Anda di halaman 1dari 52

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Kurikulum

1. Makna & Dimensi Kurikulum

Secara etimologis, istilah kurikulum (curriculum) berasal dari bahasa

Yunani, yaitu curir yang artinya “pelari” dan curere yang berarti “tempat

berpacu”. Istilah kurikulum berasal dari dunia olahraga, terutama pada

bidang atletik pada zaman Romawi Kuno di Yunani. Dalam bahasa

Prancis, istilah kurikulum berasal dari kata courier yang berarti berlari (to

run) (Arifin, 2011 : 1). Dalam bahasa Arab, kurikulum dikenal dengan

istilah al-manhaj yang berarti jalan terang yang dilalui manusia dalam

bidang kehidupannya (Gunawan, 2013 : 1). Kurikulum diartikan sebagai

suatu jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari dari garis start sampai

dengan garis finish untuk memperoleh medali atau penghargaan (Arifin,

2011 : 1). Dalam dunia pendidikan, jarak tersebut diubah menjadi program

pelajaran yang harus ditempuh peserta didik selama kurun waktu tertentu,

seperti SD/MI (enam tahun), SMP/MTs (tiga tahun), SMA/SMK/MA (tiga

tahun) dan seterusnya (Arifin, 2011 : 3).

Kurikulum dalam pandangan tradisional dimaknai sebagai sejumlah

pelajaran yang harus ditempuh untuk memperoleh ijazah (Hamalik, 2013 :

3). Kurikulum dalam UU No 20 tahun 2003 pasal 1 ayat (9) didefinisikan

sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan

14
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman

penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan

15
16

tertentu. Menurut Wiles & Bondi (Ansyar, 2015 : 24), istilah kurikulum

muncul pertama kali di Skotlandia sekitar tahun 1829. Namun secara resmi

istilah kurikulum ini baru dipakai hampir satu abad kemudian di Amerika

Serikat. Sedangkan menurut Ali (1992 : 2), berkembangnya definisi

kurikulum sekarang ini dimulai semenjak dipublikasikannya buku The

Curriculum yang ditulis oleh Franklin Bobbit pada tahun 1918.

Adapun definisi kurikulum menurut para ahli kurikulum dapat

dilihat penjelasannya berikut ini (Nasution, 1995 : 4-7) :

a. Menurut J. Galen Saylor dan William M. Alexander dalam buku

Curriculum Planning for Better Teaching & Learning (1956),

kurikulum merupakan segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak

belajar, baik yang terjadi didalam maupun diluar sekolah. Kegiatan

ekstrakulikuler juga termasuk kedalam kurikulum

b. Harold B. Albertycs dalam bukunya Reorganizing the High-School

Curriculum (1965), memandang kurikulum sebagai segala aktivitas

yang disajikan bagi para siswa oleh sekolah. Kurikulum tidak terbatas

pada mata pelajaran, akan tetapi meliputi kegiatan-kegiatan lain

didalam dan diluar kelas yang berada dibawah tanggung jawab sekolah

c. B. Othanel Smith W.O. Stanley dan J. Harlan Shores memandang

kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang potensial yang dapat

diberikan kepada anak dan pemuda agar mereka dapat berpikir dan

berbuat sesuai dengan masyarakatnya


17

d. William B. Ragan dalam buku Modern Elementary Curriculum (1966)

menjelaskan arti kurikulum secara luas, meliputi seluruh program dan

kehidupan didalam sekolah, yakni segala pengalaman anak dibawah

tanggung jawab sekolah. Kurikulum menurutnya tidak hanya meliputi

bahan pelajaran, tetapi meliputi seluruh kehidupan dalam kelas.

Sehingga hubungan sosial antara guru dan murid, metode mengajar,

cara mengevaluasi termasuk kedalam kurikulum

e. J. Loyld Trump dan Delmas F. Miller dalam buku Secondary School

Improvemant (1973) menjelaskan bahwa kurikulum juga meliputi

metode mengajar dan belajar, cara mengevaluasi murid dan seluruh

program, perubahan tenaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan,

supervisi dan administrasi dan hal-hal struktural mengenai waktu,

jumlah ruangan serta kemungkinan memilih mata pelajaran

f. Hilda Taba mengemukakan bahwa pada hakikatnya kurikulum

merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak agar berpartisipasi

sebagai anggota yang produktif dalam masyarakatnya.

Sedangkan beberapa pakar pendidikan mendefinisikan kurikulum

sebagai berikut (Hamdani, 2011 : 98-100) :

a. Saylor & Alexander merumuskan kurikulum sebagai keseluruhan usaha

yang dilakukan lembaga pendidikan atau sekolah untuk mencapai

tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.


18

b. Smith mengartikan kurikulum sebagai seperangkat usaha dan upaya

pendidikan yang bertujuan agar anak didik memiliki kemampuan hidup

bermasyarakat

c. Harold Rugg mengartikan kurikulum sebagai program sekolah yang

didalamnya mencakup semua anak didik atau siswa-siswi dan pekerjaan

guru-guru mereka

d. Menurut Asy-Syaibani kurikulum adalah sejumlah pengalaman

pendidikan, kebudayaan, sosial, olahraga dan kesenian yang disediakan

oleh sekolah bagi murid-murid didalam dan diluar sekolah untuk

mengembangkan potensi yang dimilikinya sesuai dengan tujuan

pendidikan

e. Ahmad Tafsir menyatakan bahwa suatu kurikulum harus mengandung

berbagai komponen, seperti isi, metode, proses belajar mengajar dan

evaluasi. Komponen-komponen tersebut saling berkaitan dan

merupakan bagian yang integral

Selain dari definisi-definisi mengenai kurikulum yang telah

dijelaskan diatas, Arifin (2011 : 5) memberikan sebuah alternatif agar

lebih mudah mengingat dan memahami mengenai definisi kurikulum,

yakni dengan menggambarkannya kedalam bentuk rumus dan simbol

berikut ini :

a. = jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis


start sampai finish
b. ∑ MP + PD + I = sejumlah mata pelajaran (MP) yang harus
ditempuh oleh peserta didik (PD) untuk memperoleh ijazah
(I)
19

c. ∑ K + P + S/LS/TJS + TP = sejumlah kegiatan (K) dan


pengalaman (P), baik yang terjadi di sekolah (S) maupun luar
sekolah (LS) atas tanggung jawab sekolah untuk mencapai
tujuan pendidikan (TP)
d. ∑ K + P + SS + PD + S/LS/TJS + TP = sejumlah kegiatan
(K), pengalaman (P) dan segala sesuatu (SS) yang
berpengaruh terhadap pembentukan pribadi peserta didik
(PD), baik di sekolah maupun diluar sekolah atas tanggung
jawab sekolah (S/LS/TJS) untuk mencapai tujuan pendidikan
(TP)

Dari sekian banyak penjelasan mengenai definisi kurikulum,

berimplikasi terhadap dimensi kurikulum yang dapat ditinjau dari berbagai

sudut pandang sehingga dapat dibuat kategorisasi sebagai berikut (Ansyar,

2015 : 26-40) :

a. Kurikulum sebagai rencana pembelajaran

Hilda Taba menyatakan bahwa kurikulum merupakan rencana

pembelajaran (Ansyar, 2015 : 26). Sebagai rencana pembelajaran,

kurikulum tidak hanya memuat rancangan tertulis saja, melainkan

juga harus membuahkan pengalaman belajar setelah rencana tersebut

diimplementasikan dalam proses pembelajaran. Kurikulum sebagai

rencana pembelajaran meliputi berbagai aspek, mulai dari ruang

lingkup (scope), pelajaran, urutan (sequence) materi dan kegiatan

belajar, strategi, metode serta hal-hal lain yang diperlu direncanakan

agar pembelajaran berjalan baik.

b. Kurikulum sebagai mata pelajaran

Kurikulum berarti mata pelajaran atau konten (materi) mata pelajaran

yang akan diajarkan sekolah, termasuk metode penyusunan dan materi

ajar. Pandangan ini merujuk kepada definisi kurikulum secara


20

tradisional sebagaimana yang tercantum dalam kamus Webster

(Hidayat, 2015 : 20) yang menjelaskan bahwa kurikulum merupakan

sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh

siswa di sekolah atau perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah.

Pengertian ini cenderung menganggap mata pelajaran sebagai

program belajar daripada kurikulum. Mengingat seperangkat mata

pelajaran tersebut tidak menggambarkan pengetahuan dan kompetensi

yang akan dimiliki siswa setelah mempelajari mata pelajaran tersebut.

c. Kurikulum sebagai konten

Kurikulum sebagai konten hampir sama dengan pandangan kurikulum

sebagai mata pelajaran. Beauchamp (1972 : 83-86) mengaitkan

kurikulum dengan dokumen tertulis yang memuat garis besar mata

pelajaran yang akan diajarkan. Konten dianggap sebagai suatu sumber

bagi siswa untuk memperoleh pengetahuan, nilai, keterampilan dan

sebagainya. Untuk memperoleh konten tersebut maka diperlukan

proses transfer oleh guru kepada siswa. Pengetahuan dalam

pandangan ini dianggap sebagai kumpulan ilmu yang bersifat statis.

