Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

SYARIAH ISLAM SEPUTAR PERDAGANGAN LUAR NEGERI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Ekonomi Syariah
Dosen Pengampu Bambang Sugiharto, SE., M.Si.

Disusun Oleh:
Anissa Dela Fitri 03111200054
Dede Entis 03111200024
Kristawati 03111200047
Nanda Infa Saefini 03111200059

KELOMPOK 5
KELAS A2

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


STIE SUTAATMADJA
SUBANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah kelompok kami yang berjudul “Syariah
Islam Seputar Perdagangan Luar Negeri” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari
penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen, Bapak Bambang Sugiharto,
SE., M.Si. pada mata kuliah Ekonomi Syariah.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Bambang Sugiharto SE., M.Si. selaku
dosen mata kuliah Ekonomi Syariah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, makalah
yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah ilmu
pengetahuan dan memberikan manfaat bagi semua orang yang membaca.

Subang, 17 Desember 2021

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 2
1.3. Tujuan ........................................................................................................................ 2
BAB II ....................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 3
2.1. Sistem Ekonomi Syariah dalam Perdagangan Luar Negeri ................................. 3
2.2. Campur Tangan Pemerintah dalam Lalu Lintas Perdagangan ........................... 3
2.3. Hukum Syariah dalam Perdagangan Luar Negeri ................................................ 4
2.4. Aturan untuk Transaksi Ekspor dan Impor .......................................................... 5
2.5. Landasan dalam Hal Larangan Ekspor Untuk Barang Strategis ........................ 6
2.6. Pandangan Islam Berdasarkan Pelaku Bisnis ........................................................ 6
2.7. Tarif untuk ‘Bea masuk Perdagangan’................................................................... 7
2.8. Etika Jual Beli Dalam Islam..................................................................................... 7
2.9. Sistem Kerja Sama Perdagangan Internasional .................................................... 8
BAB III.................................................................................................................................... 10
PENUTUP............................................................................................................................... 10
3.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Aktivitas perdagangan telah dilakukan sejak awal sejarah kehidupan manusia, hal
ini disebabkan karena pada hakikatnya manusia tidak akan mampu memenuhi seluruh
kebutuhan hidupnya sendiri. Sehingga ia masih membutuhkan bantuan orang lain untuk
memenuhi kebutuhannya. Perdagangan adalah hal yang tidak terelakkan pada kehidupan
manusia. Secara historis jual beli dapat dilakukan dengan menggunakan dua macam cara,
yaitu melalui tukar menukar barang (barter) dan jual beli dengan sistem uang.
Perpindahan barang dan jasa selalu terjadi, baik di dalam negeri maupun antar umat
dan antar bangsa, dengan komoditas biasa dan sepele sampai komoditas strategis dan
penting seperti senjata dan bahan pangan. Hal ini sayangnya saat ini tidak lagi mengacu
pada pemenuhan kebutuhan mendasar manusia saja, namun lebih jauh yakni menjadi
sarana penjajahan dan ladang keuntungan bagi segelintir golongan tertentu. WTO dan
teman-temannya, sudah terbukti tidak mampu melindungi industri negara berkembang
bahkan cenderung mematikannya, menghancurkan perekonomian negara lain, khususnya
negara miskin. Kedaulatan suatu bangsa menjadi terancam ketika komoditas starategis
dan penting seperti pangan telah tergantung dengan negara lain.
Pekerjaan perdagangan menjadi penting karena menjadi ujung tombak bergeraknya
ekonomi. Maka tidak salah Nabi yang mulia mengajarkan supaya kita belajar dari negeri
Cina. Entis itu hamper bisa ditemukan di belahan bumi manapun. Mereka eksis, bahkan
hidup berkelimpahan harta dengan hanya menjadi pedagang. Sedangkan bagi orang
muslim, kegiatan berdagang sebenarnya lebih tinggi derajatnya apabila dalam melakukan
perdagangan diniatkan sebagai salah satu bentuk dalam rangka beribadah kepada Allah
SWT. Berdagang sebagai wadah untuk berbuat baik pada sesame yang sedang
membutuhkan.
Mulai awal tahun ini, siap atau tidak, Indonesia harus membuka pasar dalam negeri
secara luas kepada negara-negara ASEAN dan Cina. Sebaliknya, Indonesia dipandang
akan mendapatkan kesempatan lebih luas untuk memasuki pasar dalam negeri negara-
negara tersebut. Pembukaan pasar ini merupakan perwujudan dari perjanjian
perdagangan bebas antara negara anggota ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia,
Singapura, Filipina dan Brunei Darussalam) dengan Cina, yang disebut dengan ASEAN-
China Free Trade Agreement (ACFTA). Perjanjian perdagangan bebas ini sebenarnya
sudah direncanakan sejak tahun 2002. Lantas, apakah kebijakan pasar bebas ini akan
membawa perubahan nasib rakyat negeri ini yang masih dihimpit dengan kemiskinan.
Bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang hal ini.

