Anda di halaman 1dari 39

HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH PENGANTAR HUKUM DAN


BISNIS SYARIAH

DOSEN PENGAMPU :

Nur Melinda Lestari, SE.i.,MH

DISUSUN OLEH :

Zaidan Alzaki (1907025026)

Sayid Akbar (1907025044)

Syifa ‘Ithriya (1907025036)

Yumni Silmina Putri (1907025071)

Tito Prasetio (1907025011)

Farisha Rihadah Putri (1907025057)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA

JAKARTA 2021

i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Penulis panjatkan puji syukur dengan berkat rahmat Allah SWT, yang
telah memudahkan Penulis dalam menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Shalawat
dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasulullah terakhir yang
diutus dengan membawa syari’ah yang mudah, penuh rahmat, dan membawa keselamatan
dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Makalah berjudul “Hukum Perdagangan Internasional” ini disusun untuk memenuhi


tugas mata kuliah Pengantar Hukum dan Bisnis Syariah. Penulis telah berusaha semaksimal
mungkin sesuai dengan kemampuan yang ada agar makalah ini dapat tersusun sesuai
harapan. Sesuai dengan fitrahnya, manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang tak luput
dari kesalahan dan kekhilafan, maka dalam makalah yang Penulis susun ini belum mencapai
tahap kesempurnaan.

Terakhir, Penulis mengucapkan Jazakumullah akhsanal jaza, kepada pihak-pihak yang


turut membantu dalam proses penyelesaian makalah ini, khususnya kepada Ibu Nur Melinda
Lestari yang telah memberikan tugas dan bimbingan dalam penyusunan makalah ini. Mudah-
mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua dalam kehidupan sehari-
hari. Adapun kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, Januari 2021

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB I.........................................................................................................................................5

A. Latar Belakang................................................................................................................5

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................7

BAB II........................................................................................................................................8

A. Pendekatan Hukum Perdagangan Internasional..............................................................8

a. Hubungan antara Hukum Perdagangan Internasional dan Bidang Hukum lainnya....8

b. Hukum Perdagangan Internasional Bersifat Interdisipliner........................................9

B. Prinsip Dasar Hukum Perdagangan Internasional...........................................................9

a. Prinsip Dasar Kebebasan Berkontrak..........................................................................9

b. Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda............................................................................10

c. Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase...........................................10

d. Prinsip Dasar Kebebasan Komunikasi (Navigasi)....................................................10

C. Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional......................................................11

a. Hukum perdagangan internasional dalam masa awal pertumbuhan.........................11

b. Hukum perdagangan internasional yang dicantumkan dalam hukum nasional........12

c. Lahirnya aturan-aturan hukum perdagangan internasional dan Munculnya Lembaga-


lembaga Internasional yang mengurusi Perdagangan Internasional.................................12

D. Subyek Hukum Dalam Perdagangan Internasional.......................................................14

a. Negara........................................................................................................................14

b. Organisasi Perdagangan Internasional......................................................................16

c. Individu......................................................................................................................18

E. Penyelesaian Sengketa Dalam Hukum Perdagangan Internasional..............................20

iii
a. Para Pihak dalam Sengketa.......................................................................................21

b. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa......................................................................23

c. Forum Penyelesaian Sengketa...................................................................................25

d. Hukum Yang Berlaku................................................................................................31

e. Pelaksanaan Putusan Sengketa Dagang.....................................................................34

BAB III.....................................................................................................................................38

Kesimpulan...........................................................................................................................38

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................xxxix

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan antarnegara atau
pemerintah negara dengan negara lain yang menjalani suatu hubungan perdagangan yang
sesuai kesepakatan antarkedua belah pihak yang melakukan perdagangan internasional
tersebut.

Perdagangan internasional adalah proses tukar-menukar yang didasarkan atas kehendak


sukarela dari masing-masing negara. Adapun motifnya adalah memperoleh manfaat
perdagangan atau gains off trade. Perdagangan merupakan kegiatan ekonomi yang sangat
penting saat ini, maka tidak ada negara-negara di dunia yang tidak terlibat di dalam
perdagangan, baik perdagangan antarregional, antarkawasan, ataupun antarnegara. Pengertian
perdagangan internasional merupakan hubungan kegiatan ekonomi antarnegara yang
diwujudkan dengan adanya proses pertukaran barang atau jasa atas dasar sukarela dan saling
menguntungkan. Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subjek hukum (pelaku
dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang internasional. Fakta yang sekarang ini
terjadi adalah perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk
menjadi makmur, sejahtera, dan kuat. Hal ini sudah banyak terbukti dalam sejarah
perkembangan dunia. Walaupun perkembangan bidang hukum berjalan dengan cepat, namun
ternyata masih belum ada kesepakatan tentang definisi untuk bidang hukum perdagangan
internasional. Hingga sekarang ini terdapat berbagai definisi yang satu sama lain berbeda,
yaitu :

1. Definisi Menurut Schmitthoff

Hukum perdagangan internasional adalah sekumpulan aturan yang mengatur


hubungan-hubungan komersial yang sifatnya perdata. Aturan- aturan hukum tersebut
mengatur transaksi-transaksi yang berbeda negara. Definisi di atas menunjukkan dengan jelas
bahwa aturan-aturan tersebut bersifat komersial. Dalam definisinya, Schmitthoff menegaskan
bahwa ruang lingkup bidang hukum ini tidak termasuk hubungan- hubungan komersial
internasional dengan ciri hukum publik. Termasuk dalam bidang hukum publik ini, yakni

5
aturan-aturan yang mengatur tingkah laku atau perilaku negara-negara dalam mengatur
perilaku perdagangan yang memengaruhi wilayahnya.

2. Definisi Menurut M. Rafiqul Islam

Dalam upayanya memberi batasan atau defnisi hukum perdagangan internasional, M.


Rafiqul Islam menekankan keterkaitan erat antara perdagangan internasional dan hubungan
keuangan. Adanya keterkaitan erat antara perdagangan internasional dan hubungan keuangan,
beliau mendefinisikan hukum perdagangan dan keuangan sebagai suatu kumpulan aturan,
prinsip, norma, dan praktik yang menciptakan suatu pengaturan untuk transaksi-transaksi
perdagangan internasional dan sistem pembayarannya, yang memiliki dampak terhadap
perilaku komersial lembaga-lembaga perdagangan.

3. Definisi Menurut Michelle Sanson

Sanson memberi batasan bidang ini sesuai dengan pengertian kata-kata dari bidang
hukum ini, yaitu hukum, dagang, dan internasional. Sanson membagi hukum perdagangan
internasional ini ke dalam dua bagian utama, yaitu hukum perdagangan internasional publik
dan hukum perdagangan internasional privat. Hukum internasional publik adalah hukum
yang mengatur perilaku dagang antarnegara. Sementara itu, hukum internasional privat
adalah hukum yang mengatur perilaku dagang secara orang perorangan di negara-negara
yang berbeda.

4. Definisi Menurut Hercules Booysen

Booysen, sarjana Afrika Selatan tidak memberi definisi secara tegas. Beliau
menyadari bahwa ilmu hukum sangatlah kompleks. Oleh karena itu, upaya untuk membuat
definisi bidang hukum, termasuk hukum perdagangan internasional, sangatlah sulit dan
jarang tepat. Oleh karena itu, dalam upayanya memberi definisi tersebut, Hercules Booysen
hanya mengungkapkan unsur-unsur dari definisi hukum perdagangan internasional. Menurut
Hercules Booysen ada tiga unsur, sebagai berikut:

a. Hukum perdagangan internasional dapat dipandang sebagai suatu cabang khusus dari
hukum internasional.
b. Hukum perdagangan internasional adalah aturan-aturan hukum internasional yang
berlaku terhadap perdagangan barang, jasa, dan perlindungan Hak Atas Kekayaan
Intelektual (HAKI).

6
c. Hukum perdagangan internasional terdiri dari aturan-aturan hukum nasional yang
memiliki atau berpengaruh langsung terhadap perdagangan internasional secara
umum. Karena sifat aturan-aturan hukum nasional ini, aturan-aturan tersebut
merupakan bagian dari hukum perdagangan internasional.

Sesuai dengan definisi di atas, perdagangan internasional adalah perdagangan yang


dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan
bersama. Pendud uk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan
individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara, atau pemerintah suatu negara
dengan pemerintah negara lain. Bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam
negeri, maka perdagangan internasional sangat lah rumit dan kompleks. Kerumitan ini
disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain:

a. Pembeli dan penjual terpisah oleh batas-batas kenegaraan;


b. Barang harus dikirim dan diangkut dari suatu negara ke negara lainnya melalui
bermacam peraturan, seperti pabean, yang bersumber dari pembatasan yang
dikeluarkan oleh masing-masing pemerintah;
c. Antara satu negara dengan negara lainnya terdapat perbedaan dalam bahasa, mata
uang, taksiran dan timbangan, hukum dalam perdagangan, dan sebagainya.

Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk
meningkatkan Gross Domestic Product (GDP). Meskipun perdagangan internasional telah
terjadi selama ribuan tahun dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik
baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong
industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendekatan hukum perdagangan Internasional ?
2. Apa prinsip dasar hukum perdagangan Internasional ?
3. Bagaimana perkembangan hukum perdagangan Internasional ?
4. Apa subyek hukum dalam perdagangan Internasional ?
5. Bagaimana penyelesaian sengketa dalam hukum perdagangan Internasional ?

