Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jalan merupakan salah satu prasarana transportasi yang paling vital dan paling lazim
digunakan karena fleksibilitas moda transportasinya. Untuk transportasi jarak dekat dan
menengah jalan raya merupakan prasarana transportasi yang paling optimal untuk saat
ini. Pergerakan barang dan jasa dapat diakomodasi dengan mudah dengan jalan raya
karena tidak memerlukan sarana pendukung yang terlalu banyak dan pergerakannya
sangat bebas. Hal ini menjadikan transportasi jalan raya menjadi prasarana transportasi
yang paling banyak digunakan dan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.
Seiring dengan pertumbuhan pergerakan barang dan jasa, maka diperlukan
pembangunan sarana transportasi jalan raya yang memadai untuk mengakomodasinya.
Pembangunan jalan baru sering menemui berbagai masalah. Selain itu, dampaknya juga
harus diperhitungkan terlebih dahulu baik dari aspek sosial, ekonomi, aturan hukum, dan
lain – lain agar tidak menimbulkan masalah yang lebih kompleks dikemudian hari.
Jalan yang telah ada pun harus terus dilakukan perawatan untuk menjaga kualitasnya.
Dengan menurunnya kualitas jalan maka kenyamanan pengguna jalan akan terganggu
dan kendaraan yang melintasi juga akan menurun produktifitasnya. Yang menjadi
perhatian utama dengan turunnya kapasitas jalan maka pergerakan barang dan jasa akan
terhambat yang menjadi suatu kerugian materi bagi banyak pihak. Akan lebih parah jika
terjadi kerusakan jalan dan menimbulkan korban jiwa yang tidak bisa dinilai dengan
materi.
Jalan Margonda Raya merupakan jalan yang menghubungkan kota DKI Jakarta dan
Kota Depok serta menjadi pusat perdagangan dan pendidikan di kawasan kota Depok.
Peta lokasi jalan dapat dilihat pada Gambar 1. Panjang jalan Margonda Raya adalah
4,895 km. Berdasarkan fungsinya jalan Margonda Raya dapat digolongkan sebagai jalan
arteri sekunder.

1
Lokasi

Gambar 1 Peta Lokasi Jalan

B. Metode Analisa Komponen


Dalam studi kasus ini digunakan SNI 1732-1989-F (Tata Cara Perencanaan Tebal
Perkerasan Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen) sebagai acuan.
Metode Analisa Komponen SNI 1732-1989-F merupakan metode yang bersumber
dari AASHTO 1972 yang disesuaikan dengan kondisi jalan di Indonesia. Selain itu,
metode ini juga merupakan penyempurnaan dari Pedoman Penentuan Tebal Perkerasan
Lentur Jalan Raya no. 01/PD/B/1983. Rumus dasar metode Analisa Komponen diambil
dari AASHTO 1972 revisi 1981 dengan beberapa penyesuaian. Metode Analisa
Komponen merupakan metode empiris yang dibuat berdasarkan penelitian terhadap jalan
yang telah ada sebelumya di Indonesia. Faktor – faktor yang dipertimbangkan pada
metode empirik juga dapat sangat bervariatif.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Lintas Ekivalen Rencana (LER)


Tahapan – tahapan perhitungan nilai lintas ekivalen rencana yang perlu dilakukan
adalah sebagai berikut:
1. Lalulintas Harian Rata – Rata (LHRT) Tahun 2017 (Akhir Umur Rencana)

LHR 2012 perlu dihitung untuk mendapat nilai LHR 2017 dalam memperkirakan
lalu lintas harian rata – rata pada akhir umur perkerasan. Sebagai contoh untuk
golongan 2 & 3 dihitung dengan persamaan :
𝐿𝐻𝑅𝑡 = 𝐿𝐻𝑅0×(1+𝑖)𝑈𝑅
𝐿𝐻𝑅2017 = 𝐿𝐻𝑅2012×(1+𝑖)𝑈𝑅
𝐿𝐻𝑅2017 = 18535×(1+5%)5 = 23656
Dengan : LHRt= lalulintas harian rata – rata pada akhir umur rencana

LHR 0= lalulintas harian rata – rata pada awal umur rencana

i = faktor pertumbuhan lalulintas selama masa pelaksanaan (%)


