Anda di halaman 1dari 32

ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN.

F
DENGAN DENGUE SHOCK SYNDROME (DSS)
DI RUANG PICU RSUD dr. SOEKARDJO KOTA TASIKMALAYA

Oleh :
Kelompok 3

Ade Rizky Akbar Ninis Koerunnisa


Aditiya Kusmayadi Nisa Fauziyah
Atik Fithriani Nisrina Maimunah
Dian Aziz Rina Andriani
Dinda Pratiwi DM Rina Nur’aeni
Furkon Fauzi R Risnawati
Ika Widi Rahayu Tata Kuswaya
Leni Resmayani Thomy Valentino
Mia Juaningsih Tsana Insyirah Darajat
M. Irvan Riva’i S WaraArif Handayani
M. Tegar Adi G Wulan Ayu Rahmawati
Ningrum Septiani Yuni Savitri Husnul K

PROGRAM PROFESI NERS


STIKesMUHAMMADIYAH CIAMIS
2020
ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN.F
DENGAN DENGUE SHOCK SYNDROME (DSS) DI RUANG PICU
RSUD dr. SOEKARDJO KOTA TASIKMALAYA

I. IDENTITAS
A. Identitas Klien
Nama : An F
Umur : 7 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
No. MR : 17023***
Tanggal : 16-02-2013
Agama : Islam
Alamat : Pamipiran Rt. 04/06 Kel. Leuwiliang Kec. Kawalu Kota
Tasikmalaya
Diagnosa medis : Dengue Shock Syndrome

B. Identitas Orang Tua


Nama ayah : Tn R
Umur : 33 thun
Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Buruh
Nama ibu : Ny F
Umur : 27 thun
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam

Primary Survei
Airway : Terdapat suara nafas tambahan ronchi dan whezeing
Breathing : Sesak Nafas, tampak adanya pergerakan retraksi dinding
dada, SPO2 98%, RR 66x/menit, terpasang O2 baging 6
lpm/NRM
Circulation : HR 125 x/menit, CRT < 3 detik, akral hangat, suhu 39oC,
bunyi jantung S1 S2 Reguler (Lup Dup)
Disability : Kesadaran composmentis dengan PCS 15
E4M6V5 Exposure : Tidak terdapat jejas
Folly Chateter : Terpasang DC diuresis 400 cc warna kuning pekat
Gastric Tube :Terpasang decompresi produksi 15 cc warna coklat
kehitaman,klien di puasakan
Heart Monitor :HR: 125 x/menit, RR: 66 x/menit, SPO2 98%, Suhu : 39oC

C. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
: Sesak nafas
2. Riwayat Kesehatan Sekarang :
Klien masuk tanggal 20 Juli 2020 dengan keluhan 5 hari badan panas, 1
hr nafas sesak klien masuk ke ruangan melati 5. Klien masuk ke ruang
PICU pada tanggal 21 Juli 2020 pukul 19.45 WIB dengan keluhan nafas
sesak. Pada saat dilakukan pengkajian nafas sesak, terpasang O2 baging 6
lpm/NRM, klien tampak terdapat retraksi dinding dada, akral hangat,
CRT < 3 detik, kesadaran klien composmentis dengan PCS 15 E4M6V5,
terpasang infus Assering 77cc/jam infusan pump terpasang, klien juga
terpasang NGT decompresi produksi 15cc warna coklat kehitaman, klien
di puasakan.
3. Riwayat Kesehatan Dahulu :
Sebelumnya klien pernah dirawat saat berusia 3 tahun di RAB dengan
diare
4. Riwayat Kesehatan Keluarga :
Tidak mempunyai riwayat penyakit keturunan seperti diabetes
5. Riwayat Kehamilan Ibu :
Ibu klien mengatakan selama ANC setiap bulan rutin diperiksa ke bidan,
klien pada usia 9 bulan (cukup bulan)
6. Riwayat Persalinan :
Persalinan di bantu oleh bidan di rumah, dan bayi langsung menangis
kuat
7. Riwayat Imunisasi :
Klien sudah di berikan imunisasi lengkap
8. Riwayat Tumbuh Kembang :
a. Riwayat Pertumbuhan
BBL : 2,8 kg, PB : 52 cm
BB saat ini : 21 kg
PB saat ini : 130 cm
b. Riwayat Perkembangan
Klien tumbuh seperti anak seusianya, termasuk aktif bermain. Saat
ini klien berusia 7 tahun dan telah masuk kelas 1 SD.

D. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : Composmentis dengan PCS 15 E4M6V5
TTV : 121/79 mmHg
HR : 125 X/menit
RR : 66X/Menit
SPO2 : 98%
Suhu : 39 C

Secondary Survey :
 Sistem pernafasan : Sesak nafas, terdapat retraksi dinding dada, suara
nafas rochi (+), whezzing (+), terpasang O2 baging 6 lpm/NRM
 Sistem persyarafan : kesadaran composmentis dengan PCS 15 E4M6V5,
reflek patela (+), refleks babinski (+)
 Sistem kardiovaskuler : Bunyi jantung S1 S2 reguler (lup dup). CRT < 3
detik, akral hangat
E. Data penunjang
Tanggal pemeriksaan : 20-07-2020

Hasil pemeriksaan labolatorium

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan Metode


Hematology
Hemoglobin 16.9 12-14 g/dL Auto Analyzer
Hematokrit 44 40-50 % Auto Analyzer
Jumlah Leukosit 4.300 5000-10000 /mm3 Auto Analyzer
Jumlah 40.000 150000- /mm3 Auto Analyzer
Trombosit 350000
Dengue NS1 Positif

Tanggal pemeriksaan : 21-07-2020

Hasil pemeriksaan labolatorium


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan Metode
Hematology
Hemoglobin 10,2 11,5-15,5 g/dL Auto Analyzer
Hematokrit 30 40-50 % Auto Analyzer
Jumlah Leukosit 8.200 5000-10000 /mm3 Auto Analyzer
Jumlah 76.000 150000- /mm3 Auto Analyzer
Trombosit 350000
Faal Hati/Jantung
Albumin 2,15 3,2-4,8 g/dl
Globulin 1,37 2,3-3,5 g/dl
Protein 3,52 6-7 g/dl
Tanggal pemeriksaan : 22-07-2020

Hasil pemeriksaan labolatorium


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan Metode
Hematology
Hemoglobin 13,2 11,5-15,5 g/dL Auto Analyzer
Hematokrit 36 40-50 % Auto Analyzer
Jumlah Leukosit 7.500 5000-10000 /mm3 Auto Analyzer
Jumlah 41.000 150000- /mm3 Auto Analyzer
Trombosit 350000
Faal Hati/Jantung
SGPT 128 21-72 u/l
SGOT 632 31-72 u/l
GDS 140 120-140 mg/dl
Elektrolit
Natrium, Na 127 135-145 mmol/l ISE
Kalium, K 4,4 3,5-5,5 mmol/l ISE
Kalsium, Ca 1,08 8,8-10,8 mmol/l ISE

Terapi :

 Inf. Assering=75 cc/ jam.inf.pump terpasang


 Inf. (2) Dopamin 15 mg jd 50 cc Dex. 5% =1,8 cc/jam.syring pump
terpasang
 Ceftriaxone 1gr/12 jam IV
 Sanmol Inf. 250 mg/6 jam IV
II. ANALISA DATA
No Data Etiologi Masalah
1 DS: Hiperventilasi Ketidakefektifan pola
DO: nafas
 Terdapat suara nafas
tambahan ronkhi
 whezzing +,
 RR 66x/menit
 Nadi : 125x/menit
 Suhu : 39oC
 SPO2 98%
 Adanya retraksi dinding
dada,
 terpasang ventilator,
 terpasang O2 baging
6lpm/etT,
2 DS: Proses penyakit Hipertermi
DO:
 Badan terasa hangat
 Proses penyakit
Hipertermi
 Suhu : 39oC
 Nadi : 190x/menit
 SPO2 98%
3 Ds : Hipovolemia Resiko syok
Do : hipovolemik
TD = 121/79 mmHg
RR = 66x/menit
Nadi : 125x/menit
Akral hangat
Trombosit 41.000
(menurun)
4 Ds : kehilangan cairan Kekurangan volume
Do : aktif cairan
TD = 121/79 mmHg
RR = 66x/menit
Nadi : 125x/menit
Akral hangat
CRT < 3
6 Ds : Intake nutrisi Ketidakseimbangan
Do : yang tidak nutrisi
 terpasang NGT adekuat (puasa)
decompresi produksi
15cc warna coklat
kehitaman,
 klien di
puasakan.
 Albumin 2,15
(menurun)
 Globulin 1,37
(menurun)
 Protein
3,52(menurun)
 Terpasang infus
Dex. 5% =1,8
cc/jam.syring pump
terpasang

III. Intervensi Keperawatan


NO. Diagnosa NOC NIC
1. Ketidakefekti Dalam waktu 3x24 jam Manajemen jalan nafas
fan pola nafas setelah diberikan 1 Monitor status pernafasan
berhubungan intervensi pola nafas dan oksigenasi.
dengan menjadi lebih efektif 2 Posisikan pasien untuk
hiperventilasi Status pernafasan: memaksimalkan ventilasi.
kepatenan jalan nafas Monitor pernafasan :
Kriteria hasil: 1 Monitor
1 Frekuensi pernafasan kecepatan,irama,kedalaman
dalam batas normal. dan kesulitan bernafas.
2 Tidak menggunakan 2 Monitor pola nafas.
otot bantu 3 Catat pergerakan dada,
pernafasan. catat ketidaksimetrian,
3 Irama pernafasan penggunaan
teratur. otot batu nafas dan retraksi
pada intercosta. Pengaturan
posisi : Monitor status
oksigenasi sebeleum dan
setelah perubahan posisi.
Terapi oksigen : Monitor
efektifitas terapi oksigen
2. Hipertermia Dalam waktu 3x24 jam Perawatan demam :
b/d penyakit setelah diberikan 1. suhu dan tanda-tanda vital
intervensi suhu tubuh lainnya.
nomal. Tanda-tanda vital 2. Monitor warna kulit dan
Kriteria hasil : suhu.
1. Suhu tubuh nomal (36- 3. Tutup pasien dengan selimut
37 derajat atau pakaian ringan,
celcius). tergantung pada fase demam
( yaitu: selimut hangat pada
fase dingin dan pakaian atau
linen tempat tidur ringan
pada fase demam dan fase
bergejolak
3. Resiko syok Dalam waktu 3x24 jam Syok prevention :
hipovolemik setelah diberikan 1. Monitor status
intervensi klien tidak sirkulasi,warna kulit,
mengalami syok. Kriteria suhu, denyut jantung,
hasil : nadi perifer.
1. TTV dalam batas 2. Monitor pernafasan
normal dan suhu tubuh
2. Irama jantung 3. Monitor input dan
normal output
3. Hasil lab normal 4. Monitor hemodinamik
4. Tidak mengalami 5. Monitor tanda awal
tanda-tanda syok syok
Syok management
1. Monitor fungsi
neurologis
2. Monitor fungsi renal
3. Monitor tekanan nadi
4. Monitor status cairan
4. Kekurangan Kirteria hasil: Manajemen hipovolemi
volume cairan  Tingkat kesadaran  Monitor terhadap adanya
normal respon kompensasi awal
 TTV normal syok
 Eliminasi urin normal  Monitor tanda awal dari
 pendarahan berhenti penurunan fungsi jantung
 Tidak ada mual  Monitor penyebab
muntah kehilangan cairan
 Monitor status sikulasi
 Monitor hasil lab (Hb, Hct,
AGD, elektrolit)
 Berikan cairan IV kristaliod
hangat 1 liter dengan IV
cateter besar
 Berikan IV fluid challenge
sementara melakukan
monitor hemodinamik dan
urin output
 Berikan anti aritmia,
diuretik dan/atau
vasopresor sesuai
kebutuhan

