Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG DASAR - DASAR

PENGELOLAAN LAHAN SUB OPTIMAL


(Analisis dan Pengelolaan Lahan Gambut)

Disusun Oleh:
Kelompok 6.1

ANGGIA DWI YUSTIANINGSIH 2010514320014


ASSYIFA AZMI 2010514320023
BINTANG PUTRI PERDANA SINGGIH 2010514320031
HASLINDA AMALIA HIDAYATI 2010514320005
NAJWA RAMADINA 2010514320006
NOR ASIAH 2010514320001

JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2021

i
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ....................................................................................... i

TABEL ................................................................................................ ii

PENDAHULUAN ............................................................................... 1

Latar Belakang............................................................................ 1
Rumusan Masalah ....................................................................... 2
Tujuan ........................................................................................ 2
Manfaat Penelitian ...................................................................... 3

TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 4

HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 9

Hasil ........................................................................................... 9
Pembahasan ................................................................................ 11

KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 14

Kesimpulan................................................................................. 14
Saran .......................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 16

LAMPIRAN ........................................................................................ 17

Lampiran 1. Dokumentasi ........................................................... 17


Lampiran 2. Tanda Tangan ......................................................... 19
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Tabel 1. Lahan Gambut ........................................................................ 9

Tabel 2. Tanaman Yang Diusahakan .................................................... 10


PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tanah gambut disebut juga tanah Histosol (tanah organic) asal
bahasa Yunani histories artinya jaringan. Histosol sama halnya dengan
tanah rawa, tanah organik dan gambut.Histosol mempunyai kadar bahan
organik sangat tinggi sampai kedalaman 80 cm (32inches) kebanyakan
adalah gambut (peat) yang tersusun atas sisa tanaman yang sedikit banyak
terdekomposisi dan menyimpan air. Jenis tanah Histosol merupakan tanah
yang sangat kaya bahan organik keadaan kedalaman lebih dari 40 cm dari
permukaan tanah. Umumnya tanah ini tergenang air dalam waktu lama
sedangkan didaerah yang ada drainase atau dikeringkan ketebalan bahan
organik akan mengalami penurunan (subsidence).
Bahan organik didalam tanah dibagi 3 macam berdasarkan tingkat
kematangan yaitu fibrik, hemik dan saprik. Fibrik merupakan bahan organik
yang tingkat kematangannya rendah sampai paling rendah (mentah) dimana
bahan aslinya berupa sisa-sisa tumbuhan masih nampak jelas. Hemik
mempunyai tingkat kematangan sedang sampai setengah matang,
sedangkan sapri tingkat kematangan lanjut. Dalam tingkat klasifikasi yang
lebih rendah (GreatGroup) dijumpai tanah-tanah Trophemist dan
Troposaprist. Penyebaran tanah ini berada pada daerah rawa belakangan
dekat sungai, daerah yang dataran yang telah diusahakan sebagaia real
perkebunan kelapa dan dibawah vegetasi Mangrove dan Nipah.
Secara umum definisi tanah gambut adalah: “Tanah yang jenuh air
dan tersusun dari bahan tanah organik, yaitu sisa-sisa tanaman dan jaringan
tanaman yang melapuk dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Dalam sistem
klasifikasi baru (Taksonomi tanah), tanah gambut disebut sebagai Histosols
(histos = jaringan).”Pada waktu lampau, kata yang umum digunakan untuk
menerangkan tanah gambut adalah tanah rawang atau tanah merawang.
Diwilayah yang memiliki empat musim, tanah gambut telah dikelompokan
dengan lebih rinci. Padanan yang mengacu kepada tanah gambut tersebut
adalah bog, fen, peatland atau moor.
Saat ini daerah gambut mendapat perhatian yang cukup besar, baik
dari segi luasan lahan yang dapat digunakan untuk lahan pertanian,
pemukiman, perkembangan hutan dan pemanfaatan sumber daya energy,
maupun dari segi fungsi lingkungan hidup sebagai penyangga kehidupan
yang beraneka ragam dan menjaga perubahan iklim global.
Tanah gambut merupakan campuran fragmen organik yang berasal
dari vegetasi yang telah berubah menjadi fosil secara kimiawi. Tanah
gambut termasuk dalam kategori tanah yang lebih luas yang disebut tanah
organik, yaitu tanah yang mempunyai kandungan organik yang cukup
signifikan sehingga mempengaruhi sifat geoteknik tanah. Ciri-ciri tanah
gambut antara lain mempunyai kandungan air dan kompresibilitas yang
sangat tinggi, warna yang khas yaitu cokelat tua hingga kehitaman. Lapisan
tanah gambut ini dijumpai di sekitar daerah hutan tropis dan dataran rendah
dengan faktor genangan air yang melimpah dan lembab serta panas udara
yang relatif kurang.
1.2 Rumusan Masalah
Penelitian ini dirancang untuk dapat menjawab permasalahan
sebagai berikut ini :
1. Apakah pemberian kapur pada media tanah gambut berpengaruh
terhadap pertumbuhan tanaman ?
2. Bagaimana cara pembasmian hama dan gulma di tanah gambut ?
3. Bagaimana cara pemberian pupuk pada tanaman yang di tanam di
tanah gambut ?
4. Apa saja yang menjadi kendala pada saat penanaman di tanah
gambut dan cara penanganannya ?
5. Bagaimana cara mengatasi ke asaman tanah gambut ?
1.3 Tujuan
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti merumuskan tujuan
penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian kapur pada media tanah
gambut terhadap pertumbuhan tanaman.
2. Untuk mengetahui cara pembasmian hama dan gulma di tanah
gambut.

