Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Manajemen sumber daya manusia adalah faktor terpenting bagi Instansi dalam

mengelola, mengatur dan memanfaatkan pegawai sehingga dapat berfungsi dengan baik dan

produktif untuk tercapainya tujuan instansi. Dibutuhkan pengelolaan secara professional

dalam pengelolaan SDM agar terwujud keseimbangan antara kebutuhan pegawai dengan

tuntutan dan kemampuan organisasi.

Organisasi merupakan suatu kesatuan yang kompleks yang berusaha memanfaatkan

sumber daya manusia secara penuh demi tercapainya tujuan. Pada dasarnya suatu organisasi

atau perusahaan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang optimal serta

mempertahankan hidup usaha yang dijalankan dalam jangka panjang.

Optimalisasi tanggung jawab organisasi dalam menghadapi tuntutan perkembangan

zaman mendorong organisasi untuk mempertimbangkan secara matang kualitas sumber daya

manusia. Ketersediaan sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam suatu

organisasi, maka perlu adanya keterlibatan pegawai dan atau pegawai dalam menjalankan

seluruh aktivitas.

Pegawai merupakan aset sumber daya yang harus dikelola secara profesional oleh

organisasi agar dapat memberikan kontribusi yang maksimal, sehingga organisasi bisa

mendapatkan hasil yang optimal dalam meraih tujuannya. Dengan pengelolaan SDM secara

profesional, diharapkan pegawai dapat bekerja secara produktif.

Pengelolaan pegawai secara profesional dapat dimulai sejak perekrutan pegawai,

penyeleksian, pengklasifikasian, penempatan pegawai sesuai dengan kompetensinya,

pelatihan, pengembangan karier pegawai. Jika hal tersebut dapat terlaksana dengan sesuai
prosedur, maka pegawai dapat bekerja dengan baik dan perusahaan pun akan mecapai

tujuannya Ketika menerapkan implementasi pengelolaan tersebut.

Pada kesempatan ini, peneliti mengambil data hasil pengukuran kinerja dari Bagian

Umum sekretariat daerah Kabupaten Cirebon yang melakukan penilaian kinerja ASN

sekretariat daerah Kabupaten Cirebon selama 3 tahun terakhir.

Tabel 1. 1 Penilaian Kinerja ASN Sekretariat Daerah Kabupaten Cirebon

Tahun 2019- 2021


No Tahun Nilai Lulus Nilai kinerja
1 2019 90 86,62
2 2020 90 88,86
3 2021 90 85,13

Sumber: Bag. Umum Sekretariat Daerah Kabupaten Cirebon

Berdasarkan Tabel 1.1 dapat diketahui penilaian tiap masing masing ASNdiperoleh
dengan cara menilai dari 6 aspek penilaian yaitu orientasi pelayanan, integritas, komitmen,
disiplin, Kerjasama dan kepemimpinan. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa kinerja ASN di
jajaran sekretariat daerah Kabupaten Cirebon mengalami masih belum memenuhi standar
kinerja yang sudah diterapkan, dimana pada tahun 2019 angka penilaian kinerja ASN di
sekretariat Kabupaten Cirebon berada di angka 86,62, lalu pada tahun 2020 angka penilaian
kinerja ASN di sekretariat daerah Kabupaten Cirebon mengalami peningkatan sebesar 2,24
angka di 88,86. Sedangkan pada tahun 2021, kinerja para ASN sekretariat daerah Kabupaten
Cirebon mengalami penurunan 3,73 angka menjadi 85,13.
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan dengan terjadinya pasang surut kinerja

para ASN di jajaran sekretariat daerah Kabupaten Cirebon, tentu ada sebuah sebab yang

dapat mempengaruhi kinerja ASN sekretariat daerah Kabupaten Cirebon.

Kinerja merupakan gambaran mengenai hasil kerja pegawai untuk mencapai

tujuannya yang mana dipengaruhi oleh sumber daya yang dimiliki oleh organisasi tersebut.

Bila kinerja belum seperti yang diharapkan pasti ada penyebabnya. Ketika pegawai tidak

dapat mempertahankan kinerjanya akibat suatu hal yang terjadi. Maka, semua proses di

organisasi pun akan terganggu seperti menurunnya keuntungan, kesalahan dalam

menginput data, dan lain sebagainya. Banyak faktor yang menjadi penyebab kinerja

pegawai menurun, seperti perilaku cyberloafing, dan tingkat stres kerja yang tinggi
memberikan fasilitas internet di dalam kantor diharapkan pegawai dapat bekerja

secara cepat dan pekerjaan dapat diselesaikan secara baik dan benar. Dengan meningkatnya

penggunaan internet mengakibatkan munculnya cyberloafing di lingkungan kerja. Terdapat

studi tentang cyberloafing yang pernah dilakukan di Indonesia dimana pegawai rata-rata

menghabiskan waktu satu jam per hari untuk mengakses internet untuk kepentingan pribadi

(Ardilasari dkk, 2017). Aktivitas yang dilakukan seperti browsing, facebook atau kaskus

(Ardilasar dkk, 2017).

Penggunaan jaringan internet dapat membantu efektivitas dan efisiensi dalam bekerja

Namun terkadang pegawai menyalahgunakan fasilitas internet tersebut untuk keperluan

pribadinya. Pegawai terkadang lupa akan tanggung jawabnya karena mengakses internet pada

saat jam kerja, fenomena tersebut dinamakan cyberloafing.

Cyberloafing merupakan perilaku dari pegawai yang menggunakan akses internet

dimana pegawai tersebut melakukan aktifitas yang tidak ada hubungan dengan

pekerjaannya namun dilakukan pada saat jam kerja masih berlangsung. Penggunaan internet

yang dimaksud terkait pembukaan situs-situs demi kepuasan pribadi, membuka sosial media,

belanja online, dan lain sebagainya diluar tugas kerjanya.

Cyberloafing dapat menyebabkan berkurangnya produktivitas dan penggunaan

sumber daya manusia yang tidak efisien, sehingga menghasilkan organisasi yang tidak

kompetitif. Menurut Lim V., 2002 (dalam Moffan dkk, 2020) mengemukakan bahwa:

“Cyberloafing bisa disebut juga cyberslacking termasuk salah satu bentuk dari Deviant

Workplace Behavior, yaitu, dimana cyberloafing dianggap sebagai perilaku

kontraproduktif yang membuat tingkat kinerja pegawai menurun”.

Adapun usaha lain instansi dalam meningkatkan kinerja pegawai, diantaranya dengan

memperhatikan tingkat stres kerja pegawai. Tingkat stres kerja yang tinggi maupun rendah

jika berlangsung terus menerus dalam jangka waktu yang lama dapat menurunkan kinerja
pegawai dikarenakan ada rasa tertekan dalam melaksanakan pekerjaan.

Stres kerja adalah perasaan tertekan yang dialami pegawai dalam menyelesaikan

pekerjaannya. Dimana pegawai merasakan beban kerja yang terlalu berat, waktu kerja yang

terlalu singkat, kualitas pengawasan kerja yang rendah, lingkungan kerja yang tidak sehat,

konflik kerja dan perbedaan nilai antara Pegawai dengan pemimpin yang frustasi dalam

bekerja.

