Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

ETIK DAN LEGAL DALAM KEPERAWATAN

DISUSUN OLEH :

DIANA TATI HARYATI 22090400030

SULASTRI SAMBO 22090400031

AMI KADEWI 22090400033

VILDA 22090400025

DEWI NUR S 22090400044

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2022

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya serta
kemudahan yang telah diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Mata Kuliah
Etik dan Legal dalam Keperawatan berdasarkan pembuktian ilmiah.

Dalam penyusunan makalah ini, penyusun telah berusaha seoptimal mungkin untuk
menuangkan pemahaman penyusun dari literatur dan pustaka lain yang digunakan. Namun
berbagai kritikan dan saran yang membangun tetap penyusun harapkan.

Harapan penyusun, makalah ini tidak saja menjadi sumber pemahaman atau sekedar
penggugur tugas mata kuliah Etik dan Legal dalam Keperawatan, tetapi penyusun juga
berharap makalah ini dapat menggugah para perawat, khususnya penyusun sendiri, untuk
mengaplikasikannya dalam pelayanan keperawatan.

Jakarta, November 2022

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................... 1
DAFTAR ISI.............................................................................................................. 2

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 3
A. Latar Belakang............................................................................................... 3
B. Tujuan Penulisan............................................................................................ 5

BAB II TINJAUAN TEORI...................................................................................... 6


A. Konsep Terkait............................................................................................... 6
a. Neuroblastoma.......................................................................................... 6
b. DNR......................................................................................................... 9
c. Konsep Etik dan Legal Keperawatan....................................................... 10
B. Penelitian Terkait........................................................................................... 16

BAB III PEMBAHASAN KASUS………………………………………………… 20


A. Kasus……………………………………………………………………...... 20
a. Analisa Kasus Berdasarkan Teori dan Konsep………………………… 20
b. Langkah – Langkah Efektif dalam Penyelesaian Masalah…………….. 21
c. Analisa Dampak Etik dan Legal……………………………………….. 24
d. Tinjauan dari Aspek Hukum dan Agama………………………………. 25
e. Model Penyelesaian Masalah berdasarkan EBP……………………….. 29
f. Implikasi dalam Keperawatan………………………………………….. 33
BAB IV KESIMPULAN…………………………………………………………… 35

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Neuroblasma merupakan neoplasma yang berasal dari sel embrional neural dan
salah satu tumor padat tersering yang dijumpai pada anak dan jarang sekali ditemukan
pada orang dewasa. Secara epidemiologi, prevalensi neuroblastoma sebagai keganasan
yang terjadi pada anak mencapai 8-10% dari seluruh tumor ganas pada anak-anak,
menempati urutan keempat dalam frekuensi terjadinya neoplasma padat pada masa
anak-anak. Neuroblasma juga merupakan penyebab dari 97% tumor yang terjadi pada
system saraf simpatis. Insidensiya bervariasi ditiap negara tetapi negara berkembang
memiliki insiden tertinggi yaitu 1 dari 7.000 anak. Di Amerika neuroblastoma menjadi
penyebab 7,8% kasus keganasan pada anak, dengan insiden mencapai 650 kasus setiap
tahunnya. Neuroblas toma mendominasi kasus keganasan neonates (28%-39%).
Sebanyak 90% kasus ditemukan sebelum usia 5 tahun, dengan median usia saat
diagnosis adalah 2 tahun. Puncak insiden neuroblastoma adalah pada 5 tahun pertama
kehidupan. Prevalensi tertinggi ditemukan pada anak usia <4 tahun (85%), kemudian
menurun hingga 8% pada usia 9 tahun, dan 1,5% pada usia >15 tahun. Insiden
neuroblastoma relatif serupa antara anak laki-laki maupun perempuan.
Berdasarkan data RISKESDAS 2013 angka kejadian neuroblastoma pada anak 7-
11%, umur tersering 2-4 tahun. Sebuah studi kohort retrospektif di RSCM dari tahun
2000-2007 menemukan 64 pasien baru neuroblastoma yang terdiri dari 58% laki-laki
dan 42% perempuan. Usia terbanyak saat didiagnosis adalah 1-5 tahun. Di RSCM
Jakarta angka kematian neuroblasma sebesar 37% dari total 64 pasien. Sepsis
merupakan penyebab kematian tersering (44%), diikuti oleh perdarahan (30%), infiltras
system saraf pusat (22%), dan infiltrasi mediastinum (4%).
Neuroblastoma memiliki manifestasi klinis yang heterogen, mulai dari tumor
yang mengalami regresi spontan sampai tumor yang sangat agresif dan tidak responsive
terhadap terapi multimodal yang intensif. Etiolgi dari kebanyakan kasus tidak diketahui.
Kebanyakan pasien saat dating sudah pada stadium lanjut. Penyakit ini memiliki
kekhasan yaitu dapat terjadi remisi spontan dan transformasi ke tumor jinak, terutama
pada anak dalam usia 1 tahun. Terapi meliputi operasi, radioterapi, kemoterapi dan
terapi biologis. Angka survival 5 tahun untuk stadium I dan II pasca terapi kombinasi

3
adalag 90% lebih, stadium III kira-kira 40%-50%, stadium IV berprognosis buruk yaitu
hanya 15%-20%.
Dalam melaksanakan tugasnya difasilitas pelayanan kesehatan tenaga kesehatan
berperan penting dalam membantu proses penyembuhan pasien. Ketika pasien
mengalami keadaan emergency tenaga kesehatan memiliki peranan penting dalam
memberikan pertolongan pertama sesuai kompetensi nya masing-masing. Pertolongan
pertama pasien yang mengalami henti jantung/pernafasan dengan cara RJP/CPR. Do
Not Resuscitation atau DNR adalah instruksi medis dimana pengambil keputusan
adalah dokter dengan mempertimbangkan penilaian tenaga kesehatan lain (perawat)
bahwa kualitas hidup pasien sangat rendah sehingga tidak dilakukan resusitasi (RJP)
dengan persetujuan wali/keluarga pasien. Pengambilan keputusan DNR salah satu hal
yang rumit untuk dilakukan, hal ini sangat erat hubungannya dengan etika moral serta
masalah hukum yang berlaku.
Hubungan antara perawat dengan pasien atau tim medis yang lain tidaklah selalu
bebas dari masalah. Perawat profesional harus menghadapi tanggung jawab etik dan
konflik yang mungkin meraka alami sebagai akibat dari hubungan mereka dalam
praktik profesional. Perawat harus mampu menerapkan prinsip etik dalam pengambilan
keputusan dan mencakup nilai dan keyakinan dari klien, profesi, perawat, dan semua
pihak yang terlibat. Perawat memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak klien
dengan bertindak sebagai advokat klien. Para perawat juga harus tahu berbagai konsep
hukum yang berkaitan dengan praktik keperawatan karena mereka mempunyai
akuntabilitas terhadap keputusan dan tindakan profesional yang mereka lakukan.
Dalam berjalannya proses semua profesi termasuk profesi keperawatan
didalamnya tidak lepas dari suatu permasalahan yang membutuhkan berbagai
alternative jawaban yang belum tentu jawaban-jawaban tersebut bersifat memuaskan
semua pihak. Hal itulah yang sering dikatakan sebagai sebuah dilema etik. Dalam dunia
keperawatan sering kali dijumpai banyak adanya kasus dilema etik sehingga seorang
perawat harus benar-benar tahu tentang etik dan dilema etik serta cara penyelesaian
dilema etik supaya didapatkan keputusan yang terbaik.

4
B. Tujuan
1. Untuk melakukan analisis kasus berdasarkan teori dan konsep.
2. Untuk menjelaskan dan menguraikan langkah-langkah dalam penyelesaian kasus
tersebut.
3. Untuk menjelaskan dan menganalisis terkait aspek etik dan legal dari kasus tersebut.
4. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan dari aspek hukum dan agama.
5. Untuk menjelaskan model penyelesaian masalah kasus berbasis pada bukti (EBP).
6. Untuk menjelaskan implikasinya dalam keperawatan.

5
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Terkait
a. Neuroblasma
a) Pengertian
Neuroblastoma adalah tumor embrional dari system saraf otonom yang mana sel
tidak berkembang sempurna. Neuroblastoma umumnya terjadi pada usia rata-
rata 17 bulan. Tumor ini berkembang dalam jaringan system saraf simpatik,
biasanya dalam medulla adrenal atau ganglia paraspinal, sehingga menyebabkan
adanya sebagai lesi massa di leher, dada,perut atau panggul. (John, 2010).
Neuroblastoma merupakan tumor lunak, padat yang berasal dari sel-sel crest
neuralis yang merupakan prekusor dari medulla adrenal dan system saraf
simpatis. Neuroblastoma dapat timbul di tempat terdapatnya jaringan saraf
simpatis. Tempat tumor primer yang umum adalah abdomen. Kelenjar adrenal
atau ganglia paraspinal toraks, leher, dan pelvis. Neuroblastoma umumnya
bersimpati dan seringkali bergeseran dengan jaringan atau organ yag berdekatan
(Cecily & Linda, 2002).
b) Etiologi
Kebanyakan etiologi dari neuroblastoma adalah tidak di ketahui.ada laporan
yang menyebutkan bahwa timbulnya neuroblastoma infantile (pada anak- anak)
berkaitan dengan orang tua atau selama hamil terpapar obat- obatan atau zat
kimia tertentu seperti hydantoin, etanol,dll.(Wiiiie.2008)
Kelainan sitogenik yang terjadi pada neuroblastoma kira- kira 80% kasus,
meliputi penghapusan (delesi) parsial lengan pendek kromoson I, anomaly
kromoson 17 dan ampifilatik genomic dari oncogene N-Myc, suatu indicator
prognosis buruk (Nelson,2000).
c) Manifestasi Klinis
Bergantung pada lokasi tumor,
1. Gejala -gejala yang berhubungan dengan massa restroperitoneal, kelenjar
adrenal, atau paraspinal.
a. Massa abdomen tidak teratur, tidak nyeri tekan, keras, yang melintas
garis tengah
b. Perubahan fungsi usus dan atau kandung kemih