5. Penurunan
curah jantung Kriteria hasil : TTV  Monitor TTV
dalam batas normal,  Monitor EKG
tidak ada suara jantung  Lakukan
tambahan, tidak ada penilaian
tanda sianosis komprehensif
pada sirkulasi
perifer
 Monitor tanda dan
gejala penurunan curah
6. Ketidakseimb Dalam waktu 3x24 jam 1. Ciptakan lingkungan yang
angan nutrisi setelah diberikan nyaman
intervensi 2. Kaji pola makan pasien,
Mempertahankan nutrisi makanan yang disukai dan
yang adekuat dengan tidak disukai
kriteria hasil: 3. Berikan makanan yang
1. menunjukan BB disertai dengan suplemen
stabil nutrisi untuk meningkatkan
2. Intake dan output kualitas intake nutrisi
seimbang. 4. Anjurkan makan dengan
3. Turgor kulit baik. porsi kecil tapi sering
secara bertahap
5. Lakukan perawatan mulut
sesudah dan sebelum
makan
6. Timbang berat badan
pasien
7. Kolaborasi dengan tim ahli
gizi
Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 2

Efektivitas Cairan Kristaloid dan Koloid Pasien Demam Berdarah Anak di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Bantul

Baiq Adelina Atbam Munawwarah1*, Dyah Aryani Perwitasari1, Nurcholid Umam Kurniawan2,3
1
Pascasarjana Fakultas Farmasi, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
2
Staf Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
3
KSM Ilmu Kesehatan Anak RS PKU Muhammadiyah Bantul, Yogyakarta

*Corresponding author: baiqadelina@gmail.com

Abstract
Background: The key of successful management therapy in dengue fever is the fulfillment of fluid requirements.
The important thing to consider in fluid therapy is the type of fluid and amount of fluid given. Objective: The
purpose of this study was to determine the effectiveness of different types of fluids on clinical, laboratory
improvement and length of stay of pediatric fever patients in PKU Muhammadiyah Bantul Hospital. Methods:
Patients with dengue fever who fulfilled inclusion criteria were given crystalloid (ringer lactate) or colloid
(gelatin) fluid and were monitored body temperature, hematocrit, platelet count and length of stay. The results
were analyzed using SPSS with unpaired t test. Results: Both groups showed significant differences (p < 0.05)
on platelet count (24 and 48 hours of fluid administration), hematocrit value (72 hours of fluid administration)
and length of stay while the two groups did not show significant differences (p > 0.05) on symptom of fever (body
temperature). Conclusion: Colloid fluid therapy has a better effect on improving clinical and laboratory
symptom and reducing patient length of stay.

Keywords: dengue fever, crystalloid, colloid

Abstrak
Pendahuluan: Kunci keberhasilan terapi pada demam berdarah yaitu tercukupinya kebutuhan cairan. Hal
penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan yaitu jenis cairan dan jumlah cairan yang diberikan. Tujuan:
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui efektivitas perbedaan jenis cairan terhadap perbaikan klinis,
laboratoris dan lama rawat inap pasien demam berdarah anak di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Bantul.
Metode: Pasien anak demam berdarah yang memenuhi kriteria inklusi diberikan cairan kristaloid (ringer laktat)
atau koloid (gelatin) dan dilakukan pemantauan suhu tubuh, hematokrit, trombosit dan lama rawat inap. Hasil
dianalisis mengunakan SPSS dengan unpaired t test. Hasil: Kedua kelompok menunjukkan perbedaan yang
bermakna (p < 0,05) terhadap nilai trombosit (24 dan 48 jam pemberian cairan), nilai hematokrit (72 jam
pemberian cairan) dan lama rawat inap sedangkan kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p >
0,05) pada gejala demam (suhu tubuh). Kesimpulan: Terapi cairan koloid memberikan pengaruh yang lebih baik
terhadap perbaikan gejala klinis dan laboratoris serta mengurangi lama rawat inap pasien.

Kata kunci: demam berdarah, kristaloid, koloid

PENDAHULUAN yang terserang setiap 4 - 5 tahun. Kelompok umur yang


Demam berdarah dangue (DBD) merupakan salah sering terkena adalah anak–anak usia 4 - 10 tahun,
satu penyakit yang perjalanan penyakitnya dapat walaupun dapat pula mengenai bayi dibawah umur 1
menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Penyakit tahun (IDAI, 2009). Pengobatan DBD bersifat suportif.
ini merupakan penyakit menular yang sering Tatalaksana berdasarkan kelainan utama yang terjadi
menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia yaitu kebocoran plasma sebagai akibat peningkatan
(Depkes RI, 2011). Di Indonesia, penderita penyakit permeabilitas kapiler. Pemberian cairan kristaloid
DBD terbanyak berusia 5 - 11 tahun (Ginanjar, 2008). isotonik merupakan pilihan untuk menggantikan
Penyakit ini menunjukkan peningkatan jumlah orang volume plasma yang keluar dari pembuluh darah.
P-ISSN: 2406-
9388
Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 2

Pemilihan jenis cairan dan kecermatan penghitungan BAHAN DAN METODE


volume cairan pengganti merupakan kunci Bahan
keberhasilan pengobatan (WHO, 1997). Penelitian ini memperoleh izin dengan terbitnya
Selama beberapa dekade telah terjadi kontroversi surat keterangan layak etik (Ethical Clearance) dari
keuntungan kristaloid dan koloid dalam tatalaksana Komisi Etik Penelitian Kesehatan RSUD Dr.
demam berdarah. Nhan dkk. (2001), membandingkan Moewardi nomor 63/II/HREC/2018. Penelitian ini
resusitasi awal menggunakan 4 macam regimen terapi menggunakan cairan kristaloid yaitu Ringer Laktat dari
cairan menunjukkan hasil bahwa ringer laktat PT. SF sedangkan cairan koloid yaitu gelatin dari PT.
memberikan waktu recovery paling lama sedangkan DM.
gelatin memberikan waktu recovery lebih singkat Metode
(p = 0,017). Penelitian lain yang dilakukan oleh Dung Penelitian ini menggunakan desain penelitian
dkk. (1999), membandingkan 4 macam terapi cairan eksperimental Single Blind Randomised Clinical Trial,
menunjukkan pasien yang menerima terapi cairan dimana peneliti melakukan uji klinis pada kelompok
koloid secara bermakna dapat meningkatkan intervensi dan terdapat kelompok pembanding
hematokrit (p = 0,01), tekanan darah (p = 0,005) dan (comparison). Sejumlah 48 pasien anak dengan anak
denyut nadi (p = 0,02) dibandingkan pasien yang dengan diagnose DF (ICD-10: A90) atau DHF (ICD-
menerima cairan kristaloid. Sementara itu Prasetyo 10: A91) yang memenuhi syarat inklusi dibagi menjadi
dkk. (2009) juga membandingkan efikasi dan dua kelompok yaitu kelompok intervensi (n = 24) yang
keamanan Hydroxyethyl Starch (HES) dengan Ringer mendapatkan terapi cairan koloid berupa inisial
Lactate (RL) pada pasien anak DBD Grade III (gelatin) 10 mL/Kg BB selama 15 menit kemudian
menunjukkan bahwa HES dapat menurunkan nilai dilanjutkan dengan cairan ringer laktat sesuai standar
hemoglobin dan hematokrit secara signifikan terapi rumah sakit dan kelompok kontrol (n = 24) yang
dibandingkan RL. Perbaikan klinis pada denyut nadi mendapatkan terapi cairan kristaloid tunggal berupa
terlihat setelah pemberian HES walaupun tidak secara ringer laktat. Pemberian jenis cairan diberikan
signifikan dibandingkan RL dan tidak ditemukan reaksi berdasarkan randomisasi yang dilakukan selama
yang merugikan selama penelitian pada pasien. penelitian. Randomisasi yang digunakan yaitu
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di randomisasi blok. Kedua kelompok selanjutnya akan
RS PKU Muhammadiyah Bantul Yogyakarta dilakukan pemantauan terhadap parameter klinis yaitu
menunjukkan pasien DHF dan DF (N = 79 pasien suhu tubuh, parameter laboratoris yaitu nilai trombosit
anak) dari bulan September 2016 sampai bulan dan hematokrit setiap 24 jam dan lama rawat inap atau
Agustus 2017 memiliki rata-rata lama rawat inap yaitu length of stay (LOS). Flowchart penelitian disajikan
4,18 ± 1,05 hari dengan lama rawat inap paling singkat dalam Gambar 1.
yaitu 2 hari dan paling lama 7 hari. Tujuan penelitian
untuk mengetahui efektivitas perbedaan jenis cairan
terhadap perbaikan klinis, laboratoris dan lama rawat
inap pasien demam berdarah anak di Rumah Sakit
PKU Muhammadiyah Bantul.
Pasien anak dengan diagnose dengue fever (ICD-10: A90) atau dengue hemorrhagic fever (ICD-10: A91) (n = 48)

Kriteria eksklusi

Single Blinding

Kelompok intervensi (n = 24) Cairan Koloid


Kelompok
(Gelatin)Kontrol (n = 24) Cairan Kristaloid (Ringer Laktat)

Analisis (n = 48)
Perbaikan klinis (suhu tubuh), laboratoris (trombosit dan hematokrit) dan lama rawat inap