Kepercayaan bahwa stres, khususnya stres kerja (work stress) menjadi peranan

penting terhadap faktor negatif individu dan organisasional yang dapat mempengaruhi

kesehatan pada pegawai yang lagi pada saat kerja mengakibatkan permasalahan kesehatan

pada pegawai tersebut.

Stres kerja juga dapat mengakibatkan para pegawai akan melakukan tindakan

indisipliner. Dimana para pegawai akan merasa malas bekerja akibat tuntutan kerja yang

tinggi dan kondisional lingkungan kerja yang tidak kondusif, sehingga stres akan muncul

dan para pegawai akan terkesan malas untuk berangkat menuju tempat kerjanya.

Pada kesempatan ini, peneliti memaparkan data dari BKPSDM (Badan Kepegawaian

dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kabupaten Cirebon mengenai tindakan

indisipliner yang dilakukan oleh ASN Sekretariat Daerah Kabupaten Cirebon selama tahun

2019-2021

Tabel 1. 2 Data ASN di Sekretariat Daerah Kabupaten Cirebon yang tidak hadir dalam

tahun 2019 -2021


No. Jumlah ASN Tahun Jumlah pelaku Indisipliner Presentase
1 121 2019 10 12%
2 118 2020 9 13%
3 117 2021 18 6,5%

Sumber: BKPSDM Kabupaten Cirebon

Berdasarkan data diatas dapat diketahui pada tahun 2020, jumlah ASN yang
melakukan tindak indisipliner berada di angka tertinggi dimana presentase indisipliner berada

di 13%, presentase tersebut naik 1% dari tahun 2019. Pada tahun 2021, presentase Tindakan

indisipliner menurun di angka 6,5%.

Stres kerja bisa menjadi pengaruh positif bagi pegawai untuk menghasilkan prestasi

yang tinggi, sebagai contoh: bekerja dengan tekanan batas waktu dapat merupakan proses

kreatif yang merangsang, keterkaitannya dengan pekerjaan menjadi semakin tinggi serta

mampu mengendalikan situasi yang dirasakan sebagai tantangan.

Ketika pegawai memiliki tingkat stres kerja yang tinggi, bisa dikatakan kinerja

mereka akan rendah untuk menghilangkan rasa stres tersebut. Sehingga ketika pegawai

merasa stres, akan memperoleh dampak negatif pada kinerja pegawai.

Berdasarkan ketiga fenomena diatas, peneliti ingin mengetahui seperti apa dampak

pengaruh masing-masing variabel. Oleh sebab itu cyberloafing dan work stress bekerja

sebagai variabel yang mempengaruhi kinerja pada pegawai Sekretariat Daerah Kabupaten

Cirebon.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas, maka peneliti dapat

merumuskan masalah yang akan diteliti dengan memperhatikan fenomena yang terjadi di

sekretariat daerah Kabupaten Cirebon. Berikut beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam

penelitian ini:

1. Bagaimana pengaruh antara cyberloafing terhadap kinerja pegawai sekretariat daerah

Kabupaten Cirebon.

2. Bagaimana pengaruh antara work stress terhadap kinerja pegawai sekretariat daerah

Kabupaten Cirebon.

3. Bagaimana pengaruh antara cyberloafing dan work stress terhadap kinerja pegawai

sekretariat daerah Kabupaten Cirebon.


1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris, untuk melihat pengaruh

cyberloafing dan stres kerja terhadap pegawai Sekretariat Daerah Kabupaten Cirebon.

Adapun untuk kegunaan penelitian ini, antara lain :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis Pengaruh cyberloafing terhadap kinerja pegawai

sekretariat daerah Kabupaten Cirebon

2. Untuk mengetahui dan menganalisis Pengaruh work stress terhadap kinerja pegawai

sekretariat daerah Kabupaten Cirebon

3. Untuk mengetahui dan menganalisis secara bersama-sama Pengaruh cyberloafing dan

work stress terhadap kinerja pegawai sekretariat daerah Kabupaten Cirebon

1.3.2 Kegunaan Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan kajian teori dan perkembangan

ilmu ekonomi manajemen, khususnya pengaruh cyberloafing dan work stress terhadap

kinerja pegawai mengenai ilmu sumber daya manusia untuk program studi manajemen.

2. Menambah dan memberikan wawasan dan referensi bagi penelitian-penelitian

selanjutnya pada program studi manajemen fakultas ekonomi Universitas Swadaya

Gunung Jati Cirebon.

1.4 Unit Analisis

Obyek penelitian yang akan peneliti teliti dalam penelitian ini adalah cyberloafing dan

work stress (stres kerja) dan kinerja. Populasi dalam penelitian ini adalah para pegawai yang

bekerja di Sekretariat Daerah Kabupaten Cirebon. Batasan-batasan yang ada berguna untuk

mengfokuskan dan tidak menyimpang dari masalah yang diangkat oleh peneliti.

a. Cyberloafing

Cyberloafing merupakan perilaku dari pegawai yang menggunakan akses internet

dimana Pegawai tersebut melakukan aktifitas yang tidak ada hubungan dengan pekerjaannya

namun dilakukan pada saat jam kerja masih berlangsung. Penggunaan internet yang
dimaksud terkait pembukaan situs-situs demi kepuasan pribadi, membuka sosial media,

belanja online, dan lain sebagainya diluar tugas kerjanya.

b. Work Stress

Work stress (stres kerja) adalah hasil ketidakmampuan individu dengan tuntutan atau

target yang diberikan organisasi, sehingga proses kerja dapat terhambat.

c. Kinerja Pegawai

Kinerja merupakan hasil kerja yang dicapai seorang pegawai atau karyawan dalam

mencapai tujuan organisasi yang diukur selama periode waktu tertentu berdasarkan ketentuan

atau kesepakatan yang telah ditetapkan sebelumnya.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN

HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

Pada kajian pustaka peneliti ingin menjelaskan pengertian, dimensi dan

indikator dari keempat variabel yang ingin diteliti, keempat variabel tersebut

adalah cyberloafing dan work stress dan kinerja.

2.1.1 Cyberloafing
Cyberloafing merupakan perilaku dari pegawai menggunakan akses

internet dimana pegawai tersebut melakukan kegiatan tidak berhubungan dengan

pekerjaannya namun dilakukan pada saat jam kerja masih berlangsung.

Penggunaan internet tersebut terkait pembukaan situs-situs demi kepuasan

pribadi, membuka sosial media, belanja online, dan lain sebagainya diluar tugas

kerjanya.