7
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pendekatan Hukum Perdagangan Internasional

a. Hubungan antara Hukum Perdagangan Internasional dan Bidang Hukum lainnya


Hubungan antara hukum perdagangan internasional dan hukum lainnya yang terkait
dengan perdagangan internasional. Tampak luasnya bidang cakupan hukum perdagangan
internasional ini. Luasnya bidang cakupan membuat cakupan yang dikajinya sulit untuk tidak
tumpang tindih dengan bidang-bidang lainnya. Misalnya dengan hukum ekonomi
internasional, hukum transaksi bisnis internasional, hukum komersial internasional, dll.

Adanya keterkaitan antara hukum perdagangan internasional dengan hukum


internasional. Di sisi lain, penulis berpendirian bahwa hukum ekonomi internasional adalah
juga bagian atau cabang dari hukum internasional.

Masalahnya adalah di mana letak atau garis batas di antara hukum perdagangan dengan
bidang-bidang hukum lain disebut di atas, khususnya hukum ekonomi internasional. Ada
bidang-bidang yang sama-sama tunduk pada dua bidang hukum ini. Misalnya saja,
pembahasan mengenai subyek-subyek dan sumber-sumber dari kedua bidang hukum sedikit
banyak hampir sama.

Sementara ini pendekatan yang ditempuh untuk membedakan kedua bidang hukum ini
adalah melihat subyek hukum yang tunduk kepada kedua bidang hukum tersebut. Hukum
ekonomi internasonallebih banyak mengatur subyek hukum yang bersifat publik (policy),
seperti misalnya hubungan-hubungan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh negara atau
organisasi internasional. Sedangkan hukum perdagangan internasional lebih menekankan
kepada hubungan-hubungan hukum yang dilakukan oleh badan-badan hukum privat. Dalam
kenyataannya pendirian tersebut tidak begitu valid.

Hukum ekonomi internasional dalam kenyataannya juga mengatur kegiatan-kegiatan atau


transaksi-transaksi badan hukum privat atau yang terkait dengan kepentingan privat, misalnya
mengenai perlindungan dan nasionalisasi atau ekspropriasi perusahaan asing. Selain itu,

8
meskipun hukum ekonomi internasional mengatursubyek-subyek hukum publik atau negara,
namun aturan-aturan tersebut bagaimana pun juga akan berdampak pada individu atau
subyek-subyek hukum lainnya di dalam wilayah suatu negara.

b. Hukum Perdagangan Internasional Bersifat Interdisipliner


Karakteristik lain dari hukum perdagangan internasional ini adalah pendekatannya yang
interdisipliner. Untuk dapat memahami bidang hukum ini secara komprehensif, dibutuhkan
sedikit banyak bantuan disiplin-disiplin (ilmu) lain. Dalam bidang hukum ini terkait dengan
bidang pengangkutan (darat, udara dan khususnya laut). Hal ini membutuhkan bantuan dan
pemahaman disiplin ilmu pelayaran.

Keterkaitan dengan pembayaran dalam perdagangan internasional akan terkait dengan


praktik perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Hal ini membutuhkan bantuan dan
pemahaman disiplin ilmu perbankan dan keuangan.

Keterkaitan dengan perdagangan itu sendiri akan terkait dengan praktik dan teknik-teknik
perdagangan. Hal ini membutuhkan bantuan dan pemahaman ilmu praktik perdagangan.

Disiplin-disiplin ilmu lainnya yang terkait lainnya misalnya adalah teknologi, ekonomi.
Yang juga penting adalah ilmu politik, yaitu bagaimana kebijakan politik suatu negara yang
berpengaruh terhadap kebijakan dagang suatu negara.

B. Prinsip Dasar Hukum Perdagangan Internasional

a. Prinsip Dasar Kebebasan Berkontrak


Prinsip pertama, kebebasan berkontrak, sebenarnya adalah prinsip universal dalam
hukum perdagangan internasional. Setiap sistem hukum pada bidang hukum dagang
mengakui kebebasan para pihak ini untuk membuat kontrak-kontrak dagang (internasional).
Schmitthoff menanggapi secara positif kebebasan pertama ini. Beliau menyatakan:

“The autonomy of the parties’ will in the law of contract is the foundation on which
an autonomous law of international trade can be built. The national sovereign has,..., no
objection that in that area an autonomous law of international trade is developed by the
parties, provided always that that law respects in every national jurisdiction the limitations
imposed by public policy.”

Kebebasan tersebut mencakup bidang hukum yang cukup luas. Ia meliputi kebebasan
untuk melakukan jenis-jenis kontrak yang para pihak sepakati. Ia termasuk pula kebebasan

9
untuk memilih forum penyelesaian sengketa dagangnya. Ia mencakup pula kebebasan untuk
memilih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak, dll. Kebebasan ini sudah barang tentu
tidak boleh bertentangan dengan UU, kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan, dan lain-
lain persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing sistem hukum.

b. Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda

Prinsip kedua, pacta sunt servanda adalah prinsip yang mensyaratkan bahwa
kesepakatan atau kontrak yang telah ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya (dengan itikad baik). Prinsip ini pun sifatnya universal. Setiap sistem hukum di dunia
menghormati prinsip ini.

c. Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase


Prinsip ketiga, prinsip penggunaan arbitrase tampaknya terdengar agak ganjil. Namun
demikian pengakuan Goldštajn menyebut prinsip ini bukan tanpa alasan yang kuat. Arbitrase
dalam perdagangan internasional adalah forum penyelesaian sengketa yang semakin umum
digunakan. Klausul arbitrase sudah semakin banyak dicantumkan dalam kontrak-kontrak
dagang. Oleh karena itulah prinsip ketiga ini memang relevan.

Goldštajn menguraikan kelebihan dan alasan mengapa penggunaan arbitrase ini beliau
jadikan prinsip dasar dalam hukum perdagangan internasional:

“Moreover, to the extent that the settlement of differencesis referred to arbitration, a


uniform legal order is being created. Arbitration tribunals often apply criteria other than
those applied in courts. Arbitrators appear more ready to interpret rules freely, taking into
account customs, usage and business practice. Further, the fact that the enforcement of
foreign arbitral awards is generally more easy than the enforcement of foreign court
decisions is conducive to a preference for arbitration.”

d. Prinsip Dasar Kebebasan Komunikasi (Navigasi)


Di samping tiga prinsip dasar tersebut, prinsip dasar lainnya yang relevan adalah
prinsip dasar yang dikenal dalam hukum ekonomi internasonal, yaitu prinsip kebebasan untuk
berkomunikasi (dalam pengertian luas, termasuk di dalamnya kebebasan bernavigasi).
Komunikasi atau navigasi adalah kebebasan para pihak untuk berkomunikasi untuk keperluan
dagang dengan siapa pun juga dengan melalui berbagai sarana navigasi atau komunikasi, baik
darat, laut, udara, atau melalui sarana elektronik. Kebebasan ini sangat esensial bagi

10
terlaksananya perdagangan internasional. Aturan-aturan hukum (internasional) memfasilitasi
kebebasan ini.

Dalam berkomunikasi untuk maksud berdagang ini kebebasan para pihak tidak boleh
dibatasi oleh sistem ekonomi, sistem politik, atau sistem hukum. Bandingkan dengan
pendapat profesor Goldštajn di bawah ini ketika beliau membahas hubungan antara sistem
ekonomi dan politik dalam kaitannya dengan hukumperdagangan internasional:

“The law governing trade transactions is neither capitalist nor socialist; it is a means
to an end, and therefore, the fact that the beneficiaries of such transactions are different in
this or that country is no obstacle to the development of international trade. The law of
international trade is based on the general principles accepted in the entire world.”

Pernyataan terakhir Goldštajn di atas, yaitu bahwa hukum perdagangan internasional


didasarkan pada prinsip-prinsip umum yang diterima di seluruh dunia menyatakan seolah-
seolah hukum perdagangan internasional dapat diterima oleh sistem hukum di dunia.
Pendapat ini benar. Sarjana terkemuka lainnya, Profesor Tammer, memperkuat pernyataan
tersebut:

“The law of external trade of the countries of planned economy does not differ in its
fundamental principles from the law of external trade of other countries, such as, e.g.,
Austria or Switzerland. Consequently, international trade law specialists of all countries
have found without difficulty that they speak a ‘common language.”

C. Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional


Hukum perdagangan internasional telah ada sejak lahirnya negara dalam arti modern.
Sejak saat itu, hukum perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang cukup
pesat sesuai dengan perkembangan hubungan-hubungan perdagangan. Dilihat dari
perkembangan sumber hukumnya (dalam arti materil), maka perkembangan hukum
perdagangan internasional dapat dikelompokkan ke dalam 3 tahap, yakni:

a. Hukum perdagangan internasional dalam masa awal pertumbuhan.


Hukum perdagangan internasional lahir pada awalnya dari praktek para pedagang.
Hukum yang diciptakan oleh para pedagang ini lazim disebut pula sebagai lex mercatoria
(law of merchant).

