Anda di halaman 1dari 11

TUGAS KELOMPOK

TEORI DAN ALIRAN LINGUISTIK


(TATA BAHASA FIRTH, NEO FIRTHIANS DAN
TATA BAHASA FUNGSIONAL)

OLEH:
SUCI LESTARI P1200212402
AYU MEGAWATI P1200212011
WANG CHUN LEI P1200212

PRODI BAHASA INDONESIA


PASCASARJANA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
A. THE FIRTHIANS (TATA BAHASA MAZHAB FIRTH)

Aliran ini mengacu pada para linguis yang mengikuti prinsip-prinsip linguistik

dari J.R. Firth, Guru besar general linguistics pada Universitas London dari tahun 1994 –

1956. Prinsip-prinsip tersebut berkembang terutama pada bidang fonologi. Dalam tataran

makna terlihat suatu perkembangan pandangan yang kompleks dari semua level struktur

linguistik yang sekaligus memberi urutan pada pernyataan menyeluruh dari makna suatu

ujaran.

Empat hal yang menjadi titik berat teori firth terdiri atas empat komponen yaitu,

1) Komponen sosiolinguistik, 2) teori makna, 3) analisis makna dalam batasan level,

struktur, dan sistem, 4) teori fonologi, dan 5) teori sanding kata.

1. Komponen Sosiologi

Bronislaw Malinowski yang banyak memengaruhi Firth, menyatakan

pentingnya menempatkan kata-kata dalam konteks keseluruhan ujaran pada

situasinya. Inilah yang dikenal dengan ‘the context of situation’. Menurut Malinowski

konteks merupakan lingkungan fisik dari suatu ujaran. Selain itu, konsep makna

merupakan arena hubungan antara orang yang memainkan peran dalam masyarakat,

kata-kata yang diujarkan, objek-objek dan kejadian-kejadian yan g berhubungan

dengan orang-orang dan ujarannya.

Hal tersebut sejalan dengan Hartmann (1972:52) yang memberikan batasan

mengenai ‘the context of situation’ bahwa segala ciri-ciri dunia eksternal yang berupa

satu ujaran atau teks mempunyai hubungan makna. Gagasan-gagasan makna dan

situasi ini adalah pusat bagi segala cabang-cabang semantik, karena mereka

menerangkan cara simbol-simbol, ujaran, dan grafik menyatakan dunia sekitar si

pembicara.
Pengaruh Malinowski tersebut membuat Firth menolak formalisme struktural

yang statis yang konsep dasarnya bertolak pada perbedaan mendasar antara langue

dan parole dari Saussure. Menurut Firth, bahasa seharusnya dipakai, dipelajari, dalam

interaksi sosial sebagai bagian dari proses sosial dalam kehidupan manusia tidak

sebatas seperangka tanda-tanda yang arbitrer.

2. Teori Makna

Pendapat Bloomfield bahwa studi makna bukanlah bagian utama dari

linguistik bertolak belakang dengan Firth yang menyetujui bahwa makna adalah

jaringan keseluruhan dari relasi-relasi dan fungsi-fungsi pada setiap aspek linguistik.

Titik berat dari konsep makan menurut Firth adalah sosial dan behavioral.

Maksudnya adalah kata-kata merupakan bagian dari kebiasaan, makna yang dimiliki

oleh kata tersebut merupakan pola tingkah laku, dan pola tingkah laku tersebut

mempunyai fungsi koordinasi.

Kata-kata mengacu pada situasi dan sesuatu. Inilah yang disebut directive

reference. Dalam bahasa lisan, makna melibatkan paling tidak 3 hal, yaitu: sikap

terhadap acuan (reference), sikap terhadap lawan tutur kata, dan tujuan dari ujaran itu

sendiri.