1
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaiamana sistem yang diterapkan dalam perdagangan luar negeri?
2. Seperti apa peran pemerintah dalam perdagangan luar negeri?
3. Bagaimana hukumnya dalam perdagangan luar negeri?
4. Seperti apa aturan untuk transaksi ekpor dan impor?
5. Seperti apa landasan larangan ekspor untuk barang strategis?
6. Bagaimana pelaku bisnis dalam pandangan islam?
7. Seperti apa tarif bea untuk perdagangan?
8. Bagaiaman etika jual beli dalam islam?
9. Bagaimana sistem kerja sama dalam perdagangan internasional ini?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui seperti apa sistem ekonomi syariah dalam perdagangan luar
negeri.
2. Untuk mengetahui peran pemerintah dalam perdagangan luar negeri.
3. Untuk mengetahui hukum syariah dalam perdagangan luar negeri.
4. Untuk mengetahui aturan untuk transaksi ekspor dan impor.
5. Untuk mengetahui landasan dalam hal larangan ekspor untuk barang strategis.
6. Untuk mengetahui pandangan islam berdasarkan pelaku bisnis.
7. Untuk mengetahui tarif untuk ‘bea masuk perdagangan’.
8. Untuk mengetahui etika jual beli dalam islam.
9. Untuk mengetahui sistem kerja sama perdagangan internasional.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sistem Ekonomi Syariah dalam Perdagangan Luar Negeri


Perdagangan luar negeri adalah aktivitas jual-beli yang berlangsung antarbangsa
dan umat, bukan antar individu dari satu negara; baik perdagangan antardua negara
maupun antarindividu yang masing-masing berasal dari negara yang berbeda untuk
membeli komoditi yang akan ditransfer ke negaranya.
Pengertian jual beli adalah tukar-menukar harta meskipun masih ada dalam
tanggungan atau kemanfaatan yang mubah dengan sesuatu yang semisal dengan
keduanya, untuk memberikan secara tetap. Jadi jual beli dalam syariat maksudnya adalah
pertukaran harta dengan harta dengan dilandasi saling rela atau pemindahan kepemilikan
dengan penukaran dalam bentuk yang diizinkan.
Menurut Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Gazy jual beli ialah memberikan hak
milik terhadap benda yang bernilai harta dengan jalan pertukaran serta mendapatkan ijin
syara' atau memberikan hak pemilikan manfaat yang diperbolehkan dengan jalan
selamanya serta dengan harga yang bernilai harta.
Dalam kondisi ini, negara akan mengarahkan dan campur tangan secara langsung
terhadap perdagangan tersebut. Tujuannnya adalah untuk mencegah dikeluarkannya
beberapa komoditi dan membolehkan beberapa komoditi lain, serta campur tangan
terhadap para pelaku bisnis kafir harbi dan mu’ahid.