Pada awal perkembangannya ini Lex Mercatoria tumbuh dari adanya 4 faktor berikut:

11
 lahirnya aturan-aturan yang timbul dari kebiasaan dalam berbagai pekan raya
(the law of the fairs);
 lahirnya kebiasaan-kebiasaan dalam hukum laut;
 lahirnya kebiasaan-kebiasaan yang timbul dari praktek penyelesaian sengketa-
sengketa di bidang perdagangan; dan
 berperannya notaris (public notary) dalam memberi pelayanan jasa-jasa
hukum(dagang).

b. Hukum perdagangan internasional yang dicantumkan dalam hukum nasional


Dalam tahap perkembangan ini, negara-negara mulai sadar perlunya pengaturan
hukum perdagangan internasional. Mereka lalu mencantumkan aturan-aturan perdagangan
internasional dalam kitab undang-undang hukum (perdagangan internasional) mereka.
Aturanaturan tersebut sedikit banyak adalah aturan-aturan yang mereka adopsi dari lex
mercatoria. Misalnya saja Perancis membuat Kitab Undang-undang Hukum Dagang-nya
(code de commerce) tahun 1807, Jerman menerbitkan Allgemeine Handelsgezetbuch tahun
1861, dll.

c. Lahirnya aturan-aturan hukum perdagangan internasional dan Munculnya


Lembaga-lembaga Internasional yang mengurusi Perdagangan Internasional.
Dalam perkembangan ketiga ini, aturan-aturan hukum perdagangan internasional lahir
sebagian besar karena dipengaruhi oleh semakin banyaknya berbagai perjanjian internasional
yang ditandatangani baik secara bilateral, regional, maupun multilateral.

Secara khusus tahap ketiga ini muncul secara signifikan setelah berakhirnya Perang
Dunia II. Salah satu perjanjian multilateral yang ditandangani pada masa ini adalah disepakati
lahirnya GATT tahun 1947. Tahap ketiga ini disebut juga dengan tahap “internationalism”.
Schmitthoff menyatakan sebagai berikut:

“We are beginning to rediscover the international character of commercial law and the
circle now contemplates itself: the general trend of commercial law everywhere is to move
away from the restrictions of national law to a universal, international conception of the law
of international trade.”

Sejak berdiri hingga dewasa ini aturan-aturan perdagangan GATT telah berkembang
dan mengalami pembangunan yang cukup penting. Bahkan dalam putaran perundingan tahun

12
1986-1994, negara-negara anggota GATT telah sepakat untuk membentuk suatu badan atau
lembaga internasional baru, yaitu WTO.

Perubahan dari GATT ke WTO berdampak luas terhadap bidang hukum perdagangan
internasional. Alasannya, bidang pengaturan yang tercakup di dalam WTO sekarang ini
adalah kompleks. Ia tidak semata-mata lagi mengatur tarif dan barang, tetapi juga mengatur
jasa, hak kekayaan intelektual, penanaman modal, lingkungan, dll.

Ciri kedua dalam perkembangan tahap ketiga ini yakni munculnya organisasi
internasional. Salah satu badan yang menonjol adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sebetulnya peran PBB di bidang perdagangan internasional tidaklah langsung. Peran PBB di
bidang ekonomi dan perdagangan ini termuat dalam pasal 1:3 Piagam PBB, yakni aturan
tentang tujuan PBB yakni mencapai kerjasama internasional di dalam antara lain
menyelesaikan masalah-masalah ekonomi internasional.

Tujuan-tujuan PBB di atas diupayakan pemenuhannya melalui berbagai langkah


berikut:

 Negara-negara anggota PBB mendirikan the United Nations Conference on Trade


and Development (UNCTAD) pada tahun 1964. Tujuan utamanya adalah untuk
memberikan kesempatan yang lebih besar kepada negara sedang berkembang
untuk ikut serta dalam merumuskan kebijakan-kebijakan perdagangan, dengan
memperhatikan kepentingan-kepentingan khusus negara-negara sedang
berkembang ini.
 Negara-negara anggota PBB mengesahkan the Charter of Economic Rights and
Duties of States pada tahun 1974 (serta disahkannya the Declaration and
Programme of Action on the Establishment of the New International Economic
Order). Pembentukan Piagam ini diawali dengan langkah Majelis Umum PBB
mengesahkan the International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights pada tahun 1966.

Dokumen-dokumen penting ini pada pokoknya mengakui dan memberi perlakuan


khusus kepada negara-negara sedang berkembang di bidang perdagangan, keuangan dan
penanaman modal.

13
Ciri ketiga yang juga menonjol adalah disepakatinya pendirian badan-badan ekonomi
regional di suatu kawasan region tertentu. Blok perdagangan regional yang mula-mula
membawa pengaaruh cukup luas adalah the European Single Market (1992) dan segera
diikuti oleh blok perdagangan Amerika Utara (The North American Free Trade Agreeement
atau NAFTA) (1994).

Di kawasan Asia Tenggara, negara-negara ASEAN mengikuti langkah serupa dengan


membentuk Asean Free Trade Area (AFTA). AFTA berlaku efektif sejak 1 Januari 2003.

Kecenderungan pembentukan kelompok-kelompok regional ini di satu sisi positif.


Namun di sisi lain organisasi-organisasi regional tersebut menimbulkan kekhawatiran dari
masyarakat internasional karena terdapatnya blok-blok perdagangan tersebut melahirkan
peraturan-peraturan regional eksklusif yang ternyata menyimpangi ketentuan-ketentuan
umum yang terdapat dalam GATT/WTO.

D. Subyek Hukum Dalam Perdagangan Internasional


Dalam aktivitas perdagangan internasional terdapat beberapa subyek hukum yang
berperan penting di dalam perkembangan hukum perdagangan internasional. Maksud subyek
hukum di sini adalah:

(1) Para pelaku (stake holders) dalam perdagangan internasional yang mampu
mempertahankan hak dan kewajibannya di hadapan badan peradilan; dan
(2) Para pelaku (stake holders) dalam perdagangan internasional yang mampu dan
berwenang untuk merumuskan aturan-aturan hukum di bidang hukum perdagangan
internasional.

Dari batasan tersebut sebagai tolok ukur, maka subyek hukum yang dapat tergolong ke
dalam lingkup hukum perdagangan internasional adalah negara, organisasi internasional,
individu, dan bank.

a. Negara
Negara merupakan subyek hukum terpenting di dalam hukum perdagangan
internasional. Sudah dikenal umum bahwa negara adalah subyek hukum yang paling
sempurna.

Peran Negara :

14
1) Pertama, ia satu-satunya subyek hukum yang memiliki kedaulatan. Berdasarkan
kedaulatan ini, negara memiliki wewenang untuk menentukan dan mengatur
segala sesuatu yang masuk dan keluar dari wilayahnya. Negara antara lain
berwenang membuat hukum (regulator) yang mengikat segala subyek hukum
lainnya (yaitu individu, perusahaan), mengikat benda dan peristiwa hukum yang
terjadi di dalam wilayahnya, termasuk perdagangan, di wilayahnya.
2) Kedua, negara juga berperan baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam pembentukan organisasi-organisasi (perdagangan) internasional di dunia,
misalnya WTO, UNCTAD, UNCITRAL, dll. Organisasi-organisasi
internasional di bidang perdagangan internasional inilah yang kemudian
berperan dalam membentuk aturan-aturan hukum perdagangan internasional.
3) Ketiga, peran penting negara lainnya adalah negara juga bersama-sama dengan
negara lain mengadakan perjanjian internasional guna mengatur transaksi
perdagangan di antara mereka. Contoh perjanjian seperti ini adalah perjanjian
Friendship, Commerce and Navigation, perjanjian penanaman modal bilateral,
perjanjian penghindaran pajak berganda, dll.
4) Keempat, negara berperan juga sebagai subyek hukum dalam posisinya sebagai
pedagang. Dalam posisinya ini, negara adalah salah satu pelaku utama dalam
perdagangan internasional. Dalamawal tulisan ini, negara dengan perusahaan
negaranya mengadakan transaksi dagang dengan negara lainnya. Negara
memiliki sumber daya alam, perkebunan, pertambangan, dll. Bahan-bahan alam
ini disamping dikelola untuk kebutuhan di dalam negeri juga diperdagangkan
(dijual) ke subyek hukum lainnya yang memerlukannya.

Dalam melaksanakan fungsinya ini, tidak jarang negara membuat badan-badan hukum
milik negara. Di tanah air misalnya, untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi dan memasarkan
hasil pertambangan minyak, negara mendirikan Pertamina. Untuk mengelola sumber daya air
untuk kepentingan rakyat negara mendirikan perusahaan air minum, dst.

Sebagai suatu institusi yang besar, negara membutuhkan teknologi, infrastruktur,


kendaraan, pesawat kenegaraan, sumbersumber kebutuhan yang dibutuhkan rakyatnya
(pengadaan barang dan jasa atau procurement). Untuk memenuhi semua ini, negara
membelinya dari para pihak yang menyediakannya (penjual atau supplier). Dengan demikian,
negara dapat bertindak sebagai pelaku dalam transaksi perdagangan.

15
Semua transaksi perdagangan tersebut tunduk pada aturanaturan hukum yang bentuk
dan muatan pengaturannya bergantung pada jenis transaksi. Manakala negara bertransaksi
dagang dengan negara lain, kemungkinan hukum yang akan mengaturnya adalah hukum
internasional. Manakala negara bertransaksi dengan subyek hukum lainnya, maka hukum
yang mengaturnya adalah hukum nasional (dari salah satu pihak).

b. Organisasi Perdagangan Internasional


1. Organisasi Internsional Antar Pemerintah (Publik)

Organisasi internasional yang bergerak di bidang perdagangan internasional


memainkan peran yang signifikan. Organisasi internasional dibentuk oleh dua atau lebih
ngara guna mencapai tujuan bersama. Untuk mendirikan suatu organisasi internasional perlu
dibentuk suatu dasar hukum yang biasanya adalah perjanjian internasional. Dalam perjanjian
inilah termuat tujuan, fungsi, dan struktur organisasi perdagangan internasional yang
bersangkutan.

Biasanya peran organisasi internasional dalam perdagangan internasional kurang


begitu signifikan. Memang organisasi internasional membeli kebutuhan-kebutuhannya dari
penjual (procurement). Misalnya komputer, peralatan kantor/administrasi, telekomunikasi,
transportasi, dll. Namun procurement organisasi internasional tidak terlalu besar
kuantitasnya. Dari segi hukum perdagangan internasional pun organisasi seperti ini lebih
banyak bergerak sebagai regulator.