6
c. Kompresi vascular dengan edema ekstremitas bawah
d. Nyeri punggung, kelemahan ekstremitas bawah
e. Defisit sensoris
f. Hilangnya kendali sfingter
2. Gejala – gejala yang berhubungan dengan massa leher atau toraks
a. Limfadenopati servikal dan supraklavikular
b. Kongesti dan edema pada wajah
c. Disfungsi /gawat pernafasan
d. Sakit kepala
e. Proptosis orbital ekimotik
f. Miosis
g. Ptosis
h. Eksoftalmos
i. Anhidrosis
d) Stadium
Beberapa system penentuan stadium staging, system kelompok evans dan
kelompok onkologi Pediatrik (Pediatrik Oncology Group POG). Sisten
klasifikasi stadium neuroblastoma internasional (INSS).
Klasifikasi Stadium INSS:
1. Stadium I
Tumor terbatas pada organ primer, secara makrokopik reseksi utuh, dengan
atau tanpa residif mikroskopik, kelenjar limfe regional ipsilateral negative.
2. Stadium II
Operasi tumor terbatas tak dapat mengangkat total, kelenjar limfe regional
ipsilateral negative.
3. Stadium III
Operasi tumor terbatas dapat ataupun tak dapat mengangkat total, kelenjar
limfe regional ipsilateral positif
4. Stadium III
Tumor tak dapat dieksisi melewati garis tengah dengan atau tanpa kelenjar
limfe regional ipsi atau tanpa kelenjar limfe regional ipsilateral positif
5. Stadium IV
Tumor primer menyebar hingga kelenjar limfe jauh, tulang sumsum, tulang,
hati, kulit atau organ lainnya.

7
6. Stadium IVS
Usia < 1 tahun, tumor melastasis ke kulit, hati, sumsum tulang tapi tanpa
melatasis tulang(willie, 2008).
System pediadrik oncologic group (POG) membagi stadium neublastoma
menjadi:
1. Stadium A : tumor yang direseksi secara kasar
2. Stadium B : tumor local tidak direksi
3. Stadium C: metastasis ke kelenjar limfa intraktivita yang tidak berdekatan
4. Stadium D:metastasis di luar kelenjar limfe
5. Stadium Ds :bayi dengan adrenal kecil terutama dengan penyakit metastasis
terbatas pada kulit,hati dan sumsum tulang.
6. Stadium D Neonatus: telah di ketahui dengan mengalami remisi spontan.
Keterlibatan susum tulang pada stadium ini merupakan factor prognosis
yang buruk (Nelson,2000)
e) Patofisiologi
Neuroblastoma aadalah tumor lunak, Padat yang berasal dari sel-sel crest
neuralis yang merupakan precursor dari medulla adrenal dan system saraf
simpatis. Neuroblastoma dapat timbul dimana pun tempat jaringan saraf
simpatik. Tempat tumor primer yang sering terjadi adalah abdomen, kelenjar
adrenal atau ganglia paraspinal, tempat primer yang kurang sering adalah daerah
paraspinal toraks, leher, pelvis. Neuroblastoma biasanya terbungkus kapsul dan
sering kali bergeseran dengan jaringan atau organ yang berdekatan tulang sering
terpengaruh. Etiologi neuroblastoma tidak diketahui.
f) Komplikai dari neuroblatoma yaitu metastase tumor yang relative dini ke
berbagai organ secara limfogen melalui kelenjar limfe maupun secara
hematogen ke sum-sum tulang, tulang,hati, otak,paru dan lain-lain. Metastasis
tulang umumnya ke tulang cranial atau tulang Panjang ekstremitas. Hal ini
sering menimbulkan nyeri ekstremitas, artralgia, pincang pada anak. Metastase
ke sum-sum tulang menyebabkan anemia, hemoragi, dan trombositopedia (
Willie, 2008).
g) Penatalaksanaan Medis
International Staging System for neuroblastoma menetapkan definisi standar
untuk diagnosis, penahanan, dan pengobatan, serta mengelompokkan penyakit
berdasarkan temuan -temuan radiografis dan bedah, ditambah status sumsum

8
tulang. Tumor yang terlokalisasi berbagi menjadi derajat I,II,dan III bergantung
pada ciri tumor primerdan status limfonodus regional. Penyakit yang telah
mengalami penyebaran dibagi menjadi tahap IV dan IVS ( S untuk Spesial),
bergantung pada adanya keterlibatan tulang kortikal yang jauh, luasnya penyakit
susmsum tulang, dan gambaran tumor primer.
Anak dengan prognosis baik umumnya tidak memerlukan pengobatan,
pengobatan minimal, atau hanya reseksi bedah. Reseksi bedah total adalah satu-
satunya terapi yang diperlukan bagi pasien denga tumor derajat I, untuk derajat
II pebedahan saja mungkin sudah cukup, tetapi kemoterapi juga banyak
digunakan dan terkadang ditambah dengan radioterapi local. Neuroblastoma
tahap IVS mempunyai angka regresi spontan yang tinggi dan penatalaksaan
mungkin hanya terbatas pada kemoterapi dosis rendah dan observasi ketat.
Neuroblastoma derajat III dan IV memerlukan terapi intensif termasuk
kemoterapi tetapi intensif, termasuk kemoterapi, terapi radiasi, pembedahan,
transplantasi sumsum tulang autolog atau alogenik, penyelamatan sumsusm
tulang metaidobenzilguanid, dan imunoterapi dengan antibody monoclonal yang
spesifik terhadap neuroblastoma.
Pengobatan terdiri atas penggunaan kemoterapi multiagens secara simultan atau
bergantian:
1. Siklofosfamid menghambat replikasi DNA
2. Doksorubisin mengganggu sistesis asam nukleat dan memblokir transkripsi
DNA
3. VP-16 ( etoposid ) menghentikan metaphase dan menghambat sistensi
protein dan asam nukleat.
b. Do Not Resuscitation
DNR atau Do Not Resuscitation adalah suatu perintah yang memberitahukan
tenaga kesehatan untuk tidak melakukan CPR, sehingga dokter, perawat, dan tenaga
emergency medis lainnya tidak akan melakukan usaha CPR bila pasien mengalami
henti jantung atau pernapasan. Karena DNR dianggap sebagai bagian dari upaya
resusitasi pasien, pertimbangan etis yang dipertimbang kan harus diterapkan pada
upaya CPR penuh. Asas manfaat adalah asas yang menguntungkan usaha kesembuhan
pasien. CPR dipandang sebagai upaya untuk memulihkan kesehatan dan fungsi organ
dengan tujuan menghilangkan rasa sakit dan penderitaan pasien, menurut prinsip ini.

9
Dokter harus mempertimbangkan manfaat CPR pada pasien saat melakukan CPR
berdasarkan pendekatan ini. Pada pasien dengan henti jantung yang disebabkan oleh
kelainan jantung, CPR dianggap sebagai tindakan yang sangat efisien. Ketika
serangan jantung terjadi karena faktor lain seperti gagal ginjal, kanker, atau kondisi
kronis lainnya, jarang terjadi perbaikan pada pasien setelah CPR. Penyebab
ireversibel, seperti syok berkepanjangan, menunjukkan bahwa perintah CPR atau DNR
tidak boleh dilakukan. Namun, perlu diingat bahwa CPR tidak dikontraindikasikan
berdasarkan usia.
c. Konsep Etika Keperawatan
a) Pengertian Etika Keperawatan
Etika keperawatan merupakan studi ilmu yang mengupas tentang karakter, motif
dan perilaku yang harus dilakukan seorang perawat. Etika disebut-sebut juga
refleksi dari standar, sifat dan prinsip seseorang agar berperilaku secara
professional. Kode etik keperawatan adalah standar professional yang dijadikan
sebagai acuan atau pedoman perilaku perawat saat menjalankan profesi
pekerjaannya.
b) Prinsip Etika Keperawatan
1) Autonomy (Otonomi)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir
logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap
kompeten dan memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki
berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip
otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang
sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi
merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut
pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi saat perawat
menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan
dirinya.
2) Beneficience (Berbuat Baik)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan,
memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan
kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain.
Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip
ini dengan otonomi.

10
3) Justice (Keadilan)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang
lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini
direfleksikan dalam prkatek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi
yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk
memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
4) Nonmaleficience (Tidak Merugikan)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis
pada klien.
5) Veracity (Kejujuran)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh
pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap
klien dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity
berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran.
Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprensensif, dan objektif untuk
memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan
yang sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan keadaan dirinya selama menjalani perawatan. Walaupun demikian,
terdapat beberapa argument mengatakan adanya batasan untuk kejujuran
seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis klien untuk pemulihan atau
adanya hubungan paternalistik bahwa ”doctors knows best” sebab individu
memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh
tentang kondisinya. Kebenaran merupakan dasar dalam membangun
hubungan saling percaya.
6) Fidelity (Menepati Janji)
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan
komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan
menepati janji serta menyimpan rahasia klien. Ketaatan, kesetiaan, adalah
kewajiban seseorang untuk mempertahankan komitmen yang dibuatnya.
Kesetiaan, menggambarkan kepatuhan perawat terhadap kode etik yang
menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat adalah untuk
meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan
meminimalkan penderitaan.