UR = umur rencana (tahun)
Nilai lalulintas harian rata-rata pada akhir umur rencana (LHR t) ditunjukan pada

Tabel 1
LHR Pertumbuha LHR
Jenis Kendaraan
2012 n Lalulintas 2017
Kend. Ringan 2 ton 18535 5% 23656
bus 8 ton 841 5% 1073
truck 2 as 13 ton 557 5% 711
truck 3 as 20 ton 313 5% 399

Tabel 1 Hasil Perhitungan Lalulintas Harian Rata – Rata


Pada Akhir Umur Rencana (LHR)

2. Koefisien Kendaraan
Besarnya koefisien distribusi kendaraan (C) didasarkan pada jenis kendaraan,
jumlah arah dan jumlah lajur. Jalan Margonda Raya terdiri dari 2 lajur dan 2 arah.
Besarnya koefisien distribusi kendaraan (C) dapat dilihat pada Tabel 2..

3
Kendaraan ringan Kendaraan berat
Jumlah
Berat total < 5 T Berat total > 5 T
lajur
1 arah 2 arah 1 arah 2 arah

1 1,00 1,00 1,00 1,000


2 0,60 0,50 0,70 0,500
3 0,40 0,40 0,50 0,475
4 - 0,30 - 0,450
5 - 0,25 - 0,425
6 - 0,20 - 0,400

Tabel 2 Koefisien Distribusi Kendaraan pada Lajur (C)

Sesuai dengan Tabel 5 maka besarnya koefisien distribusi kendaraan sebesar 0,5
untuk kendaraan ringan dan 0,5 untuk kendaraan berat.

3. Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan


Angka ekivalen setiap jenis kendaraan berbeda – beda tergantung jumlah sumbu,
beban, dan konfigurasi sumbunya. Nilai total angka ekivalen merupakan hasil
penjumlahan dari angka ekivalen sumbu depan dan angka ekivalen sumbu belakang.
Tabel berikut menyebutkan angka ekivalen terhadap berbagai beban kendaraan sesuai
dengan yang tercantum dalam:

4
Tabel 3 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan
(Sumber : SNI 1732-1989-F)

Berikut adalah rekapitulasi angka ekivalen terhadap kendaraan yang melintas pada
daerah penelitian :
GVW Konfigurasi Beban (Kg) Angka Ekivalen
Jenis Kendaraan Total
(Kg) Depan Belakang Depan Belakang
Kend. Ringan 2 ton 2000 1000 1000 0.0002 0.0002 0.0004
Bus 8 ton 8000 3000 5000 0.0183 0.141 0.1593
Truck 2 as 13 ton 13000 5000 8000 0.141 0.9238 1.0648
Truck 3 as 20 ton 20000 6000 14000 0.2923 0.7452 1.0375

Tabel 4 Angka Ekivalen (E) Aktual

4. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP)


Lintas ekivalen permulaan dihitung dengan menggunakan LHR pada awal umur
rencana (LHR 2012). Perhitungan LEP mengacu pada rumus berikut :

Dengan : LEP = Lintas Ekivalen Permulaan

5
LHR = Lalulintas Harian Rata – Rata Pada Awal Umur
Rencana
C = Koefisien Distribusi Kendaraan
E = Angka Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan
j = Jenis Kendaraan

Hasil perhitungan nilai Lintas Ekivalen Akhir (LEP) disajikan dalam tabel berikut :
Jenis Kendaraan LHR 2012 Koef. C Koef. E LEP
Kend. Ringan 2 ton 18535 0.5 0.0004 3.707
Bus 8 ton 841 0.5 0.1593 66.986
Truck 2 as 13 ton 557 0.5 1.0648 296.547
Truck 3 as 20 ton 313 0.5 1.0375 162.369

Tabel 5 Nilai Lintas Ekivalen Permulaan (LEP)

Dari tabel 5 didapatkan nilai total LEP adalah : 529,608

5. Lintas Ekivalen Akhir (LEA)


Lintas ekivalen akhir dihitung dengan menggunakan LHR pada akhir umur
rencana (LHR 2017). Perhitungan LEA mengacu pada rumus berikut :

Dengan : LEA= Lintas Ekivalen Akhir


LHR = Lalulintas Harian Rata – Rata Pada Awal Umur
Rencana
C = Koefisien Distribusi Kendaraan
E = Angka Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan
j = Jenis Kendaraan
i = Pertumbuhan Lalulintas
UR = Umur Rencana

