Anda di halaman 1dari 158

COVER

ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN


Mengurai Krisis Karakter Bangsa

Penulis: Dr. Jejen Musfah, M.A.

Editor: Dede Munandar


PENGANTAR EDITOR

Rasa syukur kepada Allah Swt. atas terbitnya buku ini, karena di tengah tugas mengajar, belajar di
magister manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Jakarta, saya bisa menyelesaikan editing buku ini.
Salawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Saw., keluarga, dan para
sahabatnya.

Buku ini merupakan kumpulan opini tentang kebijakan pendidikan yang ditulis oleh dosen saya,
Dr. Jejen Musfah, M.A., yang pernah dimuat di media massa selama 2016 dan 2017. Kemudian, saya
memulainya dengan mengedit dan mengelompokkannya ke dalam beberapa tema tertentu menjadi
bab-bab tersendiri. Pengeditan dan pengkategorian tulisan opini berdasarkan temanya agar
memudahkan pembaca mencari ide-ide yang diinginkannya.

Kita semua sepakat bahwa pendidikan merupakan media dan alat yang paling tepat untuk
memajukan sebuah bangsa. Untuk itu, para pemegang kekuasaan selalu membuat kebijakan baru
dalam rangka meningkatkan kualitas hidup rakyatnya melalui pendidikan. Melalui buku ini, pembaca
akan diberikan informasi mengenai analisis kebijakan pendidikan dari sudut pandang akademisi, agar
pembaca tidak sekedar mengetahui kebijakan pendidikan, melainkan melihat setiap kebijakan dan
membayangkan pandangan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan, seperti sebagai
eksekutif, legislatif, yudikatif, pengusaha, pendidik, dan masyarakat. Dengan demikian, pembaca
dapat menganalisis setiap kebijakan pendidikan secara objektif dan komprehensif.

Buku berjudul Analisis Kebijakan Pendidikan; Mengurai Krisis Karakter Bangsa ini, merupakan
buku kedua dari kumpulan opini yang pernah ditulis oleh penulis yang sama, tentunya dengan judul
berbeda. Selain judul yang berbeda, dalam buku ini juga terdapat tambahan materi tentang
pandangan-pandangan penulis sebagai narasumber di beberapa koran-koran nasional. Seperti:
Republika, Jawa Pos, dan Harian Nasional.

Buku kumpulan opini kebijakan pendidikan ini dapat dijadikan referensi bagi, 1) dosen dan
mahasiswa S1, S2, dan S3 pada mata kuliah analisis kebijakan pendidikan di program studi
manajemen pendidikan; 2) mahasiswa S1, S2, dan S3 pada umumnya; 3) penyelenggara dan pimpinan
pendidikan di level dasar, menengah, dan tinggi; 4) peneliti bidang kebijakan dan praksis pendidikan;
dan 5) pejabat pemerintah bidang pendidikan untuk bahan pengambilan kebijakan.

Ungkapan terimakasih juga kepada penulis sekaligus dosen saya yang telah memberikan
kepercayaan kepada saya sebagai editor buku ini, serta terimakasih juga kepada Neng Hidayatus
Syarifah, yang memberikan masukan terhadap draf awal buku ini. Terimakasih kepada Penerbit
Prenadamedia Group, yang berkenan menerbitkan buku ini. Terimakasih juga kepada teman-teman
harian lokal dan nasional, Republika, Sindo, Jawa Pos, Amanah, Majalah Suara Guru, dan Majalah
Adiluhung. Ucapan terimakasih juga kepada para pembaca yang telah sudi membaca dan membeli
buku ini. Tanpa mereka, buku ini tidak mempunyai makna apa pun.

Akhirnya, semoga buku ini bermanfaat bagi dunia pendidikan. Kritik dan saran dari para pembaca
sangat dinantikan untuk perbaikan buku ini pada edisi berikutnya.

Jakarta, Januari 2018.

Editor
DAFTAR ISI

PENGANTAR EDITOR

DAFTAR ISI

BAB I: KURIKULUM

Faktor Guru dalam Pelatihan

Pendidikan Islam Rahmat Bagi Bumi

Menimbang Kualitas Buku

BAB II: GURU

Guru itu Kunci

Jiwa Guru

Redistribusi Guru DPK

Sertifikasi Guru Profesional

Guru Pembelajar

Kecerdasan Berkembang dalam Kegembiraan

Merdeka Mendidik Siswa

Kesejahteraan dan Kompetensi Guru

Guru Agama dan Radikalisme

Inkonsistensi Kebijakan Guru

Menyoal Gaji Guru

Kekurangan Guru

Menjadi Guru Humanis

Ulama yang Menulis

Guru Era Digital

BAB III: DOSEN

Melakukan Publikasi Ilmiah

Skripsi yang Terbuang

Akademisi yang Menulis


Beban Kerja Dosen

Jalan Terjal Ustaz Somad

BAB IV: ORANG TUA

Raibnya Mahkota Anak

Darurat Pedofilia

Keluarga Pembelajar

Perempuan yang (Belum) Merdeka

Film Bermutu yang Mendidik

Penjara Bakat Anak

Memenjarakan Guru

BAB V: SISWA

Menimbang Gawai

Pendidikan Anak Kalijodo

BAB VI: KARAKTER

Menjual Kecerdasan Instan

Mewujudkan Generasi Penyintas

Wajah Ganda Rohis

Regenerasi Cendekiawan Muslim

Aktor Pendidikan Karakter

Pendidikan Anti Hoax

Memutus Tradisi Kekerasan

Mengurai Krisis Karakter Bangsa

Pendidikan Anti Korupsi

BAB VII: KEPEMIMPINAN

Dilema Kepala Sekolah

Menanti Kinerja Pendidikan Anies

Pemimpin Ideal Untuk Rakyat


BAB VIII: BUDAYA

Danau Toba

Meratapi Bumi Pertiwi

Seragam Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Budaya Orang Pendidikan

Potret Penulis

Wajah Lingkungan Hidup Kita

BAB IX: METODE

Mahir Bahasa Arab dalam Empat Bulan

Siklus Penelitian

BAB X: PENILAIAN

Moratorium Ujian Nasional

BAB XI: FASILITAS

Zonasi Terbit, Prestasi Terbenam

Banyak Buku, Sedikit Waktu

BAB XII: PERGURUAN TINGGI

Evaluasi Kinerja Profesor

Politisasi Pemilihan Rektor

Universitas Islam Internasional

Menakar Wacana Impor Rektor

Mencegah Plagiasi di Kampus

Afirmasi Ma’had Aly

Kampus Hijau

Kematian Jurnal Ilmiah


BAB XIII: BIAYA

Pungutan Biaya Pendidikan

Dilema Pungutan Biaya Pendidikan

Biaya Kuliah

BAB XIV: KELEMBAGAAN

Mewujudkan Sekolah Inklusi

Melajukan Pemerataan Pendidikan

Menyikapi Full Day School

Menyoal Lima Hari Sekolah

PGRI Vs Pemerintah

Dinamika Pengelolaan Madrasah di Indonesia

PGRI: Rumah Perjuangan Guru

BIODATA PENULIS

BIODATA EDITOR
BAB I

KURIKULUM

# Faktor Guru dalam Pelatihan #


Majalah Suara Guru, Mei-Juni 2016

Kurikulum 2013 akan dilaksanakan di seluruh sekolah pada tahun ajaran baru 2016 ini. Mulai
Maret diadakan pelatihan narasumber nasional (NS) yang terdiri dari guru, widyaiswara, dan dosen.
Jenjang pelatihannya sebagai berikut. NS akan melatih instruktur nasional (IN) yang terdiri dari guru-
guru terpilih. IN akan melatih instruktur provinsi (IP) yang berasal dari guru-guru di seluruh
Indonesia. IP akan melatih guru dan kepala sekolah seluruh Indonesia. Kabarnya, K-13 dibuat lebih
sederhana dibanding sebelumnya.

Narasumber dan IN berjumlah 917 orang, sedangkan guru dan kepala sekolah yang akan
mengikuti pelatihan berjumlah 185 ribu orang. Metode pelatihan K-13 berbasis aktivitas dan kerja
kelompok. Peserta tidak hanya mendengar dan mencatat, tetapi aktif dan praktik selama pelatihan
sehingga tidak jenuh dan bosan. Pelatihan ini diharapkan selesai akhir Juni, sehingga pekan ketiga Juli
guru-guru sudah bisa memulai pembelajaran menggunakan K-13.

Tujuan pelatihan adalah menambah pengetahuan dan keterampilan, dan mengubah sikap peserta
melalui pengajaran teori dan praktik keterampilan. Pelatihan yang baik terdiri dari teori dan praktik,
menyenangkan, dan memberikan waktu yang cukup bagi peserta untuk istirahat dan olahraga.
Pelatihan dari pagi hingga malam tidak efektif. Bosan dan melelahkan.

Keberhasilan Pelatihan

Keberhasilan pelatihan sangat ditentukan oleh banyak faktor. Dalam tulisan ini hanya akan
dibahas dua faktor saja, yaitu pelatih dan peserta. Pertama, pelatih harus menguasai materi.
Keseriusan calon pelatih dalam mengikuti pelatihan sangat perlu. Tidak meninggalkan kelas saat
pelatihan. Menghargai pelatih dan peserta lainnya. Mendengarkan penjelasan narasumber dengan
baik. Calon pelatih harus kompeten. Dia adalah pembelajar. Cepat belajar ilmu dan keterampilan baru.
Bertanya jika tidak paham. Berlatih dengan sungguh-sungguh.

Pelatihan lima hari tidak cukup untuk menguasai dengan baik K-13, sebaik apa pun pelatihnya.
Maka peserta calon pelatih harus belajar mandiri atau kelompok setelah pelatihan berakhir. Belajar
mandiri untuk memastikan bahwa ia siap menjadi pelatih yang kompeten, menarik, menyenangkan,
dan inspiratif. Buku-buku dan file-file pelatihan dibaca dan dipelajari sampai khatam.

Proses perekrutan pelatih menjadi penting. Apakah para calon pelatih memiliki kriteria
pembelajar? Apakah selain kompeten, ia juga punya integritas? Punya bakat sebagai pendidik.
Menjadi pelatih bukan karena berharap materi an sich, tetapi semangat berbagi ilmu, sekaligus
wahana belajar tiada henti saking cintanya kepada ilmu pengetahuan. Maka, dia senang meskipun
bayarannya tidak seberapa, misalnya.

Pada saat pelatihan, pelatih benar-benar menjadi guru yang baik bagi peserta. Dia mengeluarkan
seluruh kemampuannya agar peserta pulang dengan pemahaman K-13 yang baik. Pemanfaatan waktu
sangat baik. Tidak lebih dan tidak kurang. Menutup terlalu cepat sesi pelatihan sama buruknya dengan
melebihi waktu yang telah ditentukan. Apalagi mengurangi jumlah hari pelatihan.

Biasanya, peserta senang pelatihan ditutup lebih cepat dari jadwal semula, tetapi tidak senang
pelatihan melebihi jam sesuai jadwal. Ironis, bukan? Pelatih dan panitia memegang peran penting
dalam hal ini. Tidak ada kebaikan sedikit pun dalam mengurangi dan melebihkan waktu pelatihan.
Pelatih jangan merasa ia harus mengajar dengan baik hingga lewat dari waktunya. Lihat dan rasakan
pesertanya, mereka bosan dan lelah.

Pelatih harus sabar karena kompetensi peserta beragam. Dia harus memastikan bahwa semua
peserta sudah paham sebelum menutup sesi. Pengenalan kemampuan peserta penting agar pelatih bisa
menjadikan peserta yang sudah mahir sebagai asisten, terutama mengajari peserta yang belum mahir
dan sulit menangkap materi.

Kedua, peserta (baca: guru). Siapa guru kita? Apakah ia manusia pilihan? Apakah ia manusia
pembelajar, bukan pemalas? Apakah ia guru biasa? Apakah ia orang yang benar-benar mengabdikan
dirinya untuk pendidikan? Guru sebagai satu-satunya profesi, tidak ada yang lain, seperti bertani,
berdagang, atau berpolitik.

Tidak semua guru kita pembelajar yang baik, sehingga pelatihan akan sia-sia atau tidak
membekas. Guru pembelajar menyambut pelatihan dengan hati riang karena ia akan belajar hal-hal
baru. Tidak dengan guru biasa. Dia menyambutnya dengan hati dingin. Biasa saja. Hanya senang
karena meninggalkan sekolah, tidur di hotel, makan enak, ketemu wajah-wajah baru, dan dapat uang
saku—meski kecil.

Keberhasilan pelatihan ditentukan oleh kondisi dan tipe gurunya. Guru pembelajar tidak akan
berhenti belajar meski pelatihan telah usai. Dia akan belajar lagi dan lagi. Haus ilmu. Semakin banyak
ia mengikuti pelatihan, maka ia semakin pintar. Tanpa pelatihan pun ia akan belajar sendiri dari
koran, buku, majalah, jurnal, dan media daring (on line).

Kemajuan teknologi-informasi telah mengubah sumber dan cara belajar. Belajar tidak identik
dengan menenteng buku, majalah, dan jurnal. Guru bisa membaca dan belajar tentang ragam
informasi dan pengetahuan melalui telepon pintar dan tablet yang sangat mudah dan ringan dibawa ke
mana dan kapan saja. Kini, belajar tidak lagi sesulit dulu, maka tidak ada alasan guru tertinggal
informasi dan terkendala belajar. Hal ini terkecuali guru-guru di daerah terpencil yang sulit
mendapatkan akses internet. Namun guru-guru tersebut tetap harus giat membaca dan belajar meski
dalam keterbatasan.

Guru biasa keluar-masuk pelatihan demi pelatihan, tetapi tidak mengubahnya menjadi pintar dan
pembelajar. Sebenarnya ia tidak cocok jadi guru, tetapi keadaan membuatnya jadi guru. Kesalahannya
sudah dimulai sejak dari perekrutan guru. Kriteria menjadi guru sudah jelas dalam kertas atau regulasi
tetapi tidak jelas dalam praktik. Pemerintah dan sekolah bisa menentukan siapa saja menjadi guru
meskipun sebenarnya tidak layak.

Apakah kita harus menyerah? Tentu saja tidak. Nasi memang sudah menjadi bubur. Demikianlah
faktanya guru kita. Siapa saja bisa menjadi guru. Misalnya belum sarjana, belum dewasa, tidak cakap,
dan tidak punya ilmu pedagogik, tetapi bisa menjadi guru. Tidak apa-apa karena upahnya pun tidak
seberapa. Mereka mau mengajar saja sekolah beruntung. Sarjana, apalagi magister, mana yang mau
mengajar dengan upah kecil?
Sarjana bermutu tidak akan mau menjadi guru. Kalau pun mau, ia memilih sekolah yang
memberikan upah yang layak. Tentu ada sarjana bermutu yang bersedia menjadi guru di sekolah
meskipun upahnya tidak layak. Tetapi berapa jumlahnya?

Oleh karena itu, tidak mudah menjamin keberhasilan pelatihan K-13. Pesertanya tidak semua guru
pembelajar. Pelatihan harus mampu mengubah paradigma guru biasa menjadi guru pembelajar. Kalau
mau menjadi guru harus berubah. Cinta baca, cinta belajar. Ilmu terus berkembang. Informasi dan
kebijakan pendidikan tumbuh dengan sangat cepat. Guru harus membaca dan mengikuti
perkembangan pendidikan. Fokus pada isu-isu pendidikan, bukan terjebak pada isu-isu privat dan
lainnya di media sosial, seperti Facebook dan WhatsApp.

Guru kita harus berubah karena sekuat apa pun orang lain ingin mereka berubah, tidak akan
berhasil jika mereka sendiri tidak mau. Pelatihan menghabiskan dana yang besar. Semua itu demi
mengubah kompetensi guru. Mengubah pendidikan generasi muda ke arah yang lebih baik. Generasi
muda berkarakter baik. Asa itu akan menggantang asap jika pendidikan diserahkan kepada guru-guru
biasa. Guru yang malas belajar. Guru adalah faktor utama kemajuan pendidikan.

# Pendidikan Islam Rahmat bagi Bumi #


Kata Pengantar buku Pendidikan Islam; Memajukan Umat dan Memperkuat Kesadaran Bela Negara,
Jakarta: Prenada, 2016.

Lembaga Pendidikan Islam (LPI) seperti pesantren, madrasah, dan PTKI (Perguruan Tinggi
Keagamaan Islam), harus mengalami kemajuan dari masa ke masa. Kemajuan LPI bukan sesuatu
yang given atau taken for granted, tetapi diusahakan dengan sungguh-sungguh oleh umat Islam
dengan dukungan tim yang solid dan manajemen yang matang. Indikator kemajuan LPI itu setidaknya
mencakup keunggulan dalam ilmu pengetahuan dan karakter alumni.

Pertama, LPI harus melahirkan lulusan yang kompeten dalam ilmu sains seperti Biologi, Fisika,
Matematika, Kimia, dan Teknologi-Informasi. Alasan mengapa umat Islam perlu menguasai sains
adalah karena potensi manusia itu beragam, manusia diberi akal untuk berpikir dan meneliti, umat
Islam tidak bisa hanya—dalam waktu lama—menjadi pengguna (user) atau penerima manfaat
kemajuan sains hasil karya non-muslim, tetapi harus menemukan dan melahirkan karya sendiri di
bidang sains—seperti zaman keemasan Islam masa lalu, dan Al-Quran mendorong umat Islam untuk
memiliki keseimbangan ilmu agama dengan ilmu sains, agar kehidupan di dunia ini semakin baik
sesuai nilai-nilai Islam.

Kecuali usaha melahirkan alumni LPI yang menguasai ilmu-ilmu sains, LPI juga harus mampu
mempertahankan keunggulan alumni dalam penguasaan ilmu-ilmu agama seperti Al-Quran, Hadits,
Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab. Orientasi kepada ilmu sains tidak boleh
melupakan umat Islam untuk juga mempertahankan bahkan memajukan ilmu-ilmu agama yang akan
tetap dibutuhkan oleh umat Islam, demi menjaga keseimbangan hidup di dunia dan di akhirat kelak.

Ada kesan, energi sebagian umat Islam di perguruan tinggi habis untuk mengenalkan,
memikirkan, dan memajukan ilmu sains untuk kalangan muslim, sehingga ilmu agama terabaikan.
Akibatnya, kaderisasi ulama di Indonesia berjalan sangat lamban, bahkan di ujung kepunahan. Hal ini
terjadi karena pergeseran orientasi masyarakat terhadap pendidikan di satu sisi, dan kurang perhatian
lembaga pendidikan Islam dan Kementerian Agama (pemerintah) pada sisi yang lain.
Kedua, LPI harus mampu melahirkan alumni yang mampu mempertahankan karakter baik, yang
terbukti mampu dilakukannya selama dalam masa pembinaan di lingkungan LPI. Di pesantren dan
madrasah, santri dan siswa menjalankan ibadah wajib dan sunnah dengan baik, menghormati guru,
senior, dan orangtua. Mereka tidak pernah terlibat tawuran dan perbuatan anarkis, bahkan berperilaku
santun dan rendah hati kepada siapa pun di sekitarnya, sehingga masyarakat bangga dan menghormati
mereka. Santri dan siswa madrasah identik dengan kesalehan spiritual dan emosional.

Alumni LPI harus menunjukkan konsistensi karakter baik di dunia kerja mereka masing-
masing—pada level apa dan mana pun, bukan terbawa arus sistem dan lingkungan yang buruk.
Bahkan, alumni LPI harus menjadi teladan baik di lingkungan kerjanya masing-masing, apakah
sebagai pimpinan maupun sebagai bawahan. Alumni pesantren dan madrasah harus mampu
membuktikan konsistensi dalam menjalankan nilai-nilai moral dan Islam dalam kondisi apa pun,
tanpa harus takut kehilangan jabatan dan materi.

Alumni pesantren dan madrasah memiliki ciri khas, yaitu patuh kepada Allah Swt., menjalin
hubungan baik dengan sesama manusia—apa pun agama, suku, ras, warna kulit, dan bahasanya, dan
memelihara alam atau lingkungannya. Ciri khas pembentukan karakter islami ini tidak boleh luntur
dan harus terus diperjuangkan oleh pesantren dan madrasah, meskipun zaman terus berubah dan
semakin jauh dari nilai-nilai Islam. Justeru, di sinilah letak perjuangan sekaligus peran strategis
pesantren dan madrasah, yaitu melahirkan masyarakat dan generasi pemimpin yang memiliki
integritas dan kompetensi di bidangnya masing-masing.

Agar lembaga pendidikan Islam bagus, unggul, dan maju, setidaknya tiga hal perlu diperhatikan.
Pertama, guru pesantren dan madrasah harus kompeten dan punya integritas tinggi. Mereka minimal
sarjana, mengajar mata pelajaran sesuai dengan latar belakang pendidikannya, mengikuti berbagai
macam pelatihan di dalam dan di luar madrasah, memiliki sertifikat pendidik, dan pembelajar
sepanjang hayat. Singkatnya, guru-guru dipilih berdasarkan standar yang tinggi; individu yang terbaik
di antara banyak yang baik.

Mereka juga berpegang pada integritas, seperti bertanggung jawab, disiplin, jujur, penyayang,
sabar, dan syukur. Mereka mencurahkan tenaga dan pikiran—bahkan harta—untuk kemajuan
pendidikan, khususnya keberhasilan santri dan siswa. Orientasi mereka menjadi guru adalah
menyebarkan ilmu pengetahuan demi masa depan peserta didik, bukan mengharapkan kelimpahan
materi—apalagi mengambil dana pesantren atau madrasah untuk kepentingan pribadi, dengan cara-
cara yang korup dan kotor.

Kedua, kurikulum pesantren dan madrasah memadukan keseimbangan antara ilmu agama dan
ilmu sains. Pengelompokkan siswa ke dalam bidang IPA, IPS, Agama, atau Bahasa harus merupakan
analisis ilmiah, sehingga kelak mereka mampu kuliah di perguruan tinggi bagus, dan akhirnya
menjadi pakar di bidangnya masing-masing. Perpustakaan, laboratorium sains, dan laboratorium
bahasa di pesantren dan madrasah harus bermutu sangat baik, sehingga belajar-mengajar menjadi
efektif dan menyenangkan.

Kecuali itu, kurikulum pesantren dan madrasah mengajarkan nilai-nilai Islam, dan kewajiban
santri dan siswa mempraktikkan nilai-nilai tersebut saat ini dan di masa mendatang, di mana pun dan
kapan pun. Nilai-nilai Islam tersebut seperti, saling menghargai, toleran, rendah hati, dermawan, tidak
sombong, tidak memfitnah, dan tidak iri dan dengki.

Ketiga, pesantren dan madrasah dikelola dengan manajemen terbuka. Aspek keuangan dan
administrasi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan misalnya, dikelola dengan sistem terbuka dan
transparan. Dengan demikian, pesantren dan madrasah mendapatkan kepercayaan masyarakat dan
orang-orang yang berpihak kepada keduanya.

Pengelolaannya diserahkan kepada orang-orang yang kompeten di bidangnya masing-masing.


Kepala sekolah, bendahara, bagian perpustakaan, bagian informasi dan teknologi, dan hubungan
masyarakat misalnya, dipilih berdasarkan kemampuannya masing-masing, sehingga mereka mampu
menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik.

Kesungguhan dalam menyiapkan dan mengembangkan guru, kurikulum, dan manajemen tersebut,
akan melahirkan lembaga pendidikan Islam unggul, yang melahirkan muslim yang unggul pula.
Selanjutnya, pendidikan Islam benar-benar menjadi rahmat bagi penduduk bumi dan bumi itu sendiri.

# Menimbang Kualitas Buku #


Republika, 17 Mei 2016

Pada setiap bulan Mei, sekolah mulai menimbang buku-buku pelajaran apa saja yang akan
digunakan para siswa dan guru. Kepala sekolah dan guru tidak perlu repot mendatangi toko-toko buku
untuk mendapatkan buku-buku pelajaran yang bagus, karena beragam penerbit akan aktif mendatangi
sekolah dan mempromosikan buku terbitan mereka. Masing-masing penerbit akan menawarkan
diskon yang beragam.

Meski pemerintah menentukan buku apa saja yang harus dipakai, sekolah kerap punya pilihan
sendiri—terutama swasta, apakah karena alasan untuk buku pengayaan atau tergiur “diskon”. Kepala
sekolah dan guru perlu mempertimbangkan aspek kualitas materi dalam setiap buku, di samping harga
dan diskon dari penerbit. Jika tidak, sekolah akan kecolongan dengan masuknya buku-buku yang
sebenarnya tidak layak dibaca oleh siswa. Kasus yang berulang terjadi tentang materi buku pelajaran
adalah muatan pornografi dan radikalisme.

Meski pemerintah pusat dan daerah sudah melakukan penilaian terhadap buku-buku pelajaran,
masih sering muncul kasus materi-materi yang tidak layak bagi peserta didik. Artinya, penilaiannya
lemah atau banyak buku yang dipakai sekolah tidak dinilai pemerintah. Tidak semua sekolah,
khususnya swasta, memakai buku-buku yang direkomendasikan oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah. Pemerintah sulit mengontrol buku-buku yang dipakai sekolah/ madrasah yang
jumlahnya tidak sedikit.

Muatan pornografi atau yang mengarah pornografi dalam bentuk tulisan maupun gambar sering
ditemukan dalam buku pelajaran, Lembar Kerja Siswa (LKS), maupun buku mewarnai. Dampak
materi pornografi dalam buku pelajaran tidak bisa dianggap sepele, di tengah maraknya kekerasan
seksual terhadap anak akhir-akhir ini. Bahwa pelakunya adalah sebagian anak-anak sekolah, yang
mungkin dipengaruhi oleh buku bacaan mereka, di samping internet.

Buku pelajaran juga rawan berisi materi yang mampu membentuk benih paham radikalisme di
kalangan pelajar kelak. Perbedaan agama, suku, dan ras yang sangat beragam di negara ini merupakan
sumber potensi konflik dan permusuhan jika pendidikan gagal memberikan paham toleransi dan
persaudaraan kepada anak sekolah. Karena itu, buku pelajaran harus dipastikan bebas dari materi atau
paham radikal. Sebaliknya, buku pelajaran harus berisi ajaran akhlak mulia yang bisa mencegah
pecahnya konflik vertikal maupun horizontal.
“Editing”

Agar kasus materi tidak layak dalam buku pelajaran tidak berulang, maka diperlukan upaya dan
kerjasama dari berbagai pihak. Penulis buku adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap isi
buku. Penulis buku pelajaran, LKS, dan buku mewarnai, sebaiknya hati-hati dalam memilih materi
yang akan dimasukkan ke dalam naskah buku.

Penggunaan kata, kalimat, gambar, dan contoh-contoh harus terpilih ketat agar tidak mengarah
pada pornografi dan radikalisme. Karena kehati-hatian inilah, menulis buku membutuhkan waktu
yang lama. Jika tidak, kualitas buku tidak bisa terjamin. Sebuah buku bisa terbit dalam waktu singkat
karena mengejar target, sehingga kualitasnya tidak terjamin.

Penulis buku jangan lupa bahwa tujuan menulis bukan untuk mendapatkan materi, tetapi
menyebarkan ilmu pengetahuan dan pembentukan karakter. Berulangnya fenomena materi tidak layak
dalam buku pelajaran menunjukkan bahwa penulisnya tidak aware terhadap dampak bacaan terhadap
pembentukan karakter anak-anak Indonesia.

Editor dari penerbit harus jeli melihat potensi konten buku yang tidak mendidik. Editor buku
ibarat mata keempat bagi penulis, yang harus bisa menemukan kesalahan dan kekurangan dari sebuah
tulisan. Ia bisa menambahkan dan mengurangi materi—sepanjang tidak merubah isi. Bahkan, editor
bisa mengembalikan naskah kepada penulis untuk diperbaiki atau menolak naskah tersebut, jika
dinilai bermuatan unsur pornografi dan radikalisme.

Masalahnya, apakah semua penerbit memiliki editor internal? Kecuali penerbit-penerbit besar,
terkenal, dan bermodal besar, banyak penerbit buku pelajaran yang tidak memiliki editor dan tidak
mau membayar editor lepas, sehingga buku tidak melalui proses editing dan proof reading. Karena
itu, pusat kurikulum dan buku (Puskurbuk), dan dinas pendidikan provinsi dan kabupaten bisa
berperan dalam menilai buku-buku pelajaran dan LKS di sekolah negeri maupun swasta. Peran itu
sudah ada, namun belum menjangkau semua sekolah atau semua buku mata pelajaran, terutama
muatan lokal.

Penerbit juga harus selektif dalam memilih naskah buku pelajaran dan LKS. Orientasi materi
dalam penerbitan buku tidak boleh mengesampingkan kualitas buku. Menekan ongkos produksi buku
tidak boleh dengan cara meniadakan proses penilaian isi, editing, dan proof reading. Karena buku
pelajaran akan dibaca oleh banyak siswa, maka penilaian materi sangat penting.

Penerbit harus yakin bahwa kepala sekolah dan guru akan menggunakan buku yang berkualitas
baik meskipun harganya lebih tinggi sedikit dari buku-buku yang ada. Persaingan yang ketat antar
penerbit buku pelajaran merupakan faktor yang menyebabkan penerbit-penerbit melupakan atau tidak
jeli melihat isi sebuah buku saat disodorkan penulisnya. Dalam hal ini, penerbit membutuhkan naskah
sementara penulis-penulis “ternama” sudah punya langganan penerbit mereka masing-masing.

Kepala sekolah dan guru merupakan benteng terakhir dalam penyeleksian buku. Mereka harus
membaca dengan seksama setiap buku yang akan dijadikan pegangan siswa dan guru. Kepala sekolah
bisa menugaskan setiap guru membaca dan menilai buku sesuai dengan bidangnya masing-masing,
dengan menggunakan instrumen atau form yang dibuat sendiri atau dari Puskurbuk. Proses ini harus
dilakukan, karena pada prinsipnya kualitas buku adalah nomor satu, sedangkan diskon dan harga
murah adalah nomor kesekian.

Demikianlah, melindungi peserta didik dari buku-buku tidak berkualitas adalah tugas dan kerja
bersama. Dengan demikian, ke depan tidak ada lagi saling menyalahkan pihak lain ketika ada buku
pelajaran dan LKS yang mengandung unsur tidak layak baca. Saatnya, mencegah bahaya dampak
pornografi dan radikalisme yang bersumber dari buku, apalagi buku pelajaran. Sekolah merupakan
taman untuk menebar benih akhlak mulia, persaudaraan, dan kasih sayang antar sesama manusia.
Peran mulia sekolah tersebut jangan sampai ternodai karena banyak pihak tidak mau menimbang
kualitas buku.

Ini Penyebab Ayat Alquran Banyak Salah dalam Buku PAI

29 Oktober 2017
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pengamat Pendidikan Islam Jejen Musfah menilai,
banyaknya kesalahan penulisan ayat suci Alquran dalam buku PAI tersebut dikarenakan adanya
penerbit yang pragmatis. "Kalau salah karena begini, buku PAI sangat banyak. Penulisnya juga
beragam, tentu kalau pengalaman saya ada penerbit yang itu, pragmatis," kata Jejen,
kepada Republika.co.id, Ahad (29/10).

Ia menuturkan, setiap menjelang tahun ajaran baru penerbit pasti akan membuka kesempatan
bagi para penulis untuk menulis buku PAI tersebut. Sehingga, kata dia, terkadang penulis juga tidak
memperhitungkan kualitasnya. "Ketika menjelang tahun ajaran baru, mereka membuka kesempatan
para penulis untuk menulis buku. Yang penting selesai sebelum tahun ajaran baru dimulai,
sehingga tidak memperhitungkan kualitasnya," ucapnya.

Karena penulis hanya diberi waktu sebentar, maka para penulis tidak ada waktu untuk
melakukan proses penyempurnaan buku. "Jadi penulis hanya diberi waktu sebentar, sehingga tidak
sempat melakukan editing, koreksi, dan sebagainya. Ini hanya semata mengejar tahun ajaran baru
mulai, jadi tidak cukup waktu," katanya.