P-ISSN: 2406-
9388
Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 2

Gambar 1. Flowchart penelitian


Kriteria inklusi dan eksklusi menjadi 2 kelompok yaitu 24 pasien termasuk dalam
Kriteria inklusi yaitu pasien perempuan dan laki- kelompok cairan kristaloid dan 24 pasien termasuk
laki usia 1 bulan sampai 18 tahun dengan kriteria DF dalam kelompok cairan koloid (gelafusal).
dan DHF di bangsal pediatrik periode Januari 2018 Karakteristik subjek penelitian disajikan pada Tabel 1.
sampai Juni 2018 dan wali pasien bersedia menjadi Hasil analisis pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
peserta penelitian dengan mengisi informed consent. mayoritas jenis kelamin subjek penelitian yaitu
Kriteria eksklusi yaitu pasien yang datang dengan perempuan sejumlah 26 pasien (54,2%) sedangkan
rujukan dari rumah sakit lain yang telah mendapatkan pasien anak laki-laki sejumlah 22 pasien (45,8%).
terapi cairan sebelumnya dan pasien yang mendapat Hasil penelitian ini sesuai penelitian Akhmad (2012),
rujukan ke tingkat pelayanan kesehatan yang lebih yang menyatakan bahwa pada pasien DBD di RSUD
tinggi. Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung menunjukkan
Analisa data pasien terbanyak adalah berjenis kelamin perempuan.
Data hasil penelitian dianalisa secara statistik Penelitian Hukom dkk. (2013) menunjukkan bahwa
untuk melihat karakteristik subjek penelitian dengan uji proporsi jenis kelamin perempuan lebih banyak dari
distribusi frekuensi dan perbedaan efektivitas antara laki-laki dengan persentase 53,2%. Berdasarkan
kelompok cairan kristaloid dan kelompok cairan koloid kelompok usia, Tabel 1 menujukkan mayoritas subjek
menggunakan SPSS versi 21. Analisa data diawali penelitian yaitu kelompok usia 1 - 5 tahun sejumlah
dengan uji normalitas menggunakan Shapiro-wilk dan 35 pasien (72,9%). Hasil penelitian ini sesuai dengan
dilanjutkan menggunkan uji unpaired t test dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Munar Lubis di
taraf kepercayaan 95%. RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2003 (Lubis,
2003) selama periode 5 tahun menunjukkan bahwa
HASIL DAN PEMBAHASAN. kelompok umur yang paling besar yaitu proporsi
Total subjek penelitian yang terlibat sebanyak 48 penderita DBD pada kelompok umur 1 - 5 tahun.
pasien yang memenuhi kriteria inklusi kemudian dibagi
Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian
Cairan
Jumlah total Cairan Koloid
Karakteristik (%) Mean ± Kristaloid Nilai p
SD
n = 24 (%) n = 24 (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 22 (45,8%) 6 (27,3%) 16 (72,7%) a
- 0,564
Perempuan 26 (54,2%) 18 (69,2) 8 (30,8%)
Usia
< 1 tahun 1 (2,0%) - 1 (100%)
1 – 5 tahun 35 (72,9%) 17 (48,6%) 18 (51,4%) 0,320b
6 – 10 tahun 10 (20,8%) 4,4 ± 3,3 5 (50) 5 (50%)
11 – 15 tahun 2 (4,2%) 2 (100) -
Tingkat Keparahan
DF 44 (91,7%) - 21 (87,5%) 23 (95,8%) 0,296a
DHF derajat I 4 (8,3%) 3 (12,5%) 1 (4,2%)
Penyakit Penyerta
Ada 7 (14,6%) - 4 (16,7%) 3 (12,5%) 0,683a
Tidak Ada 41 (85,4%) 20 (83,3%) 21 (87,5%)
Profil Obat (Antipiretik)
Ada 41 (85,4%) 21 (87,5%) 20 (83,3%) 0,683a
Tidak Ada 7 (14,6%) 3 (12,5%) 4 (16,7%)
a
Chi-square test
b
Mann-Whitney test

P-ISSN: 2406-
9388
Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 2

parasetamol yaitu 7 pasien (14,6%). Hasil penelitian ini


Penelitian Muliansyah (2015) menunjukkan pasien sesuai dengan Pranata & Artini (2017) yang
BDB dengan usia dibawah 15 tahun sebanyak 44 orang menunjukkan penggunaan obat antipiretik pada pasien
mengalami DBD tetapi berdasarkan dari penelitian- demam berdarah yaitu 98%. Hasil analisis yang
penelitian sebelumnya menunjukkan umur < 15 tahun dilakukan dengan menggunakan uji Chi-square
lebih rentan terserang virus DBD. Berdasarkan tingkat didapatkan nilai (p = 0,683) artinya tidak terdapat
keparahan penyakit, hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang bermakna pemberian obat parasetamol
mayoritas tingkat keparahan responden penelitian ini antara kelompok cairan kristaloid dan kelompok cairan
yaitu kategori dengue fever (DF) sebanyak 44 pasien koloid.
(91,7%) yang terdiri dari 21 pasien kategori DF pada Analisis nilai suhu tubuh bertujuan untuk melihat
kelompok cairan kristaloid dan 23 pasien kategori DF perbandingan suhu tubuh antara kelompok pasien yang
pada kelompok cairan koloid sedangkan kategori mendapatkan cairan kristaloid dengan kelompok pasien
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) derajat I pada yang mendapatkan cairan koloid. Pengukuran suhu
penelitian ini sebanyak 4 pasien (8,3%) yang terdiri tubuh dilakukan minimal setiap 8 jam/hari selama
dari 3 pasien kategori DHF derajat I pada kelompok menjalani perawatan. Penderita DF dan DHF pada
cairan kristaloid dan 1 pasien DHF derajat I pada penelitian ini berobat ke rumah sakit setelah
kelompok cairan koloid. Hasil analisis yang dilakukan mengalami demam dirumah 2 - 3 hari sebelumnya
dengan menggunakan uji Chi-square didapatkan nilai sehingga pengukuran suhu di rumah sakit diasumsikan
p = 0,296 (p > 0,05) artinya tidak terdapat perbedaan dimulai dari demam hari keempat.Analisis suhu tubuh
yang signifikan antara tingkat keparahan DF atau DHF menggunakan uji unpaired t test yang terdapat pada
terhadap kelompok cairan kristaloid maupun kelompok Tabel 2 menunjukkan perbandingan suhu tubuh antara
cairan koloid. Berdasarkan penyakit penyerta, hasil kelompok pasien yang mendapatkan cairan kristaloid
penelitian menunjukkan pasien yang memiliki penyakit dengan kelompok pasien yang mendapatkan cairan
penyerta pada penelitian ini sebanyak 7 pasien (14,6%) koloid. Hasil uji menunjukkan bahwa tidak terdapat
yang terdiri dari 4 pasien pada kelompok cairan perbedaan rata-rata suhu yang bermakna secara
kristaloid dan 3 pasien pada kelompok cairan koloid. statistik antara kelompok pasien yang menerima cairan
Pada kelompok cairan kristaloid diketahui 3 pasien kristaloid kristaloid dibandingkan kelompok pasien
memiliki penyakit penyerta bronkopneumonia dan 1 yang mendapatkan cairan koloid. Pada demam hari
pasien dengan infeksi saluran kemih sedangkan pada keempat menunjukkan nilai p = 0,963 dengan rata-rata
kelompok cairan koloid diketahui 2 pasien memiliki suhu tubuh kelompok kristaloid 37,18°C sedangkan
penyekit penyerta bronkopneumonia dan 1 pasien rata-rata suhu cairan koloid yaitu 37,16°C. Pada
dengan infeksi saluran kemih. Hasil analisis yang demam hari kelima didapatkan nilai p = 0,421 dengan
dilakukan dengan menggunakan uji Chi-square rata-rata suhu tubuh kelompok cairan kristaloid
didapatkan nilai p = 0,683 (p > 0,05) artinya penyakit 36,25°C dan rata-rata suhu tubuh kelompok cairan
penyerta tidak berpengaruh secara bermakna terhadap koloid yaitu 36,76°C. Demam hari keenam didapatkan
hasil penelitian antara kelompok cairan kristaloid dan nilai p = 0,336 dengan rata-rata suhu tubuh kelompok
kelompok cairan koloid. Pada penelitian ini juga cairan kristaloid 35,96°C dan rata-rata suhu tubuh
dilakukan analisis profil obat antipiretik yang kelompok cairan koloid yaitu 36,76°C. Demam hari
digunakan sebagai standar terapi selain terapi cairan ketujuh diketahui nilai p = 0,226 dengan rata-rata suhu
dalam tatalaksana DF ataupun DHF di rumah sakit. tubuh kelompok cairan kristaloid 36,79°C sedangkan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pasien rata-rata suhu tubuh pada kelompok cairan koloid yaitu
penelitian yang mendapatkan antipiretik berupa 36,65°C. Selanjutnya demam hari kedelapan
parasetamol intravena yaitu 41 pasien (85,4%) yang didapatkan nilai p = 0,085 dengan rata-rata suhu tubuh
terdiri dari kelompok kristaloid sebanyak 21 pasien dan kelompok cairan kristaloid yaitu 37,05°C dan rata-rata
kelompok cairan koloid sebanyak 20 pasien sedangkan suhu tubuh kelompok cairan koloid yaitu 36,64°C.
pasien penelitian yang tidak mendapatkan obat

P-ISSN: 2406-
9388
Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 2

Tabel 2. Perbandingan demam (rata-rata suhu tubuh) merupakan salah satu gejala awal pada fase demam
antara kelompok cairan kristaloid dankelompok cairan yang berlangsung 2 - 7 hari. Suhu tubuh dapat
koloid. mencapai 40°C dan dapat terjadi kejang demam. Akhir
∑ Suhu Tubuh fase demam merupakan fase kritis pada DBD yang
Hari Cairan Cairan ditandai dengan penurunan suhu tubuh seakan sembuh
Demam Kristaloid Koloid Nilai p pada hari ke-3, 4 dan 5. Selanjutnya yaitu fase
(n = 24) (n = 24) pemulihan pada hari ke-6 hinggahari ke-10 ditandai
Demam hari ke-4
Mean ± SD 37,18 ± 2,32 37,16 ± 0,54 0,963a dengan suhu tubuh kembali meningkat, akan terjadi
reabsorbsi secara bertahap cairan kompartemen
Demam hari ke-5 ekstravaskular dan perbaikan status hemodinamik. Pola
Mean ± SD 36,25 ± 3,00 36,76 ± 0,30 0,421a demam pada penderita DBD memiliki ciri khas seperti
“pelana kuda” yaitu terjadi demam tinggi pada awal
Demam hari ke-6
Mean ± SD 35,96 ± 4,03 36,76 ± 0,36 0,336a fase demam kemudian mengalami penurunan cepat
pada fase kritis dan kembali meningkat pada fase
Demam hari ke-7 penyembuhan. Pada Gambar 2 menunjukkan grafik
Mean ± SD 36,79 ± 0,48 36,65 ± 0,18 0,226a kelompok cairan koloid memiliki bentuk grafik yang
lebih stabil dimana penurunan suhu tubuh terjadi
Demam hari ke-8
Mean ± SD 37,05 ± 0,69 36,64 ± 0,15 0,085a hingga hari ke-8 dengan rata-rata suhu tubuh 36,64°C
a
independent t test sedangkan kelompok cairan kristaloid terlihat
mengalami penurunan suhu tubuh pada demam hari ke-
Gambar 2 menunjukkan perubahan rerata suhu
6 namun meningkat kembali pada hari ke-8 dengan
antara kelompok pasien yang mendapatkan cairan
rata-rata suhu tubuh yaitu 37,05°C walaupun tidak
kristaloid dibandingkan dengan kelompok pasien yang
terdapat perbedaan yang bermakna antara rata-rata
mendapatkan cairan koloid selama pasien dirawat di
suhu tubuh kelompok cairan kristaloid dibandingkan
rumah sakit. Lima hari pengambilan data suhu badan
cairan koloid selama hari perawatan di rumah sakit.
berdasarkan rerata lama rawat inap yaitu 4 hari untuk
Pranata & Artini (2017) menyatakan bahwa dengan
kelompok cairan kristaloid dan 5 hari untuk kelompok
menurunkan suhu tubuh, aktivitas dan kesiagaan anak
cairan koloid. Hasil rerata suhu tubuh selama 5 hari
membaik, perbaikan suasana hati (mood) dan nafsu
menunjukkan bahwa rerata suhu tubuh kelompok
makan juga semakin membaik.
cairan koloid lebih stabil dibandingan kelompok cairan
kristaloid. Berdasarkan WHO (2012), demam