Dalam kapasitasnya ini organisasi internasional lebih banyak mengeluarkan


peraturan-peraturan yang bersifat rekomendasi dan guidelines. Biasanya pun aturan-aturan
seperti rekomendasi atau guidelines tersebut lebih banyak ditujukan kepada negara. Jarang
dimaksudkan untuk mengatur individu.

Di antara berbagai organisasi internasional yang ada dewasa ini, organisasi


perdagangan internasional di bawah PBB, seperti UNCITRAL atau UNCTAD.

UNCITRAL adalah organisasi internasional yang berperan cukup penting dalam


perkembangan hukum perdagangan internasional.

Tujuan atau mandat utama badan ini adalah mendorong harmonisasi dan unifikasi
hukum perdagangan internasional secara progresif.

16
Dalam upayanya tersebut UNCITRAL disyaratkan juga untuk
mempertimbangkan kepentingan semua negara khususnya negara sedang berkembang
dalam mengembangkan perdagangan internasional secara ekstensif. Dalam teks
aslinya, mandat dalam Resolusi tahun 1966 tersebut berbunyi:

“With a mandate to further the progressive development of the law of internatonal


trade and in that respect to bear in mind the interests of all people, in particular those of
developing countries, in the extensive development of international trade.”

UNCITRAL misalnya, telah melahirkan Vienna Convention on the International Sale


of Goods (1980); Convention on the international Multi-moda Transport (1980); UNCITRAL
Arbitration Rules (1976); UNCITRAL Model Law on Arbitration (1985), dll.

UNCTAD telah melahirkan berbagai kesepakatan internasional di bidang


perdagangan yang juga cukup penting, antara lain misalnya: UN Convention on a Code of
Conduct for Liner Conference (1974); GSP (1968); UN Convention on Carriage of Goods by
Sea (1978).

Di luar keluarga PBB, organisasi perdagangan internasional yang dewasa ini


berpengaruh luas adalah GATT (1947). GATT dengan ke-38 pasalnya semula hanya
mengatur tarif dan perdagangan. Perannya pada tahun 1994 digantikan oleh WTO.

Lahirnya WTO, bidang pengaturannya menjadi sangat luas. Hampir semua sektor
perdagangan, jasa, penanaman modal, hingga hak atas kekayaan intelektual, menjadi bidang
cakupan pengaturan (perjanjian) WTO.

2. Organisasi Internasional Non-Pemerintah

Di samping organisasi internasional antar pemerintah di atas, terdapat subyek hukum


lainnya yang juga cukup penting yaitu NGO (Non-Governmental Organization) swasta (non-
pemerintah atau yang kerap kali disebut pula dengan LSM internasional).

NGO Internasional dibentuk oleh pihak swasta (pengusaha) atau asosiasi dagang.
Peran penting NGO dalam mengembangkan aturan-aturan hukum perdagangan internasional
tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Misalnya, ICC (International Chamber of
Commerce atau Kamar Dagang Internasional), telah berhasil merancang dan melahirkan
berbagai bidang hukum perdagangan dan keuangan internasional, misalnya: INCOTERMS,

17
Arbitration Rules dan Court of Arbitration, serta Uniform Customs and Practices for
Documentary Credits (UCP).

Khusus untuk UCP, misalnya, aturan-aturannya sekarang sudah menjadi acuan hukum
sangat penting bagi pengusaha dalam melaksanakan transaksi perdagangan internasional.
Aturan-aturan UCP yang terkait dengan sistem pembayaran melalui perbankan telah ditaati
dan dihormati oleh sebagian besar pengusaha-pengusaha besar di dunia.

Gambaran lainnya adalah ICC Arbitration Rules. Banyak pengusaha besar di dunia
telah memanfaatkan aturan arbitrase ICC untuk menyelesaikan sengketa-sengketa dagang
mereka. Dalam klausul-klausul kontrak dagang internasional, para pengusaha telah cukup
banyak mencantumkan klausul arbitrase dengan mengacu kepada ICC Arbitration Rules
untuk hukum acara badan arbitrasenya

c. Individu
Individu atau perusahaan adalah pelaku utama dalam perdagangan internasional.
Adalah individu yang pada akhirnya akan terikat oleh aturan-aturan hukum perdagangan
internasional. Selain itu, aturan-aturan hukum yang dibentuk oleh negara memiliki tujuan
untuk memfasilitasi perdagangan internasional yang dilakukan individu.

Dibanding dengan negara atau organisasi internasional, status individu dalam hukum
perdagangan internasional tidaklah terlalu penting. Biasanya individu dipandang sebagai
subyek hukum dengan sifat hukum perdata (legal persons of a private law nature).

Individu itu sendiri hanya (akan) terikat oleh ketentuanketentuan hukum nasional
yang negaranya buat. Karena itu individu tunduk pada hukum nasionalnya (tidak pada aturan
hukum perdagangan internasional). Dia pun hanya dapat mempertahankan hak dan
kewajibannya yang berasal dari hukum nasionalnya tersebut di hadapan badan-badan
peradilan nasional.

Apabila individu merasa bahwa hak-hak dalam bidang perdagangannya terganggu


atau dirugikan, maka yang dapat ia lakukan adalah meminta bantuan negaranya untuk
memajukan klaim terhadap negara yang merugikannya ke hadapan badan-badan m
nasionalnya tersebut di hadapan badan-badan peradilan nasional

Konvensi ICSID mengakui hak-hak individu untuk menjadi pihak di hadapan badan
arbitrase ICSID. Namun demikian hak ini bersifat terbatas. Pertama, sengketanya hanya

18
dibatasi untuk sengketa-sengketa di bidang penanaman modal yang sebelumnya tertuang
dalam kontrak.

Kedua, negara dari individu yang bersangkutan harus juga disyaratkan untuk telah
menjadi anggota Konvensi ICSID (Konvensi Washington 1965). Persyaratan ini sifatnya
mutlak. RI telah meratifikasi dan mengikatkan diri terhadap Konvensi ICSID melalui UU
Nomor 5 tahun 1968.

Status individu sebagai subyek hukum perdagangan internasional tetaplah tidak boleh
dipandang kecil. Aturan-aturan di bidang perdagangan yang mereka buat sendiri kadang-
kadang memiliki kekuatan mengikat seperti halnya hukum nasional.

Contoh nyata adalah aturan-aturan yang tergolong ke dalam Lex Mercatoria atau
hukum para pedagang. Salah satu wujudnya, seperti telah diutarakan di atas, adalah the
Uniform Customs and Practice for Documentay Credit (UCP). Meskipun UCP tidak
diundangkan sebagaimana layaknya hukum nasional, namun para pengusaha sangat
menghormati dan menaati ketentuan-ketentuan dalam UCP.

Disebutkan di atas bahwa individu adalah subyek hukum dengan sifat hukum perdata
(legal persons of a private law nature). Subyek hukum lainnya yang termasuk ke dalam
kategori ini adalah (a) perusahaan multinasional; dan (b) bank.

1. Perusahaan Multinasional

Perusahaan multinasional (MNCs atau Multinational Corporations) telah lama diakui


sebagai subyek hukum yang berperan penting dalam perdagangan internasional. Peran ini
sangat mungkin karena kekuatan finansial yang dimilikinya. Dengan kemampuan
finansialnya, hukum (perdagangan) internasional berupaya mengaturnya.

Pasal 2 (2) (b) Piagam Hak dan Kewajiban Ekonomi Negaranegara antara lain
menyebutkan bahwa MNCs tidak boleh campur tangan terhadap masalah-masalah dalam
negeri dari suatu negara.

Pasal 2 (2) (b) Piagam antara lain berbunyi sebagai berikut: “... Transnational corporation
shall not intervene in the internal affairs of a host State.”

Alasan pengaturan ini tampaknya masuk akal. Tidak jarang MNCs seperti Freport
McMoran Company (yang beroperasi di Papua), Mitsubishi, atau MNCs di bidang

19
telekomunikasi, ABC, CNN, Singapore Telecommunication (Singtel yang memiliki saham
mayoritas PT Indosat), sedikit banyak dapat mempengaruhi situasi dan kondisi politik dan
ekonomi di Indonesia. Kekuatan dan kekayaan yang sangat besar ini memang dapat
berdampak yang cukup besar.

2. Bank

Yang membuat subyek hukum ini penting adalah:

a) peran bank dalam perdagangan internasional dapat dikatakan sebagai pemain


kunci. Tanpa bank, perdagangan internasionalmungkin tidak dapat berjalan.
b) Bank menjembatani antara penjual dan pembeli yang satu sama lain mungkin saja
tidak mengenal karena mereka berada di negara yang berbeda. Perannya di sini
adalah peran bank dalam memfasilitasi pembayaran antara penjual dan pembeli.
c) Bank berperan penting dalam menciptakan aturan-aturan hukum dalam
perdagangan internasional khususnya dalam mengembangkan hukum perbankan
internasional. Salah satu instrumen hukum yang bank telah kembangkan adalah
sistem pembayaran dalam transaksi perdagangan internasional. Misalnya adalah
terbentuknya ‘kredit berdokumen’ yang disebut ‘documentary credit’. Mekanisme
dan praktek ini kemudian dikodifikasi dan dirumuskan secara sistematis oleh ICC
menjadi UCP (di atas).