2
3. Untuk mengetahui cara pemberian pupuk pada tanaman yang di
tanam di tanah gambut.
4. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi kendala pada saat
penanaman di tanah gambut dan cara penanganannya.
5. Untuk mengetahui cara mengatasi ke asaman tanah gambut.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi pembaca : ditingkat Perguruan Tinggi dapat menggunakan
hasil penelitian ini sebagai bahan penunjang atau acuan untuk
menunjang ilmu pengetahuan dasar-dasar pengelolaan lahan sub
optimal sebagai sumber belajar.
2. Bagi peneliti : dapat menggunakan hasil penelitian untuk
penelitian lebih lanjut serta memberikan pengalaman penelitian
dan menambah wawasan serta pengetahuan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan biologi yang dimiliki.

3
TINJAUAN PUSTAKA

Indonesia mempunyai lahan gambut terbesar keempat di dunia setelah


Canada (170 juta ha), Rusia (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha).
Indonesia sendiri memiliki luas lahan gambut sekitar 21 juta ha (Immirizi &
Maltby, 1992 cit Wibowo, 2009). Lahan gambut Indonesia saat ini berupa lahan
pertanian dan perkebunan, hutan campuran, hutan sekunder bekas tebangan,
semak belukar dan padang rumput rawa (Istomo, 2008).
Lahan sub optimal merupakan lahan yang telah mengalami degradasi yang
mempunyai kesuburan yang rendah dan tidak mampu mendukung pertumbuhan
tanaman secara optimal. Teknologi pengelolaan lahan, hara terpadu, dan konservasi
tanah dan air diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tanah pada lahan
suboptimal.
Lahan gambut memiliki banyak padanan kata dalam bahasa Inggris, antara
lain peat, bog, moor, mire atau fen. Istilah-istilah ini berkenaan dengan perbedaan
jenis atau sifat gambut antara di satu tempat dengan tempat lainnya. Kata gambut
berasal dari bahasa Banjar di Kalimantan Selatan. Menurut Andriesse (1988), lahan
gambut adalah tanah organik (organic soils), tetapi tidak semua tanah organik
disebut gambut. Noor (2001) mengartikan gambut sebagai material atau bahan
organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, tidak
mampat dan atau hanya sedikit mengalami perombakan.
Dalam klasifikasi tanah (soil taxonomy), lahan gambut dikelompokkan
kedalam ordo histosol (histos = jaringan) atau sebelumnya dinamakan organosol
yang mempunyai ciri dan sifat yang berbeda dengan jenis tanah mineral
umumnya. Tanah gambut mempunyai sifat beragam karena perbedaan bahan asal,
proses pembentukan, dan lingkungannya (Noor, 2001).
Tanah gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati,
baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses
dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan atau kondisi lingkungan lainnya
yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan
tanah gambut merupakan proses geogenik, yaitu pembentukan tanah yang
disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses
pembentukan tanah mineral yang umumnya merupakan proses pedogenik
(Hardjowigeno, 1986).
Proses pembentukan tanah gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang
secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman
yang mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian
menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan lapisan di bawahnya berupa
tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari
danau dangkal ini dan secara membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga danau
tersebut menjadi penuh (Agus dan Subiksa, 2008).
Bagian tanah gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut
dengan gambut topogen karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi
daerah cekungan. Gambut topogen biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya
pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir
besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut.
Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Hasil
pelapukannya membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan membentuk
kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung (Agus dan Subiksa, 2008).
Tanah gambut yang tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut
ombrogen, yang pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen
lebih rendah kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir
tidak ada pengkayaan mineral (Agus dan Subiksa, 2008).
Lahan gambut dipengaruhi oleh faktor alam dan lokasi dimana tanah
tersebut berada. Di Indonesia sendiri, tanah gambut bisa dibagi menjadi 4 jenis
lahan yang berbeda berdasarkan kondisi geografis atau kedalamannya seperti
berikut ini:
1. Lahan Gambut Dangkal
Lahan gambut dangkal memiliki ketebalan tanah gambut mulai dari
50cm sampai dengan 100cm. Tanah yang masih dangkal terbentuk dalam
waktu yang relatif singkat, mulai dari 1 hingga 5 tahun.
2. Lahan Gambut Sedang
Lahan gambut sedang memiliki ketebalan tanah mulai dari 100
hingga 200cm. Pada tingkat ini, tanah gambut terbentuk dalam waktu mulai

