Anda di halaman 1dari 16

Bab 6

ALOKASI INVESTASI
ANTAR WILAYAH

Alokasi investasi antar wilayah (Regional Allocation of Investment)


merupakan salah satu aspek yang sering dibahas dalam Ilmu
Ekonomi Wilayah (Regional Economics). Alasannya adalah karena
alokasi investasi ini merupakan faktor penting yang dapat
mempengaruhi dan menentukan pertumbuhan dan pemerataan
pembangunan ekonomi antar wilayah. Karena itu, aspek alokasi
investasi antar wilayah banyak menarik perhatian para ahli
ekonomi wilayah, perencana pembangunan daerah dan penganbil
keputusan. Investasi yang dimaksudkan disini dapat berbentuk
investasi swasta, penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan
Penanaman modal luar negeri (PMA), maupun investasi
pemerintah yang disalurkan melalui anggaran pembangunan
nasional dan daerah.

Pembahasan tentang alokasi investasi swasta antar wilayah


ini mula-mula diformulasi oleh Anisur Rahman dalam disertasinya
pada tahun 1963 dengan mengikuti aliran Ilmu Ekonomi-Neo
Klasik (Neo-clasical Economics) yang kemudian terkenal dengan
Rahman Model. Sakashita kemudian melanjutkan pembahasan
dengan logika yang sama tetapi menekankan anlisisnya pada
alokasi investasi pemerintah (Government Investment). Kemudian
Thormod Hermansen melakukan pula formulasi model alokasi
investasi swasta antar wilayah dengan menggunakan aliran Ilmu
Ekonomi Keynes (Keynesian Econmics) yang kemudian dikenal
sebagai Hermansen Model. Sedangkan khusus untuk Indonesia,
alokasi investasi antar wilayah ini juga telah diformulasikan pula
khusus untuk investasi pemerintah yang dewasa ini dikenal
sebagai Alokasi Dana Perimbangan Antar Wilayah yang

150
ditetapkankan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah mulai
tahun 1999 yang lalu. Bab ini membahas secara rinci logika dan
formulasi model alokasi investasi antar wilayah tersebut berikut
kekuatan dan kelemahannya masing-masing..

6.1 Rahman Model

Anisur Rahman, seorang warga negara Pakistan yang belajar Ilmu


Ekonomi untuk tingkat doctoral pada di Universitas Harvard
diAmerika Serikat, membahas dalam disertasinya tentang alokasi
investasi antara Pakistan Timur (sekarang Pakistan) dan Pakistan
Barat (sekarang Bangladesh) pada awal tahun enampuluhan
(Rahman 1963). Dalam hal ini, Pakistan Barat dianggap sebagai
daerah yang relative maju (developed region) dan Pakistan Timur
sebagai daerah yang relatif terbelakang (under developed region).
Sasaran utama analisa ini adalah dalam rangka memaksimumkan
pertumbuhan ekonomi nasional Pakistan sehingga proses
pembangunan negara ini dapat ditingkatkan. Kesemuanya
menggunakan prinsip-rpinsi dari Teori Ekonomi Neo-Klasik yang
sangat popular pada waktu itu.

Tulisan Rahman yang mula-mula muncul diformulasikan


dengan menggunakan Dynamic Optimization Model secara
“descrete”. Kemudian beberapa ahli lain seperti Dorfman (1963),
Intriligator (1964), dan Takayama (1967). mengembangkannya
dengan menggunakan model yang bersifat “continous”. Bahkan
Rahman sendiri juga mencoba mengembangkan modelnya dengan
menggunakan metode yang “continous” (Rahman 66). Karena itu,
tidak mengherankan kiranya bila model alokasi investasi regional
ini menjadi satu kelompok tersendiri dalam Ilmu Ekonomi Wilayah.

Mengikuti Miller (1979), Model Rahman ini dimulai dengan


memformulasikan kaitan antara ekonomi regional dan nasional.
Dalam hal ini perekonomian nasional merupakan penjumlahan dari
perekonomian wilayah. Menggunakan model 2 wilayah hubungan
ini dapat ditulis:

151
Y(t) = Y1(t) + Y2(t) (6.1)

dimana Y(t) adalah pendapatan nasional pada tahun t dan Y1(t)


dan Y2(t) masingnya adalah pendapatan regional pada wilayah 1
dan 2. Seandainya pendapatan regional tersebut direpresetasikan
sebagai stok kapital pada masing-masing wilayah, maka:

Y(t) = b1 (t) + b2
1 2 (t)
(6.2)
dimana 1 dan 2 masing-masingnya adalah jumlah stok
kapital di wilayah 1 dan wilayah 2.