11
7) Confidentiality (Kerahasiaan)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga
privasi klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan
klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tidak ada
seorangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh
klien dengan bukti persetujuan. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan,
menyampaikan pada teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga
kesehatan lain harus dihindari.
8) Accountability (Akuntabilitas)
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang
profesional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.
c) Prinsip Dilema Etik
1. Pengertian
Dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif
yang memuaskan atau suatu situasi dimana alternatif yang memuaskan dan
tidak memuaskan sebanding. Enam pendekatan dapat dilakukan orang yang
sedang menghadapi dilema tersebut, yaitu:
1) Mendapatkan fakta-fakta yang relevan.
2) Menentukan isu-isu etika dari fakta-fakta.
3) Menentukan siapa dan bagaimana orang atau kelompok yang
dipengaruhi dilema.
4) Menentukan alternatif yang tersedia dalam memecahkan dilema.
5) Menentukan konsekuensi yang mungkin dari setiap alternatif.
6) Menetapkan tindakan yang tepat.
Dengan menerapkan enam pendekatan tersebut maka dapat meminimalisasi
atau menghindari rasionalisasi perilaku etis yang meliputi: (1) semua orang
melakukannya, (2) jika legal maka disana terdapat keetisan dan (3)
kemungkinan ketahuan dan konsekuensinya.
Pada dilema etik ini sukar untuk menentukan yang benar atau salah dan dapat
menimbulkan stress pada perawat karena dia tahu apa yang harus dilakukan,
tetapi banyak rintangan untuk melakukannya. Dilema etik biasa timbul akibat
nilai-nilai perawat, klien atau lingkungan tidak lagi menjadi kohesif sehingga
timbul pertentangan dalam mengambil keputusan.

12
2. Dilema etik yang terjadi dalam keperawatan :
1) Agama/kepercayaan
Di rumah sakit pastinya perawat akan bertemu dengan klien dari berbagai
jenis agama/ kepercayaan. Perbedaan ini nantinya dapat membuat perawat
dan klien memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyelesaikan
masalah .
2) Hubungan perawat dengan klien
Dilema yang sering muncul antara lain:
a. Berkata jujur atau tidak. Terkadang muncul masalah-masalah yang
sulit untuk dikatakan kepada klien mengingat kondisi klien. Tetapi
perawat harus mampu mengatakan kepada klien tentang masalah
kesehatan klien.
b. Kepercayaan klien. Rasa percaya harus dibina antara perawat dengan
klien.tujuannya adalah untuk mempercepat proses penyembuhan
klien.
c. Membagi perhatian. Perawat juga harus memberikan perhatiannya
kepada klien.tetapi perawat harus memperhatikan tingkat kebutuhan
klien.keadaan darurat harus diutamakan terlebih dahulu. Tidak boleh
memandang dari sisi faktor ekonomi sosial,suku, budaya ataupun
agama.
d. Pemberian informasi kepada klien. Perawat berperan memberikan
informasi kepada klien baik itu tentang kesehatan klien, biaya
pengobatan dan juga tindak lanjut pengobatan
3) Hubungan perawat dengan dokter
a. Perbedaan pandangan dalam pemberian praktik pengobatan. Terjadi
ketidaksetujuan tentang siapa yang berhak melakukan praktik
pengobatan, apakah dokter atau perawat.
b. Konflik peran perawat. Salah satu peran perawat adalah melakukan
advokasi,membela kepentingan pasien. Saat ini keputusan pasien
dipulangkan sangat tergantung kepada putusan dokter. Dengan
keunikan pelayanan keperawatan, perawat berada dalam posisi untuk
bisa menyatakan kapan pasien bisa pulang atau kapan pasien harus
tetap tinggal.

13
4) Pengambilan keputusan
Dalam pengambilan keputusan yang etis, seorang perawat tergantung pada
pemikiran yang rasional dan bukan emosional. Terkadang saat berhadapan
dengan dilema etik terdapat juga dampak emosional seperti rasa marah,
frustrasi, dan takut saat proses pengambilan keputusan rasional yang harus
dihadapi. Dalam hal ini dibutuhkan kemampuan interaksi dan komunikasi
yang baik dari seorang perawat.
d) Prinsip dan moral dalam menyelesaikan dilema etik
a. Otonomi, Otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu
berpikir logis dan memutuskan. Orang dewasa dianggap kompeten dan
memiliki kekuatan membuat keputusan sendiri, memilih dan memiliki
berbagai keputusan atau pilihan yang dihargai.
b. Keadilan, Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil
terhadap orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan
kemanusiaan.
c. Kejujuran, Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang
untuk mengatakan kebenaran. mengatakan yang sebenarnya kepada pasien
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya salama
menjalani perawatan.
d. Kerahasiaan, Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah informasi klien
dijaga privasinya. Yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien
hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tak seorangpun dapat
memperoleh informasi kecuali jika diijinkan oleh klien dengan bukti
persetujuannya. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan,
menyampaikannya pada teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga
kesehatan lain harus dicegah.
e) Model pemecahan masalah etik
Menurut Thompson & Thompson (1981 ) dilema etik merupakan suatu masalah
yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau situasi dimana
alternatif yang memuaskan atau tidak memuaskan sebanding. Kerangka
pemecahan dilema etik banyak diutarakan oleh para ahli dan pada dasarnya
menggunakan kerangka proses keperawatan / pemecahan masalah secara ilmiah,
antara lain:

14
1. Model pemecahan masalah ( Megan, 1989 )
Ada lima langkah-langkah dalam pemecahan masalah dalam dilema etik.
a. Mengkaji situasi.
b. Mendiagnosa masalah etik moral.
c. Membuat tujuan dan rencana pemecahan.
d. Melaksanakan rencana.
e. Mengevaluasi hasil.
2. Kerangka pemecahan dilema etik (kozier & erb, 2004 )
a) Mengembangkan data dasar.
Perawat mengumpulkan informasi sebanyak mungkin meliputi :
1) Siapa yang terlibat dalam situasi tersebut dan bagaimana
keterlibatannya.
2) Apa tindakan yang diusulkan.
3) Apa maksud dari tindakan yang diusulkan.
4) Apa konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan
yang diusulkan.
b) Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi tersebut.
c) Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang
direncanakan dan mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi
tindakan tersebut.
d) Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa
pengambil keputusan yang tepat.
e) Mengidentifikasi kewajiban perawat.
f) Membuat keputusan.
3. Model Murphy dan Murphy
a) Mengidentifikasi masalah kesehatan.
b) Mengidentifikasi masalah etik.
c) Siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan.
d) Mengidentifikasi peran perawat.
e) Mempertimbangkan berbagai alternatif-alternatif yang mungkin
dilaksanakan.
f) Mempertimbangkan besar kecilnya konsekuensi untuk setiap alternatif
keputusan.
g) Memberi keputusan.

15
h) Mempertimbangkan bagaimanan keputusan tersebut hingga sesuai
dengan falsafah umum untuk perawatan klien.
i) Analisa situasi hingga hasil aktual dari keputusan telah tampak dan
menggunakan informasi tersebut untuk membantu membuat keputusan
berikutnya.
4. Langkah-langkah menurut Purtilo dan Cassel ( 1981)
Purtilo dan cassel menyarankan 4 langkah dalam membuat keputusan etik
a. Mengumpulkan data yang relevan.
b. Mengidentifikasi dilema.
c. Memutuskan apa yang harus dilakukan.
d. Melengkapi tindakan.
5. Langkah-langkah menurut Thompson & Thompson ( 1981)
a. Meninjau situasi untuk menentukan masalah kesehatan, keputusan
yang diperlukan, komponen etis dan petunjuk individual.
b. Mengumpulkan informasi tambahan untuk mengklasifikasi situasi.
c. Mengidentifikasi Issue etik.
d. Menentukan posisi moral pribadi dan professional.
e. Mengidentifikasi posisi moral dari petunjuk individual yang terkait.
f. Mengidentifikasi konflik nilai yang ada.
6. Langkah-langkah menurut Curtin
a. Mengumpulkan berbagai latar belakang informasi yang menyebabkan
masalah.
b. Identifikasi bagian-bagian etik dari masalah pengambilan keputusan.
c. Identifikasi orang-orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan
d. Identifikasi semua kemungkinan pilihan dan hasil dari pilihan itu.
e. Aplikasi teori, prinsip etik yang relevan.
f. Memecahkan masalah dilema.
g. Melaksanakan keputusan.