Doorn 2011 (dalam Moffan dkk, 2020) menyatakan bahwa cyberloafing

merupakan istilah untuk menyebutkan perilaku pegawai yang menggunakan

fasilitas internet melalui perangkat pribadi atau instansi untuk kepentingan pribadi

selama jam kerja. Selain cyberloafing, definisi lain yang sama dalam menjelaskan

penggunaan internet untuk kepentingan pribadi adalah cyberslacking dan personal

web use (PWU). Ketiga definisi tersebut menekankan pada penggunaan internet

secara sukarela, penggunaan untuk kepentingan pribadi, dan terlibat dalam

penggunaan internet saat jam kerja. Ketiga definisi tersebut tidak menyiratkan

atau menekankan konsekuensi positif ataupun negatif (Doorn, 2011, dalam

Moffan dkk, 2020).


cyberloafing timbul karena faktor individual, faktor situasional dan faktor

organisasi yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja pegawai. Faktor

pertama yakni faktor individual meliputi personal traits (corak kepribadian),

persepsi dan sikap pegawai, kebiasaan dan kecanduan internet, data demografi

pegawai, serta niat untuk terlibat, norma sosial, dan kode etik personal. Faktor

situasional terkait adanya fasilitas instansi seperti akses internet secara bebas

memungkinkan adanya intensi seorang pegawai untuk memunculkan

cyberloafing, Faktor organisasional dimana faktor tersebut berasal dari internal

organisasi. Faktor organisasional meliputi managerial support, pembatasan

penggunaan internet, persepsi norma perilaku cyberloafing rekan kerja

(Perceived coworker cyberloafing norms) serta perilaku pegawai terkait

komitmen organisasi, persepsi akan ketidakadilan instansi, dan karakteristik

pekerjaan.

Cyberloafing termasuk sebagai perilaku menyimpang, terlebih jika

aktivitas tersebut memakai fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi adalah jelas

aktivitas tidak beretika. Pegawai memakai jam kerjanya untuk aktivitas yang tidak

berhubungan dengan pekerjaan bahkan untuk hal-hal yang sifatnya menghibur diri

sendiri.

Cyberloafing dianggap tidak berbahaya dengan syarat hal tersebut untuk

waktu yang terbatas. Poin umum dari definisi cyberloafing adalah bahwa hal itu

menjadikan seseorang sibuk dengan kegiatan pribadi di internet selama jam kerja

untuk tujuan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.

2.1.1.1 Dimensi dan Indikator Cyberloafing

Menurut Doorn, 2011 (dalam Moffan dkk, 2020) Didalam dimensi

cyberloafing terdapat sebuah kategori utama yaitu cyberloafing activities. Dalam


dimensi cyberloafing activities dibedakan menjadi empat aktivitas cyberloafing

yaitu :

1. Social activity, mengacu pada aktivitas sosial seperti mengekspresikan diri

melalui media sosial (Instagram, facebook, dan twitter) atau berbagi

informasi melalui blog (blogger, dan lain-lain) dengan indikator pegawai

menggunakan media sosial pada saat jam kerja berlangsung.

2. Informational activity, mengacu pada aktivitas informasi seperti mencari

informasi di situs berita online (CNN, dan lain-lain) dengan indikator

pegawai membuka akses portal media online pada saat jam kerja berlangsung.

3. Leisure activity, mengacu pada aktivitas santai seperti bermain game online,

mendownload musik atau software dengan indikator pegawai melakukan

aktivitas bermain video games pada saat jam kerja berlangsung.

4. Virtual emotional activity, mengacu pada aktivitas yang tidak bisa disamakan

dengan aktivitas lainnya, seperti berbelanja online atau mencari pasangan

online dengan indikator pegawai membuka aplikasi e-commerse dan dating

selama jam kerja berlangsung.

2.1.2 Work Stress

Menurut Mangkunegara (2017:157) stres kerja adalah “Perasaan

tertekan yang dialami pegawai dalam menghadapi pekerjaan yang diberikan

perusahaan”.

Bruin et al, 2006 (dalam Moffan dkk, 2020) juga menambahkan bahwa

terdapat dua perspektif yang mendominasi stres seseorang, yaitu perspektif

lingkungan dan perspektif transaksional.

Stres tidak muncul begitu saja namun sebab-sebab stres muncul umumnya

diikuti oleh faktor peristiwa yang mempengaruhi kejiwaan seseorang dan

peristiwa itu terjadi diluar dari kemampuannya sehingga kondisi tersebut telah
menekan jiwanya

Menurut Mangkunegara (2017:157) mengungkapkan “Stres kerja

disebabkan karena adanya beban pekerjaan yang dirasakan terlalu berat,

tidak adanya pengawasan kerja, waktu kerja yang diberikan cukup padat,

lingkungan kerja yang tidak baik, adanya konflik kerja serta adanya

perbedaan dalam menilai antara pimpinan dengan pegawai”.

Stres di lingkungan kerja dapat terbukti mengakibatkan pengaruh yang

merusak kehidupan para pegawai baik dari segi Kesehatan maupun kesejahteraan.

Ketika para pegawai mendapatkan beban kerja yang sangat tidak seimbang dan

bertolak belakang dengan tugas pokok yang mereka dapatkan, sehingga mereka

terkena stres. Lalu mereka membawa sebuah permasalahan yang mereka dapatkan

di tempat kerja tersebut kedalam rumah tangga nya sehingga hal ini dapat

mengakibatkan permasalahan rumah tangga. Sehingga pegawai yang merasakan

stress di tempat kerja tidak dapat merasakan kesejahteraan dan keharmonisan di

keluarganya.

Pengukuran-pengukuran yang dapat diambil oleh para individu dan

organisasi untuk mengurangi pengaruh negatif dari stres, atau menghentikannya

dari kemunculan di lingkungan kerja seperti memberikan porsi kerja yang tidak

berlebihan, memberikan tugas yang sesuai dengan tugas pokok dari pegawai, dan

mengatur jam kerja yang sesuai sehingga produktivitas kerja dan kinerja para

pegawai menjadi baik.

Stres kerja adalah perasaan tertekan yang dialami pegawai dalam

menyelesaikan pekerjaannya. Dimana pegawai merasakan beban kerja yang

terlalu berat, waktu kerja yang terlalu singkat, kualitas pengawasan kerja yang

rendah, lingkungan kerja yang tidak sehat, konflik kerja dan perbedaan nilai

antara Pegawai dengan pemimpin yang frustasi dalam bekerja.


Kepercayaan bahwa stres, khususnya stres kerja (work stress) menjadi

peranan penting terhadap faktor negatif individu dan organisasional yang dapat

mempengaruhi kesehatan pada pegawai yang lagi pada saat kerja mengakibatkan

permasalahan kesehatan pada pegawai tersebut.

Stres kerja juga dapat mengakibatkan para pegawai akan melakukan

tindakan indisipliner. Dimana para pegawai akan merasa malas bekerja akibat

tuntutan kerja yang tinggi dan kondisional lingkungan kerja yang tidak kondusif,

sehingga stres akan muncul dan para pegawai akan terkesan malas untuk

berangkat menuju tempat kerjanya.

Stres di tempat kerja telah terbukti berpengaruh negatif terhadap

produktivitas dan berpengaruh positif di tempat kerja. Pranoto dkk, 2016 (dalam

Safitri dkk, 2019) Stres kerja bisa dipahami sebagai keadaan dimana seseorang

menghadapi tugas atau pekerjaan yang tidak bisa atau belum bisa dijangkau oleh

kemampuannya.

Stres kerja dapat menjadi hal yang positif bagi pegawai untuk

menghasilkan kinerja yang baik, seperti bekerja dengan tekanan batas waktu dapat

merupakan proses kreatif yang merangsang, keterkaitannya dengan pekerjaan

menjadi semakin tinggi serta mampu mengendalikan situasi yang dirasakan

sebagai tantangan.

