Anda di halaman 1dari 25

Bab 5

KETIMPANGAN PEMBANGUNAN
EKONOMI ANTAR WILAYAH

K
etimpangan pembangunan ekonomi antar wilayah
merupakan phenomena umum yang terjadi dalam proses
pembangunan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini
pada awalnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan
sumberdaya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat
pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini,
kemampuan suatu daerah untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan mendorong proses pembangunan juga menjadi
berbeda. Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana pada setiap
daerah biasanya terdapat wilayah relatif maju ( Developed Region)
dan wilayah relatif terbelakang (Underdeveloped Region).

Terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah ini


selanjutnya membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan
masyarakat pada wilayah bersangkutan. Biasanya implikasi yang
ditimbulkan adalah dalam bentuk kecemburuan dan ketidakpuasan
masyarakat yang dapat pula berlanjut dengan implikasi politik dan
ketentraman masyarakat. Karena itu, aspek ketimpangan
pembangunan ekonomi antar wilayah ini perlu ditanggulangi
melalui formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan
oleh pemerintah daerah.

Bab ini membahas secara mendalam ketimpangan


pembangunan ekonomi antar wilayah. Analisa dimulai dengan
pembahasan tentang Hipotesa Neo-klasik yang merupakan dasar
teoritis utama terjadinya ketimpangan pembangunan ekonomi

126
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

antar wilayah. Temasuk dalam analisa ini adalah hasil studi dari
Jeffrey G. Williamson yang melakukan pengetesan terhadap
kebenaran dari hypothesa Neo-klasik tersebut. Kemudian
pembahasan dilanjutkan pula dengan metode pengukuran
ketimpangan pembangunan antar wilayah dengan menggunakan
Williamson Index dan ukuran ketimpangan lainnya. Kemudian
analisa dilanjutkan pula dengan pembahasan tentang ketimpangan
pembangunan antar wilayah di Indonesia yang dilanjutkan dengan
faktor-faktor utama yang menentukan ketimpangan tersebut.
Terakhir dilakukan pembahasan tentang beberapa kemungkinan
kebijakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk
menanggulangan ketimpangan pembangunan antar wilayah
tersebut.

5.1 Hipotesa Neo-klasik


Secara teoritis, permasalahan ketimpangan pembangunan antar
wilayah mula-mula dimunculkan oleh Douglas C North dalam
analisanya tentang Teori Pertumbuhan Neo-klasik. Dalam teori
tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antara
tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu negara dengan
ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotesa ini kemudian
lazim dikenal sebagai Hipotesa Neo-klasik yang menarik perhatian
para ekonom dan perencana pembangunan daerah.

Menurut Hipotesa Neo-klasik tersebut pada permulaan


proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan
antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai
ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila
proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsur-
angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan
menurun. Berdasarkan hipotesa ini, dapat ditarik suatu kesimpulan
sementara bahwa pada negara-negara sedang berkembang
umumnya ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung
lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut
akan menjadi lebih rendah. Dengan kata lain, kurva ketimpangan
pembangunan antar wilayah adalah berbentuk huruf U terbalik

127
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

(Reverse U-shape Curve) sebagaimana telah dijelaskan pada bab


4 terdahulu.

Pertanyaan yang menarik adalah mengapa pada waktu


proses pembangunan dilaksanakan di negara sedang berkembang,
justru ketimpangan meningkat? Jawabnya adalah karena pada
waktu proses pembangunan baru dimulai di negara sedang
berkembang, kesempatan dan peluang pembangunan yang ada
umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi
pembangunan sudah lebih baik. Sedangkan daerah-daerah yang
masih sangat terlakang tidak mampu memanfaatkan peluang ini
karena keterbatasan prasarana dan saran serta rendahnya kualitas
sumberdaya manusia. Hambatan ini tidak saja disebabkan oleh
faktor ekonomi, tetapi juga oleh faktor sosial-budaya sehingga
akibatnya ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung
meningkat karena pertumbuhan ekonomi cenderung lebih cepat di
daerah dengan kondisinya lebih baik, sedangkan daerah yang
terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan.

Keadaan yang berbeda terjadi di negara yang sudah maju


dimana kondisi daerah umumnya sudah dalam kondisi yang lebih
baik dari segi prasarana dan sarana serta kualitas sumberdaya
manusia. Disamping itu, hambatan-hambatan sosial dan budaya
dalam proses pembangunan hampir tidak ada sama sekali. Dalam
kondisi yang demikian, setiap kesempatan peluang pembangunan
dapat dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Akibatnya,
proses pembangunan pada negara maju akan cenderung
mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah.

Kebenaran Hipotesa Neo-klasik ini kemudian diuji


kebenarannya oleh Jefrey G. Williamson pada tahun 1966 melalui
suatu studi tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah
pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan
menggunakan data time series dan cross-section. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa Hipotesa Neo-klasik yang
diformulasikan secara teoritis ternyata terbukti benar secara

128
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

empirik. Ini berarti bahwa proses pembangunan suatu negara


tidak otomatis dapat menurunkan ketimpangan pembangunan
antar wilayah, tetapi pada tahap permulaan justru terjadi hal yang
sebaliknya.

Fakta empirik ini selanjutnya menunjukkan pula bahwa


peningkatan ketimpangan pembangunan yang terjadi di negara-
negara sedang berkembang sebenarnya bukanlah karena
kesalahan pemerintah atau masyarakatnya, tetapi hal tersebut
terjadi secara alamiah (natural) disenua negara. Bahkan ketika
Amerika Serikat mulai malaksanakan proses pembangunan
negharanya pada abad kedelapanbelas dulu, peningkatan
ketimpangan pembangunan antar wilayah juga meningkat tajam.
Peningkatan ketimpangan ini bahkan sampai memicu terjadinya
perang saudara antara negara bagian di Selatan yang masih relatif
tertinggal dengan negara bagian di Utara yang sudah lebih maju.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia dengan adanya
pemberontakan PRRI-Permesta di Sumatera Barat tahun 1957,
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka
(OPM).