Hal ini disebabkan karena konten (kurikulum) hanya sebatas data,

informasi dan sebagainya tanpa dilengkapi kompetensi yang nantinya

akan dikuasai. Selain itu, kurikulum sebagai konten lebih berfokus

pada transfer materi pelajaran tanpa keterlibatan siswa mempelajari

itu.
21

d. Kurikulum sebagai hasil belajar

Kurikulum sebagai hasil belajar memandang hasil belajar sebagai

kurikulum. Asumsinya adalah cara untuk mengetahui tingkat

keberhasilan pencapaian tujuan belajar bisa dilihat dari perolehan

hasilnya. Pandangan ini menganggap kurikulum bukan sebagai alat,

melainkan sebagai target atau tujuan. Berbeda dengan pandangan

sebelumnya yang menganggap kurikulum hanya sebatas alat.

Karenanya, kurikulum dalam pandangan ini berfokus pada pencapaian

perubahan, bukan pada mata pelajaran atau materi ajar. Menurut

Johnson & Posner (Hamalik, 2013 : 6), kurikulum seharusnya tidak

lagi dipandang sebagai aktivitas, akan tetapi difokuskan langsung

pada berbagai hasil belajar yang diharapkan. Dan untuk mencapai

perubahan tersebut diperlukan beberapa hal seperti kegiatan belajar,

metode, susunan materi ajar dan sistem evaluasi

e. Kurikulum sebagai reproduksi kultural

Sebagian ahli pendidikan berpendapat bahwa kurikulum dalam tiap

masyarakat atau budaya seharusnya menjadi refleksi dari budaya itu

sendiri (Hamalik, 2013 : 6). Tugas dan tanggung jawab sekolah

sebagai suatu lembaga pendidikan diantaranya adalah mewariskan

nilai-nilai dan budaya masyarakat kepada generasi muda yakni siswa

(Sanjaya, 2008 : 10). Salah satu elemen dalam kultur atau budaya

adalah keterampilan hidup. Hal ini menjadikan sekolah sebagai salah

satu lembaga pendidikan menjadi bagian dari kebudayaan. Sehingga


22

segala aktivitas yang terjadi di sekolah haruslah merefleksikan nilai-

nilai dan kebudayaan yang berkembang di masyarakat

f. Kurikulum sebagai pengalaman belajar

Orientasi pengalaman dalam definisi ini menunjukkan dinamika

pengertian kurikulum, dari sebagai rancangan tertulis berkembang

menjadi hasil implementasi rancangan kurikulum, yakni berupa

pengalaman belajar atau pengalaman pendidikan. Pengalaman akan

berkembang menjadi suatu keterampilan atau kompetensi. Hal ini

sejalan dengan pendapat Harris (Ansyar, 2015 : 38) yang menyatakan

bahwa experience as an essential element of competence. Pengalaman

berimplikasi perlunya implementasi kurikulum yang bisa

menghasilkan pengalaman

g. Kurikulum sebagai sistem produksi

Hasil akhir dari suatu pendidikan diantaranya menghasilkan siswa

yang mempunyai kompetensi. Pembelajaran yang dilakukan

diprogram sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai. Konsep dari

kurikulum ini merupakan aplikasi dari manajemen dan industri atau

lebih dikenal dengan pendekatan sistem produksi. Implikasi dari

pandangan ini adalah bahwa guru bertindak sebagai seorang mekanik

yang bertugas menjalankan dan menjaga kurikulum agar

mengahsilkan kualitas produk yang memadai melalui kontrol kualitas

yang baik. Pandangan ini bertumpu pada teori Skinner (1968) tentang

“operant conditioning” yang menyatakan bahwa tugas guru bersifat


23

mekanik, yakni mengusahakan adanya penguatan berupa rangsangan

agar siswa secara otomatis bertingkah laku akhir seperti yang

diinginkan kurikulum

h. Kurikulum sebagai bidang studi

Kurikulum sebagai bidang studi muncul dalam buku The Curriculum

oleh Bobbit dan Charters (1918) yang memuat prinsip perencanaan

kurikulum berintikan mata pelajaran yang harus diajarkan siswa.

Bobbit menggariskan pengembangan kurikulum agar kurikulum

menetapkan pengetahuan penting dalam tiap mata pelajaran dan

mengembangkan kegiatan yang tepat untuk mencapai tujuan

kurikulum terutama di sekolah dasar.

2. Landasan Kurikulum

Dalam menyusun maupun mengembangkan kurikulum, harus

memperhatikan dan mempertimbangkan beberapa hal. Nasution

mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan penyusunan kurikulum

sebagaimana berikut ini (1995 : 10-11) :

Apakah yang ingin dicapai, manusia yang bagaimana yang akan


dibentuk? Apakah akan diutamakan kebutuhan anak pada saat
sekarang atau masa mendatang? Apakah hakikat anak harus
dipertimbangkan, ataukah ia diperlakukan sebagai orang
dewasa? Apakah kebutuhan anak itu? Apakah harus
dipentingkan anak sebagai individu atau sebagai anggota
kelompok? Apakah yang harus dipentingkan, mengajarkan
kejujuran atau memberi pendidikan umum? Apakah pelajaran
akan didasarkan atas disiplin ilmu ataukah dipusatkan pada
masalah sosial dan pribadi? Apakah semua anak harus
mengikuti pelajaran yang sama ataukah ia diizinkan memilih
pelajaran sesuai dengan minatnya? Apakah seluruh kurikulum
sama bagi semua sekolah secara uniform, atau diberi
kelonggaran untuk menyesuaikannya dengan keadaan daerah?
24

Apakah hasil belajar anak akan diuji secara uniform ataukah


diserahkan pada penilaian guru yang dapat mempelajari anak itu
dalam segala aspek dalam waktu yang panjang?

Pertanyaan-pertanyaan dari Nasution tersebut dapat dijadikan

pertimbangan dan acuan untuk menyusun suatu kurikulum sesuai dengan

tujuan yang ingin dicapai. Atas dasar itu maka dalam menyusun kurikulum

harus memiliki asas atau landasan-landasan sebagai berikut :

a. Landasan Filosofis

Filsafat membantu pengembang kurikulum menetapkan kriteria

tujuan, proses dan sasaran kurikulum pendidikan (Ansyar, 2015 : 62).

Kurikulum berkaitan erat dengan filsafat pendidikan. Filsafat

pendidikan adalah pengetahuan yang memikirkan hakikat pendidikan

secara komprehensif dan kontemplatif tentang sumber, fungsi dan

tujuan pendidikan (Salahudin, 2011 : 22). Filsafat yang dianut oleh

suatu pendidikan akan mempengaruhi orientasi, tujuan, konten, materi

ajar, metode dan kegiatan pembelajaran (Ansyar, 2015 : 62)

Kajian yang digunakan oleh filsafat pendidikan diantaranya

adalah sebagai berikut (Salahudin, 2011 : 23) :

1) Ontologi pendidikan, yakni substansi pendidikan dalam semua

perspektifnya, sebagaimana melihat pendidikan dan tujuan

esensialnya sebagai pencapaian maksimal dari pendidikan

2) Epistemologi pendidikan, yakni menyelidiki sumber ajaran atau

prinsip yang terdapat dalam pendidikan serta dasar yang

digunakan untuk pendidikan yang dimaksudkan


25

3) Aksiologi pendidikan, yakni penyelidikan mengenai aspek-aspek

yang menyangkut fungsi nilai, estetika dan tujuan pragmatis

pendidikan

Beberapa aliran dalam filsafat pendidikan yang biasa dijadikan

landasan dalam menyusun kurikulum diantaranya perenialisme,

essensialisme, eksistensialisme, progresivisme dan rekonstruktivisme

(Suteja, 2011 : 42). Adapun uraiannya singkatnya bisa dijelaskan

sebagai berikut:

1) Perenialisme

Perenialisme sebagai salah satu aliran filsafat klasik berakar dari

aliran filsafat realisme yang memandang bahwa manusia adalah

makhluk rasional (Ansyar, 2015 : 86). Menurut aliran ini, sebagai

makhluk rasional maka pendidikan harus berfokus pada

pengembangan kemampuan berpikir siswa, sehingga hanya pelajaran

yang dianggap dapat mengembangkan kemampuan intelektual saja

seperti matematika, fisika, kimia, biologi yang diajarkan kepada siswa

dan menjadikan kurikulumnya berpusat pada mata pelajaran. Pelajaran

yang berkenaan dengan emosi, jasmani dan kewarganegaraan

misalnya, dianggap tidak perlu dimasukkan kedalam kurikulum

karena tidak mengembangkan kemampuan intelektual (Nasution, 1995

: 23).

Potensi, bakat, minat dan aspirasi yang dimiliki siswa dianggap

tidak relevan bagi pengembangan intelektualitas siswa. Aliran ini


26

memandang hanya ada satu kurikulum homogen bagi semua siswa

dimanapun berada, tanpa memperhatikan perbedaan individual,

lingkungan dan psikologis siswa. Kurikulum yang digunakan

cenderung berpusat pada mata pelajaran (subject centered) dan

pembelajarannya bernuansa teacher dominated (Ansyar, 2015 : 88)

2) Essensialisme

Kaum essensialis menekankan pentingnya pewarisan budaya

dan pemberian pengetahuan serta keterampilan peserta didik agar

dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna (Suteja, 2011 : 42).

Aliran ini hampir sama dengan perenialisme, walaupun memiliki juga

beberapa perbedaan. Persamaan diantara kedua aliran ini ialah

menganggap bahwa mata pelajaran yang harus masuk kurikulum

adalah mata pelajaran yang bisa mengembangkan kemampuan

intelektual anak. Pendidikan menurut essensialisme harus berpusat

pada mata pelajaran essential skill seperti membaca, menulis dan

berhitung (Ansyar, 2015 : 90).