Ketika pegawai memiliki tingkat stres kerja yang tinggi, bisa dikatakan

kinerja mereka akan rendah untuk menghilangkan rasa stres tersebut. Sehingga

ketika pegawai merasa stres, akan memperoleh dampak negatif pada kinerja

pegawai.

Menurut Robbins (1998), mengemukakan faktor–faktor yang dapat

menimbulkan dan menyebabkan stres kerja antara lain:

1. Faktor lingkungan
Dimana perubahan yang terjadi secara tidak pasti dalam lingkungan

organisasi dapat mempengaruhi tingakat stres dikalangan pegawai. Contohnya:

keamanan dan keselamatan dalam lingkungan pekerjaan, perilaku manajer

terhadap bawahan, kurangnya kebersamaan dalam lingkungan pekerjaan.

2. Faktor organisasional

Seperti tuntutan tugas yang berlebihan, tekanan untuk menyelesaikan

pekerjaan dalam kurung waktu tertentu.

3. Faktor individual

Situasi atau kondisi yang mempengaruhi kehidupan secara individual

seperti faktor ekonomi, keluarga dan kepribadian dari pegawai itu sendiri.

Stres kerja merupakan tekanan yang dirasakan oleh pegawai karena

pekerjaan yang tidak dapat mereka penuhi. Stres dapat terjadi ketika pegawai

tidak dapat memenuhi apa yang menjadi tuntutan pekerjaan Adapun beban kerja

yang diberikan oleh supervise yang berlebihan dan tenggat waktu tugas yang

relatif cepat dapat mengakibatkan stres kerja.

Ketidakjelasan apa yang menjadi tugas pokok pegawai, sedikitnya waktu

untuk menyelesaikan tugas, kurangnya fasilitas untuk menjalankan pekerjaan,

tugas-tugas yang tidak sinkron dengan satu sama lain, adalah beberapa dari

pemicu stres.

Dalam jangka pendek, stres yang tidak dapat dikelola serius oleh pihak

instansi dapat membuat pegawai merasa tertekan, tidak termotivasi, dan frustasi

menyebabkan pegawai bekerja kurang optimal sehingga kinerjanya pun akan

terganggu.

Dalam jangka panjang, pegawai yang tidak dapat menahan stres kerja

maka ia tidak bisa lagi bekerja di instansi. Pada tahap yang semakin parah, stres
bisa membuat kondisi Kesehatan pegawai menjadi buruk atau bahkan pegawai

akan mengundurkan diri.

Kekuatan, tekanan, kecenderungan atau usaha pegawai dalam kekuatan

mental pada pekerjaannya dilambangkan sebagai stres kerja. Stres adalah reaksi

tubuh berupa serangkaian respons awal dari dampak yang lebih buruk yang

dialami tubuh individu.

Dari teori para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa stres kerja adalah

kondisi pegawai yang tertekan karena ketidakmampuan dalam menyelesaikan

pekerjaannya.

2.1.2.1 Dimensi dan Indikator Work Stress

Menurut Mangkunegara (2017:67) Mengungkapkan bahwa stres kerja memiliki

1. Beban kerja

Beban kerja merupakan suatu tanggungan pekerjaan yang diberikan oleh

perusahaan terhadap pegawaiya. Beban kerja yang berlebih dengan rentang waktu

penyelesaian yang singkat cenderung akan membebani pegawainya dengan

pikiran dan tekanan. Semakin tinggi beban kerja yang di tanggung pegawai maka

akan semakin tinggi juga stres kerja yang dialaminya. Beban kerja yang tinggi

harus disertai dengan rentang waktu penyelesaian yang lama.

2. Waktu kerja

Baik buruknya hasil sebuah pekerjaan tergantung dengan waktu

penyelesaian yang dibutuhkan. Rentang waktu kerja yang sesuai dengan beban

kerja yang diberikan cenderung akan menghasilkan output yang maksimal. Jika

pegawai dihadapi dengan beban kerja yang tingi namun dengan tuntutan waktu

penyelesaian yang singkat, pegawai akan cenderung merasakan stres dikarenakan

tekanan pekerjaan yang harus dicapainya yang tentu saja akan mempengaruhi

karirnya di perusahaan.

3. Umpan balik
Seorang pegawai cenderung akan merasa dihargai jika pekerjaan yang

telah diselesaikanya mendapatkan umpan balik yang baik dan sesuai dengan apa

yang diharapkanya. Dengan umpan balik yang baik akan membuat pegawai

merasa di apresiasi dan dihargai oleh perusahaan. Namun jika umpan balik yang

diberikan tidak sesuai maka pegawai cenderung akan merasakan kegelisahan atas

pekerjaan yang telah dilakukanya. Pegawai membutuhkan kritik dan saran agar

mereka mengetahui arah mana yang harus mereka ambil dalam bekerja. Jika hal

tersebut tidak didapatkan maka pegawai akan merasakan kebingungan yang

berujung menjadi sebuah pikiran yang dapat menyebabkan stres dan menganggu

kinerjanya.

4. Tanggung Jawab

Keadaan dimana seseorang diberikan wewenang penuh untuk

menanggung resiko, sebab dan akibat dari sebuah pekerjaan ataupun tugas tugas

yang di tanggungkan kepadanya. Setiap pegawai harus bisa mempertanggung

jawabkan setiap pekerjaan yangtelah diberikan kepadanya, baik dalam hal

ketepatan waktu, kualitas yang dihasilkan dan manfaat yang didapatkan untuk

perusahaan. Secara tidak langsung hal tersebut dapat membuat pegawai

merasakan stress kerja karena hal tersebut dapat membebani dan menumbuhkan

rasa ketakutan tersendiri dalam proses mencapainya.

dimensi dari stres kerja menurut Siagian (2016) adalah :

1. Beban tugas yang terlalu berat, Setiap pegawai memiliki kemampuan kerja

yang terbatas, jika seorang pegawai dibebani dengan tanggungan yang lebih

besar dari kemampuan dan keahlianya maka pegawai tersebut akan

merasakan kesulitan dan menganggap pekerjaanya sebagai suatu hal yang

tidak menyenangkan. Jika seseorang tidak merasa nyaman dengan

pekerjaanya maka pegawai akan mudah untuk mengalami stres kerja.

2. Desakan waktu, Untuk sebuah hasil kerja yang maksimal dbutuhkan juga
waktu yang sepadan untuk menyelesaikanya. Pekerjaan dengan waktu yang

terbatas akan membuat pegawai merasakan tertekan dan menimbulkan

kegelisahan yang berupa perasaan takut tidak dapat menyelesaikan tugas

sesuai dengan waktu yang telah di tetapkan. Kecemasan tersebut akan

menimbulkan stres kerja.

3. Penyelia yang kurang baik, Penyelia seharusnya mampu merangkul dan

membimbing pegawaiya dalam menyelesaikan setiap tugasnya, penyelia yang

tidak baik akan membuat pegawai merasakan bekerja di bawah tekanan yang

secara tidak langsung membuatnya tegang dan tidak merasa nyaman dalam

bekerja. Hal tersebut dapat mengganggu kondisi psikologis seorangpegawai

yang bila terus terjadi dapat menyebabkan terjadinya stres kerja.