3. Teori Sanding Kata (Collocational Theory)

Teori sanding kata dalam linguistik pertama kali dicetuskan oleh JR. Firth, seorang linguis

yang terkenal dalam aliran linguistik London (Alwasilah: 1993:69). Dalam Oxford Collocations

Dictionary (2002:vii) dijelaskan bahwa sanding kata sebagai the way wordscombine

in a language to produce a natural-sounding speech and writing. Sejalan dengan

Baker (1992:47), sanding kata ialah kecenderungan sejumlah kata untuk bergabung secara teratur

dalam suatu bahasa, tetapi kata yang mana dapat bersanding kata dengan kata yang lain tidak ada

hubungannya secara logis. Hal ini juga ditegaskan oleh Sei dan Pain(2000:167) bahwa sanding kata
ialah sekelompok kata yang sering muncul bersama. Adapun menurut Hartman dan Stork via

Alwasilah (1993:69) sanding kata adalah dua kata atau lebih, dianggap sebagai butir-butir kosakata

sendiri dipakai dengan sandingan kata lain yang lazim.

Lebih kompleks, Firth mengemukakan bahwa adanya hubungan kemungkinan sanding kata

dilihat dari 3 faktor, yaitu: probabilistic (kemungkinan), implicational (keterlibatan), dan conceptual

(konsep). Contoh, kata ayah, ibu, anak dan semacamnya. Hubungan lain yang memungkinkan

dimasuki oleh komponen bahasa terbagi dua, yaitu: internal atau formal, dan situasional. Hubungan

formal artinya hubungan kosa kata dalam sanding katanya atau hubungan sintaktik antara kategori-

kategori gramatik. Sebaliknya, hubungan situasional adalah hubungan antara komponen bahasa

dengan unsur-unsur nonverbal dari situasi ujaran. Namun, secara umum bahasa masuk dalam kedua

hubungan tersebut.

4. Struktur dan Sistem

Alwasilah (1985: 71) mennguraikan bahwa yang dimaksud dengan struktur adalah tatanan

unsur-unsur secara sintagmatik sedangkan sistem adalah seperangkat unit-unit secara paradigmatik

antara satu sama lain dapat saling menempati dalam suatu struktur. Secara sederhana dapat

dijelaskan bahwa struktur adalah tatanan unsur secara horizontal dan sistem adalah seperangkat unit

secara vertikal yang dipakai dalam satu struktur tertentu. Contoh, kata pit, bit, pin, dan pen adalah

satu struktur dengan pola C1, VC2 (C = Consnant, V = Vowel). Sementara C1 dan C2 adalah satu

sistem karena bahasa inggris memiliki sistem konsosnan awal p, b, t, d, k, g, dan seterusnya. Sistem

dan struktur tersebut dapat pula terlihat dalam tatanan bahasa indonesia, misalnya aku, itu, dan ini

memiliki struktur yang sama yaitu V1, KV2.

5. Teori Fonologi

Pendekatan Firth dalam fonologi terkenal dengan sebutan prosodic Analisysis. Prosodic

phonologi ini menolak teori phonemes. Beberapa kelemahan analisis fonemik yang didasarkan

sepenuhnya pada pemisahan kesatuan (continuum) unjaran dalam segmen-segmen bisa diatasai
dengan pengenalan dengan supra segmental phonemes. Walaupun demikian, Firth mengajukan

pemisahan persyaratan transkripsi dari persyaratan pengertian struktur phonologis. Prosodic analisis

membahasa dua tipe kesatuan (unit) yaitu:

1. Phonematic Unit.

Phonematic unit adalah segmen-segmen yang disusun secara seri seperti konsonan dan vokal.

2. Prosody.

Prosody mengacu pada ciri-ciri fonetik yang meluas pada keseluruhan atau bagian terbesar dari

struktur, misalnya pola-pola intonasi atau terbatas pada posisi yang membatasi struktur itu, seperti

stress (tekanan) atau juncture (titik nada).

Dalam analisis prosodik sistem-sistem fonologis yang berbeda bisa disusun untuk

struktur-struktur yang berbeda atau tempat-tempat yang berbeda dalam struktur. Dengan

demikian analisis prosodik dapat pula disebut polysisemic phonology atau multidisiplional

phonology sebagai kebalikan dari monosistemic dimana tanpa ada acuan pada struktur gramatik

atau leksikal.