5.2 Ukuran Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah


Melihat ketimpangan pembangunan antar wilayah dalam suatu
negara atau suatu daerah ternyata bukanlah hal yang sederhana
dan mudah karena hal ini dapat menimbulkan debat yang
berkepanjangan. Adakalanya masyarakat berpendapat bahwa
ketimpangan sutu daerah cukup tinggi setelah melihat banyak
kelompok miskin pada daerah bersangkutan. Akan tetapi ada pula
masyarakat merasakan adanya ketimpangan yang cukup tinggi
setelah melihat adanya segelintir kelompok kaya ditengah-tengah
masyarakat yang umumnya masih miskin. Perlu diingat disini
bahwa, berbeda dengan analisis distribusi pendapatan yang
melihat ketimpangan antar kelompok masyarakat, sedangkan
ketimpangan pembangunan antar wilayah melihat perbedaan
tingkat pembangunan antar wilayah. Hal yang dipersoalkan disini

129
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

bukanlah perbedaan antara kelompok kaya dan kelompok miskin,


tetapi adalah antara daerah maju dan daerah terbelakang.

Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah yang


mula-mula dilakukan adalah Williamson Index yang digunakan
dalam studi Jeffrey G. Williamson pada tahun 1966. Secara Ilmu
Statistik, indeks ini sebenarnya adalah coefficient of variation yang
lazim digunakan untuk mengukur suatu perbedaan. Istilah
Williamson Index muncul sebagai penghargaan kepada pengguna
awal indek tersebut dalam mengukur ketimpangan pembangunan
antar wilayah. Walaupun indeks ini mempunyai beberapa
kelemahan, yaitu antara lain sensitif terhadap definisi wilayah
yang digunakan dalam perhitungan, namun demikian indeks ini
lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan
antar wilayah.

Berbeda dengan Gini Rasio yang lazim digunakan dalam


mengkur distribusi pendapatan antar golongan masyarakat,
Williamson Index menggunakan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) perkapita sebagai data dasar. Alasannya jelas karena yang
diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah dan
bukan tingkat distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat.
Dengan demikian, formulasi Indeks Williamson ini secara statistik
dapat ditampilkan dengan formula sebagai berikut:
n

i=1
Vw = ( yi – y )2 (fi/n) 0 < Vw < 1
(5.1)
y

dimana: yi = PDRB perkapita daerah i


y= PDRB perkapita rata-rata seluruh daerah
fi = Jumlah penduduk daerah i
n= Jumlah penduduk seluruh daerah.

130
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

subskrip w digunakan karena formulasi yang dipakai adalah secara


tertimbang (weighted) agar indeks tersebut menjadi lebih stabil
dan dapat dibandingkan dengan negara atau daerah lainnya.
Sedangkan pengertian indeks ini adalah sebagai berikut: bila V w
mendekati 1 berarti sangat timpang dan bila V w mendekati nol
berarti sangat merata.

Indek lainnya yang juga lazim digunakan dalam mengukur


ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah Theil Index
sebagaimana digunakan oleh Akita dan Alisyahbana (2002) dalam
studinya yang dilakukan di Indonesia. Sedangkan data yang
diperlukan untuk mengukur indeks ini adalah sama dengan yang
diperlukan untuk menghitung Williamson Index yaitu PDRB
perkapita dan jumlah penduduk untuk setiap wilayah. Demikian
pula halnya dengan penafsirannya yang juga sama yaitu bila
indeks mendekati 1 artinya sangat timpang dan sebaliknya bila
indeks mendekati 0 berarti sangat merata. Sedangkan formulasi
Theil Index
n (Td) tersebut adalah sebagai berikut:

i=1 n

Td = j=1 {yij/Y} log [{yij/Y}/{nij/N}] (5.2)

Dimana: yij = PDRB percapita kabupaten i di propinsi j


Y= Jumlah PDRB perkapita seluruh propinsi j
n = Jumlah penduduk kabupaten i di propinsi j
N= Jumlah penduduk seluruh kabupaten

Namun demikian, penggunaan Theil Index sebagai ukuran


ketimpangan ekonomi antar wilayah mempunyai kelebihan
tertentu. Pertama, indeks ini dapat menghitung ketimpangan
dalam daerah dan antar daerah secara sekaligus, sehingga
cakupan analisa menjadi lebih luas. Dalam kasus Indonesia,
dengan menggunakan metode ini dapat dihitung ketimpangan
dalam propinsi dan kabupaten/kota serta antar propinsi,
kabupaten dan kota. Kedua, dengan menggunakan indeks ini

131
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

dapat pula dihitungan kontribusi (dalam persentase) masing-


masing daerah terhadap ketimpangan pembangunan wilayah
secara keseluruhan sehingga dapat memberikan implikasi
kebijakan yang cukup penting.