B. Penelitian Terkait
Berdasarkan jurnal penelitian yang sudah dilakukan oleh Maggie Stella Hung,Yeni
Triana dengan judul Perlindungan Hukum Bagi Pasien Anak Kritis Dari Kesepakatan
Do Not Resuscitate (DNR), (Legal Protection Of Critical Children Patient From Do
Not Resuscitate (DNR) tahun 2022. Penelitian ini membahas tentang perlindungan

16
hukum melalui bperaturan perundang- undangan yang ada mengenai pengambilan
keputusan dalam hal penatalaksanaan medis, khususnya Do Not Resuscitate (DNR) oleh
matur minors. Dalam pengambilan keputusan secara mandiri seorang anak terkait
kesehatannya masih belum tegas secara hukum. Perlindungan hukum terhadap
Kesehatan anak sudah diatur dalam pasal 62 Undang-Undang 39 tahun 1999 tentang
hak asasi manusia junctis. Pasal 28A Undang- undang Dasar Republik Indonesia tahun
1945; pasal 4 dan 5. Undang -Undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan; pasal 32 ayat 1(c). Undand- Undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah
Sakit; dan pasal 24. Undang- Undang Republik Indonesia nomor 35 tahun 2014 tentang
perubahan atas UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.sedangkan
peraturan mengenai Do Not Resuscitate (DNR) masuk dalam penundaan terapi bantuan
hidup yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 519/MENKES/PER/III/2011
dan PMK Nomor 37 tahun 2014. Namun perlindungan hukum terhadap anak dari DNR
belum secara spesifik di bahas dalam perundang- undangan.Tanggung jawab hukum
pengambilan keputusan Kesehatan anak secara sepenuhnya diberikan kepada orang tua,
sedangkan negara serta Pemerintah Indonesia belum bertanggung jawab atasnya.
Akibat adanya kekosongan hukum, dalam hal ini perlu adanya penemuan hukum.

Berdasarkan jurnal penelitian dari Gina Adriana (2021), dengan judul penelitian Do
Not Resuscitate (DNR) Dalam System Hukum Indonesia didapatkan hasil DNR
dianggap sebagai bagian dari upaya resusitasi pasien sehingga prinsip etik yang di kaji
haruslah pengkajian terhadap keseluruhan upaya RJP. Prinsip etik yang dilakukan harus
mempertimbangkan kondisi lingkungan sekitar. Misalnya orang asia sangat menekan
pada keputusan kelompok akan keputusan yang ingin diambil. Berdeda dengan orang
Amerika Serikat yang sangat menekankan pada prinsip otonomi individual. Perbedaan
mengenai aspek hukum DNR (Do Not Resuscitate) masih terus berlaku. Beberapa
negara melakukan pelarangan DNR atas beberapa pertimbangan. Di Cina dan Korea
Selatan misalnya DNR dilarang dengan asas keadilan bahwa tindakan pengobatan
seperti resusitasi jantung paru (RJP) harus dilakukan sama pada setiap orang dalam
kondisi dan tempat yang sama. Contoh lain di inggris mengemukakan bahwa orang
yang diberikan label DNR memiliki kemungkinan untukdi terlantarkan dan tidak
mendapat penatalaksanaan yang layak. Dokter juga harus dapat menggali apakah ada
kemungkinan keinginan euthanasia, terutama pada pasien dewasa yang kompeten
namun menolak resusitasi jantung paru secara irasional. Berdasarkan hukum positif di

17
Indonesia, masalah euthenasia maupun pseudoeuthanasia belum diatur secara khusus
sehingga penatalaksanaanya di fasilitas kesehatan belum memiliki titik terang dalam
pelaksanaannya. Pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada regulasi/kebijakan
yang dibuat masing-masing fasilitas kesehatan mengacu pada standar akreditasi rumah
sakit secara nasional, padahal belum ada hukum yang mengatur mengenai batasan-
batasan mana yang termasuk kategori euthanasia dan mana yang kategori pseudo
euthanasia. Dalam praktiknya digunakan peraturan yang mendekati yang dapat di
gunakan sebagai acuan pertanggung jawaban atau penyelesaian masalah apabila
terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tindakan melawan hukum.

Berdasarkan jurnal Ethic dilemma In Do Not Resuscitation (DNR) Management In


Indonesia (Dilemma Etik Dalam Penatalaksanaan Do Not Resitasion (DNR) di
Indonesia (2022). hasil di dapatkan, Do Not Resuscitate (DNR) adalah kondisi dengan
banyak kelebihan dan kekurangan, sehingga harus di pertimbangkan secara hati–hati
dari sudut pandang bioetika dan medicolegal dalam setiap situasi. DNR adalah arahan
bahwa tidak ada upaya yang harus di lakukan untuk menyelamatkan pasien melalui
resusitasi jantung. Implikasi hukun DNR saat ini sedang di perdebatkan DNR di larang
di beberapa negara karena berbagai alasan. Faktor lain yang sering menentang DNR
adalah masalah etika dan agama. Agama tidak memberikan manusia kekuatan untuk
memutuskan hidup dan mati seseorang dengan cara yang sama seperti DNR yang
dianggap dapat memutuskan hidup dan mati seseorang. Pasien yang dinyatakan dewasa
secara hukum dan kompeten memiliki hak untuk menolak prosedur, bahkan prosedur
yang menyelamatkan jiwa, setelah di beri tahu sepenuhnya tentang konsekuensi dari
keputusan mereka. Pasien yang telah membuat keputuan DNR di masa lalu atau di
fasilitas kesehatan lain tidak dapat menuntut dokter jika perawat yang menyelamatkan
jiwa di berikan dalam keadaan ini.

Berdasarkan jurnal penelitian Mona Pettersson (2022) dengan judul penelitian Factor
Influencing Terminal Cancer Patients Autonomous DNR Decision: A Longitudinal
Statutory Document and Clinical Database Study (Etika Keputusan DNR Dalam
Perawtan Onkologi Dan Hematologi: Study Kualitatif). Dalam jurnal ini, perawatan
kanker, perintah Do Not Resuscitate (DNR) umumnya terjadi pada fase terminal
penyakit yang memberikan syarat bahwa dokter yang bertanggung jawab sebelumnya
memutuskan bahwa dalam kasus serangan jantung, penyelamatan paru coroner dasar

18
atau lanjutan tidak boleh di lakukan. Peraturan Swedia menetapkan bahwa keputusan
DNR harus di buat oleh dokter yang bertanggung jawab, sebaiknya bekerja sama
dengan anggota tim. Pasien harus menyetujuinya dan orang penting lainnya harus di
beri tahu tentang keputusan tersebut. Untuk mengambarkan dan mengeksplorasi alasan
etis apa yang di terapkan dokter dan perawat dalam kaitannya dengan keputusan DNR
dalam perawatan onkologi dan hematologi. Metode yang di gunakan: desain kualitatif,
deskriptif dan eksploratif di gunakan berdasarakan komentar teks bebas dalam
kuesioner khusus penelitian. Perawat pada tingkat yang lebih tinggi mengaris bawahi
pentingnya mendiskusikan situasi DNR, sementara dokter mengambarkan keputusan
DNR sebagai penyelidikkan berlebihan dan bukan masalah besar dalam pekerjaan
sehari- hari mereka. Nilai- nilai etika penting yang di jelaskan oleh para peserta untuk
menghindari bahaya dan untuk mengamankan kematian yang damai dan alami dengan
bertabat bagi pasien mereka yang sekarat.

Berdasarkan Jurnal dari Chamsia-Pasha dan Albar (2018) yang berjudul Do-Not-
Resuscitate Orders: Islamic Viewpoind dan hasil yang didapatkan konsep agama islam
tentang keputusan DNR dalam Fatwa No.12086 yang dikeluarkan fatwa tersebur
menyatakan bahwa “jika tiga dokter yang berpengetahuan dan dapat dipercaya sepakat
bahwa kondisi pasien tidak ada harapan, mesin pendukung kehidupan dapat ditahan
atau ditarik. Fatwa menggambarkan enam situasi dimana DNR diberikan jika pasien
tiba-tiba rumah sakit dan dokter menentukan bahwa kondisinya tidak dapat diobati dan
kematian sudah dekat, jika kondisi pasien tidak membaik, maka untuk resusitasi pasien
menderita penyakit jantung atau paru-paru lanjut akan henti jantung berulang resusitasi
dianggap sia-sia.

19
BAB III
PEMBAHASAN KASUS

A. Kasus
An.R (12 tahun) dengan diagnosis neuroblastoma stadium 4 datang ke IGD dengan
keluhan nyeri tumor dengan skala nyeri 9/10. Pasien telah menjalani serangkaian
kemoterapi dan operasi tumor primer. Sekarang pasien sedang dalam tahap kemoterapi
post-operasi tumor, namun pasien merasa sangat kesakitan dengan perutnya yang
membesar. Pasien saat dirawat di RSU meminta dokter untuk dibebaskan dari
pendertiaan penyakitnya, namun orang tua berkeinginan sebaliknya dengan
mempertahankan kehidupan pasien dan memaksimalkan terapi. DPJP pasien melakukan
upaya maksimal untuk menyelamatkan anak. Penandatangan DNR ditolak oleh pihak
keluarga pasien.

a) Analisis kasus berdasarkan teori dan konsep


Pada kasus px di diagnosis neuroblastoma stadium 4, sudah menjalani
operasi dan kemoterapi, perut klien membesar. Pada stadium ini kanker sudah
menyebar ke kelenjar getah bening, tulang, sumsum tulang, hati, kulit dan organ
lain. Selain komplikasi langsung dari neuroblastoma, penderita neuroblastoma juga
dapat mengalami komplikasi terapi. Reseksi tumor bisa menyebabkan cedera
neurovaskular, ascites pasca operasi, diare pasca operasi, dan obstruksi usus akibat
adhesi. Pada kasus px sudah menjalani serangkaian kemoterapi. Dimana kemo
terapi dan imunoterapi bisa menyebabkan mielosupresi dan imunosupresi yang
meningkatkan risiko perdarahan dan infeksi pada anak.
Pada kasus pasien minta untuk dibebaskan dari penderitaan penyakitnya,
namun orang tua berkeinginan sebaliknya. DNR dapat berasal dari keinginan
pasien secara pribadi maupun permintaan keluarga, biasanya di termukan pada
klien penyakit kronis maupun komplikasi yang memiliki tingkat harapan hidup
rendah. Tidak ada standar tertentu bagi tenaga kesehatan sebagai acuan dalam
pengambilan keputusan DNR pada pasien dan aturan pemerintahpun juga tidak
mengatur tentang pengambilan keputusan DNR pada seorang pasien. Beberapa
rumah sakit memiliki beberapa aturan terkait pasien yang perlu mendapatkan
instruksi DNR selama perawatan di rumah sakit. DNR sendiri mendapatkan
perhatian khusus di rumah sakit karena permintaan klien maupun keluarga harus di