B. TATA BAHASA NEO FIRTHIAN

Aliran ini dipelopori oleh Michael Alexander Halliday yang sangat terkenal

dengan teori Systematic Grammar. Ciri-ciri dari aliran ini adalah sebagai berikut:

1. Menampilkan 4 (empat) kategori umum dalam bahasa, yakni unit, struktur, kelas,

dan sistem.

2. Seperangkat kategori dan level disusun untuk menjelaskan aspek formal dari bahasa.

Ada tiga level pokok yaitu: form (berupa organisasi substansi bagi peristiwa yang

padat arti: wujudnya grammar dan leksis), substance (materi fonik dan grafik), dan

context (hubungan antara form dan situation, yakni semantic).

3. Bahasa dibagi kedalam 4 kategori dasar yakni:

(i) Unit (suatu segmen pembawa pola pada segala level).


(ii) Class (seperangkat butir-butir dengan fungsi tertentu dalam akar kata).

(iii) System (penyusunan paradigmatik dari kelas-kelas dari hubungan pilihan).

(iv) Penyusunan tiga skala yang dipakai untuk saling menghubungkan kategori-

kategori dalam teori dan peristiwa-peristiwa ujaran yang teramati. Skala rank

mengacu pada penyusunan tata urut unit-unit; skala exponence

menghubungkan kategori-kategori dengan data; skala delicacy membedakan

hubungan-hubungan tertentu dalam kedalaman.

Tokoh aliran Neo-Firthian adalah Halliday yang berperan besar dalam

mengembangkan pemikiran Firth. Halliday sudah tertarik dengan Firth sejak ia berada di

bawah bimbingan Wang Li. Halliday ingin mengeksplorasi ide Firth lebih jauh lagi.

Halliday ingin belajar dari Firth. Tentu saja, setelah jadi murid Firth, Halliday belajar

banyak mengenai latar belakang filsafat dan wawasan mengenai bahasa. Namun Halliday

tidak mendapatkan model tata bahasa karena Firth sendiri tertarik pada fonologi,

semantik, dan konteks.

C. TATA BAHASA FUNGSIONAL

Tata bahasa fungsional adalah sekumpulan teori linguistik yang secara umum

dapat digolongkan ke dalam linguistik fungsional, termasuk didalamnya functional

discourse grammar yang dikembangkan oleh linguis Belanda Simon Dik dan systemic

functional grammar yang dikembangkan oleh linguis Inggris Michael A. K. Halliday.

Secara umum, tata bahasa fungsional adalah teori yang berusaha menjelaskan

susunan bahasa alamiah dari segi fungsionalitasnya. Karena hal itulah, maka

pengembangan teori ini memusatkan perhatiannya pada tiga hal yang saling berkaitan,

yaitu:
1. Fungsionalitas bahasa alamiah,

2. Fungsionalitas relasi yang terjadi pada berbagai tingkatan susunan tata bahasa, dan

3. Sasaran yang ingin dicapai, yaitu keterpakaian teori ini sebagai alat analisis atas

berbagai aspek bahasa dan pemakaian bahasa.

Untuk menganalisis hal-hal di atas, pengembangan teori-teori tata bahasa fungsional

harus memenuhi tiga standar kecukupan, yaitu:

1. Kecukupan tipologis, artinya aturan dan prinsip-prinsip teori ini harus dapat

diterapkan dalam bahasa alamiah manapun.

2. Kecukupan pragmatuis, artinya rumusan apapun yang dikemukakan oleh teori ini

harus dapat memberikan pemahaman mengenai bagaimana ungkapan-ungkapan

kebahasaan dapat secara efektif dipakai dalam interaksi komunikatif.

3. Kecukupan psikologis, artinya apapun yang dikemukakan oleh tata bahasa fungsional

harus sesuai dengan hal-hal yang telah diketahui mengenai mekanisme pemrosesan

psikologis yang terjadi dalam pemakaian bahasa alamiah.