Sebelumnya, Kapuslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajamenen Organisasi dari


Kemenag, Choirul Fuad Yusuf menyatakan bahwa pada tahun 2014 pihaknya telah melakukan
penilaian atau tadqiq terhadap sekitar 60 buku yang sudah diabsahkan, dilegitimasi oleh
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Choirul mengatakan, di Kemendikbud ada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Salah
satu tugas BSNP melakukan penilaian terhadap buku. Juga melakukan penilaian terhadap buku
pendidikan agama. Ada sekitar 200 buku yang dinyatakan boleh digunakan sampai tahun 2025.

"Kami menilai sebagian kecil saja, hanya separuh sekitar 60 buku, ternyata 50 persen lebih
buku dalam penulisan ayat Alquran, hadis dan terjemahannya salah," ujarnya.

Pengamat: Buku Isi Yerusalem Ibu Kota Israel Harus Ditarik

13 Desember 2017
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pendidikan Islam, Jejen Musfah mengatakan
bahwa seluruh buku pelalajaran yang menulis Yerusalem sebagai ibu kota Israel harus ditarik dan
direvisi oleh pemerintah maupun dari penerbit. Karena, Yerusalem bukan lah ibu kota Israel
seperto yang diumumkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump belum lama ini.

"Harus ditarik dan segera terbtkan edisi revisi," ujar Jejen saat dihubungi Republika.co.id,
Rabu (13/12).

Jejen menuturkan, tersebarnya buku yang menuliskan Yerusalem sebagai Ibu kota Israel
merupakan pelajarn bagi setiap penulis buku-buku pelajaran agar tidak sembarangan dalam
mengambil sumber. "Ini pelajaran untuk penulis agar hati-hati dalam mengutip sumber. Apalagi
dari internet," ucapnya.

Menurut dia, selama ini sudah banyak kasus-kasus bahan pelajaran yang salah dalam memuat
materi. Ia menjelaskan, kesalahan tersebut kerap terjadi lantaran penulis dikejar-dikejar oleh para
penyedia proyek.

"Ketergesaan menulis kelemahannya. Waktu menulis yang kejar tayang atau sempit. Substansi
tulisan kadang tidak terbaca dan terdalami karena soal waktu dan kejar tayang," katanya.

Selain itu, tambah dia, para penulis buku pelajaran itu juga sering tidak prifesional dalam
mengerjakan buku-buku untuk siswa. Artinya, kata dia, penulis yang mengerjakan bukan lah orang
yang menjadikan menulis sebagai pekerjaan utama, melainkan hanya sambilan.

"Penulis bukan profesi utama tapi sambilan entah guru, pengawas, atau dosen. Maka, perlu edit
berlapis dengan melibatkan pihak non penulis, bisa dari pakar, dosen, atay guru senior," jelas Ketua
Program Magister Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Jakarta ini.

Seperti diketahui, buku pelajaran yang mengakui status Yerusalem sebagai ibu kota Israel
kembali ditemukan di lapangan. Salah satunya adalah buku IPS untuk kelas 6 Sekolah Dasar yang
dikeluarjan Penerbit Yudhistira. Buku ini pun tengah viral di media sosial.

Pengamat: Guru Hanya Bacakan Materi dalam Buku, Dampaknya?

08 Oktober 2017
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pendidikan Islam, Jejen Musfah mengatakan,
sebenarnya secara materi buku-buku Pendidikan Agama Islam di sekolah yang ada saat ini sudah
bisa memperkuat keragaman di tingkat siswa. Hanya saja, menurut dia, guru-guru agama yang
mengajarkannya harus kontektual.

"Masalahnya di sini, tugas guru harus mengaitkan materi-materi tersebut seperti menghargai
sesama, persaudaraan, dengan kontekstual. Jadi biasanya persoalannya pada kompetensi guru
dalam pembelajaran tidak kontekstual," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (8/10).

Menurut dia, selama ini, banyak guru yang hanya membacakan materi dalam buku tersebut,
namun tidak menjelaskan dengan konteks keragaman yang ada saat ini. "Kalau hanya membaca
buku tidak memberikan contoh-contoh yang aktual, tidak dijamin siswa memiliki pemahaman
multikulrural itu," ucapnya.
Jejen menuturkan, dalam beberapa kasus yang ditemukan mahasiswanya di Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah, saat ini memang ada buku-buku yang mengandung unsur radikalisme di
sekolah, sehingga bisa memgancam keragaman. Karena itu, kata dia, pemerintah harus serius
mengawasi buku tersebut dan juga guru yang mengajarkannya.

"Itu membuat tugas pemerintah menjadi harus serius dalam pengertian pengawasan buku apa
saja yang dipakai oleh sekolah, tertutama yang swasta. Kalau negeri mungkin relatif aman," kata
Ketua Program Magister Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Jakarta ini.

Menurut Jejen, kepala sekokah dan guru harus selektif terhadap buku-buku yang akan diajarkan
pada siswa dan tidak boleh tergiur dengan diskon dari penerbit. Juatru, kata dia, seorang guru harus
betul-betul memeriksa bab per bab, apakah materinya sudah aman dari materi radikalisme atau
belum.

Sebelumnya, Kementerian Agama sendiri berencana membuat buku agama yang ditujukan
untuk memperkuat keragaman di sekolah-sekolah. Jejen pun mengapresiasi langkah Kemenag
tersebut. Bahkan, kata dia, jika perlu Kemenag harus membuat tim khusus untuk memantau buku-
buku yang diajarkan sekolah saat ini.

"Saya kira positif dalam konteks buku pengayaan. Jadi sesungguhnya di buku PAI sendiri
sudah ada itu. Kalau mau dimunculkan buku baru saya kita itu bagus salah satu solusi. Tapi penting
juga itu mengontrol sekolah," tegasnya.

Kaji Kurikulum Madrasah Perlu Peran Ormas

9 Desember 2017
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis)
Kementerian Agama (Kemenag) akan mengkaji kurikulum madrasah pada awal 2018. Pengamat
Pendidikan Islam, Jejen Musfah berpandangan, sudah benar melakukan kajian terhadap kurikulum
karena kurikulum tidak boleh statis.

"Secara teoritis memang kurikulum tidak boleh statis, jadi tidak boleh kurikulum itu dua sampai
empat tahun tanpa ada peninjauan," kata Jejen kepada Republika.co.id, belum lama ini. Ia
menerangkan, jadi dari sisi teoritis sudah benar kalau melakukan kajian akademis terhadap
kurikulum madrasah. Keputusan Dirjen Pendis mengundang Ormas Islam seperti Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama dalam proses pengkajian kurikulum madrasah juga sudah tepat.

Menurutnya, mungkin akan lebih bagus lagi mengundang ormas Islam lain yang memiliki
pandangan berbeda. Supaya hasilnya ilmiah. Jadi dikaji apa untung dan ruginya kalau isu semacam
khilafah masuk ke dalam kurikulum.

Dikatakan dia, memang tidak boleh ada di dalam buku Pendidikan Agama Islam (PAI) isu-isu
yang kontra produktif dengan persatuan, Pancasila dan NKRI. "Saya sebut kontra produktif, lebih
baik percaya bahwa dalam Islam itu mematuhi pemerintahan yang sekarang hasil sebuah sistem
demokrasi lebih bagus daripada mendorong khilafah," ujarnya.
Ia melanjutkan, sebab di dalam Alquran sudah jelas dikatakan taat kepada Rasulullah dan taat
kepada pemerintah yang sah juga bagian dari perintah agama. Jejen menambahkan, di Kemenag
ada yang disebut Islam rahmatan lil alamin. Jadi yang dimaksud nilai-nilai Islam rahmatan lil
alamin ada berapa. Kalau di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan ada 18 karakter
Islam rahmatan lil alamin.

Ia menegaskan, Kemenag harus tegas dan jelas, yang dimaksud nilai Islam rahmatan lil alamin
ada berapa. "Nilai-nilai itulah yang sesungguhnya harus kontekstualisasi di dalam setiap bab buku
agama Islam," ujarnya.

Ia menjelaskan, jadi kalau berbicara tentang haji, sholat, zakat, rukun Iman, rukun Islam dan
sejarah Islam, maka harus relevansi dengan nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin. Artinya
mengajarkan agama tidak lagi terlepas dari konteks keIndonesiaan dan keumatan.

Menurutnya, siswa juga diberitahu apa yang sedang terjadi di lingkungan masyarakat. Sebab,
sering kali guru agama hanya mengajarsecara textual dan textbook, tapi tidak contextual. "Kalau
yang diajarkan seperti itu peserta didik tidak memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi di
masyarakat, di bangsa ini, bahkan mungkin di dunia ini," ujarnya.
BAB II

GURU

# Guru Itu Kunci #


Majalah Suara Guru, Maret-April 2016

Medio Februari 2016, anak saya mengikuti tes seleksi salah satu SMPIT di Bogor. Anak saya
mengikuti tes tulis untuk beberapa mata pelajaran, membaca Al-Quran, dan wawancara. Orangtua
juga diwawancara. Istri saya mendapat pertanyaan dari panitia seleksi (seorang ibu guru), “Mata
pelajaran apa yang paling disukai oleh anak ibu?”

Jawabannya mengejutkan saya—tepatnya saat ia bercerita di rumah. Ternyata, istri saya lebih
tahu tentang anak-anak daripada saya. Dia menjelaskan kepada guru tersebut, bahwa Neila (anak
kami), persis seperti dirinya saat sekolah dulu. Masalahnya bukan pada mata pelajarannya, tapi siapa
gurunya. Misalnya, pada saat kelas IV SDIT nilai mata pelajaran X-nya bagus, tapi di kelas V nilainya
turun drastis.

Setelah ditanya kenapa turun drastis, gurunya berbeda. Menurutnya, cara mengajar kedua guru
mapel tersebut berbeda. Guru di kelas IV menyenangkan dan tidak galak, sedangkan guru di kelas V
tidak menyenangkan dan galak. Demikianlah, pengalaman di atas semoga menjadi catatan sekolah di
mana pun.

Tentu banyak variabel yang menentukan perolehan nilai siswa, bukan semata kompetensi dan
kepribadian guru. Tapi saya sepakat bahwa peran guru sangat penting dalam proses belajar-mengajar
di kelas dan pendidikan di lingkungan sekolah. Guru ibarat sopir. Caranya mengemudi akan
menentukan respon para penumpang. Semakin nyaman cara mengemudinya, maka semakin nyaman
para penumpang.

Idealnya semua guru di sekolah menyenangkan siswa, entah saat mengajar maupun saat di
lingkungan sekolah. Tapi tidak semua guru kompeten, karena tidak semua sekolah selektif dalam
memilih guru. Guru kita banyak yang belum sarjana, dan pengalaman mengajarnya masih kurang. Di
banyak sekolah, guru “keluar-masuk”. Wajar jika mereka lemah dalam kompetensi pedagogik,
kepribadian, sosial, dan profesional.

Pengajaran

Guru kompeten bisa dilihat dari, pertama, pengajaran. Guru menyiapkan pengajaran dengan baik
mulai dari materi, metode, media, hingga penilaiannya. Ia menyiapkan skenario pembelajaran dari
pembukaan, inti, hingga penutupan. Pembelajaran pun akan menyenangkan dan efektif.

Menciptakan pembelajaran menyenangkan tidak mudah. Setidaknya guru harus terampil memilih
metode, berbicara, dan punya cita rasa humoris. Kedalaman pengetahuan guru harus dibungkus
dengan sedikit daya humor, jika ingin siswa betah atau tidak jenuh di kelas. Jika guru merasa tidak
mampu membuat siswa tertawa kecil, maka jangan khawatir karena hal itu bisa dilatih asal mau.
Guru harus melihat siswa sebagai individu yang unik dan memiliki potensi yang beragam.
Mustahil semua bagus nilainya dalam mata pelajaran tertentu. Pengembangan ragam potensi siswa
itulah yang harus disiapkan oleh sekolah, dan gurulah di kelas dan di luar kelas sebagai pelaksananya.
Tidak dibenarkan sama sekali seorang guru memaksa siswa memperoleh nilai bagus dalam mata
pelajaran tertentu—apalagi semua mapel, karena bertentangan dengan teori kecerdasan jamak.

Pendidikan

Kedua, pendidikan. Setiap sekolah memiliki tata tertib yang bertujuan melatih disiplin, tanggung
jawab, dan kejujuran. Di Republik ini masih banyak sekolah yang menghukum siswa secara fisik (dari
yang ringan hingga yang berat), meskipun menurut serangkaian penelitian hal itu tidak efektif.
Efektifitas hukuman fisik hanya sesaat, tapi tidak baik dalam jangka panjang bagi perkembangan jiwa
anak. Siswa patuh karena takut hukuman, bukan karena sadar bahwa taat aturan itu adalah sikap mulia
dan menguntungkan.

Kecuali itu, sekolah sering fokus pada hukuman, tapi melupakan hadiah bagi siswa yang
disiplin—bahkan sekedar ucapan atau piagam. Pujian kepada siswa yang berprestasi akademik dan
non-akademik tidak cukup sekedar memberi pujian, tepuk tangan, sertifikat, tapi namanya layak
diabadikan dan ditampilkan di lingkungan sekolah, baik berupa poster maupun saat upacara bendera.
Penghargaan dan promosi prestasi siswa akan berdampak positif bagi penegakan disiplin dan belajar
siswa di dalam dan luar sekolah.

Sangat disayangkan jika masih ada guru yang menghukum siswa dengan kekerasan, baik verbal
maupun fisik. Kepala sekolah harus mengetahui sejak dini jika ada gurunya yang berpotensi menyiksa
siswa. Pembinaan guru perlu dilakukan secara rutin agar guru memahami dengan baik fungsi dan
perannya sebagai pendidik.

Tugas guru lainnya adalah mengawasi dan mendeteksi perilaku siswa yang membuat siswa
lainnya tidak nyaman, terancam, dan terintimidasi. Penindasan siswa terhadap siswa lainnya tidak
hanya bersifat fisik, tapi juga psikis seperti kata-kata yang merendahkan, menghina, dan mencaci-
maki, sehingga membuat korbannya merasa stres.

Guru harus mampu meminimalisir terjadinya penindasan antar siswa agar siswa merasa aman dan
nyaman di sekolah. Jika terjadi penindasan, maka guru harus menyelesaikannya dengan baik,
melibatkan guru BK dan orangtua siswa. Penindasan (bullying) tidak boleh dianggap hal yang kecil
dan sepele oleh guru dan sekolah.

Terakhir, guru harus memperlakukan semua siswa dengan adil. Tidak boleh ada perlakuan
diskriminatif, baik karena latar belakang ekonomi, status sosial, agama, ras, dan golongan, bahkan
kecerdasan. Guru harus menyayangi, mendekati, dan berinteraksi dengan semua siswa. Guru harus
memperhatikan siswa yang pintar, sedang, dan lamban. Guru juga harus memberikan penilaian yang
objektif terhadap siswa yang misikin maupun yang kaya.

Tidak diragukan lagi bahwa kompetensi guru memengaruhi kecintaan dan keberhasilan siswa
dalam mata pelajaran tertentu. Sesungguhnya, memang materi pelajaran itu ada yang mudah dan ada
juga yang sulit, tapi lebih sulit lagi adalah menemukan guru yang bisa menyampaikan materi sulit
dengan cara yang simpel dan mudah dimengerti siswa. Di tangan guru biasa, materi sulit menjadi
lebih sulit dimengerti siswa.
# Jiwa Guru #
SINDO, 20 Februari 2016

Ada dua pandangan di masyarakat tentang sosok guru. Pertama, guru harus ikhlas. Mengajar dan
mendidik adalah tugas mulia, maka tidak boleh mengharapkan imbalan sekecil apa pun. Guru harus
pandai mencari kerja sampingan di luar mengajar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika motif
guru adalah semata materi dan kesejahteraan, maka sebaiknya ia mencari pekerjaan lain selain guru.

Guru tipe ini bisa ditemukan di banyak sudut wilayah pertiwi. Mereka adalah guru-guru di daerah
pedalaman, guru-guru ngaji, guru-guru anak jalanan, dan bahkan guru-guru di sekolah. Mereka
mengajar tanpa pamrih selama belasan bahkan puluhan tahun. Hingga ajal menjemput. Meski upah
mereka kecil, bahkan ada yang tidak dibayar, mereka tetap setia mengajar dalam serba kekurangan.

Film Laskar Pelangi yang laris itu di antaranya mengisahkan bagaimana perjuangan seorang ibu
guru bertahan mengajar di sebuah sekolah yang siswanya sedikit, meski peluang menjadi guru dengan
upah lebih baik sangat terbuka. Dia menolak “kelimpahan materi” demi mengajar anak-anak miskin,
meskipun harus hidup sederhana. Harus ada yang peduli kepada pendidikan anak-anak duafa. “Kalau
bukan saya, siapa yang mau?”

Menanggapi demo guru honorer K-2 baru-baru ini, seorang guru tipe ini menulis pengalamannya
mengajar bertahun-tahun dengan upah kecil, bahkan meminta kepala sekolah tidak membayarnya. Ia
menilai apa yang dilakukan guru-guru tersebut sebagai memalukan marwah guru. Guru ikhlas
dipahami bahwa mengajar tidak boleh mengharap imbalan materi karena akan merusak pahala dan
kredibilitas guru.

Kedua, guru adalah profesi. Seperti profesi lainnya, dokter, pengacara, hakim, dan notaris, guru
berhak mendapatkan upah yang menjamin kesejahteraan. Guru pantas memperoleh kehidupan yang
layak. Demikian tersurat dalam UU Guru dan Dosen Tahun 2005. Karena itu, guru harus memiliki
kualifikasi sarjana dan bersertifikat. Tidak sembarang orang bisa menjadi guru. Dia harus mengikuti
pendidikan minimal empat tahun, dan satu tahun pendidikan profesi guru (PPG).

Guru PNS dan guru sekolah-sekolah berbiaya mahal, serta guru bersertifikat, telah mendapatkan
upah bulanan yang cukup memadai. Kebijakan sertifikasi guru yang berdampak pada perbaikan
kesejahteraan menaikan animo masyarakat untuk menjadi guru. Mahasiswa Prodi Keguruan
melimpah meskipun diragukan keterpanggilan jiwa gurunya.

Guru Indonesia terbelah, sebagian guru berupah besar di satu sisi, dan sebagian guru berupah
sangat kecil di sisi yang lain. Pemerintah dianggap diskriminatif. Ketika pemerintah mengabaikan
nasib guru, maka guru berhak melakukan demo. Guru dari berbagai daerah berkumpul di depan Istana
Negara selama tiga hari (11-13/02), bahkan lima guru meninggal karena kelelahan atau sakit.
Memperjuangkan nasib dalam bentuk demo besar-besaran seperti ini, karena guru sadar bahwa
pemerintah wajib menjalankan amanah regulasi, dan tentu saja janji kampanye presiden.

Guru tipe ini sadar bahwa guru bukan profesi sampingan yang bisa dibayar di bawah standar upah
minimum. Mengajar penuh selama enam hari dalam seminggu, pantas mendapatkan upah yang layak
agar bisa menjalankan tugas dengan baik. Menjadi guru yang baik membutuhkan persiapan materi,
metode, media, dan penilaian, dan pengembangan diri seperti membaca, berorganisasi, dan mengikuti
pelatihan.
Tanggung Jawab Bersama

Meski diupah tidak layak, baik guru tipe pertama maupun guru tipe kedua, tetap menjalankan
tugasnya dengan baik. Tidak ada cerita guru mogok mengajar karena diupah kecil. Guru-guru non-
PNS Indonesia berupah kecil karena iuran bulanan orangtua siswa kecil, bahkan tidak membayar
sama sekali, karena sudah ada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Masyarakat sesat pikir atau
disesatkan tentang makna sekolah gratis.

Menjawab masalah upah kecil guru honorer K-2 dan guru-guru lainnya diperlukan langkah serius
yang melibatkan tidak hanya pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pemerintah pusat bisa saja mengangkat mereka menjadi PNS dengan syarat mengikuti ujian atau
bersedia ditempatkan di daerah terpencil. Kompetensi merupakan syarat disamping masa pengabdian
guru. Tawaran pemerintah ini cukup realistis, asal dilakukan dengan transfaran, jujur, dan adil.

Jika pengangkatan PNS tidak bisa dilakukan bagi semua guru honorer K-2, maka solusi lain harus
segera dibuat pemerintah. Misalnya, pemberian sertifikat pendidik melalui “jalur khusus” bagi mereka
yang sudah mengabdi di atas tiga tahun. Dengan demikian, guru berhak memperoleh dana Tunjangan
Profesi Guru (TPG), dan tidak terlambat.

Pemerintah daerah bisa memberikan Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) atau tunjangan
fungsional—apapun namanya—kepada semua kategori guru sesuai dengan kemampuannya masing-
masing. Pemda juga bisa menerbitkan kartu khusus guru yang bisa digunakan untuk berobat gratis dan
pendidikan gratis. Prinsipnya, tidak boleh ada keluarga guru yang tidak bisa berobat dan tidak bisa
sekolah dan kuliah karena tidak mampu membayar.

Masyarakat mampu harus bersedia membayar iuran sekolah secara rutin karena di sekolah negeri
tidak semua guru PNS, apalagi sekolah swasta yang mengandalkan seluruh biaya operasionalnya dari
wali murid. Pendidikan tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat mampu.

Upah dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan sekolah tersebut akan membuat pendapatan
guru membaik. Pemerintah dan masyarakat harus bisa menghapus kesenjangan upah antara guru PNS
dan non-PNS, guru bersertifikat dan belum bersertifikat, sehingga guru merasa diperlakukan adil dan
dihargai. Upah yang memadai akan melahirkan guru kompeten.

Guru yang ikhlas juga membutuhkan makanan dan pendidikan yang baik untuk keluarganya.
Mereka menolak bekerja selain mengajar karena jiwanya di sekolah, di dunia pendidikan, bukan di
dunia bisnis atau kerja lainnya. Mereka sadar tidak akan menjadi kaya karena menjadi guru. Jika guru
sudah banyak yang menaruh jiwa-raganya untuk mendidik generasi republik ini, maka kapan
pemerintah serius mengelola dan mensejahterakan mereka?

# Redistribusi Guru DPK #


Jejen Musfah, 2017

Sesuai UU ASN Nomor 5 tahun 2014 pemerintah mulai menarik guru diperbantukan (DPK) yang
mengajar di sekolah swasta untuk mengajar di sekolah negeri. UU ASN menyebutkan bahwa PNS
diangkat pada instansi pemerintah. Selain regulasi, alasan penarikan itu karena belanja pegawai
daerah bisa lebih dari 50 persen APBD bahkan ada yang mencapai 80 persen, sehingga daerah sulit
mengembangkan potensi daerahnya.

Berdasarkan data 2014-2016 di 542 kabupaten/kota, terdapat 100.000 guru DPK. Penangkatan
guru PNS akan menambah beban pemerintah dan tidak mungkin karena pemerintah pusat tidak
memberikan kuota guru PNS baru, padahal guru mulai banyak yang pensiun. Meski menuai pro-
kontra, pemerintah bergeming.

Pemerintah menyatakan bahwa guru DPK bisa digantikan oleh guru honorer yang ada di sekolah
negeri. Kebijakan ini menuai penolakan dari masyarakat karena guru PNS dibutuhkan sekolah-
sekolah swasta di sekolah terluar, terdalam, dan tertinggal (3T) dan sekolah/ yayasan yang lemah
finansial.

Pertama, kondisi sekolah di daerah 3T serba penuh keterbatasan seperti perpustakaan, ruang
belajar, dan guru. Menghadirkan guru di sekolah 3T tidak mudah karena guru perlu digaji sedangkan
banyak orangtua yang miskin. Wajar pemerintah menempatkan guru di sana karena siswa tidak
memperoleh layanan pendidikan yang layak seperti siswa di kabupaten/ kota. Kecuali itu, tidak semua
guru tertarik mengajar di daerah 3T.

Kedua, jumlah sekolah swasta sekitar 80 persen dan 20 persen sekolah negeri. Kontribusi mereka
sangat besar terhadap pendididikan anak-anak Indonesia. Jumlah besar itu bukti nyata kepedulian
masyarakat terhadap pendidikan anak bangsa, meskipun tidak semua yayasan pemilik sekolah kuat
secara finansial.

Banyak sekolah bertahan meski fasilitas dan gaji guru kecil karena panggilan moral dan
keagamaan. Mereka tidak mencari penghidupan dari sekolah tetapi menyediakan pendidikan yang
terjangkau oleh masyarakat karena pemerintah tidak mampu mendirikan sekolah sesuai kebutuhan
masyarakat.

Penempatan guru PNS di sekolah swasta merupakan wujud terima kasih negara terhadap orang-
orang yayasan. Tanpa kepedulian dan keterlibatan swasta, pendidikan generasi muda Indonesia akan
buruk. Bangsa ini akan sulit menjadi negara yang aman, tenteram, dan makmur karena manusianya
tidak terampil (un-skills) dan tidak kreatif-inovatif.

Peran pendidikan swasta besar bagi kemajuan bangsa-negara saat ini. Para pemimpin dan
pengusaha saat ini sebagian alumni sekolah swasta. Karena itu, penempatan guru PNS di sekolah
swasta tidak melanggar regulasi karena pendidikan tanggung jawab bersama yaitu pemerintah dan
masyarakat.

Kebijakan di atas juga tidak relevan dengan realitas banyak guru honorer yang belum diangkat
oleh pemerintah. Kekurangan guru di sekolah negeri bisa diisi oleh guru honorer yang layak jadi PNS,
bukan menarik guru di sekolah-sekolah swasta. Kebijakan itu akan memperpanjang bukti
ketidakadilan pemerintah terhadap sekolah swasta.

Selama ini fokus pemerintah membangun sekolah negeri dan mengabaikan sekolah swasta,
sehingga jarak mutu keduanya sangat lebar. Kebijakan ini pasti akan menambah jarak mutu sekolah
negeri dan swasta semakin panjang. Yang perlu dilakukan pemerintah adalah redistribusi guru DPK.
Guru DPK ditarik dari sekolah yang sudah mapan, dan ditempatkan di sekolah yang kekurangan guru.
# Sertifikasi Guru Profesional #
Majalah Suara Guru, Juli-Agustus 2017

Pemerintah membuka pendaftaran program Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam jabatan
bersubsidi untuk guru tetap maupun honorer di sekolah negeri maupun swasta, Minggu (21/5). Peserta
yang lulus administrasi akan mengikuti seleksi akademik, yaitu Tes Potensi Akademik (TPA), Tes
Kompetensi Bidang (TKB), dan Tes Kemampuan Bahasa Inggris (TKBI). Ada 2500 kuota untuk
program ini.

Kebijakan ini menimbulkan pro-kontra terutama bagi guru dalam jabatan yang sudah lama
menanti sertifikat pendidik melalui Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) selama sembilan
hari. Berikut tiga ulasan terkait tujuan PPG. Pertama, PPG bertujuan melahirkan lulusan calon guru
yang profesional. Tujuan ini bertentangan dengan realitas di lapangan, khususnya bagi mereka yang
sudah lama mengabdi jadi guru tetapi belum terpanggil mengikuti program PLPG. Guru-guru
seangkatan atau di bawah mereka sudah lama menikmati tunjangan sertifikasi melalui PLPG sembilan
hari sementara mereka masih harus menunggu: apakah ikut PPG selama setahun atau PLPG Sembilan
hari?

Pada PLPG tahun terakhir 2017 yang berkuota 55 ribu ini pun banyak guru berpotensi tidak
terpanggil. Oleh karena itu, bagi mereka yang sudah lama mengajar, sebaiknya tidak perlu lagi PLPG
apalagi PPG. Pemerintah cukup menilainya dari portofolio hasil supervisi akademik guru oleh kepala
sekolah. Pemerintah melalui kepala sekolah dan pengawas bisa mendapatkan data mana guru yang
layak dan tidak layak mendapat sertifikat berbasis portofolio. Substansi PLPG dan PPG sudah
dikuasai oleh guru yang mengabdi di sekolah, apalagi yang terbukti berprestasi dan loyal terhadap
yayasan atau pemerintah.

Mutu LPTK

Kedua, tujuan PPG meningkatkan mutu guru. Apakah ada jaminan PPG satu tahun bisa
meningkatkan mutu guru? Pelaksanaan sertifikasi guru melalui PLPG atau PPG sendiri menunjukkan
pemerintah kurang percaya kepada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Pasalnya
nilai Uji Kompetensi Guru (UKG) sangat rendah. Demikian juga kompetensi siswa rendah menurut
survey Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Program for
International Student Assessment (PISA).

Sebelumnya LPTK diberi kewenangan mengeluarkan akta IV bagi alumninya sebagai bukti
kecakapan mengajar. Alumni nonkependidikan yang mau mengajar harus mengikuti program akta IV.
Era akta IV berakhir sejak terbit UU No. 14/2005 tentang guru dan dosen. Ketika guru bersertifikat
dikaitkan dengan rupiah atau tunjangan bulanan, pemerintah mulai melaksanakan penilaian khusus
melalui portofolio, PLPG, dan kini PPG. Kewenangan pemberian sertifikat pendidik tidak otomatis
diberikan oleh LPTK. Artinya, pemerintah kurang percaya kepada semua atau sebagian LPTK di
Indonesia.

Oleh karena itu sebaiknya pemerintah membenahi mutu LPTK yang ada. LPTK yang bermutu
dijaga dan dikembangkan sedangkan LPTK yang abal-abal segera ditutup. Saat ini banyak LPTK
tetapi mutunya beragam bahkan di bawah standar minimal. Lebih baik sedikit tetapi mutunya di atas
standar dan terjamin. Mutu guru yang rendah saat ini karena pemerintah tidak memerhatikan mutu
LPTK yang ada di satu sisi, dan mudah membuka LPTK baru pada sisi yang lain.

Kecuali itu, mutu guru sangat terkait dengan kesejahteraan. Pemerintah terkesan hanya pandai
menuntut profesionalisme guru tetapi mengabaikan kesejahteraan guru. Untuk mendapatkan sertifikat
dan tunjangan bulanan, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tambal-sulam, tetapi “buta” fakta
banyak guru bergaji lebih rendah dari buruh pabrik, penjaga toko, atau pekerja rumah tangga. Selama
gaji guru rendah jangan harap guru yang profesional. Profesi itu terjadi ketika guru mendapatkan
jaminan kebutuhan hidupnya dari mengajar.

Guru diakui sebagai profesi tetapi gaji mereka masih jauh dari layak, terutama guru honorer.
Berbeda dengan dokter dan pengacara, guru sebagai profesi memang sangat problematik (Darling-
Hamond, 2006). Colin Marsh (2008) dalam Becoming A Teacher menulis, “Yet the pressing demands
on teachers for accountability an quality, as well as media publicity given to adverse results, could
indicate that many group are dissatisfied with teaching as a profession.”

Bakat dan Minat

Ketiga, PPG menyiapkan lulusan S1 kependidikan dan non-kependidikan yang memiliki bakat
dan minat jadi guru. Sungguh terlambat mencari minat dan bakat guru pascasarjana. Seharusnya,
bakat dan minat guru sudah terdeteksi atau dideteksi sejak mahasiswa masuk perguruan tinggi.
Seorang mahasiswa memilih LPTK karena ia bercita-cita menjadi guru. Jika tidak, ia akan memilih
fakultas lain. Mengantisipasi calon mahasiswa yang “asal kuliah”, tugas LPTK atau universitas lah
menyaringnya. Maka, hemat penulis, saatnya calon mahasiswa LPTK harus menjalani tes khusus
terkait minat dan bakat menjadi guru, baik melalui tes tertulis atau wawancara.

Oleh karena itu, kebijakan mahasiswa nonkependidikan boleh ikut PPG atau boleh jadi guru perlu
dikaji ulang. Kecuali, banyak alumni LPTK yang menolak jadi guru sehingga kuotanya tidak
terpenuhi. Dengan regulasi saat ini, bisa jadi alumni nonkependidikan menjadi guru, sedangkan
alumni kependidikan tidak. Bukan karena alumni kependidikan tidak lebih kompeten, tetapi kebijakan
yang keliru.

Mutu pendidikan yang berada di tangan guru tidak boleh dipermainkan. Misalnya, siapa saja
boleh atau berhak jadi guru. Apa iya demikian, siapa saja berhak jadi dokter, pengacara, atau
insinyur? Alumni nonkependidikan bisa saja menjadi guru tetapi ia harus menjalani PPG selama dua
tahun, berbeda satu tahun dengan alumni kependidikan.

