Pasal mengenai tanggung jawab sosial perusahaan diakomodasi dalam Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 yang secara filosofis didasari oleh teori hukum pada masa renaissance, yaitu hukum sebagai kesadaran sosial oleh Hugo Grotius bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk hidup bersama serta memiliki rasio serta naluri untuk hidup damai sehingga dalam hal ini sosiabilitas manusia sebagai landasan ontologi dari segala hukum. Disiplin hukum selalu terkait erat dengan kaidah (normwissenshaft) dengan mengutamakan metodologi, sistematika, sehingga dalam perkembangannya disiplin hukum secara objektif mampu menjelaskan keadaan dan gejala serta kenyataan di tengah masyarakat, upaya untuk mencapai pertautan internal dan jika mungkin penataan yang ajeg, tertanam di dalam hukum. Namun, di dalam hukum yang sama itu sendiri terdapat keterbukaan bagi permasalahan, sampai ke struktur dari asas-asas dan pengertian dari hukum itu sendiri. Prinsip di atas diakomodasi dalam Pasal 1 ayat dan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu tanggung jawab sosial perusahaan didefinisikan sebagai komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Tanggung jawab sosial perusahaan adalah ketentuan yang lahir dari refleksi jiwa bangsa Indonesia, yaitu semangat kegotongroyongan yang kemudian dinormatifkan dalam Pasal 1 ayat juncto Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pada Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, diatur secara konkret ketentuan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan yang merupakan perwujudan fungsi sosial perusahaan yang dilandasi oleh Pancasila. Setelah Indonesia merdeka dan menetapkan Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara, serta memiliki konstitusi, yaitu Undang – Undang Dasar 1945, dalam hal pengaturan badan hukum, Indonesia merumuskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, namun pada periode ini fungsi sosial perusahaan belum diatur dalam pasal, melainkan hanya dibahas pada rapat pembacaan Pemandangan Umum Fraksi dan hanya disebut sekilas pada Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Khususnya mengenai diakomodasinya pasal mengenai tanggung jawab sosial perusahaan pada Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, hal tersebut mendapat resistensi dari kalangan usaha karena dengan diakomodasinya pasal mengenai tanggung jawab sosial perusahaan dan diberikan sanksi. Maka, hal tersebut dipandang akan memberikan kewajiban dan beban baik dari sektor finansial maupun nonfinansial, serta pengaturan tanggung jawab sosial perusahaan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dipandang bertentangan dengan beberapa prinsip hukum. Gugatan judicial review terhadap Pasal 1 ayat juncto Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 ke Mahkamah Konstitusi namun Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 53/PUUVI/2008 menolak gugatan judicial review tersebut dengan alasan bahwa pengaturan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan telah sesuai dengan semangat bangsa Indonesia khususnya mengacu pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta semangat anti liberalistik. Jika tanggung jawab sosial dan lingkungan tidak diatur secara eksplisit dalam peraturan perundangan, akan tercipta ketidakpastian hukum serta tidak mengikat perusahaan untuk melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan tersebut di lain sisi tidak memberikan kepastian perlindungan hak bagi komunitas lokal sehingga berdasarkan prinsip welfare state Mahkamah Konstitusi menguatkan Pasal 1 ayat (3) juncto Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dengan mengikatnya ketentuan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan, setiap perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, setidaknya akan menjalankan fungsi sosialnya dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan. Putusan Nomor 53/PUU-IV/2008 menunjukkan bahwa hukum masih dapat mengendalikan subsistem dan kepentingan-kepentingan lainnya, dan putusan tersebut juga mencegah konflik yang akan muncul sehingga dalam hal ini hukum menunjukkan eksistensinya. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Indonesia tidak memiliki perangkat hukum yang tegas, yang mengatur mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan sehingga sering kali menimbulkan resistensi komunitas lokal pada perusahaan maupun sebaliknya (karena paradigma perusahaan sebelumnya adalah profit oriented). Filosofi Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah mewujudkan kesejahteraan bangsa tanpa mengorbankan komponen mana pun sehingga baik dunia usaha maupun komunitas lokal, dapat bermitra secara harmonis dengan adanya regulasi pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang telah dikukuhkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008.