5
dari 5 hingga 10 tahun. Kandungan karbon di dalamnya juga lebih tinggi
dibandingkan dengan lahan yang dangkal.
3. Lahan Gambut Dalam
Lahan gambut dalam memiliki ketebalan tanah mulai dari 200
hingga 300cm. Pada tingkat ini, tanah gambut membutuhkan waktu
setidaknya lebih dari 10 tahun.
4. Lahan Gambut Sangat Dalam
Lahan gambut sangat dalam memiliki ketebalan tanah lebih dari
300cm. Tanah gambut yang sangat dalam bisa terbentuk dalam waktu yang
sangat lama, setidaknya memerlukan waktu lebih dari 50 tahun. Kandungan
karbon yang terdapat di dalamnya sangat tinggi sehingga jika tanah gambut
dikeringkan akan mengeluarkan emisi karbon yang sangat tinggi dan
berbahaya untuk alam.
Karakteristik gambut berdasarkan proses awal pembentukannya sangat
ditentukan oleh unsur dan faktor berikut:
1. Jenis tumbuhan (evolusi pertumbuhan flora), seperti lumut (moss), rumput
(herbaceous) dan kayu (wood).
2. Proses humifikasi (suhu/iklim)
3. Lingkungan pengendapan (paleogeografi)
Semua sebaran endapan gambut berada pada kelompok sedimen alluvium
rawa zaman kuarter Holosen. Lokasi gambut umumnya berada dekat pantai
hingga puluhan kilometer ke pedalaman. Ketebalan maksimum gambut yang
pernah diketahui mencapai 15 m di Riau (Tjahjono, 2007).
Sifat fisik endapan gambut umumnya berwarna coklat muda hingga coklat
tua sampai gelap kehitaman, sangat lunak, mudah ditusuk, mengotori tangan, bila
diperas mengeluarkan cairan gelap dan meninggalkan ampas sisa tumbuhan yang
didapat dari permukaan bumi hingga beberapa meter tebalnya. Endapan gambut di
permukaan dapat ditumbuhi berbagai spesies tumbuhan mulai dari spesies lumut,
semak hingga pepohonan besar. Gambut yang berwarna lebih gelap biasanya
menunjukkan tingkat pembusukan lebih cepat. Secara makroskopis gambut tropis
umumnya terdiri atas sisa-sisa akar, batang dan daun dalam jumlah yang