Perbedaan antara perenialisme dengan essensialisme menurut

Lapp dalam Ansyar (2015 : 95), perenialisme berakar pada

masyarakat agraris, sehingga paham ini lebih bernuansa humanisme.

Sebaliknya essensialisme yang tumbuh pada masyarakat industri lebih

berorientasi pada sains. Implikasinya, kurikulum parenialis lebih

berfokus pada pengembangan kemampuan akademik siswa,


27

sedangkan kurikulum essensialis mengutamakan pengembangan

kemampuan untuk suatu vokasi atau pekerjaan.

3) Eksistensialisme

Aliran ini mengutamakan individu sebagai faktor dalam

menentukan apa yang baik dan benar. Tujuan hidup adalah

menyempurnakan dan merealisasikan diri (Nasution, 1995 : 25).

Eksistensialisme menekankan individu sebagai sumber pengetahuan

tentang hidup dan makna (Suteja, 2011 : 42). Kaum eksistensialis

memandang pengetahuan sebagai sesuatu yang personal, karenanya

pendidikan harus membantu individu menemukan arti keberadaannya

(Ansyar, 2015 : 85)

Sebagai salah satu lembaga pendidikan, sekolah menurut filsafat

ini berperan memberikan kesempatan luas kepada tiap individu

mengembangkan kemampuan diri untuk membuat keputusan moral

yang berarti. Dari segi pelajaran, eksistensialis cenderung

mengutamakan mata pelajaran humaniora. Mata pelajaran tersebut

menimbulkan pengenalan atas diri dan ekpresi individual, serta

menumbuhkan pikiran individu berdasarkan pikiran diri tentang nilai

dan makna eksistensi dalam hidup (Ansyar, 2015 : 85)

4) Progresivisme

Progresivisme dikembangkan berdasarkan filsafat pragmatisme

sebagai proses terhadap pendidikan tradisional perenialisme dan


28

essensialisme (Ansyar, 2015 : 95). Progresivisme menekankan pada

pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta

didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Aliran ini merupakan

landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif (Suteja, 2011 :

42).

Kaum progresif memandang kurikulum tidak hanya berfokus

pada pengajaran pelajaran, tetapi pada pemberian kegiatan dan

kesempatan belajar pada siswa untuk memperoleh pengalaman.

Dengan demikian siswa harus difasilitasi dan dimotivasi agar dapat

mengkonstruksi sendiri realita yang ada. Kurikulum progresif lebih

mengutamakan proses daripada produk, menjadikan mata pelajaran

sebagai alat daripada sebagai target kurikulum dan siswa

diberdayakan sebagai subjek pendidikan bagi dirinya. Singkatnya,

kurikulum progresif berpusat pada siswa, berorientasi proses dan

mengutamakan pengalaman melalui kesempatan belajar yang relevan

dengan tujuan (Ansyar, 2015 : 97)

5) Rekonstruktivisme

Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran

progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa

depan sangat ditekankan (Suteja, 2011 : 42). Aliran ini menginginkan

agar sekolah lebih terarah pada pendidikan berbasis masyarakat yang

peduli pada semua kelas sosial, bukan hanya pada pengembangan


29

individu anak bagi kepentingan dirinya sendiri yang bisa menjadikan

anak kurang peduli pada kemaslahatan bersama (Ansyar, 2015 : 104)

Menurut Ansyar, aliran ini menghendaki kurikulum sebagai

instrumen untuk membekali siswa dengan pengetahuan dan

keterampilan agar bisa melakukan rekonstruksi sosial melalui mata

pelajaran relevan seperti sosiologi, antropologi, ekonomi, ilmu politik

dan psikologi.

b. Landasan Psikologis

Aspek yang perlu diperhatikan dalam penyusunan kurikulum

yang lainnya adalah aspek psikologis. Sebagaimana yang telah

diketahui, karakteristik dari tiap individu berbeda satu sama lain. Agar

proses pendidikan bisa berjalan dengan efektif, maka keberagaman

individu ini perlu diperhatikan. Ilmu yang mempelajari tentang

keberagaman individu dari sekian banyak aspeknya adalah Psikologi.

Peranan psikologi menurut Ansyar (2015 : 173) ialah memfasilitasi

pendidik dan pengembang kurikulum untuk mendesain kurikulum

yang sesuai hakikat kebutuhan pembelajaran bagi pendidikan

individual siswa.

Cabang psikologi yang dijadikan dasar dalam pengembangan

kurikulum menurut Nana Syaodih Sukmadinata (Suteja, 2011 : 43)

yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi

perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari perilaku individu


30

berkenaan dengan perkembangannya. Sedangkan psikologi belajar

merupakan ilmu yang mempelajari individu dalam konteks belajar.

1) Psikologi perkembangan

Kajian yang digunakan sebagai bahan pertimbangan yang

mendasari penyusunan kurikulum dalam psikologi perkembangan

diantaranya meliputi hakikat perkembangan, penahapan

perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas

perkembangan individu serta hal-hal lainnya yang berhubungan

dengan perkembangan individu, yang dalam hal ini adalah perserta

didik

2) Psikologi belajar

Psikologi belajar mengkaji tentang hakikat belajar dan teori-teori

belajar serta berbagai perilaku individu lainnya dalam belajar (Suteja,

2011 : 42). Belajar adalah perubahan dalam kelakuan seseorang sebagi

akibat pengaruh usaha pendidikan (Nasution, 1995 : 91). Dari

pengertian belajar ini melahirkan bermacam-macam teori belajar yang

nantinya bisa dijadikan untuk pertimbangan dalam mendesain

pembelajaran.

Beberapa teori belajar yang sering dijadikan acuan dan

berimplikasi dalam penyusunan kurikulum diantaranya sebagai

berikut (Hamalik, 2013 : 107-108) :

a) Psikologi daya
31

Pandangan ini berpendapat bahwa dalam diri manusia

terdapat berbagai daya seperti daya ingat, daya pikir, daya rasa

dan sebagainya. Daya tersebut harus dilatih agar dapat berfungsi

dengan baik. Implikasi dari pandangan ini adalah kurikulum harus

menyediakan berbagai mata pelajaran yang bisa mengembangkan

daya-daya tersebut. Penekanan bukan terletak pada materinya,

melainkan terletak pada peran mata pelajaran untuk membentuk

daya-daya tersebut. Kurikulum disusun untuk semua siswa tanpa

memperhatikan isi, minat dan kebutuhan siswa

b) Teori mental state

Menurut J Herbart, jiwa manusia terdiri dari berbagai kesan

dan tanggapan yang masuk melalui alat indra, berasosiasi satu

sama lain untuk kemudian membentuk mental atau kesadaran

manusia. Belajar menurut teori ini berarti menanamkan bahan

pelajaran sebanyak-banyaknya yang memiliki etika dan nilai-nilai

yang baik. Sebagai implikasinya, kurikulum disusun dari

sejumlah mata pelajaran yang mengandung pengetahuan yang

luas

c) Psikologi behaviorisme

Psikologi behaviorisme berpendapat bahwa manusia tidak

bisa diamati, hanya kelakuan jasmaniahnya saja yang bisa

diamati. Kelakuan itulah yang menjelaskan segala sesuatu tentang

jiwa manusia. Belajar diartikan sebagai pembentukan hubungan


32

antara stimulus dan respon (S-R). Implikasi dalam penyusunan

kurikulum ialah dengan mempelajari kelakuan manusia bisa

disusun suatu program yang serasi dan memuaskan

d) Teori koneksionisme

Teori ini dikembangkan oleh Thorndike dan memiliki

doktrin pokok yakni hubungan antara stimulus dan respon (S-R

bond theory). Pada umumnya teori ini berpandangan bahwa

lingkungan mempengaruhi kelakuan belajar individu, sedangkan

kelakuan motivasi bersifat mekanis. Implikasi dalam penyusunan

kurikulum ialah kurikulum disusun berdasarkan lingkungan yang

dapat menimbulkan respon atau tingkah laku yang diharapkan,

baik itu yang bersifat mekanis atau otomatis

e) Psikologi gestalt

Aliran ini bertolak dari suatu keseluruhan. Keseluruhan

bukanlah penjumlahan bagan-bagian, melainkan prinsip yang

bermakna. Prinsip-prinsip belajarnya diantaranya : (1) belajar

dimulai dari suatu keseluruhan menuju bagian-bagian, (2)

keseluruhan memberikan makna kepada bagian-bagian tersebut,

(3) bagian-bagian dilihat dalam hubungan keseluruhan berkat

individuasi, (4) belajar memerlukan pemahaman atau insight dan

(5) belajar memberikan reorganisasi pengalaman yang kontinu.

Sebagai implikasinya, kurikulum disusun atas dasar keseluruhan


33

yang memungkinkan siswa berinteraksi dengan lingkungan dan

menimbulkan pemahaman kepada mereka

c. Landasan Sosial-Budaya

Landasan ini berkenaan dengan penyampaian kebudayaan,

proses sosialisasi individu dan rekonstruksi masyarakat (Hidayat,

2015 : 40). Faktor sosiologis menjadi pertimbangan dalam

penyusunan kurikulum mengingat sebagai bagian dari masyarakat,

peserta didik perlu memahami tentang bagaimana cara hidup dalam

masyarakat. Hal ini berarti bahwa suatu program pendidikan harus

melibatkan masyarakat, baik itu dari konten pelajarannya maupun

peran langsung masyarakat itu sendiri.