Pada prinsipnya menjadi guru memang harus alumni kependidikan tetapi dengan perbaikan
sistem, di antaranya waktu kuliah: 4 + 1. Empat tahun teori dan praktik, dan satu tahun praktik penuh
di sekolah rujukan. Linda Darling-Hamond (2006) dalam Powerful Teacher Education menulis, “One
of the most damaging myths prevailing in American education is the notion that good teachers are
born and not made.” Tentu saja Darling-Hamond tidak sependapat. “The best teachers are
prepared,” katanya.

Praktik mengajar di sekolah pada fase satu (4 tahun) dan fase 2 (1 tahun) itu harus betul-betul
berkualitas. Guru harus membimbing dengan baik dan tulus bukan merasa terbebani dengan kehadiran
praktikan. Pemilihan sekolah harus dilakukan berdasarkan standar yang jelas. Komunikasi LPTK
dengan sekolah-sekolah mitra harus baik agar melahirkan kesepahaman tentang pentingnya periode
magang bagi calon-calon guru masa depan.
Singkatnya, PPG cocok bagi calon guru yang belum memiliki pengalaman mengajar. Guru yang
sudah berpengalaman mengajar apalagi lebih dari dua tahun tetap diberikan kesempatan mengikuti
PLPG selama sembilan atau sebelas hari. Masa PPG bagi alumni kependidikan selama satu tahun
sedangkan alumni nonkependidikan adalah dua tahun. Bagi guru honorer yang mengabdi lebih dari
sepuluh tahun, sertifikasi pendidik mereka cukup dengan model portofolio. Kuncinya, guru menyusun
portofolio berbasis kejujuran sehingga melahirkan kepercayaan pemerintah.

# Guru Pembelajar #
SINDO, 28 September 2016

Pelatihan Guru Pembelajar (GP) Moda Daring (dalam jaringan) mulai dilaksanakan pemerintah
September hingga Desember 2016 mendatang. Kebijakan GP adalah kelanjutan kebijakan uji
kompetensi guru (UKG) yang hasilnya tidak memuaskan. UKG tahun 2015 menguji kompetensi guru
untuk dua bidang yaitu pedagogik dan profesional. Rata-rata nasional hasil UKG 2015 untuk kedua
bidang kompetensi itu adalah 53,02, di bawah nilai standar kompetensi minimum (SKM) yang
ditargetkan secara nasional, yaitu rata-rata 55.

Pesan kebijakan GP sesungguhnya adalah guru harus menjadi pembelajar sepanjang hayat dengan
memanfaatkan media apa pun termasuk internet sehingga kompetensinya terus meningkat sesuai
perkembangan zaman. Dalam praktik di beberapa sekolah di banyak daerah diketahui bahwa
pembelajaran dalam jaringan menemui banyak kendala yang berat.

Penghambat

Pertama, kesiapan guru belajar secara daring. Tidak semua guru terbiasa menggunakan komputer
meskipun teknologi informasi dan komputer (TIK) sudah lama masuk ke sistem dan pembelajaran
sekolah. Laporan Microsoft Asia Edu Tech Survey 2016 terhadap sekitar 200 tenaga pengajar se-Asia
Pasifik menyimpulkan bahwa masih banyak guru yang belum melek teknologi akibat kurangnya
pelatihan, pendanaan, dan kurikulum yang belum terintegrasi dengan perkembangan teknologi. Cara
belajar dan mengajar guru masih konvensional meskipun di sekolah sudah difasilitasi komputer dan
infokus. Cara berpikir guru masih tradisional.

Belajar daring adalah satu di antara cara belajar yang niscaya dan perlu bagi guru di abad 21 ini.
Komputer yang terkoneksi internet menyajikan bahan belajar yang akan membantu guru dalam
belajar dan mengajar. Kebijakan GP tidak akan cepat bisa mengubah cara pandang guru terhadap
TIK, meskipun kebijakan ini dinilai baik oleh banyak kalangan.

Kedua, guru tidak punya komputer, karena tidak mampu membeli atau tidak menganggap perlu
memiliki. Gaji guru masih sangat rendah. Disebutkan bahwa rata-rata gaji guru honorer yang bekerja
di sekolah negeri adalah Rp 150 – 200 ribu per bulan. Komputer yang harganya “hanya” dua jutaan
tidak terbeli oleh guru. Memang ada guru yang beruang seperti guru PNS atau guru swasta di sekolah
kelas menengah-atas tetapi tidak punya komputer atau punya tapi tidak memanfaatkan secara baik.

Belajar daring memerlukan internet, tetapi berapa jumlah guru yang bersedia menyisihkan
uangnya untuk membeli kuota internet bulanan seharga 100 hingga 200 ribu rupiah? Guru beruang
tetapi tidak haus informasi dan cinta pengetahuan akan segan mengeluarkan uang sebesar itu.
Masalahnya, mungkin banyak guru ingin maju dalam belajar tetapi mengalami kendala keuangan.

Ketiga, meski guru mengajar minimal 24 jam dalam seminggu (sesuai UU Guru dan Dosen),
kenyataannya guru mengajar lebih dari itu. Jam mengajar ideal guru adalah 18 jam per minggu,
sehingga rata-rata guru mengajar 3 jam pelajaran per hari. Jika beban guru tetap 24 jam, maka
kekurangannya bisa dipenuhi dengan tugas di luar tatap muka, seperti menjadi wali kelas, Pembina
OSIS, pembimbing ekstrakurikuler, guru piket, meneliti, dan menulis.

Beban mengajar yang padat tersebut membuat guru sedikit punya waktu untuk belajar. Waktu
guru habis di kelas. Di luar sekolah guru sudah kelelahan, bukan saja karena banyaknya jam mengajar
tetapi juga karena mereka mengajar lebih dari satu sekolah. Jarak tempuh antar sekolah yang jauh,
kemacetan, juga berkendara motor menguras tenaga guru setiap hari.

Keempat, masih sedikit sekolah yang menyediakan internet di sekolah, baik untuk guru maupun
untuk siswanya. Jangankan internet, banyak sekolah yang tidak memiliki laboratorium komputer.
Bangunan sekolah bahkan banyak yang sudah tidak layak, seperti rentan roboh, lantai tidak
dikeramik, bocor saat hujan, dan berdinding kayu.

Solusi

Berikut beberapa saran kepada pemerintah dan pihak-pihak terkait agar kelak guru menjadi
pembelajar sehingga kompetensinya berangsur bagus. Pertama, standarisasi fasilitas sekolah seperti
laboratorium komputer dan perpustakaan, sehingga sekolah bisa jadi pusat belajar siswa dan guru.
Ada kesenjangan yang lebar antara sekolah negeri dengan sekolah swasta. Pemerintah tidak mudah
memberikan izin pendirian sekolah baru, sambil mengembangkan sekolah swasta yang sudah ada.
Disamping dana dari pemerintah, dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan besar bisa
diarahkan untuk pengadaan fasilitas sekolah.

Kedua, memperbaiki kesejahteraan guru. Sertifikasi guru tetap dijalankan tetapi tidak dijadikan
syarat guru memperoleh tunjangan profesi; semua guru tanpa terkecuali berhak memeroleh gaji sesuai
standar upah minimum. Gaji guru swasta masih jauh dibanding gaji guru negeri. Sepanjang gaji guru
swasta masih di bawah upah minimum akan sulit mengharapkan kompetensi dan profesionalisme
guru.

Ketiga, mengurangi jam mengajar guru dari 24 jam per minggu menjadi 12 atau 18 jam. Di
samping mengajar, guru diwajibkan mengikuti pelatihan, seminar, meneliti, dan menulis. Kewajiban
menulis mendorong guru untuk membaca buku dan jurnal. Seperti dosen, beban kerja guru tidak
hanya mengajar tetapi juga meneliti dan mengabdi kepada masyarakat.

Keempat, memperbaiki kualitas fakultas pencetak guru sehingga sepuluh tahun ke depan input
guru bagus. Persoalan kompetensi guru terkait mutu lembaga pendidikan tenaga kependidikan
(LPTK) yang banyak saat ini tetapi kualitasnya tidak terjamin. Belum lagi banyak guru yang belum
sarjana dan mismatch. Meski hanya mengukur dua aspek dari empat kompetensi guru, hasil UKG di
atas menampar wajah pendidikan Indonesia.

Kebijakan GP model daring tidak buruk tetapi tidak sesuai dengan kondisi kebanyakan sekolah
dan guru-guru Indonesia saat ini, sehingga tidak akan efektif. Pengembangan keprofesian
berkelanjutan tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi semua pihak terutama guru itu sendiri.
Dengan kemampuannya sendiri, guru harus kreatif dalam hal belajar agar kemampuannya terus
meningkat dan tidak tergilas zaman.

Menyerap pengetahuan yang melimpah ruah di abad ini membutuhkan rasa ingin tahu yang besar
dari guru, bukan karena kemauan pemerintah atau siapa pun yang prihatin dengan kualitas guru. Para
guru dan para pembelajar di mana pun, selamat menyambut dan mengisi Hari Hak untuk Tahu, 28
September 2016. Terus belajar adalah marwah guru dan setiap pendidik.

# Kecerdasan Berkembang dalam Kegembiraan #


Majalah Suara Guru, Edisi September-Oktober 2016

Ketiadaan buku dan media, bahkan ruang kelas tidak boleh menyurutkan pembelajaran sepanjang
masih ada guru. Guru tidak akan tergantikan dalam pembelajaran. Siswa bisa belajar mandiri melalui
buku dan media, tetapi melalui bimbingan seorang guru, siswa lebih cepat memahami pengetahuan
atau menguasai keterampilan tertentu. Menurut Skinner, mengajar adalah mempercepat proses belajar.

Belajar harus sampai pada penguasaan siswa terhadap keterampilan-keterampilan yang khusus.
Praktik harus lebih dominan dalam pembelajaran, paling tidak seimbang dengan pengkajian teori.
Oakeshott menulis, pendidikan terutama ditujukan untuk mendapat keterampilan. Selanjutnya, siswa
difasilitasi dan dilatih untuk menemukan dan menciptakan hal-hal baru dalam bidangnya masing-
masing. Piaget menilai, pendidikan berarti menghasilkan pencipta, sekalipun tidak banyak.

Tujuan dari setiap temuan baru sejatinya untuk menciptakan kehidupan manusia yang lebih baik.
Terbukti, kemajuan teknologi abad 21 mampu mengubah aspek ekonomi, politik, pertahanan, dan
pendidikan ke arah yang lebih baik. Akan tetapi, kemajuan itu tidak ada artinya ketika sebagian
manusia modern membunuh manusia lainnya melalui perang atau terorisme—dengan alasan apa pun.
Padahal seharusnya, kehidupan akan lebih baik melalui pendidikan (Broudy, h. 131).

Maka, mengajar berarti merangsang berpikir siswa, seperti kata Heidegger, guru selayaknya
menerima pemikiran atau menantang pemikiran anak. Siswa dibiasakan memecahkan sejumlah
masalah. Buku pelajaran memuat sekumpulan materi, tetapi guru yang akan memilih metode, strategi,
dan pendekatan mengajar sehingga materi itu menjadi menarik dan mudah dimengerti oleh siswa.

Di kelas guru harus percaya pada kemampuan siswa, agar ia sukses menjadi fasilitator (Rogers, h.
99). Belajar-mengajar membutuhkan ketekunan dan kesabaran guru, disamping fasilitas yang
memadai dan lingkungan yang kondusif. Maka, guru harus fokus dan punya waktu yang cukup untuk
membina siswa. Jika tidak, maka pembelajaran tidak akan efektif.

Guru juga merupakan kunci pembelajaran yang menyenangkan. Simone Weil menulis,
kecerdasan hanya tumbuh dan berkembang dalam kegembiraan. Ciri murid gembira di kelas adalah
ketika mereka merasa belajar bukan sebagai beban dan bukan aktivitas yang membosankan. Guru
adalah salah satu alasan suka atau tidak suka para siswa belajar di kelas.

Mata pelajaran yang terlalu banyak juga berakibat buruk pada mental siswa. Siswa belajar banyak
hal yang belum tentu berguna bagi kehidupan mereka kelak. Oleh karena itu, Sizer menawarkan,
kurikulum yang “sedikit berarti banyak”, atau pentingnya kualitas belajar dibandingkan kuantitas
mengajar. Jika yang sedikit tapi utama, maka lebih baik, dibanding banyak tapi tidak utama.

Kecuali itu, guru harus menghindari hukuman fisik, karena menurut Neil, hukuman akan selalu
menjadi tindakan kebencian. Mengajak siswa yang bersalah berbicara dan berdialog empat mata jauh
lebih baik daripada langsung menghukum siswa di depan teman-temannya. Tujuan dialog adalah
menggali informasi mengapa anak berbuat yang tidak seharusnya. Dengan demikian, guru tahu akar
masalahnya, dan bagaimana seharusnya masalah tersebut diselesaikan.

Dari pemaparan di atas cukup jelas bahwa tugas guru tidaklah ringan. Karena itu, guru layak
mendapatkan gaji yang memadai untuk hidup sejahtera. Suatu hal yang masih menjadi mimpi bagi
sebagian besar guru di republik ini. Linda Darling-Hammond menjelaskan, doronglah dan hargailah
pengetahuan dan keterampilan guru.

Di negeri ini guru tidak dihargai. Hakim yang menjatuhkan vonis 3 bulan penjara kepada guru
Samhudi karena mencubit siswanya (4/8/2016), sungguh ia tidak memahami tugas dan kondisi guru
yang sebenarnya. John White menulis, setiap warga bertanggung jawab memikirkan tujuan
pendidikan. Sikap hakim tersebut membuktikan bahwa seolah-olah tanggung jawab pendidikan hanya
ada pada guru dan orangtua. Sebagai hakim, seharusnya ia menjadi pendidik bagi masyarakat dengan
mengambil keputusan yang adil.

# Merdeka Mendidik Siswa #


SINDO, Jumat 26 Agustus 2016

Hubungan orang tua siswa dengan guru kembali tercoreng. Orang tua siswa di Makassar
memukul bagian muka sang guru (10/8). Baju putih yang dikenakan guru dipenuhi bercak darah.
Hidung guru pun patah sehingga harus menjalani operasi, dan hingga saat ini masih di rawat di rumah
sakit bahkan kondisinya kritis (15/8). Padahal, belum lama orang tua se-Indonesia mengantar anak ke
sekolah, menemui guru dan menitipkan anak mereka untuk dididik dengan baik (18/7). Diharapkan,
program mengantar anak di hari pertama sekolah menciptakan hubungan yang baik antara guru dan
orang tua sehingga pendidikan berjalan sesuai harapan.

Rupanya ruh dan pesan program mengantar anak ke sekolah belum dipahami dengan baik oleh
orangtua. Bahwa mendidik anak membutuhkan kerjasama guru dengan orangtua, dan diperlukan
kedewasaan berpikir dari setiap orang tua. Memukul guru berdasarkan informasi sepihak dari anak
bukti kelemahan berpikir. Alih-alih mendidik anak, sang bapak melahirkan masalah baru bagi anak.
Anak dikeluarkan dari sekolah, dan entah sekolah mana yang akan menerimanya. Padahal, tugas
sekolah adalah memperbaiki akhlak.

Kasus guru-orang tua siswa bukan pertama kali ini terjadi. Sebelumnya, tercatat Muhammad
Arsal di Benteng Selayar ditahan karena memukul siswanya (7-27 April 2016, diperpanjang sampai
12 Mei), Nurmayani Salam di Bantaeng Sulawesi Selatan ditahan karena mencubit siswanya
(12/5/2016), guru yang juga Kepala SDN 1 Ciwareng, Sakri ditampar orang tua siswa sebagai balasan
atas tindakan serupa yang dilakukan guru kepada siswa (3/6/2016), dan Mubasysyir di Sinjai Selatan
ditahan karena menggunting rambut siswanya (4/6/2015), sekedar menyebut beberapa contoh.

Mendidik Siswa

Memilih sekolah tertentu buat anak bukan sekedar memercayakan perkembangan fisik dan
kecerdasan anak kepada guru, tetapi juga perkembangan karakternya. Orang tua percaya bahwa
anaknya akan memperoleh pendidikan yang baik. Landasan filosofis saling percaya antara orang tua
dan guru ini yang tidak boleh dilupakan ketika terjadi masalah di sekolah.

Desain kurikulum sekolah menitikberatkan peningkatan karakter daripada akademik, seperti


tertera dalam Nawacita bahwa 70 persen materi pembelajaran bermuatan budi pekerti, dan 30 persen
bersifat akademis (SD), dan 60/40 (SMP). Karakter siswa dikembangkan melalui mata pelajaran
(kurikuler), kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Dalam praktiknya, guru sebagai pendidik siswa melalui
tiga aspek tersebut menghadapi respon siswa (dan orangtua) yang beragam.

Umumnya siswa menaati tatatertib dan perintah guru, tetapi ada juga yang membangkang. Di
sinilah masalah guru dengan orang tua kerap muncul, yaitu bagaimana cara guru mendisiplinkan
siswa di satu sisi, dan respon siswa dan orang tua di sisi yang lain. Pertama, orang tua menganggap
wajar, memaafkan guru, dan tidak mengklarifikasi. Kedua, orang tua mengklarifikasi dan memaafkan
guru. Ketiga, orang tua mengklarifikasi, tidak memaafkan guru, bahkan melaporkan guru ke pihak
berwajib. Keempat, orang tua main hakim sendiri dengan cara melakukan kekerasan kepada guru.

Merdeka Mendidik

Belajar dari kasus guru dengan orang tua siswa dengan ragam bentuknya di atas, maka catatan
berikut bisa dipertimbangkan. Pertama, orang tua adalah mitra guru dalam mendidik siswa/ anak.
Dikatakan, guru adalah orang tua kedua. Orang tua harus membaca dan memahami tatatertib sekolah.
Masalahnya, orang tua sering tidak peduli dengan segala peraturan di sekolah. Keduanya perlu
sepakat tentang pentingnya disiplin siswa berikut segala konsekwensinya. Pelanggaran disiplin oleh
siswa bukan semata tanggung jawab guru tapi juga orangtua. Keduanya harus diskusi mencari jalan
keluar, bukan saling menyalahkan, apalagi melakukan kekerasan.

Kedua, orang tua hati-hati menyikapi pengaduan anak tentang sikap guru. Sebelum bertindak, ia
seharusnya melakukan mediasi dengan guru dengan melibatkan kepala sekolah dan Komite Sekolah.
Tindakan orang tua harus mencerminkan seorang pendidik, bukan orang tua yang membela anak
(meski salah). Ia harus berpikir jernih, merdeka dari nafsu amarah yang merugikan dirinya, anaknya,
dan orang lain. Orang tua dan siswa tidak boleh merendahkan guru hanya karena sudah membayar
mahal, misalnya.

Ketiga, guru menghindari hukuman fisik yang terbukti menjadi sumber konflik guru dengan
orangtua. Brumbaugh dan Lawrence dalam Philosophers on Education: Six Essays on the
Foundations of Western Thought, menegaskan bahwa, “If we wish to establish morality, we must
abolish punishment”. Dua orang anak saja berbeda tingkat kedewasaan dan karakternya, apalagi 30
anak. Butuh kesabaran dan ketekunan mendidik dan mendisiplinkan puluhan siswa. Jika ada satu, dua,
atau lebih siswa yang tidak patuh, maka tugas guru menemukan cara untuk mendidik anak-anak
tersebut, seraya bersabar dan berdoa.

Guru merdeka memilih cara mendidik siswanya yang beragam karakter tetapi jangan sampai
melukai fisik dan psikis siswa. Faktanya, guru bisa salah dalam mendidik siswa, bukan saja karena ia
manusia tapi masih banyak guru yang tidak kompeten. Guru harus terus belajar demi peningkatan
kompetensi mendidik siswa. Demikian juga siswa bisa melakukan pelanggaran, karenanya butuh
bimbingan tanpa lelah (apalagi sampai menyerah) dari guru dan orang tua. Day dalam Developing
Teachers; the Challenges of Lifelong Learning (2002: 191), menulis bahwa “Professional
development is changing thinking and practice of teaching”.
Orang tua yang memenjarakan guru, menampar guru, apalagi memukul guru hingga berdarah-
darah, karena "kesalahan kecil" guru tidak boleh terjadi lagi. Setiap persoalan yang timbul dari proses
pendidikan antara guru dengan siswa/ orang tua sebaiknya diselesaikan dengan cara musyawarah dan
kekeluargaan. Menghukum balik guru dengan cara kekerasan atau membuatnya merasakan dinginnya
hidup di balik jeruji besi adalah bukti bahwa orang tua belum merdeka dari sifat kebodohan,
sombong, dan tidak pandai bersyukur. Orang tua dan guru harus merdeka dari sifat-sifat buruk dalam
mendidik anak/ siswa.

# Kesejahteraan dan Kompetensi Guru #


harianamanah.com, Senin, 11 Desember 2017

PGRI konsisten membela hak-hak guru di tingkat kecamatan, kabupaten, kota, provinsi, dan
pusat. Di antara aspek perjuangan PGRI itu adalah peningkatan kesejahteraan guru. Guru harus
memperoleh gaji yang layak. Tidak boleh kecil dibanding buruh. PGRI terus menuntut pemerintah
memperbaiki gaji guru terutama honorer dan non-PNS, karena masih banyak guru yang digaji di
bawah Upah Minimum Regional (UMR). Guru banyak yang hidup miskin.

Pemerintah tidak diam. Terbitlah tunjangan sertifikasi guru (sergur). Semua guru berhak
mendapatkan subsidi dari pemerintah, PNS dan non-PNS. Belum semua guru mendapatkan berkah
sergur, karena pelabelan profesi guru dengan selembar sertifikat harus melalui seleksi: Pendidikan dan
Latihan Profesi Guru (PLPG) atau Pendidikan Profesi Guru (PPG). Guru bersertifikat belum tentu
profesional.

Dana pemerintah terbatas. Ada ketidakadilan: siapa mendahulukan siapa untuk ikut PLPG atau
PPG; syarat-syarat calon peserta sering dilanggar. Banyak peserta pelatihan yang lulus (bahkan bisa
dikatakan 100 persen). Apakah semua peserta benar-benar kompeten jadi guru? Dapat disimpulkan:
ini sekedar proyek; seremonial; maka mubazir.

Guru di daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal (3T) mendapatkan tunjangan khusus.
Pemerintah daerah memberikan tunjangan khusus kepada guru. Semakin peduli pendidikan pejabat
daerah semakin sejahtera guru. Beasiswa guru, penghargaan bagi guru, kepala sekolah, dan pengawas
yang berprestasi. Semua program ini bukti pemerintah dan pemerintah daerah bekerja.

Apakah guru puas, lalu diam? Tidak. Guru menuntut honorer diangkat PNS tanpa seleksi.
Alasannya sudah lama mengabdi dan beban kerjanya sama dengan guru PNS, bahkan sering lebih
banyak jamnya. Pemerintah bergeming. Untuk mendapatkan guru PNS yang kompeten harus ikut
seleksi. Usia juga dibatasi. Dilema: banyak guru honorer yang sudah usia tua. Sebentar lagi pensiun.

Pemerintah juga melihat data honorer rawan manipulasi. Jumlahnya pantastis mencapai sekitar
600 ribu. Kepala sekolah/ madrasah memanipulasi Tanggal Mulai tugas (MT) kerja guru. Guru baru
tapi dibilang sudah lama mengabdi. Ada kolusi dan nepotisme. Akibat yang begini berdampak pada
guru honorer beneran. Guru yang betul-betul mengabdi lima tahun, bahkan lebih. Sudah 15 sampai 20
tahun mengajar, tapi tidak juga diangkat PNS.

Katakanlah guru sudah sejahtera. Faktanya, guru PNS dan guru sekolah elit bergaji lima sampai
sepuluh juta. Kesejahteraan tidak kompatibel dengan profesionalisme dan karya. Hasil banyak riset
menunjukkan bahwa sertfikasi guru tidak berpengaruh pada peningkatan kompetensi guru. Uangnya
bukan untuk melanjutkan studi atau membeli buku tetapi untuk kredit mobil.

Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) dan Guru Pembelajar (GP)—kini disebut Peningkatan
Kompetensi Berkelanjutan (PKB)—rendah, tetapi guru tidak mau disebut tidak kompeten. “Soalnya
tidak ada dalam buku; soalnya high order thinking”. Ini sebagian alasan. Sedikit guru yang berkarya.
Peluang, waktu, sumber informasi melimpah, tetapi kompetensi kurang. Motivasi untuk bisa juga
rendah.

Budaya nyontek malah subur. Sulit dibasmi. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) nyontek
atau beli buku kumpulan RPP ke penerbit. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan plagiat atau
dibuatkan orang lain. Terakhir, tugas resume materi pra-PLPG secara daring nyontek teman. Padahal
sudah berulangkali diingatkan. Guru tidak atau kehilangan percaya diri. Bahwa mereka bisa jika
berpikir bisa. Tidak perlu nyontek untuk berhasil.

Guru juga gagap teknologi. Tidak siap UKG berbasis komputer. Pemberkasan sertifikasi
diserahkan kepada operator. Guru Pembelajar berbasis daring membuat guru repot. Apalagi
operatornya, dari tingkat sekolah hingga pusat, sebab komputer yang jadul dan internet yang lamban
alias lola.

Pemerintah harus mempercepat pengangkatan guru bersertifikat. Sekolah diizinkan menerima


sumbangan pendidikan dari orangtua mampu. Dana BOS boleh untuk membayar guru honorer.
Pemerintah daerah memberi tunjangan guru honorer. Anak-anak guru mendapat beasiswa hingga
universitas. Guru tidak boleh ada yang miskin. Titik.

Sementara guru harus jadi pembelajar. Usia tidak boleh jadi alasan. Guru harus terampil dan luas
pengetahuan karena sumber informasi melimpah. Tidak harus perpustakaan. Laptop sudah bisa jadi
perpustakaan digital. Internet jadi kebutuhan primer. Membaca, meresume, memetakan, dan
menuliskannya, untuk bahan pembelajaran, menulis opini, artikel, atau buku. Sedikit demi sedikit.
Guru mulia karena karya.

# Guru Agama dan Radikalisme #


Jejen Musfah, 2017

Menarik membincang realitas guru Pendidikan Agama Islam (PAI) terkait paham keagamaan
yang toleran. Paham radikal, intoleran, dan eksklusif merasuk ke sekolah dan siswa melalui buku
pelajaran agama, guru PAI, dan Rohani Islam (Rohis). Pemerintah tidak boleh melakukan pembiaran,
tetapi harus segera melakukan langkah pencegahan dan pemurnian paham keagamaan guru dan siswa.

Survey Nasional tentang Sikap Keagamaan di Sekolah dan Universitas di Indonesia yang
dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta (2017) merekomendasikan
reformasi rekrutmen, pendidikan dan pelatihan guru agama Islam dan negara berkewajiban
mengembangkan keagamaan yang terbuka, toleran, dan inklusif.

Tesis Hasniyati berjudul Analisis Muatan Radikalisme dalam Buku Teks PAI SMA di Program
Magister PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2016) menyimpulkan sebagai berikut. Nilai
radikalisme dalam buku teks terbitan Kemdikbud, Erlangga, dan Yudistira memiliki stigma negatif
terhadap kelompok agama yang berbeda, membid’ahkan pandangan yang berbeda dan memonopoli
kebenaran, mengusung khilafah islamiyah, menolak demokrasi, dan memiliki stigma negatif terhadap
Barat. Akan tetapi, buku teks tersebut juga mengandung nilai toleransi dan demokrasi.

Radikalisme dan eksklusifisme menimbulkan kesan negatif masyarakat tentang Islam. Islam
seolah menghalalkan pembunuhan, pertumpahan darah, dan kekerasan. Islam diindentikan dengan
agama yang menolak keragaman, perbedaan pandangan, dan jalan dialog. Islam juga dipandang
agama yang tidak menghargai liyan.

Padahal sejatinya Islam adalah agama kasih sayang, inklusif, dan toleran. Perbedaan paham ada
bahkan banyak di dalam dan di luar Islam, tetapi tetap dalam kerangka saling menghargai bukan
mengkafirkan yang liyan. Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi pemaaf dan sabar bahkan
terhadap orang yang zalim seklipun.

Radikalisme dan eksklusivisme juga mengancam kebinekaan, stabilitas, persatuan, kedamaian,


dan tenun kebangsaan yang telah lama dibangun oleh masyarakat Indonesia. Islam mendukung sistem
demokrasi dan karenanya pemerintah harus didukung sebagai bentuk ketaatan pada pemimpin yang
sah. Bukan sebaliknya, tidak percaya dan berusaha menggantinya dengan sistem khilafah.

Membumikan Islam moderat, inklusif, dan damai harus dimulai dari standardisasi buku pelajaran
PAI. Sekolah, madrasah, dan pesantren harus memakai buku yang sudah dinilai oleh pemerintah.
Buku PAI harus bebas dari ajaran radikal, intoleran, dan eksklusif. Sebaliknya, buku PAI harus
memuat materi multikultularisme, moderasi, inklusifisme, dan toleransi.

Kecuali itu, guru PAI dan ustadz di pesantren harus distandardisasi. Paham keagamaan mereka
harus sejalan dengan Islam yang rahmatan lil’alamin. Islam yang tidak mudah mengkafirkan orang
lain apalagi terhadap sesama muslim. Islam yang memandang keragaman sebagai sebuah sunatullah,
bukan sumber perpecahan, ketidakadilan, dan apalagi sumber konflik.

Pemerintah harus membina guru dan ustadz yang memiliki pandangan berbeda dengan Islam yang
cinta damai dan menjunjung tinggi nilai kasih sayang dan cinta sesama. Islam mengajarkan muslim
memelihara lingkungan dengan baik, apalagi hubungan dengan sesama harus dijaga dengan penuh
kasih. Dalam hal guru dan ustadz tidak kooperatif, maka pemerintah berhak menutup sekolah,
madrasah, atau pesantren mereka.

Demikian juga para penulis buku PAI yang dengan sengaja atau tidak menuliskan materi yang
bertentangan dengan Islam moderat dan inklusif harus didata dan dibina agar meninggalkan paham
sesat mereka. Bagaimana buku-buku mereka bisa dipakai sekolah dan madrasah tertentu harus
dipelajari. Bagaimana pula buku-buku agama terbitan Kemdikbud dan Kemenag bisa mengandung
ajaran intoleran.

Penerbit juga punya kewajiban menyiarkan Islam yang damai dan ramah. Mereka harus memfilter
atau mengedit buku-buku cetakan mereka. Tujuan mereka tidak semata mencari keuntungan. Penerbit
yang dengan sengaja menyebarkan paham Islam yang radikal dan intoleran layak dibubarkan dan
dikenai denda.

Akhirnya, faktor buku, penulis, dan penerbit dalam hal penyebaran Islam yang radikal akan bisa
diatasi jika guru PAI punya kepekaan terhadap pentingnya seleksi buku PAI. Guru PAI berperan
penting dalam pemilihan buku mana yang layak dan tidak untuk dipakai di sekolah mereka. Guru PAI
juga bisa memastikan Rohis aman dari ajaran radikal dan intoleran. Sudah saatnya guru PAI
distandardisasi, khususnya paham keagamaan mereka.
Wawancara Republika
5 Januari 2018
Tema Wawancara: Cara Mengajar Mengajar Mereka Masih Seperti Ceramah

Indonesia sedang kekurangan guru agama Islam. Setidaknya negeri ini butuh 21 ribu guru
agama dalam waktu dekat. Sebagai negara berpenduduk mayoritas beragama Islam, kebutuhan ini
harus dipenuhi. Banyak konsekuensi negative jika guru agama Islam dibiarkan seperti ini. Salah
satunya pada kualitas guru agama pada masa depan. Wartawan Republika, Rahmat Fajar,
mewawancarai pengamat Pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Jejen Musfah,
M.A, terkait hal ini. Berikut petikan wawancaranya:

Menurut Anda, apa dampak dari kekurangan guru agama Islam?


Yang jelas itu berdampak. Pertama, akan banyaknya direkrut guru agama honorer. Artinya,
akan banyak guru agama yang tidak sesuai regulasi. Karena guru honorer itu gajinya kecil tidak
seperti guru PNS. Kedua, dampaknya adalah akan terjadi di beberapa tempat guru yang sebenarnya
Pendidikan S-1 – nya tidak linear kepakarannya di bidang agama dia mengajar agama.
Dampaknya nanti tentu saja pada siswanya. Ketiga, yang paling mengkhawatirkan yang saat ini
menjadi perhatian pemerintah dan kita bersama ada guru-guru agama yang paham keagamaannya
itu garis keras. Karena dipastikan UIN, IAIN, STAIN itu mengajarkan Islam yang moderat. Dalam
pengertian Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Ini kalau guru-guru agama tidak melalui Pendidikan
yang khas Indonesia, pesantren, serta perguruan tinggi agama Islam dikhawatirkan cara berpikir
keagamaannya yang menyimpang dari mayoritas masyarakat Indonesia yang ber-madzhab Imam
Syafi’i.