Sejalan dengan hal tersebut, investasi, I, secara nasional


pada tahun t adalah merupakan penjumlahan dari investasi pada
tigkat wilayah dan mengingat investasi pada tahun adalah sama
peningkatan stok kapital, yaitu Ii(t) = i (t), maka:

I(t) = I1(t) + I2(t) = (t) +


1 (t)
2 (6.3)

Demikian pula halnya dengan tabungan. S, pada tingkat nasional


sama dengan penjumlahan tabungan pada kedua wilayah, yaitu:

S(t) = S1(t) + S2(t) = s1Y1(t) + s2Y2(t) (6.4)

dimana s1 dan s2 masing-masinya adalah Marginal Propensity to


Save (MPS) di wilayah 1 dan wilayah 2. Selanjutnya, dalam kondisi
equilibrium, persamaan tabungan dan investasi akan dapat
disamakan sebagai berikut:
1(t) + 2(t) = s1Y1(t) + s2Y2(t) (6.5)

Karena Yi = bi i , i=1.2. dan seandainya untuk kepentingan


symbol diumpamakan gi = si bi maka:

I(t) = (t) +
1 2 (t) = g1 1 (t) + g2 (t)
2 (6.6)

152
Persamaan (6.6) menunjukkan bahwa invstasi secara nasional
pada periode t ditentukan oleh nilai stok capital yang terdapat
pada kedua wilayah pada periode waktu yang sama.

Selanjutnya, marilah kita tetapkan β(t) sebagai ”control


variable” yaitu proporsi investasi yang dapat dialokasi pada suatu
wilayah 1 yang dapat dikendalikan pemerintah melalui kebijakan
pembangunan. Karena dalam analisis ini hanya terdapat 2 wilayah,
maka alokasi investasi yang dilakukan untuk wilayah 2 menjadi 1-
β(t). Menggunakan criteria alokasi investai maka, jumlah investasi
yang terdapat pada masing-masing wilayah adalah sebagai
berikut:

I1 = 1 = β(t)[ g1 1 (t) + g2 (t)]


2 (6.7)

I2 = 2 = 1- β(t)[ g1 1 (t) + g2 (t)]


2 (6.8)

Permasalahan perencanaan dalam hal ini adalah


bagaimana perekonomian nasional dapat dimaksimumkan melalui
kebijakan pengalokasi investasi antar wilayah. Permasalahan ini
dapat dijawab dengan menggunakan metode optimisasi dinamis
(Dynamic Optimization) yang pemecahan dapat dilakukan dengan
menggunakan metode Optimal Control melalui pemanfaatan fungsi
Hamilton (Hamiltonian Function). Menggunakan metode ini, maka
formulasi model alokasi investasi antar wilayah dapat ditulis
sebagai berikut:

Maximum: Y(T) = b1 (T) + b2


1 2 (T) (6.9)
0< β(t)<1
Kendala: I1 = 1 = β(t)[ g1 (t) + g2
1 2 (t)] (6.10)

I2 = 2 = 1- β(t)[ g1 (t) + g2
1 2 (t)] (6.11)

K1(0) = K10 dan K2(0) = K20 (6.12)

153
Untuk dapat memecahkan permasalahan optimisasi
dinamis diatas, perlu diformulasikan fungsi Hamilton sebagai
berkut:

H= λ1 β(t)[g1 1 (t) + g2 (t)]+ λ2 1- β(t)[g1


2 1 (t) + g2 (t)]
2

Disamping itu, fungsi in dapat pula disusun dalam bentuk berikut:

H = [ β(λ1 – λ2) + λ2](g1K1 + g2K2) (6.13)

Selanjutnya dengan menarik turunan terhadap fungsi Hamiltonian


tersebut dapat diperoleh hasil sebagai berikut:

i = H/ Ki = [β (λ1 – λ2) + λ2] gi i =1,2 (6.14)

dan i = H/ λ i = β(g1K1 + g2K2) i = 1,2 (6.15)