Masyarakat sebagai suatu sistem, didalamnya terdapat berbagai

sub sistem yang berjenjang secara struktural, mulai dari sub sistem

kepercayaan, sub sistem nilai, sub sistem kebutuhan dan sub sistem

permintaan (Hamalik, 2013 : 74). Tiap masyarakat tentunya

mempunyai sub sitem yang berbeda satu sama lain. Masyarakat

lingkungan pesisir misalnya, akan berbeda dalam hal nilai, kebutuhan

dan permintaan, bahkan pandangan hidupnya dengan masyarakat

lingkungan pegunungan.

Setiap lingkungan masyarakat memiliki sistem sosial budaya

yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggotanya.

Salah satu aspek terpenting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan

nilai-nilai yang mengatur cara hidup dan berperilaku di lingkungan


34

masyarakat. Nilai-nilai tersebut bisa bersumber dari agama, budaya,

politik dan sebagainya (Suteja, 2011 : 45).

Peserta didik berasal dari masyarakat, medapatkan pendidikan

formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan

bagi kehidupan dalam masyarakat pula (Gunawan, 2013 : 38). Atas dasar

itu maka dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan sudah

sewajarnya mempertimbangkan aspek sosial-budaya.

d. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan dari produk

kebudayaan (Ali, 1992 : 35). Sebagaimana yang telah diketahui bahwa

kebudayaan bersifat dinamis. Hal ini juga berlaku pada perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Perkembangan IPTEK telah

membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat seperti perubahan

dalam nilai-nilai, baik nilai sosial, budaya, spiritual, intelektual

maupun material (Gunawan, 2013 : 39). Dampak dari perubahan-

perubahan tersebut menimbulkan kebutuhan baru, aspirasi baru dan

sikap hidup baru. Hal-hal tersebut menuntut perubahan pada sistem

dan isi pendidikan.

Perkembangan dalam bidang IPTEK, mampu merubah tatanan

kehidupan manusia. Oleh karena itu menurut Suteja (2011 : 46), sudah

sepatutnya kurikulum dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju

perkembangan IPTEK, sehingga peserta didik dapat mengimbangi


35

sekaligus mengembangkan IPTEK untuk kemaslahatan dan

kelangsungan hidup manusia.

3. Komponen Kurikulum

Kurikulum sebagai suatu sistem, memiliki komponen-komponen

yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya (Hidayat, 2015 :

51). Komponen-komponen tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun

bersama-sama menjadi dasar utama dalam upaya mengembangkan sistem

pembelajaran. Adapun komponen-komponen kurikulum yang dimaksud,

penjelasannya dapat dilihat sebagai berikut :

a. Tujuan Kurikulum

Tujuan kurikulum merupakan arah atau sasaran yang hendak

dituju oleh proses penyelenggara pendidikan (Ali, 1992 : 52). Hasil

dari suatu proses pendidikan ditentukan berdasarkan tujuan yang telah

ditetapkan. Tujuan berperan sebagai pijakan dasar yang mengarahkan

komponen-komponen lainnya agar bisa berjalan sesuai dengan yang

diharapkan. Taba lebih rinci menjelaskan bahwa tujuan dalam

pendidikan menunjukkan suatu harapan yang harus dicapai siswa,

seperti dalam peningkatan pengetahuan, pendalaman pemahaman dan

pengembangan kompetensi fungsional, keterampilan pemecahan

masalah kehidupan serta pengembangan sikap dan apresiasi (Ansyar,

2015 : 300)
36

Dalam menentukan suatu tujuan kurikulum, ada beberapa

kriteria yang dijadikan sebagai sumber yang harus dipenuhi. Kriteria

yang dimaksud dibagi menjadi dua, yakni kriteria substansif dan

kriteria prosedural (Ansyar, 2015 : 302). Kriteria substansif

merupakan dasar penetapan atau sumber dari substansi tujuan

pendidikan. Sumber yang dijadikan kriteria substansif berasal dari tiga

sumber utama yakni sumber empiris (studi tentang masyarakat dan

siswa), sumber filosofis dan sumber ahli mata pelajaran. Kriteria

prosedural terkait dengan proses bagaimana substansi tujuan itu

ditetapkan. Kriteria prosedural meliputi kriteria keterwakilan,

kejelasan, terpertahankan, konsistensi dan kelayakan.

Tujuan dalam pendidikan secara umum dan juga berkembang di

Indonesia diklasifikasikan menjadi empat tujuan sebagai berikut

(Hidayat, 2015 : 52-53) :

1) Tujuan pendidikan nasional

Merupakan tujuan yang bersifat paling umum dan merupakan

sasaran yang harus dijadikan pedoman oleh setiap usaha pendidikan.

Tujuan pendidikan umum dirumuskan dalam bentuk perilaku idela

yang sesuai dengan pandangan hidup dan filsafat suatu bangsa yang

dirumuskan oleh pemerintah dalam bentuk Undang-Undang. Tujuan

pendidikan nasional merupakan tujuan jangka panjang yang menjadi

dasar dari segala tujuan pendidikan, baik pendidikan yang bersifat

formal, informal maupun nonformal


37

2) Tujuan institusional

Tujuan yang harus dicapai oleh setiap lembaga pendidikan.

Tujuan institusional merupakan tujuan antara untuk mencapai tujuan

umum yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi lulusan setiap

jenjang pendidikan, misalnya standar kompetensi pendidikan dasar,

menengahm kejuruan dan pendidikan tinggi

3) Tujuan kurikuler

Tujuan yang harus dicapai oleh setiap bidang studi atau mata

pelajaran. Tujuan kurikuler juga pada dasarnya merupakan tujuan

antara untuk mencapai tujuan institusional. Setiap tujuan kurikuler

harus dapat mendukung dan diarahkan untuk mencapai tujuan

institusional

4) Tujuan pembelajaran

Merupakan penjabaran dari tujuan kurikuler. Tujuan

pembelajaran adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh peserta

didik setelah mempelajari materi pelajaran tertentu dalam mata

pelajaran tertentu

Jika diperhatikan maka sesungguhnya keempat tujuan tersebut

merupakan turunan atau penjabaran dari tujuan sebelumnya. Tujuan

pendidikan nasional dijabarkan menjadi tujuan institusional sampai

seterusnya. Sementara Menurut Bloom (Sanjaya, 2008 : 45), tujuan

pendidikan dapat digolongkan kedalam tiga klasifikasi atau tiga

domain (bidang), yaitu domain kognitif, afektif dan psikomotor.


38

Domain kognitif berhubungan dengan pengembangan intelektual atau

kecerdasan. Bidang afektif berhubungan dengan pengembangan sikap

dan bidang psikomotor berhubungan dengan keterampilan.

b. Isi Kurikulum

Isi kurikulum terdiri atas bahan-bahan pengajaran dan berbagai

pengalaman yang diperlukan dalam tercapainya tujuan pendidikan

(Hamalik, 2015 : 153). Istilah lain yang digunakan untuk menyebut isi

kurikulum adalah konten. Menurut Hyman (Ansyar, 2015 : 342),

konten kurikulum adalah :

subject matter [that] means knowledges (i.e. facts,


explanations, principles, definitions), skills and processes
(i.e. reading, writing, calculating, dancing, critical thinking,
decision making, communicating) and values (i.e. the
beliefs about matters occurred with good and bad, right and
wrong, beautiful and ugly). Every society creates and uses
its own unique subject matter. There are overlappings in
subject matter from one society to the next. It is from a
society’s subject matter that a theacher selects

Dari definisi mengenai konten kurikulum menurut Hyman,

dapat disimpulkan bahwa konten kurikulum mencakup tiga ranah

taksonomi pendidikan, yaitu pengetahuan (cognitive), proses

(psychomotor) dan nilai-nilai (affective). Untuk menyusun isi atau

konten kurikulum harus memenuhi kriteria-kriteria berikut ini

(Hamalik, 2015 : 178) :

1) Signifikansi, yaitu seberapa penting isi kurikulum pada suatu

disiplin atau tema studi


39

2) Validitas, yang berkaitan dengan keotentikan dan keakuratan isi

kurikulum tersebut

3) Relevansi sosial, yaitu keterkaitan isi kurikulum dengan nilai

moral, cita-cita, permasalahan sosial, isu kontroversial dan

sebagainya, untuk membantu siswa menjadi anggota efektif dalam

masyarakat

4) Utility atau kegunaan (daya guna), berkaitan dengan kegunaan isi

kurikulum dalam mempersiapkan siswa menuju kehidupan dewasa

5) Learnability atau kemampuan untuk dipelajari, yang berkaitan

dengan kemampuan siswa dalam memahami isi kurikulum

tersebut

6) Minat, yang berkaitan dengan minat siswa terhadap isi kurikulum

tersebut

Kriteria lain yang dapat membantu pada perancangan kurikulum

dalam menentukan isi materi ajar atau isi kurikulum antara lain

(Hidayat, 2015 : 62) :

1) Isi kurikulum harus sesuai, tepat dan bermakna bagi

perkembangan siswa

2) Isi kurikulum harus mencerminkan kenyataan sosial

3) Isi kurikulum harus mengandung pengetahuan ilmiah yang tahan

uji

4) Isi kurikulum dapat menunjang tercapainya tujuan pendidikan


40

c. Strategi dan Metode Kurikulum

Untuk menerapkan isi kurikulum dalam proses pembelajaran

diperlukan suatu strategi. Strategi dalam pembelajaran diartikan

sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang

didesain untuk mencapai tujuan pendidikan (Hidayat, 2015 : 64).