38

37.5 p = 0.963 p = 0.085


37

36.5
p = 0.226
36 Terapi Cairan Kristaloid
Suhu

p = 0.421
(Kontrol) Terapi Cairan Koloid
35.5 p = 0.336
(Intervensi)

35

34.5
Hari ke-4 Hari ke-5 Hari ke-6 Hari ke-7 Hari ke-8

Hari Demam

Gambar 2. Grafik perbandingan demam (suhu tubuh) antara kelompok cairan kristaloid dan kelompok cairan kristaloid

P-ISSN: 2406-
9388
Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 2

Tatalaksana demam berdarah berdasarkan yaitu 157,30/µL dengan simpang baku 43,12, hal ini
Departemen Kesehatan RI (2004) juga menunjukkan hasil rerata trombosit antar kelompok
merekomendasikan pemberian obat antipiretik untuk memiliki perbedaan rerata yaitu 29,17. Analisa t-test
menangani gejala demam yang timbul pada fase unpaired menunjukkan nilai p = 0,047 (p < 0,05) yang
demam berdarah. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik terdapat perbedaan
(Tabel bermakna nilai trombosit antara kelompok pasien yang
2) diketahui responden penelitian yang mendapatkan mendapatkan cairan kristaloid dibandingkan dengan
obat antipiretik sebagai standar terapi di rumah sakit. kelompok pasien yang mendapatkan terapi cairan
Antipiretik yang digunakan yaitu parasetamol dengan koloid.
rute pemberian intravena. Pasien yang mendapatkan
antipiretik (parasetamol intravena) pada penelitian ini Tabel 3. Perbandingan rata-rata nilai trombosit antara
yaitu 41 pasien (85,4%) yang terdiri dari kelompok kelompok cairan kristaloid dan kelompok cairan
kristaloid sebanyak 21 pasien dan kelompok cairan koloid
koloid sebanyak 20 pasien sedangkan pasien penelitian ∑ Nilai Trombosit
Cairan
yang tidak mendapatkan antipiretik yaitu 7 pasien Hari Cairan Koloid
Kristaloid Nilai p
Demam (n = 24)
(14,6%). Hasil penelitian ini sesuai dengan Pranata & (n = 24)
Artini (2017) yang menunjukkan penggunaan obat sedangkan rerata trombosit kelompok cairan koloid
antipiretik pada pasien demam berdarah yaitu 98%.
Hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan uji
Chi-square didapatkan nilai (p = 0,683) artinya tidak
terdapat perbedaan yang bermakna pemberian obat
parasetamol antara kelompok cairan kristaloid dan
kelompok cairan koloid.
Analisis nilai trombosit bertujuan untuk melihat
perbandingan nilai trombosit antara kelompok pasien
yang mendapatkan cairan kristaloid dengan kelompok
pasien yang mendapatkan cairan koloid. Analisis nilai
trombosit dilakukan setiap 24 jam menggunakan uji
unpaired t test yang terdapat pada Tabel 3.
Berdasarkan pada Tabel 3, diketahui bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan (p < 0,05) antara kelompok
pasien yang mendapatkan cairan kristaloid dengan
kelompok pasien yang mendapatkan cairan koloid pada
demam hari ke lima (24 jam setelah pemberian terapi
cairan) dan demam hari ke enam (48 jam setelah
pemberian terapi cairan). Pada demam hari kelima
(24 jam setelah pemberian terapi cairan) diketahui
rerata trombosit kelompok cairan kristaloid yaitu
123,91/µL dengan simpang baku 39,77 sedangkan
rerata trombosit kelompok cairan koloid 151,20/µL
dengan simpang baku 37,88, hal ini menjukkan hasil
rerata trombosit antar kelompok memiliki perbedaan
rerata yakni 27,29/µL. Selanjutnya, analisa t-test
unpaired menunjukkan nilai p = 0,023 (p < 0,05) yang
menunjukkan bahwa secara statistik terdapat perbedaan
bermakna nilai trombosit antara kelompok pasien yang
mendapatkan cairan kristaloid dibandingkan kelompok
pasien yang mendapatkan cairan koloid. Pada demam
hari keenam (48 jam setelah pemberian cairan)
diketahui rerata trombosit kelompok cairan kristaloid
yaitu 128,13/µL dengan simpang baku 50,78

P-ISSN: 2406-
9388
Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 2

Demam hari ke-4


Mean ± SD 143,79 ± 46,22 153,79 ± 32,43
0,403a

Demam hari ke-5


Mean ± SD 123,91 ± 39,77 151,20 ± 37,88
0,023a*

Demam hari ke-6


Mean ± SD 128,13 ± 50,78 157,30 ± 43,12
0,047a*

Demam hari ke-7


Mean ± SD 135,21 ± 43,92 160,38 ± 38,57
0,106a

Demam hari ke-8


Mean ± SD 159,61 ± 50,75 183,33 ± 37,54
0,470a
a
independent t test
*significant p value

Gambar 3 menunjukkan perubahan rerata


nilai trombosit antara kelompok pasien yang
mendapatkan cairan kristaloid dibandingkan
pasien yang mendapatkan cairan koloid selama
pasien dirawat. Kelompok pasien yang
mendapatkan cairan koloid memiliki grafik
perubahan trombosit yang lebih stabil dan
memiliki nilai rata-rata trombosit lebih tinggi
dibandingkan kelompok pasien yang
mendapatkan cairan kristaloid. Trombositopenia
merupakan salah satu kriteria sederhana oleh
WHO sebagai diagnosis klinis penyakit DBD.
Nilai trombosit normal pada anak adalah 150.000
- 400.000/µL (Chiocca, 2011). Trombositopenia
mulai tampak beberapa hari setelah demam dan
mencapai titik terendah pada fase syok. Yakub
dkk. (2014) menyatakan trombosit akan
berangsur naik ketika pasien sudah melewati fase
kritis yaitu menuju fase pemulihan sekitar hari
ketujuh atau kesepuluh dimana akan terjadi
reabsorbsi secara bertahap cairan kompartemen
ekstravaskular dalam 48 - 72 jam. Pasien yang
terlibat pada penelitian ini datang ke rumah sakit
dengan rata-rata telah mengalami demam 3 hari
sebelumnya sehingga

P-ISSN: 2406-
9388
Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 2

pengambilan data dilakukan pada masa kritis (3 - 6 hari dikatakan bahwa kelompok cairan koloid dapat
demam). Berdasarkan grafik terlihat 24 jam setelah mempertahankan nilai trombosit lebih baik
pemberian terapi cairan, kelompok cairan kristaloid dibandingkan kelompok cairan kristaloid pada pasien
mengalami penurunan nilai trombosit yaitu dengan DF dan DHF derajat 1 walaupun penggunaan cairan
rata-rata 123,91/µL dan kelompok cairan koloid koloid berdasarkan WHO direkomendasikan pada
memiliki rata-rata 151,20/µL (p = 0,023). Pada 48 jam pasien derajat III dan IV yang telah mengalami syok.
setelah pemberian cairan terlihat kelompok cairan Cairan koloid memiliki berat molekul yang lebih besar
kristaloid mengalami pengingkatan nilai terombosit dibandingkan kristaloid sehingga berada lebih lama di
dengan rata-rata 128,13/µL dan kelompok koloid intravaskular dan dapat mencegah syok.
dengan rata-rata 157,30/µL (p = 0,047) sehingga dapat

200
180
p = 0.403 p = 0.047
160
140
p = 0.470
120
Nilai Trombosit

100 p = 0.023 p = 0.106


Cairan Kristaloid
80 (Kontrol)
60
40 Cairan Koloid
20 (Intervensi)
0
hari ke-4 hari ke-5 hari ke-6 hari ke-7 hari ke-
8

Hari Demam

Gambar 3. Grafik perbandingan nilai trombosit antara kelompok cairan kristaloid dan kelompok cairan koloid

Berdasarkan Depkes RI (2004), efek volume Tabel 4. Perbandingan nilai hematokrit antara
gelatin dapat menetap sekitar 2 - 3 jam dan tidak kelompok cairan kristaloid dan kelompok cairan
mengganggu mekanisme pembekuan darah sehingga koloid
∑ Nilai Hematokrit
keunggulan ini menjadi dasar pemilihan cairan. Cairan Cairan
Hari
Analisis nilai hematokrit bertujuan untuk melihat kristaloid Koloid Nilai p
Demam
perbandingan nilai hematokrit antara kelompok pasien (n = 24) (n = 24)
yang mendapatkan cairan kristaloid dengan kelompok Demam hari ke-4
pasien yang mendapatkan cairan koloid. Analisis kadar Mean ± SD 34,87 ± 3,88 36,01 ± 2,83 0,253a
hematokrit dilakukan setiap 24 jam menggunakan uji
unpaired t test yang terdapat pada Tabel 4. Demam hari ke-5
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa terdapat Mean ± SD 34,29 ± 3,45 35,44 ± 2,35 0,185a
perbedaan bermakna (p < 0,05) rerata nilai hematokrit
antara kedua kelompok pada demam hari ke tujuh Demam hari ke-6
(72 jam setelah pemberian cairan) (p = 0,036) dengan Mean ± SD 34,56 ± 3,56 35,56 ± 3,56 0,357a
rerata nilai hematokrit kelompok cairan kristaloid yaitu
37,46% sedangkan rerata kelompok cairan koloid yaitu Demam hari ke-7
34,82%. Mean ± SD 37,46 ± 2,50 34,82 ± 1,86 0,036a*