Bilamana pembahasan dilanjutkan dengan analisa tentang


faktor-faktor utama yang menyebabkan terjadinya ketimpangan
wilayah tersebut, maka hal ini dapat dilakukan menggunakan
metode regresi terhadap hasil perhitungan indeks yang telah
dilakukan. Dalam hal ini, hasil perhitungan indeks sebagai
dependent variable (faktor yang diterangkan) dan beberapa
variabel tertentu sebagai independent variable (faktor yang
menerangkan). Mengikuti Hyphotesa Neo-klasik, variabel yang
dapat digunakan sebagai independent variable adalah pendapatan
perkapita yang menunjukkan tingkat pembangunan suatu negara.
Sedangkan persamaan yang digunakan adalah dalam bentuk
kuadratik karena hubungan antara ketimpangan pembangunan
antar wilayah dengan tingkat pembangunan suatu negara adalah
bersifat Non Linear. Dengan demikian fungsi regresi yang dapat
digunakan adalah sebagai berikut:

Vw = φ Ycδ Y2c (5.3)

dimana Vw adalah Indeks Williamson, Yc PDRB perkapita,


sedangkan φ dan δ adalah koefisien regresi. Persamaan ini dapat
diestimasi melalui persamaan logaritma berganda berikut ini:

log Vw = log φ + δ log Yc + 2 log Yc + ε (5.4)

dimana ε adalah faktor kesalahan ( disturbance terms).


Keuntungan penggunaan persamaan bersifat kuadratik adalah
dapat diketahui apakah ketimpangan pada negara bersangkutan
masih berada pada kondisi meningkat ( divergence) atau sudah
berada pada kondisi yang menurun (convergence).

132
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

Tidak dapat disangkal bahwa ada beberapa faktor lain


yang juga menentukan perobahan ketimpangan pembangunan
antar wilayah tersebut. Berdasarkan analisa Teori Pertumbuhan
Ekonomi Wilayah yang sudah dijelaskan pada bab 4 terdahulu,
variabel-variabel tersebut antara lain adalah: konsentrasi kegiatan
ekonomi antar daerah, mobilitas barang (perdagangan) dan faktor
produksi antar daerah serta alokasi investasi (pemerintah dan
swasta) antar wilayah dan lain-lainnya. Bahkan kebijakan
pembangunan wilayah yang dilakukan oleh suatu daerah dapat
pula mempengaruhi ketimpangan pembangunan wilayah
bersangkutan.

Konsentrasi kegiatan ekonomi antar daerah yang cukup


tinggi akan cenderung pula mendorong meningkatnya
ketimpangan pembangunan antar wilayah karena proses
pembangunan daerah akan lebih cepat pada daerah dengan
konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih tinggi. Demikian pula
sebaliknya terjadi pada daerah dengan kosentrasi kegiatan
ekonomi yang lebih rendah. Sedangkan konsentrasi kegiatan
ekonomi daerah tersebut dapat diukur dengan menggunakan
indek Location Quotient (LQ) atau Industrial Concentration Index
(ICI). Index LQ dan ICI ini dapat dihitung dengan menggunakan
data nilai tambah masing-masing kegiatan ekonomi sebagaimana
terdapat dalam PDRB masing-masing daerah atau dengan
menggunakan data jumlah pekerja (employment) untuk masing-
masing sektor.

Mobilitas barang (perdagangan) antar daerah jelas akan


mempengaruhi pula ketimpangan pembangunan antar wilayah
karena, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Teori Heckser-Ohlin
dalam Ilmu Ekonomi Internasional bahwa bila kegiatan
perdagangan internasional dan antar wilayah kurang lancar maka
proses penyamaan harga faktor produksi ( Factor Price
Equalization) akan tergangu. Akibatnya pemerataan proses
pembangunan akan terhambat dan ketimpangan pembangunan
antar wilayah akan cenderung menjadi tinggi. Sedangkan alokasi

133
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

investasi antar wilayah jelas akan mempengaruhi ketimpangan


pembangunan antar wilayah karena investasi merupakan salah
satu faktor utama yang menentukan proses pembangunan daerah.

Karena hubungan antara ketimpangan regional dengan


tingkat pembangunan ekonomi tidaklah linear, maka persamaan
regresi dapat pula dilakukan dalam bentuk fungsi Non Linear.
Dengan demikian, persamaan yang dapat digunakan untuk
mengetahui faktor penentu ketimpangan pembangunan antar
wilayah adalah sebagai berikut:

Vw = θYβ (LQ)σ Mδ Iη (5.5)

Persamaan ini akan dapat dihitung dengan metode regresi setelah


dilakukan transformasi dengan menggunakan logaritma sehingga
dapat diformulasikan sebagai berikut:

log Vw = log θ +β log Yc +σ log (LQ) (5.6)


+δ log M + η log I + ε

dimana Vw adalah Williamson Index, LQ adalah Location Quotient,


M adalah tingkat migrasi (dalam persentase), I adalah alokasi
investasi (dalam persentase) dan θ, β, σ, δ, dan η adalah koefisien
regresi dan ε adalah faktor kesalahan (disturbance term).

Cara lain yang dapat pula dilakukan untuk mengetahui


faktor penyebab terjadinya ketimpangan tersebut adalah dengan
menggunakan analisa Shift-share seperti juga yang telah dilakukan
oleh Akita dan Alisyahbana (2002). Menggunakan cara ini akan
dapat diketahui apakah penyebab ketimpangan tersebut berasal
dari luar daerah (Regional-share) atau dari dalam daerah sendiri
(Proportionality Shift dan Differential Shift ). Dengan demikian akan
dapat pula diketahui faktor-faktor yang menentukan ketimpangan
pembangunan antar wilayah dengan menggunakan ketiga unsur
Shift-share tersebut.

134
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

5.3Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah di


Indonesia
Munculnya studi Williamson (1965), ternyata telah mendorong
pula beberapa ahli ekonomi untuk melakukan studi tentang
ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia. Studi
pertama dilakukan oleh Hendra Esmara (1975) yang
menggunakan Williamson Index sebagai ukuran ketimpangan
antar wilayah. Untuk mempertajam analisa, kalkulasi indeks
ketimpangan disini dibedakan antara PDRB termasuk dan diluar
minyak dan gas alam. Alasannya adalah karena produksi minyak
dan gas alam yang hanya terdapat pada daerah tertentu saja akan
cendrung memicu relative tingginya tingkat ketimpangan ekonomi
antar wilayah.