E. Penyelesaian Sengketa Dalam Hukum Perdagangan Internasional


Transaksi-tansaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya. Dari berupa hubungan
jual beli barang, pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang dan jasa berdasarkan
suatu kontrak, dll. Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan sengketa.
Umumnya sengketa-sengketa dagang kerap didahului oleh penyelesaian oleh negosiasi.
Manakala cara penyelesaian ini gagal atau tidak berhasil, barulah ditempuh cara-cara lainnya
seperti penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase.

Penyerahan sengketa baik kepada pengadilan maupun ke arbitrase kerap kali


didasarkan pada suatu perjanjian di antara para pihak. Langkah yang biasa ditempuh adalah
dengan membuat suatu perjanjian atau memasukkan suatu klausul penyelesaian sengketa ke
dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat, baik ke pengadilan atau ke badan arbitrase.

20
Yang menjadi dasar hukum bagi forum atau badan penyelesaian sengketa yang akan
menangani sengketa adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan inilah hukum. Kesepakatan
tersebut diletakkan baik pada waktu kontrak ditandatangani atau setelah sengketa timbul.

Biasanya pula kelalaian para pihak untuk menentukan forum ini akan berakibat pada
kesulitan dalam penyelesaian sengketanya. Karena, dengan adanya kekosongan pilihan forum
tersebut akan menjadi alasan yang kuat bagi setiap forum untuk menyatakan dirinya
berwewenang untuk memeriksa suatu sengketa.

Lazimnya dalam sistem hukum (Common Law) dikenal dengan konsep 'long arm'
jurisdiction. Dengan konsep ini, pengadilan dapat menyatakan kewenangannya untuk
menerima setiap sengketa yang dibawa ke hadapannya meskipun hubungan antara pengadilan
dengan sengketa tersebut tipis sekali. Misalnya, badan peradilan di Amerika Serikat dan
Inggris kerapkali selalu menerima sengketa yang para pihak serahkan kehadapannya
meskipun hubungan atau keterkaitan sengketa dengan badan peradilan sangatlah kecil.
Misalnya, pihak termohon memiliki usaha di Amerika Serikat atau dalam kontrak tersebut
secara tegas atau diam-diam mengacu kepada salah satu negara bagian Amerika Serikat atau
hukum Inggris.

Di samping forum pengadilan atau badan arbitrase, para pihakdapat pula


menyerahkan sengketanya kepada cara alternatif penyelesaian sengketa, yang lazim dikenal
sebagai ADR (alternative dispute resolution) atau APS (alternatif penyelesaian sengketa).

Pengaturan alternatif di sini dapat berupa cara altrnatif di samping pengadilan. Bisa
juga berarti alternatif penyelesaian secara umum, yaitu berbagai alternatif penyelesaian
sengketa yang para pihak dapat gunakan, termasuk alternatif penyelesaian melalui
pengadilan.

Biasanya pula dalam klausul tersebut dimasukkan atau dinyatakan pula hukum yang
akan diterapkan oleh badan penyelesaian sengketa.

a. Para Pihak dalam Sengketa


Karena sifat dari hukum perdagangan internasional adalah lintas batas, pembahasan pun
dibatasi hanya antara 1. pedagang dan pedagang; dan 2. Pedagang dan negara asing.

1. Sengketa antara pedagang dan pedagang.

21
Sengketa antara dua pedagang adalah sengketa yang sering dan paling banyak terjadi.
Sengketa seperti ini terjadi hampir setiap hari. Sengketanya diselesaikan melalui berbagai
cara. Cara tersebut semuanya bergantung pada kebebasan dan kesepakatan para pihak.

Kesepakatan dan kebebasan akan pula menentukan forum pengadilan apa yang akan
menyelesaian sengketa mereka. Kesepakatan dan kebebasan pula yang akan menentukan
hukum apa yang akan diberlakukan dan diterapkan oleh badan pengadilan yang mengadili
sengketanya.

Kesepakatan dan kebebasan para pihak adalah esensil. Hukum menghormati kesepakatan
dan kebebasan tersebut. Sudah barang tentu, kesepakatan dan kebebasan tersebut ada batas-
batasnya. Biasanya batas-batas tersebut adalah tidak melanggar UU dan ketertiban umum.

2. Sengketa antara pedagang dan negara asing

Sengketa antara pedagang dan negara juga bukan merupakan kekecualian. Kontrak-
kontrak dagang antara pedagang dan negara sudah lazim ditandatangani. Kontrak-kontrak
seperti ini biasanya dalam jumlah (nilai) yang relatif besar. Termasuk di dalamnya adalah
kontrak-kontrak pembangunan (development contracts).

Misalnya, kontrak di bidang pertambangan. yang menjadi masalah adalah adanya konsep
imunitas negara yang diakui hukum internasional. Dengan adanya konsep iimunitas inilah
yang sedikit banyak berpengaruh terhadap keputusan pedagang untuk menentukan
penyelesain sengketanya. Masalah utamnya adalah dengan adanya konsep imunitas ini, suatu
negara dalam situasi apapun, tidak akan pernah dapat diadili di hadapan badan-badan
peradilan asing.

Namun demikian hukum internasional ternyata fleksibel. Hukum internasional tidak


semata-mata mengakui atribut negara sebagai subyek hukum internasional yang sempurna
(par excellence). Hukum internasional menghormati pula individu (pedagang) sebagai subyek
hukum internasional terbatas.

Karena itu dalam hukum internasional berkembang pengertian jure imperii dan jure
gestiones. Yang pertama adalah tindakantindakan negara di bidang publik dalam
kapasitasnya sebagai suatu negara yang berdaulat. Karena itu tindakan-tindakan seperti itu
tidak akan pernah dapat diuji atau diadili di hadapan badan peradilan.

22
Konsep kedua, jure gesiones, yaitu tindakan-tindaka negara di bidang keperdataan atau
dagang. Karena itu, tindakan-tindakan seperti itu tidak lain adalah tindakan-tindakan negara
dalam kapasitasnya seperti orang-perorangan (pedagang atau privat). Sehingga tindakan-
tindakan seperti itu dapat dianggap sebagai tindakan-tindakan sebagaimana layaknya para
pedagang biasa. Karena itu tindakan-tindakan seperti itu yang kemudian menimbulkan
sengketa, dapat saja diselesaikan di hadapan badan-badan peradilan umum, arbitrase, dll.

Sebaliknya negara-negara yang mengajukan bantahannya bahwa suatu badan peradilan


tidak memiliki jurisdiksi untuk mengadili neggara sebagai pihak dalam sengketa bisnis,
biasanya ditolak. Badan peradilan umumnya menganut adanya konsep jure gestiones ini.

b. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa


Dalam hukum perdagangan internasional, dapat dikemukakan di sini prinsip-prinsip
mengenai penyelesaian sengketa perdagangan internasional.

1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)

Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian


sengketa perdagangan internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar untuk dilaksanakan
atau tidaknya suatu proses penyelesaian sengketa.

Prinsip ini pula dapat menjadi dasar apakah suatu proses penyelesaian sengketa yang
sudah berlangsung diakhiri. Jadi prinsip ini sangat esensial. Badan-badan peradilan (termasuk
arbitrase) harus menghormati apa yang para pihak sepakati. Termasuk dalam lingkup
pengertian kesepaktan ini adalah:

1) bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya menipu,
menekan atau menyesatkan pihak lainnya;
2) bahwa perubahan atas kesepakatan harus berasal dari kesepakatan kedua belah
pihak. Artinya, pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap muatan
kesepakatan harus pula berdasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.

2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa

Prinsip penting kedua adalah prinsip dimana para pihak memiliki kebebasan penuh
untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan
(principle of free choice of means). Prinsip ini termuat antara lain dalam Pasal 7 The
UNCITRAL

23
Model Law on International Commercial Arbitration. Pasal ini memuat definisi
mengenai perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan sengketa ke suatu badan arbitrase.
Menurut pasal ini penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau
perjanjian para pihak. Artinya, penyerahan suatu sengketa ke badan arbitrase haruslah
berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk memilihnya.

3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum

Prinsip penting lainnya adalah prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan
sendiri hukum apa yang akan diterapkan (bila sengketanya diselesaikan) oleh badan peradilan
(arbitrase) terhadap pokok sengketa. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini
termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).

Yang terakhir ini adalah sumber di mana pengadilan akan memutus sengketa
berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kepatutan atau kelayakan suatu penyelesaian sengketa.
Contoh kebebasan memilih ini yang harus dihormati oleh badan peradilan adalah pasal 28
ayat (1) UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration:

“The arbitral tribunal shall decide the dispute in accordance with such rules of law as
are chosen by the parties as applicable to the substance of the dispute. Any designation of the
law or legal system of a given State shall be construed, unless otherwise expressed, as
directly referring to the substantive law of that State and not to its conflict of laws rules.”

4. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)

Prinsi itikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral
dalam penyelesaian sengketa. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik
dari para pihak dalam menyelesaikan sengketanya.

Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini tercemin dalam dua tahap. Pertama, prinsip
itikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa yang dapat mempengaruhi
hubungan-hubungan baik di antara negara.

Kedua, prinsip ini disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikan
sengketanya melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum
(perdagangan) internasional, yakni negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau
caracara pilihan para pihak lainnya.

24
5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies

Prinsip Exhaustion of Local Remedies sebenarnya semula lahir dari prinsip hukum
kebiasaan internasional. Dalam upayanya merumuskan pengaturan mengenai prinsip ini,
Komisi Hukum Internasional PBB (International Law Commission) memuat aturan khusus
mengenai prinsip ini dalam pasal 22 mengenai ILC Draft Articles on State Responsibility.
Pasal 22 ini menyatakan sebagai berikut:

“When the conduct of a State has created a situation not in conformity with the result
of it by an international obligation concerning the treatment too be accorded to aliens,
whether natural or juridical persons, but the obligation allows that this or an equivalent result
may nevertheless be achieved by subsequent conduct of the State, there is a breach of the
obligation only if the aliens concerned have exhausted the effective local remedies available
to them without obtaining the treatment called for by the obligation or, where that is not
possible, an equivalent treatment.”

Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum para
pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional, maka langkah-langkah
penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional suatu negara harus
terlebih dahulu ditempuh (exhausted). Dalam sengketa the Interhandel Case (1959),
Mahkamah Internasional menegaskan:

"Before resort may be had to an international court... the state where the violation
occured should have an opportunity to redress it by its own means, within the framework of
its own domestic legal system."

c. Forum Penyelesaian Sengketa


Forum penyelesaian sengketa dalam hukum perdagangan internasional pada
prinsipnya juga sama dengan forum yang dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa
(internasional) pada umumnya. Forum tersebut adalah negosiasi, penyelidikan fakta-fakta
(inquiry), mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian melalui hukum atau melalui pengadilan,
atau cara-cara penyelesaian sengketa lainnya yang dipilih dan disepakati para pihak.

Cara-cara sengketa di atas telah dikenal dalam berbagai negara dan sistem hukum di
dunia. Cara-cara tersebut dipandang sebagai bagian integral dari penyelesaian sengketa yang
diakui dalam sistem hukumnya. Misalnya, hukum nasional Ri yang dapat ditemukan dalam

25
pasal 6 UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Negara lainnya adalah Amerika Serikat, Inggris dan Australia.

Berikut adalah uraian singkat mengenai forum-forum tersebut. Tidak semua forum
dibahas, tetapi akan dibatasi pada negosiasi, mediasi, konsiliasi, pengadilan dan arbitrase.
Sedangkan penyelidikan fakta (inquiry) atau cara-cara lainnya yang para pihak sepakati tidak
termasuk dalam bahasan.

1. Negosiasi

Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua
digunakan. Penyelesaian melalui negosiasi merupakan cara yang paling penting. Banyak
sengketa diselesaikan setiap hari oleh negosiasi ini tanpa adanya publisitas atau menarik
perhatian publik.

Alasan utamanya adalah karena dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi
prosedur penyelesaian sengketanya. Setiap penyelesaiannya pun didasarkan pada kesepakatan
atau konsensus para pihak.

Senada dengan itu Kohona mengatakan bahwa negosiasi adalah "an efficacious means
of settling disputes relating to an agreement, because they enable parties to arrive at
conclusions having regard to the wishes of all the disputants."

Kelemahan utama dalam penggunaan cara ini dalam menyelesaikan sengketa adalah:
pertama, manakala para pihak berkedudukan tidak seimbang. Salah satu pihak kuat, yang lain
lemah. Dalam keadaan ini, salah satu pihak kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak
lainnya. Hal ini acapkali terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan
sengketanya di antara mereka.

Kelemahan kedua adalah bahwa proses berlangsungnya negosiasi acapkali lambat dan
bisa memakan waktu lama. Ini terutama karena sulitnya permasalahan-prmasalahan yang
timbul di antara para pihak. Selain itu jarang sekali adanya persyaratan penatapan batas
waktu bagi para pihak untuk menyelesaian sengketanya melalui negosiasi ini.

Kelemahan ketiga, adalah manakala suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya.
Keadaan ini dapat mengakibatkan proses negosiasi ini menjadi tidak produktif.

26
Mengenai pelaksanaan negosiasi, prosedur-prosedur yang terdapat di dalamnya perlu
dibedakan sebagai berikut: pertama, negosiasi digunakan manakala suatu sengketa belum
lahir (disebut pula sebagai konsultasi); dan kedua, negosiasi digunakan manakala suatu
sengketa telah lahir, maka prosedur negosiasi ini merupakan proses penyelesaian sengketa
oleh para pihak (dalam arti negosiasi).

2. Konsiliasi

Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan
pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketanya secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit
untuk dibedakan.

Istilahnya acapkali digunakan dengan bergantian. Namun menurut Behrens, ada


perbedaan antara kedua istilah ini: konsiliasi lebih formal daripada mediasi.

Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seroang individu atau suatu badan yang disebut
dengan badan atau komisi konsiliasi. Komisi konsiliasi bisa yang sudah terlembaga atau ad
hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratanpersyaratan penyelesaian yang
diterima oleh para pihak. Namun putusannya tidaklah mengikat para pihak.

Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap: tahap tertulis dan
tahap lisan. Pertama, sengketa (yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan
konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para
pihak dapat hadir pada tahap pendengaran tersebut, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya.

Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator atau badan konsiliasi akan


menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan-usulan
penyelesaian sengketanya. Sekali lagi, usulan ini sifatnya tidaklah mengikat. Karenanya
diterima tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak.

Contoh komisi konsiliasi yang terlembaga adalah badan yang dibentuk oleh Bank
Dunia untuk menyelesaikan sengketa-sengketa penanaman modal asing, yaitu the ICSID
Rules of Procedure for

Conciliaiton Proceedings (Conciliaiton Rules). Namun dalam prakteknya,


penggunaan cara ini kurang populer. Sejak berdiri (1966), badan konsiliasi ICSID hanya
menerima dua kasus. Kasus pertama diterima pada 5 Oktober 1982. (Jadi selama 16 tahun
kosong). Namun sebelum badan konsiliasi terbentuk, para pihak sepakat mengakhiri

27
persengketaannya. Kasus kedua yaitu Tesoro Petroleum Corp. v. Government of Trinidad and
Tobago diterima tahun 1983.

Kasus ini berhasil diselesaikan pada tahun 1985 setelah para pihak sepakat untuk
menerima usulan-usulan yang diberikan oleh konsiliator.

3. Arbitrase.

Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral.
Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase sementara (ad hoc). Badan
arbitrase dewasa ini sudah semakin populer. Dewasa ini arbitrase semakin banyak digunakan
dalam menyelesaikan sengketa-sengketa dagang nasional maupun internasional. Adapun
alasan utama mengapa badan arbitrase ini semakin banyak dimanfaatkan adalah sebagai
berikut:

1) kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang pertama dan


terpenting adalah penyelesaiannya yang relatif lebih cepat daripada proses
berperkara melalui pengadilan. Dalam arbitrase tidak dikenal upaya banding,
kasasi atau peninjauan kembali seperti yang kita kenal dalam sistem peradilan
kita. Putusan arbitrase sifatnya final dan mengikat. Kecepatan penyelesaian ini
sangat dibutuhkan oleh dunia usaha.
2) Keuntungan lainnya dari penyelesaian sengketa melalui arbitraseini adalah
sifat kerahasiaannya. Baik kerahasiaan mengenai persidangannya maupun
kerahasiaan putusan arbitrasenya.
3) Dalam penyelesaian melalui arbitrase, para pihak memiliki kebebasan untuk
memilih ‘hakimnya’ (arbiter) yang menurut mereka netral dan akhli atau
spesialis mengenai pokok sengketa yang mereka hadapi. Pemilihan arbiter
sepenuhnya berada pada kesepakatan para pihak. Biasanya arbiter yang dipilih
adalah mereka yang tidak saja ahli tetapi juga ia tidak selalu harus ahli hukum.
Bisa saja ia menguasai bidang-bidang lainnya. Ia bisa insinyur, pimpinan
perusahaan (manajer), ahli asuransi, ahli perbankan, dll.
4) Keuntungan lainnya dari badan arbitrase ini adalah dimungkinkannya para
arbiter untuk menerapkan sengketanya berdasarkan kelayakan dan kepatutan
(apabila memang para pihak menghendakinya).

28
5) Dalam hal arbitrase internasional, putusan arbitrasenya relatif lebih dapat
dilaksanakan di negara lain dibandingkan apabila sengketa tersebut
diselesaikan melalui misalnya pengadilan. Hal ini dapat terwujud antara lain
karena dalam lingkup arbitrase internasional ada perjanjian khusus mengenai
hal ini, yaitu Konvensi New York 1958 mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan
Putusan Arbitrase Asing.

Perjanjian Arbitrase

Dalam praktik, biasanya penyerahan sengketa ke suatu badan peradilan tertentu,


termasuk arbitrase, termuat dalam klausul penyelesaian sengketa dalam suatu kontrak.
Biasanya judul klausul tersebut ditulis secara langsung dengan ‘Arbitrase’. Kadang-kadang
istilah lain yang digunakan adalah ‘choice of forum’ atau ‘choice of jurisdiction’.

Kedua istilah tersebut mengandung pengertian yang agak berbeda. Istilah choice of
forum berarti pilihan cara untuk menadili sengketa, dalam hal ini pengadilan atau badan
arbitrase.

Istilah choice of jurisdiction berarti pilihan tempat dimana pengadilan memiliki


kewenangan untuk menangani sengketa. Tempat yang dimaksud misalnya Inggris, Belanda,
Indonesia, dll.

Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu
submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir.
Alternatif lainnya, atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian
sebelum sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause).