Karena gagasan menegenai fungsionalitas menempati posisi yang snagat penting

dalam tata bahasa fungsional, maka aturan dan prinsip-prinsip tata bahasa fungsional

dirumuskan dalam terma-terma fungsional. Dalam tata bahasa fungsional ada tiga

tingkatan fungsi yang menjadi pokok perhatian, yaitu:

1. Fungsi semantik seperti pelaku (agent), pasien (patient), penerima (recipient) dan

seterusnya. Fungsi ini mendefinisikan peranan yang dimainkan oleh peserta dalam

suatu peristiwa atau perbuatan sebagaimana ditunjukkan oleh predikat.

2. Fungsi sintaktik (subjek dan objek). Fungsi ini mendefinisikan bagaimana sudut

pandang suatu peristiwa atau perbuatan diwujdkan dalam ungkapan-ungkapan

kebahasaan.
3. Fungsi pragmatik (tema dan ekor [tall], topik dan fokus). Fungsi ini mendefinisikan

status informasi konstituen ugkapan-ungkapan kebahasaan dan menghubungkan

ungkapan-ungkapan yang ada dalam diskursus/wacana yang sedang berlangsung itu

dengan status pengujar (speaker) dan penerima ujaran (addressee) dalam interaksi

verbal yang sedang berlangsung.

Agar dapat digunakan sebagai alat analisis atas berbagai aspek bahasa dan

penggunaan bahasa, maka tata bahasa fungsional berupaya sekaligus untuk

memakasimalkan tingkat kecukupan tipologis dan minimalkan tingkat abstraksi analisis

linguistiknya. Upaya ini dilakukan dengan mengurangi tingkat abstraksi (aturan, cara

kerja, atau produser), sehingga jarak antara struktur yang dipostulasikan dalam suatu

bahasa tertentu berdasrakan teori ini dnegan ungkapan-ungkapan kebahasaan aktual yang

disusun dengan menggunakan tema-tema struktur ini dapat dipersempit. Pembatasan

abstraksi dilakukan dengan mengikuti prinsip-prinsip berikut:

1. Menghindari transformasi dalam arti operasi perubahan struktur.

2. Menghindari elemen-elemen kosong dalam struktur utama yang tidak mendapatkan

ekspresi.

3. Menolak perangkat penyaring (filter devices).

4. Tidak menerapkan dekomposisi leksikal yang abstrak (sebagai gantinya, relasi

semantik antarkata dilakukan melaui definisi makna).

D. ILMU BAHASA FUNGSIONAL

Ilmu bahasa fungsional telah muncul saat aliran Praha, tetapi belum berkembang.

Aliran linguistik Praha yang membawa gelombang pengaruh bagi kehidupan ilmu

bahasa. dampak aliran praha sangat nyata, teori-teori lain bermuculan sebagai reaksi atas

suatu konsep yang tersaji. Dua tokoh yang mengangkat konsep ini adalah Roman

Jakobson dan Andre Martinet. kita tidak bisa lepas dari kedua tokoh ini dalam
pengkajian ilmu bahasa fungsional. berikut ini akan disajikan kedua tokoh itu dengan

gagasan mereka.

a. Roman Jakobson

Roman Jakobson berpendapat bahwa bahasa tidak hanya memasukkan fungsi

aktivitas bahasa. tentang fungsi aktivitas bahasa, pendapat Aliran Praha berbeda

dengan berpendapat Karl Buhler yang membagi fungsi bahasa. Karl Buhler

mengklarifikasikan fungsi bahasa menjadi 3 yaitu ekpresi, himbauan, dan

representasi acuan. untuk memperjelas argumennya Karl Buhler memberikan

pengelompokkan tanda bahasa yang juga dibagi menjadi 3 yaitu:

1. simpton (gejala dalam hubungannya dengan orang yang memakai tanda itu),

2. sinyal (mempunyai kaitan dengan penerima tanda atau pesan), dan

3. simbol (hubungannya dengan yang ditandai atau diungkapkan).