Rangkaian kegiatan pada strategi kurikulum berisi metode. Metode

dalam kurikulum dapat diartikan sebagai cara-cara untuk

menyampaikan materi atau isi pendidikan oleh pendidik kepada

peserta didik yang disampaikan dengan efektif dan efisien dalam

rangka mencapai tujuan pendidikan (Gunawan, 2013 : 15).

Singkatnya, strategi merupakan suatu rencana untuk mencapai

sesuatu, sedangkan metode merupakan jalan untuk mencapai sesuatu.

Strategi pembelajaran kurikulum berhubungan dengan

bagaimana kurikulum dilaksanakan. Kurikulum merupakan rencana,

ide dan harapan yang harus diwujudkan secara nyata sehingga mampu

menghantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan. Komponen

strategi pelaksanaan kurikulum meliputi pedoman pembelajaran,

penilaian, bimbingan dan konseling, serta pengaturan dan pengelolaan

kegiatan (Hidayat, 2015 : 67).

d. Evaluasi Kurikulum

Evaluasi kurikulum berfungsi untuk menilai segi efisiensi,

efektivitas, relevansi dan produktivitas suatu kurikulum dalam

mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan (Gunawan, 2013 :


41

17). Evaluasi ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana

keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum. Hasil evaluasi bisa

menentukan terhadap penggantian atau perbaikan maupun

peningkatan suatu kurikulum.

Hal-hal yang perlu dievaluasi dalam suatu kurikulum meliputi

hasil dan pelaksanaan pembelajaran (Hidayat, 2015 : 69).

1) Evaluasi hasil pembelajaran. Dalam evaluasi ini disusun butir-

butir soal untuk mengukur pencapaian setiap tujuan yang khusus

atau indikator yang telah ditentukan. Berdasarkan lingkup luas

bahan dan jarak waktu belajar, evaluasi hasil pembelajaran dibagi

menjadi dua, yakni evaluasi formatif dan evaluasi sumatif.

Evaluasi formatif ditujukan untuk menilai penguasaan siswa

terhadap tujuan-tujuan pembelajaran dalam jangka waktu yang

relatif pendek. Evaluasi sumatif ditujukan untk menilai

penguasaan siswa terhadap tujuan-yujuan atau kompetensi yang

lebih luas, sebagai hasil usaha belajar dalam jangka waktu yang

cukup lama, seperti satu semester, satu tahun atau selama jenjang

pendidikan

2) Evaluasi pelaksanaan pembelajaran. Selain hasil belajar, evaluasi

juga bisa dilakukan pada keseluruhan pelaksanaan pembelajaran

yang meliputi komponen tujuan pembelajaran, materi pelajaran,

strategi atau metode pembelajaran serta komponen evaluasi

pembelajaran itu sendiri. Dari sekian banyak model evaluasi,


42

model CIPP merupakan model evaluasi yang sering digunakan

evaluator, karena model evaluasi ini dianggap lebih

komprehensif. Model CIPP berorientasi pada suatu keputusan.

Tujuannya adalah untuk membantu administrator dalam membuat

keputusan. Komponen dalam model CIPP meliputi context, input,

process dan product

a) Evaluasi konteks (context evaluation)

Tujuan utama evaluasi konteks adalah untuk mengetahui

kekuatan dan kelemahan yang dimiliki evaluan. Dengan

mengetahui kekuatan dan kelemahan ini, evaluator dapat

memberikan arah perbaikan yang diperlukan. Evaluasi

konteks adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci

lingkungan kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan

sampel yang dilayani serta tujuan proyek

b) Evaluasi masukan (input evaluation)

Evaluasi masukan membantu mengatur keputusan,

menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif apa yang

diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan serta

bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya. Evaluasi

masukan meliputi sumber daya manusia, sarana dan perlatan

pendukung, dana atau anggaran serta berbagai prosedur dan

aturan yang diperlukan


43

c) Evaluasi proses (process evaluation)

Evaluasi proses meliputi koleksi data penilaian yang telah

ditentukan dan diterapkan dalam praktik pelaksanaan

program.. Dalam model CIPP, evaluasi proses diarahkan

pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan dalam

program sudah terlaksana sesuai dengan rencana

d) Evaluasi hasil (product evaluation)

Evaluasi hasil merupakan penulaian yang dilakukan untuk

melihat ketercapaian atau keberhasilan suatu program dalam

mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Pada

tahap ini evaluator dapat menentukan atau memberikan

rekomendasi kepada yang dievaluasi, apakah suatu program

dapat dilanjutkan, dikembangkan, modifikasi atau bahkan

dihentikan.

4. Model-Model Kurikulum

Kurikulum dapat dikategorikan kedalam beberapa kategori umum,

diantaranya kurikulum humanistik, rekonstruksi sosial, teknologi,

akademik dan kurikulum dinamik. Masing-masing kategori memiliki

perbedaan dalam hal apa yang harus diajarkan, oleh siapa diajarkan, kapan

dan bagaimana mengajarkannya (Hamalik, 2013 : 143). Penjelasan dari

tiap model kurikulum dapat diuraikan sebagai berikut.


44

a. Kurikulum Humanistik

Konsep kurikulum humanistik lebih mengarah pada kurikulum

yang dapat memuaskan setiap individu agar dapat mengaktualisasikan

dirinya dengan potensi dan keunikan masing-masing. Kurikulum

berfungsi menyiapkan peserta didik dengan berbagai pengalaman

naluriah yang sangat berperan dalam pengembangan individu.

Menurut kurikulum ini, tujuan pendidikan adalah suatu proses atas diri

individu yang dinamis, yang berkaitan dengan pemikiran, integritas

dan otonominya.

Dalam kurikulum humanistik, guru diharapkan dapat

membangun hubungan emosional yang baik dengan peserta didiknya.

Guru diharapkan bisa menyediakan kegiatan yang memberikan

alternatif pengalaman belajar bagi peserta didik. Terkait dalam hal

evaluasi, kurikulum humanistik lebih menekankan pada proses yang

dilakukan. Kurikulum ini melihat kegiatan sebagai sebuah manfaat

untuk peserta didik di masa depan. Kelas yang baik akan menyediakan

berbagai pengalaman untuk membantu peserta didik menyadari

potensi mereka dengan orang lain serta dapat mengembangkannya.

Ada beberapa acuan yang perlu diperhatikan dalam kurikulum

humanistik, diantaranya :

1) Integrasi semua domain afeksi peserta didik, yaitu emosi, sikap

dan nilai-nilai dengan domain kognisi, yaitu kemampuan dan

pengetahuan. Agar integrasi tersebut dapat terjadi, kurikulum


45

harus terdiri atas berbagai elemen berikut : a) Partisipasi ; b)

integrasi, interaksi, perasaan dan kegiatan ; c) relevan dengan

kebutuhan hidup ; d) pribadi ; e) tujuan sosial untuk membangun

keutuhan pribadi dan lingkungan masyarakat

2) Kesadaran dan kepentingan

3) Respon terhadap ukuran tertentu, seperti kedalaman suatu

keterampilan. Oleh karena itu, kurikulum humanistik perlu

mempertimbangkan motivasi untuk pencapaian hasil dan minat

peserta didik

b. Kurikulum Rekonstruksi Sosial

Kurikulum rekonstruksi sosial sangat memperhatikan hubungan

kurikulum dengan sosial masyarakat dan politik perkembangan

ekonomi. Pendukung kurikulum ini memberi komitmen yang tinggi

pada ide sosial yang dibatasi oleh konsensus sosial. Percepatan

kurikulum rekonstruksi sosial dapat terjadi ketika para orang tua dan

masyarakat terlibat dalam mengajar dan berperan dalam pelayanan

sosial.

Kurikulum rekonstruksi sosial bertujuan untuk menghadapkan

peserta didik pada berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan.

Para pendukung kurikulum ini yakin bahwa permasalahan yang

muncul tidak harus diperhatikan oleh “pengetahuan sosial” saja, tetapi

juga oleh setiap disiplin ilmu lainnya. Guru beperan menghubungkan

tujuan peserta didik dengan manfaat lokal, nasional dan internasional.


46

Peserta didik diharapkan dapat menggunakan minatnya dalam

menemukan jawaban atas permasalahan sosial yang dibahas.

Pembelajaran yang dilakukan dalam kurikulum rekonstruksi

sosial harus memenuhi tiga kriteria berikut, yakni nyata,

membutuhkan tindakan dan harus mengajarkan nilai. Evaluasi dalam

kurikulum ini mencakup spektrum yang luas, yaitu kemampuan

peserta didik dalam menyampaikan permasalahan, kemungkinan

pemecahan masalah, pendefinisian kembali pandangan mereka

tentang dunia dan kemauan mengambil tindakan atas suatu ide.

c. Kurikulum Teknologi

Perspektif teknologi sebagai kurikulum ditekankan pada

efektivitas program metode dan material untuk mencapai suatu

manfaat keberhasilan. Teknologi mempengaruhi kurikulum dalam dua

cara, yakni aplikasi dan teori. Aplikasi teknologi merupakan suatu

rencana penggunaan beragam alat dan media atau tahapan basis

instruksi. Sedangkan sebagai teori, teknologi digunakan dalam

pengembangan dan evaluasi material kurikulum dan instruksional.