6
berlimpah, sebaliknya gambut lumut didominasi oleh sisa tumbuhan lumut seperti
yang terdapat di Finlandia (Tjahjono, 2007).
Sifat kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan
mineral, ketebalan, jenis mineral pada sub stratum (di dasar gambut), dan tingkat
dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang
dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari
senyawasenyawa humat sekitar 10 hingga 20 persen dan sebagian besar lainnya
adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein,
dan senyawa lainnya (Agus dan Subiksa, 2008).
Noor (2001) membagi gambut berdasarkan susunan kimianya yaitu sebagai
berikut :
1. Eutropik : kandungan mineral tinggi, pH gambut netral atau alkalin.
2. Oligotrofik : kandungan mineral, terutama Ca rendah dan reaksi asam.
3. Mesotrofik : terletak di antara keduanya.
Secara umum keasaman tanah gambut berkisar antara 3-5 dan semakin
tebal bahan organik maka keasaman gambut meningkat. Gambut pantai memiliki
keasaman lebih rendah dari gambut pedalaman. Kondisi tanah gambut yang
sangat asam menyebabkan kahat hara N, P, K, Ca, Mg, B, dan Mo (Yuleli, 2009).
Gambut dapat memelihara daur hidrologi karena sifat hidrofilik yang kuat
kearah horizontal namun lemah ke arah vertikal. Akibatnya lapisan atas gambut
sering mengalami kekeringan meskipun lahan bawahnya basah sehingga
menyulitkan pasokan air untuk perakaran tumbuhan pada musim kemarau, karena
sifat gambut yang kering tidak kembali bila kekeringan dalam kondisi yang
ekstrim (Yuleli, 2009).
Berdasarkan lingkungan tumbuh dan pengendapan, gambut di Indonesia
dapat dibagi menjadi:
1. Gambut Ombrogen
Gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya dipengaruhi oleh air
hujan (Agus dan Subiksa, 2008).
2. Gambut Topogen

7
Gambut yang terbentuk di lingkungan yang mendapat pengayaan air
pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya mineral dan lebih subur
dibandingkan dengan gambut ombrogen (Agus dan Subiksa, 2008)
Sebaran tanah gambut dipengaruhi oleh letak dan cara pembentukannya.
Pembentukan tanah gambut dipengaruhi oleh iklim (basah), topografi (datar-
cekung), organisme (vegetasi), bahan induk (termasuk bahan mineral sebagai
substratum), dan waktu pembentukannya. Tanah gambut terbentuk pada kondisi
anaerob sehingga air mutlak harus selalu ada. Di bawah kondisi iklim tropika basah
yang panas dan lembab namun dengan evaporasi yang cukup tinggi dimungkinkan
terbentuknya tanah gambut. Pada cekungan-cekungan kecil maupun cekungan
besar, tanah gambut dapat terbentuk diawali dengan tumpukan bahan organik
sedikit demi sedikit yang akhirnya menjadi tebal, sehingga memenuhi syarat
ketebalan sebagai tanah gambut. Cekungan-cekungan tersebut terjadi di atas
formasi batuan atau lapisan sedimen yang diendapkan pada berbagai masa geologi
yang lalu. Perubahan relief di atas lapisan sedimen ini sejalan dengan masa regresi
pemunduran (retreat) laut terhadap daratan atau naiknya permukaan daratan dan
turunnya permukaan laut (Ritung et al., 2012).
Kesesuaian Lahan Gambut untuk Pertanian, pemanfaatan lahan gambut
secara besar-besaran di Indonesia untuk pertanian sudah berlangsung sejak lama,
yaitu sejak dimulainya proyek pembukaan pesawahan pasang surut (P4S) pada
tahun 1969. Program ini diilhami oleh keberhasilan petani Bugis dan Banjar dalam
bertani sawah di lahan pasang surut termasuk di lahan gambut. Pembukaan lahan
untuk pesawahan di lahan basah ini kemudian dilanjutkan hingga akhir Pelita III
sehingga mencapai luasan lebih kurang 1 juta hektar di Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, dan Papua (Notohadiprawiro, 1996).