2.2. Campur Tangan Pemerintah dalam Lalu Lintas Perdagangan


Negara secara mutlak akan campur tangan dalam perdagangan dan para pelaku
bisnis warga negara asing. Adapun terhadap rakyatnya sendiri maka dalam perdagangan
luar negeri tersebut negara cukup memberikan pengarahan terhadap mereka. Sebab,
mereka termasuk dalam kategori hubungan di dalam negeri. Karena itu, untuk keperluan
perdagangan dengan negara asing tersebut, negara akan membuat pos-pos di tiap-tiap
perbatasan negara. Pos-pos inilah yang oleh fukaha disebut tempat-tempat pengintai
(masalih).
Tempat-tempat pengintai yang terletak di perbatasan ini merupakan bentuk campur
tangan dan pengarahan langsung terhadap perdagangan yang keluar-masuk ke negara.
Negara akan mengatur perdagangan dan menjalankan aturan tersebut dengan
menggunakan pos-pos yang terletak di perbatasan, yaitu untuk mengatur perpindahan
individu serta kekayaan yang keluar masuk ke sana, yang melewati perbatasan tersebut,
dan negara secara langsung akan menanganinya.
Peranan pemerintah dalam tatanan ekonomi, paling tidak mencakup empat hal.
Pertama, maksimalisasi tingkat pemnafaat sumber daya. Pemanfaatan sumber daya
tersebut harus memperhatikan prinsip kesejajaran dan keseimbangan. Hal ini sangat
penting, karena apabila terjadi pemanfaatan yang tidak seimbang atau pemborosan, alam

3
akan rusak. Kedua, meminimalisasi kesenjangan distributif. Tujuan ini berkaitan dengan
prinsip dasar ekonomi islam, yaitu keadilan distributif. Keadilan distributif didefinisikan
sebagai suatu distribusi pendapatan dan kekayaan yang tinggi, sesuai dengan norma-
norma keadilan yang diterima secara universal. Ketiga, optimalisasi penciptaan lapangan
kerja. Penciptaan lapangan kerja juga harus diimbangi dengan pemberian tingkat upah
yang adil berdasarkan usaha-usaha produktifnya. Keempat, optimalisasi pengawasan.
Salah satu bagian integral dari kesatuan sistem ekonomi islam adalah lembaga hisbah.
Lembaga hisbah adalah lembaga pengawasan terhadap penyimpangan, diantaranya
kegiatan ekonomi. Selain itu, peran pemerintah lainnya yaitu:
a. Memastikan dan menjaga implementasi nilai dan moral islam secara keseluruhan.
b. Memastikan dan menjaga agar pasar hanya memperjualbelikan barang dan/ atau
jasa yang halaln thayyibah.
c. Melembagakan nilai-nilai persaingan yang sehat (fair play), kejujuran (honesty),
keterbukaan (transparency) dan keadilan (justice).
d. Menjaga agar pasar hanya menyediakan barang dan/atau jasa sesuai dengan
prioritas kebutuhan sebagaimana diajarkan dalam syariat islam dan kepentingan
perekonomian nasioanal.
Dalam islam, individu sebagai aktor utama sedangkan pemerintah hanya bertindak
fasilitator, yang melindungi hak-hak individu, terutama hak mendapat keamanan,
kesejahteraan, dan jaminan sosial. Jika islam memperkenankan intervensi, maka itu
hanya dalam kasus yang sangat terbatas dan pada hal-hal yang mendesak demi
terlindunginya kepentingan umum. Dan kalua islam membolehkan intervensi bagi
pemerintah, hanya memberikan pengawasan dan pengarahannya saja.

2.3. Hukum Syariah dalam Perdagangan Luar Negeri


Hukum syariah adalah seruan Asy-Syari (Allah SWT) yang berkaitan dengan
perbuatan manusia. Karena itu, hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan
perdagangan luar negeri hanya berlaku untuk orangnya. Atas dasar ini, hukum-hukum
perdagangan luar negeri tidak ada hubungannya dengan komoditi dan dari mana asal
komoditi tersebut, namun hanya menyangkut pelaku bisnisnya.
Karena itu, para pelaku bisnis yang keluar masuk wilayah-wilayah Negara Islam,
antara lain ada tiga kelompok: (1) warga Negara Islam, baik Muslim maupun ahludz-
dzimmah; (2) orang-orang kafir mu’ahid; (3) orang-orang kafir harbi.
Jual beli sebagai sarana tolong-menolong antara sesama umat manusia mempunyai
landasan yang kuat dalam Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW. Hal ini berdasarkan
atas dalil-dalil yang terdapat di dalam Al-Qur’an, Al-Hadits, ataupun ijma ulama.
Adapun dalil-dalil yang menerangkan tentang jual beli sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Surat Al Baqarah ayat 275 “Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang
kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya”