Teknologi mengembangkan aturan-aturan untuk membangun

kurikulum dalam bentuk hal terprogram, antara lain :

1) Memberi perhatian kepada peserta didik

2) Menginformasikan kepada peserta didik tentang ekspektasi hasil

3) Mengaktifkan kemampuan yang relevan

4) Memberikan stimulus pada tugas


47

5) Memberi tanggapan koreksi saat terjadi kesalahan

6) Menyediakan umpan masukan

7) Mengukur kinerja dan meyakini ingatan

Inti dari kurikulum teknologi adalah keyakinan bahwa materi

kurikulum yang digunakan oleh peserta didik seharusnya dapat

menghasilkan kompetensi khusu bagi mereka. Teknologi berperan

dalam meningkatkan kualitas kurikulum dengan memberi kontribusi

mengenai keefektifan instruksional, tahapan instruksional dan

memantau perkembangan peserta didik.

Salah satu kelemahan kurikulum teknologi adalah kurangnya

perhatian pada penerapan dan dinamika inovasi. Model teknologi ini

hanya menekankan pengembangan efektivitas produk saja, sedangkan

perhatian untuk mengubah lingkungan yang lebih luas seperti

organisasi sekolah, sikap guru dan cara pandang masyarakat sangat

kurang

d. Kurikulum Akademik

Dari waktu ke waktu para ahli akademik terus mencoba

mengembangkan kurikulum yang akan melengkapi peserta didik

untuk masuk ke dunia pengetahuan, dengan konsep dasar dan metode

untuk mengamati, hubungan antar sesama, analisis data dan penarikan

kesimpulan. Mereka menginginkan peserta didik berlaku layaknya

seorang ahli fisika, biologi atau sejarawan. Karenanya, sebagai

anggota masyarakat mereka perlu mengikuti perkembangan disiplin


48

ilmu, dengan memahami dan mendukungnya dan jika perlu

melanjutkan studinya untuk menjadi seorang ahli dalam bidang

tertentu.

Satu kelemahan dalam pendekatan ini adalah kegagalan untuk

memberikan perhatian pada yang lainnya dan melihat bagaimana isi

dan disiplin dapat membawa mereka pada permasalahan kehidupan

modern yang kompleks yang tidak dapat dijawab oleh hanya satu ilmu

saja.

e. Kurikulum Dinamik

Dalam model dinamik yang dikembangkan oleh Walker dan

Skilbeck ini, proses kurikulum tidak mengikuti pola urutan (sequence)

tertentu. Pengembangan kurikulum dapat dimulai dengan unsur

kurikulum apa pun dan diproses dalam urutan atau susunan apa saja.

Walker berpendapat bahwa para pengembang kurikulum

berjalan melalui tiga fase dalam persiapan alamiah kurikulum sebagai

berikut :

1) Berbagai pernyataan platform, melalui gagasan, preferensi, sudut

pandang, keyakinan dan nilai

2) Deliberasi atau pertimbangan mendalam, yang merupakan

sekumpulan interaksi kompleks dan acak, yang pada akhirnya

mencapai suatu jumlah karya latar belakang sebelum kurikulum

didesain
49

3) Pengembang kurikulum mengambil keputusan-keputusan

mengenai berbagai komponen proses (unsur kurikulum)

Menurut Skilbeck, terdapat lima fase pengembangan kurikulum,

yaitu : a) Analisis situasi ; b) formulasi program ; c) pembangunan

program ; d) interpretasi dan implementasi ; e) monitoring, umpan

balik, penilaian serta rekonstruksi dan f) model penilaian kebutuhan

Penilaian kebutuhan adalah suatu proses pendefinisian dan

pemprioritasan kebutuhan pendidikan. Dalam pendidikan, kebutuhan

diartikan sebagai suatu kondisi ketika terjadi kesenjangan antara hasil

atau sikap peserta didik dengan pendidikan yang diberikan. Langkah-

langkah dalam menentukan kebutuhan tersebut adalah :

1) Memformulasikan serangkaian tujuan

2) Menentukan prioritas dari serangkaian tujuan

3) Membatasi penerimaan kinerja peserta didik pada setiap tujuan

yang diformulasikan

4) Menerjemahkan prioritas tujuan dalam sebuah rencana yang dapat

diimplementasikan

B. Muatan Kurikulum

Suatu kurikulum didalamnya memuat tiga komponen, yakni nilai,

pengetahuan dan keterampilan. Isi dari kurikulum itu bisa disebut sebagai

muatan atau konten kurikulum. Menurut Nasution (1995 : 9) kurikulum dapat

dipandang sebagai hal-hal yang diharapkan akan dipelajari siswa, yakni


50

pengetahuan, sikap dan keterampilan tertentu. Pengertian muatan kurikulum

yang dianggap lebih komprehensif ialah pendapat Hyman (Ansyar, 2015 :

342) sebagai berikut:

subject matter [that] means knowledges (i.e. facts,


explanations, principles, definitions), skills and processes (i.e.
reading, writing, calculating, dancing, critical thinking, decision
making, communicating) and values (i.e. the beliefs about matters
occurred with good and bad, right and wrong, beautiful and ugly).
Every society creates and uses its own unique subject matter. There
are overlappings in subject matter from one society to the next. It is
from a society’s subject matter that a theacher selects

Nilai, pengetahuan dan keterampilan tersebut juga bisa disamakan

dengan tiga ranah dalam taksonomi Bloom, yakni kognitif, afektif dan

psikomotor.

1. Nilai

Nilai adalah ukuran umum yang dipandang baik oleh masyarakat dan

menjadi pedoman dari tingkah laku manusia tentang cara hidup yang

sebaik-baiknya (Hamalik, 2013 : 75). Apa yang diyakini seseorang atau

masyarakat sebagai suatu kebenaran merupakan sesuatu yang penting

untuk dijadikan acuan dalam proses pendidikan, karena diantara tujuan

pendidikan yang penting adalah menanamkan nilai-nilai kebenaran (Ali,

1992 : 31).

Lembaga pendidikan sangat berperan dalam melestarikan nilai-nilai

yang ada. Menurut Sanjaya (2008 : 10), mewariskan nilai-nilai dan budaya

masyarakat kepada generasi muda merupakan salah satu tugas dan

anggung jawab dari suatu lembaga pendidikan. Siswa perlu memahami


51

dan menyadari norma-norma dan pandangan hidup masyarakatnya,

sehingga ketika mereka kembali ke masyarakat, mereka dapar menjunjung

tinggi dan berperilaku sesuai dengan norma-norma tersebut. Peran

konservatif kurikulum adalah melestarikan berbagai nilai budaya sebagai

warisan masa lalu. Melalui peran konservatifnya, kurikulum berperan

dalam menangkal berbagai pengaruh yang dapat merusak nilai-nilai luhur

masyarakat, sehingga keajegan dan identitas masyarakat akan tetap

terpelihara dengan baik.

Sistem nilai yang dijadikan kerangka acuan yang menjadi rujukan cara

berperilaku lahiriah dan rohaniah manusia muslim ialah nilai yang tidak

bertentangan dengan ajaran Islam (Arifin, 2010 : 126). Dalam Islam, nilai

dan moralitas islami bersifat menyeluruh, bulat dan terpadu, tidak

terpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang satu sama lain berdiri sendiri.

Suatu kebulatan nilai dan moralitas itu mengandung aspek normatif

(kaidah, pedoman) dan operatif (menjadi landasan amal perbuatan) (Arifin,

2010 : 126). Selanjutnya Arifin menjelaskan bahwa adapun nilai-nilai yang

tercakup didalam sistem nilai Islami yang merupakan komponen atau

subsistem diantaranya sebagai berikut :

a. Sistem nilai kultural yang senada dan senapas dengan Islam

b. Sistem nilai sosial yang memiliki mekanisme gerak yang berorientasi

kepada kehidupan sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat


52

c. Sistem nilai yang bersifat psikologis dari masing-masing individu yang

didorong oleh fungsi-fungsi psikologisnya untuk berperilaku secara

terkontrol oleh nilai yang menjadi rujukannya, yaitu Islam

d. Sistem nilai tingkah laku dari makhluk (manusia) yang mengandung

interelasi atau interkomunikasi dengan lainnya. Tingkah laku ini

timbul karena adanya tuntutan dari kebutuhan mempertahankan hidup

yang banyak diwarnai oleh nilai-nilai motivatif dalam pribadinya.

2. Pengetahuan

Pengetahuan berasal dari kata tahu yang mendapat imbuhan pe dan

an. Imbuhan pe-an berarti menunjukkan adanya proses. Dari susunan

bahasanya pengetahuan berarti proses mengetahui dan menghasilkan

sesuatu yang disebut pengetahuan (Suhartono, 2008 : 48). Pengetahuan

sendiri bisa berasal dari berbagai sumber, seperti kepercayaan berdasarkan

tradisi, adat istiadat dan agama ; kesaksian orang lain ; pancaindra

(pengalaman) serta akal pikiran dan intuisi.