(1- β)(g1K1 + g2K2)

Dari formulasi fungsi Hamilton yang bersifat linear dapat ditarik


kesimpulan tentang alokasi investasi wilayah sebagai berikut:

β =0, bilamana (λ1–λ2)< 0, yaitu λ1 < λ2 (6.16)


β =1, bilamana (λ–λ2)> 0, yaitu λ1 > λ2

Ini berarti bahwa dalam rangka memaksimumkan perekonomian


nasional, pada tahap awal investasi sebaiknya dialokasikan
seluruhnya pada wilayah yang mempunyai produktipitas lebih
tinggi. Kemudian setelah beberapa waktu, alokasi dipindah kan
pada wilayah lainnya. Dengan demikian kita berhadapan dengan
”bang-bang control” yang menyatakan bahwa alokasi investasi
dapat diberikan sepenuhnya pada suatu wilayah dan kemudian
setelah waktu tertentu dipindahkan pula pada wilayah lainnya.

Melalui model ini Rahman memperlihatkan bahwa


maksimum pertumbuhan dari total pendapatan nasional tidaklah
harus diperoleh dengan mengalokasikan keseluruhan investasi ke

154
wilayah yang paling produktif untuk keseluruhan periode
perencanaan. Didasarkan pada suatu Incremental Capital Output
Ratio (ICOR) tertentu maka faktor utama yang sangat
menentukan adalah tingkat tabungan yang terdapat pada wilayah
bersangkutan. Bilamana wilayah yang lebih maju juga mempunyai
tingkat tabungan yang lebih tinggi, wilayah yang kurang maju
tidak mempunyai tuntutan untuk mengambil kabijakan alokasi
investasi antar wilayah yang menguntungkannya.

6.2 Model Hermansen

Model alokasi investasi antar wilayah dari Hermansen pada


dasarnya merupakan aplikasi Teori Ekonomi Keynesian yang
diterapkan untuk masalah alokasi investasi antar wilayah. Dalam
hal ini, model Hermansen menekankan analisisnya pada aspek
peningkatan produksi dan pendapatan ( production-income
generating) serta tabungan (saving) pada dua wilayah. Dalam hal
ini diasumsikan bahwa peningkatan produksi dan pendapatan
hanya dihasilkan oleh peningkatan penggunaan modal dan semua
variabel terkait adalah dalam nilai riil.

Berdasarkan prinsip ini, maka model alokasi investasi antar


wilayah dari Hermansen dapat diformulasikan dengan
menggunakan beberapa persamaan terkait berikut ini:

(6.17)
(6.18)
(6.19)
(6.20)
(6.21)
(6.22)
(6.23)
(6.24)
(6.25)

155
Dimana adalah jumlah produksi atau pendapatan
(PDRB) wilayah I pada tahun t, adalah tabungan
wilayah i pada tahun t, adalah tabungan yang disalurkan (net
transfer) antara kedua wilayah dan adalah stok capital di
wilayah I pada permulaan periode t.

Persamaan (6.17) dan (6.18) hanyalah definisi dari PDRB


pada tahun t. Sedangkan persamaan (6.19) dan (6.20)
menunjukkan struktur produksi pada wilayah 1 dan 2. Kapital
mempunyai waktu menghasilkan (gestation period) 1 tahun yang
berarti bahwa bilamana investasi dilakukan pada tahun t-1 akan
menghasilkan produksi pada tahun t. Koefisien 1 dan 2 adalah
ICOR pada masing-masing wilayah. Terlihat disini bahwa
persamaan (6.21) dan (6.22) menunjukkan perilaku masyarakat
dalam melakukan investasi yaitu investasi diasuatu wilayah berasal
dari tabungan yang terdapat pada daerah tersebut dikurangi
dengan tabungan yang disalurkan dari daerah lain (transfer).
Untuk kemudahannya dalam hal ini jumlah tabungan yang
disalurkan bersifat positif dari wilayah 1 ke wilayah 2. Sedangkan
persamaan (6.23) dan (6.24) menunjukkan struktur tabungan,
dimana s1 dan s2 adalah tingkat pertumbuhan tabungan pada
masing-masing wilayah. Dalam hal ini, jumlah tabungan yang
disalurkan dibatas ini jumlah tabungan yanga ada pada setiap
wilayah, yaitu:

(6.26)

Sedangkan persamaan (6.26) menunjukkan nilai pendapatan


nasional bila hanya terdapat 2 wilayah.