Namun demikian, karena ketersediaan data tentang


Pendapatan Regional di Indonesia pada saat itu masih sangat
terbatas, maka jangka waktu pembahasan pada analisa juga
masih terbatas sehingga generalisasi untuk mendapatkan
kesimpulan umum masih sulit dilakukan. Kelemahan studi ini
kemudian diatas oleh Uppal, J.S. and Budiono Sri Handoko (1986)
dengan menggunakan cara yang sama tetapi dengan seri waktu
data yang lebih panjang. Perlu dicatat bahwa pada kedua studi ini,
ketimpangan yang dimaksud adalah antar propinsi dalam Negara
Indonesia.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari kedua studi ini adalah


bahwa ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia
ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju. Bahkan
diantara sesama negara berkembang, ketimpangan pembangunan
antar wilayah di Indonesia termasuk yang lebih tinggi Kenyataan
ini adalah sejalan dengan Hipotesa Neo-klasik yang sudah
diuraikan terdahulu. Disamping itu, terlihat pula bahwa indek
ketimpangan tersebut cenderung meningkat antar waktu yang
menunjukkan bahwa ketimpangan pembangunan antar wilayah di

135
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

Indonesia masih terus memburuk dan belum mencapai


puncaknya. Peningkatan ketimpangan ini membawa implikasi
negatif dan cenderung mendorong timbulnya kecemburuan sosial
daerah terbelakang terhadap daerah maju yang selanjutnya dapat
menimbulkan pula dampak politis bila tidak diatasi sesegera
mungkin.

Studi lainnya yang juga membahas ketimpangan


pembangunan antar wilayah di Indonesia adalah Sjarizal (2002)
untuk periode 1993-2000. Disamping mengukur tingkat
ketimpangan dan tendensinya, studi ini juga mencoba melihat
pengaruh keberadaan ibukota Jakarta terhadap ketimpangan
pembangunan antar wilayah. Untuk keperluan ini, maka indeks
ketimpangan diukur baik menggunakan data termasuk DKI Jakarta
dan diluar DKI Jakarta. Tabel 5.1 memberikan hasil perhitungan
indek ketimpangan wilayah di Indonesia yang juga menggunakan
metode Williamson Index.

Temuan yang menarik dari studi ini adalah bahwa


pengaruh ibukota Jakarta terhadap ketimpangan antar wilayah di
Indonesia ternyata cukup besar karena struktur ekonomi kota
yang sangat berbeda dibandingkan dengan propinsi. Namun
demikian, hasil perhitungan dengan mengeluarkan DKI Jakarta
ternyata indeks ketimpangan tersebut masih juga cukup tinggi
yaitu sekitar 0,50 dibandingkan negara lain dan juga mempunyai
tendensi yang terus meningkat antar waktu sebagaimana
ditemukan terdahulu. Dengan demikian terlihat bahwa
perhitungan indeks ketimpangan dengan mengeluarkan DKI
Jakarta ternyata lebih tepat karena perbedaan struktur
perekonomian daerah.

Temuan lainnya yang juga sangat menarik adalah bahwa


mulai tahun 2003 terlihat adanya indikasi penurunan ketimpangan
ekonomi regional sebagaimana terlihat dari perhitungan angka
Indek Williamson diluar DKI. In berarti bahwa proses aejak saat
itu telah terjadi proses convergensi sebagaimana yang kemukakan

136
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

oleh Hipothesa Neo-Klasik di atas. Diperkirakan penurunan


ketimpangan ekonomi regional ini terutama disebabkan oleh
pelaksanaan otonomi daerah yang dimulai pada tahun 2001 yang
mendorong pemerintah daerah untuk untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi daerahnya masing-masing sehingga
ketimpangan regional secara keseluruhan cendrung menurun.

Tabel 5.1 Ketimpangan Pembangunan Antar


Wilayah Di Indonesia 1995 -2003*

Tahun Termasuk DKI Diluar DKI


Jakarta Jakarta
1993 0,56 0,44
1994 0,59 0,46
1995 0,63 0,48
1996 0,67 0,49
1997 0,69 0,51
1998 0,66 0,52
1999 0,67 0,53
2000 0,66 0,52
2001 0,65 0,51
2002 0,65 0,51
2003 0,64 0,50
2004 0,64 0,49
2005 O,64 0,42
2006 0,65 0,42
2007 0,65 0,42
2008 0,66 0,42
2009 0,63 0,39

Catatan: Dihitung dengan menggunakan formula Williamson Index

Selanjutnya, dengan menggunakan formula yang sama,


indek ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut dapat
pula dihitung pada tingkat kabupaten dan kota dalam satu

137
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

provinsi. Dalam hal ini data yang digunakan adalah PDRB


perkapita dan penduduk adalah untuk daerah kabupaten dan kota
pada Provinsi Sumatera Barat pada periode 2000-2005 dan hasil
perhitungan disajikan pada Tabel 5.2.

Hasil perhitungan pada Tabel 5.2 ini memperlihatkan


bahwa ketimpangan pembangunan antar wilayah pada tingkat
kabupaten dan kota di Indonesia ternyata lebih rendah
dibandingkan dengan tingkat provinsi. Disamping itu, hasil
perhitungan ini memperlihatkan pula bahwa ketimpangan
pembangunan tingkat kota ternyata lebih tinggi dibandingkan
dengan tingkat kabupaten. Hal ini terutama disebabkan karena
pertumbuhan ekonomi kota lebih besar variasinya dibandingkan
dengan pertumbuhan ekonomi pada daerah kabupaten.