Hasil perhitungan nilai Lintas Ekivalen Akhir (LEA) dapat dilihat pada tebel berikut :

6
Jenis
LHR 2017 Koef. C Koef. E LEA
Kendaraan
Kend. Ringan 2
23656 0.5 0.0004 4.731
ton
Bus 8 ton 1073 0.5 0.1593 85.493
Truck 2 as 13 ton 711 0.5 1.0648 378.477
Truck 3 as 20 ton 399 0.5 1.0375 207.228
Tabel 6 Nilai Lintas Ekivalen Akhir (LEA)

Dari tabel 6 didapatkan nilai total LEP adalah : 675,929

6. Lintas Ekivalen Tengah (LET)


Nilai Lintas ekivalen tengah didapat dengan merata – ratakan nilai lintas ekivalen
awal dan lintas ekivalen akhir. Nilai LET dihitung dengan rumus berikut:
1
LET =
2 ( LEP+ LEA )
1
LET = (529,608+ 675,929 )=602,769
2

7. Lintas Ekivalen Rencana (LER)


Nilai LER didapat dengan mengalikan LET dan faktor penyesuaian (FP). Faktor
penyesuaian ditetapkan dengan menggunakan umur rencana (UR) 5 tahun adalah
sebagai berikut :
LER=LET x FP
UR
LER=LET x
10
5
LET =602.765 x =301,384
10

B. Daya Dukung Tanah (DDT) dan California Bearing Ratio (CBR)


Daya dukung tanah (DDT) adalah suatu skala yang dipakai dalam nomogram
penetapan tebal perkerasan untuk menyatakan kekuatan tanah dasar. Sementara ini
dianjurkan untuk mendasarkan daya dukung tanah dasar hanya kepada pengukuran nilai
CBR. Daya dukung tanah dapat dihitung dengan cara grafis dan analitis. Nilai DDT
dapat ditentukan menggunakan nomogram dengan menarik garis lurus CBR terhadap
DDT.

7
1. California Bearing Ratio (CBR)
Data CBR tanah dasar didapatkan dari hasil uji DCP (Dynamic Cone
Penetrometer). Data CBR dianalisa dengan metode grafis untuk mendapatkan nilai
CBR rencana. Nilai CBR rencana adalah nilai persentase kumulatif 90%.
Nilai CBR diurutkan dari nilai terendah ke nilai tertinggi dan dihitung nilai CBR
yang sama atau lebih besar. Setelah itu, dihitung nilai persentase CBR kumulatif yang
sama atau lebih besar. Nilai CBR yang telah dianalisa tersebut dapat dilihat pada
Tabel 7.

Tabel 7 Nilai CBR Aktual

Gambar 2 Grafik Hubungan Antara CBR Tanah Dasar dan % CBR Kumulatif

8
Berdasarkan Gambar 2 didapat nilai CBR pada percentile 90% sekitar 3,25%. Dengan
demikian nilai CBR rencana ditetapkan sebesar 3,25%.

2. Daya Dukung Tanah (DDT)


Perhitungan nilai daya dukung tanah (DDT) dihitung dengan memasukan nilai
CBR rencana yang sebelumnya telah dihitung sebesar 3,25% pada persamaan dari
Bina Marga sebagai berikut :
𝐷𝐷𝑇 = 4,3 log 𝐶𝐵𝑅 + 1,7 𝐷𝐷𝑇 = 4,3 log 3,25 + 1,7 = 3,9

C. Faktor Regional (FR)


Faktor regional (FR) adalah faktor setempat, menyangkut keadaan lapangan dan
iklim, yang dapat mempengaruhi keadaan pembebanan, daya dukung tanah dasar dan
perkerasan. Nilai faktor regional ditentukan dengaan 3 parameter yaitu curah hujan,
kelandaian dan persentase kendaraan berat.

1. Curah Hujan
Data curah hujan didapatkan dengan melakukan survey terhadap curah hujan
yang dilaksanakan dari tahun 2000 hingga tahun 2010. Data tersebut dalam satuan
mm/bulan dan dijumlahkan untuk mendapatkan curah hujan tahunan. Data curah
hujan diambil dari stasiun hidrometri setempat.
Data curah hujan yang digunakan dalam perencanaan adalah nilai curah hujan
tahunan tertinggi. Curah hujan tahunan tertinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar 3952
mm/tahun.