Pemecahan dari model di atas dapat dilakukan dengan


jalan menggabungkan kesemuan persamaan (6.17) sampai
dengan (6.25) dan diperoleh formula berikut ini:

156
(6.27)
(6.28)

Bilamana tidak ada transfer maka perekonomian regional akan


bertumbuh sesuai dengan tingkat pertumbuhan internal (Internal
rate of growth) sebagai berikut ini.

dan (6.29)

Dengan demikian, tingkat pertumbuhan internal pada dasarnya


menunjukkan potensi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.tinggi.
Oleh karena potensi pertumbuhan suatu daerah tergantung pada
tingkat pertumbuhan tabungan dan Marginal Effisiensi of Capital
yang mnunjukkan tingkat produkstipitas suatu wilayah. Dengan
demikian, maka alokasi investasi antar wilayah akan diprioritas
pada daerah dengan tingkat tabungan dan proiduktipitas tinggi.
Akan tetapi bilamana tingkat tabungan berbeda dengan tinglkat
produktipitas maka keputusan akan ditentukan oleh unsur mana
yang lebih dominan. Tentunya alokasi investasi akan diprioritas
pada wilayah yang mempunyai tingkat produktipitas lebih tinggi
dati tabungan dan demikian pula sebaliknya bila tingkat
produktipitas lebih rendah dari tabungan.

Selanjutnya jumlah penbapatan nasional yang merupakan


penjumlah dari pendapatan regional ke dua wilayah dapat ditulis
sebagai berikut:

(6.30)

Karena model ini bersifat ”recursive” yang berti bahwa


pendapatan pada tahun t ditentukan sepenuhnya oleh distribusi
pendapatan dan alokasi investasi pada tahun sebelumnya, maka
perencana dan pengambil kebijakan seharusnya melihat kondisi

157
tahun sekurangnya setahun sebelumnya bila akan mengambil
kebijakan untuk tahun sekarang. Disini terlihat bahwa model
alokasi investasi antar wilayah ini menghasilkan kesimpulan yang
mirip dengan Rahman Model yaitu memprioritaskan alokasi
investasi ke wilayah yang mempunyai produktipitas tinggi.

6.3 Alokasi Dana Perimbangan di Indonesia

Sebagaimana disinggung terdahulu bahwa penetapan Alokasi


Dana Perimbangan (Equalization Transfer) di Indonesia dilakukan
dalam rangka penerapan prinsip Desentralisasi fiskal (Fiscal
Decentralisation). Sistem alokasi dana ini ditetapkan dalam
Undang-undang No. 25 Tahun 1999 yang kemudian direvisi
dengan Undang-undang No, 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah, baik provinsi, kabupaten dan kota.
Sasaran utama dalam hal ini adalah untuk mewujudkan
keseimbangan alokasi dan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah sehingga dapat mendukung pelaksanaan
otonomi daerah secara keseluruhan. Penerapan sistem alokasi
dana perimbangan ini secara efektif mulai diterapkan di Indonesia
pada tahun 2001 yang lalu.

Sesuai dengan ketentuan undang-undang dan perturan


pemerintah yang berlaku bahwa Dana Perimbangan yang
disediakan oleh Pemeritah Pusat dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) minimum 25% dapat dialokasi ke wilayah
dalam 3 bentuk, yaitu Dana Bagi Hasil (DBH) baik dari pajak
maupun sumberdaya alam, Dana ALokasi Umum (DAU) dan Dana
Alokasi Khusus (DAK). Ini berarti bahwa Dana perimbangan (DP)
secara umum dilakukan sebagai berikut:

DP = DBH + DAU + DAK (6.31)

Alokasi DBH untuk pajak ditetapkan sebesar 20% untuk


daerah penghasil dan 80% untuk pemerintah pusat, sedangkan
DBH untuk sumberdaya alam ditentukan 15% untuk masing
provinsi dan sisanya 85% untuk pusat. Sedangkan alokasi sebesar

158
15% untuk wilayah selanjutnya dibagi pula sebesar 6% untuk
daerah penghasil dan sisanya untuk daerah tetangga yang
berdekatan. Sistem alokasi DBH ini sengaja ditetapkan untuk
mewujudkan keadilan antara daerah penghasil yang ternyata juga
banyak yang masih tertinggal pembangunan dan kesejahteraanya
dibandingkan dengan pemerintah pusat dan perekonomian
nasional secara keseluruhan.