Tabel 5.2 Indeks Ketimpangan Pembangunan Antar


Kabupaten dan Kota di Sumatera Barat
2000-2005*

Jenis Ketimpangan
No 2000 2001 2002 2003 2004
Antar Wilayah

1. Antar Kabupaten 0,423 0,435 0,446 0,454 0,465


dan Kota
2. Antar Kabupaten 0,173 0,175 0,166 0,176 0,177
3. Antar Kota 0,329 0,354 0,369 0,398 0,422

Catatan: * Dihitung dengan harga konstan 1993

Perlu diingat disini bahwa sebagaimana diungkapkan dalam


studi Williamson bahwa indeks ini sensitif terhadap ukuran wilayah
yang digunakan. Ini berarti bahwa bila ukuran wilayah yang
digunakan berbeda, maka hal ini akan berpengaruh pada hasil
perhitungan indeks ketimpangan. Dengan demikian, analisa ini
perlu dilakukan secara hati-hati bila pembahasan menyangkut

138
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

dengan perbandingan indeks ketimpangan antar negara dimana


ukuran wilayahnya akan berbeda satu sama lainnya.

Gambaran lain dari ketimpangan pembangunan antara


wilayah di Indonesia diberikan pada studi Akita dan Alisyahbana
(2002) dengan menggunakan Theil Index sebagai alat ukur
ketimpangan pembangunan antar wilayah. Dengan menggunakan
metode ini akan dapat diketahui secara sekaligus ketimpangan
pembangunan antar propinsi dan antar kabupaten di Indonesia
sebagaimana terlihat pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3 Ketimpangan Pembangunan Antar Propinsi dan Antar


Kabupaten di Indonesia 1993-1998

N Wilayah
1993 1994 1995 1996 1997 1998
o.
I Sumatera 0,024 0,025 0,025 0,028 0,031 0,032
DI Aceh 0,019 0,019 0,019 0,019 0,020 0,018
Sumatera 0,043 0,042 0,038 0,037 0,038 0,034
Utara
Sumatera 0,082 0,084 0,090 0,087 0,088 0,111
Barat
Riau 0,225 0,240 0,257 0,274 0,299 0,303
Jambi 0,033 0,033 0,036 0,037 0,037 0,036
Sumatera 0,032 0,033 0,034 0,034 0,036 0,031
Selatan
Bengkulu 0,016 0,016 0,015 0,014 0,019 0,016
Lampung 0,066 0,065 0,074 0,060 0,065 0,048
II Jawa-Bali 0,172 0,171 0,170 0,169 0,167 0,146
DKI Jakarta 0,074 0,079 0,084 0,089 0,090 0,118
Jawa Barat 0,083 0,088 0,098 0,101 0,115 0,101
Jawa Tengah 0,161 0,172 0,178 0,186 0,187 0,166
DI Yokyakarta 0,059 0,059 0,062 0,064 0,069 0,068
Jawa Timur 0,311 0,326 0,343 0,358 0,377 0,365
Bali 0,097 0,097 0,097 0,097 0,097 0,090
II Kalimantan 0,066 0,065 0,069 0,070 0,069 0,076
I
Kalimantan 0,110 0,109 0,107 0,105 0,105 0,103

139
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

Barat
Kalimantan 0,033 0,033 0,036 0,038 0,039 0,039
Tengah
Kalimantan 0,066 0,064 0,060 0,054 0,058 0,069
Selatan
Kalimantan 0,025 0,022 0,021 0,026 0,024 0,027
Timur
IV Sulawesi 0,002 0,003 0,004 0,006 0,006 0,008
Sulawesi Utara 0,038 0,038 0,037 0,038 0,041 0,046
Sulawesi 0,002 0,001 0,001 0,001 0,001 0,002
Tengah
Sulawesi 0,068 0,071 0,071 0,072 0,077 0,070
Tenggara
Sulwesi 0,011 0,010 0,015 0,011 0,013 0,017
Selatan
V Pulau 0,059 0,055 0,052 0,049 0,059 0,056
Lainnya
Nusa Tenggara 0,022 0,023 0,023 0,023 0,024 0,025
Barat
Nusa Tenggara 0,047 0,050 0,058 0,063 0,060 0,056
Timur
Timor Tmur 0,079 0,081 0,081 0,077 0,083 0,073
Maluku 0,041 0,046 0,051 0,055 0,063 0,062
Irian Jaya 0,112 0,111 0,109 0,106 0,141 0,136
VI Tendensi
Umum
Dalam Propinsi 0,119 0,125 0,131 0,136 0,143 0,141
Antar Propinsi 0,125 0,125 0,125 0,124 0,124 0,108
Dalam 0,018 0,019 0,020 0,021 0,021 0,018
Kab/kota
Total 0,262 0,269 0,276 0,281 0,287 0,266

5.4 Penyebab Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah


Selanjutnya, pada bagian ini, perlu pula dibahas beberapa faktor
utama yang menyebabkan atau memicu terjadinya ketimpangan
ekonomi antar wilayah tersebut. Dengan adanya analisa ini, akan
dapat dijelaskan secara empirik unsur penyebab terjadinya
ketimpangan ekonomi wilayah tersebut. Disamping itu, analisa ini

140
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

juga sangat penting artinya karena hasilnya dapat memberikan


informasi penting untuk pengambilan keputusan dalam melakukan
perumusan kebijakan pembangunan untuk menanggulangi atau
mengurangi ketimpangan ekonomi antar wilayah tersebut.

a. Perbedaaan Kandungan Sumberdaya Alam


Penyebab pertama yang mendorong timbulnya ketimpangan
ekonomi antar wilayah adalah adanya perbedaan yang sangat
besar dalam kandungan sumberdaya alam pada masing-masing
daerah. Sebagaimana diketahui bahwa perbedaan kandungan
sumberdaya alam ini di Indonesia ternyata cukup besar. Ada
daerah yang mempunyai minyak dan gas alam, tetapi daerah lain
tidak mempunyai. Ada daerah mempunyai deposit batubara yang
cukup besar, tapi daerah lain tidak ada. Demikian pula halnya
dengan tingkat kesuburan lahan yang juga sangat bervariasi
sehingga mempengaruhi upaya untuk mendorong pembangunan
pertanian pada masing-masing daerah.