20
hormati. DNR merupakan tindakan yang membuat seseorang dalam kondisi kritis
atau gawat dibiarkan begitu saja tanpa penangan professional. Seseorang yang
dalam keadaan demikian dapat menjadi lebih tersiksa sehingga bertentangan
dengan nilai yang dianut perawat berupa menghargai kehidupan manusia.
Memberikan DNR secara langsung membiarkan klien meninggal dunia tanpa
intervensi apapun. Sebaliknya keluarga memiliki hak untuk menentukan intervensi
yang dilakukan untuk klien. Dalam praktiknya, penting untuk diingat bahwa
permintaan DNR pada dasarnya adalah permintaan dari pasien atas Namanya.
Tidak ada ketentuan apakah suatu keluarga dapat meminta keputusan DNR dari
kerabatnya. Semua aspek persetujuan DNR harus di pertimbangkan, yaitu keun
tungan dan kerugian dari upaya penyelamatan. DNR hanya digunakan untuk
melindungi otonomi pasien dan menjaga mereka dari penderitaan lebih lanjut.
Keputusan DNR harus dapat berubah, dan setiap perubahan harus
dikomunikasikan kepada semua professional perawatan kesehatan yang mungkin
berhubungan dengan pasien. Dokumen DNR pasien harus mencantumkan syarat
yang ditolaknya, serta Tindakan dan obat yang ditolaknya dan pengecualian
apapun. Misalnya pasien menolak untuk melakukan CPR atau memberikan bantuan
pengobatan kepada pasien yang mengalami henti jantung.

b) Langkah-langkah efektif dalam penyelesaian kasus


1. Mengkaji Situasi
Dalam hal ini perawat dan dokter melihat situasi, mengidentifikasi masalah
atau situasi dan menganalisis situasi pada kasus ini dapat ditemukan
permasalahan sebagai berikut :
a. An.R (12 Tahun) dengan diagnosis neuroblastoma stadium 4 datang ke
IGD dengan keluhan nyeri tumur skala nyeri 9/10
b. An.R sudah menjalankan kemoterapi dan operasi tumor primer namun
pasien merasa kesakitan dengan perutnya yang membesar dan pasien
meminta dokter dibebaskan dari penderitaaan penyakitnya
c. Orang Tua An.R berkeinginan sebaliknya dengan mempertahankan
kehidupan pasien dan memaksimalkan terapi dan DPJP melakukan
upaya semaksimal untuk menyelamatkan An.R dan penandatanganan
DNR ditolah oleh pihak keluaraga pasien.

21
2. Mendiagnosa Masalah Etik Moral
Berdasarkan Kasus dan Analisa situasi diatas bisa menimbulkan
permasalahan dalam etik moral , orang tua berkeingina untuk mempertahankan
kehidupan pasien, DPJP pasien melakukan upaya maksimal untuk
menyelamatkan anak dan pasien meminta untuk dibebaskan dari penderitaan
penyakitnya.
Dimana dalam Kecakapan hukum (atau yang lebih sering disebut dewasa)
merupakan unsur penting dalam perbuatan hukum. Definisi kecakapan hukum di
Indonesia di dasarkan pada pasal 330 KUHP perdata Junctis undang- undang
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 47 dan peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 25 tahun 2014 tentang upaya Kesehatan anak pasal 1 ayat (7).
Dewasa berdasar pasal 330 KUHP perdata adalah seseorang yang berusia 21
tahun dan sudah menikah ( Meliala, 2018). Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan pasal 47, berbunyi: (1) anak yang belum mencapai umur 18
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya; (2) orang tua
mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar
pengadialan (Nomor,1AD).
Pasal ini kemudian di pertegas dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
25 tahun 2014 tentang upaya Kesehatan anak pasal 1 ayat(7), berbunyi: remaja
aadalah kelompok usia 10 tahun sampai berusia 18 tahun(Menkes, 2014). Jadi
dengan asas penafsiran hukum Lex posterior derogate legi priori,dapat di
simpulkan bahwa Indonesia mengakui usia 18 tahun sebagai dewasa secara
hukum dan kompeten. Implikasi pada pelayanan Kesehatan adalah bahwa anak
Indonesia di bawah 18 tahun tidak memiliki hak untuk menentukkan layanan
kesehatannya secara mandiri.hukum ini mutlak tanpa mempertimbangkan
kompetensi dan kapasitas seorang anak.
3. Membuat Rencana Tujuan dan Pemecahan
Perencanaan Tindakan harus difikirkan dan direncanakan oleh perawat
bersama tim medis lainnya dalam mengatasi permasalahan dilema etik seperti
dalam kasus An. R. Jika penolakan orang tua untuk menandatangan DNR
sedangakan An.R meminta dokter dibebaskan dari penderitaaan penyakitnya.
Dalam kasus diatas pengambilan keputusan secara mandiri seorang anak terkait
kesehatannya masih belum tegas secara hukum.

22
Perlindungan hukum terhadap Kesehatan anak sudah diatur dalam Pasal 62
Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Hak Asasi Manusia junctis
Pasal 28A Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 4 dan 5
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,
Pasal 32 ayat 1(c) Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
dan Pasal 24 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang
perubahan atas UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Sedangkan,
peraturan mengenai do not resuscitate (DNR) masuk ke dalam penundaan terapi
bantuan hidup yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
519/MENKES/PER/III/2011 dan PMK nomor 37 tahun 2014. Namun,
perlindungan hukum terhadap anak dari DNR belum secara spesifik dibahas
dalam perundang-undangan. Tanggung jawab hukum pengambilan keputusan
kesehatan anak secara sepenuhnya diberikan kepada orang tua, sedangkan negara
serta Pemerintahan Indonesia belum bertanggung jawab atasnya. Akibatnya
adanya kekosongan hukum, dalam hal ini perlu adanya penemuan hukum.

4. Melaksanakan Rencana
Rencana tersebut harus dipertimbankan dan didiskusikan dengan tim media agar
tidak melanggar kode etik keperawatan seperti:
Pada prinsip ini perawat harus menghargai apa yang menjadi keputusan
orang tua tentang penolakan penandatangan do not resuscitate (DNR). Karna dalam
hukum Indonesia anak di bawah 18 tahun belum dapat mempertanggung jawabkan
dirinya sendiri. Orang tua yang memiliki tanggung jawab dalam penentuan
Kesehatan anak, namun apakah itu dianggap baik untuk si anak ?
Problematika Tindakan medis pada anak An.R pada penentuan Tindakan
dalam keadaaan khusus saat segala upaya maksimal telah dilakukan, tim medis
harus berdiskusi dan membuat keputusan penghentian upaya terapi. Pengambilan
keputusan ini diambil oleh orang tua untuk mengambil keputusan utama dan tim
medis sebagai penunjuk keputusan akhir. Aspek hukum yang mempengaruhi hak
autonomy dalam pengambilan keputusan sehingga si anak blum mampu mengambil
keputusan sendiri, dampak etika beneficence terhadap non- maleficence,
pandangan orang tua, pandangan tim medis, pandangan komite etik dan hukum dan
pandangan subkomite etika dan displin profesi.

23
5. Mengevaluasi Hasil
Pada kasus An.R perlu adanya hukum yang mengatur mengenai perintah do
not resuscitate (DNR) untuk melindungi hak asasi seorang anak dalam penentuan
tindakan medis yang akan diterimanya. Hak anak perlu dilindungi, dihormati, dan
dihargai yang direalisasikan melalui wadah pembentukan peraturan hukum di
Indonesia, hukum ini juga diharapkan mampu memberi suatu batas tegas kepada
pasien anak, orang tua, dan dokter yang mengahadapi kasus seperti An.R.

c) Analisa aspek etik dan legal


Ditinjau dari segi etik maka pelaksanaan DNR pada pasien An. Y dapat
dilakukan berdasarkan manfaat dari tindakan RJP tersebut, berdasarkan prinsip
beneficince RJP tidak menunjukkan hasil yang spesifik pada pasien penyakit kronis
termasuk kanker. RJP hanya menunjukkan hasil yang positif bila dilakukam pada
pasien henti jantung dengan penyakit yang berhubungan dengan jantung.
Berdasarkan suatu study di rumah sakit di Boston, pasien dengan kanker lanjut
yang telah bermetastatis tidak ada yang dapat bertahan hidup hingga pulang dari
rumah sakit. Dan berdasarkan prinsip non maleficence tindakan RJP yang
berkepanjangan akan menyebabkan kesakitan yang lebih lanjut lagi pada pasein
anak tersubut.
Namun berdasarkan prinsip keadilan, semua pasien henti jantung wajib
mendapatkan tindakan RJP, dengan catatan tindakan tersebut dapat memberikan
harapan hidup yang lebih tinggi dan secara nyata memberikan dampak positif yang
lebih, dan efek samping yang lebih rendah, sedangkan kita ketahui pada pasien anak
Y pasien tersebut telah menlewati serangkaian pengobatan yang memberikan efek
kesakitan yang sangat. Dan berdasarkan prinsip otonomi pasien secara etik harus
dihormati dan bahkan secara legal, dalam mengunakan hak otonomi pasien harus
dipastikan layak untuk memutuskan suatu tindakan medis yang akan dia jalani
termasuk tindakan RJP, tapi pada kasus ini pasien belum dapat memutuskan
tindakan medis apa yang akan dilakukan untuknya karna pasien ini masuk di bawah
umur, karna pasien dianggap dewasa sesuai dengan peraturan negara yakni berusia
18 ntahun.
Berdasarkan aspek legal anak R tersebut belum mampu mengambil
keputusan karna masih dibawah umur dan yang berhak menentukan pilihan tinda
kan medis adalah wali pasien. Walaupun pada kasus ini anak Y berkeinginan untuk