4
Surat An Nisa ayat 29 “sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah
kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”
2. Hadits
Hukum jual beli juga dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW yaitu:
“Dari Rifa‟ah ibnu Rafi‟ bahwa Nabi Muhammad SAW, pernah ditanya apakah
profesi yang paling baik? Rasulullah menjawab: usaha tangan manusia sendiri dan
setiap jual beli yang diberkati.”
3. Ijma’
Ulama muslim sepakat atas kebolehan akad jual beli. Ijma ini memberikan hikmah
bahwa kebutuhan manusia berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam
kepemilikan orang lain dan kepemilikan sesuatu itu tidak akan diberikan dengan
begitu saja, namun terdapat kompensasi yang harus diberikan. Berdasarkan dalil-
dalil yang diungkapkan, jelas sekali bahwa praktek akad atau kontrak jual beli
mendapatkan pengakuan dan legalitas dari syara‟ dan sah untuk dilaksanakan
dalam kehidupan manusia.
4. Kaidah Fiqih
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi pada
dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudharabah
dan musyarakah), perwakilan, dan lain-lain. Kecuali yang tegas-tegas diharamkan
seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi dan riba. Keridhaan dalam
transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila
didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya tidak sah suatu akad
apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga merasa
tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah
satu pihak merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa
batal. Seperti pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena
barangnya cacat.

2.4. Aturan untuk Transaksi Ekspor dan Impor


Orang-orang yang menjadi warga Negara Islam tidak boleh membawa komoditi
atau barang industri seperti persenjataan, ke darul kufur, sehingga bisa membantu warga
negara setempat dalam memerangi kaum Muslim. Namun, jika barang-barang tersebut
dikeluarkan bukan untuk membantu mereka dalam melawan kaum Muslim, maka dalam
kondisi semacam ini hukumnya mubah. Karena itu, jika jenis komoditi yang dikirim
kepada mereka selain barang-barang strategis, semisal makanan, pakaian, perkakas dan
sebagainya. Hanya saja, barang-barang yang dibutuhkan oleh rakyat, yang jumlahnya
terbatas, tetap tidak diperbolehkan.
Adapun yang berkaitan dengan perdagangan yang berkaitan dengan mengimpor
komoditi ke negara Islam maka firman Allah SWT yang menyatakan (yang artinya),
“Allah menghalalkan jual-beli (QS al-Baqarah [2]: 275),” bersifat umum, meliputi
perdagangan dalam dan luar negeri. Tidak ada nash pun yang menyatakan larangan
kepada seorang Muslim atau ahludz dzimmah untuk mengimpor komoditi ke dalam
negeri.

5
2.5. Landasan dalam Hal Larangan Ekspor Untuk Barang Strategis
Negara Islam mengikat perdagangan dengan darul kufur dalam beberapa hal
(berupa barang seperti makanan, perabot, pakaian, dan lain-lain, selama barang itu bukan
barang yang dibutuhkan oleh rakyat yang jumlahnya terbatas). Sedangkan kemudian
dalam hal-hal lain perdagangan dengan darul kufur tersebut dicegah. Hal ini hanya
mengikuti politik perang.
Ini berkaitan dengan perdagangan dengan darul kufur yang secara de jure
memerangi kaum muslim. Walaupun secara de facto darul kufur tersebut dalam keadaan
berperang dengan kita, kita tidak boleh mengekspor barang persenjataan ke darul kufur,
karena bisa jadi mereka akan jadi musuh.
“dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah [5]: 2)