Perbedaan kandungan sumberdaya alam ini jelas akan


mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah bersangkutan.
Daerah dengan kandungan sumberdaya alam cukup banyak akan
dapat memproduksi barang dan jasa tertentu dengan biaya relatif
murah dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai
kandungan sumberdaya alam lebih sedikit. Kondisi ini mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat.
Sedangkan daerah lain yang mempunyai kandungan sumberdaya
alam lebih kecil hanya akan dapat memproduksi barang dan jasa
dengan biaya produksi lebih tinggi sehingga daya saingnya
menjadi lemah. Kondisi tersebut selanjutnya menyebabkan pula
daerah bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan
ekonomi yang lebih lambat. Dengan demikian terlihat bahwa
perbedaan kandungan sumberdaya alam ini dapat mendorong
terjadinya ketimpangan ekonomi antar wilayah yang lebih tinggi
pada suatu negara.

141
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

b. Perbedaan Kondisi Demografis


Faktor utama lainnya yang juga dapat mendorong terjadinya
ketimpangan ekonomi antar wilayah adalah bilamana terdapat
perbedaan kondisi demografis yang cukup besar antar daerah.
Kondisi demografis yang dimaksudkan disini meliputi perbedaan
tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan
tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi
ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan
serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan.

Kondisi demografis ini kemudian akan dapat pula


mempengaruhi ketimpangan ekonomi antar wilayah karena hal ini
akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat pada
daerah bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografis yang
baik akan cenderung mempunyai tingkat produktivitas kerja yang
lebih tinggi. Kondisi ini selanjutnya akan mendorong pula
peningkatan investasi yang ke daerah bersangkutan sehingga
akan cendrung pula meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan
pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan. Sebaliknya, bila pada
suatu daerah tertentu kondisi demografisnya kurang baik maka hal
ini akan menyebabkan relatif rendahnya tingkat produktivitas kerja
masyarakat setempat yang cendrung menimbulkan kondisi yang
kurang menarik bagi para penanaman modal (investor) sehingga
pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan akan cendrung
menjadi lebih rendah.

c. Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa


Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa antar wilayah dapat
pula mendorong terjadinya peningkatan ketimpangan ekonomi
antar wilayah. Mobilitas barang dan jasa ini meliputi kegiatan
perdagangan antar daerah dan migrasi baik yang disponsori
pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan. Alasannya adalah
karena bila mobilitas tersebut kurang lancar maka kelebihan
produksi suatu daerah tidak dapat dijual kedaerah lain yang
membutuhkan. Demikian pula halnya dengan migrasi yang kurang

142
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

lancar menyebabkan kelebihan tenaga kerja suatu daerah tidak


akan dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat
membutuhkannya.

Akibatnya, ketimpangan ekonomi antar wilayah akan


cenderung lebih tinggi karena kelebihan suatu daerah tidak dapat
dimanfaatkan oleh daerah lain yang memputuhkan, sehingga
daerah terbelakang sulit mendorong kegiatan ekonominya. Karena
itu tidaklah mengherankan bilamana, ketimpangan ekonomi antar
wilayah akan cenderung relative tinggi pada negara sedang
berkembang dimana mobilitas barang dan jasa kurang lancar
karena terbatasnya fasilitas transportasi dan komunikasi dan
masih terdapatnya beberapa daerah yang terisolir.

d. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah


Terjadinya konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup tinggi pada
wilayah tertentu jelas akan mempengaruhi ketimpangan ekonomi
antar wilayah. Pertumbuhan ekonomi daerah akan cenderung
lebih cepat pada daerah dimana terdapat konsentrasi kegiatan
ekonomi yang cukup besar. Kondisi tersebut selanjutnya akan
mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan
penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat.
Demikian pula sebaliknya bilamana, konsentrasi kegiatan ekonomi
pada suatu daerah relatif rendah yang selanjutnya juga
mendorong terjadi pengangguran dan rendahnya tingkat
pendapatan masyarakat setempat.

Konsentrasi kegiatan ekonomi tersebut dapat disebabkan


oleh beberapa hal. Pertama, karena terdapatnya sumberdaya alam
yang lebih banyak pada daerah tertentu, misal terdapatnya minyak
bumi, gas, batubara dan bahan mineral lainnya. Disamping itu
terdapatnya lahan yang subur juga turut mempengaruhi kegiatan
ekonomi, khususnya menyangkut dengan kegiatan pertanian.
Kedua, lebih meratanya fasilitas transportasi, baik darat, laut dan
udara, juga ikut mempengaruhi konsentrasi kegiatan ekonomi
antar daerah. Ketiga, kondisi demografis (kependudukan) juga ikut

143
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

mempengaruhi karena kegiatan ekonomi akan cenderung


terkonsentrasi dimana sumberdaya manusia tersedia dalam jumlah
cukup dan dengan kualitas yang lebih baik.
e. Alokasi Dana Pembangunan Antar Wilayah
Tidak dapat disangkal bahwa investasi merupakan salah satu
unsur yang sangat menentukan pertumbuhan ekonomi suatu
daerah. Karena itu, daerah yang mendapatkan alokasi investasi
yang lebih besar dari pemerintah, atau dapat menarik lebih
banyak investasi swasta ke daerahnya akan cenderung
mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.
Kondisi ini tentunya akan dapat pula mendorong proses
pembanguna daerah melalui penyediaan lapangan kerja yang lebih
banyak dan tingkat pendapatan perkapita yang lebih tinggi.
Demikian pula sebaliknya terjadi bilamana investasi pemerintah
dan swasta yang masuk ke suatu daerah tertentu ternyata lebih
rendah sehingga kegiatan ekonomi dan pembangunan daerahnya
kurang berkembang baik.