24
dibebaskan dari penyakitnya tetapi anak berusia dibawah 12 tahun, dimana
berdasarkan hukum di indonesia anak dibawah usia 18 tahun belum dapat
mempertanggung jawabkan dirinya sendiri, akibatnya orang tua dari anak yang
memiliki tanggung jawab. Pada kasus orang tua pasien menolak penandatanganan
DNR dan ingin mempertahankan kehidupan pasien dan memaksimalkan terapi.
Dan ditinjau dari segi hukum berdasarkan kitab undang-undang Hukum Pidana
seseorang dapat di pidana atau dihukum jika menghilangkan nyawa orang lain
dengan sengaja atau kelalaian. Penerapan Euthanasia dan Pseudoeuthanasia (Do
Not Resucitate) diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang tercantum
dalam Pasal 338 KUHPidana dan pasal 340 KUHPidana. Dokter yang melakukan
euthanasia terhadap pasien yang dengan sadar memintanyapun dapat dikenakan
ancaman hukuman pidana, karena di atur dalam KUHPidana pada pasal 344. Tapi
pada kasus DNR tidak berarti tindakan penanganan dan tatalaksana tidak dilakukan
secara optimal, hanya tidak dilakukan tindakan RJP saat terjadi henti jantung.

d) Tinjauan dari aspek hukum dan agama


Perdebatan mengenai aspek hukum DNR (Do Not Resucitate) masih terus
berlaku. Beberapa negara melakukan pelarangan DNR atas beberapa pertim
bangan. Di Cina dan Korea Selatan misalnya, DNR dilarang dengan asas keadilan
bahwa tindakan pengobatan seperti resusitasi jantung paru (RJP) harus dilakukan
sama pada setiap orang dalam kondisi dan tempat yang sama. Contoh lain, di
Inggris, mengemukakan bahwa orang yang diberikan label DNR memiliki
kemungkinan untuk ditelantarkan dan tidak mendapat penatalaksanaan yang layak.
Dokter juga harus dapat menggali apakah ada kemungkinan keinginan euthanasia,
terutama pada pasien dewasa yang kompeten namun menolak resusitasi jantung
paru secara irasional. Berdasarkan hukum positif di Indonesia, masalah euthanasia
maupun pseudoeuthanasia belum diatur secara khusus sehingga pelaksanaanya di
fasilitas kesehatan belum memiliki titik terang dalam pelaksanannya. Pelaksanaan
diserahkan sepenuhnya kepada regulasi/ kebijakan yang dibuat masing-masing
fasilitas kesehatan mengacu pada standar akreditasi rumah sakit secara nasional,
padahal belum ada hukum yang mengatur mengenai batasan-batasan perbuatan
mana yang termasuk kategori euthanasia dan mana yang kategori pseudoeuthanasia
Dalam hukum Indonesia, anak dibawah usia 18 tahun belum dapat memper
tanggung jawabkan dirinya sendiri. Akibatnya, orang tua dari anak yang memiliki

25
tanggung jawab. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 berperan sebagai dasar
dan landasan hukum tertinggi di Indonesia. Sehingga, segala pembentukan
kebijakan dan peraturan harus berlandas kan Pancasila dan UUD 1945. Di
Indonesia tidak ada peraturan khusus yang mengatur bagaimana DNR dilakukan.
UUD 1945, pasal 28 A perubahan kedua, mengatur bahwa “setiap orang berhak
untuk hidup dan mempertahankan hidupnya”, UU no 39 tahun 1999 pasal 62
berbunyi “setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik, dan mental spiritualnya”, UU no 36
tahun 2009 tentang kesehatan pasal 5 ayat (3) berbunyi “setiap orang berhak secara
mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang
perlukan baginya”, hal ini di perkuat oleh pasal 39 undang-undang no 29 tahun
2004 tentang praktik kedokteran yang menyatakan bahwa “praktek kedokteran
dilaksanakan dalam upaya memelihara kesehatan, mencegah penyakit, meningkat
kan kesehatan, mengobati penyakit, dan memulihkan kesehatan berdasarkan
kesepakatan antara seorang dokter atau dokter gigi dengan seorang pasien”. Pasal
45 Undang-Undangan No 29 tahun 2004 menyatakan “setiap tindakan medis harus
dilakukan dengan persetujuan pasien setelah dokter memberikan penjelasan yg
cukup”. Dalam keadaan darurat pesetujuan untuk tindakan sering diperlukan dalam
hubungan dengan pemberian intervensi penyelamatan jiwa. Menurut pasal 17 kode
etik kedokteran Indonesia, “setiap dokter wajib memberikan pertolongan darurat
sebagai semacam kewajiban kemanusiaan, kecuali ia merasa ada orang lain yang
siap dan berkompeten untuk memberikannya”. Saat ini DNR diatur oleh tidak
adanya kepastian hukum. Pasal 1 ayat (1) peraturan Menteri kesehatan no 37 tahun
2014 tentang penetapan kematian dan penggunaan organ menyatakan bahwa
praktik kedokteran dilaksanakan atas dasar kesepakatan antara dokter atau dokter
gigi dengan pasien dalam rangka memelihara, mencegah, meningkatan mengobati,
dan memulihkan kesehatan.
 DNR dalam Perspektif Hukum Pidana :
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) seseorang
dapat dipidana atau dihukum jika menghilangkan nyawa orang lain
dengan sengaja atau kelalaian. Penerapan Euthanasia dan Pseudo
euthanasia (Do Not Resucitate) diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang tercantum dalam Pasal 338 KUHPidana dan pasal