8
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Tabel 1. Lahan Gambut


No Gambar Keterangan

Lahan Gambut
1. sebelum
pengolahan

Lahan Gambut
2. setelah
pengolahan
Tabel 2. Tanaman Yang Diusahakan
No Gambar Keterangan

Tanaman Buncis yang


1.
diusahakan

Tanaman tebu yang


2.
diusahakan

10
Pembahasan

Hasil pengamatan yang dilakukan pada lahan gambut yang berada di Landasan
Ulin Kota Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa lahan yang
belum diolah menunjukkan keasaman. Pengamatan yang dilakukan pada lahan gambut
yang belum diolah masih banyak terdapat sisa-sisa tanaman baik yang belum, sedang,
atau yang sudah melapuk sempurna. Selain itu, juga terdapat hara tanaman tetapi
masih dalam bentuk yang belum bisa diserap oleh tanaman.
Lahan gambut umumnya mempunyai tanah yang masam dengan pH kurang
dari 7. Terbentuk dari bahan organik berupa sisa pembusukan tanaman dengan
penampakan berwarna hitam pada saat lembap dan berwarna coklat pada saat
kering. Pada bagian atas gambut sering terlihat ranting maupun daun yang belum
mengalami pelapukan sempurna.
Dari pengakuan petani dilahan gambut, kendala utama permasalahan
lahan gambut yaitu keasaman tanah. Petani melakukan pengelolahan tanah
gambut ini dengan cara mencangkul dan membolak-balikkan tanah yang berada di
bagian bawah agar naik ke atas. Hal ini dilakukan agar tanah yang berada di bagian
bawah telah mengalami pembusukan sehingga proses pengolahan tanah
berlangsung cepat. Untuk melakukan pencangkulan cukup hanya sekali saja pada
saat memulai pengelolaan tanah. Setelah dilakukan pencangkulan bagian bawah
tanah pada lahan gambut, maka lahan tersebut didiamkan hingga kering dengan
kurun waktu 1 bulan. Setelah lahan mengering maka dilakukan pencampuran tanah
dengan kapur dengan Kuantitas kapur yang digunakan adalah 40 kg untuk lahan
gambut seluas 850 𝑚2 .
Lahan gambut umumnya mempunyai tanah yang masam dengan pH kurang
dari 7. Dilihat dari kendalanya tersebut maka perlu cara untuk meningkatkan
produksi tanaman yaitu dengan cara pemberian kapur dolomit ((CaMgCO3)2) dan
larutan EM4 (Effective Microorganisme-4). Kapur dolomit berfungsi untuk
menentralkan pH pada tanah sedangkan EM4 kultur campuran dari mikroorganisme
yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Apabila bahan kapur ini
diberikan ke dalam tanah, maka akan terjadi reaksi-reaksi sehingga terjadi
keseimbangan baru.

11
Sebelum melakukan penanaman dilakukan, petani membuat bedengan
terlebih dahulu dengan lebar sebesar 4 meter dan jarak antar tanaman 40-50 cm.
Pembuatan bedengan dilakukan agar jarak tanaman terlihat lebih rapi, pertumbuhan
akar menjadi optimal, dan membentuk irigasi tiap garis.
Tanah gambut bereaksi masam, dengan demikian diperlukan upaya untuk
meningkatkan pH sehingga memperbaiki media perakaran tanaman. Pengaruh
buruk asam-asam organik yang beracun dapat dikurangi dengan teknologi
pengelolaan air dan menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation
polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kahat unsur hara untuk memberikan hasil yang
optimal i dapat dilakukan dengan tindakan ameliorasi dan pemupukan. Namun yang
perlu diperhatikan bahwa bahwa ameliorasi untuk memperbaiki kesuburan tanah
gambut juga dapat memacu emisi, karena ameliorasi akan menurunkan rasio C/N
dan akan memacu dekomposisi gambut. Dengan demikian pemanfaatan lahan
gambut harus berdasarkan pada pertimbangan yang rasional antara keuntungan
ekonomi yang didapat dengan kerugian lingkungan yang akan diderita (Widyati,
2017).
Tidak seperti tanah mineral, pH tanah gambut cukup ditingkatkan sampai pH 5 saja
karena gambut tidak memiliki potensi Al yang beracun. Peningkatan pH sampai
tidak lebih dari 5 dapat memperlambat laju dekomposisi gambut. Pengaruh buruk
asam-asam organik beracun juga dapat dikurangi dengan menambahkan bahan-
bahan amelioran yang banyak mengandung kation polivalen seperti dolomit, terak
baja, tanah mineral laterit atau lumpur sungai (Salampak, 1999; Sabiham et al,
1997). Pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi dapat meningkatkan
pertumbuhan dan produksi tanaman (Mario, 2002; Salampak, 1999; Suastika, 2004;
Subiksa et al., 1997).
Untuk sekarang ini petani sedang mengusahakan sayur buncis setelah
sebelumnya berhasil mengusahakan timun, bayam, dan sawi. Penanaman tersebut
menghasilkan hasil yang sangat bagus untuk outputnya. Untuk perawatan sendiri
menggunakan pupuk kimia NPK 16 bintang sebanyak 15-20 botol untuk 1 pohon.
Penggunaan pupuk kimia lebih diutamakan daripada pupuk kandang karena
pemberian yang terlalu banyak menyebabkan media tanaman dan tanah asam
sehingga teksturnya cenderung lebih keras dan tidak gembur.