Bagaimana Anda melihat sosok guru agama Islam sekarang?


Sependek pengetahuan saya, dalam melihat guru agama Islam saat ini. pertama, dari guru-guru
yang pernah mengikuti PLPG, kemudian bacaan hasil riset tentag guru agama saat ini memang
perlu ditingkatkan. Terlebih lagi saat ini sudah memasuki abad 21, sering kali ada permintaan guru
dari sekolah atau lembaga pendidikan Islam yang bertaraf internasional, agar guru agama
mempunyai keterampilan mengajar menggunakan dwibahasa, dua Bahasa.
Mereka ingin guru agama bisa menyampaikan pelajaran agama itu dalam Bahasa asing,
contohnya Bahasa Inggris dan Bahasa Arab. Hal demikian itu, agak susah untuk mencari guru
agama yang bisa memiliki keterampilan Bahasa asing yang bagus. Kedua, karena guru-guru agama
kita sebagian usianya mendekati pensiun. Kebanyakan guru agama di daerah belum tersentuh
pelatihan, tidak akrab dengan IT, dan cara menggunakan komputer. sehingga yang terjadi saat ini
guru agama terlihat kaku dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selanjutnya, cara mengajar guru agama masih menggunakan metode ceramah. Jadi,
berdasarkan pengalaman saya beberapa kali melatih guru-guru agama dari daerah. Mereka
walaupun diberikan pelatihan tentang metode cooperative learning, dengan durasi waktu pelatihan
11 hari, namun saat ujian akhir yaitu peer teaching, guru agama dalam praktik mengajar kembali
lagi kepada metode pengajaran ceramah. Hal demikian maka menjadi teacher center. Artinya,
dalam pembelajaran tersebut seolah-olah murid-nya gak tau apa-apa. Padahal dalam proses
pembelajaran harus prinsip yang digunakan ialah student center.

Mengapa ini terjadi? Apa penyebabnya?


Saya kira, pertama, memang kalau zaman dulu guru itu mengajar bukan karena dia sudah lulus
S-1, namun karena ia merasa terpanggil untuk mengajar. Hal ini sangat kontradiktif dengan
sekarang ini, karena kalau guru yang bagus dia gak akan mungkin mau mengajar di pelosok-
pelosok, desa-desa, maka yang mengajar itu guru-guru yang meskipun tidak S-1 dan
keterampilannya biasa saja, tapi guru di daerah tersebut mau mengabdi demi anak siswa-siswi.
Kedua, memang terlalu lamban pengangkatan guru agama oleh pemerintah sehingga tidak bisa
menjaring guru-guru agama yang kompeten.

Bagaimana Anda melihat kualitas pendidikan agama Islam kita selama ini?
Pertama, di sisi lain kita patut menyambut baik kehadiran Madrasah Insan Cendikia, madrasah
yang konsen pada sains dan wirausaha, itu bagus. Namun, pada sisi lain, kita melihat karena
jumlah madrasah yang besar sehingga masih ada beberapa madrasah yang pendidikan agama yang
ternyata menyimpang. Hal ini dapat terlihat dari penguasan guru terhadap buku bacaan sebagai
sumber referensi pembelajaran agama masih kurang. Apalagi ternyata dibeberapa daerah
ditemukan buku bacaan mengandung nilai-nilai radikal sehingga menghasilkan cara berpikir
ekstrem. Kedua, pendidikan agama Islam kita masih belum maksimal. Dalam pengertian, guru
agama masih belum mencetak siswa yang mampu memiliki keterampilan membaca Al Qur’an,
terampil berbahasa Arab, kemudian dapat membaca teks Arab gundul. Kalau guru agama sudah
mampu melahirkan kader-kader ulama yang bisa baca Al Qur’an, Bahasa Arab bagus, baca kitab
gundul bagus maka dia bisa dipastikan bisa menjadi kader ulama yang bisa menjadi generasi
penerus ulama. Namun, hal tersebut masih sangat jauh untuk mencapainya, dikarenakan siswa kita
masih mendapatkan sejumlah mata pelajaran yang banyak.
Misalnya, pada satu sisi siswa mempelajari kurikulum dari Kementerian Agama. Pada sisi lain,
siswa juga mempelajari kurikulum dari Dinas Pendidikan. Jadi, siswa-siswi kita terlalu banyak
bebannya. Makanya, pendidikan agama tidak matang. Umumnya juga tidak matang. Maka,
menurut saya sebaiknya difokuskan saja pendalaman keagamaan. Ada madrasah yang fokus pada
sains, ada juga madrasah fokus pada penguasaan kitab kuning dan Bahasa Arab supaya mereka
menjadi kader-kader ulama masa depan.

Pemerintah akan melakukan rekrutmen guru agama. Menurut Anda kualifikasinya seperti
apa yang dibutuhkan?
Saya kira tidak hanya tes tulis nantinya, saya harapkan ada tes wawancara. Tentu ada dokumen
yang menunjukkan bahwa kompetensinya memang bagus alumni perguruan tinggi yang bisa
dipercaya. Kemudian yang paling penting adalah tes wawancara. Tes wawancara ini untuk
menggali pemahaman kedalaman, keluasan pengetahuan agama yang bersangkutan. Itu akan lebih
mudah daripada sekedar tes tulis.

Apa yang perlu dilakukan pemerintah untuk perbaikan standar guru agama islam?
Jadi, saya kira mulainya dari Madrasah Aliyah, Pesantren, itu harus mulai dibenahi kualitas
gurunya. Input nya kemudian terutama sekali yang mencetak guru di Perguruan Tinggi yang
mempunyai fakultas ilmu pendidikan dan keguruan itu harus harus distandarkan laboratorium
pengajarannya, yaitu laboratorium PAI. Jadi, misalnya, di sekolah itu harus ada laboratorium PAI,
di kampus harus ada laboratorium PAI. Kemudian ini standar penguasaan Bahasa Arab karena
sumber kita adalah Al Qur’an dan Hadis maka akan baik guru agama standarnya penguasaan
Bahasa Arab. Sehingga bisa membaca tafsir, membaca hadis juga.
# Inkonsistensi Kebijakan Guru #
harianamanah.com, 29 November 2017

Wajar pemerintah merumuskan standar kompetensi guru, mengontrol, dan meminta bukti
administratif kinerja guru. Pemerintah merasa sudah mensejahterakan sebagian kecil guru, yaitu guru
PNS. Semua guru berhak atas tunjangan profesi. Uji Kompetensi Guru (UKG), Guru Pembelajar
(GP)—saat ini disebut Pengembangan Kompetensi Berkelanjutan (PKB), Pendidikan dan Latihan
Profesi Guru (PLPG), dan Pendidikan Profesi Guru (PPG) merupakan sebagian strategi pemerintah
meningkatkan kompetensi guru.

Apa yang terjadi di sekolah tidak semudah dan seindah yang dipikirkan elit pemerintah. Beberapa
kebijakan terkait guru inkonsisten. Satu regulasi dengan regulasi lainnya saling bertentangan. Janji-
janji pejabat pemerintah yang mengurusi pendidikan, untuk membuat regulasi yang ramah bagi guru
tidak kunjung terealisasi.

Pertama, guru harus mensukseskan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Program-
program sekolah harus didesain pada pembentukan karakter. Pembelajaran berbasis karakter. Guru
sebagai teladan. Sikap dan perilaku guru harus selalu baik. Guru yang baik melahirkan siswa yang
baik.

Pada saat yang sama beban mengajar guru sangat berat. Guru harus bekerja 40 jam kerja dalam
seminggu (PP 19 Tahun 2017). Ditambah beban administratif berkala terkait sergur, tunjangan
kesejahteraan daerah, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), raport deskriptif, ulangan harian,
ujian tengah semester, dan ujian semester. Guru tidak punya waktu banyak untuk bercengkrama
dengan siswa karena beban administratif yang cukup berat di atas.

Kedua, guru adalah profesi (UU Nomor 14 Tahun 2005). Artinya, guru bisa hidup layak atau
cukup. Terma ini mungkin hanya tepat bagi guru PNS dan segelintir guru di sekolah-sekolah elit. Gaji
mereka lima sampai sepuluh juta. Mereka dan keluarga mendapat asuransi kesehatan. Beberapa
sekolah memberikan bonus umrah secara bergilir kepada guru.

Sementara itu banyak guru yang digaji di bawah UMR. Guru honorer yang belum sertifikasi
digaji di bawah satu juta rupiah. Beban kerjanya sama dengan guru PNS. Bertahun-tahun mereka
mengajar dengan gaji kecil. Bencana datang karena sekolah dilarang menarik pungutan atau
sumbangan dari orangtua siswa. Semakin sulit sekolah negeri, apalagi sekolah swasta.

Pemerintah membolehkan alumni non-fakultas keguruan menjadi guru. Kebijakan keliru karena
ada banyak fakultas keguruan. Calon guru tidak bisa disiapkan dan dilatih hanya satu tahun (PPG).
Kecuali itu, alumni fakultas keguruan melimpah, baik Prodi Keagamaan maupun Prodi Umum.

Ketiga, UKG, GP, dan pembekalan pra-PLPG secara daring. Guru harus melek teknologi. Guru
harus punya dan bisa mengoperasikan komputer. Ujian dan belajar secara daring. Pasti, mereka harus
membeli kuota internet. Buku-buku pelajaran juga disediakan versi daring. E-book. Konon agar bisa
lebih murah dan terjangkau guru dan orangtua siswa.

Faktanya, banyak guru yang tidak punya laptop karena tidak mampu beli. Yang punya laptop
belum tentu mahir menggunakannya. Di depan laptop mereka kaku karena tidak terbiasa. Apalagi
diminta masuk aplikasi UKG, GP, tutorial daring, mereka gagap, bingung, dan banyak bertanya,
padahal petunjuk sudah cukup jelas. Cukup membaca, teliti, dan ikuti instruksi. Beres.

Pemerintah tidak mau tahu. Masih banyak sekolah tidak punya komputer. Di wilayah Terluar,
Terdepan, dan Tertinggal (3T), apalagi internet, sinyal telepon saja tidak ada. Guru-guru di daerah ini
akan selalu tertinggal oleh guru-guru yang fasilitas sekolahnya memadai. Program-program daring
tidak tepat sasaran.

Di pusat, pengelolaan beragam program berbasis daring itu tidak didukung tenaga ahli dan tenaga
tekhnis yang memadai. Jumlahnya orang tidak sebanding dengan beban pekerjaan. Satu-dua tenaga
tekhnis orang mengurusi guru se-Indonesia! Manusia harus bekerja seperti robot atau mesin. Jelas
tidak sehat karena pasti kurang tidur dan pikiran stres. Dalam stres orang akan susah tidur.

Keempat, honorer dihambat jadi guru PNS, karena datanya dianggap tidak valid atau banyak
manipulasi. Sayangnya, pemerintah tidak segera melakukan verifikasi data guru honorer. Berulangkali
PGRI audiensi dan dialog dengan DPR, Kemdikbud, dan Kementerian PAN-RB, bahkan Presiden dan
Wapres, nasib guru honorer tetap tidak jelas. Kelebihan guru juga jadi alasan pemerintah.
Pengangkatan guru PNS tidak sebanding dengan jumlah guru yang pensiun.

Tiba-tiba pemerintah keluarkan aturan: Guru Garis Depan (GGD) atau Guru daerah 3T. Sarjana
baru lulus (fresh graduate) dari fakultas keguruan dan non-keguruan mengajar di daerah 3T selama
setahun. Alumni program ini dapat privilege, yaitu otomatis bisa ikut PPG dan diprioritaskan menjadi
guru PNS. Ributlah guru honorer. Ini tidak adil karena pengabdian mereka tidak dihargai.

Tidak akan mudah membuat kebijakan bagi guru Indonesia yang status dan kondisinya amat
beragam. Kompetensi, sekolah, sapras, dan kondisi geografis yang berbeda-beda membuat satu
kebijakan tepat bagi guru dan wilayah tertentu, tetapi belum tentu tepat bagi guru di wilayah yang
lain.

Kecuali itu, konsistensi dalam pelaksanaan kebijakan amat perlu. Tidak tergesa mengganti
kebijakan lama dengan kebijakan baru. Kajian terhadap dan untuk kebijakan harus dilakukan secara
cermat. Komitmen pelaksanaan suatu kebijakan juga perlu. Sekali kebijakan dibuat, segala sumber
daya untuk mendukung kebijakan harus disiapkan dengan baik dan matang.

Jika tidak, program akan gagal. Korbannya guru dan staf-staf teknis golongan rendah, baik di
sekolah maupun di pusat kementerian. Staf dipaksa bekerja siang-malam. Beban kerja lembaga tidak
sebanding dengan jumlah SDM. Banyak SDM tidak terampil. Akhirnya, yang bekerja dia lagi, dia
lagi.

Sementara pejabat pemerintah kerjanya cuma memimpin rapat dan buka-tutup kegiatan.
Orientasinya mendatangkan proyek di lembaganya, tidak mempertimbangkan kapasitas SDM. Staf
berteriak, pemimpin tetap berlalu. Guru-guru sepakat: “Sebaik apa pun program, tidak akan efektif
jika dikelola asal-asalan dan tergesa-gesa”. Singkatnya, kemauan besar tetapi tenaga dan biaya
kurang.

# Menyoal Gaji Guru #


Majalah Suara Guru, Edisi Januari-Februari 2017

Persoalan guru yang perlu mendapat perhatian serius pemerintah saat ini adalah kesenjangan
pendapatan antara guru PNS dengan guru non-PNS. Gaji guru PNS golongan IV yang telah
tersertifikasi sekitar Rp 8.263.700, sedangkan gaji guru non-PNS yang belum tersertifikasi ada yang
hanya Rp 150 ribu perbulan. Perbedaan gaji tersebut sangat signifikan sehingga wajar dipersoalkan
keadilan dan keberpihakan negara terhadap guru.

Mencerdaskan generasi muda bangsa merupakan tanggung jawab negara yang terbukti tidak bisa
dipenuhi secara penuh oleh pemerintah. Jumlah guru sekolah dasar dan menengah adalah sekitar 2,7
juta, yang PNS sekitar 1.765.410, dan guru non-PNS berjumlah 934.590 Artinya, peran guru non-PNS
tidak bisa dianggap remeh dalam mencerdaskan generasi bangsa.

Gaji guru non-PNS sangat kecil karena dana sekolah sangat minim. Sumber dana sekolah dari
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan masyarakat tidak memadai untuk membiayai operasional
sekolah dan gaji guru serta tenaga kependidikan. Sumbangan pendidikan dari orang tua siswa hanya
sedikit, bahkan banyak sekolah yang menggratiskan biaya masuk dan uang bulanan.

Sebagian sekolah swasta gratis karena motif pendiriannya untuk kepentingan sosial, yaitu
membantu anak-anak dari keluarga miskin, yatim-piatu misalnya. Sekolah swasta juga gratis karena
bersaing dengan sekolah negeri dan sekolah swasta lainnya yang jaraknya tidak begitu jauh. Jika
sekolah mereka berbayar meskipun kecil, maka akan sedikit siswanya. Masyarakat lebih memilih
sekolah gratis meskipun kualitasnya belum tentu bagus.

Masyarakat miskin bahkan sebagian yang kaya beranggapan saat ini sekolah itu gratis karena
sudah ada dana BOS dari pemerintah. Pandangan ini yang membuat sekolah swasta bahkan sekolah
negeri mengalami dilema saat hendak menarik sumbangan dari orang tua yang mampu. Meski dinilai
perlu oleh guru dan komite, menarik sumbangan bisa dinilai pelanggaran oleh pemerintah.

Solusi

Guru non-PNS tidak hanya ada di sekolah swasta tetapi juga di sekolah negeri. Sekolah harus
mencari sumber dana untuk menggaji guru non-PNS. Karena itu, sumbangan pendidikan dari orang
tua yang mampu sangat diperlukan di sekolah negeri apalagi sekolah swasta. PP 48 Tahun 2008
tentang Wajib Belajar 9 Tahun tidak bisa dijadikan dasar bahwa sekolah negeri sama sekali tidak
boleh menarik sumbangan dari orang tua.

Gaji guru non-PNS sepenuhnya berasal dari kreativitas sekolah mengumpulkan dana sumbangan
dari masyarakat dan wirausaha seperti mendirikan koperasi sekolah. Bila di sekolah swasta relatif
aman dari dugaan pungli, kepala sekolah negeri dan komite sekolah harus bisa menjelaskan dengan
alasan yang rasional kepada pemeriksa keuangan tentang penarikan dana dari orang tua siswa. Jika
tidak, mereka bisa saja masuk bui, atau mengembalikan uang.

Sepanjang prosesnya melibatkan komite sekolah, digunakan untuk pengembangan akademik


siswa, dan tidak dikorupsi kepala sekolah, penarikan sumbangan kepada orang tua siswa masih
memungkinkan bahkan dianjurkan. Akan tetapi, penarikan sumbangan di sekolah harus
mempertimbangkan level ekonomi orang tua siswa yang beragam. Subsidi silang bisa menjadi pilihan
atau bahkan gratis bagi siswa yang orang tuanya miskin.

Kecuali itu, permasalahan gaji guru ada pada guru non-PNS yang sudah tersertifikasi dan guru
non-PNS yang belum tersertifikasi. Guru non-PNS yang sudah tersertifikasi mendapatkan tunjangan
profesi dari pemerintah Rp 2 – 3 juta sesuai golongannya masing-masing. Sedangkan guru non-PNS
yang belum tersertivikasi tidak mendapatkan tunjangan tersebut meskipun sudah mengabdi belasan
bahkan puluhan tahun.
Kesejahteraan guru non-PNS ditentukan oleh keikutsertaan dan kelulusan mereka dalam pelatihan
sertifikasi guru, baik melalui Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) maupun Pendidikan
Profesi Guru (PPG). Masa tunggu terpanggil sebagai peserta sertifikasi sangat lama karena sangat
tergantung kepada anggaran pemerintah. Padahal jumlah guru non-PNS yang belum bersertivikat
sekitar 166.770 orang.

Oleh karena itu, pemerintah perlu memikirkan kebijakan baru terkait pemberian tunjangan
fungsional kepada guru non-PNS. Prinsipnya setiap guru yang memenuhi syarat semisal sudah sarjana
dan sudah mengajar lebih dari satu tahun harus mendapatkan gaji minimal setara upah minimum.
Negara harus menjamin pemenuhan gaji minimal tersebut, khususnya bagi guru non-PNS.

Gaji guru non-PNS bangsa ini sangat kecil dibanding mahalnya harga makanan pokok, buah,
sayur, dan susu. Kebutuhan guru tidak hanya pangan, tetapi juga sandang dan papan. Mereka juga
membutuhkan hiburan. Guru yang sudah berkeluarga, anak-anak mereka membutuhkan biaya
pendidikan yang tidak murah.

Guru Indonesia masih banyak yang hidup tidak layak, meski sudah mengajar delapan jam sehari
dan enam hari selama seminggu. Mereka tidak berhenti apalagi menyesal tetapi terus melanjutkan
pengabdiannya mencerdaskan generasi muda bangsa ini. Lautan dan sungai mereka sebrangi; gunung
mereka daki; jalan becek berlumpur dan terjal mereka lalui. Kadang harus bertaruh nyawa!

Saatnya pemerintah serius memikirkan soal kesenjangan gaji guru PNS dan non-PNS ini.
Sebagian guru mengajar dengan ikhlas, di mana uang bukan sebagai tujuan. Tetapi pemerintah pasti
telah berbuat zalim jika membiarkan guru-guru terus-menerus memperoleh gaji yang sangat rendah
seperti telah disebutkkan di atas. Meskipun mereka mengajar di sekolah swasta, yang mereka didik
adalah tetap warga negara Indonesia. Guru sudah seharusnya dimuliakan oleh negara. Mau menunggu
sampai kapan?

# Kekurangan, Pemerataan, dan Kompetensi Guru #


Jejen Musfah, 2017

Minggu (26/11), penulis bersama Mendikbud Muhadjir dan pengamat pendidikan Indra
Charismiadji, diundang Metro TV untuk membahas perbandingan mutu pendidikan Vietnam dengan
Indonesia. Hasil PISA 2015 yang menilai kemampuan siswa usia 15 tahun pada aspek kemampuan
sains, membaca, dan Matematika menempatkan Indonesia berada di urutan 64 dari 65 negara yang
disurvei. Di level ASEAN, Indonesia kalah jauh dari Vietnam yang menempati urutan ke-20. PISA
juga menempatkan Indonesia di nomor 57 dari 65 negara yang diteliti dalam hal kemampuan
membaca siswa.

Menurut Mendikbud, Direktur PISA yang ditanya langsung oleh beliau mengakui bahwa
metodologi PISA memiliki kelemahan seperti pengambilan sampel wilayah (mutu pendidikan
wilayah-wilayah di Indonesia sangat beragam), sehingga hasilnya tidak sepenuhnya menggambarkan
potret pendidikan negara yang disurvei. Keterbatasan waktu di acara live itu mendorong penulis untuk
menulis artikel ini.

Terlepas dari hasil riset PISA, mutu pendidikan Indonesia tidak lepas dari kondisi guru. Pertama,
kekurangan guru. Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2016 menyebutkan,
secara keseluruhan Dikdasmen masih kekurangan guru sebesar 146.987 orang dengan rincian SD
kelebihan guru sebesar 90.618, SLB kekurangan guru sebesar 3.596, SMP kelebihan guru sebesar
34.901, SMA kekurangan guru sebesar 160.661 dan SMK kekurangan guru sebesar 108.249.

Berdasarkan rasio siswa per guru menurut kebutuhan juga jelas terlihat bahwa SD sebesar 15,18
lebih besar daripada yang ada sebesar 14,42, sehingga terjadi kelebihan guru, demikian juga SMP
sebesar 15,53 lebih besar daripada yang ada sebesar 14,73, sehingga terjadi kelebihan guru.
Sebaliknya, rasio siswa per guru menurut kebutuhan pada SLB, SMA, dan SMK masing masing
sebesar 3,75, 9,45, dan 11,36 lebih kecil daripada yang ada masing masing sebesar 4,25, 14,57, dan
15,86, sehingga terjadi kekurangan guru.

Saat ini diperkirakan ada 2,2 juta guru di seluruh Indonesia, terdiri dari 1,6 juta guru di tingkat SD
dan 609 guru di tingkat SMP (P2TK Kemdikbud, 2013). Dari 2,2 juta tersebut, 1,5 juta adalah guru
PNS, 180.000 guru tetap yayasan, dan 677.000 guru tidak tetap alias guru honorer.

Kedua, pemerataan guru. Salah satu permasalahan ketersediaan guru bagi sekolah yang
kekurangan guru adalah menumpuknya guru PNS di perkotaan. Ditaksir terdapat 11 persen guru di
SD dan 27 persen SMP perkotaan perlu diredistribusi ke sekolah pedesaan dan terpencil (Bank Dunia,
2013). Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Bersama (Perber) 5 Menteri (Mendikbud,
Menag, Mendagri, Menpan RB, dan Menkeu) tahun 2011 tentang Penataan dan Pemerataan Guru
PNS, yang salah satunya menjadi acuan untuk pemindahan guru antarsekolah dalam kabupaten/kota
yang sama, antarkabupaten kota, dan antarprovinsi.

Ketiga, kompetensi guru. Kelemahan kompetensi guru Indonesia bisa dilihat dari hasil kualifikasi
pendidikan, hasil UKG, dan hasil UTN. Ujian-ujian yang mengukur kemampuan kognitif guru (ujian
tulis) tersebut menunjukkan hasil yang lemah.

Hasil UKG pada tahun 2015 menunjukkan nilai rata-rata nasional adalah 56,69, meningkat
dibanding nilai rata-rata nasional dari tahun-tahun sebelumnya yaitu 47, dan sudah melampaui target
capaian nilai rata-rata nasional 2015 yang ditetapkan Renstra Kemendikbud yaitu sebesar 55. Nilai
tertinggi UKG yakni guru Cirebon dengan nilai UKG 96,67, kemudian dari SMA di Papua Barat sana,
Sorong tepatnya, yakni pada mata pelajaran bahasa Jerman dengan nilai 93,33.

Sebagaimana yang dirilis websitependidikan.com, dari keseluruhan peserta PLPG sergur 2016,
yang berjumlah 70.757, sebanyak 41.423 atau 61,32 persen Peserta PLPG Sertifikasi Guru 2016
Belum Lulus dalam Ujian Tulis Nasional, sehingga Harus Mengulang. Sedangkan peserta PLPG 2016
yang sudah lulus, baik lulus langsung (tanpa mengikuti UTN) maupun yang lulus setelah lulus UTN
sebanyak 26.130 peserta.

Data-data tersebut menunjukkan pemerintah dan pemerintah daerah memiliki tugas yang tidak
ringan terkait kebijakan guru. Berikut usulan solusi yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama,
kekurangan guru bisa diatasi dengan percepatan pengangkatan guru honorer menjadi PNS, tanpa atau
melalui tes tertulis. Jika pun tertulis, masa pengabdian honorer harus dipertimbangkan.

Tes tertulis hanya mengukur kemampuan kognitif, sedangkan pengabdian menunjukkan


komitmen mengajar guru. Idealnya, guru harus pintar dan punya komitmen yang tinggi. Guru pintar
belum tentu rajin dan tekun mengajar. Perekrutan guru PNS yang tidak mempertimbangkan
kompetensi dan komitmen, akan memperburuk dunia pendidikan.
Kekurangan guru juga bisa diatasi dengan cara pengangkatan guru tetap non-PNS oleh
pemerintah daerah. Status di atas honorer ini untuk memastikan bahwa guru-guru mendapatkan gaji
yang layak. Status guru tetap non-PNS juga merupakan solusi dari lambannya pengangkatan guru
PNS. Beberapa kampus negeri sudah menerapkan sistem pengangkatan dosen tetap non-PNS.

Kedua, pemerataan guru bisa dilakukan dengan dua cara. 1) guru PNS yang sudah ada ditata.
Didata wilayah mana saja yang kelebihan dan kekurangan guru. Dibuka kesempatan guru untuk
mutasi ke wilayah yang kekurangan guru dengan memberikan imbalan tertentu. 2) perekrutan guru
PNS baru ditempatkan di daerah kekurangan guru. Mutasi guru wilayah terdepan ke kota harus
diperketat.

Ketiga, peningkatan kompetensi guru tidak cukup dengan pelatihan dan seminar. Terpenting
adalah menciptakan budaya membaca di sekolah. Sekolah menyediakan koran, majalah, internet,
jurnal, dan buku-buku dengan tema beragam. Karena itu, sekolah melakukan kerjasama dengan
penerbit dan operator seluler.

Fokus pada peningkatan kompetensi guru bisa menghambat atau memperlambat program
pemerataan pendidikan. Demikian sebaliknya. Peningkatan dan pemerataan guru bisa dilakukan
secara bersamaan meski tidak bisa berlari kencang. Pemda yang APBD-nya bagus bisa mempercepat
kedua program tersebut.

Perekrutan guru PNS tidak cukup dengan tes tertulis. Prestasi dan pengalaman calon guru perlu
dipertimbangkan agar memperoleh guru yang terbaik. Saatnya pembatasan fakultas keguruan. Seleksi
mahasiswa fakultas keguruan harus diperketat agar mendapatkan bakal calon guru yang bagus dan
berbakat.

# Menjadi Guru Humanis #


Jejen Musfah, 2016

Paling tidak ada dua tuntutan dari guru terkait maraknya pelaporan guru oleh orang tua yang
anaknya disangsi guru di satu sisi, dan kekerasan orang tua dan murid terhadap guru pada sisi yang
lain. Penandatangan surat perjanjian bahwa orang tua tidak akan melaporkan tindakan guru terhadap
murid di sekolah kepada polisi, dan mendesak pemerintah segera mengeluarkan undang-undang
perlindungan guru.

Seandainya terpenuhi, kedua tuntutan itu tidak bisa menghilangkan fakta bahwa guru bisa salah
dalam mendidik murid, baik disengaja maupun tidak disengaja. Demikian sebaliknya, orang tua dan
murid bisa juga melakukan kekerasan kepada guru karena menilai guru salah atau karena mereka
memang bermasalah. Murid diskor atau dikeluarkan dari sekolah bukti bahwa tidak semua murid
mudah diatur; kenakalan murid ada di setiap sekolah tetapi setiap sekolah memiliki caranya sendiri-
sendiri dalam menanganinya.

Kekerasan guru terhadap murid atau sebaliknya yang sering muncul di media massa belakangan
ini merupakan fenomena gunung es. Kasus kekerasan di sekolah lebih banyak dan mengkhawatirkan
daripada yang terlihat dan terbaca selama ini. Murid banyak yang menjadi korban kesalahan guru
dalam mengajar dan mendidik.

Misalnya, LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW)
merilis hasil riset pada awal Maret 2015, bahwa terdapat 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan
di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yakni 70%. Selain itu, data dari
Badan PBB untuk Anak (Unicef) menyebutkan, 1 dari 3 anak perempuan dan 1 dari 4 anak laki-laki
di Indonesia mengalami kekerasan.

Kekerasan guru terhadap murid bisa terjadi dalam bentuk fisik dan verbal, sehingga menimbulkan
ketidaknyamanan murid di sekolah. Murid tidak nyaman dalam belajar, dan interaksi murid dengan
guru tidak menyenangkan, karena murid menganggap guru bukan sosok yang melindungi. Sementara
guru merasa tindakannya benar dan baik-baik saja karena lemahnya kontrol kepala sekolah dan orang
tua.

Dalam disertasinya berjudul Kekerasan di Sekolah; Studi Kasus Kekerasan di SMP dan MTs di
Kabupaten Purworejo, M. Djamal (2013) menjelaskan dampak negatif yang ditimbulkan akibat
tindakan kekerasan guru, yakni: 1. Dampak fisik berupa lelah, pusing, bahkan bisa jatuh sakit, 2.
Dampak psikis: malu, takut, bisa juga murid menjadi tidak percaya diri, 3. Dampak perilaku: murid
menjadi tidak menyukai guru dan malas belajar, 4. Dampak sosial: murid akan mengurangi kontak
dengan guru yang melakukan kekerasan, bisa juga orang tua murid akan meminta ganti rugi baik
moril maupun materil.

Menurut Djamal (2013), kekerasan di sekolah terjadi karena guru menyalahgunakan kewenangan,
yang disebabkan oleh kekosongan jenis sangsi yang jelas dan rinci yang mestinya diatur dengan baik
oleh sekolah. Disamping itu, lemahnya pengawasan oleh kepala sekolah terhadap kinerja guru, dan
guru belum menerapkan model pembelajaran humanistik yang menitikberatkan pada penghargaan
nilai-nilai kemanusiaan peserta didik.

Strategi Pencegahan

Fenomena kekerasan terhadap murid di sekolah perlu mendapatkan perhatian serius guru, orang
tua, dan pemerintah. Tiga strategi pencegahan kekerasan guru terhadap murid berikut ini bisa
dipertimbangkan. Pertama, jenis sangsi bukan fisik seperti memukul tangan murid dengan benda
tertentu meskipun tidak melukai. Ketika sangsi fisik dibolehkan meskipun ringan, murid dan orang
tua sekarang akan menganggapnya berlebihan alias tidak wajar.

Celakanya, masih ada guru yang yakin bahwa sangsi fisik merupakan satu-satunya cara yang
ampuh untuk mengatasi kenakalan murid. Guru tidak merasa bersalah atas tindakannya, padahal
sudah banyak studi yang melarang sangsi fisik karena hanya melahirkan kepatuhan murid yang
sifatnya sementara bahkan menimbulkan trauma.