Alokasi investasi pemerintah ke daerah lebih banyak


ditentukan oleh sistem pemerintahan daerah yang dianut. Bila
sistem pemerintahan daerah yang dianut bersifat sentralistik,
maka alokasi dana pemerintah akan cenderung labih banyak
dialokasikan pada pemerintah pusat, sehingga ketimpangan
pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi. Akan tetapi,
sebaliknya bilamana sistem pemerintahan yang dianut adalah
otonomi atau desentralisasi, maka dana investasi pemerintah akan
lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan
ekonomi antar wilayah akan cenderung lebih rendah.

Tidak demikian halnya dengan investasi swasta yang lebih


banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Dalam hal ini kekuatan
yang berperan banyak dalam menarik investasi swasta ke suatu
daerah adalah keuntungan lokasi yang dimiliki oleh suatu daerah.
Sedangkan keuntungan lokasi tersebut ditentukan pula oleh
ongkos transpor baik untuk bahan baku dan hasil produksi yang
harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh, konsentrasi

144
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

pasar, tingkat persaingan usaha dan sewa tanah. Termasuk ke


dalam keuntungan lokasi ini adalah Keuntungan Aglomerasi yang
timbul karena terjadinya konsentrasi beberapa kegiatan ekonomi
terkait pada suatu daerah tertentu. Karena itu, tidaklah
mengherankan bilamana investasi cenderung lebih banyak
terkonsentrasi di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah
pedesaan. Kondisi ini menyebabkan daerah perkotaan cenderung
tumbuh lebih cepat dibandingkan dari daerah pedesaan.

5.6Penanggulangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah


Kebijakan dan upaya untuk menanggulangi ketimpangan ekonomi
antar wilayah sangat ditentukan oleh faktor yang menentukan
terjadinya ketimpangan tersebut sebagaimana telah dijelaskan
pada bagian 5.5 terdahulu. Oleh karena itu, pembahasan pada
bagian 5.6 ini dikaitkan dengan pembahasan yang dilakukan pada
bagian 5.5. Kebijakan yang dimaksudkan disini adalah merupakan
upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang dapat
dilakukan dalam rangka mengurangi ketimpangan ekonomi antar
daerah dalam suatu negara atau wilayah.

a. Penyebaran Pembangunan Prasarana


Perhubungan
Sebagaimana telah dibahas terdahulu bahwa salah satu penyebab
terjadinya ketimpangan ekonomi antar wilayah adalah karena
adanya perbedaaan kandungan sumberdaya alam yang cukup
besar antar daerah. Sementara itu, ketidaklancaran proses
perdagangan dan mobilitas faktor produksi antar daerah juga turut
mendorong terjadinya ketimpangan wilayah tersebut. Karena itu,
kebijakan dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi
ketimpangan tersebut adalah dengan memperlancar mobilitas
barang dan faktor produksi antar daerah.

Upaya untuk mendorong kelancaran mobilitas barang dan


faktor produksi antar daerah dapat dilakukan melalui penyebaran
pembangunan prasarana perhubungan keseluruh pelosok wilayah.

145
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

Prasarana perhubungan yang dimaksudkan disini adalah fasilitas


jalan, terminal dan pelabuhan laut guna mendorong proses
perdagangan antar daerah. Sejalan dengan hal tersebut jaringan
dan fasilitas telekomunikasi juga sangat penting untuk
dikembangkan agar tidak ada daerah yang terisolir dan tidak dapat
berkomunikasi dengan daerah lainnya.

Disamping itu pemerintah perlu pula mendorong


berkembangnya sarana perhubungan seperti perusahaan
angkutan antar daerah dan fasilitas telekomunikasi. Bila hal ini
dapat dilakukan, maka ketimpangan ekonomi antar wilayah akan
dapat dikurangi karena usaha perdagangan dan mobilitas faktor
produksi, khususnya investasi akan dapat lebih diperlancar.
Dengan cara demikian, daerah yang kurang maju akan dapat pula
meningkatkan kegiatan perdagangan dan investasi di daerahnya,
sehingga kagiatan produksi dan penyediaan lapangan kerja akan
dapat pula ditingkatkan. Semua ini akan mendorong proses
pembangunan ekonomi pada daerah yang kurang maju.

b. Mendorong Transmigrasi dan Migrasi Spontan


Untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah,
kebijakan dan upaya lain yang dapat dilakukan adalah mendorong
pelaksanaan transmigrasi dan migrasi spontan. Transmigrasi
adalah pemindahan penduduk ke daerah kurang berkembang
dengan menggunakan fasilitas dan dukungan pemerintah.
Sedangkan migrasi spontan adalah perpindahan penduduk yang
dilakukan secara sukarela menggunakan biaya sendiri. Melalui
proses transmigrasi dan migrasi spontan ini, kekurangan tenaga
kerja yang dialami oleh daerah terbelakang akan dapat pula
diatasi sehingga proses pembangunan ekonomi daerah
bersangkutan akan dapat pula digerakkan.

Indonesia sudah sejak lama melaksanakan program


transmigrasi ini untuk mencapai dua tujuan secara sekaligus.
Pertama, program transmigrasi ini dilakukan untuk dapat
mengurangi kepadatan penduduk yang terdapat di pulau Jawa

146
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

yang telah memicu peningkatan pengangguran dan kemiskinan.