2.6. Pandangan Islam Berdasarkan Pelaku Bisnis


Menurut pandangan Islam, status pedagang internasional mengikuti kebijakan
politik luar negeri Islam. Dalam politik luar negeri Islam, negara-negara di luar Darul
Islam dipandang sebagai darul harbi. Darul harbi dibagi dua, yaitu darul harbi fi‘lan,
yaitu negara yang secara de facto sedang memerangi Islam, dan darul harbi hukman,
yaitu negara yang secara de facto tidak sedang berperang dengan Islam.
Berlandaskan pada pandangan politik luar negeri itulah, maka status pedagang
dapat dikelompokkan menjadi 4:
a) Pedagang yang berstatus sebagai warga negara.
Warga negara Islam, yaitu Muslim maupun non-Muslim (kafir dzimmi),
mempunyai hak untuk melakukan aktivitas perdagangan di luar negeri,
sebagaimana kebolehan untuk melakukan aktivitas perdagangan di dalam negeri.
Mereka bebas melakukan ekspor-impor komoditi apapun tanpa harus ada izin
negara, juga tanpa ada batasan kuota, selama komoditi tersebut tidak membawa
dharar.
b) Pedagang dari negara harbi hukman.
Pedagang dari negara harbi hukman, baik yang Muslim maupun yang non-Muslim,
memerlukan izin khusus dari negara jika mereka akan memasukkan komoditinya.
Izin bisa untuk pedagang dan komoditinya, dapat juga hanya untuk komoditinya
saja.Jika pedagang dari negara harbi hukman tersebut sudah berada di dalam
negara, maka dia berhak untuk berdagang di dalam negeri maupun membawa
keluar komoditi apa saja selama komoditi tersebut tidak membawa dharar.
c) Pedagang dari negara harbi hukman yang terikat dengan perjanjian.
Pedagang kafir mu‘âhid, yaitu pedagang yang berasal dari negara harbi hukman
yang terikat perjanjian dengan Negara Islam, diperlakukan sesuai dengan isi
perjanjian yang diadakan dengan negara tersebut, baik berupa komoditi yang
mereka impor dari Negara Islam maupun komoditi yang mereka ekspor ke Negara
Islam.
d) Pedagang dari negara harbi fi‘lan.

6
Pedagang dari negara harbi fi‘lan, baik Muslim maupun non-Muslim, diharamkan
secara mutlak melakukan ekspor maupun impor. Perlakuan terhadap negara yang
secara real memerangi Islam adalah embargo secara penuh, baik untuk kepentingan
ekspor maupun impor. Pelanggaran terhadap embargo ini dianggap sebagai
perbuatan dosa.

2.7. Tarif untuk ‘Bea masuk Perdagangan’


Telah dijelaskan di atas hal yang berkaitan dengan keluar-masuknya para pelaku
bisnis dan komoditinya ke dan dari Negara Islam. Adapun yang berkaitan dengan tarif
bea masuk perdagangan yang dibebankan atas komoditi tersebut, hukum syariah yang
berkaitan dengan masalah ini berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan para pelaku
bisnisnya, bukan perbedaan komoditinya.
Jika pelaku bisnis luar negeri adalah rakyat Negara Islam, baik Muslim maupun
ahludz-dzimmah, maka komoditi mereka secara mutlak tidak dibebani apa-apa. Baik itu
komoditi yang dimasukkan ke dalam Negara Islam, dan komoditi yang dikeluarkan ke
darul kufur. Adapun untuk ahludz-dzimmah, tidak dikenakan bea masuk, tetapi
dikenakan tarif untuk harta perdagangan mereka, yang dikenakan tarif sebesar perjanjian
mereka. Pada masa Umar ra., ahludz-dzimmah dikenakan tarif sebesar 1/20 dari nilai
perdagangan mereka. Tarif ini dikenakan karena (kalau mereka) orang-orang Islam tentu
bisa dipungut sedekah (zakat).
Adapun yang berkaitan dengan pelaku bisnis kafir mu‘âhid, maka orang tersebut
boleh dipungut harta sesuai dengan apa yang dinyatakan di naskah perjanjian. Adapun
ketentuan bagi pelaku bisnis kafir harbi adalah bahwa kita akan memungut tarif bea
masuk dari orang tersebut sesuai dengan apa yang dipungut negaranya dari pelaku bisnis
kita. Hanya saja, tarif bea masuk dari pelaku bisnis kafir harbi yang sepadan dengan tarif
bea masuk yang mereka kenakan atas kita itu hukumnya mubah saja, bukan wajib.
Artinya negara boleh memungut lebih rendah, atau saja boleh membebaskan komoditi
orang kafir harbi. Sebab pungutan tarif bea masuk tersebut tidak untuk mengumpulkan
harta, melainkan sekedar politik dalam bermuamalah dengan perlakuan yang sama.