Demam hari ke-8


Mean ± SD 38,33 ± 1,25 34,50 ± 0,86 0,110a
P-ISSN: 2406-
9388
Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 2

a
independent t test
*significant p value

P-ISSN: 2406-
9388
Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 2

Gambar 4 menunjukkan perubahan nilai (p = 0,036) antara kelompok cairan kristaloid


hematokrit antara kelompok cairan kristaloid dibandingkan dengan kelompok cairan koloid sesuai
dibandingkan kelompok cairan koloid. Pada grafik dengan Hung (2012) dalam penelitiannya menyebutkan
terlihat perbedaan rerata nilai hematokrit yang bahwa pasien anak DBD yang menerima gelatin secara
bermakna yaitu 72 jam setelah pemberian terapi cairan signifikan memiliki fase pemulihan yang lebih singkat
dengan nilai p = 0,036 (p < 0,05). Berdasarkan WHO dibandingkan dengan pasien anak yang menerima
(2012), pada fase kritis (hari ketiga hingga keenam) ringer laktat (p = 0,017). Hal tersebut sesuai dengan
nilai hematokrit akan meningkat (hemokonsentrasi) penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Suciawan
dikarenakan oleh penurunan kadar plasma darah akibat (2000) menunjukkan pemberian terapi cairan
kebocoran vaskular. Peningkatan hematokrit, misalnya kombinasi yaitu cairan kristaloid dan koloid secara dini
10% sampai 15% di atas baseline, adalah bukti paling terbukti mencegah syok dalam 24 jam pertama
awal. Jika pasien dapat bertahan pada 24 - 48 jam pada dibandingkan penderita yang hanya diberikan cairan
fase kritisnya, maka selanjutnya akan terjadi reabsorbsi kristaloid (tanpa cairan koloid). Perbaikan keadaan
cairan ekstravaskular selama 48 - 72 jam berikutnya umum dapat terlihat dengan adanya peningkatan nafsu
(fase pemulihan). Peningkatan nilai hematokrit makan, gejala-gejala abdomen yang berkurang, status
merupakan manifestasi hemokonsentrasi yang terjadi hemodinamik yang stabil dan adanya diuresis. Pada
akibat kebocoran plasma ke ruang ekstravaskular penelitian ini juga diketahui nilai rata-rata hematokrit
disertai efusi cairan melalui kapiler yang rusak pada kelompok cairan kristaloid adalah 34,61%
sehingga terjadi kebocoran plasma dan menyebabkan sedangkan nilai rata-rata hematokrit pada kelompok
terjadinya syok hipovolemik serta kegagalan sirkulasi cairan koloid yaitu 36,52% sehingga rata-rata
(Rena, 2009). Pada keadaan terjadinya peningkatan hematokrit pada penelitian ini masih dalam kategori
permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma maka normal pada anak yaitu 34 - 45% (Chiocca, 2011). Hal
pemberian cairan koloid dapat dilakukan untuk ini sesuai dengan penelitian Rasyada dkk. (2014)
mencegah terjadinya syok karena cairan koloid bahwa nilai hematokrit pada pasien DBD normal
memilki berat molekul yang lebih besar sehingga akan bahkan rendah dan didiagnosis DBD. Penelitian
berada lebih lama di intravaskular (Chaerulfalah, Erlinda dkk. (2015) juga menunjukkan persentase
2000). Pada penelitian ini diketahui terdapat perbedaan terbanyak DBD memiliki nilai hematokrit normal yaitu
yang bermakna pada demam hari ketujuh (72 jam sebanyak 83,7%.
setelah pemberian cairan) nilai rerata hematokrit
80

70

60
Nilai Hematokrit

50
p = 0.110
p = 0.253 p = 0.357
40
Cairan Kristaloid (Kontrol)
30 Cairan Koloid (Intervensi)
p = 0.185 p = 0.036
20

10

0
hari ke-4 hari ke-5 hari ke-6 hari ke-7 hari ke-8

Hari Demam

Gambar 4.Grafik perbandingan nilai hematokrit antara kelompok cairan kristaloid dan kelompok cairan koloid
Analisis lama rawat inap bertujuan untuk
mendapatkan cairan kristaloid dengan kelompok pasien
mengetahui adanya perbedaan lama rawat inap pasien
yang mendapatkan cairan koloid. Parameter yang
atau length of stay (LOS) antara kelompok pasien yang
diukur dengan menggunakan hitungan hari selama
P-ISSN: 2406-
9388
Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 3

pasien mendapatkan perawatan di rumah sakit. Analisis dibandingkan kelompok pasien yang mendapatkan
lama perawatan menggunakan analisis distribusi cairan koloid dengan nilai p = 0,002 (p < 0,05).
frekuensi dan uji unpaired t test. Tabel 5 menunjukkan
lama rawat inap pasien selama perawatan di rumah Tabel 6. Perbandingan rata-rata lama rawat inap atau
sakit. Lama rawat inap dalam penelitian ini antara 3 length of stay (LOS)
sampai 8 hari, hasil yang didapatkan lama rawat inap Jenis Cairan Mean ± SD p value
paling singkat yaitu 3 hari sedangkan paling lama yaitu Kristaloid (n = 24) 5,00 ± 1,286 a
Koloid (n = 24) 4,00 ± 0,659 0,002 *
8 hari, hal ini sesuai dengan penelitian Soegianto a
independent t test
(2002) yang menemukan lama rawat inap pasien DBD
*significant p value
anak berkisar 3 - 7 hari dan rata-rata durasi 4 hari).
Kelompok pasien yang mendapatkan terapi cairan Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik
kristaloid memiliki lama rawat inap antara 3 sampai 8 Indonesia (2004) beberapa kriteria memulangkan
hari dengan jumlah pasien yang dirawat selama 3 hari pasien demam berdarah yaitu keadaan umum dan
adalah 3 pasien (12,5%), 4 hari sebanyak 6 pasien hemodinamik baik, tidak demam dalam 24 jam, serta
(25%), 5 hari sebanyak 6 pasien (25%), 6 hari jumlah hematokrit dan trombosit dalam batas normal
sebanyak 7 pasien (4,2%), 7 hari dan 8 hari masing- (stabil dalam 24 jam). Berdasarkan hasil penelitian
masing 1 pasien (4,2%) sedangkan pada kelompok pada kelompok cairan kristaloid dengan rata-rata
pasien yang mendapatkan cairan koloid memiliki lama length of stay 5 hari masih ada pasien yang
rawat inap antara 3 sampai 5 hari dengan jumlah pasien mendapatkan perawatan dari hari ke-6 hingga hari ke-8
yang dirawat selama 3 hari sebanyak 5 pasien (20,8%), dengan kondisi suhu tubuh rata-rata pada hari ke-6
4 hari sebanyak 14 pasien (58,4%) dan 5 hari sebanyak yaitu 36,7°C (n = 7 pasien), hari ke 7 dengan suhu
5 pasien (20,8%). 36,8°C (n = 1 pasien) dan hari ke 8 dengan suhu
Tabel 5. Frekuensi lama rawat inap atau length of stay 36,4°C (n = 1). Berdasarkan trombosit diketahui masih
(LOS) ada pasien yang mendapatkan perawatan pada hari ke-6
dengan nilai rata-rata trombosit 150,50/µL (n = 4
Lama Kelompok Kelompok
Rawat Cairan Cairan Total pasien) dan hari ke 7 dengan nilai trombosit 130,00/µL
Inap Kristaloid Koloid (n = 48) (n = 1 pasien) sedangkan nilai hematokrit pada hari ke
(hari) (n = 24) (n = 24) 6 yaitu 36,5% (n = 4 pasien) dan hari ke 7 yaitu 38%
3 3 (12,5%) 5 (20,8%) 8 (16,7%) (n=1 pasien). Pada kelompok cairan koloid dengan
4 6 (25,0%) 14 (58,4%) 20 (41,7%) rata-rata length of stay 4 hari tidak terdapat pasien yang
5 6 (25,0%) 5 (20,8%) 11 (22,9%)
6 7 (29,1%) - 7 (14,6%) masih mendapatkan perawatan pada hari ke-6 hingga
7 1 (4,2%) - 1 (2,1%) hari ke-8. Penelitian oleh Nopianto (2012)
8 1(4,2%) - 1 (2,1%) menyebutkan bahwa nilai trombosit merupakan salah
Total 24 (100%) 24 (100%) 48 (100%) satu faktor yang berpengaruh terhadap lama rawat inap
pasa pasien demam berdarah.
Berdasarkan Tabel 6 diketahui perbandingan rata-
rata length of stay (LOS) kelompok pasien yang KESIMPULAN
mendapatkan cairan koloid yaitu 4 hari, lebih singkat Terdapat perbedaan bermakna (p < 0,05) antara
dibandingkan kelompok pasien yang mendapatkan cairan kristaloid dengan koloid pada nilai trombosit
cairan kristaloid yaitu 5 hari. Hasil penelitian ini sesuai jam ke-24 dan jam ke-48, nilai hematokrit jam ke-72
dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh dan lama rawat sedangkan kedua kelompok tidak
Mandriani (2009) menunjukkan lama rawat inap menunjukkan perbedaan yang bermakna terhadap suhu
penderita adalah 4,62 hari dengan lama perawatan tubuh (p > 0,05).
paling singkat 1 hari dan paling lama 9 hari. Nisa dkk.
(2013) juga menyebutkan bahwa lama perawatan rata- UCAPAN TERIMAKASIH
rata penderita BDB anak di RS Roemani Semarang Program studi Magister Farmasi Universitas
yaitu 4,26 hari (4 hari) dengan standar deviasi (SD) Ahmad Dahlan, Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
1,504. Hasil analisa t-test unpaired pada Tabel 5 Bantu dan seluruh responden penelitian.
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan lama rawat
inap yang bermakna secara statistik antara kelompok DAFTAR PUSTAKA
pasien yang mendapatkan cairan kristaloid Akhmad, A. P. (2012). Evaluasi Penggunaan Obat pada

P-ISSN: 2406-
9388
Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 3

Pasien Demam Berdarah Dengue di RSUD


Dr.