2. Kelandaian / Alinyemen
Kelandaian yang digunakan untuk perencanaan ruas jalan Margonda Raya
diambil dari perencanaan lengkung vertikalnya. Dari lengkung vertikal tersebut
didapat kemiringan tertinggi sebesar 5,62%.

3. Persentase Kendaraan Berat


9
GVW Kategori Persentase
Jenis Kendaraan LHR 2012 Jumlah
(ton) Kendaraan *) Kendaraan (%)
Kend. Ringan 2 ton 2 Ringan 18535
19376 95.703
Bus 8 ton 8 Ringan 841
Truck 2 as 13 ton 13 Berat 557
870 4.297
Truck 3 as 20 ton 20 Berat 313
20246 20246 100.0
*) Kendaraan Berat ≥ 13 ton
Kendaraan Ringan ≤ 13 ton

Tabel 8 Perhitungan Persentase Kendaraan Berat

4. Faktor Regional
Nilai curah hujan, kelandaian, dan persentase kendaraan berat yang didapat akan
dijadikan dalam acuan dalam penentuan nilai Faktor Regional (FR), dengan merujuk
pada tabel berikut :

Tabel 9 Nilai Faktor Regional (FR)


(Sumber : SNI 1732-1989-F)

Catatan:Pada bagian jalan – jalan tertentu, seperti persimpangan, pemberhentian,


atau tikungan tajam (jari – jari 30 m) FR ditambah dengan 0,5. Pada derah
rawa – rawa FR ditambah dengan 1,0.

Berdasarkan data curah hujan didapat nilai 3952 mm/tahun sehingga > 900
mm/tahun. Persentase kendaraan berat sebesar 4,297%. Kelandaian ditentukan
berdasarkan alinyemen vertikalnya. Kemiringan terbesar adalah 5,62% sehingga dapat
ditetapkan memiliki kelandaian < 6%. Dari data tersebut, sesuai dengan Tabel 9 maka
nilai FR ditentukan sebesar 1,5.

D. Indeks Permukaan (IP)


Indeks permukaan (IP) adalah suatu angka yang dipergunakan untuk menyatakan
kerataan/kehalusan serta kekokohan permukaan jalan yang bertalian dengan tingkat

10
pelayanan bagi lalulintas yang lewat. Nilai IP dan pengertiannya ditunjukan pada Tabel
10

Tabel 10 Nilai Indeks Permukaan (IP)


(Sumber : SNI 1732-1989-F)

Nilai Indeks permukaan perkerasan lentur dibagi menjadi dua yaitu pada awal
umur rencana dan akhir umur rencana. Penentuan nilai indeks permukaan tersebut
adalah sebagai berikut :

1. Indeks permukaan awal umur rencana (IPo). Nilai IPo ditentukan berdasarkan jenis
lapis perkerasan yang digunakan. Nilai IPo dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Indeks Permukaan Awal Umur Rencana (IPo)


(Sumber : SNI 1732-1989-F)

Nilai IPo ditentukan berdasarkan jenis lapis perkerasan yang digunakan. Karena
jenis perkerasan yang digunakan ditetapkan dengan menggunakan aspal beton
(Laston). Alat pengukur Roughness yang dipakai adalah Roughometer NAASRA
yang dipasang pada kendaraan standar Datsun 1500 Station Wagon, dengan kecepatan

11
kendaraan ± 32 km/jam. Dari hasil pengukuran didapatkan nilai Roughness asebesar
1254 mm/km (≥1000). Sesuai pada Tabel 11 maka besarnya IPo adalah ≥ 4.

2. Indeks Permukaan akhir umur rencana (IPt). Nilai IPt ditentukan berdasarkan nilai
lintas ekivalen rencana (LER) dan klasifikasi kelas jalan. Nilai IPt Tabel 12. Indeks
permukaan akhir umur rencana (IPt )

Tabel 12 Indeks Permukaan Akhir Umur Rencana (IPt)


(Sumber : SNI 1732-1989-F)

*) LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal
Catatan:Pada proyek – proyek penunjang jalan, JAPAT/jalan murah, atau jalan
darurat maka IP dapat diambil 1,0

Berdasarkan perhitungan sebelumnya didapat LER sebesar 301,384 dan jalan


termasuk kelas jalan arteri. Oleh karena itu, dari Tabel 12 didapatkan nilai IPt sebesar
2,0.