2.8. Etika Jual Beli Dalam Islam


Jual beli berasal dari bahasa arab yaitu bai' artinya menjual, mengganti dan
menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam prakteknya, bahasa ini terkadang
digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata as-syira' (beli). Maka, kata albai'
berarti jual, tetapi sekaligus juga beli.
Menurut Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Gazy jual beli ialah memberikan hak
milik terhadap benda yang bernilai harta dengan jalan pertukaran serta mendapatkan ijin
syara' atau memberikan hak pemilikan manfaat yang diperbolehkan dengan jalan
selamanya serta dengan harga yang bernilai harta.
Menurut Sayyid Sabiq jual beli adalah tukar menukar harta atas dasar suka sama
suka (kerelaan) atau memindahkan milik dengan ganti menurut cara yang diijinkan oleh
agama atau yang dibenarkan.
Menurut Ulama Hanafiyah jual beli adalah pertukaran harta (benda) dengan harta
berdasarkan cara khusus (yang diperbolehkan). Menurut Ibnu Qudamah jual beli adalah

7
pertukaran harta dengan harta, untuk saling memiliki. Menurut Ulama Malikiyah, jual
beli ada yang berarti khusus dan umum. Jual beli dalam arti khusus adalah suatu perikatan
tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan.
Jual beli dalam arti yang umum adalah ikatan tukar-menukar sesuatu yang bukan
kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai daya tarik, penukarannnya
bukan emas dan bukan pula perak, bendanya dapat direalisir dan ada seketika, tidak
merupakan utang baik barang itu ada di hadapan si pembeli maupun tidak, barang yang
sudah diketahui sifat-sifat atau sudah diketahui terlebih dahulu.
Jual beli dalam Islam terdapat berbagai macam dan caranya, adapun jual beli dalam
Islam dapat dibagi menjadi 4 yaitu:
1. Bai‟al-Muqayadah yakni jual-beli barang dengan barang yang lazim disebut jual-
beli barter.
2. Bai‟al-Muthlak yaitu jual-beli barang dengan barang lain secara tangguh atau
menjual barang dengan tsaman secara muthlak, seperti dirham, dan rupiah.
3. Bai‟ al-Sharf yaitu menjual-belikan tsaman (alat pembayaran) dengan tsaman
lainnya, seperti dolar, dirham.
4. Bai al-Salam yaitu yaitu jual beli pesanan.
Pembatalan dalam jual beli bisa saja terjadi, adapun sebab terjadinya pembatalan
dalam jual beli yaitu:
1. Terjadinya cacat atau rusak, dan sebagainya yang dapat menurunkan kualitas pada
obyek barang yang akan diperjualbelikan.
2. Salah satu pihak membatalkanya meskipun tanpa persetujuan pihak lainya sebab
jual-beli adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela dari kedua belah pihak
yang tidak ada kemungkinan untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak
memungkinkan lagi. Hal ini menunjukkan pencabutan kerelaan jual-beli oleh salah
satu pihak.
3. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharuf, seperti gila dan lain
sebagainya.
4. Salah satu pihak diketahui memiliki sifat boros
5. Salah satu pihak meniggal dunia
6. Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta.

2.9. Sistem Kerja Sama Perdagangan Internasional


Asas perdagangan internasional dalam islam dibangun bukan berdasar pada
komoditinya, tetapi pada pemilik komoditinya. Atas dasar inilah, maka hukum-hukum
perdagangan luar negeri tidak ada hubungannya dengan komoditi dan dari mana
komoditi tersebut. Namun hukum-hukum tersebut hanya menyangkut pelaku bisnisnya.
Sebab hukum-hukum komoditi tersebut mengikuti hukum pemilik komoditinya. Oleh
karena itu, hukum yang berlaku untuk pemilik, akan berlaku pula untuk komoditi yang
dimilikinya. Selain itu, terkait dengan perdagangan internasional terdapat tiga kebijakan.
yaitu:
a. Tarif Impor
Tarif impor adalah pungutan terhadap barang-barang yang diimpor dan merupakan
kebijakan perdagangan yang paling tua. Pengenaan tarif impor di satu sisi

