja tidak dapat dipisahkan dari proses
pembelajaran psikomotor. Guru harus menjelaskan keselamatan kerja kepada
peserta didik dengan sejelas-jelasnya. Oleh karena kompetensi kunci dan
keselamatan kerja merupakan dua hal penting dalam pembelajaran keterampilan,
maka dalam penilaian kedua hal itu harus mendapatkan porsi yang tinggi.

Penilaian Hasil Belajar Psikomotor


Ada beberapa ahli yang menjelaskan cara menilai hasil belajar psikomotor.
Ryan (1980) menjelaskan bahwa hasil belajar keterampilan dapat diukur melalui
(1) pengamatan langsung dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses
pembelajaran praktik berlangsung, (2) sesudah mengikuti pembelajaran, yaitu
dengan jalan memberikan tes kepada peserta didik untuk mengukur pengetahuan,
keterampilan, dan sikap, (3) beberapa waktu sesudah pembelajaran selesai dan
kelak dalam lingkungan kerjanya. Sementara itu Leighbody (1968) berpendapat
bahwa penilaian hasil belajar psikomotor mencakup: (1) kemampuan menggunakan
alat dan sikap kerja, (2) kemampuan menganalisis suatu pekerjaan dan menyusun
urut-urutan pengerjaan, (3) kecepatan mengerjakan tugas, (4) kemampuan
membaca gambar dan atau simbol, (5) keserasian bentuk dengan yang diharapkan
dan atau ukuran yang telah ditentukan. Dari penjelasan di atas dapat dirangkum
bahwa dalam penilaian hasil belajar psikomotor atau keterampilan harus mencakup
persiapan, proses, dan produk. Penilaian dapat dilakukan pada saat proses
berlangsung yaitu pada waktu peserta didik melakukan praktik, atau sesudah proses
berlangsung dengan cara mengetes peserta didik.

Jenis Perangkat Penilaian Psikomotor


Untuk melakukan pengukuran hasil belajar ranah psikomotor, ada dua hal
yang perlu dilakukan oleh pendidik, yaitu membuat soal dan membuat perangkat/
instrumen untuk mengamati unjuk kerja peserta didik. Soal untuk hasil belajar
ranah psikomotor dapat berupa lembar kerja, lembar tugas, perintah kerja, dan
lembar eksperimen. Instrumen untuk mengamati unjuk kerja peserta didik dapat
berupa lembar observasi atau portofolio. Lembar observasi adalah lembar yang
digunakan untuk mengobservasi keberadaan suatu benda atau kemunculan aspek-
aspek keterampilan yang diamati. Lembar observasi dapat berbentuk daftar
periksa/check list atau skala penilaian (rating scale). Daftar periksa berupa daftar
pertanyaan atau pernyataan yang jawabannya tinggal memberi check (centang)
pada jawaban yang sesuai dengan aspek yang diamati.
Skala penilaian adalah lembar yang digunakan untuk menilai unjuk kerja
peserta didik atau menilai kualitas pelaksanaan aspek-aspek keterampilan yang
diamati dengan skala tertentu, misalnya skala 1 - 5. Portofolio adalah kumpulan
pekerjaan peserta didik yang teratur dan berkesinambungan sehingga peningkatan
kemampuan peserta didik dapat diketahui untuk menuju satu kompetensi tertentu.

Konstruksi Instrumen
Sama halnya dengan soal ranah kognitif, soal untuk penilaian ranah
psikomotor juga harus mengacu pada standar kompetensi yang sudah dijabarkan
menjadi kompetensi dasar. Setiap butir standar kompetensi dijabarkan minimal
menjadi 2 kompetensi dasar, setiap butir kompetensi dasar dapat dijabarkan
menjadi 2 indikator atau lebih, dan setiap indikator harus dapat dibuat butir soalnya.
Indikator untuk soal psikomotor dapat mencakup lebih dari satu kata kerja
operasional. Selanjutnya, untuk menilai hasil belajar peserta didik pada soal ranah
psikomotor perlu disiapkan lembar daftar periksa observasi, skala penilaian, atau
portofolio. Tidak ada perbedaan mendasar antara konstruksi daftar periksa
observasi dengan skala penilaian. Penyusunan kedua instrumen itu harus mengacu
pada soal atau lembar perintah/lembar kerja/lembar tugas yang diberikan kepada
peserta didik. Berdasarkan pada soal atau lembar perintah/lembar tugas dibuat
daftar periksa observasi atau skala penilaian. Pada umumnya, baik daftar periksa
observasi maupun skala penilaian terdiri atas tiga bagian, yaitu:
(1) persiapan,
(2) pelaksanaan, dan
(3) hasil.