Sekolah terbiasa merumuskan sendiri sangsi-sangsi pelanggaran oleh murid, sedangkan orang tua
sebagai pihak yang harus menerima. Sosialiasi tata-tertib sekolah dan turunannya mungkin tidak
efektif sehingga orang tua tidak mengetahuinya. Bisa juga orang tua acuh terhadap soal tersebut.
Saatnya sekolah mengajak orang tua mendiskusikan beragam sangsi yang non-fisik tetapi dianggap
bisa melahirkan efek jera, disiplin, dan tanggung jawab murid.
Kedua, pengawasan kinerja guru oleh kepala sekolah. Perilaku guru terhadap murid yang
menyimpang kerap tidak diketahui atau terdeteksi oleh kepala sekolah. Kepala sekolah terlalu percaya
guru dan menyerahkan penanganan murid kepadanya. Meskipun sudah ada peraturan tentang sangsi,
bisa saja guru melakukan hal tidak wajar di luar yang tertulis.

Deteksi dini guru yang mudah berkata kasar dan ringan tangan bisa mencegah kasus menjadi
lebih besar yang berujung pada ranah hukum. Wawancara murid dan orang tua adalah cara
penggalian data yang bisa dilakukan kepala sekolah. Sekolah harus berperan aktif karena banyak
murid dan orang tua yang memilih diam karena takut dan serba salah saat hendak melaporkan
perilaku seorang guru yang tidak wajar.

Guru akan menjaga sikap dalam mengajar murid jika ia tahu ada sistem pengawasan kinerja.
Mereka akan hati-hati sehingga perilakunya terhadap murid berdasarkan pertimbangan yang jernih.
Dengan demikian, sistem pengawasan berfungsi ganda: menjaga murid dari tindak kekerasan guru
dan meningkatkan kinerja guru.

Ketiga, peningkatan kompetensi kepribadian dan sosial guru. Rendahnya kompetensi guru adalah
penyebab tingginya kekerasan guru terhadap murid. Guru tidak memahami cara mengajar yang baik.
Alih-alih menerapkan model pembelajaran humanis, guru menjelma sebagai monster yang
mengancam kehidupan murid di sekolah!

Kondisi ini bisa jadi berkorelasi dengan cara perekrutan calon guru di fakultas pendidikan, dan
model perekrutan guru PNS dan swasta. Lihat saja banyak guru yang belum sarjana, guru bukan
berasal dari fakultas pendidikan, dan kepala sekolah bukan orang yang memahami pendidikan. Fakta,
siapa saja bisa menjadi guru sehingga gajinya pun asal-asalan tergantung keuangan sekolah.

Karena itu, guru-guru harus mendapatkan program pelatihan, pendidikan S-1, dan diskusi terbatas
di sekolah masing-masing agar kompetensinya berkembang. Program itu intinya guru tidak boleh
berhenti belajar terutama bagaimana menjadi guru humanis. Guru humanis adalah guru yang
membimbing siswa mengenal siapa dirinya, untuk apa dia hidup, dan kemana pelabuhan terakhirnya.
Untuk cita-cita mulia tersebut, guru melakukannya dengan cara-cara yang lemah-lembut bukan jalan
kekerasan yang menyakiti tubuh dan perasaan.

# Ulama yang Menulis #


Pengantar Buku Pesan Langit, 2017

Penulis menyambut bahagia terbitnya buku Pesan Langit, yang merupakan refleksi kader ulama
Kabupaten Bogor. Idealnya seorang ulama memiliki keterampilan berbahasa Arab, baik lisan maupun
tulisan. Akan lebih bagus jika ulama mahir berbahasa Inggris sehingga bisa go-internasional. Seorang
ulama juga harus memiliki keterampilan menulis agar pemikirannya tetap bisa diselami oleh generasi
yang akan datang.

Saat ini terbaca betapa lemahnya kemampuan ulama yang penulis. Metode pendidikan kader
ulama harus memberikan waktu yang memadai aspek pengembangan keterampilan menulis opini
bahkan penelitian. Ulama harus berperan aktif dalam menanggapi isu-isu kekinian tentang keagamaan
dan sosial. Tidak cukup hanya dakwah lisan di masjid dan majlis taklim.
Perpustakaan yang lengkap harus disediakan agar minat membaca kader ulama tumbuh dengan
baik. Hanya dengan keranjingan membaca dan latihan, seorang penulis akan produktif. Kader ulama
juga harus memanfaatkan internet untuk memperoleh informasi yang luas tentang persoalan
keagamaan dan sosial. Ulama tidak boleh gagap teknologi, tetapi menggenggamnya untuk
produktivitas menulis dan perluasan wawasan.

Ulama adalah panutan umat. Perkataannya, tulisannya, dan sikapnya harus terjaga dari keburukan
dan memecah-belah umat. Sifat seorang ulama harus jujur, sederhana, dan rendah hati. Ulama harus
menyejukkan dan mendamaikan umat, bukan mengobarkan kemarahan dan menyulut api perpecahan
kebinekaan bangsa.

Penulisan buku ini merupakan langkah awal untuk mengukur kemampuan menulis para kader
ulama. Upaya ini harus terus dilanjutkan secara mandiri maupun kolektif. Latihan menulis secara
konsisten akan melahirkan keterampilan menulis yang mumpuni, kelak. Penulis termasuk yang ingin
menyaksikan dan membaca karya-karya kader ulama yang menulis di buku ini di kemudian hari.
Karya-karya ulama masa depan yang mencerahkan dan mencerdaskan umat demi hidup yang penuh
kedamaian dan kebaikan.

# Guru Era Digital #


Jejen Musfah, 2017

Pada perayaan HUT Ke-72 PGRI dan Hari Guru Nasional di Stadion Patriot Bekasi (02/12)
Presiden Jokowi menyatakan, “Kemajuan IPTEK saat ini merupakan sumber belajar bagi guru dan
siswa.” Pernyataan ini jauh panggang dari api mengingat masih banyak guru senior yang jangankan
cerdas literasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), mengetik di komputer saja tidak mampu.

Hampir tidak ada pertanyaan terkait pengetahuan yang tidak bisa dijawab media daring,
khususnya Google. Pada saat anda sedang menulis artikel, makalah, dan tesis, atau memerlukan data
atau informasi tertentu, hanya perlu mengetik kata kunci yang tepat, mesin Google mengeluarkan
jawaban dalam hitungan detik.

Demikian juga pada saat persiapan mengajar, anda perlu data apa, Google hampir pasti punya
ribuan halaman jawabannya. Itu yang selalu penulis katakan di hadapan mahasiswa dan guru, untuk
meyakinkan bahwa belajar dan berlatih saat ini mudah. Asal mau, kapan saja bisa belajar. Tentu harus
hati-hati. Tidak semua sumber dari internet bisa dipercaya.

Internet sudah menjadi kebutuhan primer warga dunia, termasuk guru. Belum semua sekolah
punya jaringan internet, bahkan banyak daerah yang tidak ada sinyal telepon. Problem utama
pendidikan kita adalah disparitas yang tinggi antar satu sekolah dengan sekolah lainnya, termasuk
dalam ketersediaan internet.

Berdasarkan data Kemendikbud, di 122 kabupaten terdapat 35.478 sekolah jenjang SD, SMP,
SMA, dan SMK. Dari jumlah tersebut diketahui 12.988 (36,60 %) sekolah memiliki koneksi internet.
Kemendikbud juga mencatat baru 63,4 persen sekolah di daerah 3T yang sudah terkoneksi internet.
Sebanyak 12.988 sekolah belum terkoneksi internet.
Kemajuan TIK membutuhkan kompetensi baru guru, yaitu literasi TIK. Jika tidak, guru akan
tergilas zaman. Pengetahuan dan cara mengajar guru sudah usang, tidak relevan dengan kemjauan
ilmu pengetahuan dan cara belajar generasi milenial. Mungkin, siswa lebih terampil dan melek TIK
dibanding guru.

Guru era digital dan milenial mampu memanfaatkan TIK sebagai, pertama, alat bantu
pembelajaran. Penggunaan TIK dalam pembelajaran lebih menarik siswa, bahkan bisa
menyenangkan. Informasi disampaikan ke siswa tidak hanya melalui verbal, melainkan audio dan
visual. Guru terhindar dari metode ceramah yang cenderung membosankan siswa.

Kedua, mengunduh dan membaca e-books, e-majalah, e-koran, dan e-journals. Kondisi ini
merupakan jawaban dari kelangkaan buku di daerah 3T atau di sekolah-sekolah tanpa perpustakaan.
Koneksi internet memungkinkan guru memiliki sumber bacaan yang melimpah di laptop: buku,
jurnal, dan majalah.

Mendatangkan dan membeli buku-buku dan sumber bacaan lainnya ke daerah 3T memerlukan
biaya mahal. “Ongkos kirim buku lebih mahal dari harga buku,” demikian kata Kepala SMK di
Kabupaten Sorong, saat penulis mengunjungi Papua. Lebih murah menyediakan internet di sekolah
agar guru bisa membaca buku yang beragam—untuk jangka pendek. Ke depan tetap harus
direncanakan pendirian perpustakaan sekolah.

Ketiga, kursus daring dan pembelajaran jarak jauh. Guru bisa belajar ilmu dan keterampilan baru
secara daring, tanpa harus tatap muka. Bagi guru pembelajar, belajar mandiri memanfaatkan TIK
terbuka lebar. Ini rendah biaya dibanding pelatihan tatap muka. Minim pelatihan sering jadi alasan
guru tidak punya keterampilan baru dan tidak paham kebijakan baru.

Keempat, melahirkan karya baru. Guru tidak sebatas menjadi konsumen pembaca informasi dari
TIK, tetapi mampu mengaitkannya dengan fakta-fakta, dan mengolahnya menjadi pengetahuan
(karya) baru yang jadi miliknya. Guru mampu menulis opini dan riset, seperti penelitian tindakan
kelas.

Guru penulis dan periset mendorong konsistensi membaca, mengumpulkan informasi,


memetakan, dan menyusun kata-kata dan kalimat baru yang khas dirinya. Mereka bukan hanya jadi
pembaca, tetapi meramaikan jagat TIK dengan ide-ide segar dan baru.

Bukankah sebagai guru, pengalaman sehari-hari berinteraksi dengan peserta didik yang memiliki
gaya belajar yang berbeda-beda dan karakter yang beragam akan menarik jika dilukiskan dalam kata-
kata? Menulis tidak akan sulit karena guru menuangkan apa yang dialami dan dirasakan terkait
profesinya sebagai pendidik. Peserta didik adalah sumber inspirasi sekaligus data yang bernilai tinggi,
dikaitkan dengan teori (bacaan), akan melahirkan temuan-temuan yang berharga bagi peningkatan
dunia pendidikan.
BAB III

DOSEN

# Melajukan Publikasi Ilmiah #


Jejen Musfah, 2017

Permenristekdikti No. 20 Tahun 2017 Tentang Tunjangan Profesi dan Kehormatan menjelaskan
bahwa tunjangan sertifikasi dosen dan tunjangan kehormatan guru besar akan dihentikan pada
November 2017 jika dosen tidak berhasil menerbitkan artikel di jurnal nasional terakreditasi dan
jurnal internasional. Dosen yang menduduki jabatan struktural juga akan dihapus tunjangan
profesinya. Pasalnya, orang Kemristekdikti menduga bahwa tunjangan profesi dan tunjangan
kehormatan itu membuat dosen dan guru besar malas berkarya. Kecuali itu, dosen lebih mengejar
jabatan struktural tinimbang meneliti.

Kebijakan ini bagus dalam hal mendorong produktivitas menulis dosen yang selama ini mati suri,
tetapi perlu mendapat catatan sebagai berikut. Pertama, tanpa tunjangan profesi gaji dosen kecil.
Sebagai ilustrasi, dosen yang sudah mengabdi 11 tahun, golongan IV/a dan pangkat lektor kepala
mendapatkan gaji pokok Rp 4.105.600 dan tunjangan sertifikasi sekitar Rp 2.500.000.

Bagaimana dosen akan hidup di tengah tingginya harga kebutuhan sehari-hari maupun pendidikan
anak-anak. Mungkin pejabat di Kemristekdikti lupa bahwa masih banyak dosen yang tidak punya
rumah sendiri alias mengontrak. Tiba-tiba dengan gagah mereka mau menghapus tunjangan profesi
dosen yang berarti dosen hanya akan mendapat gaji empat juta rupiah perbulan!

Pengurangan gaji ini kontraproduktif karena untuk berkarya dosen memerlukan jaminan
kebutuhan dasar: sandang, pangan, dan papan. Kebijakan ini menunjukkan pemerintah tidak bijak
melihat posisi strategis dosen sebagai orang yang memerlukan waktu belajar cukup lama, dari sarjana,
magister, hingga doktoral. Dosen layak mendapatkan gaji yang memadai meskipun kurang dalam
aspek publikasi ilmiah.

Kedua, tugas utama dosen adalah mengajar bukan meneliti. Tidak semua dosen kompeten dalam
penelitian karena sejak perekrutan bukan untuk meneliti tetapi mengajar. Dari tridarma perguruan
tinggi, diakui bahwa kegiatan penelitian dosen paling lemah. Pengajaran dan pengabdian masyarakat
bisa dilakukan dosen dengan baik.

Mengapa aspek penelitian bisa lemah padahal dosen juga menjadi pembimbing penulisan
makalah dan skripsi, tesis, dan disertasi? Di Indonesia dosen belum terbiasa mengolah karya ilmiah
mahasiswa yang dibimbingnya menjadi artikel yang layak dipresentasikan di seminar internasional
atau diterbitkan di jurnal nasional atau jurnal internasional.

Bisa jadi mutu karya ilmiah mahasiswa rendah karena bimbingannya tidak maksimal atau kualitas
mahasiswa dan dosennya yang rendah. Singkatnya, karya ilmiah disetujui dosen hanya sebagai syarat
lulus meskipun sesungguhnya masih jauh dari standar karya ilmiah yang bagus. Skripsi, tesis, dan
disertasi hanya diletakkan di perpustakaan kampus sebagai “hiasan”.

Ketiga, tidak setiap dosen mendapatkan dana penelitian setiap tahun. Dana penelitian dari
Kemenristekdikti, Kemenag, dan perguruan tinggi terbatas sehingga dosen bersaing untuk
mendapatkannya. Pada 2016 misalnya, pemerintah memotong dana riset karena alasan efisiensi
anggaran belanja negara.

Untuk mendapatkan dana penelitian, dosen harus punya proposal yang sangat baik (kompetensi),
meskipun tidak menutup kemungkinan aspek kedekatan (nepotisme) dengan pejabat tertentu
merupakan faktor dominan pemerolehan dana penelitian. Perumpamaannya, dosen diminta
mendapatkan ikan besar tapi hanya diberi kail dan umpan yang kecil.

Keempat, jurnal nasional terakreditasi masih minim. Tradisi menulis dosen yang masih rendah itu
berimplikasi pada pengakuan standar jurnal di perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penerbit jurnal.
Banyak jurnal yang terbit tetapi tidak terakreditasi bahkan yang sudah terakreditasi tidak diperpanjang
karena berhenti tidak terbit.

Pengelolaan jurnal di Indonesia menghadapi masalah kelangkaan naskah hasil riset yang bagus
dan tim pengelola jurnal yang bekerja sungguh-sungguh meski konfensasinya kecil bahkan nyaris
nihil. Padahal, untuk dapat terakreditasi, sebuah jurnal harus memuat artikel yang bagus, minimal dari
dua perguruan tinggi, dibaca oleh pakar di bidangnya, dan diterbitkan secara daring (online).

Kelima, jika jurnal nasional terakreditasi saja lemah, maka bisa dibayangkan ketersediaan jurnal
internasional di Indonesia. Jurnal internasional banyak tetapi diterbitkan di luar negeri seperti
Amerika, China, Inggris, Jerman, Jepang, dan Prancis. Meski tidak menjadi syarat wajib, dosen harus
terlatih menulis artikel dalam bahasa resmi PBB (Arab, Inggris, Perancis, Rusia, Spanyol, dan
Tiongkok).

Kita sadar bahwa kemampuan bahasa asing dosen Indonesia tidak sebagus dosen Malaysia
sehingga perlu ditingkatkan melalui program yang berkesinambungan dan tidak mengganggu proses
pembelajaran. Penataan kurikulum pendidikan tinggi Indonesia perlu segera dilakukan. Meski dosen
bisa mengirim artikel ke jurnal internasional yang berbasis di luar negeri, tentu akan lebih baik jika
Indonesia sendiri mulai memproduksi jurnal berlevel internasional.

Demikianlah, upaya pemerintah Indonesia meningkatkan publikasi ilmiah dosen perlu disambut
dengan baik. Hanya saja caranya dengan menghapus tunjangan profesi dan kehormatan tidak tepat.
Sebaliknya, peningkatan kompetensi dosen dan pemberian konfensasi atas penerbitan artikel di jurnal
perlu segera ditempuh.

# Skripsi yang Terbuang #


Amanah, 28 Maret 2016

Pemusnahan skripsi yang dilakukan oleh perpustakaan UIN Alauddin Makassar, sempat membuat
terkejut masyarakat. Mereka tidak habis pikir mengapa kampus bisa berbuat demikian. Skripsi hasil
kerja keras mahasiswa selama satu semester atau lebih dibuang seolah tidak bernilai. Pemusnahan
skripsi mungkin tidak hanya dilakukan oleh kampus tersebut, kampus-kampus lainnya di republik ini
juga melakukan hal yang sama. Bukan hanya skripsi, tesis, dan disertasi juga bisa jadi mengalami
nasib serupa.

Apakah membuang karya ilmiah mahasiswa (skripsi, tesis, disertasi) dalam bentuk hard copy
adalah hal yang salah, tidak baik? Kebijakan skripsi di kampus kita perlu segera direvisi. Kampus
harus merupakan lembaga pertama dan utama yang mendukung program go green, peka terhadap isu
pemanasan global, dan menciptakan kampus hijau. Penggunaan kertas di kampus tidak berorientasi
pada hemat kertas, paperless.

Pertama, skripsi lebih berorientasi pada kuantitas bukan kualitas. Wajib bersampul tebal, minimal
60 halaman, 2 spasi, tidak bolak-balik, adalah contohnya. Penulis sering menguji skripsi dengan
ketebalan lebih dari 150 halaman, karena lampirannya yang beragam. Tidak ada yang salah dengan
ketebalan asal berkualitas, berisi. Skripsi mahasiswa sering tebal karena berisi banyak kutipan dari
berbagai penulis tetapi minim ide. Sulit menemukan analisis mahasiswa dalam skripsi.

Berapa rim kertas dihabiskan oleh satu orang mahasiswa dalam delapan semester, untuk membuat
makalah dan menulis skripsi? Berapa rim kertas dihabiskan prodi, fakultas, dan rektorat, dalam
setahun, untuk undangan, pengumuman, pamflet, brosur, dan penjadwalan ujian? Pernahkah dekan
dan rektor melihat hal tersebut sebagai masalah besar, sehingga melahirkan program penghematan
kertas di kampus?

Seiring bergulirnya waktu, jelas skripsi mahasiswa akan menumpuk di perpustakaan prodi,
fakultas, dan universitas, sementara bangunan kampus lamban mengalami perluasan. Mahasiswa silih
berganti melahirkan skripsi sementara gedung kampus semakin sempit karena jumlah mahasiswa dan
dosen terus bertambah. Menyortir skripsi merupakan pilihan tak terelakan. Sungguh sayang jika
skripsi bagus dan belum didaringkan dibuang atau terbuang.

Kedua, sudah lebih dari 10 tahun, banyak perguruan tinggi negeri dan swasta yang mendigitalisasi
skripsi dalam bentuk .pdf dan mengunggahnya di sumber elektronik (e-resources) kampus. Tidak
hanya abstrak, kadang dalam bentuk utuh skripsi. Skripsi, tesis, dan disertasi bisa diunduh siapa saja
yang memerlukan sebagai bahan referensi. Demikian juga dengan jurnal. Sekarang, kita mudah
memperoleh artikel-artikel hasil penelitian yang kita butuhkan, karena jurnal sudah wajib daring
(online).

Masalahnya, apakah semua skripsi, tesis, dan disertasi otomatis akan dimuat di laman tersebut?
Jika kita sepakat bahwa tidak semua karya ilmiah mahasiswa memenuhi kriteria standar sebuah karya
ilmiah, apakah tidak sebaiknya memilih yang baik dan terbaik saja yang diunggah ke website.
Sehingga, apa yang akan diunduh, dibaca, dan dijadikan referensi oleh mahasiswa, dosen, peneliti,
dan pegiat pendidikan di republik dan belahan bumi lainnya adalah benar-benar sesuatu yang bernilai
dan bermutu, bukan abal-abal—apalagi hasil plagiasi. Kita belum serius memerangi plagiasi di
kampus, bukan?

Oleh karena itu, pertama, skripsi, tesis, dan disertasi lebih berorientasi kepada kualitas daripada
kuantitas. Revisi fisik skripsi mencakup: sampul tipis, penggunaan kertas dua sisi, dan cukup 15
hingga 25 halaman saja—dalam format artikel ilmiah. Tesis dan disertasi bisa dibuat aturan khusus.
Revisi substansi skripsi mencakup: kaya referensi, penguasaan metodologi, ketajaman analisis/ ide
penulis, dan ketepatan penarikan kesimpulan.

Kedua, pemilihan karya ilmiah mahasiswa yang layak publikasi di website atau di jurnal. Dosen
pembimbing dan penguji bisa menjadi tim penilai kelayakan publikasi tersebut (menjadi sarjana tidak
identik dengan kemampuan menulis ilmiah yang baik). Karya ilmiah mahasiswa yang bagus bukan
saja perlu dimuat di website, tetapi diterbitkan di jurnal sehingga orang bisa mudah menemukan dan
membacanya; tingkat keterbacaannya luas.
# Akademisi yang Menulis #
Jejen Musfah, 2017

Persoalan pendidikan masih jauh dari selesai. Setiap hari muncul masalah pendidikan yang harus
segera diselesaikan segera dan setepat mungkin. Belum selesai satu masalah muncul masalah yang
baru. Setiap ganti menteri, berubah pula kebijakan pendidikan. Lain orang lain pula cara dan
keinginannya. Penyelesaian masalah pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah,
tetapi juga masyarakat. Keduanya harus sinergi dalam memajukan pendidikan, sebab pemerintah saja
tidak akan mampu menyelesaikan besar dan banyaknya masalah pendidikan bangsa ini.

Apa yang bisa dilakukan masyarakat? Sesuai dengan kemampuan masing-masing, bisa dengan
harta, tenaga, doa, dan pemikiran. Guru, dosen, dan masyarakat peduli pendidikan bisa berkontribusi
melalui tulisan ringan, lepas, atau replektif, yang diterbitkan di koran, majalah, tabloid, atau media
online. Sumbangan tulisan mungkin tidak seheroik demo turun ke jalan, tetapi tetap perlu dilakukan
agar pemerintah memahami keinginan dan pikiran rakyatnya.

Mengapa bahkan tulisan opini tetap perlu ditulis dan disebarkan? Tulisan akan sampai dan dibaca
oleh pemerintah sebagai bahan kajian dalam pengambilan keputusan bidang pendidikan. Tulisan juga
merupakan bentuk lain perjuangan terhadap ketidakadilan dan kesewenangan pemerintah terhadap
dunia dan pelaku pendidikan.

Kritik membangun melalui tulisan juga perlu dilakukan karena media kurang memberikan
perhatian terhadap soal pendidikan. Media lebih tertarik dengan soal politik, ekonomi, dan olahraga.
Perhatikan, berita dan isu pendidikan tidak mendapatkan tempat sebesar berita dan isu politik,
ekonomi, bahkan olahraga dan hiburan.

Maka, penerbitan media yang fokus pada pendidikan atau memerhatikan pendidikan perlu segera
diwujudkan agar pemerintah dan masyarakat bisa mengakses saran dan ide dari pakar dan pemerhati
pendidikan. Media itu juga bisa menyiarkan kondisi riil pendidikan di Tanah Air setiap saat dengan
durasi yang cukup.

# Beban Kerja Dosen #


Jejen Musfah, 2016

Sudah tiga bulan, Januari hingga Maret (2016), dosen UIN Jakarta mengalami penundaan
pembayaran tunjangan sertifikasi dosen (Serdos). Ini akibat dari temuan Inspektorat Jendral Kemenag
terhadap BKD sebagian dosen yang kinerjanya dianggap kurang, atau memenuhi namun tidak
melampirkan bukti dokumen penugasan dan kinerja. Nah, dalam masa tiga bulan tersebut dosen
diminta memperbaiki dan memenuhi kekurangan laporan BKD, baik sks maupun dokumen
pendukungnya.
Kinerja dosen terbagi dalam tiga aspek: pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Tridharma perguruan tinggi. Ancaman penghentian tunjangan serdos harus dibaca sebagai peringatan
eksternal bahwa secara kuantitas dosen harus tatap muka di kelas, 14 hingga 16 kali pertemuan—yang
dibuktikan dengan absensi. Sebab, ada kecenderungan peringatan internal kampus terhadap dosen tak
memberi efek jera.

Sedangkan secara kualitas, dosen tidak hanya ceramah di kelas, memandu diskusi mahasiswa,
selesai, lalu pulang. Dosen harus menumbuhkan critical thinking mahasiswa, menginspirasi
(inspiring), dan menunjukkan perilaku yang baik. Bukan sebaliknya, mengaitkan nilai dengan
pembelian buku, tak segera membalas sms, susah dihubungi, tidak hadir di kelas tanpa
pemberitahuan, dan seterusnya.

Melakukan riset dan/atau menulis buku ajar tak mudah, karena ia bukan pekerjaan sambil lalu.
Riset dan menulis merupakan aktivitas yang memerlukan waktu khusus, lingkungan nyaman, dan
pikiran tenang. Terampil menulis saja belum cukup. Berbeda dengan mengajar, apa pun kondisi
dosen, asal ia datang ke kelas—meski tanpa persiapan dan sedang galau, “selesailah tuh kelas”.

Langkanya hasil riset bagus dikarenakan menulis adalah dunia sunyi. Kita biasanya lebih
menyukai keramaian. Bayangkan, penulis bergelut dengan data mati dan tak menarik: buku,
dokumen, transkrip wawancara, dan laptop. Apalagi saat menuangkan gagasan, diperlukan kesunyian
dan konsentrasi tinggi agar fokus dan mengalir.

Siapa sudi memilih jalan hidup seperti itu, apalagi tanpa didanai oleh kampus atau Kementerian
(menjadi dosen tak serta merta dapat dana penelitian, tapi harus kompetisi). Jadi kalau ada dosen tetap
menulis dan meneliti, tak peduli dapat bantuan atau tidak, jelaslah itu karena idealisme seorang
akademisi.

Matinya budaya akademik (menulis dan meneliti) di kalangan dosen akibat ia tak menjanjikan
kesejahteraan, berbeda dengan mengajar dan ceramah—di sana-sini: selesai, langsung dapat buah
tangan. Aspek pengabdian masyarakat tidak begitu masalah, karena unsurnya yang beragam, mulai
dari memberi ceramah, mengisi workshop/pelatihan, dan seterusnya.

Akhirnya, penundaan transfer tunjangan serdos selama tiga bulan ternyata membuat dosen
tersadar: gaji pokok kami kecil, tak cukup untuk hidup satu bulan. Ketika dosen tidak tertarik menulis
dan meneliti, atau tidak sibuk di luar kampus, maka menjadi pejabat struktural kampus menjadi suatu
pilihan.

# Jalan Terjal Ustaz Somad #


Republika, 05 Januari 2018

Dai fenomal itu bernama Ustaz Abdul Somad (UAS). Ceramah-ceramahnya viral melalui media
sosial, seperti youtube, facebook, dan whatsapp. Ceramahnya yang renyah ditonton jutaan orang
sehingga namanya melambung dan tawaran ceramah datang dari berbagai penjuru negeri sampai luar
negeri. Masyarakat tertarik dan antusias untuk mendengar siraman ruhaninya secara langsung.

Sependek pengetahuan penulis, berikut kelebihan sosok UAS yang membuatnya menjadi dai
fenomenal. Pertama, UAS menguasai ilmu agama. Alumni Al-Azhar Mesir dan Maroko bidang hadis
ini adalah anggota MUI Riau, pengurus NU Riau, dan dosen hadis UIN Riau. Dia adalah antitesa dai
selebritis yang sering muncul di tv, yang diragukan kedalaman ilmu agamanya. Jawaban spontannya
terhadap pertanyaan-pertanyaan jamaah menunjukkan keluasan dan kedalaman ilmunya.

Kedua, intonasi dan pilihan kata (diksi) dakwah UAS lembut, tidak keras, dan tidak kasar. Dia
tidak berapi-api dan mengalir alami, sehingga sesuai dengan selera banyak kelompok muslim.
Dakwah yang keras dan kasar cenderung tidak bisa diterima oleh muslim Indonesia. Dia juga bersedia
menjawab pertanyaan jamaah tentang persoalan keagamaan.

Ketiga, UAS tidak mengejar dunia tapi akhirat. Dia (sampai saat ini) tidak pasang tarif. Meski
sudah menjadi dai level nasional bahkan internasional, ia menyerahkan honor kepada kesanggupan
panitia—bahkan (konon) rela tidak dibayar asal bisa berdakwah di tengah masyarakat.

Jam terbang yang tinggi, jadwal padat, dan honor yang tinggi menyebabkan dai-dai sebelumnya
hanya milik kelompok muslim tertentu (elitis). Hanya masyarakat, pejabat, dan lembaga pemerintah
yang berduit yang bisa mengundang dai yang pasang tarif tinggi. Padahal dai itu milik umat, siapa
saja, dan kalangan mana saja, yang membutuhkan pencerahan.

Keempat, UAS juga menjaga komitmen. Ia tidak mau membatalkan janji ceramah di tempat
tertentu karena diundang pihak yang lebih penting (istana misalnya), atau karena bayarannya lebih
besar. Ia mementingkan menepati janji kepada umat daripada mengejar uang dan popularitas.

Kelima, kecuali lembut dan santai, ceramah UAS juga tidak membosankan karena lucu. Ia mampu
membuat jamaah tertawa atau tersenyum. Ia secara spontan mampu menyelipkan guyonan dalam
ceramahnya, seperti Zainudin MZ dan Aa Gym. Selain materi ceramah yang berbobot penuh ilmu,
menjawab persoalan riil masyarakat, guyonan yang tidak berlebihan diperlukan agar dakwah tidak
membosankan dan bikin kantuk.

Popularitas UAS tidak lepas dari peran media sosial dari youtube, facebook, hingga whatsapp.
Media cetak dan daring turut membesarkan UAS. Dia dianggap dai harapan baru umat dalam
menyebarkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin. Bobot ceramah dan gayanya menarik banyak
media massa dan umat. Tiap masa ada tokohnya, mungkin inilah masanya UAS.

Peluang ini harus dimanfaatkan UAS sebaik-baiknya. Umat membutuhkan dai yang sejuk, santun,
sederhana, dan konsisten. Dai yang dekat dan diterima semua golongan masyarakat. Dai yang
mengabarkan Islam yang lembut, moderat, penuh cinta, mendukung NKRI, dan Pancasila.

Perjalanan UAS dalam dakwah tidak akan mudah. Jalan yang telah dan akan dilalui pasti terjal
dan berliku. Fitnah mendukung khilafah, anti NKRI dan Pancasila, tidak mendukung pemerintah,
pendukung teroris, membuatnya dipersekusi dan ditolak di Bali dan dideportasi dari Bandara
Hongkong. UAS juga batal tampil di Masjid Nurul Palah, Komplek PLN Gambir, Jakarta Pusat
(28/12/2017).

Tahun politik 2018-2019 juga akan menguji konsistensi UAS dalam dakwah. Popularitasnya bisa
dimanfaatkan tokoh, ormas, atau partai politik tertentu untuk menaikan elektabilitas. Dia sebaiknya
tetap konsisten dalam gerakan dakwah, tidak menjadi partisan partai. Dia milik semua umat bukan
golongan tertentu.

UAS juga harus bisa menundukkan ego dirinya. Saat ini masyarakat se-Indonesia mengelu-
elukan, memuji, dan membanggakannya, kultus masyarakat terhadapnya bukan hal mustahil—sesuatu
yang pasti disadari dan tidak diinginkannya. Ia harus bisa melewati fase berada di atas dan puja-puji
ini agar tidak lupa diri dan terpuruk.
Sebaliknya, UAS tidak boleh mundur dari gelanggang dakwah hanya karena takut kalah atau lupa
diri. Sebaliknya, ia harus tetap melanjutkan perjalanan panjang dakwah ini dengan tetap tawadhu,
sehingga banyak masyarakat tercerahkan. Ini baru fase awal dakwah UAS, fase-fase berikutnya akan
lebih menantang sekaligus penuh tantangan.