Baik submission clause atau arbitration clause harus tertulis. Syarat ini sangat
esensial. Sistem hukum nasional dan internasional mensyaratkan ini sebagai suatu syarat
utama untuk arbitrase. Dalam hukum nasional kita, syarat ini tertuang dalam pasal 1 (3) UU
Nomor 3 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam
instrumen hukum internasional, termuat dalam Pasal 7 ayat (2) UNCITRAL Model Law on
International Commercial Arbitration 1985, atau pasal II Konvensi New York 1958. Yang
perlu ditekankan di sini adalah bahwa klausul arbitrase melahirkan jurisdiksi arbitrase.
Artinya, klausul tersebut memberi kewenangan kepada arbitrator untuk menyelesaikan

29
sengketa. Apabila pengadilan menerima suatu sengketa yang di dalam kontraknya terdapat
klausul arbitrase, maka pengadilan harus menolak untuk menangani sengketa.

c. Lembaga-lembaga Arbitrase

Peran arbitrase difasilitasi oleh adanya lembaga-lembaga arbitrase internasional


terkemuka. Badan-badan tersebut misalnya adalah the London Court of International
Arbitration (LCIA), the Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce
(ICC) dan the Arbitration Institute of the Stockholm Chamber of Commerce (SCC).

Di samping kelembagaan, pengaturan arbitrase sekarang ini ditunjang pula oleh


adanya sutau aturan berabitrase yang menjadi acuan bagi banyak negara di dunia, yaitu
Model Law on International Commercial Arbitration yang dibuat oleh the United Nations
Commission on International Trade Law (UNCITRAL).

4. Pengadilan (Nasional dan Internasional)

Metode yang memungkinkan untuk menyelesaikan sengketa selain cara-cara tersebut di


atas adalah melalui pengadilan nasional atau internasional. Penggunaan cara ini biasanya
ditempuh apabila caracara penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil.

Penyelesaian sengketa dagang melalui badan peradilan biasanya hanya dimungkinkan


manakala para pihak sepakat. Kesepakatan ini tertuang dalam klausul penyelesaian sengketa
dalam kontrak dagang para pihak. Dalam klausul tersebut biasanya ditegaskan bahwa
manakala timbul sengketa dari hubungan dagang mereka, maka mereka sepakat untuk
menyerahkan sengketanya kepada suatu pengadilan (negeri) suatu negara tertentu.

Kemungkinan kedua, para pihak dapat menyerahkan sengketanya kepada badan


pengadilan internasional. Salah satu badan peradilan yang menangani sengketa dagang ini
misalnya saja adalah WTO. Namun perlu ditekankan di sini, WTO hanya menangani
sengketa antar negara anggota WTO. Umumnya pun sengketanya lahir karena adanya suatu
pihak (pengusaha atau negara) yang dirugikan karena adanya kebijakan perdagangan negara
lain anggota WTO yang merugikannya.

Alternatif badan peradilan lain adalah Mahkamah Internasional (International Court of


Justice). Namun penyerahan sengketa ke Mahkamah Internasional, menurut hasil pengamatan
beberapa sarjana, kurang begitu diminati oleh negara-negara.

30
d. Hukum Yang Berlaku
Masalah hukum yang akan diberlakukan atau diterapkan oleh badan peradilan
termasuk arbitrase adalah salah satu masalah krusial dalam hukum kontrak internasional,
termasuk dalam hukum perdagangan internasional. Masalahnya adalah hukum yang berlaku
ini menjadi penentu kepastian hukum terutama bagi badan peradilan bahwa ia telah
menerapkan hukumnya dengan benar. Dalam hal ini, badan peradilan tidak mengambil jalan
pintas dalam menerapkan suatu hukum terhadap suatu sengketa yang dibawa ke hadapannya.

Perlu ditegaskan di sini bahwa pilihan hukum (choice of law, proper law atau
applicable law) suatu hukum nasional dari suatu negara tertentu tidak berarti bahwa badan
peradilan negara tesebut secara otomatis yang berwenang menyelesaikan sengketanya. Yang
terakhir ini disebut juga choice of forum (pembahasan di atas). Artinya, choice of law tidak
sama dengan choice of forum. Peran choice of law di sini adalah hukum yang akan digunakan
oleh badan peradilan (pengadilan atau arbitrase) untuk:

a. menentukan keabsahan suatu kontrak dagang;


b. menafsirkan suatu kesepakatan-kesepakatan dalam kontrak;
c. menentukan telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu prestasi
(pelaksanaan suatu kontrak dagang); dan
d. menentukan akibat-akibat hukum dari adanya pelanggaran terhadap kontrak.

Hukum yang akan berlaku ini dapat mencakup beberapa macam hukum. Hukum-
hukum tersebut adalah:

 Hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa (applicablesubstantive law


atau lex causae);
 Hukum yang akan berlaku untuk persidangan (procedural law);

Hukum yang akan berlaku akan sedikit banyak bergantung pada kesepakatan para pihak.
Hukum yang akan berlaku tersebut dapat berupa hukum nasional suatu negara tertentu.
Biasanya hukum nasional tersebut ada atau terkait dengan nasionalitas salah satu pihak. Cara
pemilihan inilah yang lazim diterapkan dewasa ini. Apabila salah satu pihak atau kedua belah
pihak tidak sepakat mengenai salah satu hukum nasional tersebut, biasanya kemudian mereka
akan berupaya mencari hukum nasional yang relatif lebih netral.

31
Alternatif lainnya yang memungkinkan dalam hukum perdagangan internasional adalah
menerapkan prinsip-prinsip kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono). Namun demikian
penerapan prinsip ini pun harus berdasarkan pada kesepakatan para pihak.

Kebebasan Para Pihak Di atas telah dikemukakan bahwa dalam menentukan hukum yang
akan berlaku, prinsip yang berlaku adalah kesepakatan para pihak yang didasarkan pada
kebebasan para pihak dalam membuat perjanjianmatau kesepakatan (party autonomy).

Kebebasan para pihak ini tampaknya sudah menjadi prinsip hukum umum. Artinya,
hampir setiap sistem hukum di dunia, yaitu Common Law, Civil Law, dll., mengakui
eksistensinya. Bahkan, praktek para pelaku bisnis atau pedagang melihat prinsip kebebasan
para pihak untuk menetapkan aturan-aturan dagang yang berlaku di antara mereka,
merupakan suatu prinsip yang telah terkristalisasi. Prinsip inilah yang antara lain melahirkan
prinsip atau doktrin lex mercatoria.

Kebebasan dalam memilih hukum yang berlaku ini (lex causae) sudah barang tentu ada
batas-batasnya. Yang paling umum dikenal adalah bahwa kebebasan memilih hukum tersebut
adalah:

e. tidak bertentangan dengan UU atau ketertiban umum;


f. kebebasan tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik;
g. hanya berlaku untuk hubungan dagang;
h. hanya berlaku dalam bidang hukum kontrak (dagang);
i. tidak berlaku untuk menyelesaikan sengketa tanah; dan
j. tidak untuk menyelundupkan hukum.

Menurut Cooke, kebebasan para pihak ini pun akan banyak dipengaruhi oleh sistem
hukum nasional yang akan dipilih (baik oleh salah satu pihak atau kedua pihak). Tidak
sekedar hanya menentukan hukum suatu negara, tetapi juga mempertimbangkan apakah
hukum di negara tersebut konsisten atau tidak. Artinya, apakah hukum di sesuatu negara
tertentu sering berubah-ubah tidak. Gerald Cooke dengan tepas menyatakan sebagai berikut:

“The significance of needing to provide for the 'proper' law is that the parties will
frequently prefer to have their disputes dealt with by a legal system which is perhaps
independent of each of the parties or which is recognised to have highly sophisticated and
consistent trading laws.”

32
Dalam hukum nasional Indonesia mengenai arbitrase, yaitu UU Nomor 30 tahun 1999
mengenai Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hukum yang akan diberlakukan
oleh para pihak diserahkan sepenuhnya kepada mereka. Pasal 56 UU tersebut menyatakan:

(1) Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum,
atau berdasarkan keadilan dan kepatutan.
(2) Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap
penyelesaian sengketa yang mungkin telah timbul antara para pihak."

Model Arbitration Law 1985 juga menghormati kebebasan para pihak untuk memilih
hukum yang akan berlaku. Pasal 28 Model Law menggariskan sebagai berikut:

(1) The arbitral tribunal shall decide the dispute in accordance with such rules of law
as are chosen by the parties as applicable to the substance of the dispute. Any
designation of the law or legal system of a given State shall be construed, unless
otherwise expressed, as directly referring to the substantive law of that State and
not to its conflict of laws rules."
(2) Failing any designation by the parties, the arbitral tribunal shall apply the law
determined by the conflict of laws rules which it considers applicable.
(3) The arbitral tribunal shall decide ex aequo et bono or amiable compositeur only if
the parties expressly authorized to do so.
(4) In all cases, the arbitral tribunal shall decide in accordance with the terms of the
contract and shall take into account the usages of the trade applicable to the
transaction.

Dari kedua instrumen hukum di atas, terdapat beberapa catatan pinggir yang cukup
penting. Pertama, yang menonjol adalah bahwa kedua instrumen berbeda di dalam hal
prioritas pengaturan mengenai hukum yang berlaku terhadap kontrak. UU Nomor 30 tahun
1999 menekankan bahwa arbitrator atau badan arbitrase harus menyandarkan pada hukum
untuk mengambil putusan. Pasal ini tidak menentukan atau mensyaratkan bahwa hukum yang
akan diterapkan tersebut haruslah pilihan hukum para pihak. Sedangkan Model Law dengan
tegas menyatakan bahwa badan arbitrase harus menerapkan hukum yang dipilih para pihak.
Tampaknya, ketentuan UU Nomor 30 tahun 1999 ini perlu disempurnakan dengan mengacu
atau mencantumkan klausul Model Law ini.