8
mengakibatkan produksi domestic akan meningkat sehingga impor menjadi turun.
Namun di sisi yang lain, peningkatan harga domestik dapat membebani
masyarakat. Oleh karena itu, dalam islam pengenaan tarif impor bersifat lebih
fleksibel (boleh dikenakan dan boleh tidak), tergantung pada kondisi mana yang
lebih menguntungkan masyarakat, sehingga tidak ada pihak yang merasa
dirugikan. Tarif impor dalam islam baru akan dikenakan kepada negara yang juga
mengenakan tarif dalam melakukan perdagangan internasional.
b. Kuota Impor
Merupakan pembatasan langsung atas jumlah barang yang boleh diimpor, dimana
kebijakan tersebut dalam ekonomi konvensional dimaksudkan untuk melindungi
produsen dalam negeri. Kuota impor dalam islam baru dapat dilakukan apabila
kuota tersebut benar-benar dapat mendatangkan manfaat bagi warga negara, tidak
ada pihak yang merasa dirugikan dengan adanya kuota tersebut, serta keuntungan
yang didapat dengan adanya kuota impor tidak hanya dinikmati oleh sebagian kecil
masyarakat, tetapi oleh sebagian besar warga negara.
c. Subsidi Ekspor
Merupakan salah satu kebijakan dalam bentuk keringanan pajak, pengembalian
pajak, fasilitas kredit dengan biaya ringan, dan lain-lain pada industry dalam negeri
dengan tujuan meningkatkan produksi dalam negeri, agar dapat dijual dengan
harga yang relative murah sehingga dapat meningkatkan daya saing terhadap
barang impor maupun dipasar ekspor sekaligus daoat menguntungkan konsumen
dalam negeri. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa subsidi ekspor
hanya menguntungkan warga (produsen) yang mengekspor barangnya ke luar
negeri, tetapi merugikan warga yang mengkonsumsi barang tersebut di dalam
negeri.
Perdagangan internasional, di negara manapun menjadi kebutuhan negara yang
mempunyai makna bagi perkembangan ekonomi negaranta. Sektor ini dalam
perekonomian nasional, selalu mendapat perhatian di negara manapun, sebab menjadi
sumber devisa dan sumber pertumbuhan ekonomi negara. Hal ini dikarenakan,
perdagangan internasional terjadi dengan menggunakan mata uang yang berbeda
sehingga berbagai mata uang asing diperdagangkan. Salah satu mekanisme ekonomi dan
keuangan islam yang dijadikan instrument untuk mendukung perdagangan internasional
adalah melalui instrument letter and credit yang dilakukan melalui produk perbankan
syariah. Letter and credit atau sering disingkat dengan L/C merupakan satu fasilitas atau
jasa yang diberikan lembaga ekonomi dari keuangan kepada nasabah dalam rangka
mempermudah dan memperlancar transaksi jual beli dalam suatu negara dengan
eksportir dari negara lain. Para ulama telah menetapkan bahwa dengan mengajukan
sejumlah argument normative sebagai dasar hukum transaksi menggunakan L/C dalam
perdagangan internasional.

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Telah dijelaskan di atas hal yang berkaitan dengan keluar-masuknya para pelaku
bisnis dan komoditinya ke dan dari Negara Islam. Adapun yang berkaitan dengan tarif
bea masuk perdagangan yang dibebankan atas komoditi tersebut, hukum syariah yang
berkaitan dengan masalah ini berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan para pelaku
bisnisnya, bukan perbedaan komoditinya.
Jika pelaku bisnis luar negeri adalah rakyat Negara Islam, baik Muslim maupun
ahludz-dzimmah, maka komoditi mereka secara mutlak tidak dibebani apa-apa. Baik itu
komoditi yang dimasukkan ke dalam Negara Islam, dan komoditi yang dikeluarkan ke
darul kufur. Adapun untuk ahludz-dzimmah, tidak dikenakan bea masuk, tetapi
dikenakan tarif untuk harta perdagangan mereka, yang dikenakan tarif sebesar perjanjian
mereka. Pada masa Umar ra., ahludz-dzimmah dikenakan tarif sebesar 1/20 dari nilai
perdagangan mereka. Tarif ini dikenakan karena (kalau mereka) orang-orang Islam tentu
bisa dipungut sedekah (zakat).

10
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/5247555/Sistem_Ekonomi_Syariah_dalam_Perdagangan_Luar_N
egeri (diakses pada tanggal 17 Desember 2021)
http://etheses.iainponorogo.ac.id/1907/1/Resta%20Ully%20Ginting%20Jawak.pdf (diakses
pada tanggal 26 Desember 2021)
http://repository.radenintan.ac.id/1133/3/BAB_II.pdf (diakses pada tanggal 26 Desember
2021)

11

Anda mungkin juga menyukai