4. Iklim kerja yang tidak aman, Iklim kerja yang tidak aman akan menyebabkan

keresahan bagi para pegawai dalam sebuah perusahaan. Pikiran mereka akan

terganggu dengan berbagai macam ketakutan. Pikiran yang seharusnya fokus

untuk bekerja menjadi terbagi karena adanya rasa ketidak amanan tersebut.

Apabila pegawai merasakan ketidakamanan maka hal tersebut akan

meningkatkan stres kerja yang dialami oleh pegawai.

5. Kurangnya informasi dari umpan balik tentang prestasi kerja , Setiap orang

menginginkan perjalanan karir dan prestasi kerja yang mampu memberikan

keuntungan di masa yang akan mendatang. Dalam berkarir, seseorang

membutuhkan pengakuan, apresiasi dan timbal balik atas usaha yang telah

dilakukanya. Jika seseorang tidak mendapatkan hal tersebut dalam

pekerjaanya maka hal tersebut mampu membuatnya kehilangan arah dan

merasakan kebingungan mengenai kinerjanya.


2.1.3 Kinerja

Istilah kinerja berasal dari kata Job Performance atau Actual Performance

yang berarti prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang.

Kinerja mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya menyatakan hasil kerja,

tetapi juga bagaimana proses kerja berlangsung. Kinerja adalah tentang

melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut (Nasution,

2019).

Kinerja (performance) merupakan prestasi yang dicapai oleh seorang

pegawai dalam setiap melakukan pekerjaan atau tugasnya, dengan menggunakan

segenap kemampuan pengetahuan dan keahliannya. Bagi pegawai yang berbasis

kompetensi, kinerjanya diukur berdasarkan kemampuan, skill dan attitude

(sikapnya) pada setiap saat melaksanakan tugas.

kinerja adalah sebuah hasil dari kegiatan yang meliputi kegiatan utama dan

kegiatan lainnya yang ada didalam pekerjaan, dengan begitu keberhasilan dalam

suatu pekerjaan tergantung pada seberapa besar kontribusi pegawai yang

memberikan loyalitas kepada instansi, baik secara langsung maupun tidak

langsung dan bagaimana juga perilaku pegawai dalam mendukung instansi.

Menurut Mangkunegara (2017:67) kinerja Pegawai merupakan “Hasil

kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai Pegawai dalam

menyelesaikan pekerjaanya”. Berdasarkan teori di atas, dapat disimpulkan

bahwa kinerja adalah kinerja seorang individu atau sekelompok individu dalam

suatu organisasi yang bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi, karena kinerja

adalah keberhasilan pegawai dalam melaksanakan tugas yang dapat dilampirkan.

Kinerja adalah sejumlah kemampuan yang dimiliki pegawai untuk bekerja

sedemikian rupa sehingga mencapai hasil kerja secara maksimal dan berbagai
sasaran yang telah diciptakan dengan pengorbanan yang secara rasio kecil

dibandingkan dengan hasil yang dicapai.

Menurut Mangkunegara (2017:67) mengemukakan faktor-faktor yang

mempengaruhi kinerja sebagai berikut :

1. Faktor kemampuan

Kemampuan pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan

kemampuan reality (knowledge + skill). Artinya pegawai yang memiliki IQ diatas

rata -rata (110-120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan

terampil dalam mengerjakan pekerjaannya, maka ia akan lebih mudah mencapai

kinerja yang diharapkan.

2. Faktor motivasional

Motivasi terbentuk dari sikap pegawai dalam mengahdapi situasi kerja.

Motivasi bisa disebut kondisi yang menggerakan diri pegawai yang terarah untuk

mencapai tujuan kerja.

Kinerja tidak dapat terbentuk apabila tidak ada semangat juang pegawai

dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaannya. Dari hal tersebut dapat di ketahui

bahwa campur tangan supervise turut andil dalam memberikan semangat dan

motivasi kerja kepada anggotanya.

2.1.3.1 Dimensi dan Indikator Kinerja

Menurut Sutrisno (dalam Wirya dkk, 2020) ada enam indikator dari

kinerja adalah sebagai berikut.

1. Hasil Kerja, meliputi tingkat kuantitas maupun kualitas yang telah dihasilkan

oleh pegawai dan sejauh mana pengawasan dilakukan oleh perusahaan.

2. Pengetahuan Pekerjaan, tingkat pengetahuan yang terkait dengan tugas

pekerjaan yang akan berpengaruh langsung terhadap kuantitas dan kualitas

dari pegawai yang berdampak pada hasil kerja. selain itu pengetahuan

pekerjaan dapat mencerminkan sejauh mana pegawai dapat memahami produk atau
jasa yang dimiliki perusahaan.

3. Inisiatif, tingkat inisiatif selama melaksanakan tugas pekerjaan khususnya

dalam hal penanganan masalah-masalah yang timbul. Kemampuan mengenali

masalah dan mengabil tindakan korektif, memeberikan saran-saran untuk

peningkatan dan menerima tanggung jawab menyelesaikan.

4. Kecekatan Mental, Tingkat kemampuan dan kecepatan dalam menerima

instruksi kerja dan menyesuaikan dengan cara kerja serta situasi kerja yang

ada.

5. Sikap, perilaku pegawai tehadap perusahaan atau teman sekerja dan tingkat

semangat kerja serta sikap positif dalam melaksanakan tugas pekerjaan.

6. Disipin Waktu dan Absensi, tingkat ketepatan waktu dan tingkat kehadiran

pegawai ditempat kerja, untuk bekerja sesuai dengan waktuataujam kerja

yang telah ditentukan perusahaan.

Adapun Mangkunegara (2017:67) menyebutkan beberapa dimensi dari

kinerja yaitu :

1. Kemampuan

2. Motivasional

2.2 Penelitian Terdahulu

Tabel 2. 1 Hasil penelitian terdahulu

NO Nama Peneliti, Judul Variabel sama Variabel yang Hasil Penelitian


Penelitian, dan Tahun tidak sama
Terbit
1 Inge Monica, Anita Cyberloafing, kinerja kepuasan kerja, Cyberloafing tidak
Maharani Komitmen Memberikan dampak
Bekerja kepada kinerja
“Pengaruh Pegawai,
Cyberloafing instansi perlu
Terhadap untuk
Kinerja Pegawai memperhatikan
Melalui faktor-
Kepuasan Faktor yang
Bekerja Dan mempengaruhi
Komitmen komitmen bekerja
Bekerja” dan
Tahun: 2020 kepuasan bekerja.