P-ISSN: 2406-
9388
Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 3

H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Periode Lahan dengan Pendekatan Spasial di Kabupaten
Oktober 2012 - Februari 2015. Skripsi; Fakultas Banggai Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2011-
Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2013. Journal of Information System for Public
Chiocca, E. M. (2011). Advance Pediatric Assesment. Health; 1; 47-54.
Philadelphia: Lippincott Williams & Walkins. Nhan, N. T., Phuung, C. X. T., Kneen, R. & Wills, B.
Departemen Kesehatan (Depkes) RI. (2004). (2001). Acute Management of Dengue Shock
Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di Syndrome, A Randomized Double-Blind
Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral P2M Comparison of A Intravenous Fluid Regimens in
Depkes RI. the First Hour. Clinical Infectious Disease; 32;
Depkes RI. (2011). Profil Kesehatan Indonesia 2010 by 204-211.
Depkes RI. Nisa, D. W., Notoatmojo, H. & Rohmani, A. (2013).
http://www.depkes.go.id/downloads/profil_Kese Karakteristik Demam Berdarah Dengue pada
hatan_Indonesia_2010.pdf. Accessed: 5 Agustus Anak di Rumah Sakit Roemani Semarang.
2017. Jurnal Kedokteran Muhammadiyah; 1; 93-97.
Dung, N. M., Day, N. P., Tam, D. T., Loan, H. T., Nopianto, H. (2012). Faktor–Faktor yang Berpengaruh
Chau, H. T. & Minh, L. N. (1999). Fluid terhadap Lama Rawat Inap pada Pasien Demam
Replacement in Dengue Shock Syndrome: A Berdarah Dengue di RSUP Dr. Kariadi
Randomized, Double-Blind Comparison of Four Semarang. Jurnal Kedokteran Diponegoro; 1;
Intravenous-Fluid Regimen. Clinical Infectious 20-25.
Disease; 29; 787-794. Prasetyo, V. P, Azis, A. L. & Soegijanto, S. (2009).
Erlinda, F., Sadiah, A. & Maya, T. (2015). Hubungan Comparison of the Efficacy and Safety of
Kadar Trombosit dan Hematokrit dengan Hydroxyethyl Starch 130/0.4 and Ringer’s
Derajat Penyakit Demam Berdarah Dengue pada Lactate in Children with Grade III Dengue
Pasien Dewasa. Prosiding; Penelitian Sivitas Hemorrhagic Fever. Paediatrica Indonesia; 49;
Akademika Universitas Islam Bandung, 97-103.
Bandung. Rasyada, A., Ellyza, N. & Zulkarnain, E. (2014).
Ginanjar. (2008). Demam Berdarah, a Survival Quide Hubungan Nilai Hematokrit terhadap Jumlah
(Cet. 1). Yogyakarta: B. First (PT Benteng Trombosit pada Penderita Demam Berdarah
Pustaka). Dengue. Jurnal Kesehatan Anak; 3; 343-347.
Hukom, A. O. E., Warouw, S. M., Memah, M. & Soegianto, S. (2002). Penatalaksanaan Demam
Mongan, A. E. (2013). Hubungan Nilai Berdarah Dengue pada Anak: Lab Ilmu
Hematokrit dan Jumlah Nilai Trombosit pada Kesehatan Anak-FK UNAIR/RSUD Dr.
Pasien Demam Berdarah Dengue. Manado. Soetomo. Surabaya: Tropical Disease Center.
Jurnal e-Biomedik; 3; 738-742. Suciawan, N. (2000). Tatalaksana Terapi Cairan
Hung, N. T. (2012). Fluid Management for Dengue in Penderita Demam Berdarah Dengue. Tesis;
Children. Paediatrics and International Child Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada,
Health; 32; 39-41. Yogyakarta.
IDAI. (2009). Pedoman Pelayanan Medis. Palembang: World Health Organization (WHO). (1997). Dengue
IDAI Press. Haemorrhagic Fever: Diagnosis, Treatment, and
Lubis, M. (2003). Spectrum of DSS in Haji Adam Control. 2nd ed. Genewa: WHO.
Malik Hospital during 5 years: Research report World Health Organization (WHO). (2012). Demam
from JKPKBPPK. Jakarta: Badan Litbang Berdarah Dengue: Diagnosis, Pengobatan,
Kesehatan. Pencegahan dan Pengendalian Ed. 2. Jakarta:
Mandriani, E. (2009). Karakteristik Penderita Demam EGC.
Berdarah Dengue (DBD) yang Mengalami Yakub, R., Kemas, H., Hasrul, P. & Agustria, H.
Dengue Shock Syndrome (DSS) Rawat Inap di (2014). Pola Jumlah Trombosit Pasien Rawat
RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 2008. Skripsi; Inap BDB RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Palembang dengan Hasil Uji Serologi Positif
Sumatera Utara, Medan. yang Diperiksa di Laboraturium GrahaSpesialis
Muliansyah, T. B. (2015). Analisa Pola Sebaran RSUP Dr. Mohammad Hoesin. Majalah
Demam Berdarah Dengue terhadap Penggunaan Kedokteran Sriwijaya; 2; 104-110.

P-ISSN: 2406-
9388
Status Nutrisi sebagai Faktor Risiko Sindrom Syok Dengue
Sarah Buntubatu, Eggi Arguni, Ratni Indrawanti, Ida Safitri Laksono, Endy P. Prawirohartono
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

Latar belakang. Risiko kematian pada anak dengan sindrom syok dengue (SSD) tinggi. Obesitas diduga sebagai faktor risiko SSD
tetapi hasil penelitian sebelumnya masih kontroversial.
Tujuan. Mengevaluasi overweight atau obes sebagai faktor risiko SSD pada anak.
Metode. Penelitian case control pada anak (0-18 tahun) yang dirawat di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dari bulan April 2012 sampai
Maret 2015 dengan infeksi dengue, yang ditegakkan berdasarkan kriteria WHO 2011 dan hasil uji serologi darah atau NS1. Analisis
statistik dikerjakan dengan analisis multivariat dan stratifikasi. Kemaknaan faktor risiko dilaporkan sebagai odds ratio (OR) dengan
interval kepercayaan 95%.
Hasil. Dilaporkan 264 anak terdiri dari 88 kasus (SSD) dan 176 kontrol (non SSD) diikutkan dalam penelitian ini. Anak
dengan overweight atau obesitas mempunyai risiko SSD 2,29 kali dibanding bukan overweight atau obes (OR=2,29;
IK95%:1,24-4,22) dan perempuan mempunyai risiko SSD 1,84 kali lebih tinggi dibanding laki-laki (OR=1,84; IK95%:1,08-
3,14). Jumlah trombosit merupakan modifier, yaitu anak overweight atau obes dengan angka trombosit <20.000/µL mempunyai
risiko 3,26 kali dibanding anak dengan SSD dengan overweight atau obes dengan angka trombosit ≥20.000/µL (OR=3,26;
IK95%:1,22-8,72).
Kesimpulan. Overweight atau obes dan jenis kelamin perempuan merupakan faktor risiko untuk SSD dan jumlah trombosit
<20.000 /µL merupakan modifier. Sari Pediatri 2016;18(3):226-32

Kata kunci: sindrom syok dengue, faktor risiko, overweight, obesitas, perempuan

Nutritional Status as A Risk Factor for Dengue Shock Syndrome


Sarah Buntubatu, Eggi Arguni, Ratni Indrawanti, Ida Safitri Laksono, Endy P. Prawirohartono

Background. Children with dengue shock syndrome (DSS) are at high risk for death. Obesity has long been considered as a risk
factor for DSS. However, a number of studies found controversial results.
Objective. To evaluate overweight or obese as a risk factor for DSS in children.
Methods. We conducted a case control study in children (0-18 years old) who were admitted to Dr. Sardjito Hospital,
Yogyakarta from April 2012 to March 2015 with dengue infection, which was confirmed by the 2011 WHO dengue clasification
and the results of blood anti dengue serology or NS1. Statistical analysis was performed with multivariate analysis and stratification.
The risk factor is presensted as odds ratio (OR) with 95% confidence interval (95% CI).
Results. We included in the analysis 264 children, consisting of 88 cases (DSS) and 176 controls (non DSS). Overweight or obese
children had a higher risk for DSS than those with normal nutritional status (OR=2.29; 95% CI 1.24 to 4.22), and girls had
higher risk of DSS than boys (OR=1.84; 95%CI 1.08 to 3.14). We identified that platelet count was a modifier, in which
overweight or obese children with platelet count <20,000/µL had higher risk for DSS (OR=3.26 95% CI 1.22 to 8.72) compared
to overweight or obese children with platelet count ≥20,000/µL.
Conclusions. Overweight or obese and girl are risk factors for DSS, whereas platelet count <20,000/µL is a modifier. Sari
Pediatri 2016;18(3):226-32

Keyword: dengue shock syndrome, risk factor, overweight, obesity, girls

Alamat korespondensi: Dr. Sarah Buntubatu. Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK
UGM-RSUP Dr. Sardjito. E-mail: sarahjuly2012@yahoo.com

2 Sari Pediatri, Vol. 18, No. 3, Oktober


Sarah Buntubatu dkk: Status nutrisi sebagai faktor risiko sindrom syok

P
revalensi demam berdarah dengue (DBD) catatan medis pasien tidak lengkap. Besar sampel
di seluruh dunia telah meningkat 30 kali dihitung
lipat dalam 50 tahun terakhir. Indonesia
merupakan daerah endemis infeksi dengue
dengan jumlah kasus DBD terbesar di dunia sejak
tahun 2007. Pada tahun 2013 di Daerah Istimewa
Yogyakarta terdapat 96 kasus per 100.000
penduduk dengan case fatality rate 0,48%.1,2
Virus dengue dapat menyebabkan manifestasi
klinis yang bervariasi, dari asimtomatik sampai DBD
dengan perembesan plasma, yang dapat
mengakibatkan sindrom syok dengue (SSD).
Penyakit DBD mempunyai kemungkinan 5%
menyebabkan kematian, tetapi jika berkembang
menjadi SSD angka kematian meningkat menjadi
40%-50%.3,4
Status nutrisi memengaruhi derajat penyakit
berdasarkan teori imunologi, yaitu gizi baik
meningkat- kan respon antibodi. Reaksi antigen dan
antibodi yang berlebihan menyebabkan infeksi
dengue lebih berat. Walaupun demikian, mekanisme
peningkatan SSD pada obesitas masih belum jelas.
Hal ini mungkin berhubungan dengan pelepasan
sitokin pro-inflamasi oleh sel adiposit jaringan
lemak. Sel adiposit jaringan lemak mensekresikan
dan melepaskan sitokin pro- inflamasi yaitu tumour
necrosis factor  (TNF) dan beberapa interleukin
(IL) yaitu IL-1, IL-6, dan IL-8. Pada obesitas
terjadi peningkatan ekspresi TNF  dan IL-6. Salah
satu dampak TNF  adalah meningkatkan
permeabilitas kapiler, sedangkan pada SSD juga terjadi
produksi TNF , IL-1, IL-6 dan IL-8. 5-7 Beberapa
penelitian sebelumnya mengenai hubungan status
nutrisi dengan derajat infeksi dengue memberikan
hasil yang bervariasi.8-13

Metode
Penelitian retrospektif case control dengan
pengambilan data dari rekam medis pasien yang
dirawat inap di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
mulai April 2012 sampai dengan Maret 2015
berumur 0-18 tahun yang dipilih secara consecutive
sampling. Kelompok kontrol adalah anak dengan
DBD derajat I dan II (non syok). Kasus adalah
pasien SSD dengan kriteria inklusi pasien DBD
atau SSD sesuai kriteria WHO 201114 yang
dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologi (IgM dan
IgG anti-dengue) atau pemeriksaan rapid test
antigen virus (NS1). Kriteria eksklusi adalah
Sari Pediatri, Vol. 18, No. 3, Oktober 2
Sarah Buntubatu dkk: Status nutrisi sebagai faktor risiko sindrom syok

berdasarkan rumus untuk penelitian case control nutrisi (OR=2,29; IK95%:1,24- 4,22) dan jenis
tidak berpasangan, dengan asumsi kesalahan tipe 1 kelamin (OR=1,84; IK95%:1,08-3,14)
sebesar 5%, power penelitian 0,8, dan prevalensi
0,21 maka besar sampel penelitian ini adalah 264
yang terdiri dari 88 kasus dan 176 kontrol. 15
Status nutrisi dinilai berdasarkan berat
badan menurut panjang/tinggi badan (BB/PB
atau BB/ TB) untuk usia <5 tahun atau BMI
(kg/m²) menurut usia ≥5 tahun berdasarkan WHO
Growth Standard 2007, dengan kategori gizi
buruk (<-3SD), gizi kurang (-3≤z<-2SD), gizi
baik (-2≤z≤2SD), gizi lebih (2<z≤3SD untuk
BB/PB atau BB/TB; 1<z≤2 untuk BMI/U),
obesitas (>3SD untuk BB/PB atau BB/ TB;
>2SD untuk BMI/U).16,17 Status nutrisi dibagi
menjadi 2 kelompok, status nutrisi overweight dan
obes dimasukkan dalam kelompok berisiko, status
nutrisi normal dan malnutrisi dalam kelompok
tidak berisiko. Faktor risiko ditentukan dengan
analisis bivariat menggunakan status nutrisi
sebagai variabel bebas, derajat dengue sebagai
variabel tergantung, jenis kelamin, usia sebagai
confounder. Variabel bebas dan confounder yang
mempunyai nilai p<0,2 dari analisis bivariat
dimasukkan ke dalam model multivariat dengan
analisis logistik regresi. Hemokonsentrasi,
jumlah trombosit, status imun anti-dengue
sebagai modifier dianalisis secara stratifikasi.
Kemaknaan ditentukan dengan odds ratio
(OR) dan angka kepercayaan 95% (IK95%).
Penelitian ini mendapat persetujuan dari Komisi
Etik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada dan RSUP Dr. Sardjito,
Yogyakarta.