Tantangan terakhir UAS adalah keseimbangan sebagai dosen dan dai. Dia saat ini jauh berbeda
dengan yang dulu. Ia tidak lagi milik kampus UIN Riau tapi milik umat muslim Indonesia dan dunia.
Waktu ceramahnya padat dan dari Sabang sampai Merauke. Lelah, pasti.

Meski demikian, ia harus tetap mengajar dan mendidik mahasiswa agar bisa mewariskan ilmunya
yang luas. Popularitas dai ada masa dan batasnya, tetapi menjadi dosen tiada ada batasnya. Dengan
mengajar di kampus, siapa tahu kelak lahir muridnya yang meneruskan jejak dakwah lisannya.

Di kampus, UAS bisa mencetak kader-kader ulama masa depan. Popularitasnya saat ini adalah
hanya bonus tambahan dari hasil ketekunan dan kerja kerasnya selama ini. Semoga Allah memberikan
kesehatan dan umur panjang kepada dosen, ulama, dan dai ini sehingga umat Islam menjadi umat
panutan penghuni bumi.
BAB IV

ORANG TUA

# Raibnya Mahkota Anak #


Republika, 19 Maret 2016

Baru-baru ini, kita disuguhi fakta baru tetapi sebenarnya sudah lama juga terjadi di kalangan
generasi muda kita. Pernikahan dini terpaksa dilakukan oleh anak-anak muda kita di Sleman,
Yogyakarta karena hamil di luar nikah. Sementara tingkat aborsi di Jakarta juga sangat tinggi. Lalu
media sosial dihebohkan oleh kasus gaya pacaran anak sekolah yang mengunggah foto-foto tidak
layak mereka di halaman Facebook.

Generasi muda Indonesia layu sebelum berkembang karena terjebak pergaulan bebas atau
pacaran. Alih-alih belajar dengan baik di masa muda, mereka malah memprioritaskan pacaran. Masa
depan mereka gelap karena kesempatan belajar mereka tertunda bahkan terhenti karena menjadi ayah
atau ibu di usia dini. Perilaku anak muda tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor.

Pertama, acara televisi sangat tidak mendidik. Tayangan film, sinetron, reality show misalnya,
berisi kisah percintaan anak remaja dan dewasa. Acara-acara genre tersebut disukai orang tua juga
anak-anak. Ratingnya tinggi. Banyak iklan. Akhirnya, pacaran menjadi hal biasa di mata anak-anak.
Pacaran tidak dianggap hal tabu dan terlarang.

Anak remaja tidak malu pacaran di depan publik—di mall, di bioskop, atau di taman, bahkan saat
mereka masih berseragam sekolah. Meski kerap ditegur KPAI (Komisi Perlindungan Anak
Indonesia), pemilik stasiun televisi bergeming. Demi pundi-pundi rupiah, mereka tetap menayangkan
acara-acara yang tidak mendidik generasi muda.

Kedua, muatan pornografi mudah diakses oleh siswa melalui beragam situs di internet. Akses
pornografi dilakukan siswa di warung internet atau melalui gawai yang mereka miliki, pada jam
setelah sekolah bahkan pada jam sekolah (membolos). Kebiasaan mengakses konten pornografi
membuat siswa terdorong mencoba-coba atau meniru perilaku yang sesungguhnya terlarang bagi
mereka.

Ketiga, media sosial berperan meningkatkan intensitas dan gaya pacaran anak-anak, baik melalui
tulisan, gambar, maupun video. Kemudahan mendapatkan gawai dari orang tua dan membeli kuota
internet membuat siswa mudah pacaran secara daring (online). Dari pacaran daring ini siswa
kemudian tertarik untuk mencobanya melalui praktik-nyata.

Keempat, pendidikan seks masih dianggap tabu di sekolah, di rumah, dan di masyarakat.
Akibatnya, pemahaman siswa terkait pendidikan seks sangat lemah. Gaya pacaran siswa sudah
melewati batas, sehingga bisa menimbulkan hamil. Aborsi kadang menjadi pilihan mereka.
Keberanian bertindak yang melanggar norma agama dan sosial tersebut, karena siswa tidak paham
dengan baik dampak pergaulan bebas, baik bagi kesehatan reproduksi maupun bagi masa depan
mereka.

Kelima, hubungan antara orang tua dan anak tidak erat dan harmonis. Perhatian orang tua
terhadap anak sangat kurang. Tidak ada komunikasi yang tulus dan hangat antara ayah-ibu dan anak-
anak, minimal di dua hari libur, Sabtu dan Minggu. Orang tua tidak tahu senang-sedih dan prestasi-
gagal anak di sekolah. Akhirnya, sandaran anak ketika menghadapi masalah bukan orang tua
melainkan teman dekatnya.

Kerenggangan hubungan tersebut dikarenakan kedua orang tua terlalu sibuk kerja di luar rumah,
kurang memahami cara mendidik anak, atau sikap acuh terhadap perkembangan dan teman-teman
dekat anak. Kegagalan menciptakan kehangatan hubungan orang tua dengan anak terjadi pada mereka
yang berpendidikan tinggi dan baik (well educated) dan mereka yang tidak berpendidikan (not well
educated).

Kelima faktor pembentuk perilaku anak itu harus segera dilawan dengan kerjasama berbagai
pihak yang peduli dengan masa depan kualitas generasi muda kita. Pertama, orang tua membatasi
penggunaan gawai dan menonton televisi anak-anak di rumah. Mereka mengajarkan anak apa saja
yang boleh ditonton dan dibaca, dan apa saja yang tidak boleh. Kadang-kadang mengontrol
penggunaan gawai dan mendampingi anak-anak menonton televisi harus dilakukan orangtua.

Orang tua juga harus memiliki hubungan yang baik dengan anak-anak. Kecuali kebutuhan fisik
berupa makanan, pakaian, dan permainan, anak-anak juga membutuhkan kasih-sayang tulus dari
ayah-ibu. Kebersamaan saat makan, menonton televisi, belajar bersama, jalan-jalan ke mall, dan
berlibur, merupakan momen dan waktu berharga untuk merajut kedekatan orang tua dan anak-anak.
Pada saat tersebut orang tua bisa menjadi pendengar yang baik tentang kondisi anak pada satu sisi,
dan memberikan nasihat pada sisi yang lain.

Kedua, guru mengajarkan pendidikan seks sesuai norma agama dan sosial. Jika menghilangkan
pacaran di kalangan pelajar adalah hal sulit, maka mengajarkan batasan-batasan pacaran adalah hal
yang paling logis. Daripada membiarkan anak memaknai sendiri perasaan suka sesama jenis di antara
mereka, sebaiknya guru memberikan panduan yang sesuai syar’i.

Kampanye bagaimana bahayanya pacaran di usia dini di sekolah perlu dilakukan terus-menerus,
baik melalui ceramah, baliho, pamplet, maupun media sosial. Guru bersama orang tua dan siswa
membuat pakta integritas “anti pacaran”. Gerakan ini harus dibungkus dengan baik, termasuk
pendekatannya, sehingga anak-anak tidak reaktif dan emosional tetapi menerimanya dengan akal
sehat.

Ketiga, pemilik stasiun televisi hanya menayangkan acara-acara yang mendidik. Tontonan negatif
terbukti berpengaruh buruk terhadap perilaku anak-anak dan remaja. Program yang mendatangkan
iklan banyak tidak harus terkait percintaan remaja-dewasa dan mengumbar aurat par excellent.
Sinetron “Si Doel Anak Sekolah”, “Para Pencari Tuhan”, dan “Preman Pensiun”, adalah beberapa
contohnya.

Pengusaha televisi, KPAI, badan sensor film, penulis skenario, produser, budayawan, dan
akademisi perlu berkumpul membincang arah pembentukan karakter generasi muda Indonesia melalui
televisi. Dengan demikian, televisi bukan sebagai tujuan memperoleh kekayaan pemiliknya semata,
tetapi sebagai alat meningkatkan kualitas sumber daya manusia RI, lima hingga sepuluh tahun ke
depan.

Pentingnya masa depan anak bagi Mendikbud, Anies Baswedan, dibuktikan dengan membentuk
Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, sebagai panduan orang tua dalam mendidik anak. Jangan
karena kemajuan teknologi dan informasi, salah asuhan orang tua dan guru, dan tontonan tidak
bermutu, anak-anak terlibat dalam pergaulan bebas yang berujung pada raibnya mahkota
keperawanan dan keperjakaan mereka.
Saatnya memulai usaha bersama menyelematkan generasi muda dari pengaruh buruk teknologi
dan lingkungan, dan memandu mereka berpegang kepada ajaran agama dan nilai-nilai luhur bangsa
ini. Menanamkan ajaran agama dan nilai-nilai baik sejak dini di rumah dan di sekolah merupakan akar
kuat kepribadian anak agar kelak mereka mampu bertahan dari berbagai godaan jin dan manusia.

# Darurat Pedofilia #
Republika, 20 Maret 2017

Polres Kabupaten Karawang, Jawa Barat, menangkap seorang pelaku pelecehan seksual terhadap
23 anak di bawah umur dan mengiming-imingi memberikan sejumlah uang dan jajanan. Korban
pelecehan seksual itu rata-rata berusia 8-11 tahun (Repubika, 15/3/2017). Pedofilia terhubung dengan
jaringan internasional secara online di Facebook. Fakta ini merupakan satu dari banyak fakta tentang
pedofilia di Indonesia.

Pencegahan masalah pedofilia membutuhkan kerjasama pemerintah, guru, dan orangtua. Pertama,
langkah konkrit harus segera diambil pemerintah, yaitu membuat buku saku dan pamplet tentang apa,
dampak, dan cara pencegahan pedofilia. Buku dan pamplet itu dibagikan di sekolah, stasiun, bandara,
terminal, dan diunggah di website sehingga masyarakat bisa mengunduhnya.

Tim penulis buku itu bisa melibatkan unsur Kemdikbud, Kemenag, Polri, dan KPAI. Dari materi
buku itu bisa dibuatkan iklan untuk media cetak, media online, radio, dan televisi. Kampanye anti
pedofilia harus intensif dilakukan dalam satu dua bulan ini, kemudian dikurangi sesuai kondisi. Yang
pasti kampanye ini tidak boleh berhenti, minimal dilakukan setahun sekali. Dengan demikian
masyarakat dan orangtua peduli dan kasus pedofilia bisa dicegah sedini mungkin.

Pemerintah melalui Polri dan KPAI juga bisa mendeteksi media sosial yang terindikasi jaringan
pedofilia, dan segera bertindak menangkap para pelakunya. Pemerintah diharapkan lebih
memantapkan lagi kerjasama dengan negara-negara lain karena pedofilia terhubung dengan jaringan
internasional. Tidak hanya Indonesia, negara-negara lain pun punya kepentingan melawan pedofilia.

Kedua, materi buku saku pedofilia itu kemudian disampaikan melalui seminar, pidato saat
upacara, dan pembelajaran dari PAUD, TK, SD, SMP, hingga SMA. Guru menjadikan pedofilia
sebagai materi ajar. Pembelajaran kontekstual terjadi ketika guru mengajarkan materi yang terkait
dengan isu-isu penting seputar anak. Siswa diajarkan pedofilia agar mereka memahami dan
menghindarinya. Siswa diingatkan jangan sampai menjadi korban apalagi menjadi pelaku pedofilia.

Pengajaran pedofilia tidak hanya menjadi tanggung jawab guru tertentu seperti guru agama,
Bimbingan Konseling (BK), dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Setiap guru, apa pun mata
pelajarannya bisa memilih materi tertentu yang bisa dikaitkan dengan pedofilia sebagai contoh.
Pemahaman siswa tentang pedofilia akan membantu siswa terhindar darinya.

Kepala sekolah harus memastikan bahwa guru membaca dan memahami isu-isu seputar anak
seperti pedofilia ini. Dikhawatirkan guru tidak memahami dengan baik isu pedofilia yang sedang
hangat sehingga mereka tidak mampu menyampaikannya dengan baik kepada siswa. Bisa jadi para
guru kurang peduli terhadap kasus ini. Alih-alih berpikir bagaimana strategi mengajarkan pedofilia,
memahaminya pun guru tidak.
Ketiga, peran orangtua penting dalam mencegah anak menjadi pelaku atau korban pedofilia.
Sesibuk apa pun orangtua harus mengetahui kegiatan anak di luar jam sekolah. Siapa saja teman
bermainnya, bermain apa, dan seperti apa teman-temannya. Jam main anak perlu dibatasi, dan dicari
segera manakala belum pulang pada jam tertentu. Orangtua harus ekstra waspada dengan kondisi
lingkungan anak saat ini.

Orangtua harus mengajarkan bagaimana bermain dan berteman dengan baik. Meski ada
pembantu, nasihat orangtua lebih bisa diterima anak-anak. Pemahaman tentang baik-buruk harus
diajarkan orangtua kepada anak-anak mereka sejak dini, termasuk bahaya pedofilia. K. Heath
menulis, “Kids are like a mirror, what they see and hear they do. Be a good reflection for them”.

Sesibuk apa pun, orangtua harus meluangkan waktu bersama anak-anak untuk menjalin
komunikasi, memberikan perhatian dan kasih-sayang, dan mendekatkan hubungan orangtua-anak.
Jesse Jackson mengingatkan, “Your children need your presence than your presents”.

Komunikasi yang baik antara anak dan orangtua akan memberikan gambaran pergaulan anak,
terutama di luar jam sekolah. Anak harus diajarkan terbiasa terbuka dan berani bicara kepada
orangtua. Dengan demikian orangtua bisa mengarahkan anak-anak kepada pergaulan yang baik. Bila
ada hal yang janggal di luar, anak akan memberitahu orangtua sehingga hal yang tidak diinginkan bisa
dicegah sedini mungkin.

Perhatian orangtua kepada anak juga akan menjadikan anak merasa nyaman berada di rumah
bersama orangtua. Anak yang berlimpah kasih sayang dan cinta dari orangtua akan mudah menerima
nasihat orangtua. Maka, ia akan menjadi anak yang tidak mudah menerima perilaku menyimpang
orang lain terhadapnya.

Demikianlah anak-anak adalah harapan setiap orangtua dan bangsa. Membesarkan dan mendidik
mereka tidak mudah karena ancaman pedofilia dan lainnya amat nyata. Orangtua harus menjaga dan
mendidik anak dengan baik. Guru mengajarkan bahaya pedofilia. Sedangkan pemerintah
mengampanyekan anti pedofilia. Kesadaran bersama ini mungkin bisa mengikis pedofilia, minimal
mempersempit ruang gerak pada pedofilia.

Kesadaran, kepedulian, dan kerjasama tiga pihak tersebut penting dalam melindungi anak dari
pedofilia, karena merawat, mengajar, dan mendidik anak bukan suatu hal yang mudah di abad 21 ini.
Matt Walsh menyatakan, “Parenting is the easiest thing in the word to have an opinion about, but the
hardest thing in the word to do”. Indonesia jelas darurat pedofilia, perhatian dan pengawasan anak
oleh orangtua dan guru adalah solusinya.

# Keluarga Pembelajar #
Amanah, Selasa, 12 Juli 2016

Ada dua perilaku anak-anak dan remaja yang mengkhawatirkan akhir-akhir ini. Kekerasan
seksual terhadap anak dan perundungan (bullying) di sekolah. Anak-anak dan remaja dalam dua kasus
tersebut tidak hanya menjadi korban tetapi juga sebagai pelaku. Baik sebagai korban maupun sebagai
pelaku, keduanya menyiratkan masalah yang tidak ringan.

Menjawab persoalan tersebut melalui pembenahan pendidikan di sekolah tentu benar, tetapi itu
saja belum cukup. Mendidik keluarga menjadi tempat yang kondusif bagi pertumbuhan kecerdasan
dan karakter anak juga sangat penting dan utama. Menyalahkan pendidikan sekolah semata, tetapi
mengabaikan pendidikan keluarga adalah keliru.

Keluarga merupakan tempat pertama dan strategis penumbuhan kecerdasan dan karakter anak
karena di sanalah pertama kali anak tumbuh sebelum masuk sekolah dan di sana pula anak paling
banyak menghabiskan waktunya. Maka, kualitas keluarga sangat penting dalam tumbuh-kembang
setiap anak.

Di samping tanggung jawab pemenuhan kebutuhan anak yang bersifat fisik, seperti makan-
minum, pakaian, dan tempat tinggal, keluarga memiliki tanggung jawab yang lebih utama kepada
anak, yaitu mengembangkan kecerdasan dan karakter anak. Ironisnya, baik keluarga mapan secara
ekonomi maupun keluarga lemah, sering mengabaikan pembentukan karakter anak.

Pertama, orang tua adalah guru pertama yang mengajarkan anak berbicara, membaca, menulis,
dan berhitung. Kelambanan anak dalam kemampuan calistung bisa jadi karena mereka menyerahkan
sepenuhnya hal tersebut kepada guru-guru di sekolah, sementara di rumah tidak pernah ada
pembelajaran sama sekali.

Orang tua juga membantu anak menyelesaikan tugas-tugas sekolah dengan cara membimbing dan
mengarahkan, bukan dengan cara mengerjakan tugas anak. Orang tua bisa saja menyediakan guru
khusus untuk anak di rumah, tetapi bimbingan orang tua tetap diperlukan. Di samping itu, orang tua
sejak dini mengenali bakat anak dan mengembangkan bakat tersebut sesuai kemampuan mereka
masing-masing.

Kedua, orang tua adalah guru utama dalam mengembangkan karakter anak sejak dini melalui
teladan mereka, pembiasaan anak, dan disiplin seluruh anggota keluarga. Justeru, di masa-masa anak
sebelum sekolah lah pembentukan karakter ini sangat penting. Membentuk karakter menjadi anak
yang baik tidak mudah di zaman penuh serba-serbi bacaan dan tontonan tidak mendidik yang tersedia
sangat dekat dengan anak.

Keberhasilan pendidikan karakter anak di rumah akan melahirkan anak yang tidak hanya mampu
berbuat baik pada dirinya sendiri tetapi juga mampu berbuat baik kepada orang lain. Anak yang
dibiasakan mengasihi sesama tidak akan mampu menyakiti orang lain, apalagi sesama siswa teman
satu sekolah atau lain sekolah, seperti pada kasus perundungan dan tawuran yang terus terjadi.

Tidak hanya itu, anak yang terbiasa terbuka di rumah kepada orang tua akan terhindar dari
kejahatan yang dilakukan berulang kali kepada dirinya, seperti dalam kasus perundungan atau
kejahatan seksual yang dilakukan sampai berkali-kali dan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Mungkin juga, kedekatan anak dengan orang tua bisa menghindarkan anak dari kasus kekerasan,
karena orang tua segera bertindak.

Singkatnya, anak yang tumbuh baik di rumah bersama orang tua yang baik akan mencegah
mereka berbuat buruk kepada orang lain sekecil apa pun apalagi kejahatan besar, sekaligus akan
terhindar dari kejahatan yang dilakukan berulang terhadap dirinya, bahkan bisa mencegah tindak
kekerasan atau kejahatan.

Hubungan yang Baik

Kenyataannya, tidak semua keluarga mampu mendidik anak-anak dengan baik karena beragam
alasan, seperti sibuk, tidak berpendidikan, tidak paham ilmu pharenting, dan pernikahan dini.
Solusinya dua. Pertama, orang tua memperbaiki hubungan dengan anak. Anak adalah cermin orang
tuanya meskipun setiap anak lahir membawa bakat dan karakter mereka masing-masing.

Meski orang tua sibuk, mereka harus menyempatkan waktu mendengarkan cerita, harapan, dan
keluh-kesah anak. Orang tua yang sering meninggalkan rumah bersedia menelepon rumah. Anak
boleh menonton televisi tetapi dibatasi jam dan programnya. Anak diberi fasilitas internet melalui
telepon atau komputer tetapi diberi pengertian apa saja yang layak dibaca dan ditonton.

Kedua, orang tua memperbaiki hubungan dengan guru. Orang tua tidak bisa menyerahkan
sepenuhnya pendidikan anak kepada guru, karena waktu guru terbatas. Satu atau dua guru mendidik
20 hingga 40 peserta didik, bagaimana bisa efektif? Komunikasi dan dialog antara orang tua dan guru
dibutuhkan pada saat-saat tertentu, terutama pada saat anak mengalami masalah—kecil maupun besar.
Kasus pemenjaraan seorang guru oleh orang tua tidak perlu terjadi jika orang tua memahami kesulitan
guru dan menanggalkan egoisme.

Orang tua harus mencari tahu bagaimana perilaku anaknya di sekolah melalui guru langsung,
tidak semata dari apa yang dikatakan anak. Menelepon atau mengirim sms bisa dilakukan jika
memang betul-betul tidak sempat ke sekolah. Jika ada masalah dengan anak di sekolah atau di rumah,
orang tua bisa menjadikan guru sebagai tempat bertanya dan berdialog.

Inti dari dua solusi tersebut adalah kemauan orang tua untuk belajar. Belajar dari kasus kekerasan
pada anak yang sering terjadi. Belajar di mana pun selagi sempat. Belajar melalui media apa pun
tentang ilmu pharenting, baik dari buku, ceramah, maupun internet. Mungkin saja, cara mendidik
anak yang kita terapkan di rumah selama ini kita anggap benar padahal sejatinya salah.

Kemendikbud melalui direktorat pembinaan pendidikan keluarga misalnya, menyediakan buku


petunjuk teknis bagi orang tua dan guru terkait pendidikan anak. Tujuannya adalah terbentuknya
keluarga hebat melalui kemitraan dengan sekolah. Sumber belajar menjadi orang tua bijak sangat
melimpah. Maukah kita para orang tua belajar membangun keluarga hebat?

# Perempuan yang (Belum) Merdeka #


SINDO, 21 April 2017


Siti Aisyah (25) asal Serang Banten dijadikan tersangka pembunuhan Kim Jong-nam di Bandara
Internasional Kuala Lumpur Malaysia (15/02). Kim Jong-Nam bukan warga biasa, dia adalah saudara
tiri pemimpin Korea Utara, King Jong-un. Siti dan Doan Thi Huong diduga membunuh dengan
memaparkan racun kimia VX nerve agetit pada wajah korban. Diduga Siti yang merupakan lulusan
SD itu merupakan korban rekayasa pembunuhan berencana.

Kejadian ini menambah daftar panjang dan kelam nasib perempuan tanah air yang bekerja di luar
negeri. Sebelumnya, Tenaga Kerja Wanita (TKW) berulang kali masuk penjara karena menjadi
pengedar narkoba atau karena terlibat pembunuhan atau kekerasan terhadap majikannya, baik di
Timur Tengah, Malaysia, maupun Singapura.

Gaji Kecil
Perempuan kerap terpaksa harus bekerja di luar dan di dalam negeri. Pekerjaan mereka biasanya
Pembantu Rumah Tangga (PRT) atau buruh pabrik yang bergaji kecil, hanya cukup untuk
menyambung hidup. Kadang gali lubang tutup lubang. Perempuan juga banyak terjerumus ke dunia
malam, menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) karena iming-iming materi.

Kondisi ini terjadi karena, pertama, perempuan menjadi penopang ekonomi keluarga sehingga
tidak ada pilihan lain selain bekerja. Sebagai anak dari keluarga miskin atau janda dengan satu atau
dua anak, mereka harus bekerja untuk membiayai keluarga. Pekerjaan mereka kerap beresiko tinggi,
seperti kekerasan fisik dari majikan atau terkena HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome).

Kedua, pendidikan perempuan yang rendah. Keluarga dengan ekonomi lemah atau menengah
kerap menjadikan perempuan sebagai objek yang harus lekas bekerja, bukan mendorongnya belajar
hingga D-2, D-3, atau sarjana. Perempuan banyak bekerja dengan gaji kecil karena berpendidikan
rendah dan tidak punya keterampilan khusus.

Tindakan Bersama

Keadaan ini memerlukan tindakan bersama: keluarga, dunia usaha dan dunia industri (Dudi), serta
pemerintah. Pertama, keluarga wajib memberikan pendidikan yang baik bagi putra-putrinya. Sama
dengan laki-laki, perempuan harus mengenyam pendidikan yang bagus, bukan hanya untuk bekerja
profesional kelak tapi juga karena ia adalah pendidik dan panutan bagi anak-anaknya kelak.

Pendidikan SD, SMP, dan SMA/SMK bebas biaya karena sudah ada dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) dan anggaran lain dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anak-anak
yang tidak tamat SMA/SMK besar kemungkinan kesalahan orang tua, yang tidak peduli pendidikan
anak, terutama perempuan. Perempuan kerap dipaksa menikah muda sehingga pendidikannya
terputus.

Bimbingan yang baik di rumah juga memungkinkan anak-anak memperoleh beasiswa di


Perguruan Tinggi (PT). Beasiswa afirmasi bagi orang tua miskin banyak tersedia, dari program
sarjana, magister, hingga doktoral—dalam dan luar negeri. Bahkan banyak beasiswa yang
diprioritaskan bagi perempuan. Setidaknya, kuota perempuan lebih banyak daripada kuota bagi laki-
laki.

Kedua, Dudi melindungi perempuan dari kemungkinan resiko dalam bekerja. Contoh, pemberian
cuti hamil yang cukup dan kepastian diterima bekerja setelah selesai cuti. Kecuali moratorium
pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) dengan pendidikan rendah ke negara-negara tertentu,
pemerintah juga harus menindak tegas Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) ilegal.

Dudi perlu memberikan perhatian khusus kepada tenaga kerja perempuan dengan kategori seperti:
belum menikah, janda tanpa anak, dan janda dengan anak (single mother). Asuransi dan tunjangan
khusus kepada perempuan tersebut semestinya tersedia sehingga perempuan merasa nyaman, tenang,
dan senang dalam bekerja.

Ketiga, peran pemerintah jelas terlihat dalam paparan di atas. Masalahnya, pendidikan gratis,
beasiswa pendidikan di tingkat dasar, menengah, hingga PT belum tepat sasaran dan belum dinikmati
oleh banyak masyarakat miskin. Pendidikan harus betul-betul gratis bagi warga miskin agar
kemiskinan struktural (turun-temurun) tidak terjadi.
Perempuan Merdeka

Hanya pendidikan yang bisa mengangkat harkat dan martabat perempuan Indonesia. Pendidikan
melahirkan perempuan yang merdeka pikirannya dan punya cita-cita tinggi. Merdeka pikiran artinya
ia tidak mudah percaya janji gombal pihak-pihak yang memanfaatkan kelemahan dan fisiknya untuk
keuntungan mereka. Ia bisa memilih jalannya sendiri untuk maju dan bekerja sesuai kapasitas
tertingginya, dan tentu saja legal.

Perempuan harus percaya mereka bisa berhasil seperti laki-laki. Inilah semboyan Kartini,
“Tahukah engkau semboyanku? Aku mau! Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali
mendukung membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata “Aku tiada dapat!”
melenyapkan rasa berani. Kalimat “Aku mau!” membuat kita mudah menddaki puncak gunung.”

Sedangkan cita-cita tinggi itu artinya perempuan tidak boleh berhenti berusaha dan belajar agar ia
terampil. Keterampilan memungkinkan mereka bekerja dan mendapatkan penghasilan yang layak.
Perempuan tidak selalu dalam posisi bergantung kepada laki-laki, seperti ibu tunggal yang harus
membesarkan anak-anak tanpa suami. Kartini menulis, “Teruslah bermimpi, teruslah bermimpi,
bermimpilah selama engkau dapat bermimpi! Bila tiada bermimpi, apakah jadinya hidup! Kehidupan
yang sebenarnya kejam.”

Perempuan perlu belajar demi meningkatkan kapasitasnya, bukan semata untuk berkarir di luar
rumah, tetapi karena ia adalah pendidik pertama dan utama anak-anaknya. Sekolah, lembaga kursus,
dan PT tidak ada artinya bagi pertumbuhan karakter anak, jika tidak ditopang oleh kualitas ibu yang
kompeten dalam mendampingi mereka.

Akhirnya, menjadi perempuan bukan pilihan tetapi menjadi perempuan yang berpendidikan harus
diperjuangkan bersama. Melalui pendidikan dalam arti berwawasan luas itulah jalan bagi perempuan
untuk merdeka. Merdeka dari pemikiran sempit dan budaya patriarki. Inilah asa Kartini 106 tahun
yang lalu. “Adakah yang lebih hina, daripada bergantung kepada orang lain?,” tulisnya.

# Film Bermutu yang Mendidik #


Amanah, 06 April 2016

Film sangat lekat dengan kehidupan manusia. Masyarakat membutuhkan hiburan setelah seharian
bekerja atau belajar. Film hadir di rumah dan di bioskop—biasanya di mall-mall. Di rumah, film bisa
disaksikan di televisi atau melalui alat pemutar dvd. Masyarakat dan anak-anak menonton lebih sering
daripada membaca. Paradigma mereka dibentuk oleh tontonan.

Menonton film adalah hobi semua orang, tua-muda, dan remaja-anak-anak. Hobi yang murah-
meriah. Ada waktu senggang, tekan remote on, pilih film sesuai selera. Waktu pun berputar terasa
cepat. Tidak beranjak dari tempat duduk, mata fokus pada layar, bahkan saat jeda iklan—yang kadang
sangat banyak. Di antaranya iklan rokok. Ironis.

Menonton itu candu. Tidak bisa berhenti, selalu menunggu karena rindu. Jika filmnya berseri
seperti sinetron, membuat penonton penasaran. Apa yang akan terjadi pada tokoh pujaan di episode
berikutnya? Hal terindah dalam hidup adalah menanti detik-detik jam tayang film kesayangan, bukan
saat adzan menggema memanggil. Sakitnya minta ampun saat nonton film drama seri listrik padam.

Film adalah sihir yang menggeser budaya bercengkrama anggota keluarga. Seru dan ramai di
layar, tetapi sepi dan bisu di dalam keluarga. Candu film juga mengalahkan budaya baca yang
seharusnya dimiliki masyarakat, apalagi anak-anak dan remaja yang masih mengenyam pendidikan.
Membaca adalah kunci pengetahuan dan pembentuk kearifan manusia.

Anak-anak menonton lebih banyak daripada orangtua. Tidak semua film layak ditonton oleh
anak-anak. Sedikit pembuat film yang berorientasi pendidikan. Pada malam hari orangtua bisa
mengontrol tontonan anak-anak. Tetapi, siang hingga sore hari anak-anak bisa menonton apa saja
tanpa sepengetahuan mereka. Kedua orangtua tidak ada di rumah. Pembantu sering kalah oleh anak-
anak.

Anak-anak perlu diajar memilih film yang cocok buat mereka. Tegur dengan cara yang baik saat
mereka menonton film yang tidak baik. Orangtua menjelaskan mengapa film-film tertentu tidak layak
ditonton. Anak-anak mungkin tidak sependapat, atau membangkang. Tetapi jangan pernah bosan
mengajari anak. Ironisnya, pilihan film para orangtua juga kadang tidak semuanya baik.

Insan perfilman memiliki tanggung jawab membuat film bermutu yang mendidik. Wajah
perfilman kita harus berubah agar masyarakat dan anak-anak tidak hanya mendapatkan hiburan tetapi
pendidikan. Film-film kita harus menyampaikan pesan-pesan cinta tanah air, menghargai keragaman
suku dan agama, hidup damai dalam perbedaan, cinta lingkungan, cinta baca, semangat belajar,
kejujuran, sabar, anti korupsi, tanggung jawab, menjunjung tinggi moralitas, dan punya rasa malu.

Perilaku kekerasan dan pergaulan bebas anak dipengaruhi oleh film-film yang mereka tonton.
Film-film yang bermuatan kekerasan dan percintaan selaiknya dikurangi. Pemerintah harus turun
tangan mengelola film-film yang ditayangkan stasiun televisi, khususnya pada jam 12 siang hingga
sore hari. Jam di mana orangtua tidak ada di rumah, sementara anak-anak bebas menonton film.

Jika perguruan tinggi dan sekolah diwajibkan pemerintah mengajarkan mata kuliah dan mata
pelajaran tertentu yang dianggap perlu untuk membentuk warga negara yang baik, maka stasiun
televisi pun wajib menayangkan film-film bermutu yang mendidik pada jam-jam tertentu. Bukan tidak
ada film yang bermutu, masalahnya apakah pemilik stasiun televisi punya perhatian terhadap masa
depan anak-anak dan remaja kita? Seharusnya, kebijakan perfilman mereka senafas dengan tujuan
pendidikan nasional, melahirkan manusia yang berakhlak terpuji.