26
340 KUHPidana. Dalam hal Euthanasia dan Pseudoeuthanasia (Do Not
Resucitate) dimana permintaannya oleh karena sesuatu hal misalnya
karena pasien tidak sadar dalam jangka waktu lama, dilakukan oleh
keluarga pasien, ataupun tindakan yang dilakukan oleh dokter tanpa
diminta oleh keluarga pasien, maka Pasal 338 KUHPidana atau bahkan
Pasal 340 KUHPidana dapat diancamkan kepada dokter yang
melakukannya. Selain dua pasal tersebut terhadap dokter yang
melakukan euthanasia terhadap pasien yang dengan sadar memintanya
pun dapat dikenakan ancaman hukuman pidana, karena diatur dalam
KUHPidana pada pasal 344. Dalam mengkaji Euthanasia pasif, maka
analisa euthanasia pasif dalam perpektif hukum pidana dibagi menjadi
tiga kelompok: Euthanasia pasif atas permintaan pasien. Euthanasia atas
permintaan pasien berkaitan erat dengan hak-hak pasien seperti yang
terdapat dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 52.
1. Euthanasia Pasif Tanpa Permintaan Pasien , berarti dokter sendirilah
yang berinisiatif untuk berbuat euthanasia pasif, tanpa melakukan
pengobatan. Biasanya dokter dalam melakukan euthanasia pasif
terdoromg karena anggapan dokter bahwa tindakan medis yang akan
dilakukan terhadap pasiennya sudah tidak ada gunanya lagi. Apabila
dokter dapat membuktikan bahwa tindakan medis yang akan
dilakukan itu sudah tidak ada gunanya lagi, maka dokter tidak
mendapatkan tuntutan hukum., sebaliknya bila yang dilakukannya
tidak dapat dibuktikan maka dokter dapat dijerat Pasal 304 dan Pasal
306 ayat (2) KUHPidana.
2. Euthanasia Pasif Tanpa Sikap Pasien, biasanya berdasarkan
pertimbangan bahwa pengobatan sudah tidak ada gunanya. Adapun
tanpa sikap pasien adalah apabila keadaan pasien sudah dalam tidak
sadarkan diri. Hal ini berarti tanpa diketahui apa kehendak pasien
yang sebenarnya. Dengan demikian pengertian “tanpa permintaan”
dengan “tanpa sikap” pasien hampir sama, akibat hukum yang
ditimbulkan antara keduanya tidak ada perbedaan yang prinsipil pula.
 Euthanasia dan Pseudoeuthanasia dalam Hukum Perdata
Pada Hakikatnya ada dua bentuk pertanggung jawaban dokter dibidang
hukum perdata, yaitu pertama hubungan hukum disebabkan oleh suatu
27
kesepakatan dan apabila kesepakatan ini dilanggar akan menyebabkan
wanprestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1239 KUHPerdata dan
yang kedua berdasarkan perbuatan melanggar hukum (onrechtma
tigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Umumnya
dalam persetujuan secara tertulis, setelah dokter memberikan penjelasan,
selanjutnya dokter akan memberikan formulir yang akan ditanda tangani
oleh pasien jika pasien memberikan persetujuan.
Dalam kasus Euthanasia pasif jelas harus ada informed consent.
Menurut Sutarno persetujuan ini diperlukan pada euthanasia pasif, untuk
euthanasia aktif tenaga kesehatan belum berani karena belum ada payung
hukumnya sehingga dapat terancam pidana. Namun menurut Akhmad
Budi Cahyono, euthanasia dalam hal ini dinilai bukan merupakan suatu
bentuk perjanjian yang memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata, hal ini karena kegiatan
tersebut merupan tindakan melawan hukum yang berlaku di Indonesia,
antara lain KUHPidana, Undang- Undang Praktik Kedokteran, Kode Etik
Kedokteran Indonesia, dll, sehingga kesepakatan untuk dilakukannya
tindakan euthanasia tidak memenuhi poin ke-empat syarat sah perjanjian
yakni sebab yang halal.
Perspektif islam tentang keputusan DNR, dalam hadist nabi Muhammad SAW
mengatakan bahwa “seharunya salah satu dari kalian mengharapkan kematian karena
bencana yang menimpanya tetapi jika dia harus menginginkan kematian, dia harus
mengatakan “ya allah..biarkan aku hidup selama hidup lebih baik bagiku, dan
biarkan ak mati jika kematian lebih baik bagiku”. Konsep agama islam tentang
keputusan DNR telah diklarifikasi oleh Presidensi Administrasi Penelitian Islam dan
Ifta, Riyadh, KSA, dalam fatwa No.12086 yang dikeluarkan pada 28/3/1409 (1989).
Fatwa tersebut menyatakan bahwa :”Jika tiga dokte yang berpengetahuan dan dapat
dipercaya sepakat bahwa kondisi pasien tidak ada harapan; mesin pendukung
kehidupan dapat ditahan atau ditarik”. Pendapat anggota keluarga tidak termasuk
dalam pengambilan keputusan karena mereka tidak memenuhi syarat untuk
membuat keputusan tersebut. Fatwa tersebut didasarkan pada pertanyaan yang
diajukan tentang penggunaan tindakan resusitasi pada kondisi sebagai berikut:
 Jika berkas medis pasien sudah dicap:”jangan resusitasi”, sesuai kehendak pasien
atau kuasanya dan pasien tidak layak untuk resusitasi, seperti yang disepakati
28
oleh tiga dokter spesialis yang kompeten, maka tidak perlu dilakukan Tindakan
resusitasi.
 Jika tiga dokter telah memutuskan bahwa tidak pantas untuk manyadarkan pasien
yang menderita penyakit serius yang tidak dapat disembuhkan dan kematiannya
hamper pasti, tidak perlu menggunakan Tindakan resusitasi.
 Jika pasien tidak mampu secara mental atau fisik dan juga menderita stroke atau
kanker stadium lanjut atau memiliki penyakit kardiopulmonar berat dan telah
mengalami beberapa serangan jantung, dan keputusan untuk tidak melakukan
resusitasi telah dicapai oleh tiga dokter spesialis yang kompeten, maka
diperbolehkan untuk tidak melakukan resusitasi.
 Jika pasien mengalami kerusakan otak yang tidak dapat diperbaiki setelah
serangan jantung dan kondisi tersebut dikonfirmasi oleh tiga dokter spesialis
yang kompeten, maka Tindakan resusitasi tidak perlu dilakukan karena tidak aka
nada gunanya.
 Jika Tindakan resusitasi dianggap tidak berguna dan tidak tepat untuk pasien
tertentu menurut tiga dokter spesialis yang berkompeten, maka Tindakan
resusitasi tidak perlu dilakukan. Pendapat pasien atau kerabatnya tidak boleh
dipertimbangkan, baik dalam menahan atau menarik Tindakan dan mesin
resusitasi, karena itu adalah keputusan medis dan tidak dalam kapasitas mereka
untuk mencapai keputusan seperti itu.

e) Model penyelesaian masalah berbasis EBP


Berdasarkan penelitian yang dilakukan Mona Petterson dengan judul The
Ethic Of DNR-decisions in Oncology and Hematology Care: A Qualitative Study,
penelitian ini membahas tentang perintah DNR umumnya terjadi pada fase terminal
penyakit, dimana DPJP memutuskan bahwa dalam kasus serangan jantung RJP
tidak harus dilakukan. Dokter dan perawat dapat mengalami dilema etik Ketika
mengambil keputusan berkaitan dengan DNR. Pengambilan data dilakukan pada
bulan februari hingga oktober 2017, responden nya dalah perawat dan dokter yang
pernah bekerja di bidang onkologi dan hematologi selama minimal 6 bulan. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengukur pandangan perawat dan dokter tentang
proses keputusan DNR dalam perawatan onkologi dan hematologi, dan nilai-nilai
apa yang mereka anggap penting untuk alasan keputusan DNR. Metode penelitian

29
yang digunakan kualitatif, deskriptif dan eksploratif, menggunakan studi khusus
kuesioner yang di kembangkan dalam bentuk web-survey, kuesioner dimulai
dengan sketsa pendek, disesuaikan dengan salah satu onkologi atau hematologi.
setelah itu responden menjawab pertanyaan tentang siapa yang harus berpartisipasi
dalam keputusan DNR, kepada siapa harus di informasikan, dan bagaimana
keputusan ini harus di dokumentasikan. Untuk setiap topik, responden terlebih
dahulu memperkirakan (6 step skala Likert) seberapa penting proses DNR dan
dibagian selanjutnya memperkirakan seberapa besar kemungkinan ini akan terjadi
di bangsal. Responden juga memilih nilai yang penting saat memutuskan DNR.
Dan diakhir setiap topik kuesioner para perserta memiliki kesempatan untuk
menulis komentar yang berkaitan dengan topik. Penelitian dilakukan di tujuh
rumah sakit di swedia, 16 departemen hematologic dan onkologi di masukkan
dalam penelitian. Web-survei di kirim ke 295 perawat dan 206 dokter. Yang
menjawab 45% (n=132) perawat, dan 41% (n=84) dokter, total 216 peserta yang
menjawab kuesioner. Total 287 komentar yang diberikan oleh 89 peserta (41,2%)
dalam penelitian ini, terdiri dari 46 perawat (15 perawat hematologi dan 31 perawat
onkologi). Dan 43 dokter (14 hematologi dan 29 onkologi). Hasil penelitian dibagi
dalam 1 tema menyeluruh dan 3 kategori dan sub kategori.
1. Tema : penalaran etis berbasis situasi
Para peserta menggambarkan keputusan DNR adalah masalah yang rumit,
pertanyaan tentang informasi kepada pasien atau orang terdekat, serta
memberikan persetujuan dalam pengembilan keputusan terkait DNR di
anggap sebagai hal-hal yang sulit dan oleh karena itu keputusan etis harus
didasarkan pada keadaan dalam setiap situasi tertentu. Oleh karena itu, para
peserta menganjurkan etik berbasis situasi berkaitan dengan keputusan DNR.
2. Kategori 1 : Utilitarian Reasoning, dua sub kategori di Kembangkan dalam
kategori ini,
 First, do no harm
Keputusan untuk melakukan DNR pada pasien harus merupakan
keputusan Bersama, walaupun pembahasan ini masih dipandang tidak
pantas atau tidak etis untuk dibicarakan. Alasan mengatakan tidak etis
karena tindakan DNR dianggap sebagai tindakan untuk menghindari
penderitaan atau menyakiti pasien.

30
Pasien yang harus menentukan untuk membahas tentang CPR, kalua
pasiennya tidak menginginkan pembicaraan soal CPR bearti tim
medis tidak berhak untuk membahasnya. (dokter 79, onkologi)
Yang terpenting adalah Tindakan DNR ini membahayakan pasien
atau tidak, dan Tindakan DNR harus mempertimbangkan peluang
keberhasilan untuk mempertahankan kehidupan dan kualitas hidup
pasca CPR. (perawat 180, onkologi)
 Universal Guidelines- A Problem
Tindakan CPR tidak selalu membantu pada pasien dengan kondisi
kritis yang disebabkan oleh penyakitnya. (dokter 147, onkologi)
3. Kategori 2 : Deontological Reasoning
Keputusan DNR harus mempertimbangkan hak otonomi pasien, hak untuk
mengetahui atau mendapatkan informasi, harus menghormati martabat pasien
dan melakukan pendokumentasikan yang berkaitan dengan keputusan DNR.
 The Right To Autonomy
Pasien berhak untuk menentukan tindakan medis untuk dirinya, jika
pasien memutuskan untuk dilakukan tindakan DNR maka keputusan
itu harus di hormati.(dokter 82, onkologi)
 The Right To Know
Pasien berhak mendapatkan informasi untuk menentukan, menyetujui
atau tidak tentang Tindakan DNR, pasien berhak mendiskusikan dan
mendapat penjelasan dan informasi dari dokter tentang
perkembangan penyakitnya dan hubungan penyakitnya dengan
tindakan DNR. Dari pengalaman perawat dilapangan kadang pasien
dan keluarganya tidak mendapatkan informasi yang memadai untuk
mengambil keputusan tentang DNR.(dokter 147, onkologi)
 The Values Of Dignity
Pasien berhak meninggal dalam keadaan yang bermartabat, pasien
tidak seharusnya meninggal dalam keadaan terhubungan dengan
ventilator di ICU setelah mengalami serangan jantung.(dokter 147,
onkologi)
 Corresponding Duties
Hak pasien untuk menentukan keputusan Tindakan medis dan
mendapatkann informasi yang jelas harus disampaikan oleh dokter,