Sumber: Procuratio: Jurnal Ilmiah Manajemen Vol 8. No. 4, Desember 2020 (491-502) e-ISSN 2580-3743

2 (Noratika Ardilasari, Cyberloafing Self control Penelitian ini


Ari Firmanto) menunjukkan bahwa
ketika suatu instansi
“Hubungan Self pemerintahan tidak
Control Dan Perilaku membatasi
Cyberloafing Pada penggunaan internet
Pegawai Negeri Sipil” maka muncullah
Tahun: 2017 faktor-faktor
cyberloafing
Sumber : JIPT : Vol. 05, No.01 Januari 2017 ISSN: 2301-8267
3 (Mazzanov Cyberloafing, Stres Kepuasan Stres kerja tidak
Dhira Brata Kerja, signifikanmemoderasi
Moffan, Seger Kerja Pengaruh stres
Handoyo) kerja
“Pengaruh Stres Terhadap
Kerja terhadap cyberloafing
Cyberloafing pada pegawai.
dengan
Kepuasan Kerja
Sebagai Variabel
Moderator pada
Pegawai di Surabaya ,
Tahun 2022
Sumber: Analitika: Jurnal Magister Psikologi UMA, Vol. 12 (1) Juni (2020) ISSN: 2085-6601 (Print), ISSN: 2502-4590 (Online)
dan stres kerja
4 (Vira Sani Putri, Fetty Work Stress dan Semakin rendah
Poerwita Sary) Kinerja tingkat stress kerja
“Pengaruh Stres Kerja maka semakin tinggi
Terhadap Kinerja kinerja pegawai.
Pegawai

(Studi Pada PT. Lestari


Busana Anggun
Mahkota
di Bagian Produksi)”
Tahun: 2020
Sumber: Jurnal Mitra Manajemen (JMM Online) Vol.4, No. 2, 195-205. ISSN 2614-0365, e-ISSN 2599-087X

5 (K.S.Wirya, Stres kerja, kinerja 1. Stres kerja


N.D.Andiani, N.L.W.S. dan kepuasan kerja
Telagawathi) berpengaruh
terhadap kinerja
“Pengaruh Stres Kerja pegawai pada PT.
Dan Kepuasan Kerja BPR Sedana Murni.
Terhadap Kinerja 2. Stres kerja
Pegawai PT. BPR berpengaruh negatif
Sedana Murni “ dan signifikan
terhadap kinerja
Tahun: 2020 pada PT. BPR Sedana
Murni. DanKepuasan
kerja berpengaruh
positif dan signifikan
terhadap kinerja
pegawai pada PT.
BPR Sedana Murni.
Sumber: Prospek: Jurnal Manajemen dan Bisnis, Vol 2 No. 1, Juli 2020 P- ISSN: 2685-5526

2.3 Kerangka Pemikiran dan Hipotesis

Dalam penelitian ini, peneliti telah membuat sebuah konsep berupa

kerangka pemikiran dan hipotesis yang bertujuan untuk mempermudah penelitian

dan menghubungkan antara variabel bebas dengan variabel terikat.

2.3.1 Kerangka Pemikiran

2.3.1.1 Pengaruh Cyberloafing Terhadap Kinerja Pegawai


Menurut Ramadhan dkk, 2018 (dalam Monica dkk, 2020) mengemukakan

bahwa:

“Cyberloafing dapat disebabkan karena “ketidakmampuan seseorang


mengendalikan dirinya saat di tempat kerja, kemudian seseorang
tersebut memiliki persepsi tentang beban kerja yang menurutnya
berlebihan atau sebaliknya serta adanya konflik peran yang dialami”.
Dengan kata lain, cyberloafing timbul karena faktor individual, faktor

situasional dan faktor organisasi yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja

pegawai. Berdasarkan hal-hal diatas, dapat ditarik kesimpulan dimana kinerja

pegawai ialah suatu pencapaian tenaga kerja dalam mengejar target kerja pada

waktu yang tepat, sehingga kinerja pegawai dapat berkontribusi bagi perusahaan.

Berdasarkan penelitian Ardilasari dkk, 2017 menunjukkan bahwa ketika

suatu instansi pemerintahan tidak membatasi penggunaan internet maka


muncullah faktor-faktor cyberloafing.

2.3.1.2 Pengaruh Work Stress terhadap Kinerja Pegawai


Menurut Mangkunegara (2017:157) mendefinisikan sebagai berikut :

“Stres kerja adalah perasaan tertekan yang dialami pegawai dalam


menghadapi pekerjaan. Stres kerja ini tampak dari simptom, antara
lain emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit
tidur, merokok yang berlebihan, tidak bisa rilek, cemas, tegang,
gugup, tekanan darah meningkat, dan mengalami gangguan
pencernaan”.
Berdasarkan penelitian dari Putri dkk, 2020 menjelaskan bahwa Semakin

rendah tingkat stres kerja maka semakin tinggi kinerja pegawai.

2.3.1.3 Pengaruh Cyberloafing dan Work Stress terhadap kinerja Pegawai


Aktivitas cyberloafing tentu akan mempengaruhi kinerja pegawai. Karena

fokus pegawai dapat terganggu karena pegawai terlalu fokus dalam menjelajah

internet demi kepuasan sendiri.

Adapun untuk stres kerja dapat terjadi akibat beban kerja yang terlalu

berat atau terlalu ringan, lingkungan kerja yang tidak memadai, dan komunikasi

antar pegawai dan supervise yang kurang baik.

Berdasarkan penjelasan definisi dan hasil penelitian para ahli, maka dapat

disimpulkan bahwa di dalam sebuah organisasi atau instansi memiliki berbagai

macam permasalahan, oleh karena itu. Peneliti menggunakan variabel

cyberloafing, job satisfaction dan work stress sebagai variabel yang

mempengaruhi kinerja.

Cyberloafing H1

(X1)

H3 Kinerja
(Y)

Work Stress H2
(X2)

Gambar 2. 1 Model Kerangka Pemikiran


kerangka pemikiran teoritis diatas menjelaskan adanya pengaruh perilaku

cyberloafing, job satisfaction dan work stress terhadap kinerja Pegawai.

Keterangan:

X1 : Variabel Bebas (Cyberloafing)

X2 : Variabel Bebas (Work Stress)

Y : Variabel Terikat (Kinerja)

H1 : Pengaruh Cyberloafing Terhadap Kinerja

H2 : Pengaruh Work Stress Terhadap Kinerja

H3 : Pengaruh Cyberloafing dan Work Stress Terhadap Kinerja

2.3.2 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas maka, dapat dirumuskan hipotesis

penelitian sebagai berikut:

“Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan


masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah
dinyatakan dalam bentuk kalimat pernyataan. Dikatakan sementara,
karena jawaban yang diberikan baru di dasarkan pada teori yang
relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh
melalui pengumpulan data”. (Sugiyono, 2017)
Berdasarkan uraian pada paradigma peneliti diatas, dapat dirumuskan

hipotesis sebagai berikut :

H1 : Terdapat pengaruh signifikan antara cyberloafing terhadap kinerja pada

pegawai Sekretariat Daerah Kabupaten Cirebon.

H2 : Terdapat pengaruh signifikan antara work stress terhadap kinerja pegawai

Sekretariat Daerah Kabupaten Cirebon.

H3 : Terdapat pengaruh signifikan antara cyberloafing dan work stress terhadap

kinerja pegawai Sekretariat Daerah Kabupaten Cirebon.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Tipe penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian kuantitatif.

Penelitian kuantitatif memiliki dasar sebuah pendekatan positivisme yang

berasumsi bahwa realitas sosial terbentuk dari fakta objektif yang didapat oleh

peneliti dari pengukuran dan uji statistik untuk mengetahui hubungan maupun

pengaruh antar variabel. Peneliti juga menggunakan penelitian kuantitatif dengan

metode asosiasi.