Hasil
Berdasarkan data rekam medis April 2012 - Maret
2015 terdapat 202 pasien DBD derajat I- II, dan
136 pasien SSD. Dari 338 kasus dieksklusi 38
kasus karena rekam medis yang tidak lengkap.
Kami mengikutsertakan 264 pasien ke dalam
penelitian yang terdiri dari 176 pasien DBD
derajat I-II (non syok) dan 88 pasien SSD
(Gambar 1). Karakteristik dasar kedua kelompok
tertera pada Tabel 1.
Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan
analisis regresi logistik, variabel umur mempunyai
nilai p>0,2 sehingga tidak dimasukkan dalam
analisis multivariat. Berdasarkan analisis
multivariat dengan regresi logistik didapatkan status
Sari Pediatri, Vol. 18, No. 3, Oktober 2
Sarah Buntubatu dkk: Status nutrisi sebagai faktor risiko sindrom syok

Eligible
subjects

Kriteria inklusi:
Usia 0-18 tahun
NS1 (+) dan/atau IgD dan IgM anti dengue n = 300
(NS1 + = 86, IgD dan IgM anti dengue + = 214)

Eksklusi:
Data rekam medis tidak lengkap n = 38

Subyek penelitian n = 264

SSD n = 176 Dengue non syok n = 88

Analisis n = 176 Anali


sis n

Gambar 1. Alur penelitian

Tabel 1. Karakteristik dasar subjek penelitian


Variabel Kasus/SSD n=88 Kontrol/non syok n=176 Total n=264
Jenis kelamin, n(%)
Laki-laki 44 (50) 110 (62,5) 154 (58,3)
Perempuan 44 (50) 66 (37,5) 110 (41,7)
Umur, tahun,n(%)
<5 28 (31,8) 66 (38,6) 96 (36,4)
≥5 60 (68,2) 108 (61,4) 168 (63,6)
Status nutrisi*, n(%)
Tidak berisiko 61 (69,3) 145 (82,4) 206 (78,0)
Berisiko 27 (30,7) 31 (17,6) 58 (22,0)
Tipe infeksi,n(%)
Primer 13 (14,8) 33 (18,7) 46 (17,5)
Sekunder 73 (82,9) 95 (54,0) 168 (63,6)
Missing data 2 (2,3) 48 (27,3) 50 (18,9)
Hemokonsentrasi, n(%)
≤25% 27 (30,7) 103 (58,5) 130 (49,2)
>25% 61 (69,3) 73 (41,5) 134 (50,8)
Jumlah trombosit (/µL)
≥20.000 36 (40,9) 122 (69,3) 158 (59,8)
<20.000 52 (59,1) 54 (30,7) 106 (40,2)
*Tidak berisiko: BB/TB ≤2SD, BMI/U ≤1SD, Berisiko: BB/TB ≤2SD, BMI/U ≤1SD

2 Sari Pediatri, Vol. 18, No. 3, Oktober


Sarah Buntubatu dkk: Status nutrisi sebagai faktor risiko sindrom syok

Tabel 2. Analisis univariat & multivariat faktor yang berpengaruh terhadap SSD
Univariat Multivariat*
Variabel Nilai p
OR IK95% OR IK95%
Umur ≥5 tahun 1,35 0,78-2,32 0,28 - -
Perempuan 1,67 0,99-2,80 0,02 1,84 1,08-3,14
Overweight/obesitas 2,07 1,14-3,76 0,01 2,29 1,24-4,22
*Analisis regresi logistik

Tabel 3. Analisis stratifikasi status nutrisi terhadap SSD berdasarkan status imun anti-dengue, hemokonsentrasi, dan
jumlah trombosit
Variabel Status Status dengue p OR IK95%
nutrisi Non SSD n(%)
SSD n(%)
Status imun anti dengue
Infeksi primer Tidak berisiko 12 (92,3) 28 (84,8) 0,47 0,05-4,43
Berisiko 1 (7,7) 5 (15,2) 0,06
Infeksi sekunder Tidak berisiko 49 (67,1) 77 (81,1) 2,09 1,03-4,25
Berisiko 24 (32,9) 18 (18,9)
Hemokonsentrasi
≤25% Tidak berisiko 22 (81,5) 88 (85,4) 1,33 0,44-4,06
Berisiko 5 (18,5) 15 (14,6) 0,02
>25% Tidak berisiko 39 (63,9) 57 (78,1) 2,01 0,94-4,31
Berisiko 22 (36,1) 16 (21,9)
Angka trombosit (/µL)
≥20.000 Tidak berisiko 26 (72,2) 98 (80,3) 1,57 0,67-3,69
Berisiko 10 (27,8) 24 (19,7) 0,02
<20.000 Tidak berisiko 35 (67,3) 47 (87,0) 3,26 1,22-8,72
Berisiko 17 (32,7) 7 (13,0)
*Tidak berisiko: BB/TB ≤2SD, BMI/U ≤1SD, Berisiko: BB/TB ≤2SD, BMI/U ≤1SD

merupakan variabel yang berpengaruh dan sebagai anti-dengue tidak mempunyai hubungan yang
faktor risiko terjadinya SSD. Jenis kelamin bukan bermakna dengan kejadian SSD karena mempunyai
sebagai confounder karena perubahan dari analisis nilai p>0,05.
multivariat nilai OR <10% (9,6%) seperti tertera
pada Tabel 2.
Pada Tabel 3, dengan analisis stratifikasi sta- Pembahasan
tus nutrisi terhadap SSD berdasarkan variabel
yang dianggap sebagai modifier (status imun anti Kami mendapatkan bahwa perempuan 1,8 kali
dengue, hemokonsentrasi, dan angka trombosit) berisiko mengalami SSD dibanding lelaki. Hal
didapatkan nilai OR pada tiap strata berbeda. tersebut dimungkinkan karena terdapat perbedaan
Dengan demikian, berarti ketiganya merupakan secara imunologis antara anak perempuan dan
modifier yang memengaruhi hubungan status lelaki. Perempuan memiliki respon imun yang lebih
nutrisi dengan kejadian SSD. Risiko SSD pada kuat sehingga memproduksi sitokin yang lebih
pasien dengan status nutrisi berisiko meningkat besar dan permeabilitas kapiler yang lebih tinggi
secara bermakna pada kelompok dengan angka sehingga lebih cepat mengalami syok.18,19 Hasil
trombosit <20.000/uL (OR=3,26; IK95%:1,22- penelitian kami sama dengan penelitian di Semarang
8,72), sedangkan peningkat- an hematokrit >25% dan Vietnam.20,21 Pada suatu penelitian, variabel
tidak bermakna. Status imun dianggap sebagai confounder
Sari Pediatri, Vol. 18, No. 3, Oktober 2
Sarah Buntubatu dkk: Status nutrisi sebagai faktor risiko sindrom syok

apabila perbedaan OR pada analisis bivariat dengan 63,6% kasus, kejadian infeksi sekunder pada pasien
OR pada analisis multivariat >10% (OR ), pada SSD adalah 82,9%.5,8,28 Hipotesis reaksi sekunder
stratifikasi
penelitian ini jenis kelamin bukan sebagai heterologus mengatakan bahwa penularan pertama
confounder virus dengue (infeksi primer) akan menimbulkan
karena dari analisis multivariat perbedaan OR stratifikasi reaksi imunitas. Selanjutnya, bila mendapat infeksi
9,6%. ulang (infeksi sekunder) virus dengue dengan
Penelitian kami menunjukkan 68,2% kasus SSD serotipe berbe- da, dalam beberapa hari akan
terjadi pada usia ≥5 tahun, tetapi tidak mempunyai mengakibatkan prolife- rasi limfosit dengan
hubungan yang bermakna dengan SSD. Hasil menghasilkan immunoglobulin G (IgG) antivirus
tersebut sesuai dengan penelitian di Vietnam, dan dengue dan mengakibatkan DBD.29
beberapa penelitian di Indonesia.9,10,22-24 Kejadian Hemokonsentrasi merupakan penanda
DBD lebih sering pada usia >5 tahun mungkin kebocoran plasma. Nilai hematokrit dipengaruhi
disebabkan karena mikrovaskular dan permeabilitas oleh perdarahan dan pemberian cairan. Perdarahan
yang lebih besar pada usia >5 tahun. Peningkatan dapat menyebabkan penurunan hematokrit,
permeabilitas pembuluh darah mungkin sedangkan dehidrasi dan kebocoran plasma dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu vaskular menyebabkan peningkatan hematokrit, gangguan
dan perembesan plasma yang lebih besar.25 perfusi jaringan, dan kemudian syok. Pada
Penelitian menunjukkan bahwa sel endotel vaskular penelitian kami, hemokonsentrasi mempunyai
dapat menjadi target infeksi virus dengue. Sel hubungan yang bermakna dengan derajat infeksi
endotel dikenal berperan penting dalam mengatur dengue. Dari hasil analisis stratifikasi pasien
permeabilitas pembuluh, serta mempertahankan dengan status nutrisi overweight atau obes yang
hemostasis dan juga berperan dalam produksi mengalami peningkatan nilai hematokrit >25%
sitokin. Virus dengue dapat menginduksi produksi mempunyai risiko 2 kali lebih besar untuk terjadi
interleukin (IL)-6 dan IL-8 oleh sel endotel yang syok dibanding pasien dengan status nutrisi normal
berkontribusi pada patogenesis DBD. Semakin atau malnutrisi. Peningkatan hematokrit >25%
banyak sel yang terinfeksi, lebih banyak interleukin sebagai modifier tidak bermakna. Para peneliti
dihasilkan yang akan meningkatkan permeabilitas melaporkan peningkatan hematokrit >25% berisiko
kapiler sehingga meningkatkan risiko SSD.26 2 kali lebih besar untuk SSD, kenaikan hematokrit
Pada penelitian kami, anak dengan overweight >25% sebagai prediktor terjadinya SSD, dan
dan obes berisiko 2 kali lebih besar mengalami hemokonsentrasi >22% menunjukkan gejala syok
SSD dibandingkan anak gizi baik atau malnutrisi, yang lebih awal.27,13,30
seperti pada beberapa penelitian sebelumnya,8-10 Jumlah trombosit yang rendah mungkin me-
tetapi berbeda dengan beberapa penelitian lain.27,11-13 nyebabkan perdarahan sehingga mempercepat
Hubungan status gizi seseorang erat kaitannya terjadinya syok. Trombosit adalah sel yang me-
dengan respon imun tubuh. Pada individu yang ngandung semua jenis mediator. Kerusakan
overweight atau obes terjadi penumpukan jaringan endotel menyebabkan agregasi trombosit dan
lemak akibat peningkatan jumlah dan besar sel trombosit teraktivasi akan melepaskan histamine-
adiposit. Di antara jaringan lemak, sel adiposit like sub-stance dan 5-hydroxytryptamine yang dapat
jaringan lemak putih yang mensekresikan dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. 31
melepaskan sitokin pro-inflamasi tumour necrosis Hasil penelitian kami menunjukkan angka trombosit
factor  (TNF) dan beberapa interleukin (IL) berhubungan dengan kejadian SSD. Dari analisis
yaitu IL-1, IL-6, dan IL-8. Pada obesitas akan stratifikasi, pasien dengan jumlah trombosit
terjadi peningkatan ekspresi TNF  dan IL-6 <20.000/ uL dan status nutrisi overweight atau
sedangkan pada SSD terjadi produksi TNF , IL- 1, obesitas mempunyai risiko 3,3 kali lebih besar
IL-6, dan IL-8. Peningkatan ekspresi TNF  dan menjadi SSD dibandingkan pasien dengan jumlah
IL-6 ini berperan dalam menyebabkan syok trombosit <20.00/ uL dengan status nutrisi normal
sehingga atau malnutrisi.
obesitas lebih berisiko mengalami SSD.5- Dengan melihat OR stratifikasi antara status nutrisi berisiko
7