12
Pemupukan sangat dibutuhkan karena kandungan hara gambut sangat rendah.
Jenis pupuk yang diperlukan adalah yang mengandung N, P, K, Ca dan Mg.
Walaupun KTK gambut tinggi, namun daya pegangnya rendah terhadap kation
yang dapat dipertukarkan sehingga pemupukan harus dilakukan beberapa kali (split
application) dengan dosis rendah agar hara tidak banyak tercuci. Penggunaan pupuk
yang tersedianya lambat seperti fosfat alam akan lebih baik dibandingkan dengan
SP36, karena akan lebih efisien, harganya murah dan dapat meningkatkan pH tanah
(Subiksa et al., 1991). Penambahan kation polivalen seperti Fe dan Al akan
menciptakan tapak jerapan bagi ion fosfat sehingga bisa mengurangi kehilangan
hara P melalui pencucian (Rachim, 1995).
Pupuk yang digunakan petani lebih ke pupuk kimia. Pupuk kandang sendiri
sebenarnya tidak perlu karena mengandung banyak organik dan akar. Namun jika
memang ingin menggunakan pupuk kandang, maka digunakan hanya secukupnya
saja karena jika berlebihan akan berdampak buruk bagi tanah tersebut. Untuk jenis
pupuk kimia yang digunakan yaitu seperti pupuk NPK 16-16-16 dan
penggunaannya digunakan sekitar 15-20 butir untuk setiap satu tanaman
dengan frekuensi 15 hari sekali. Pupuk menyediakan hara bagi tanaman di dalam
tanah diawali dengan terjadinya proses persentuhan materi pupuk dengan air asal
kelembaban tanah. Reaksi kimia hidrolisis di permukaan materi pupuk akan
menyebabkan terjadinya peristiwa ionisasi pada masing-masing unsur yang
terkandung dalam bahan. Peristiwa reaksi kimia ini menyebabkan terjadinya
pelarutan bahan pupuk untuk berubah menjadi hara dalam bentuk fraksi ion-ionnya.
Pupuk yang diaplikasikan pada lahan dengan tingkat pencucian yang intensif sering
menjadi tidak efektif, karena lebih banyak pupuk yang hilang dipermukaan tanah
dibanding dengan nutrisi pupuk yang terserap tanaman.
Pada tanaman buncis yang terserang hama biasanya petani menggunakan
insektisida regent. Sebenarnya untuk insektisida petani tidak menggunakan suatu
barang secara spesifik, hanya melihat dari kemampuan insektisida tersebut bekerja
jika tidak mempan maka akan beralih pada merek lain.

13
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan dari praktikum yang dilakukan adalah :