DAU dialokasikan untuk mengurangi kesenjangan fiskal


antar daerah sehingga kemampuan wilayah untuk mengelola dan
menbangunan daerahnya dapat diusahakan menjadi relatif merata
kalau tidak dapat disamakan. Karena itu prinsip yang dipakai disini
adalah bahwa DAU dialokasi sesuai dengan kesejangan fiskal
(Fiscal Gap) antar wilayah. Ini berarti bahwa wilayah dengan
kapasitas fiskal besar, karena DBH yang relatif besar seperti
Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Riau, seharusnya
mendapatkan DAU kecil. Sedangkan wilayah dengan kapasitas
fiskal kecil, karena DBH kecil seperti Provinsi Sumatera Barat,
seharusnya mendapatkan DAU lebih besar.

DAK dialokasi sesuai dengan prioritas dan kepentingan


pembangunan nasional. Alokasi ini sengaja dibuat ecara khusus
untuk mengatasi kemungkinan wilayah mengalokasikan dana
perimbangan yang diperolehnya lebih banyak berdasarkan
kepentingan daerah saja dan melupakan kepentingan nasional.
Sedangkan besarnya alokasi DAK ditentukan oleh penerintah pusat
sesuai dengan kemampuan APBN dan kondisi sosial ekonomi
daerah bersangkutan. Disini terlihat bahwa DAK sebenarnya
sangat mirip dengan alokasi dana pemerintah pusat ke wilayah,
seperti Dana Dekonsentrasi untuk provinsi dan Dana Perbantuan
untuk kabupaten dan kota pada waktu sebelum dilaksanakannya
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal secara nasional.

Sebagai suatu sistem alokasi dana yang relatif baru bagi


Indonesia, formulasi alokasi DAU antar wilayah ternyata
mengalami perobahan dari apa yang dilakukan sesuai dengan
undang-undang No. 25 Tahun 1999 yang kemudian disesuaikan

159
dengan Undang-undang No. 33 tahun 2004. Penyesuaian ini
dilakukan setelah melihat berbagai kelemahan yang terdapat pada
alokasi dana berdasarkan formulasi awal yang telah dilakukan
sebelumnya.

Fromulasi DAU sesuai dengan Undang-undang No. 25


Tahun 1999 sebagaimana digambarkan oleh Blane D. Lewis (2001)
adalah sebagai berikut:

DAUi = BFAi + FAi + LSAi (6.32)

dimana BFAi adalah jumlah dana penyeimbang (Balancing Factors


Amount) untuk daerah kabupaten atau kota i, FAi adalah jumlah
dana yang ditentukan berdasarkan rumus (Fourmula Amount) dan
LSAi adalah jumlah alokasi yang diberikan ke daerah secara
“lumpsum” (Lumpsum Amount).

Jumlah dana penyeimbang dialokasi untuk menjaga agar


pelaksanaan otonomi daerah tidak menyebabkan kemampuan
fiskal daerah menurun drastis sehingga menimbulkan kesulitan
bagi daerah dalam melaksanakan proses pembangunan daerah
sesuai dengan tanggung jawabnya yang baru setelah dilakukan
otonomi daerah. Pelaksanaan prinsip ini dilakukan dalam dua
bentuk yaitu: (a) mengupayakan agar dana yang dialokasikan
tidak kurang dari tahun sebelumnya (Holt-harmles Principle), (b)
mengupayakan agar dana yang dialokasikan cukup untuk
membiayai tambahan aparatur daerah karena adanya pemindahan
dari aparatur pusat karena pelaksanaan otonomi daerah.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka jumlah alokasi dana
penyeimbang dapat diformulasikan sebagai berikut:

BFAi = 1.3 (SD0)i + 1,1 (INPRES)i (6.33)

dimana SDOi adalah Subsidi Daerah Otonom dan INPRESi


(Instruksi Presiden) adalah dana yang dialokasikan dalam jumlah
yang sama ke daerah sesuai dengan instruksi presiden RI. Dari
formula (6.33) terlihat bahwa jumlah dana penyeimbang pada

160
tahap awal pelaksanaan otonomi daerah ditetapkan berdasarkan
jumlah SDO yang dinaikkan 30% dari tahun sebelumnya dan dana
INPRES yang dinaikkan 10% dari alokasi tahun sebelumnya.