Sebuah penelitian mendapatkan bahwa kejadian 88,6% pada DHF. Pada kejadian luar biasa (KLB) tahun
infeksi sekunder terjadi pada 90,5% pada SSD dan 2004 di Jakarta, infeksi sekunder terjadi 82,5%. Pada
2 Sari Pediatri, Vol. 18, No. 3, Oktober
Sarah Buntubatu dkk: Status nutrisi sebagai faktor risiko sindrom syok

penelitian kami, infeksi sekunder terjadi pada dan status nutrisi tidak berisiko terdapat perbedaan
antara nilai ORberisiko dengan ORtidak berisiko, yang
berarti angka trombosit merupakan modifier. Hasil
penelitian kami mendukung penelitian sebelumnya
di Makassar yang melaporkan bahwa pasien dengan
SSD sering

2 Sari Pediatri, Vol. 18, No. 3, Oktober


Sarah Buntubatu dkk: Status nutrisi sebagai faktor risiko sindrom syok

memiliki angka trombosit <20.000/uL


8. Pichainarong N, Mongkalangoon N, Katayanarooj S,
dibandingkan dengan pasien DBD non syok,
Chaveepojnkamjorn W. Relationship between body size
sedangkan penelitian lain melaporkan bahwa angka
and severity of Demam berdarah dengue among children
trombosit <20.000/ uL tidak berhubungan dengan
aged 0-14 years. Southlast Asian J Trop Med Public Health
keparahan infeksi dengue. Peneliti lain melaporkan
2006;3:283-8.
perdarahan berat yang dihubungkan dengan angka
9. Junia J, Garna H, Setiabudi D. Clinical risk factors for
trombosit tidak meningkatkan risiko terjadinya
sindrom syok dengue in children. Paediatr Indones
SSD.9,14,31,32
2007;47:7-11.
Penelitian kami memiliki kekurangan karena
10. Saniathi E, Arhana BNP, Suandi IKG, Sidiartha IGL.
data yang diambil adalah data sekunder dan tidak
Obesitas sebagai faktor risiko sindrom syok dengue. Sari
semua pasien dilakukan pemeriksaan serologis.
Pediatri 2009;11:238-43.
Penelitian kami juga tidak memperhitungkan ada
11. Maron GM, Clara AW, Diddle JW, Pleités EB, Miller L,
tidaknya perdarahan pada pasien. Perlu penelitian
MacDonald G, dkk. Association between nutritional status
lanjutan secara kohort sehingga bisa didapatkan
and severity of dengue infection in children in El
data yang lengkap.
Salvador. Am J Trop Med Hyg 2010;82:324-9.
12. Ganda IJ, Bombang H. Morbiditas dan mortalitas sindrom
syok dengue di Pediatric Intensive Care Unit (PICU)
Kesimpulan Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Dr. Wahidin
Sudirohosodo Makassar Januari 1998-Desember 2005. J Med
Anak DBD yang overweight atau obes mempunyai
Nus 2005;26:244-50.
risiko 2,3 kali mengalami syok dibandingkan bukan
13. Widiyati MMT, Laksanawati IS, Prawirohartono EP.
overweight atau obes, perempuan mempunyai risiko
Obesity as a risk factor for sindrom syok dengue in
1,8 kali mengalami syok dibanding laki-laki. Angka
children. Paediatr Indones 2013;53:187-92.
trombosit merupakan modifier.
14. World Health Organization. Comprehensive guidelines
for prevention and control of dengue and dengue
haemorrhagic fever, revised and expanded edition.
Daftar pustaka Geneva: WHO;2011.
15. Lemeshow S,Hosmer Jr DW, Klar J, Lwanga SK.
1. Karyanti MR, Hadinegoro SR. Perubahan epidemiologi
Adequacy of sample size in health studies.World health
demam berdarah dengue di Indonesia. Sari Pediatri
organization. England. Published by John Wiley & Sons
2009;10:424-32.
Ltd 1990;7:36-8.
2. Ditjen PP & PL Kementerian Kesehatan Republik
16. World Health Organization. WHO child growth standards
Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013.
and the identification of severe acute malnutrition in
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014.
infants and children. 2007. Diunduh pada 20 Agustus
3. Harun SR. Tatalaksana demam dengue/demam berdarah
2016. Didapat dari:
dengue pada anak. Dalam: Rezeki, S., penyunting.
http://www.who.int/nutgrowthdb/about/introduction/en/
Demam berdarah dengue naskah lengkap pelatihan bagi
print.html.
dokter spesialis anak dan dokter spesialis penyakit dalam.
17. World Health Organization. Growth reference data for 5-19
Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2000.h.83-137.
years. 2007. Diunduh pada 20 Agustus 2016. Didapat dari:
4. Halstead SB. Dengue fever and dengue hemorrhagic
http://www.
fever. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
who.int/nutgrowthdb/about/introduction/en/print.html.
penyunting. Nelson Texbook of Pediatrics. Edisi ke-17.
18. Whitehorn J, Simmons CP. The pathogenesis of dengue.
Philadelphia: W.B Saunders Company; 2004. h.1092
Vaccine 2011;29:7221-8.
5. Sutaryo. Dengue. Yogyakarta: Medika Fakultas
19. Anders KL, Nguyet NM, Chau NVV, Hung NY, Thuy TT,
Kedokteran Universitas Gadjah Mada; 2004.
Lien LB. Epidemiological factors associated with sindrom
6. Trayhurn P, Wood LS. Signalling role of adiposetissue:
syok dengue and mortality in hospitalized dengue patiens
adipokines and inflammation in obesity. Biochemical
in Ho Chi Minh City, Vietnam. Am J Trop Med Hyg
Society Transactions 2005;33:078-81.
2011;84:127-34.
7. Coppack SW. Pro-inflammatory cytokines and adipose
20. Suharti C, Setiati TE, Gorp ECMV, Djokomoeljanto RJ,
tissue. Proc Nutr Soc 2001;60:349-56.
Trastotenojo MS, Meer JWMV. Risk factors for mortality
in sindrom syok dengue. M Med Indones 2009;43:213-9.
Sari Pediatri, Vol. 18, No. 3, Oktober 2
Sarah Buntubatu dkk: Status nutrisi sebagai faktor risiko sindrom syok

21. Phuong CXT, Nhan NT, Kneen R, Thuy TT, Solomon T,


Stepniewska K, dkk. Clinical diagnosis and assessment
of severity of confirmed dengue infections in Vietnmese
children: Is the world health organization classification
system helpful?. Am J Med Hyg 2004;7:172-9.

Sari Pediatri, Vol. 18, No. 3, Oktober 2


Sarah Buntubatu dkk: Status nutrisi sebagai faktor risiko sindrom syok

22. Bunnag T, Kalayanarooj S. Sindrom syok dengue at


27. Tantracheewathorn T, Tantracheewathorn S. Risk factors
the emergency room of Queen Sirikit national Institute
of sindrom syok dengue in children. J Med Assoc Thai
of Child Health, Bangkok, Thailand. J Med Assoc Thai
2007;90:272-7.
2011;94:S57-S63.
28. Soegijanto S. Aspek imunologi penyakit demam
23. Ganda IJ, Bombang H. Morbiditas dan mortalitas sindrom
berdarah, dalam Demam berdarah dengue Edisi 2. Surabaya:
syok dengue di Pediatric Intensive Care Unit (PICU)
Airlangga University Press. 2006.h.41-59.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Dr. Wahidin
29. Recker M, Blyuss KB, Simmons CP, Hien TT, Wills B,
Sudirohosodo Makassar Januari 1998-Desember 2005. J Med
Farrar J, dkk. Immunological serotype interactions and
Nus 2005;26:244-50.
their effect on the epidemiological pattern of dengue. Proc
24. World Health Organization. Dengue, dengue
R Soc B 2009;276:2541-8.
haemorrhagic fever and sindrom syok dengue in the
30. Chuansumrit A, Puripokal C, Butthep P, Wongtiraporn W,
contex of the integrated management of childhood illness.
Sasanakul W, Tangnararatchakit K, dkk. Laboratory predictors
Department of Child and Adolescent Health and
of sindrom syok dengue during the febrile stage.
Development. WHO;2005.
Southeast Asian J Trop Med Public Health 2010;41:326-
25. Guzman MG, Kouri G, Bravo J, Valdes L, Vazquez S,
32.
Halstead SB. Effect of age on outcome of secondary
31. Dewi R, Tumbelaka AR, Syarif DR. Clinical features of
dengue infections. Int J Infect Dis 2002;6:118–24.
dengue hemorrhagic fever and risk factors of shock event.
26. Huang YH, Lei HY, Liu HS, Lin YS, Yeh TM. Dengue
Paediatr Indones 2006;46:144-8.
virus infects human endothelial cells and induces IL-6
32. Sutaryo. Patogenesis dan patofisiologi demam berdarah
and IL-8 production. Am J Trop Med Hyg 2000;63:71-5.
dengue. Cerm Dunia Kedokter (edisi khusus) 1992;81:35-
8

2 Sari Pediatri, Vol. 18, No. 3, Oktober

Anda mungkin juga menyukai