E. Indeks Tebal Perkerasan (ITP)


Indeks tebal perkerasan (ITP) merupakan fungsi dari daya dukung tanah, faktor
regional, lintas ekivalen rencana, dan indeks permukaan. Perkerasan tidak menggunakan
metode konstruksi bertahap, maka nilai ITP dapat langsung dihitung. Dari perhitungan
sebelumnya didapatkan IPo ≥ 4 dan IPt = 2,0. Nilai ini digunakan untuk menentukan

nomogram yang digunakan. Kemudian nilai DDT (3,9) dan LER (301,384) digunakan
untuk mendapatkan nilai ITP dan selanjutnya dikoreksi dengan FR 1,5 untuk
mendapatkan ITP seperti pada Gambar 3.

12
Gambar 3 Plotting Pada Nomogram IPo ≥ 4 dan IPt = 2,0

Berdasarkan nomogram pada Gambar 3 didapat nilai ITP 9,5. Nilai ini yang didapat akan
digunakan dalam penentuan tebal masing – masing lapis perkerasan.

F. Tebal Masing-Masing Lapis Perkerasan


Tebal lapis perkerasan ditentukan berdasarkan bahan yang dipakai dan nilai ITP hasil
ploting pada nomogram. Untuk masing-masing lapisan, tebalnya memiliki standar
minimum yang berbeda ditentukan sesuai dengan nilai ITP.
1. Lapis Permukaan.
Berdasarkan bahan yang digunakan, tebal lapis permukaan minimum ditunjukan
pada Tabel 13.

13
Tabel 13 Batas Minimum Tebal Lapis Permukaan
(Sumber : SNI 1732-1989-F)
2. Lapis Fondasi.
Berdasarkan bahan yang digunakan, tebal lapis fondasi minimum ditunjukan
pada Tabel 14.

*) batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm bila untuk fondasi bawah


digunakan material berbutir kasar.
Tabel 14 Batas Minimum Tebal Lapis Pondasi
(Sumber : SNI 1732-1989-F)
3. Lapis Fondasi Bawah
Tebal minimum bila menggunakan fondasi bawah, untuk setiap nilai ITP adalah
10cm.
Nilai koefisien kekuatan relatif ditunjukan Tabel 15.

14
Tabel 15 Koefisien Kekuatan Relatif
(Sumber : SNI 1732-1989-F)

Perkerasan dengan menggunakan komposisi aspal (MS 454) untuk lapis


permukaan, batu pecah CBR 60% untuk fondasi atas dan siru/pitrun CBR 30% untuk
fondasi bawah. Dengan nilai ITP 9,5 maka tebal minimum (Dmin) koefisien kekuatan
relatif (a) setiap lapisan adalah sebagai berikut :
a. Lapis permukaan, aspal MS 454, a1 = 0,32
ITP=9,5, maka batas tebal minimum lapis permukaan adalah 7,75 cm
b. Lapis fondasi atas, sirtu/pitrun CBR 60%, a2 = 0,12
ITP=9,5, maka batas tebal minimum lapis fondasi atas adalah 20 cm
c. Lapis fondasi bawah, batu pecah CBR 30%, a3 = 0,13
ITP=9,5, maka batas tebal minimum lapis pondasi bawah adalah 10 cm

15
Penentuan ketebalan masing-masing lapisan mengikuti rumus berikut :
ITP=a 1. D 1+a 2. D2+ a 3. D 3
dimana, D1, D2, D3 = tebal masing-masing lapisan.

ITP = 0,32.D1 + 0,12.20 + 0,13.10


9,5 = 0,32.D1 + 2,4 + 1,3 0,32.D1 = 9,5 – 3,7
D1 = 18,125 ~ 19 cm.

Abuton (MS 454)


19 cm

Batu Pecah (CBR 60%)


20 cm

Sirtu (CBR 30%)


10 cm

Subgrade (CBR 3,25%)

Gambar 4 Gambar Susunan Perkerasan

16

Anda mungkin juga menyukai