Menurut objek materinya (Suhartono, 2008 : 97), ilmu pengetahuan

dibedakan menjadi empat kelompok sebagai berikut :

a. Ilmu pengetahuan alam, mempelajari gejala atau fenomena alam, baik

yang organik maupun an-organik.

b. Ilmu pengetahuan kemanusiaan, mempelajari masalah manusia dan

kebudayaanya yang meliputi segala sikap dan tingkah laku moral

manusia baik terhadap diri sendiri, sesama, masyarakat maupun

lingkungannya.
53

c. Ilmu pengetahuan sosial, menitikberatkan pada objek kajian tentang

kehidupan manusia dalam pelbagai perwujudan dan keadaan serta

kepentingan sosial manusia. Ilmu pengetahuan sosial ini kemudian

berkembang dan menjadi basis ilmu-ilmu sosial lainnya seperti

politik, hukum, ekonomi, komunikasi dan sebagainya.

d. Ilmu pengetahuan ketuhanan atau disebut pula ilmu pengetahuan

keagamaan, mempelajari Tuhan sebagai causa prima, keberadaan

dunia, kehidupan manusia dan alam semesta menurut ajaran-ajaran

agama

Sedangkan dari segi polanya, pengetahuan dibedakan menjadi empat

macam pola pengetahuan sebagaimana menurut Keraf (2011 : 34) berikut

ini :

a. Tahu bahwa, adalah pengetahuan tentang informasi tertentu, tahu

bahwa sesuatu terjadi, tahu bahwa ini atau itu memang demikian

adanya. Pengetahuan ini disebut juga dengan pengetahuan teoritis

b. Tahu bagaimana, adalah pengetahuan jenis ini menyangkut

bagaimana melakukan sesuatu yang berkaitan dengan keterampilan

atau keahlian dan kemahiran teknis dalam melakukan sesuatu

c. Tahu akan/mengenai, merupakan pengetahuan yang sangat spesifik

yang menyangkut pengetahuan akan sesuatu

d. Tahu mengapa, yakni pola pengetahuan yang berkaitan dengan

pengetahuan bahwa namun jauh lebih mendalam


54

3. Keterampilan

Keterampilan adalah kemampuan untuk menggunakan akal, fikiran,

ide dan kreatifitas dalam mengerjakan, mengubah ataupun membuat

sesuatu menjadi lebih bermakna sehingga menghasilkan sebuah nilai dari

hasil pekerjaan tersebut. Keterampilan cenderung lebih bersifat praksis.

Keterampilan hidup (life skill) merupakan salah satu dari sekian banyak

keterampilan yang ada.

Beberapa unsur keterampilan hidup menurut Tim Broad Based

Education Depdikbud dalam Marwiyah (2012 : 86) diantaranya sebagai

berikut :

a. Kecakapan personal (personal skill)

Kecakapan personal mencakup kecakapan mengenal diri (self

awareness) dan kecakapan berfikir rasional (thinking skill). Kecakapan

kesadaran diri pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai

mahluk Tuhan Yang Maha Esa, anggota masyarakat dan warga

negara, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan

yang dimiliki. Sedangkan kecakapan berfikir rasional mencakup

antara lain kecakapan menggali dan menemukan informasi, kecakapan

mengolah informasi dan mengambil keputusan, serta kecakapan

memecahkan masalah secara kreatif

b. Kecakapan sosial (social skill)

Meliputi kecakapan dalam komunikasi dan kecakapan dalam bekerja

sama. Kecakapan komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi


55

dengan empati, yakni suatu bentuk komunikasi yang dalam

penyampaiannya disertai dengan kesan baik yang bisa menumbuhkan

hubungan harmonis. Sedangkan kecakapan dalam bekerja sama

berkaitan dengan sikap saling pengertian, saling menghargai dan saling

membantu

c. Kecakapan akademik (academic skill)

Merupakan pengembangan dari kecakapan berpikir rasional.

Kecakapan akademik lebih mengarah kepada kegiatan yang bersifat

akademik / keilmuan. Kecakapan akademik mencakup antara lain

kecakapan melakukan identivikasi variabel dan menjelaskan

hubungannya pada suatu fenomena tertentu (identifying variable and

describing relationship among them), merumuskan hipotesis terhadap

suatu rangkaian kejadian (contructing hypotheses), serta merancang

dan melaksanakan penelitian untuk membuktikan suatu gagasan atau

keingintahuan (designing and implementing a research)

d. Kecakapan vokasional (vocational skill)

Suatu kecakapan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu

yang terdapat di masyarakat

C. Petatah-Petitih Ingsun Titip Tajug lan Fakir Miskin

Salah satu ajaran Sunan Gunung Jati disampaikan melalui pengamalan

petatah-petitih yang ditinggalkannya. Petatah-petitih merupakan ungkapan

atau ajaran hidup berupa nasihat, pesan, anjuran, kritik dan teguran Sunan
56

Gunung Jati yang disampaikan kepada keluarga dan kerabatnya. (Wildan,

2012 : 244). Hingga saat ini petatah-petitih tersebut masih diajarkan dan

disebarkan oleh keturunan Sunan Gunung Jati melalui Sultan Kasepuhan dan

kerabat keraton Cirebon.

Petatah-petitih yang ditinggalkan Sunan Gunung Jati sebagai media

dakwah secara lisan, berisikan pesan atau nasihat yang sesungguhnya berasal

dari ajaran Islam. Penggunaan bahasa daerah dan pemilihan kata yang singkat

dan sederhana menjadikan petatah-petitih tersebut menjadi bagian dari local

wisdom. Walaupun nampak sederhana, pesan tersebut merupakan bentuk

komunikasi yang bersifat religius. Sebagaimana yang diungkapkan

Bustanudin (2007 : 156), suatu komunikasi dikatakan bersifat religius jika

isinya merupakan pesan-pesan atau ajaran suatu agama, baik menggunakan

ayat atau dalil secara langsung, maupun berupa interpretasi dari yang

menyampaikannya. Kesederhanaan bentuk pesan tersebut juga dimungkinkan

agar ide-ide yang kompleks dapat diekspresikan dalam istilah-istilah yang

sederhana (Beatty, 2001 : 226).

Adapun petatah-petitih Sunan Gunung Jati dapat dikelompokkan

sebagai berikut (Wildan, 2012 : 245-247) :

1. Petatah-petitih yang berkaitan dengan ketakwaan dan keyakinan :

a. Ingsun titip tajug lan fakir miskin. Artinya : Aku (Sunan Gunung Jati)

titip tajug dan fakir miskin

b. Yen sembahyang kungsi pucuke panah. Artinya : Jika shalat harus

khusyu dan tawadhu seperti anak panah yang menancap kuat)


57

c. Yen puasa den kungsi tetaling gundewa. Artinya : Jika puasa harus

kuat seperti tali panah

d. Ibadah kang tetep. Artinya : Ibadah harus terus menerus

e. Wedia ing Allah. Artinya : Takutlah kepada Allah

f. Manah den syukur ing Allah. Artinya : Hati harus bersyukur kepada

Allah

g. Kudu ngakehaken pertobat. Artinya : Banyak-banyaklah bertobat

2. Petatah-petitih yang berkaitan dengan kedisiplinan :

a. Aja nyindra janji mubarang. Artinya : Jangan mengingkari janji

b. Pemboraban kang ora patut anulungi. Artinya : Yang salah tidak usah

ditolong

c. Aja ngaji kejayaan kang ala rautah. Artinya : Jangan belajar untuk

kepentingan yang tidak benar atau disalahgunakan

3. Petatah-petitih yang berkaitan dengan kearifan dan kebijakan :

a. Singkirna sifat kanden wanci. Artinya : Jauhi sifat yang tidak baik

b. Duweha sifat kang wanti. Artinya : Miliki sifat yang baik

c. Amapesa ing bina batan. Artinya : Jangan serakah atau berangasan

dalam hidup

d. Angadahna ing perpadu. Artinya : Jauhi pertengkaran

e. Aja ilok ngamad kang durung yakin. Artinya : Jangan suka mencela

sesuatu yang belum terbukti kebenarannya

f. Aja ilok gawe bobat. Artinya : Jangan suka berbohong

g. Ing panemu aja gawe tingkah. Artinya : Bila pandai jangan sombong
58

h. Kenana ing hajate wong. Artinya : Kabulkan keinginan orang

i. Aja dahar yen durung ngeli. Artinya : Jangan makan sebelum lapar

j. Aja nginum yen durung ngelok. Artinya : Jangan minum sebelum haus

k. Aja turu yen durung katekan arif. Artinya : Jangan tidur sebelum

ngantuk

l. Yen kaya den luhur. Artinya : Jika kaya harus dermawan

m. Aja ngijek rarohi ing wong. Artinya : Janagn suka menghina orang lain

n. Den bisa megeng ing nafsu. Artinya : Harus dapat menahan hawa

nafsu

o. Angasana diri. Artinya : Harus mawas diri

p. Tepo saliro den adol. Artinya : Tampilkan perilaku yang baik

q. Ngoletena rejeki sing halal. Artinya : Carilah rejeki yang halal

r. Aja akeh kang den pamrih. Artinya : Jangan banyak mengharapkan

pamrih

s. Den suka wenan lan suka mamberih gelis lipur. Artinya : Jika bersedih

jangan diperlihatkan agar cepat hilang

t. Gegunem sifat kang pinuji. Artinya : Miliki sifat terpuji

u. Aja ilok gawe lara ati ing wong. Artinya : Jangan suka menyakiti hati

orang

v. Ake lara ati ing wong, namung saking duriat. Artinya : Jika sering

disakiti orang , hadapilah dengan kecintaan tidak dengan aniaya

w. Aja ilok gawe kaniaya ing makhluk. Arinya : Jangan membuat aniaya

kepada makhluk lain


59

x. Aja ngagungaken ing salira. Artinya : Jangan mengagungkan diri

sendiri

y. Aja ujub ria suma takabur. Artinya : Jangan sombong dan takabur

z. Aja duwe ati ngunek. Artinya : Jangan dendam

4. Petatah-petitih yang berkaitan dengan kesopanan dan tatakrama :

a. Den hormat ing wong tua. Artinya : Harus hormat kepada orang tua

b. Den hormat ing leluhur. Artinya : Harus hormat kepada leluhur

c. Hormaten, emanen, mulyaken ing pusaka. Artinya : Hormat, sayangi

dan mulyakan pusaka)

d. Den welas asih ing sapapada. Artinya : Hendaknya menyayangi

sesama manusia

e. Mulyaken ing tetamu. Artinya : Hormati tamu

Dari sekian banyak petatah-petitih yang ada, Ingsun titip tajug lan fakir

miskin merupakan salah satu petatah-petitih yang ditinggalkan Sunan Gunung

Jati yang cukup terkenal dan menjadi kalimat iconic Kota Cirebon. Ingsun

titip tajug lan fakir miskin apabila diartikan kedalam bahasa Indonesia kurang

lebih berarti Saya (Sunan Gunung Jati) menitipkan tajug dan fakir miskin.