33
Kedua, UU Nomor 30 tahun 1999 membolehkan arbitrator atau badan arbitrase untuk
menerapkan ex aequo et bono (pasal 56 ayat 1). Ketentuan yang sama dalam Model Law
tercantum dalam pasal 28 ayat 3. Bedanya adalah, UU nasional kita tidak tegas bahwa
penerapan keadilan dan kepatutan ini hanya akan boleh dilakukan apabila para pihak dengan
tegas diperintahkan oleh para pihak. Penjelasan pasal 56 hanya menyebut: 'Dalam hal arbiter
diberi kebebasan...'). Rumusan ini tidak tegas siapa yang memberi kebebasan untuk
memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan.

Ketiga, adalah masalah manakala para pihak tidak memilih hukum yang akan berlaku
terhadap kontrak. Dalam hal ini, UU nasional kita dan Model Law memuat aturan yang
berbeda. UU nasional kita tampaknya menganut jalan pintas. Penjelasan pasal 56 UU
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan, apabila para pihak tidak
menentukan pilihan hukum, maka arbitrator atau badan arbitrase harus menerapkan hukum
tempat arbitrase dilakukan.

Sedangkan Model Law menyatakan bahwa apabila para pihak tidak memilih hukum,
maka badan arbitrase atau arbitrator harus mengacu kepada hukum yang ditentukan
berdasarkan aturan-aturan hukum perdata internasional (conflict of laws rules) yang oleh
arbitrator atau badan arbitrase dianggap berlaku.

e. Pelaksanaan Putusan Sengketa Dagang


Masalah pelaksanaan putusan penyelesaian sengketa (khususnya yang dibuat di luar
negeri) hingga kini masih menjadi suatu masalah yang tidak mudah. Hal ini disebabkan
karena pihak yang kalah di dalam suatu sengketa tidak jarang merasa keberatan
melaksanakan putusan tersebut. Bersamaan dengan itu, pengadilan di dalam negeri tersebut
yang diharapkan dapat membantu proses pelaksanaan putusan ternyata kurang memberikan
respon yang konstruktif.

Masalah ini pula yang saat ini menjadi ciri utama kelemahan dari putusan-putusan
penyelesaian sengketa oleh badan-badan penyelesaian sengketa asing. Inti masalahnya adalah
dilaksanakan sutau putusan mencerminkan efektivitas suatu putusan.

Dalam bagian ini, uraian akan melihat secara singkat pelaksanaan putusan dari
masing-masing cara penyelesaian sengketa, yaitu putusan melalui alternatif penyelesaian
sengketa, arbitrase asing dan pengadilan (asing).

34
1. Pelaksanaan Putusan APS

Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa (APS) memiliki risiko


yang cukup tinggi dalam hal pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan yang
dikeluarkan. Pelaksanaan putusan melalui APS lebih banyak bergantung kepada itikad baik
para pihaknya. Hal ini semata-mata karena sifat putusannya yang sejak awal dilandasi oleh
asas konsensuil.

Masalahnya akan menjadi lebih sulit apabila putusan APS tersebut dibuat di luar
negeri. Upaya pihak yang menang yang berupaya agar putusan APS dapat dilaksanakan
semakin sangat bergantung kepada itikad baik ini. Tidak ada kepastian hukum kapan dan
apakah pihak yang kalah mau melaksanakan putusan APS tersebut.

2. Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Asing)

Pelaksanaan putusan arbitrase asing sudah menjadi isu yang lama. Masalah ini pula
yang menjadi kelemahan utama dari cara penyelesaian melalui pengadilan atau hakim
partikelir ini. Seperti telah disebut di muka, umumnya yang menjadi kendala dalam masalah
ini adalah pelaksanaan (eksekusi) putusan oleh pihak yang kalah.

Upaya masyarakat internasional dalam mengurangi dan memperbaiki kelemahan ini


telah lama dilakukan, yaitu sejak tahun 1927. Waktu itu masyarakat internasional
mengeluarkan Konvensi Jenewa tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase.
Konvensi ini kemudian direvisi oleh Konvensi New York 1958. Sebenarnya timbulnya
masalah ini merupakan refleksi dari konvensi-konvensi internasional pada umumnya,
termasuk Konvensi New York 1958 ini. Masalahnya adalah konvensi internasional seperti ini
tidak mengatur peraturan-peraturan yang detail. Ia hanya mengatur hal-hal pokoknya saja.
Dalam lingkup nasional, Konvensi internasional ini ibarat Undang-undang Pokok yang
pelaksanaannya dijabarkan oleh Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan seterusnya
(implementing legislation-nya).

Kalau di dalam lingkup nasional ada hierarki pengaturan yang jelas, sebaliknya dalam
lingkup internasional tidak ada. Masinmasing negara memiliki cara melaksanakan
implementing legislationnya. Keadaan demikian jelas menambah ruwetnya masalah
pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing.

35
Konvensi New York 1958 (Convention on the Recognition and Enforcement of
Foreign Arbitral Awards) ditandatangani 10 Juni 1958 di kota New York. Konvensi New
York mulai berlaku pada 2 Juni 1959. Konvensi ini hanya mensyaratkan tiga ratifikasi agar
berlaku. Selanjutnya Konvensi akan berlaku tiga bulan sejak jumlah ratifikasi ketiga
terpenuhi. Konvensi mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 (lima) prinsip
berikut di bawah ini:

(1) Konvensi ini menerapkan prinsip pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
luar negeri dan menempatkan putusan tersebut pada kedudukan yang sama
dengan putusan peradilan nasional.
(2) Konvensi ini mengakui prinsip putusan arbitrase yang mengikat tanpa perlu
dicantumkan dalam putusannya.
(3) Konvensi ini menghindari proses pelaksanaan ganda (double enforcement
process).
(4) Konvensi New York mensyaratkan penyederhanaan dokumentasi yang diberikan
oleh pihak yang mencari pengakuan dan pelaksanaan putusan. Dalam hal ini
Konvensi hanya mensyaratkan dua dokumen saja untuk dapat melaksanakan
suatu putusan, yaitu: (a) Dokumen putusan atau salinannya yang sah dan (b)
dokumen perjanjian arbitrase atau salinannya yang sah (pasal IV).
(5) Konvensi New York lebih lengkap dan komprehensif daripada hukum nasional
pada umumnya. Konvensi New York di samping mengatur pelaksanaan, juga
mengatur pengakuan (recognition) terhadap suatu putusan arbirase asing.
Indonesia adalah anggota Konvensi New York dengan aksesi melalui Keputusan
Presiden No. 34 tahun 1981, 5 Agustus 1981. Aksesi ini didaftar di Sekretaris
Jenderal PBB 7 Oktober 1981.
3. Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Masalah pelaksanaan putusan pengadilan juga masih menjadi masalah yang cukup
serius. Pengadilan adalah refleksi kedaulatan negara dalam mengadili sesuatu sengketa.
Putusan pengadilan karenanya tidak secara otomatis dapat dilaksanakan di wilayah
kedaulatan negara lain.

Untuk supaya putusan tersebut dapat dilaksanakan di suatu negara lain, ada dua
kemungkinan berikut:

36
1. Menyidangkan kembali kasus tersebut dari awal sebagai suatu sengketa baru di
pengadilan tersebut (di mana putusan dimintakan pelaksanaannya);
2. Pelaksanaan putusan pengadilan di suatu negara dapat dilaksanakan apabila
negara-negara yang terkait (ke-dua negara, dimana pelaksanaa putusan
dimintakan) terikat baik apda suatu perjanjian bilateral atau perjanjian
multilateral mengenai pelaksanaan putusan pengadilan di bidang
sengketasengketa dagang (padanan kata asingnya yaitu sengketa-sengketa
komersial).

Untuk hal yang pertama, sudah barang tentu sulit. Prosesnya jadi panjang dan
berlarut-larut. Belum lagi pertimbangan biaya yang akan dikeluarkan untuk proses tersebut.
Biasanya proses berperkara di pengadilan di luar negeri tidaklah murah. Belum lagi timbul
ketidak-pastian apakah putusannya akan sama dengan putusan yang dikeluarkan oleh badan
peradilan sebelumnya.

Untuk hal yang kedua, adalah alternatif yang cukup layak. Sayangnya, perjanjian-
perjanjian seperti ini baru berupa perjanjian bilateral dan regional di Eropa Barat. Perjanjian
bilateral dapat ditemukan di antara negara-negara Eropa Barat dalam hal pengakuan dan
pelaksanaan putusan pengadilan secara bilateral.

37
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Hukum ekonomi internasional dalam kenyataannya mengatur kegiatan-kegiatan atau
transaksi-transaksi badan hukum privat atau yang terkait dengan kepentingan privat, misalnya
mengenai perlindungan dan nasionalisasi atau ekspropriasi perusahaan asing. Selain itu,
meskipun hukum ekonomi internasional mengatursubyek-subyek hukum publik atau negara,
namun aturan-aturan tersebut bagaimana pun juga akan berdampak pada individu atau
subyek-subyek hukum lainnya di dalam wilayah suatu negara. Hukum Perdagangan
Internasional Bersifat Interdisipliner

Prinsip dasar Hukum Perdagangan Internasional terbagi menjadi 4 prinsip yaitu Prinsip
Dasar Kebebasan Berkontrak, Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda, Prinsip Dasar Penyelesaian
Sengketa Melalui Arbitrase, Prinsip Dasar Kebebasan Komunikasi (Navigasi)

Hukum perdagangan internasional telah ada sejak lahirnya negara dalam arti modern.
Sejak saat itu, hukum perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang cukup
pesat sesuai dengan perkembangan hubungan-hubungan perdagangan.

38
DAFTAR PUSTAKA
Adolf Huala, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3,
2002.

Adhitya Rio, Aprita Serlika, Hukum Perdagangan Internasiona, Depok : Rajawali Pers, 2020

xxxix

Anda mungkin juga menyukai