Dana alokasi berdasarkan formula, FAi untuk masing-


masing wilayah dialokasikan berdasarkan formula berikut ini:

FAi = DAUT1 - [FGi/


(6.34)

dimana DAUT1 adalah jumlah alokasi dana DAU tahun sebelumnya


dan FGi adalah kesejangan fiskal wilayah i. Sedangkan
kesenjangan fiskal tersebut dapat diformulasikan sebagai
kebutuhan pengeluaran dikurangi dengan kapasitas (kemampuan)
fiskal), yaitu:

FGi = ENi - FCi (6.35)

dimana ENi adalah kebutuhan pengeluaran (Expenditure Needs)


dan FCi adalah kapasitas fiskal daerah bersangkutan. Perhitungan
kebutuhan pengeluaran suatu daerah di dasarkan pada nilai rata-
rata pengeluaran daerah bersangkutan pada tahun-tahun
sebelumnya dan indek kebutuhan pengeluaran.

Sedangkan indek kebutuhan pengeluaran ditentukan oleh


beberapa variabel terkait seperti jumlah penduduk, luas daerah,
jumlah penduduk miskin dan indek biaya hidup pada daerah
bersangkutan. Dengan demikianm, secara kuantitatif, kebutuhan
pengeluaran suati daerah dapat dirumuskan sebagai berikut:

ENi = APBDEXPT . 1/4 Popi + Areai + Povi + Costi (6.36)


n PopT/n AreaT/n PovT/n 100

dimana APBDEXP pengeluaran adalah APBD, Pop adalah


penduduk, Area adalah luar daerah, Pov dalah jumlah penduduk

161
miskin dan Cost adalah indek biaya hidup daerah setempat,
sedangkan subscript T menunjukkan jumlah

Kapasitas fiskal didefinisikan sebagai nilai rata-rata dari


semua penerimaan daerah bersangkutan dikali dengan Indek
Kapasitas Fiskal. Sedangkan data pengeluaran diambil dari
realisasi APBD daerah setempat. Sedangkan Indek Kapasitas Fiskal
ditentukan oleh produksi sumberdaya alam, produksi sumberdaya
manusia daerah setempat dan umur kerja penduduk daerah
setempat. Dalam bentuk formulasi matematika, Kapasitas Fiskal
tersebut dapat ditulis sebagai berikut:

FCi = OSRi + SPTi .1/3 (NROI / GRDPi)


n (NROT /GRDPT) (6.37)

+ (NNR0i /GRDPi) + (LFi / Popi)]


(NNR0T / GRDPT) ( LFT / PopT)

dimana 0SR adalah pajak dan retribusi daerah, SPT adalah


kontribusi dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), NRO adalah
produksi sumberdaya alam, NNRO produksi sektor jasa, GRDP
adalah PDRB, LF adalah penduduk umur kerja dan Pop adalah
jumlah penduduk wilayah bersangkutan.

Sedangkan jumlah dana secara lumpsump (LSA) pada


dasarnya merupakan sisa (residual) antara DAU dan nilai alokasi
dana berdasar formula sebagaimana dijelaskan terdahulu yang
dapat ditulis sebagai berikut:

Residual = DAUT – [ i + i ] (6.38)

dimana DAUT adalah jumlah alokasi DAU. Dengan demikian,


jumlah nilai “lumpsum” yang dialokasikan pada setiap pemerintah
daerah adalah:

LSAi = (Residual)/n (6.39)

162
Dimana n adalah jumlah daerah yang mendapat alokasi dana.

Kenudian dengan keluarnya Undang-undang No. 33 Tahun


2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, maka
formula alokasi dana perimbangan tersebut mengalami sedikit
perobahan. Perobahan tersebut adalah menyangkut dengan
kriteria pangalokasian DAU yang benar benar di dasarkan pada
prinsip kesenjangan fiskal (Fiscal Gap) yaitu selisih antara
kebutuhan dengan kemampuan dana pembangunan yang terdapat
dalam suatu daerah. Dalam hal ini kemampuan keuangan daerah
ditentukan berdasarkan Kapasitas Fiskal (Fiscal Capacity) yang
merupakan jumlah dana bagi hasil dan DAK dikurangi dengan
belanja wajib yang merupkan belanja pegawai yang harus
dipenuhi setiap tahunnya.