Tidak semua orangtua punya keberanian anti televisi di rumah mereka, meski tahu benar dampak
negatif film dan tayangan televisi. Orangtua harus mengajari anak bagaimana cerdas memilih
tontonan, karena tidak semuanya di televisi buruk. Pemerintah dan pemilik stasiun televisi
bekerjasama menghadirkan film dan tayangan bermutu yang mendidik, sehingga ke depan bangsa ini
memiliki generasi penerus yang dapat membawa negeri ini menjadi bangsa yang maju dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi, damai, dan dirahmati Allah Swt.

Penjara Bakat Anak


SINDO, 30 Agustus 2017
Saat ini orang tua bebas memilih sekolah untuk anak-anak mereka. Pilihannya sangat beragam:
negeri atau swasta, sekolah atau madrasah, pesantren atau sekolah berasrama, terakhir mahal, sedang,
atau murah. Setiap pilihan pasti mempertimbangkan banyak aspek, seperti keuangan, jarak tempuh,
dan mutu sekolah.

Masalahnya, apakah pengembangan bakat anak menjadi alasan utama pemilihan sekolah oleh
para orang tua? Karena tidak semua sekolah memfasilitasi pembinaan bakat anak, maka orang tua
harus cerdas memilih sekolah. Kecuali itu, setiap anak berhak mendapatkan bimbingan minat dan
bakatnya sejak di sekolah dasar.

Mereka juga harus bebas memilih jurusan (SMA dan PT) apa yang mereka senangi. Selama ini
orang tua terlalu mendikte anak-anak terkait pendidikan dan masa depan mereka. Misal, mengarahkan
anak untuk menjadi ASN padahal belum tentu sesuai dengan keinginan mereka. Akibatnya, anak-anak
tidak mandiri alias selalu tergantung kepada orang tua meski sudah sarjana.

Kemerdekaan Anak

Hakikat kemerdekaan anak adalah ketika mereka diberikan peluang oleh orang tua untuk maju
sesuai minat dan bakat mereka masing-masing. Orang tua tidak bisa sendirian tetapi perlu
bekerjasama dengan guru di sekolah. Karena itu sekolah yang baik adalah ia yang mampu
menemukan beragam bakat siswa (kecerdasan jamak) dan mengembangkannya sampai batas
maksimal.

Usaha ini tidak mudah sehingga memerlukan perencanaan yang matang. Pertama, ketersediaan
ekstrakurikuler yang beragam. Contoh hasil riset Puslitbang Penda (2017) tentang Kekhususan
Madrasah, di Madrasah Diniyyah Putri Lampung (DPL) terdapat 47 kegiatan ekstrakurikuler dari 11
bidang, mulai dari olahraga, seni, jurnalistik, bahasa, kesehatan, wirausaha, olimpiade, hingga
perfilman.

Kedua, pengadaan fasilitas penunjang ekstrakurikuler di sekolah. Pasti masalah klise sekolah
adalah ketiadaan dana dan lahan. Karena itu pemenuhan fasilitas ini harus direncanakan dengan baik
dan bertahap. Tidak perlu sekaligus semua terpenuhi seperti sekolah-sekolah yang mapan. Tidak juga
semuanya harus mahal. Siswi Madrasah DPL di atas mampu memanfaatkan ban bekas menjadi kursi,
drum bekas menjadi tempat sampah, dan kayu-kayu bekas menjadi kursi panjang, misalnya.

Ketiga, kesiapan pembina ekskul. Selain guru, sekolah bisa menunjuk siswa senior menjadi
pembina ekskul di sekolah. Sekolah juga bisa melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi sekitar
untuk pembinaan ekskul tertentu yang menjadi fokus PT. Siswi Madrasah DPL misalnya, berhasil
dalam bidang kewirausahaan, yaitu menanam sayur hidroponik, wirausaha bisnis sayur hidroponik,
dan mengelola keuangan hasil tanaman itu. Para siswi ini dilatih dan dibimbing oleh Komunitas
Petani Muda Lampung, yaitu para mahasiswa Universitas Lampung (UNILA) yang memiliki hobi
hidroponik.

Keempat, mengirim siswa ke berbagai perlombaan. Keberhasilan ekskul bisa diukur dari
prestasinya di level kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga internasional. Melalui perlombaan siswa
belajar banyak tentang karakter, seperti kedisiplinan, kerja keras, tanggung jawab, sportivitas, dan
fokus. Pada akhirnya, menang atau kalah bukan tujuan tetapi seberapa besar kecintaan dan kerja keras
mereka pada bakat yang mereka miliki.
Faktor kepala sekolah dan guru pembina sangat penting dalam mengasah kematangan bakat siswa
melalui perlombaan ini. Seperti yang dialami oleh banyak kepala madrasah se-Indonesia dalam Ajang
Kreasi Seni dan Olahraga Madrasah (Aksioma), 27-12 Agustus 2017 di UIN Yogyakarta. Meski
memerlukan dana tidak sedikit dan waktu yang mepet, mereka semangat mengirimkan siswa-siswi
untuk bertanding di level nasional demi pengembangan bakat-bakat siswa mereka.

Menutup Kemerdekaan

Dalam lingkungan yang kondusif, setiap anak akan bisa tumbuh sesuai bakat mereka masing-
masing. Inilah hakikat pendidikan yang tidak hanya menghargai kemampuan akademik siswa tetapi
juga mengakui kecerdasan siswa dalam bidang seni, olahraga, kepemimpinan, dan kewirausahaan.
Dengan demikian setiap anak akan bangga menjadi diri mereka masing-masing. Bukan dituntut pintar
sesuai keinginan guru atau orang tua.

Teori kecerdasan jamak baru sekedar dihafal guru, kepala sekolah, dan dosen tetapi minim
praktik. Ragam kecerdasan siswa banyak tidak tersentuh alias tidak berkembang karena sudah
dimatikan sejak di rumah, di sekolah, bahkan di perguruan tinggi. Kematangan individu tidak
ditentukan oleh lamanya pendidikan yang ditempuh. Keterampilan seseorang diperoleh justeru di luar
sekolah dan PT.

Alih-alih menjembatani kemerdekaan pilihan siswa terkait bakatnya masing-masing, sekolah dan
PT secara sadar malah menutup rapat kemerdekaan itu. Pertama, tidak banyak pilihan ekskul di
sekolah sehingga siswa dengan bakat olahraga atau seni tertentu tidak bisa berkembang apalagi
mengikuti lomba. Sebut saja sedikit sekali sekolah yang mengajarkan tataboga padahal bisa jadi ada
siswa yang hobi memasak atau membuat kue.

Sedikit sekolah yang bangga memamerkan keahlian siswa-siswinya dalam keterampilan bidang
olahraga, seni, tataboga, dan tatabusana. Kalah dengan gegap-gempita olimpiade sains dan selebrasi
hasil ujian nasional. Padahal setiap anak dilahirkan dengan membawa kecerdasan yang berbeda satu
sama lain. Dan hidup bahagia dan sukses itu ketika mereka kelak bekerja sesuai minat dan bakatnya.

Kedua, kebijakan PT terkait pengembangan bakat anak yang variatif lebih buruk daripada
sekolah. Banyak PT besar tidak memiliki fasilitas olahraga dan seni-budaya yang memadai bagi
tumbuhnya bakat-bakat mahasiswa di bidang tersebut. Kemajuan universitas hanya diukur dari
produktivitas penelitian khususnya banyaknya publikasi artikel dosen dan mahasiswa di jurnal
internasional dan nasional.

Prestasi-prestasi siswa di sekolah dalam bidang seni dan olahraga bisa jadi terhenti saat mereka
masuk ke universitas karena orientasinya lebih ke bidang akademik. Padahal tidak semua sarjana
ingin menjadi guru, dosen, widyaiswara, atau peneliti. Banyak dari sarjana yang memiliki bakat-bakat
tertentu tetapi tidak terasah dan terwadahi oleh kampus besar sekalipun. Apalagi mereka yang kuliah
di kampus-kampus kecil.

Diperlukan sosok pemimpin pendidikan yang berani menjawab tantangan ini dalam bentuk
kebijakan yang pro-pengembangan minat dan bakat anak yang bhineka. Sekolah dan kampus harus
memiliki sarana olahraga dan seni-budaya agar bakat-bakat individu tersalurkan dengan baik. Kita
sedang mendidik dan melatih manusia yang memiliki bakat dan minat yang heterogen. Mimpi mereka
tidak sama satu dengan yang lainnya. Sekolah dan universitas seharusnya menjadi taman bagi
tumbuh-kembang kecerdasan dan bakat anak, bukan menjadi penjara yang mematikan.
Mungkin terpikirkan oleh kepala sekolah dan rektor tentang wajah lembaga pendidikan seperti ini
tetapi mewujudkannya butuh banyak dukungan sumber daya manusia, alam, dan finansial sehingga
mereka memilih “diam”. Masalahnya, sampai kapan sekolah dan kampus kita seperti ini? Kita tunggu
saja kapan sejarah mengabarkan kelahiran pemimpin pendidikan yang memerdekakan pilihan siswa
atas minat dan bakat yang teranugerah buat mereka sejak lahir di bumi pertiwi ini.

# Memenjarakan Guru #
Majalah Suara Guru, Juli-Agustus 2016

Kasus orangtua murid memenjarakan guru marak terjadi akhir-akhir ini. Orangtua melaporkan
guru ke polisi, polisi memeriksa pelapor dan terlapor, lalu polisi memenjarakan guru. Seharusnya
polisi tidak mudah dan sembarangan memenjarakan guru, sebelum masalahnya benar-benar jelas.

Muhammad Arsal di Benteng Selayar ditahan karena memukul siswanya (7-27 April 2016,
diperpanjang sampai 12 Mei), Nurmayani Salam di Bantaeng Sulawesi Selatan ditahan karena
mencubit siswanya (12/5/2016), dan Mubasysyir di Sinjai Selatan ditahan karena menggunting
rambut siswanya (4/6/2015), sekedar menyebut beberapa contoh.

Merdeka Mendidik

Setiap sekolah memiliki tata tertib yang harus dipahami oleh orangtua dan siswa. Pelanggaran
terhadap tata tertib ada hukumannya, bahkan ketaatan terhadap tata tertib ada imbalannya. Tujuan tata
tertib adalah melatih siswa berperilaku baik di lingkungan sekolah dan di rumah. Guru bertindak
sebagai pengawas dan pemberi hadiah atau hukuman kepada siswa, yang taat atau yang
melanggarnya.

Demikianlah, tugas guru mendidik siswa dengan perilaku-perilaku baik, disamping mengajarkan
ilmu pengetahuan. Mendidik lebih sulit daripada mengajar, karena mendidik terkait merubah pikiran
dan kesadaran serta perilaku siswa, sedangkan mengajar terkait menambah pengetahuan.

Dengan demikian tugas guru tidaklah mudah, sama seperti yang dirasakan oleh para orangtua saat
mendidik anaknya di rumah. Tidak mudah karena setiap anak memiliki karakter berbeda dalam
menyikapi arahan untuk berperilaku baik. Jika orangtua pernah merasakan beratnya mendidik satu,
dua, atau tiga anak di rumah, bagaimana dengan seorang guru yang bertanggung jawab mendidik
puluhan siswa?

Memiliki siswa yang disiplin, bertanggung jawab, jujur, dan sopan-santun, tidaklah semudah
membalik telapak tangan. Guru harus selalu belajar, tekun, dan penuh kesabaran. Siswa yang datang
ke sekolah memiliki latar belakang keluarga yang berbeda-beda, seperti status ekonomi, budaya, dan
kondisi keluarga.
Perbedaan latar belakang keluarga tersebut melahirkan beragam karakter siswa, dan cara guru
dalam menghadapi setiap siswa. Dalam proses mendidik siswa di sekolah, guru bisa jadi melakukan
kesalahan kecil maupun besar sama seperti orangtua saat mendidik anak di rumah. Kesalahan itu
wajar karena mereka manusia bukan malaikat.

Setiap guru pasti menyesal manakala salah dalam cara mendidik siswa, demikian juga orangtua.
Penyesalan muncul karena mereka sesungguhnya menyayangi siswa, dan sadar bahwa tidak
seharusnya berbuat salah untuk tujuan yang baik. Tujuan yang baik harus dilakukan dengan cara-cara
yang baik.

Meski guru bisa salah, para guru perlu diberi kemerdekaan dalam menentukan cara mendidik
siswa di sekolah. Kesalahan guru dalam cara mendidik siswa bisa dikoreksi dengan cara-cara atau
jalan yang baik, dialog, bukan dengan memenjarakan mereka. Di mana hati nurani orangtua yang tega
memenjarakan guru yang telah mendidik anaknya?

Tanggung Jawab Bersama

Guru menghukum siswa karena siswa bersalah. Ada sebab dan akibat. Jenis hukuman siswa
berbeda-beda tergantung kebijakan sekolah. Hukuman yang dilarang di satu sekolah bisa jadi
diterapkan di sekolah lain. Cara guru menghukum atau mendidik siswa ditanggapi berbeda-beda oleh
setiap orangtua.

Menuntut akibat hukuman guru terhadap siswa boleh saja, tetapi jangan lupa memikirkan sebab
hukuman itu terjadi. Mengapa anak saya melanggar tata tertib? Jika rambut anak laki-lakinya panjang
mengapa orangtua membiarkan padahal sekolah melarang? Jika siswa kurang sopan santun di
sekolah, apakah di rumah juga sama? Apakah orangtua sudah mendidik anak dengan baik?

Anak-anak dan remaja, siswa sekolah itu sedang dalam proses pertumbuhan karakter. Sikapnya
tidak selalu sesuai dengan apa yang diharapkan oleh guru dan orangtua. Dalam mendidik siswa, guru
dan orangtua harus punya banyak strategi dan seribu kesabaran. Mendidik siswa adalah proses yang
tidak akan mudah, memerlukan waktu, mengharuskan pengorbanan, dan pasti melelahkan.

Oleh karena itu, penumbuhan karakter siswa adalah tanggung jawab bersama, orangtua dan guru.
Jika mereka bersatu dan bekerjasama serta saling memahami, maka tugas berat dan melelahkan itu
akan terasa ringan. Jika anak berhasil tumbuh menjadi anak yang baik, maka itu hasil kerja orangtua
dan guru. Demikian juga anak yang belum taat perintah merupakan tugas bersama untuk
menyadarkannya.

Solusi

Solusi terhadap kasus pemenjaraan guru sebagai berikut. Orangtua tidak terburu-buru melaporkan
guru ke polisi jika mendapati anaknya “terluka” atau mengadukan kesalahan guru. Orangtua bisa
datang ke sekolah untuk mendapatkan informasi dari guru. Menyikapi kesalahan guru—jika dianggap
salah—tidak dengan cara pandang seolah-olah guru adalah “orang lain” yang tidak ada apa-apa sama
sekali dengan orangtua.

Guru dan siswa punya ikatan yang kuat sebagai anak dan orangtua kedua. Guru mengajar dan
mendidik siswa hingga pintar dan “dewasa”. Egoisme orangtua jangan sampai seperti pepatah “air
susu dibalas dengan air tuba”. Saling memahami dan saling memaafkan antara keduanya seharusnya
menjadi kata kunci ketika kesalahan sudah terjadi.

Guru harus belajar dari kesalahan mendidik siswa. Guru harus lebih sabar dalam menghadapi
kesalahan siswa. Jangan kesalahan dibalas dengan kesalahan yang baru. Guru harus terus belajar
bagaimana menghadapi anak-anak yang tidak disiplin. Mendidik dengan cara-cara yang lemah-
lembut, meski kadang perlu tegas. Guru harus meningkatkan kompetensi kepribadian dan sosialnya.

Polisi tidak mudah memenjarakan guru. Hubungan guru dan siswa bukan hubungan biasa, di
mana guru bisa dengan mudah melakukan kekerasan kepada siswa. Di mana hati nurani polisi yang
memenjarakan guru karena mencukur rambut siswa atau mencubit siswa? Polisi tidak bisa hanya
bersandar pada hukum positif, mengabaikan proses dialog antara guru dan orangtua siswa.

Organisasi guru seperti PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), FGII (Federasi Guru
Independen Indoensia), IGI (Ikatan Guru Indonesia), atau FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia),
harus menjadi organisasi pelindung guru. PB PGRI misalnya, telah menandatangani MoU dengan
Kapolri bahwa guru yang melakukan pelanggaran profesi ditengahi oleh PGRI bersama Dewan
Kehormatan Guru (DKG).

Jika ada pengaduan dan kasus yang terkait dengan tugas guru, pihak kepolisian tidak akan serta
merta langsung memenjarakan guru tetapi menyerahkannya kepada PGRI. Jika orangtua berhasil
memenjarakan guru karena kesalahan kecil guru terhadap anak kesayangannya, apakah ini merupakan
cara tepat orangtua memberikan pendidikan keadilan kepada anak sekaligus guru?
BAB V

SISWA

# Menimbang Gawai #
Amanah, 02 Maret 2016

Hasil jajak pendapat Harian Kompas menunjukkan bahwa 64,9 persen masyarakat setuju siswa
dilarang membawa gawai ke sekolah, 33,7 persen tidak setuju, dan 1,4 persen tidak tahu/ tidak
menjawab. Ketika ditanya manfaat atau pengaruh gawai bagi siswa sekolah, 77,1 persen menjawab
berpengaruh negatif, 17,3 persen bermanfaat positif, dan 5,6 persen tidak tahu/ tidak menjawab.

Data tersebut tidak mengherankan karena dampak negatif gawai (telepon genggam dan tablet)
yang terhubung internet bagi anak-anak tidaklah ringan. Pertama, anak-anak mudah—sengaja atau
tidak—mengakses materi yang tidak layak dilihat, dibaca, atau ditonton. Tidak sedikit anak
melakukan kejahatan atau perilaku menyimpang setelah menonton film biru (dewasa) atau adegan
kekerasan.

Kedua, anak-anak bisa kecanduan bermain games offline maupun online. Pada umumnya anak-
anak menyukai games. Ketiga, anak-anak bisa kecanduan media sosial, seperti facebook, whatsapp,
line, dan bbm. Kegemaran pada media sosial tidak hanya menjangkiti remaja dan orangtua, tetapi juga
anak-anak.

Keempat, mengurangi komunikasi tatap muka siswa dengan siswa, dan siswa dengan guru. Siswa
lebih tertarik bermain gawai dibanding berinteraksi dengan teman sebaya atau guru, karena gawai
menyajikan banyak hal yang menarik mereka. Gawai memuat tulisan, games, musik, bahkan video.
Di depan gawai para siswa bisa “lupa waktu”.

Anak-anak mengisi sebagian waktunya bersama gawai hingga lupa shalat, mengaji, belajar,
membaca buku, dan bermain dengan teman. Seperti halnya menonton televisi, jika tidak dibatasi oleh
orangtua, gawai akan bahkan sudah merenggut “waktu emas” anak-anak kita. Akan tetapi, sampai
kapan kita melarang anak-anak membawa gawai ke sekolah? Kecuali sisi negatif di atas, gawai juga
memiliki sisi positif.

Pertama, gawai yang terhubung internet bisa digunakan untuk mencari informasi, saat belajar dan
mengerjakan tugas-tugas sekolah. Gawai mampu menyimpan kamus, kalkulator, e-book, dan segala
informasi yang dibutuhkan siswa—semua mata pelajaran dan semua ekstra kurikuler. Dalam hal ilmu
pengetahuan, gawai bisa menyimpan jutaan bahkan lebih halaman buku, jurnal, majalah, atau koran.

Berbeda dengan pengetahuan guru yang terbatas, pengetahuan gawai tidak terbatas. Guru bisa
lupa dan salah, tetapi gawai tidak pernah lupa dan tidak pernah salah. Guru tidak bisa menjawab soal
semua bidang, tetapi gawai bisa. Tanpa perlu bersusah-payah, siswa bisa mendapatkan jawaban hanya
dalam hitungan detik melalui alat atau mesin pencari google (googling).

Gawai juga berisi banyak tutorial keterampilan, di mana siswa bisa belajar secara autodidak.
Ketika siswa mendapat tugas membuat kerajinan tertentu, ia bisa belajar dari YouTube. Belajar
keterampilan tertentu bisa dilakukan di mana saja, dan kapan saja, tanpa (selalu harus) menghadirkan
seorang guru atau pelatih di hadapan siswa.
Meski sekolah melarang siswa membawa gawai ke sekolah, faktanya banyak siswa bergawai di
rumah. Siswa SD sekalipun sudah tidak asing dengan gawai, bahkan lebih mahir dibanding orangtua
mereka. Gawai sudah menjadi kebutuhan dan bagian hidup anak-anak, baik untuk komunikasi,
bermain games, maupun belajar. Gawai sudah menjadi sumber dan media belajar yang efektif dan
efisien.

Sudah saatnya belajar-mengajar di sekolah memanfaatkan kecanggihan gawai, agar anak-anak


melek literasi digital. Gawai di sekolah dibutuhkan untuk menunjang pembelajaran, namun perlu
pengaturan ketat agar siswa terhindar dari dampak negatif gawai. Kecuali pembatasan waktu
pemakaian, guru dan staf mengawasi siswa saat memakai gawai. Edukasi literasi digital bisa
dilaksanakan secara berkala dan sungguh-sungguh. Peran guru adalah membentuk sikap siswa yang
mampu memanfaatkan gawai untuk pengembangan ilmu dan prestasi, bukan menjadi korban
kemajuan teknologi.

# Pendidikan Anak Kalijodo #


Jejen Musfah, 2016

Dampak penertiban warga Kalijodo bukan semata tentang hilangnya dimensi ekonomi, prostitusi,
“budaya”, akan tetapi juga pendidikan anak dalam arti yang luas. Relokasi warga Kalijodo yang
dinilai banyak kalangan sangat terburu-buru menyisakan pekerjaan rumah, khususnya bidang
pendidikan, bagi pemerintah daerah, dinas pendidikan, dan beberapa kementerian terkait.

Pertama, ragam aspek terkait sekolah anak. Rumah baru mereka yang disiapkan pemerintah atau
pilihan mereka sendiri belum tentu dekat dengan sekolah anak-anak mereka saat ini. Jika jarak antara
rumah dan sekolah jauh atau tidak mudah dijangkau, maka mereka akan terpaksa memindahkan anak-
anak mereka ke sekolah baru.

Tidak mudah bagi anak-anak hidup dalam lingkungan baru. Mereka tidak saja harus
menyesuaikan diri dengan teman-teman baru di lingkungan rumah, tetapi juga di sekolah. Beban
psikologis anak-anak ini akan memengaruhi proses belajar-mengajar di sekolah, di rumah, dan di
lingkungan baru mereka. Masalah pendidikan anak-anak Kalijodo akan lebih rumit jika mereka tidak
mendapatkan rumah baru, sebagaimana dijanjikan pemerintah.

Jika tidak mempunyai pekerjaan baru, sampai kapan mereka bertahan mampu membiayai
pendidikan anak-anak? Jika pemerintah gagal dalam memberikan lapangan kerja baru atau mereka
tidak mau bekerja, maka angka putus sekolah anak-anak mantan warga Kalijodo kemungkinan akan
tinggi. Akibatnya, akan semakin banyak anak-anak usia sekolah bekerja di jalanan sebagai pengamen,
penjaja makanan, dan badut tokoh kartun yang menari.

Kedua, relokasi atau alih fungsi lahan ala Ahok yang menurunkan 3000 aparat TNI, Polri, dan
Satpol PP itu berpotensi meninggalkan trauma bagi anak-anak dan remaja, bahkan mungkin orang
dewasa warga Kalijodo. Mengantisipasi penolakan warga dan preman kakap yang bisa berujung
kerusahan dan korban tidak harus dengan cara menurunkan aparat bersenjata lengkap seperti di atas.
Sepanjang dilakukan serius, dialog-damai bersama warga, preman, dan pengusaha tetap merupakan
pilihan yang seharusnya diambil Ahok dan jajarannya.
Oleh karena itu, langkah berikut perlu dipertimbangkan. Pertama, dinas pendidikan berkordinasi
dengan kepala sekolah dalam hal terjadinya perpindahan sekolah anak-anak Kalijodo. Kecuali syarat
administratif yang dipermudah, biaya perpindahan siswa juga sebaiknya dihapuskan atau dibayar
negara melalui Pemda. Pendataan sejak dini berapa siswa akan pindah ke mana mutlak diperlukan
agar relokasi Kalijodo tidak menganggu pendididikan anak-anak.

Kedua, Pemda, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan Kementerian Sosial,
berkordinasi seputar rumah dan pekerjaan warga Kalijodo. Rumah dan pekerjaan baru selain PSK
akan menjamin bahwa anak-anak tidak mengalami kendala biaya dalam pendidikan mereka. Pilihan
pekerjaan harus dibuka dan disiapkan bagi mereka, terutama agar mereka tidak kembali menjadi PSK
di tempat yang baru.

Selain Kalijodo, masih banyak tempat prostitusi lain di Jakarta. Keberhasilan alih fungsi Kalijodo
menjadi Ruang Terbuka Hijau di antaranya, jika para PSK memilih pekerjaan baru karena kesadaran
sendiri—bukan terpaksa atau dipaksa. Pekerjaan baru belum tentu menghasilkan upah sebesar dan
“semudah” menjadi PSK, diperlukan pendampingan agar mereka ajeg dalam jalan hidup baru mereka
yang lebih mulia.

Ketiga, Pemda, Kemensos, Kemendikbud, dan Kemenag bekerjasama dalam hal pendampingan
anak dan orangtua. Pendampingan anak untuk memastikan bahwa mereka tidak mengalami trauma
dan mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan baru mereka. Selain teman-teman yang baru
dikenal, respon warga lama (Rusunawa misalnya) terhadap kedatangan mereka bisa jadi beragam.
Menerima mereka (mantan PSK) dengan hati lapang di satu sisi, dan yang menolak dan/ atau
menerima tapi tidak suka pada sisi yang lain. Respon negatif terhadap mereka dari warga lama harus
menjadi perhatian bersama, sehingga tidak menimbulkan benturan horizontal.

Pendampingan orangtua untuk memastikan bahwa mereka tidak terjerumus ke dalam dunia
malam lagi, karena sudah terbiasa dengan “limpahan” uang, kenikmatan, dan gaya hidup yang “di atas
rata-rata”. Perlu disadarkan bahwa profesi orangtua sebagai PSK sangat bertentangan dengan upaya
pembentukan anak-anak berkarakter, yang menjadi tujuan dari sekolah dan pendidikan.

Disadari atau tidak, anak-anak akan merasa minder di hadapan teman-teman mereka di sekolah
dan di lingkungan rumah, dengan status orangtua mereka sebagai PSK. Mereka juga akan merasa
dilema saat belajar di kelas, di mana setiap materi pelajaran dan guru mengajarkan hal-hal yang baik.
Pengajaran dan pendidikan orangtua seperti mereka tidak akan efektif karena inti dari mengubah
perilaku adalah contoh atau teladan yang baik. Inilah mungkin yang tidak didapatkan oleh anak-anak
PSK Kalijodo selama ini, dan menjadi tugas pihak-pihak terkait di atas.

Akhirul kalam, jika pemerintah berhasil mengelola pendidikan anak-anak Kalijodo dengan baik
pasca penertiban, maka penutupan Kalijodo bukan sekedar menghilangkan prostitusi tapi membuka
harapan hidup yang lebih baik. Prostitusi Kalijodo segera akan menjadi kenangan, anak-anak akan
menjalani hidup di sekolah, rumah, dan lingkungan baru yang lebih menjajikan pembentukan karakter
baik. Semoga hal ini terpikirkan oleh pemerintah, dan prosesnya berjalan baik, sehingga anak-anak
Kalijodo tumbuh di lingkungan yang lebih baik dari sebelumnya. Jika tidak, anak-anak bukan hanya
kehilangan Kalijodo, tapi juga masa depan yang lebih baik.
BAB VI

KARAKTER

# Menjual Kecerdasan Instan #


Majalah Suara Guru, Mei-Juni 2016

Menjelang seleksi siswa dan mahasiswa baru, sebagian siswa dari keluarga menengah-kaya
mengikuti bimbingan belajar agar bisa masuk sekolah atau kampus favorit. Persaingan ketika masuk
sekolah atau Perguruan Tinggi (PT) memicu orangtua untuk menyiapkan anak mereka dengan sebaik
mungkin. Kebutuhan orangtua tersebut ditangkap jeli oleh pemilik modal dengan mendirikan bimbel.
Memiliki guru yang kompeten, buku latihan soal, kelas yang kondusif, dan mungkin jurus sakti
tertentu, pengelola bimbel menjamin kelulusan siswanya, baik ujian nasional, tes masuk sekolah,
maupun tes masuk kampus ternama. Jika tidak lulus, uang kembali—tentu dengan tanda bintang kecil.
Orangtua kaya mana yang tidak tergiur dengan janji manis seperti ini.
Berkembangnya bimbel menunjukkan bahwa mereka berhasil melahirkan generasi penjawab soal-
soal ujian masuk sekolah dan kampus dengan cara yang instan. Dalam hal menjawab soal pilihan
ganda, model pembelajaran bimbel lebih efektif daripada pembelajaran di sekolah. Kelebihan bimbel
lainnya adalah siswa bisa fokus pada mata pelajaran tertentu saja, sementara di sekolah siswa belajar
banyak mata pelajaran.

Orientasi Akademik
Fenomena bimbel bisa dipahami dari beberapa hal berikut. Pertama, siswa harus bisa menjawab
soal secara tertulis untuk bisa diterima di sekolah dan kampus favorit. Tidak peduli siswa suka atau
tidak belajar di sekolah tertentu, atau cocok atau tidak belajar di Prodi tertentu, asal bisa mengisi soal,
ia akan diterima. Yang diukur kemampuan akademik siswa bukan minat dan bakatnya. Sistem seleksi
masuk sekolah dan PT hanya fokus pada aspek akademik, menafikan aspek kecerdasan jamak, yaitu
bakat setiap anak yang beragam.
Kedua, guru tidak berhasil membuat siswa percaya diri dengan kemampuan akademik mereka.
Siswa minder mengikuti tes tanpa mengikuti bimbel. Guru juga tidak berhasil dalam pembelajaran di
kelas. Meski nilai rapot siswa sesuai atau di atas kriteria ketuntasan minimal, belum tentu siswa
menguasai materi pelajaran.
Bimbel menjelaskan kepada kita dua hal, siswa tidak menguasai materi-materi pelajaran di
sekolah pada satu sisi, dan soal-soal seleksi masuk sekolah atau kampus berbeda dengan apa yang
dipelajari siswa di sekolah pada sisi yang lain. Apakah yang pertama atau yang kedua yang benar,
sudah saatnya guru dan pembuat soal seleksi memperbaiki kinerjanya masing-masing. Perkembangan
bimbel adalah bukti kegagalan pembelajaran (guru) di sekolah.
Ketiga, orangtua sangat ingin anaknya masuk sekolah dan kampus favorit sehingga mereka rela
mengeluarkan dana untuk bimbel. Hanya orangtua kaya yang mengikutkan anaknya bimbel karena
biayanya tidak murah, sekitar 2 hingga 10,5 juta rupiah. Biaya sebesar itu tidak bisa dijangkau oleh
anak-anak berbakat dari keluarga miskin.
Jika sistem pendidikan kita bisa “dibeli” oleh kecerdasan instan hasil bimbel yang mahal itu
(bukan oleh pengajaran guru), maka sekolah atau kampus yang bagus hanya milik mereka yang kaya.
Anak-anak miskin yang kemampuan akademiknya sedang-sedang saja tidak mendapatkan tempat di
sekolah dan kampus bonafid. Telah lama, sekolah dan PT favorit merekrut siswa yang tidak hanya
cerdas tapi juga kaya.

Kecerdasan Jamak
Membubarkan bimbel tentu saja bukan tindakan yang baik dan melawan hukum. Bimbel akan
terus tumbuh selama pembelajaran di sekolah gagal mencapai tujuannya. Justru, guru seharusnya bisa
belajar dari model pembelajaran bimbel, selama sistem penerimaan siswa dan mahasiswa baru lebih
mengutamakan akademik. Guru dan orangtua harus me-review pembelajaran di sekolah, yang telah
gagal mengalihkan pengetahuan kepada siswa.
Pertama, penerimaan siswa dan mahasiswa baru mempertimbangkan prestasi akademik dan non-
akademik. Dengan demikian, guru dan orangtua tidak hanya fokus pada akademik siswa, tapi juga
bakat-bakat mereka. Pengabaian kemampuan non-akademik siswa dalam seleksi siswa atau
mahasiswa, menunjukkan bahwa sekolah dan kampus mengerdilkan makna pendidikan dan proses
pendidikan, yang tidak hanya mengembangkan pengetahuan siswa, tapi juga spiritual, sosial, dan
keterampilan mereka.