Dalam perhitungan dan pengolahan data yang efektif, peneliti

menggunakan aplikasi Statical Package for the Social Science (SPSS) sebagai alat

bantu analisis (Software). lebih maksimal karena dapat meminimalisir kesalahan

dalam perhitungan data seperti yang dilakukan dengan menggunakan metode

perhitungan secara manual

3.2 Operasional Variabel

Sebelum melakukan pembahasan terfokus mengenai topik yang dibahas

pada penelitian ini, maka terlebih dahulu dijelaskan mengenai seluruh variabel

yang digunakan pada penelitian ini yaitu:

3.2.1 Variabel Penelitian

Sugiyono (2019:57) menyatakan bahwa “Variabel penelitian adalah

suatu atribut atau sifat dari orang, objek, organisasi atau kegiatan yang

mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan

kemudian ditarik kesimpulannya”. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel

yang akan diukur, yaitu:


3.2.1.1 Variabel Independen (bebas)

Sugiyono (2019:57) variabel independen sering disebut sebagai variabel

bebas. Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi

sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat). Variabel bebas

dalam penelitian ini adalah cyberloafing (X1), job satisfaction (X2), dan work

stress (X3).

3.2.1.2 Variabel Dependen (terikat)

Sugiyono (2019:57) Variabel dependen sering disebut sebagai variabel

terikat. Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi

akibat, karena adanya variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah

kinerja pegawai (Y).

3.2.2 Skala Pengukuran Variabel

Responden diminta mengisi pertanyaan dalam skala likert. Sugiyono

(2019:152) mendefinisikan bahwa :

“Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan

persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial.

Dalam penelitian, fenomena sosial ini telah ditetapkan secara spesifik

oleh peneliti, yang selanjutnya disebut sebagai variabel penelitian”.

Responden diminta mengenai pertanyaan dalam skala likert berbentuk

verbal dengan alternative pilihan 1 sampai 5 jawaban pertanyaan dengan

ketentuan sebagai berikut:

Nilai 1 : untuk jawaban sangat tidak setuju artinya pertanyaan tidak sesuai dengan

keadaan yang dirasakan oleh responden.

Nilai 2 : untuk jawaban tidak setuju artinya kurang dengan apa yang didapat oleh

responden. Nilai jawaban setuju artinya pertanyaan dianggap sesuai dengan

keadaan yang dirasakan oleh responden.


Nilai 3 : untuk jawaban cukup setuju artinya dianggap cukup sesuai dengan

keadaan yang dirasakan responden.

Nilai 4 : untuk jawaban setuju artinya pertanyaan dianggap sesuai dengan keadaan

yang dirasakan responden.

Nilai 5 : untuk jawaban sangat setuju artinya responden sangat setuju dan sangat

sesuai dengan keadaan yang dirasakan oleh responden.

Pengukuran jawaban responden menggunakan kriteria pembobotan dengan

tingkatan sebagai berikut:

Tabel 3. 1 Skala Likert

No. Alternatif Jawaban Skor


1. Sangat Setuju (SS) 5
2. Setuju (S) 4
3. Cukup Setuju (CS) 3
4. Tidak Setuju (TS) 2
5. Sangat Tidak Setuju (STS) 1
Sumber : Sugiyono (2017:159)
Peneliti menerangkan variabel independen dan variabel dependen dengan

menyusun pengukurannya pada tabel berikut:

Tabel 3. 2 Operasionalisasi variabel cyberloafing

Skala
Definisi Variabel Dimensi Indikator Ukur
Cyberloafing Independen 1. Social 1. Eksistensi di Skala Likert
adalah (X1) Activity social media 5 : SS
perilaku Cyberloafing 2. Informationa 2. Perluasan 4:S
pegawai yang Jaringan Sosial 3 : CS
l Activity
menggunakan via Social 2 : TS
3. Leisure media 1 : STS
fasilitas Activity 3. Pencarian
internet 4. Virtual Berita Online
melalui 4. Menyebarkan
Emotional
perangkat Informasi dari
Activity
pribadi atau portal online
instansi untuk 5. Bermain Game
kepentingan 6. Streaming
pribadi video/ film
selama jam 7. Berbelanja
kerja. Online
8. Kencan Online

Sumber : Doorn, 2011 (dalam Moffan dkk, 2020)


Tabel 3. 4 Operasional Variabel work stress

Skala
Definisi Variabel Dimensi Indikator Ukur
Stres kerja Independen 1. Beban kerja 1. Banyak Skala Likert
adalah (X3) 2. Waktu kerja pekerjaan 5 : SS
Perasaan Work Stress 3. Umpan balik 2. Jenis 4:S
tertekan yang 4. Tanggung pekerjaan 3 : CS
dialami Jawab 3. Jam kerja 2 : TS
pegawai 4. Waktu 1 : STS
dalam penyelesaian
menghadapi tugas
pekerjaan 5. Masukan
yang atasan
6. Apresiasi
diberikan
Instansi
perusahaan. 7. Tindakan
terhadap
pekerjaan
8. Penyelesaian
tugas kerja

Sumber : Mangkunegara (2017:157)

Tabel 3. 5 Operasionalisasi variabel kinerja

Definisi Variabel Dimensi Indikator Skala Ukur


Kinerja adalah Dependen 1. Kualitas 1. Ketelitian Skala Likert
sebuah hasil (Y) kerja Bekerja 5 : SS
kerja secara Kinerja 2. Kuantitas 2. Keterampilan 4:S
kualitas dan Kerja bekerja 3 : CS
kuantitas 3. Jumlah hasil 2 : TS
3. Sikap Kerja
kerja yang 1 : STS
yang dicapai 4. Kehadiran dicapai
oleh seorang 4. Kecepatan
pegawai dalam
dalam menyelesaikan
melaksanaka kerja
n tugas Mengikuti
dengan instruksi
tanggung pimpinan
jawab yang 6. Inisiatif
diberikan dalam bekerja
kepadanya. 7. Waktu hadir
tepat waktu
5. Mematuhi
jam kerja
Sumber : Sutrisno (2017:67)
3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

“Populasi adalah keseluruhan elemen yang akan dijadikan wilayah

generalisasi”, Sugiyono (2019:130)

Populasi juga bukan sekadar jumlah yang ada pada objek atau subjek yang

dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik, sifat yang dimiliki objek atau subjek

itu. Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa populasi merupakan

subjek penelitian dimana individu yang akan dikenai perilaku atau dapat dikatakan

sebagai keseluruhan objek penelitian yang akan diteliti. Populasi dalam penelitian

ini adalah pegawai kantor Sekretariat Daerah Kabupaten Cirebon yang berjumlah

117 ASN, dengan rincian sebagai berikut.

Tabel 3. 6 Jumlah ASN di Sekretariat Daerah Kabupaten Cirebon

No Bagian Jumlah
1 Tata Pemerintahan 17
2 Hukum 10
3 Hubungan Masyarakat 8
4 Perekonomian 10
5 Pembangunan 10
6 Kesejahteraan Rakyat 7
7 Umum 22
8 Keuangan 10
9 Perlengkapan 10
10 Organisasi dan Pemberdayaan Aparatur 13
Total 117
Sumber: Bag. Unum Sekretariat daerah Kabupaten Cirebon

3.3.2 Sampel

“Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

oleh populasi tersebut”. Sugiyono (2019:131)

Untuk menentukan jumlah sampel, digunakan pendapat Slovin dalam

Sekaran dan Bougie (2010:112) dengan menggunakan formula sebagai berikut :

N
n=
1+ N 𝑒2

Keterangan :

n : Jumlah Sampel

N : Jumlah Populasi

e : Kesalahan yang ditolerir dalam penarikan sampel yaitu 0,05.