Implikasi dari penerapan prinsip kesenjangan fiskal ini


adalah bahwa daerah yang mempunyai ka[asitas fiskal sama atu
lebih dari kebutuhan yang diperlukan akan mendapatkan alokasi
DAU nol. Sedangkan daerah yang mempunyai kapasitas fiskal jauh
dibawah kebutuhan daerah bersangkutan akan mendapatkan
alokasi DAU yang lebih besar. Dengan demikian, sasaran utama
dari alokasi dana perimbangan untuk mengurangi kesenjangan
keuangan antar daerah dalam era otonomi secara bertahap akan
dapat dikurangi.

6.4 Evaluasi Alokasi Investasi Antar Wilayah

Membandingkan ke tiga model alokasi investasi yang telah


diuraikan terdahulu terlihat bahwa baik Model Rahman maupun
Model Hermansen keduanya bertujuan untuk memaksimalkan
pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam rangka mewujudkan hal
ini, maka kesimpulan pertama dari kedua model alokasi investasi
antar wilayah yang harus dilakukan adalah berdasarkan kriteria
“Internal Rate of Growth” yang pada dasarnya sama dengan
tingkat pengembalia investasi. Karena itu kedua model ini
memprioritaskan alokasi investasi ke wilayah yang mempunyai

163
tingkat produktipitas tinggi. Sedangkan kesimpula kedua adalah
bahwa alokasi sebaiknya dilakukan dengan menggunakan prinsip
“bang-bang” yang berarti bahwa alokasi diberikan seluruhnya
pada suatu daerah dan kemudian setelah waktu tertentu
(switching time) baru pindah kedaerah lainnya.

Dalam praktek, kedua model ini sulit diterapkan karena


masyarakat umumnya menuntut alokasi investasi yang adil dengan
memperhatikan kebutuhan investasi daerah bersangkutan.
Disamping itu, mengalokasian sepenuhnya kepada suatu daerah
adalah tidak mungkin dilakukan karena daerah lainnya juga
memerlukan investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
daerahnya. Hal yang dapat dilakukan hanyalah memberikan
alokasi yang lebih besar kepada suatu daerah kalau memenuhi
kriteria yang telah ditetakan.

Karena itu dalam praktek alokasi investasi antar wilayah


yang dapat dilakukan dan dapat pula diterima oleh masyarakat
adalah seperti yang dilakukan Indonesia dalam alokasi Dana
Perimbangan untuk masing-masing daerah. Pada model ini alokasi
dilakukan tidak seragam sepenunya, tetapi dilakukan dalam 3
bentuk. Pertama, alokasi Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumberdaya
Alam yang didasarkan pada kemampuan produksi daru daerah
bersangkutan. Hal ini sejalan dengan dengan prinsip bahwa
alokasi mengutama daerah yang mempunyai kegiatan produksi
yang lebih besar. Kedua, alokasi DAU dilakukan berdasarkan
prinsip ”celah fiskal” yaitu perbedaan antara kebutuhan dan
kemampuan fiskal masing-masing daerah. Alokasi investasi disini
dilakukan untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar
wilayah dengan memprioritaskan alokasi lebih besar kepada
daerah dengan kemampuan fiskal kecil. Ketiga, alokasi DAK yang
dilakukan sesuai dengan permasalahan khusus yang dihadapi oleh
suatu daerah seperti kemiskinan, prasarana yang rusak berat,
adanya penyakit menular dan permasalahan lainnya. Disini terlihat
bahwa dalam prakteknya, prinsip untuk memaksimumkan
pertumbuhan ekonomi harus pula disejalankan dengan prinsip
pemerataan pembangunan antar wilayah.

164
oo0oo

165

Anda mungkin juga menyukai