1. Lahan gambut mempunyai berbagai macam keragaman sifat fisik dan kimia
yang besar, yaitu secara spasial dan vertikal. Karakteristiknya sangat
ditentukan oleh ketebalan gambut, substratum atau tanah mineral dibawah
gambut, kematangan, dan ada tidaknya pengayaan dari luapan sungai
disekitarnya.
2. Tanah gambut merupakan tanah yang miskin unsur hara dan kemampuan
menyimpan hara yang rendah dan Ph kurang dari 7. Tanah gambut bereaksi
masam, dengan demikian diperlukan upaya untuk meningkatkan Ph
sehingga memperbaiki media perakaran tanaman. Untuk Ph tanah gambut
cukup ditingkatkan sampai Ph 5 saja karena gambut tidak memiliki potensi
Al yang beracun. Peningkatan Ph sampai tidak lebih dari 5 dapat
memperlambat laju dekomposisi gambut. Menjaga tinggi muka muka air
agar lapisan pirit tidak teroksidasi akan sangat efektif dalam menekan
terjadinya peningkatan Ph secara drastis. Lapisan pirit yang teroksidasi
dapat menurunkan Ph tanah sampai dengan sangat masam.
3. Kendala utama tanah gambut adalah memiliki sifat kering tak balik
(irreversible drying) apabila mengalami kekeringan, sehingga tanah tersebut
tidak dapat dijadikan sebagai bahan koloid organik. Untuk lahan gambut
yang berada di lokasi penelitian berdasarkan hasil dari pengakuan petani
disana, kendala utama permasalahan lahan gambut disana yaitu keasaman
tanah. Petani melakukan pengelolahan tanah gambut ini dengan cara
mencangkul dan membolak-balikkan tanah yang berada di bagian bawah
agar naik ke atas. Hal ini dilakukan agar tanah yang berada di bagian bawah
telah mengalami pembusukan sehingga proses pengolahan tanah
berlangsung cepat. Untuk melakukan pencangkulan cukup hanya sekali saja
pada saat memulai pengelolaan tanah. Setelah dilakukan pencangkulan
bagian bawah tanah pada lahan gambut, maka lahan tersebut didiamkan
hingga kering dengan kurun waktu 1 bulan. Setelah lahan mengering maka
dilakukan pencampuran tanah dengan kapur dengan kuantitas kapur yang
digunakan adalah 40 kg untuk lahan gambut seluas 850 m.

Saran

Disarankan kepada pemerintah untuk melakukan penguatan peraturan dan


perundang-undangan dan pengawasan penggunaan dan pengelolaan lahan gambut.
Dan perlu penelitian lebih lanjut dengan tanah gambut yang berbeda lokasi dengan
penelitian ini, dan perlu adanya tindakan konservasi dalam pemanfaatan lahan
gambut sangat dalam agar tidak terjadi degradasi kesuburan tanah.

15
DAFTAR PUSTAKA

Hardjowigeno, S. 1986. Sumber daya fisik wilayah dan tata guna lahan: Histosol.
Fakultas Pertanian IPB. Hal 86-94.

Rachim, A. 1995. Penggunaan Kation-kation Polivalen dalam Kaitannya dengan


Ketersediaan Fosfat untuk Meningkatkan Produksi Jagung pada Tanah
Gambut. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ritung, S., Wahyunto, dan K. Nugroho. 2012. Karakteristik dan sebaran lahan
gambut di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Hal 47-59. Dalam Prosiding
Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Bogor 4 Mei
2012. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian
Pertanian.

Salampak, 1999. Peningkatan produktivitas tanah gambut yang disawahkan dengan


pemberian bahan amelioran tanah mineral berkadar besi tinggi. Disertasi.
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Soepraptohardjo, M. and P.M. Driessen. 1976. The lowland peats of Indonesia, a


chalenge for the future. Peat and Podzolic Soils and Their Potential for
Agriculture in Indonesia. pp. 11-19. In Proceedings ATA 106 Midterm
Seminar, Tugu October 13-14, 1976. Soil Research Institute, Bogor.

Subiksa, IGM., K. Nugroho, Sholeh and IPG. Widjaja Adhi. 1997. The effect of
ameliorants on the chemical properties and productivity of peat soil. In:
Rieley and Page (Eds). Pp:321-326. Biodiversity and Sustainability of
Tropical Peatlands.Samara Publishing Limited, UK.

Widyati, E.. 2017. Memahami Komunikasi Tumbuhan-Tanah Dalam Areal


Rhizosfir Untuk Optimasi Pengelolaan Lahan. Pusat Penelitian Dan
Pengembangan Hutan. Bogor. Jurnal Sumberdaya Lahan 11 (1):33-42.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi
18
Lampiran 2. Tanda Tangan

Nama : Anggia Dwi Yustianingsih


NIM : 2010514320014

Nama : Assyifa Azmi


NIM : 2010514320023

Nama : Bintang Putri Perdana Singgih


NIM : 2010514320031

Nama : Haslinda Amalia Hidayati


NIM : 2010514320005

Nama : Najwa Ramadina


NIM : 2010514320006

Nama : Nor Asiah


NIM : 2010514320001

19

Anda mungkin juga menyukai