Berdasarkan formula diatas, selanjutnya dapat dihitung jumlah sampel

dalam penelitian ini sebagai berikut :


117
n=
1+ 117 (0,05)2

117
n=
1.292
n = 90,55 = 90 Orang

Setelah perhitungan di atas, penetapan jumlah sampel dalam penelitian ini

menggunakan metode random sampling yaitu penarikan sampel secara acak pada

populasi pada setiap bagian, sehingga sampel dalam penelitian ini berjumlah 90

orang ASN Sekretariat Daerah Kabupaten Cirebon.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang diambil dalam

penelitian karena tujuan penelitian adalah mendapatkan data. Data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder.

3.4.1 Sumber data

Dari hasil penelitian didapat 2 sumber data, yaitu :

1. Data Primer
Sugiyono (2019:8) menyatakan bahwa “Data primer adalah sumber data

yang langsung memberikan data kepada pengumpul data”. Data primer yang

digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari hasil kuesioner yang disebarkan

pada sampel yang telah ditentukan. Data primer tersebut berupa data mentah

dalam bentuk skala likert (skala angka). Data mentah tersebut akan diolah oleh

peneliti.

2. Data Sekunder

Sugiyono (2019:8) menyatakan bahwa “Data sekunder merupakan

sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data,

misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen”. Data sekunder berupa sumber

pustaka yang mendukung penulisan penelitian serta diperoleh dari literatur

yang relevan dari permasalahan sebagai dasar pemahaman terhadap objek penelitian

dan untuk menganalisisnya secara tepat.

3.4.2 Jenis Data

Dalam penelitian ini terdapat dua jenis data yaitu diantaranya sebagai

berikut :

1. Studi Lapangan

Jenis data dari studi lapangan merupakan penelitian yang diadakan oleh

peneliti dengan secara langsung terjun ke lapangan.

2. Studi Kepustakaan

Jenis data dan studi kepustakaan merupakan hasil dari pengumpulan data yang

diperoleh dengan mempelajari kuesioner, buku-buku, jurnal, dan literatur internet

yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.

3.4.3 Metode Pengumpulan Data

Di dalam penelitian yang dilakukan ada beberapa metode atau teknik

pengumpulan data Pada penelitian kali ini teknik pengumpulan data yang diambil
oleh peneliti meliputi :

1. Kuesioner (Angket)

Sugiyano (2017:142) “Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data

yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau

pernyataan tertulis kepada responden untuk jawabnya".

3.5 Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini uji analisis data secara kuantitatif ditunjukan untuk

mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara dua variabel bebas dan satu

variabel terikat. Dalam upaya menjawab permasalahan dalam penelitian ini maka

menggunakan alat bantu SPSS.

3.5.1 Uji Instrumen Penelitian

Analisis instrumen ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan

melakukan pengujian validitas dan reliabilitas., Pengujian validitas dan reliabilitas

biasanya digunakan untuk data yang berasal dari instrumen penelitian (angket atau

kuesioner).

3.5.1.1 Uji Validitas


Uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah item-item yang di uji

benar-benar mampu mengungkapkan dengan pasti apa yang diteliti. Ghozali

(2018:51) mengatakan “uji validitas merupakan digunakan untuk mengukur sah

atau valid tidaknya suatu kuesioner. Suatu kiuesioner dikatakan valid jika

petrtanyaan pada kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan

diukur oleh kuesioner tersebut.”

Jadi dapat disimpulkan bahwa uji validitas berguna untuk mengetahui valid atau

tidaknya suatu data yang nantinya jika data diketahui valid maka data dinyatakan

layak untuk dikelola.


Analisis korelasi berguna untuk menentukan suatu besaran yang

menyatakan bagaimana kuat hubungan suatu variabel dengan variabel lain.

𝒓 𝒏∑𝑿𝒊𝒀𝒊−(∑𝑿𝒊)(∑𝒀𝒊)
𝒙𝒚=
√{𝒏∑𝑿𝟐𝒊 −(∑𝑿𝒊)𝟐}{𝒏∑𝒀𝟐𝒊−(∑𝒀𝒊)𝟐}

Sumber: Sugiyono (2019:273)


Keterangan :
r = Nilai Korelasi
n = Jumlah Responden
X= Skor Nilai Pernyataan
Y= Jumlah Pernyataan Tiap Responden
Pengujian ini dilakukan dengan bantuan program SPSS 25 for windows dengan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
Jika Thitung>Ttabel, maka pernyataan tersebut dikatakan valid.
Jika Thitung<Ttabel, maka pernyataan tersebut dikatakan tidak valid.

3.5.1.2 Uji Reliabilitas


Menurut Ghozali (2018), “uji reliabilitas adalah alat untuk mengukur

suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk”. Suatu

kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap

pertanyaan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Menurut Ghozali

(2018) pengujian reliabilitas data dapat dilakukan dengan uji statistik Cronbach

Alpha (α) dengan rumus sebagai berikut:

Sumber : Ghozali, (2018)


Dimana:

𝑟ii = reliabilitas instrumen

k = banyak butir pertanyaan

∑𝜎 b2 = jumlah varian butir

𝜎𝑐2 = varian total

Adapun kriteria reliabilitas adalah sebagai berikut:

a. Apabila nilai alpha Cronbach > 0,60 = reliabel

b. Apabila nilai alpha cronbach < 0,60 = tidak reliabel

3.5.2 Uji Asumsi Klasik

Untuk memeperoleh nilai yang efisien dan tidak bias dari suatu persamaan

regresi linear berganda dengan metode kuadrat terkecil (OLS), harus memenuhi

asumsi-asumsi melalui berbagai uji yaitu sebagai berikut:

3.5.2.1 Uji Normalitas

Menurut Ghozali (2018:161) “Uji normalitas bertujuan untuk menguji

apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki

distribusi normal”.

Model regresi yang baik hendaknya normal atau mendekati normal. Data

berdistribusi normal atau tidak normal dapat diketahui dengan menggunakan

beberapa uji-uji normalitas. Salah satunya uji Kolmogorov- Smirnov. Dasar

pengambilan keputusan :

1. Nilai Signifikan (sig) atau nilai probabilitas < 0,05, data yang terdistribusi

secara normal.
2. Nilai Signifikan (sig) atau nilai probabilitas > 0,05, data tidak terdistribusi

secara normal.

Deteksi normalitas dapat dilakukan dengan melihat penyebaran data (titik)

pada suatu sumbu diagonal dari grafik. Menurut Ghozali (2018:161), dasar

pengambilan keputusan dari uji normalitas adalah :

A. Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis

diagonal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas.

B. Jika data penyebar jauh dari garis regresi dan atau tidak mengikuti arah garis

diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.

Anda mungkin juga menyukai