Kedua, program transmigrasi tersebut juga dilakukan dalam
rangka mendorong proses pembangunan ekonomi di daerah
terbelakang yang menjadi tujuan transmigrasi sehingga lahan
yang luas tetapi belum dapat dimanfaatkan karena keterbatasan
tenaga kerja akan dapat diatasi. Dengan digerakkannya kegiatan
pertanian melalui pemanfaatan tenaga transmigran tersebut, maka
kegiatan ekonomi pada daerah terbelakang tujuan transmigrasi
akan dapat ditingkatkan sehingga ketimpangan pembangunan
antar wilayah akan dapat dikurangi.

c. Pengembangan Pendidikan Antar Wilayah

Banyak kalangan ahli berpendapat bahwa pengembangan


pendidikan pada semua tingkat merupakan salah satu unsur
penting untuk mendorong proses pembangunan baik pada tingkat
nasional maupun pada tingkat wilayah. Alasannya jelas karena
pengembangan pendidikan akan dapat mendorong peningkatan
keterampilan tenaga kerja yang selanjutnya akan meningkatkan
produktipitas tenaga kerja. Disamping itu, melalui pengembangan
pendidikan akan dapat pula didorong proses inovasi dan perbaikan
teknologi produksi yang selanjutnya akan mendorong perbaikan
tingkat efisiensi usaha.

Bertitik tolak dari pandangan ini, pengembangan


pendidikan pada daerah yang relatif terbelakang diperkirakan akan
merupakan kebijakan yang cukup penting untuk mengurangi
ketimpangan pembangunan antar wilayah. Sebagaimana
diungkapkan oleh Garcia Garcia, Jorge dan Soelistianingsih (1998)
bahwa “Education constitute an efective efforts to increase the
rate of growth and reduce inequality in provincial GDP percapita” .
Dalam hal ini tekanan pembangunan sebaiknya diberikan pada
pengembangan pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan
kejuruan yang merupakan kebutuhan umum dan diperkirakan
akan dapat memberikan pengaruh cukup besar terhadap
peningkatan produktipitas tenaga kerja antar wilayah.

147
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

d. Pengembangan Pusat Pertumbuhan


Kebijakan lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi
ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah melalui
pengembangan Pusat Pertumbuhan (Growth Poles) secara
tersebar. Kebijakan ini diperkirakan akan dapat mengurangi
ketimpangan pembangunan ekonomi antar wilayah karena pusat
pertumbuhan tersebut menganut konsep konsentrasi dan
desentralisasi secara sekaligus. Aspek konsentrasi diperlukan agar
penyebaran kegiatan ekonomi tersebut dapat dilakukan dengan
masih terus mempertahankan tingkat efisiensi usaha yang sangat
diperlukan untuk pengembangan usaha tersebut. Sedangkan
aspek desentralisasi diperlukan agar penyebaran kegiatan
pembangunan antar daerah dapat dilakukan sehingga
ketimpangan pembangunan antar wilayah akan dapat dikurangi.

Penerapan konsep Pusat Pertumbuhan ini untuk


mendorong proses pembangunan daerah dan sekaligus untuk
dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah
dapat dilakukan melalui pembangunan pusat-pusat pertumbuhan
pada kota-kota skala kecil dan menengah. Dengan cara demikian,
kota-kota skala kecil dan menengah akan berkembang sehingga
kegiatan pembangunan ekonomi dapat lebih disebarkan ke
pelosok daerah. Sedangkan upaya untuk mengurangi ketimpangan
pembangunan wilayah melalui peningkatan pembangunan daerah
pedesaan ternyata sering gagal dilakukan karena hal ini tidak
dapat mempertahankan tingkat efisiensi produksi karena lokasinya
yang sangat terpencar. Disamping itu, pemilihan lokasi kegiatan
ekonomi di daerah pedesaan juga seringkali tidak memenuhi
persyaratan ekonomi dari segi analisa keuntungan lokasi yang
dapat mendukung pengembangan usaha pada daerah
bersangkutan.

d. Pelaksanaan Otonomi Daerah

148
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan


juga dapat digunakan untuk mengurangi tingkat ketimpangan
pembangunan antar wilayah. Hal ini jelas karena, dengan
dilaksanakannya otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan,
maka aktifitas pembangunan ekonomi daerah, termasuk daerah
terbelakang akan dapat lebih digerakkan karena adanya
wewenang yang berada pada pemerintah daerah dan masyarakat
setempat. Dengan adanya kewenangan tersebut, maka berbagai
inisiatif dan aspirasi masyarakat untuk menggali potensi daerah
akan dapat lebih digerakkan. Bila hal ini dapat dilakukan, maka
proses pembangunan ekonomi daerah secara keseluruhan akan
dapat lebih ditingkatkan dan secara bersamaan ketimpangan
pembangunan antar wilayah akan dapat pula dikurangi.

Pemerintah Indonesia telah melakukan otonomi daerah


dan desentraslisai pembangunan mulai tahun 2001 yang lalu.
Melalui kebijakan ini, pemerintah daerah diberikan kewenangan
yang lebih besar dalam mengelola kegiatan pembangunan di
daerahnya masing-masing (desentralisasi pembangunan). Sejalan
dengan hal tersebut, masing-masing daerah juga diberikan
tambahan alokasi dana yang diberikan dalam bentuk ” Block Grant”
berupa Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak
dan Sumberdaya Alam, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana
Alokasi Khusus (DAK). Dengan cara demikian diharapkan
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan
akan dapat berjalan dengan baik sehingga proses pembangunan
ekonomi daerah dapat lebih ditingkatkan dan ketimpangan
pembangunan antar wilayah akan dapat pula dikurangi.

oo0oo

149
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

150

Anda mungkin juga menyukai