Tidak hanya Karl Buhler yang Roman Jakobson sangkal tokoh linguistik

Amerika sesudah Saussure pun Roman Jakobson bantah konsepnya, Roman Jakobson

berpendapat bahwa tidak akan ada kajian sinkronik tanpa adanya kajian diakronik.

Roman Jakobson sendiri mengelompokkan faktor bahasa dan fungsi bahasa dalam 6

jenis, faktor bahasa meliputi pembicara, pendengar, kontek, pesan, hubungan dan

kode. sedangkan fungsi bahasa terdiri dari ekspresif, konatif, denotatif, fatik,

metalinguistik, dan puitik. mengenai sinkronik Jakobson berujar, bahwa kajian

sinkronik itu sendiri berupa dinamis bukan statis.

Roman Jakobson juga meneliti mengenai perubahan bunyi dapat bersifat

nonfonologis yang dapat menghasilkan defonologisasi, fonologisasi, dan

refonologisasi. Sumbangan pemikirannya yang lain bagi afasia (penyakit kehilangan

kemampuan memakai atau memahami kata-kata karena suatu penyakit otak) yang

Roman Jakobson kelompokkan menjadi dua yakni similarity disorders dan


continguity disoeders. yang terakhir Roman Jakobson mengupas 12 ciri oposisi

dwimatra yang Roman Jakobson anut yaitu:

1. vokalik lawan non-vokalik 7. diskontinuos lawan continuant

2. konsonantal lawan non-konsonantal 8. nyaring lawan merdu

3. kompak lawan tersebar 9. yang dicek lawan tak dicek

4. tenseness lawan laxness 10. grave lawan akut

5. bersuara lawan tak bersuara 11. flat lawan plain

6. nasal lawan oral 12. sharp lawan plain.

b. Andre Martinet

Andre Martinet menemukan tiga penemuan yang paling penting ialah pada

bidang fonologi, paradigmatik, dan sintaksis. dalam fonologi Martinet memusatkan

perhatiannya pada aspek khusus fakta fonetik. untuk menguatkan ciri khas konsepnya

Martinet menyelami fase dekripsif secara murni di mana fonologisasi dan

defonologisasi direkam dan mencoba menjelaskan perubahan menurut prinsip umum.

dalam hal tersbut terdapat dua kriteria yang harus diperhatikan yakni efisiensi dalam

komunikasi dan kecendrungan dalam upaya minimum.

Tokoh-tokoh sebelumnya sering memperhatikan sintagmatik tapi lain halnya

dengan Martinet yang lebih memfokuskan masalah paradigmatik karena ada

kecendrungan untuk mempertahankan oposisi tertentu. Dan dalam bidang sintaksis

Martinet memperjelas mengenai perbedaan fonem fungsional dengan mengubah serta

pandangannya tentang sintaksis dan juga fungsi merupakan makna sentral. Dapat kita

tarik simpulan bahwa Martinet mempunyai prinsip linguistik terutama berkenaan

dengan fungsi bahasa dan dengan fungsi unsur bahasa daripada berurusan dengan

bahasa sebagai sistem unsur atau sebagai struktur unsur.


DAFTAR PUSTAKA

Adiel. Ilmu Bahasa Fungsional. http://adiel87.blogspot.com/2009/06/ilmu-bahasa-


fungsional.html?m=1 (diakses tanggal 19 oktober 2012)

Akhwan, Eki Qushay. Apa Itu Tata Bahasa Fungsional (Fungsional Grammar)?.
http://equshay,Wordpress.com/2011/01/29/apa-itu-tata-bahasa-fungsional-
functional-grammar/ (diakses tanggal 19 Oktober 2012).

Alwasilah, Chaedar. 1985. Beberapa Madhab dan Dikotomi Teori Linguistik. Bandung: PT
Angkasa.

Samsuri, 1988. Berbagai Aliran Linguistik Abad XX. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

Anda mungkin juga menyukai