Penyusunan Rancangan Penilaian


Sebaiknya guru merancang secara tertulis sistem penilaian yang akan
dilakukan selama satu semester. Rancangan penilaian ini sifatnya terbuka, sehingga
peserta didik, guru lain, dan kepala sekolah dapat melihatmya. Langkah-langkah
penulisan rancangan penilaian adalah:
1. Mencermati silabus yang sudah ada
2. Menyusun rancangan sistem penilaian berdasarkan silabus yang telah disusun
Selanjutnya, rancangan penilaian ini diinformasikan kepada peserta didik pada
awal semester. Dengan demikian sistem penilaian yang dilakukan guru semakin
sempurna atau semakin memenuhi prinsip-prinsip penilaian.

Penyusunan Kisi-kisi
Kisi-kisi merupakan matriks yang berisi spesifikasi soal-soal yang akan
dibuat. Kisikisi merupakan acuan bagi penulis soal, sehingga siapapun yang
menulis soal akan menghasilkan soal yang isi dan tingkat kesulitannya relatif sama.
Penyusunan Instrumen Penilaian Psikomotor
Instrumen Penilaian psikomotor terdiri atas soal atau perintah dan pedoman
penskoran untuk menilai unjuk kerja peserta didik dalam melakukan perintah/soal
tersebut.

1. Penyusunan soal
Langkah pertama yang harus dilakukan oleh penulis soal ranah psikomotor
adalah mencermati kisi-kisi instrumen yang telah dibuat. Soal harus dijabarkan dari
indikator dengan memperhatikan materi pembelajaran. Pada contoh kisikisi di atas,
dapat dibuat soal sebagai berikut: ”Demonstrasikan/lakukan lari cepat 100 meter
dengan teknik yang benar. Perhatikan posisi mulai, teknik mulai, teknik lari, dan
teknik memasuki garis finish”. Soal ranah psikomotor untuk ulangan tengah
semester dan akhir semester yang biasanya sudah mencapai tingkat psikomotor
manipulasi, mencakup beberapa indikator.

2. Pedoman penskoran
Pedoman penskoran dapat berupa daftar periksa observasi atau skala
penilaian yang harus mengacu pada soal. Soal/lembar tugas/perintah kerja ini
selanjutnya dijabarkan menjadi aspek-aspek keterampilan yang diamati. Untuk soal
dari contoh kisi-kisi di atas, cara menuliskan daftar periksa observasi atau skal
penilaiannya sebagai berikut.
a. Mencermati soal (dalam hal ini lari cepat 100 m)
b. Mengidentifikasi aspek-aspek keterampilan kunci dalam lari 100 m; dalam hal
ini aspek-aspek keterampilan kunci itu adalah :
(1) posisi mulai (starting position),
(2) teknik mulai (starting action),
(3) teknik lari (sprinting action), dan
(4) teknik memasuki garis finish (finishing action).
c. Mengidentifikasi aspek-aspek keterampilan dari setiap aspek keterampilan kunci
(dalam hal ini aspek keterampilan kunci posisi mulai/starting position dirinci
menjadi aspek keterampilan memposisikan kaki, tangan, badan, pandangan
mata, dan posisi tungkai pada saat aba-aba“siap”).
d. Menentukan jenis instrumen untuk mengamati kemampuan peserta didik, apakah
daftar periksa observasi atau skala penilaian.
e. Menuliskan aspek-aspek keterampilan dalam bentuk pertanyaan/ pernyataan ke
dalam tabel.
f. Membaca kembali skala penilaian atau daftar periksa observasi untuk
meyakinkan bahwa instrumen yang ditulisnya sudah tepat.
g. Meminta orang lain untuk membaca atau menelaah instrumen yang telah ditulis
untuk meyakinkan bahwa instrumen itu mudah dipahami oleh orang lain.

-----SELESAI----

Anda mungkin juga menyukai