31
dan juga keluarga harus mendapatkan penjelasan untuk menentukan
Tindakan DNR. Keputusan DNR harus didokumentasikan dan semua
petugas medis terlibat harus yakin dengan keputusan yang
dibuat.(dokter 79, onkologi)
4. Kategori 3 : Care Ethics Reasoning
Etika perawat didasarkan atas penilaian etis dalam memberikan perawatan
yang baik kepada pasien yang kritis. Pasien sangat sensitif karena mereka
berada di fase terminal dengan demikian tuntutan etis yang utama dalam
melakukan perawatan yang baik untuk pasien yang kritis.
 A Peaceful and “Natural” Death
Pasien yang sakit parah sebaiknya meninggal dengan damai, dan
diberikan do’a oleh orang-orang terdekat disisinya.(dokter
147,onkologi)
Pasien dapat memilih keputusan tentang DNR yang akan diberikan,
kalien lebih memilih meninggal secara alami dan damai dari pada
Tindakan DNR, sebagian pasien sangat sakit sehingga peluang untuk
selamat dari serangan jantung sangat kecil, bahkan dengan CPR
segera, oleh karena itu dokter lebih menyarankan meniggal secara
alami daripada DNR.(dokter 25,onkologi)
 Giving and Receiving Care
Bentuk lain dari sikap peduli adalah keinginan untuk memberikan
perawatan yang penuh perhatian kepada pasien yang sakit parah. Kita
perlu menciptakan suasana yang tenang dan aman disekitar pasien.
(Dokter 131, onkologi)
Penting untuk memberi tahu pasien dan orang terdekat bahwa kita
melakukan semua yang kita bisa sampai jantung berhenti, misalnya
pereda nyeri, antibiotik, dll.(Perawat 53, onkologi)
Penyelesaian masalah pada kasus ini adalah keputusan DNR harus
mempertimbangkan kondisi pasien, sebelum memutuskan tindakan DNR
pasien dan keluarga harus mendapatkan informasi yang lengkap dari dokter
dan tim medis lainnya. Keputusan tentang DNR juga harus
didokumentasikan, kondisi pasien yang mendukung untuk mengambil
Tindakan DNR adalah saat pasien berada pada fase terminal dan sudah
dilakukan tindakan medis yang memadai tetapi tidak menunjukkan kondisi

32
yang membaik, pasien dengan keluarga berhak untuk menentukan Tindakan
DNR dengan pertimbangan pasien jika dilakukan CPR akan membuat pasien
lebih lama menderita dan tidak meninggal dalam keadaan bermantabat dan
damai.
f) Implikasi dalam keperawatan
Dalam dunia Keperawatan DNR dapat atau tidaknya dilakukan harus dilihat
dari berbagai aspek, yakni aspek etik dan legal. Dan yang berhak menentukan
pasien layak untuk dilakukan tindakan DNR adalah DPJP dengan
mempertimbangkan pendapat dari tim medis termasuk pendapat dari perawat.,
dengan catatan pasien dan keluarganya telah mendapatkan penjelasan dari dokter
atau tim medis dan dengan sadar atau dalam kondisi mental yang baik saat
menandatangani informed consert. Perawat wajib mendokumentasi kan
persetujuan DNR dan di tanda tangani oleh dua orang baik itu pasien maupun
keluarga pasien tersebut, dan jika pasien dalam kondisi yang tidak dapat menulis
maka keluarga pasien yang akan menuliskan dengan instruksi dari pasien tersebut.

Dan perawat tidak berhak mengabaikan hak-hak pasien untuk tetap


mendapatkan perawatan yang maksimal termasuk terapi dan nutrisi, kecuali
terdapat instruksi spesifik untuk menunda pemberian nutrisi/hidrasi, pasien dengan
label DNR hanya tidak dilakukan tindakan RJP saat henti jantung. Tindakan RJP
pada pasien anak Y akan merugikan pasien dan bertolak belakang dengan prinsip
do no harmn (nonmaleficience).
Jika pasien dengan label DNR mengalami henti jantung atau henti nafas,
perawat wajib melakukan asesmen segera untuk mengidentifikasi penyebab dan
memeriksa posisis pasien, patensi jalan nafas, dan sebagainya, dan tidak perlu
melakukan usaha bantuan hidup dasar maupun lanjutan.
Tindakan DNR dalam pelaksanaanya akan menimbulkan pro dan kontra,
terlepas dari pro dan kontra pada tindakan tersebut, tenaga medis harus
mempertimbangkan untung ruginya memilih tindakan tersebut yang berorientasi
pada kebutuhan dan kondisi pasien, dan memikirkan efek samping yang akan di
timbulkan saat memilih tindakan DNR.
Pada kasus anak dengan diagnosa Neuroblastoma stadium 4 dan mengalami
nyeri yang sangat, dan telah menjalani serangkaian tindakan medis untuk
menyembuhkan penyakitnya, maka pada pasien ini apabila pasien dan keluarga

33
telah setuju dan telah menandatangani informed consert DNR, berdasarkan aspek
etik telah memenuhi syarat untuk mendapatkan tindakan DNR berdasarkan
beberapa penelitian dari berbagai pakar bahwa DNR pada pasien dengan kasus
penyakit gagal ginjal, kanker dan penyakit kronis tidak menimbulkan efek yang
positif, dan berdasarkan penelitian yassng di kemukukakan dr. Ardi Pramono,
Sp.An. M.kes mengatakan berdasarkan penelitian review pustaka menunjukkan
bahwa kelangsungan hidup pasca RJP pada pasien dengan kanker tahap akhir lebih
rendah dari pasien bukan kanker, bahkan beberapa kajian menunjukkan bahwa
tindakan RJP tersebut masuk dalam kategori tindakan sia-sia. Sedangkan tujuan
dari perawatan yang akan kita berikan pada pasien adalah mengurangi rasa sakit
pasien dan keluarganya, sehingga dalam menghadapi masa terminal (masa
menjelang kematian) pasien dan keluarga merasa nyaman, tindakan DNR
memungkinkan keluarga pasien dapat menemani saat-saat terakhir pasien.

34
BAB IV
KESIMPULAN

Neuroblastoma merupakan tumor embryonal dari sistem saraf otonom,


neuroblastoma umumnya terjadi pada usia rata-rata 17 bulan, penyebab
neuroblastoma belum diketahui, ada laporan yang menyebutkan bahwa timbulnya
neuroblastoma infantile (pada anak-anak) berkaitan dengan orang tua atau selama
hamil terpapar obat-obatan atau zat kimia tertentu seperto hydantoin, etanol, dll.
DNR atau do not resuscitate merupakan suatu bentuk kesepakatan antara
pasien, keluarga pasien dan tim medis, yang mengambarkan keputusan untuk tidak
melakukan Tindakan pertolongan bantuan hidup dasar ataupun lanjutan Ketika
seseorang mengalami henti nafas dan henti jantung. Sebelum memutuskan
Tindakan DNR harus mempertimbangan kondisi pasien terlebih dahulu, karna dari
penelitian yang dilakukan para ahli mengatakan bahwa Tindakan CPR pada pasien
gagal ginjal dan kanker tidak menunjukkan hasil yang positif. Perlunya adanya
pengaturan hukum dalam perintah DNR untik melindungi hak asasi pada nak dalam
peraturan penentuan Tindakan medis yang dierimanya.

35
DAFTAR PUSTAKA

Adriana,Gina. (2021). Do Not Resucitate (DNR) dalam Sistem Hukum Indonesia. Cendika:
Jurnal Ilmiah Indonesia, Mei 2021,1(5), 515-523.
Alcoser P,Rodgers C.(2003).Treatment strategis in childhood cancer, J Pediatr Nurs 18(2):
103.
Ball J, Bindler R, editor.(1995).Pediatric nursing: caring for children east Norwalk,
Conn,Appleton & Lange.
Bryant R.(2003).Managing side effects of childhood cancer treatment, J Pediatr Ners
18(2):113.
Cecily Lynn Betz & Linda A. Sowden.(2002).Buku saku Keperawatan Pediatri.Buku
kedokteran Edisi 5.Jakarta:EGC
Chamsi,Pasha & Albar. (2018). Do-Not- Resuscitate Orders: Islamic Viewpoind,
International Journal of Human and Health Sciences Vol.02 No.01 January’18.
Foley G et al, editors.(1993).Nursing care of the child with cancer, ed 2, Philadelphia, WB
Saunders.
Hung, Stella Maggie dkk. (2022). Perlindungan Hukum Bagi Pasien Anak Kritis Dari
Kesempakatan Do Not Resusciate ( DNR ) ( Legal Protection Of critical Children
Patients From Do Not Resuscitate (DNR). Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p-
ISSN: 25410849 e-ISSN: 2548-1398, Vol.7, Special Issue No.2, Februari 2022.
Japaries, Willie.(2008). Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2. Jakarta : FKUI.
Kemenkes Ri.(2013). Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes
Ri
http://www.badankebijakan.kemkes.go.id/laporan-hasil-riset-kesehatan-dasar-
riskesdas/
Kline N, Servier N.(2003).Solid tumor in children, J Pediatr Nurs 18(2): 96.
Massa, Kartini.(2018).Etika Keperawatan.Jakarta:Trans Infomedia
Pettersson,Mona dkk. (2020). Factors Influencing terminal Cancer Patients’ Autonomous
DNR Decision: A Longitudinal Statutory Document and Clinical Database Study. Chen
et al. BMC Palliative Care (2022)21 :149.
Tuffs A.(2002).Neuroblastoma screening does not reduce mortality, BMJ 324(7342):867.
Wijaya, Adi, Yunus.(2022).”Ethic Dilemma In “Do Not Resucitation” (DNR) Management
In Indonesia. Etik Keperawatan /Issued 20/III/2022/1-10.

36
Young G et al.(2000).Recognition of common childhood malignancies, Am Fam Physician
61(7):2144.

37

Anda mungkin juga menyukai