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, kalimat ini dianggap

sebagai ajaran dari Sunan Gunung Jati yang berkembang secara lisan.

Petatah-Petitih Ingsun titip tajug lan fakir miskin dapat dijumpai di salah satu

bagian dinding Masjid Jami Sunan Gunung Jati yang berada di kompleks

pemakaman Sunan Gunung Jati.


60

Kebenaran mengenai asal-usul dari petatah-petitih ini, terutama bukti

tertulis memang belum ditemukan. Akan tetapi menurut keterangan dari

Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, P.R.A Arief Natadiningrat,

menyatakan bahwa kemunculan kalimat ini dilatarbelakangi sebagai bentuk

strategi Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan ajaran Islam. Kandungan

ajaran-ajaran Islam dikemas dengan menggunakan bahasa lokal yang ada.

Penggunaan bahasa daerah dimaksudkan agar masyarakat saat itu bisa dengan

mudah menerapkan ajaran Islam (wawancara, 4 Oktober 2016).

Sedangkan menurut Abdul Ghofar, salah seorang tokoh masyarakat

Gunung Jati, kalimat Ingsun titip tajug lan fakir miskin dan petatah-petitih

lainnya merupakan wasiat Sunan Gunung Jati yang ditujukan kepada

putranya, yakni Sultan Hasanuddin dan para sahabatnya ketika beliau sedang

sakit. Petatah-petitih tersebut diharapkan bisa dijadikan pegangan bagi anak

cucunya kelak (wawancara, 27 September 2016).

Terlepas dari hal itu, secara turun temurun kalimat Ingsun titip tajug lan

fakir miskin diyakini khususnya oleh kalangan keraton dan umumnya

masyarakat Cirebon sebagai peninggalan dari Sunan Gunung Jati. Mengingat

tradisi yang berkembang saat itu ada yang secara tertulis dan juga secara

lisan.
61

D. Hubungan Kurikulum dengan Kalimat Ingsun TitipTajug lan Fakir

Miskin

Kalimat ingsun titip tajug lan fakir miskin merupakan ajaran Sunan

Gunung Jati yang diajarkan secara turun temurun dan berkembang secara lisan

menjadikannya bagian dari nilai kearifan lokal yang ada di Cirebon. Dalam

memaknai kandungan yang terdapat dalam kalimat ini, bisa dilihat dari

berbagai sudut pandang termasuk pendidikan, khususnya kurikulum. Adapun

penjelasan mengenai hubungan kurikulum dengan kalimat ingsun titip tajug

lan fakir miskin bisa digambarkan melalui bagan dibawah ini :

Bagan 2a
Pendidikan

bertujuan mengembangkan

Pengetahuan, keterampilan, perilaku, hasil tindakan,


sikap dan pengalaman (Hamalik, 2013 : 129)

bersumber

Murid / Individu, Masyarakat, Disiplin bidang-bidang


ilmu pengetahuan (Nasution, 1995 : 265)

Nilai-nilai hidup yang berkembang

Nilai kearifan lokal Ingsun titip tajug lan fakir miskin

diwujudkan kedalam

Isi / Materi / Konten Kurikulum

bermuatan

Nilai, Pengetahuan & Keterampilan


(Hyman dalam Ansyar, 2015 : 342)
62

Pendidikan sebagaimana yang terlihat pada bagan diatas, bertujuan

untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki individu. Dalam

prosesnya, diperlukan suatu sumber pedoman atau materi yang nantinya

dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut. Sumber yang bisa

digunakan bisa berasal dari individu itu sendiri, masyarakat maupun berbagai

macam disiplin ilmu yang ada. Dalam masyarakat banyak berkembang nilai-

nilai seperti nilai kearifan lokal yang bisa dijadikan sumber untuk mencapai

tujuan pendidikan.

Kalimat ingsun titip tajug lan fakir miskin merupakan salah satu bagian

dari nilai kearifan lokal yang ada di Cirebon. Kalimat ini bisa diwujudkan

menjadi sumber isi atau konten kurikulum dengan cara memahami makna-

makna yang terkandung dalam kalimat tersebut. Sebagaimana yang telah

dijelaskan sebelumnya bahwa isi dalam suatu kurikulum paling tidak

didalamnya memuat nilai, pengetahuan dan keterampilan (Nasution, 1995 :

231). Oleh karena itu, melalui kalimat ini akan dianalisis kandungan nilai,

pengetahuan dan keterampilan sehingga bisa dijadikan sebagai konten

kurikulum.

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam mendukung kalimat ingsun titip

tajug lan fakir miskin bisa dikategorikan sebagai sumber konten kurikulum

diantaranya sebagai berikut :

1. Sebagian ahli pendidikan berpendapat bahwa kurikulum dalam tiap

masyarakat atau budaya seharusnya menjadi refleksi dari budaya itu

sendiri (Hamalik, 2013 : 6). Sanjaya juga berpendapat bahwa tugas dari
63

pendidikan diantaranya adalah mewariskan nilai-nilai dan budaya

masyarakat kepada generasi muda (2008 : 10). Menjadikan kalimat

ingsun titip tajug lan fakir miskin sebagai sumber acuan konten

kurikulum merupakan bentuk upaya dalam merefleksikan dan

melestarikan nilai kearifan lokal

2. B. Othanel Smith W.O. Stanley dan J. Harlan Shores memandang

kurikulum sebagai “sejumlah pengalaman potensial” yang dapat

diberikan kepada generasi muda agar mereka dapat berpikir dan berbuat

sesuai dengan masyarakatnya (Nasution, 1995 : 4). Sejumlah pengalaman

potensial yang dimaksud menurut pendapat ini jika dikorelasikan dengan

bagan diatas maka bisa diperoleh dari proses pendidikan dengan

bersumber dari masyarakat yang didalamnya memiliki nilai kearifan

lokal contohnya seperti kalimat ingsun titip tajug lan fakir miskin

3. Smith mengartikan kurikulum sebagai seperangkat usaha dan upaya

pendidikan yang bertujuan agar anak didik memiliki kemampuan hidup

bermasyarakat (Hamdani, 2011 : 98). Untuk memiliki kemampuan hidup

bermasyarakat tersebut bisa berpijak dari nilai kearifan lokal yang ada

pada masyarakat itu sendiri dan dengan cara menjadikannya sebagai

sumber dalam konten kurikulum

4. Salah satu kriteria dalam menentukan konten kurikulum adalah relevansi

sosial, yakni keterkaitan isi kurikulum dengan nilai moral, cita-cita,

permasalahan sosial dan sebagainya untuk membantu individu menjadi

anggota efektif dalam masyarakat (Hamalik, 2015 : 178). Ingsun titip


64

tajug lan fakir miskin merupakan pesan dari Sunan Gunung Jati yang

pada hakikatnya beasal dari ajaran Islam, mengingat beliau berperan

sebagai seorang ulama juga umara’, makna pesan ini tentunya menyentuh

segala aspek kehidupan masyarakat, sehingga bisa menjadikan pesan ini

sebagai sumber konten kurikulum memiliki relevansi sosial.

5. Kriteria lain dalam menentukan konten kurikulum adalah utility atau

memiliki daya guna, yakni berkaitan dengan kegunaan isi kurikulum

dalam mempersiapkan individu menuju kehidupan dewasa (Hamalik,

2015 : 178). Dengan mengkaji kandungan nilai, pengetahuan dan

keterampilan yang ada pada kalimat ingsun tiitp tajug lan fakir miskin

tentu memiliki kegunaan dan manfaat dalam mendewasakan individu.

Asumsi-asumsi diatas menjadi pijakan dalam menjadikan kalimat

ingsun titip tajug lan fakir miskin sebagai sumber dalam menentukan konten

kurikulum yang berasal dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.

Kandungan makna yang diambil dari kalimat ingsun titip tajug lan fakir

miskin inilah yang bisa diterapkan dalam pendidikan. Perlu dipahami bahwa

pendidikan tidak hanya dilaksanakan di suatu lembaga tertentu saja,

mengingat banyak jenis pendidikan yang berkembang saat ini, baik

pendidikan formal, nonformal maupun informal. Pemaknaan kalimat ingsun

titip tajug lan fakir miskin sebagai sebuah kurikulum lebih ditekankan pada

pendidikan yang bersifat sepanjang hayat atau dikenal juga sebagai long life

education. Sehingga spirit yang dikandung dalam kalimat ingsun titip tajug
65

lan fakir miskin melalui tinjauan kurikulum ini bisa diimplementasikan dalam

kehidupan sehari-hari

Anda mungkin juga menyukai