Perubahan sistem itu mendesak karena sudah terang-benderang bahwa, kesuksesan belajar,
bekerja, bahkan hidup tidak hanya dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual, tapi juga kecerdasan
emosional, sosial, dan spiritual. Kecuali itu, bakat anak tidak hanya dalam bidang akademik, tapi juga
non-akademik, seperti sepak bola, bulu tangkis, berenang, menari, qori, menyanyi, dan lain
sebagainya.

Kedua, meningkatkan kompetensi guru, sehingga pembelajaran berlangsung efektif. Guru


kompeten akan melahirkan banyak siswa yang pintar, bahkan melebihi kemampuan gurunya. Guru
harus sabar dalam mengajar. Ia tidak berhenti atau menyerah sebelum para siswa memahami suatu
materi. Meski sibuk dan sudah berpengalaman, guru tidak boleh berhenti belajar hal-hal baru melalui
media apa pun.

Dengan demikian, siswa yang akan melanjutkan sekolah dan PT merasa cukup mampu mengikuti
ujian masuk tanpa bimbel karena pembelajaran di sekolah sudah cukup baik. Kenyataannya, meski
sekolah dari pagi hari hingga siang atau sore hari, siswa tetap harus bimbel atau memanggil guru
privat agar lulus seleksi siswa baru atau mahasiswa baru.

Ketiga, orangtua harus mengenali bakat anak, baik akademik maupun non-akademik. Orangtua
tidak boleh memaksa anak belajar terlalu keras hingga mereka kehilangan waktu bermain. Kecerdasan
tumbuh secara bertahap dan secara alamiah melalui belajar yang berkelanjutan. Dengan demikian,
pencapaian prestasi non-akademik sama pentingnya dengan prestasi akademik. Jika anak tidak
menonjol dalam bidang akademik, mungkin saja ia memiliki kelebihan dalam bidang non-akademik.

Orangtua perlu mengetahui seandainya bimbel menjadi beban berat anak karena jadwal belajar
yang padat sehingga mereka tidak punya waktu bermain dan beristirahat. Rajin belajar merupakan
kunci sukses, tapi harus diimbangi aktivitas lain yang disukai siswa dan dapat mengembangkan bakat
non-akademik mereka.

Setiap anak itu istimewa. Orangtua jangan khawatir jika anaknya tidak masuk sepuluh besar di
kelas, tidak masuk sekolah model, tidak masuk kampus beken, dan tidak giat belajar. Menjadi pintar
dan dewasa memerlukan proses panjang dan berliku, sehingga pendidik (guru dan orangtua) harus
sabar dan terus berdoa dalam masa menunggu itu.
Ikut-tidak ikut bimbel adalah pilihan kita masing-masing. Pelibatan anak sangat penting dalam
memilih bimbel atau tidak. Selama sekolah dan kampus hanya berorientasi pada nilai akademik,
mereka akan terus menjual kecerdasan instan. Kecerdasan akademik. Kecerdasan benar-salah. Sebuah
kecerdasan tingkat rendah yang tidak berhasil ditunaikan oleh guru. Apakah mereka yang cerdas
secara akademik adalah juga orang-orang yang kreatif, inovatif, dan tahan banting?

Bimbel UN Dinilai Mendistorsi Makna Pendidikan

20 Desember 2016
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah memutuskan untuk melanjutkan
pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang selama ini menjadi momok bagi para siswa. Jelang UN,
sejumlah sekolah biasanya memfasilitasi siswa-siswanya dengan tambahan pelajaran yang
dibimbing guru atau tutor khusus dari lembaga-lembaga bimbingan belajar (Bimbel).

Pakar pendidikan Jejen Musfah mengatakan, keberadaan bimbel sebenarnya bertolak belakang
dengan makna pendidikan. "Istilahnya mendistorsi makna pendidikan itu sendiri," ujar pakar dari
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah tersebut, saat dihubungi Republika.co.id, Selasa
(20/12).
Dia menjelaskan, pendidikan idealnya mengembangkan tiga aspek, yakni sikap, psikomotor dan
kognitif. Adapun bimbel jelang UN yang melatih siswa untuk menjawab soal-soal hanya untuk
memenuhi aspek kognitif.

Namun begitu, Jejen menilai, tak ada yang salah dengan ujian nasional. Yang salah adalah jika
sekolah, guru atau siswa menggunakan cara-cara tidak jujur demi kelulusan ujian. "Jangan sampai
guru mendorong siswa mencapai hasil bagus tapi dengan cara-cara yang tidak jujur," ujar Tim Ahli
PGRI tersebut.

Ia juga mengimbau para guru untuk tetap memberikan pembelajaran yang inspiratif dan
berorientasi pada pemenuhan tiga aspek pendidikan. Dengan begitu, siswa akan mencintai sekolah
dan belajar dengan kesadaran, bukan karena tuntutan UN.

# Mewujudkan Generasi Penyintas #


Jawa Pos, 24 Maret 2017

Masyarakat Indonesia dikejutkan oleh tayangan langsung aksi bunuh diri di Facebook. Menurut
data WHO Tahun 2005 sedikitnya 30 ribu kasus bunuh diri di Indonesia setiap tahunnya. Artinya rata-
rata ada 82 orang Indonesia bunuh diri per harinya. Kelompok usia paling banyak bunuh diri adalah
usia 15 hingga 24 tahun.
Bunuh diri menjadi penyebab kematian nomor dua untuk usia 15 hingga 29 tahun. Menurut data
WHO, setiap 40 detik ada satu orang yang meninggal karena bunuh diri. Rasionya 11,4 per 100 ribu
populasi. Masih menurut data WHO pada 2012, angka bunuh diri mencapai 4,3 per 100 ribu populasi,
meningkat dari 2010 yang sekitar 1,8 per 100 ribu jiwa atau sekitar 5.000 0rang per tahun.
Bunuh diri itu berbahaya karena menular. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkannya
sebagai krisis global. Setiap satu orang bunuh diri, akan muncul lebih dari 20 percobaan bunuh diri
lainnya. Karena itu, pencegahan warga negara yang ingin bunuh diri harus segera dilakukan, di
antaranya melalui pendidikan agama di sekolah.

Iman

Bunuh diri terjadi karena stres. Setiap orang mengalami stres karena sesuatu terjadi tidak sesuai
keinginannya. Semua orang membutuhkan makan, minum, kasih sayang, rasa aman, penghargaan,
dan aktualisasi diri. Kenyataannya tidak semua orang mendapatkan semua yang dibutuhkan dan
diinginkannya. Maka, timbullah stres. Semua orang memiliki masalah tetapi setiap orang berbeda cara
menghadapinya.

Iman adalah kunci manusia agar tidak stres berkepanjangan dan tidak berakibat fatal. Tepat sudah
tujuan utama pendidikan adalah membentuk manusia beriman dan berakhlak mulia. Iman kepada
Tuhan akan menjadikan manusia tegar menghadapi segala masalah, besar maupun kecil. Manusia
percaya Tuhan Maha Penolong, Maha Penyayang, Maha Pemberi Rezeki, dan tempat bersandar.
Pelajaran agama sejak SD, SMP, hingga SMA mengajarkan siapa dan sifat-sifat Tuhan di atas.
Iman kepada Tuhan adalah kunci kebahagiaan menjalani hidup meskipun berat. Iman penting karena
meskipun manusia itu terlihat kuat, tetapi sesungguhnya ia makhluk yang lemah. Kepercayaan akan
Tuhanlah yang menjadikannya kuat bahkan sangat kuat.
Pendidikan menanamkan iman dalam jiwa peserta didik. Caranya menjalankan setiap ritual yang
diperintah-Nya, seperti tertulis dalam kitab suci. Maka, iman bukan hanya di mulut tetapi dalam
perbuatan nyata. Seorang yang beriman menjalankan apa yang diperintahkan Tuhan dalam kitab suci.
Jika tidak, hidup manusia akan dinaungi kemarahan, kebencian, putus asa, sedih, keburukan, bahkan
bunuh diri. Hidup memerlukan kitab suci, kalam Tuhan, sebagai kompas (way of life), agar manusia
kuat dan bahagia menjalani hidup hingga akhir.

Akhlak Mulia

Akhlak atau sikap merupakan cermin iman. Iman yang baik memantulkan sikap sabar, syukur,
ikhlas, pemaaf, dan jauh dari sikap dendam, marah, benci, iri, dengki, dan putus asa. Orang beriman
akan terhindar dari sikap buruk seperti bunuh diri. Jiwanya kuat menghadapi segala macam cobaan,
karena punya sandaran Tuhan. Apa pun yang terjadi bukan tanda Tuhan meninggalkannya tetapi
sebaliknya Tuhan menyayanginya. Ada hikmah di balik semua yang menimpa manusia.

Angka bunuh diri di Indonesia sangat tinggi, maka pendidikan agama di sekolah perlu dievaluasi.
Pendidikan seharusnya melahirkan manusia yang tabah menghadapi ujian. Bisa jadi, pendidikan
agama lebih menekankan hafalan daripada praktik keagamaan. Iman yang dihafal melahirkan
pengetahuan tetapi iman yang dipraktikkan melahirkan akhlak atau perilaku terpuji.
Iman di sekolah bukan sekedar tertulis dalam buku dan pamplet, dan bukan ucapan guru di kelas
dan saat upacara tetapi perilaku santun, disiplin, saling menghormati, menghargai, giat belajar, gotong
royong, saling menolong, dan percaya diri. Iman seperti inilah yang harus dimiliki peserta didik
hingga besar.
Guru tidak bisa sendirian menanamkan iman kepada siswa. Orang tua juga harus menjadi imam
dalam membimbing anak menjalankan setiap perintah Tuhan. Ritual keagamaan harus dijalankan
bersama dan dipupuk sejak dini di rumah. Keluarga dan rumah yang dipenuhi iman akan melahirkan
generasi peyintas (survivor). Mereka bisa menjadi penyintas karena memiliki sandaran yang paling
kokoh di dunia ini yaitu Tuhan. Sandaran selain Tuhan bersifat rapuh dan sementara.
Maka cara menghambat laju bunuh diri yang tinggi di Indonesia adalah dengan mengevaluasi
pendekatan pendidikan agama di sekolah dan keluarga. Pendidikan agama yang tidak hanya
verbalistik, tetapi ritual sekaligus membumikan nilai-nilai keimanan dalam kehidupan nyata. Nilai itu
harus diajarkan sejak dini kepada anak didik sehingga menjadi perilaku yang melekat kuat sampai
remaja dan dewasa.
Penanaman iman di sekolah dan rumah perlu dipupuk dengan perhatian dan kasih sayang guru
dan orang tua terhadap anak, yang tulus dan tanpa batas. Dengan demikian, bangsa ini akan memiliki
generasi penyintas yang menularkan ketangguhan dan keutamaan hidup, bukan mudah tertular virus
bunuh diri.

# Wajah Ganda Rohis #


Majalah Suara Guru, Edisi Kelima, September-Oktober 2017

Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin (LHS) mengingatkan kepala sekolah dan guru untuk
mengawasi kegiatan Rohani Islam (Rohis) di sekolah. Pernyataan ini mendapat banyak tanggapan
pro-kontra dari masyarakat, tokoh agama, dan anggota DPR. Bagi mereka yang kontra, pandangan
LHS tendensius karena selama ini Rohis punya citra positif. Bahkan ada yang menyimpulkan bahwa
pemerintahan Jokowi phobia Islam.

Bisa jadi sikap LHS itu muncul karena dua faktor. Pertama, hasil riset Wahid Foundation
terhadap 1.626 pengurus Rohis pada 2-6 Mei 2016 berjudul Potensi Radikalisme di Kalangan Aktivis
Rohani Islam Sekolah-sekolah Negeri. Data menunjukkan pandangan dan sikap pengurus Rohis
terhadap isu-isu pidana dan politik Islam sebagai berikut.

Mendukung ide kekhalifahan (78 persen), setuju orang murtad dibunuh (17 persen), orang berzina
dirajam (62 persen), dan hukuman potong tangan bagi pencuri (51 persen). Para responden juga
sangat sering dan sering mendengar materi pengajian yang cenderung radikal (20 persen). Mereka
yang menolak ucapan selamat hari raya sebanyak 60 persen. Ketika ditanya siapa pemateri pengajian,
50 persen menjawab guru agama.

Kedua, beberapa hasil riset menunjukkan radikalisme sudah masuk ke sekolah bahkan perguruan
tinggi, di antaranya melalui buku pelajaran. Meski tidak langsung terkait Rohis, langkah antisipatif
dianggap perlu. Tesis Hasniyati berjudul Analisis Muatan Radikalisme dalam Buku Teks PAI SMA di
Program Magister PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2016) menyimpulkan sebagai berikut.

Nilai radikalisme dalam buku teks terbitan Kemdikbud, Erlangga, dan Yudistira ialah memiliki
stigma negatif terhadap kelompok agama yang berbeda, membid’ahkan pandangan yang berbeda dan
memonopoli kebenaran, mengusung khilafah islamiyah, menolak demokrasi, dan memiliki stigma
negatif terhadap Barat. Akan tetapi, buku teks tersebut juga mengandung nilai toleransi dan
demokrasi.
Dua temuan riset ini cukup untuk menunjukkan potensi radikalisme di kalangan siswa. Hal ini
perlu diwaspadai dan dicegah bersama-sama agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar di
masa depan. Karena itu, menyikapi himbauan LHS harus dengan kaca mata positif. Bahwa potensi
radikalisme jangan sampai tumbuh dan berkembang di kalangan siswa. Apalagi sampai menjadi
keyakinan tunggal sehingga mereka tidak toleran, rela mati, dan membunuh sesama.

Anak Baik

Kecuali menyimpan potensi bara radikalisme, Rohis sesungguhnya telah membuktikan banyak
hal positif terutama dalam pengamalan ajaran Islam. Pertama, Rohis adalah anak baik yang taat
agama, baik hubungan dengan Allah juga pada sesama. Mereka adalah siswa-siswi yang taat tata
tertib sekolah, aktif membantu kegiatan keagamaan di sekolah, rajin ibadah, dan rutin melakukan
kajian keislaman. Mereka menjadi teladan bagi siswa-siswi lainnya dalam hal perilaku positif.

Kondisi ini tentu sangat kondusif bagi sekolah untuk pengajaran dan pendidikan yang efektif.
Mayoritas siswa taat dan patuh tata tertib bahkan memiliki etos belajar yang tinggi. Rohis punya
peran melahirkan siswa yang tidak hanya taat kepada Sang Pencipta tetapi juga bagaimana agar
menjadi insan berprestasi dan bermanfaat bagi orang lain.

Guru tidak perlu teriak agar siswa patuh karena mereka belajar karena kemauan sendiri. Tidak
terjadi hukuman di sekolah karena tidak ada peraturan yang dilanggar. Siswa sadar berbuat baik
mendatangkan kebahagiaan sedangkan perbuatan melanggar aturan melahirkan kesedihan dan
penyesalan. Sosok teladan di sekolah bukan hanya guru dan kepala sekolah tetapi siswa Rohis—
teman sejawat para siswa.

Bisa jadi kebaikan siswa lebih efektif dan mudah ditiru oleh siswa lainnya tinimbang kebaikan
guru. Sekolah yang memiliki Rohis menjadikannya seperti madrasah dalam hal penguatan dan
pengamalan ritual dan nilai keagamaan. Atmosfir religiusitas sekolah yang ada Rohisnya hampir sama
dengan madrasah. Bisa jadi anak-anak Rohis lebih saleh daripada anak-anak madrasah.

Kedua, anak Rohis adalah penyejuk mata orang tua. Sumbangan berharga Rohis terhadap orang
tua dan guru adalah mengajarkan pengetahuan agama sekaligus mengamalkan ajaran agama secara
konsisten. Siswa yang taat menjalankan perintah agama sudah pasti menjadi anak yang baik karena
agama adalah sumber nilai-nilai kebaikan.

Tanggung jawab orang tua sebagai pendidik sebagiannya telah berhasil dipikul oleh Rohis di
sekolah. Orang tua mana yang tidak bahagia melihat anaknya berperilaku sopan, patuh, rajin salat,
dan rajin mengaji? Tidak jarang anak Rohis yang mengingatkan orang tuanya untuk salat tepat waktu.
Anak yang mengingatkan orang tua, bukan sebaliknya.

Maka keberadaan Rohis sangat penting bagi pembentukan karakter siswa. Hal ini sejalan dengan
program pemerintah tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) di sekolah. Pengawasan Rohis
seperti dimaksud Menteri Agama tentu maksudnya pelurusan paham-paham keagamaan yang radikal
menuju Islam yang rahmatan lil’alamin. Islam yang memberikan kebaikan kepada semua penduduk
bumi.

Oleh karena itu, langkah pertama yang harus diambil pemerintah adalah mengenali pemahaman
keagamaan guru-guru PAI di sekolah sebagai narasumber pengajian Rohis. Mereka yang terbukti
berpaham menyimpang harus diluruskan atau jika menolak diberhentikan. Demikian juga buku-buku
PAI di sekolah harus dinilai isinya agar guru dan siswa bebas dari materi radikalisme.
Kementerian agama harus punya tim khusus yang bekerja menilai guru PAI dan buku PAI
tersebut agar siswa belajar Islam yang lurus. Ancaman terorisme begitu nyata. Benih radikalisme di
sekolah harus dicabut sampai ke akarnya. Jangan berikan peluang sedikit pun bagi tumbuhnya
ekstrimisme dan radikalisme di sekolah. Rohis adalah wadah pembentukan karakter berbasis agama
yang efektif, tetapi berpeluang melahirkan muslim garis keras.

# Regenerasi Cendekiawan Muslim #


Koran Amanah, Makassar, 15 November 2017

Kementerian agama sukses menggelar acara Halaqah Ulama ASEAN 2017 dengan tema
Memperkuat Daya Saing Lembaga Pendidikan Islam ASEAN, di Jakarta, Hotel Sari Pan Pacific, 17-19
Oktober 2017. Kegiatan ini dibuka Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin.

Selain pembicara dari tokoh lokal seperti Azyumardi Azra, panitia juga mendatangkan pembicara
dari Thailand, Malaysia, Singapura, dan USA. Lembaga pendidikan Islam Indonesia telah melahirkan
banyak tokoh kaliber internasional, tetapi dirasa cukup lamban dan berhenti sampai pada tokoh-tokoh
tertentu yang saat ini sudah wafat dan mulai menua.

Sekedar menyebut contoh, setelah Syekh Nawawi Al-Bantani, Hamka, Harun Nasution, Gus Dur,
Nurcholish Majid, Azyumardi Azra, Hasyim Muzadi, Sahal Mahfuz, KH Ma’ruf Amin, Din
Syamsudin, Syafi’i Maarif, Komaruddin Hidayat, dan Quraish Shihab, belum terlihat tokoh penerus
cendekiawan muslim yang pemikirannya mewarnai khazanah keilmuan Islam Indonesia maupun
dunia.

Meski peran pendidikan Islam seperti pesantren tidak bisa dinafikan, tetapi bisa jadi kelahiran
tokoh-tokoh muslim Indonesia itu bukan by design pendidikan Islam tetapi pengaruh pendidikan Barat
dan Timur Tengah (tempat mereka kuliah S2 dan S3), yang dikenal memiliki tradisi kuat dalam sistem
pembelajaran dan risetnya.

Kebuntuan regenerasi tokoh-tokoh cendekiawan muslim bisa diatasi dengan strategi berikut.
Pertama, kesinambungan kurikulum pesantren dan madrasah dengan kurikulum Prodi keagamaan di
perguruan tinggi Islam umumnya, dan Universitas Islam Negeri (UIN) khususnya. Misal, pendalaman
materi keagamaan harus sampai pada level pakar, tidak setengah-setengah. Didukung pula oleh
kemampuan bahasa asing siswa dan mahasiswa yang tidak hanya pada level membaca, bicara, dan
mendengar tetapi juga menulis.

Dengan demikian diharapkan lahir kiyai dan cendekiawan yang tidak hanya pandai membacakan
dan menerjemahkan kitab-kitab kuning tetapi melahirkan karya-karya baru yang isi dan analisisnya
sesuai dengan konteks zaman abad 21 ini. Jangankan karya dalam bahasa Arab dan Inggris, karya
ulama Indonesia dalam bahasa sendiri masih sangat langka. Dampaknya, peneliti mengalami kendala
pada saat akan mengkaji pemikiran tokoh-tokoh muslim yang berjasa dalam pengembangan
pendidikan Islam.

Di sisi lain, melahirkan kader ulama yang mampu menulis menjadi tantangan sekaligus peluang
bagi lembaga pendidikan Islam semisal Madrasah Diniyyah dan Ma’had ‘Ali. Kurikulum kedua
lembaga ini adalah kajian kitab-kitab kuning, yang dipertajam dengan penguatan metodologi
penelitian.
Kedua, kesinambungan kurikulum madrasah dengan kurikulum Prodi umum di UIN. Madrasah
identik dengan kurikulum keagamaan, tetapi tidak sekuat di pesantren, sehingga bisa dikatakan
“nanggung”. Karena menambah mata pelajaran keagamaan, umumnya keluaran madrasah juga lemah
dalam penguasaan mata pelajaran umum. Kalah dibanding keluaran sekolah.

Karena itu, kurikulum madrasah model dan MAN Insan Cendekia misalnya, saatnya didesain
untuk melahirkan calon peneliti di bidang sains. Meski memiliki keunggulan dalam penguasaan ilmu
keagamaan, beberapa alumni madrasah terbukti mampu menunjukkan prestasi dalam bidang sains.
Madrasah tertentu sudah memiliki ekskul olimpiade sains sehingga menyiapkan siswa dengan baik
untuk mengikuti lomba-lomba sains tingkat kabupaten/ kota, provinsi, nasional, hingga internasional.
Para siswa berprestasi ini bisa dijaring masuk ke Fakultas Sains dan Teknologi UIN dan disiapkan
menjadi peneliti dan penemu dalam bidang sains.

Strategi tersebut memerlukan fasilitas pendukung yang memadai, di antaranya. Pertama,


laboratorium bahasa untuk mendukung penguasaan bahasa asing siswa, santri, dan mahasiswa.
Keterampilan bahasa asing menjadi syarat mutlak cendekiawan muslim bukan saja untuk mengakses
sumber-sumber asing tetapi juga untuk penyebaran gagasan yang bersangkutan di level internasional.
Tulisan-tulisan yang ditulis dalam bahasa Inggris atau Arab memungkinkan diakses dan dibaca oleh
cendekiawan asing pula.

Kedua, laboratorium riset sains. Kelemahan umum madrasah, pesantren, dan perguruan tinggi
Islam adalah ketersediaan laboratorium sains. Padahal mustahil melahirkan peneliti handal jika
fasilitasnya tidak ada atau minim. Tidak salah jika persoalan peneliti Indonesia bukan pada
kompetensi tetapi pada fasilitas. Jika saat berada di Jepang dan Jerman misalnya mereka
menghasilkan banyak temuan bidang sains, tetapi mandul saat kembali ke Indonesia.

Ketiga, perpustakaan yang bagus, canggih, dan lengkap. Koleksi perpustakaan sangat
berpengaruh terhadap budaya membaca dan meneliti. Koleksi perpustakaan kita sering berisi buku-
buku dan jurnal yang sudah cukup usia, padahal tuntutan ilmiah mengharuskan pengutipan sumber
minimal terbitan 10 tahun terakhir. Sungguh ironi.

Meski kampus sudah berlangganan jurnal internasional bereputasi atau terindeks scopus,
kebutuhan akan buku-buku dan jurnal-jurnal baru versi cetakan berbahasa asing masih sangat
diperlukan oleh para mahasiswa dan dosen. Koleksi perpustakaan yang terkini juga menunjukkan
komitmen perguruan tinggi dan pemerintah terhadap penyebaran dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan sains.

Akhirul kalam, kelahiran ulama penulis dan saintis muslim seharusnya menjadi tantangan
sekaligus target pengelola dan pemimpin pesantren, madrasah, dan UIN, yang jumlahnya cukup
banyak di Indonesia. Dengan demikian, pemikiran cendekiawan muslim Indonesia bisa menjadi
rujukan ilmuwan dunia.

# Aktor Pendidikan Karakter #


Majalah Suara Guru, November-Desember 2016

Pesan Jokowi kepada Anies dan Muhadjir sama: pentingnya pendidikan karakter (PK) bagi siswa.
Namun keduanya punya ide berbeda dalam implementasi PK. Anies menggulirkan program orang tua
mengantar anak ke sekolah, membaca buku sebelum memulai pelajaran, dan menyanyikan lagu
nasional. Sementara Muhadjir mencoba melempar ide sekolah sehari penuh (SSP) dan sekolah lima
hari atau Sabtu dan Minggu sebagai hari untuk keluarga.

Ide menjadikan siswa lebih lama di sekolah (full day school) sesungguhnya bukan hal baru. Di
Indonesia ada banyak sekolah yang siswanya pulang sore hari, baik sekolah regular maupun sekolah
Islam Terpadu (SDIT, SMPIT, atau SMAIT). Bahkan di pesantren dan boarding school, siswa berada
di sekolah dan asrama selama 24 jam.

Sekolah yang memiliki dana, guru, dan fasilitas yang memadai sudah menerapkan SSP karena
menilai ada nilai positif, di antaranya sekolah cukup lima hari. Sabtu dan Minggu merupakan hari
keluarga agar orang tua lebih dekat dan punya waktu berkualitas bersama anak-anak. Masalahnya, ide
SSP tidak mungkin bisa diterapkan di semua sekolah.

Banyak sekolah memulai jam pelajaran di pagi dan siang hari karena kekurangan kelas.
Jangankan melaksanakan rupa-rupa program pembinaan karakter, jam pelajaran kurikuler saja di
sekolah ini kurang dari standar yang ditentukan. Kecuali itu, model SSP akan berdampak pada
meningkatnya pengeluaran dana sekolah karena kehadiran guru lebih lama di sekolah. Jika sekolah
membebankan dana itu ke orang tua, maka makin berat saja beban mereka menyekolahkan anak-anak.

Model SSP juga meniscayakan lingkungan sekolah yang nyaman bagi siswa, padahal kondisi
sekolah masih banyak yang memprihatinkan. Berdasarkan data Dirjen Pendidikan Dasar Kemdikbud,
pada 2015, jumlah ruang kelas yang rusak 149.552. Jumlah ini terdiri dari 117.087 ruang kelas SD
dan 49.074 ruang di antaranya rusak berat. Di SMP ada 32.465 ruang kelas yang rusak dan 13.107
ruang di antaranya rusak berat. Oleh karena itu, persoalan PK bukan hanya soal penambahan atau
pengurangan waktu, tetapi siapa aktor penting dalam keberhasilan PK di sekolah maupun di rumah.

Guru

Disamping kompetensi pedagogis dan profesional, guru harus memiliki kompetensi kepribadian
dan sosial. Meski keempatnya sama penting, dua kompetensi terakhir sering diabaikan oleh
pemerintah dan sekolah, seperti dalam uji kompetensi guru (UKG). Padahal, pembentukan karakter
siswa lebih efektif melalui teladan guru dalam bertutur dan bertindak di sekolah.

Banyak kegiatan sekolah yang melibatkan guru sebagai aktor utama pembentukan karakter.
Menyambut anak di gerbang sekolah, berdoa sebelum dan sesudah belajar, mengajar dengan sikap
riang dan penuh semangat, salat berjamaah, bertegur-sapa atau berbincang dengan siswa, berpakaian
rapih, disiplin, kreatif, produktif, berpakaian rapih dan sopan, dan tidak merokok di sekolah.

Kenyataanya sering terbaik. Sebagai contoh, Komite Sekolah SMA Negeri 1 Langkahan, Desa
Leubok Mane, Aceh Utara, Jumat (21/8/2015), menutup sekolah tersebut, dan meminta sekitar 200
siswa pulang, karena guru kerap bolos sehingga proses belajar mengajar terganggu.

Data itu menunjukkan bahwa PK di sekolah menghadapi kendala justeru dari aktor utamanya
sendiri. Alih-alih memberi contoh baik, guru sendiri malah menjadi perusak tatanan sistem dan
lingkungan sekolah bagi tumbuhnya karakter baik siswa. Guru bertindak buruk tetapi merasa nyaman
dan tidak merasa bersalah karena kepala sekolah juga kadang melakukan hal yang sama. Menegakkan
PK di sekolah sulit seperti menegakkan benang yang basah.

Orang tua

Orang tua dianggap sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anak. Orang tua yang
menjadikan rumah sebagai lembaga pendidikan karakter. Di rumah anak dibiasakan salat, mengaji,
mengucapkan terima kasih, meminta maaf jika salah, berderma, infak dan sadakah, merapihkan
tempat tidur, mencuci piring, menyayangi adik dan menghormati kakak, dan menonton film yang
baik, serta membagi waktu belajar, bermain, dan menonton televisi.

Orang tua sadar bahwa sebelum menyuruh anak, mereka sendiri harus memberikan contoh-contoh
baik di rumah. Mereka selalu berkata baik dengan nada rendah meski sedang marah, menolak
kemauan anak dengan alasan yang baik bukan memarahi apalagi memukul, berterima kasih atas
bantuan anak, memuji keberhasilan dan prestasi anak sekecil apa pun, bahkan meminta maaf jika
bersalah.

Faktanya, orang tua, guru, teman, atau orang-orang terdekat dengan anak justeru menjadi pelaku
kekerasan terhadap anak. Hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi menunjukkan
bahwa 91 persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87.6 persen di lingkungan
sekolah, dan 17.9 persen di lingkungan masyarakat.

Melalui berbagai media cetak dan daring, pemerintah pusat dan daerah perlu mensosialisasikan
pentingnya pendidikan keluarga. Kantor, sekolah, masjid, dan majlis taklim dilibatkan dalam upaya
pemahaman pendidikan keluarga. Semua pihak harus merasa bertanggung jawab, mereka berperan,
dan mereka merasakan pentingnya pendidikan keluarga sebagai pondasi terbentuknya generasi yang
cerdas dan berkarakter. Dari generasi tersebut bangsa yang bermartabat dan maju bisa terwujud.

Demikianlah, ogang tua dan guru adalah aktor pendidikan karakter. Keduanya harus bersama-
sama menjalankan perannya dengan baik. Membentuk karakter siswa tidak semudah mengajar
pengetahuan dan melatih keterampilan kepada mereka. Mendidik membutuhkan ilmu dan seni yang
harus dipelajari setiap guru dan orang tua.

Belajarnya bisa saja di kelas, membaca buku, melalui internet, atau dari kehidupan itu sendiri.
Singkatnya, bagaimana guru dan orang tua bisa menjadi aktor yang diteladani oleh siswa dan anak.
Sosok yang dirindukan dan dikagumi oleh anak-anak. Siswa adalah peniru ucapan dan sikap orang
dewasa. Jika guru dan orang tua baik, maka anak-anak akan tumbuh baik.

# Pendidikan Anti-Hoax #
SINDO, 23 Januari 2017
Pada acara maulid Nabi Saw. di Pekalongan Jawa Tengah (Minggu, 08/01/2017), Presiden
Jokowi menyatakan, bahwa berita hasutan berpotensi memicu perpecahan anak bangsa. Sehari
kemudian, Kaporli Tito Karnavian menjelaskan (Senin, 09/01/2017), bahwa Presiden akan
membentuk Badan Cyber Nasional untuk menangani hoax yang merupakan konsekuensi dari
kemajuan teknologi informasi.

Hoax adalah berita bohong yang bertujuan mendiskreditkan individu atau kelompok. Hoax jelas
tidak bisa dibiarkan berkembang liar di tengah masyarakat karena berbahaya bagi kehidupan
berbangsa yang aman dan damai. Dampak negatif hoax yang dianggap kebenaran oleh individu atau
kelompok tidak saja berskala retaknya hubungan individu, komunitas, bangsa, bahkan bisa
menimbulkan perang antar bangsa.

Pertama, hoax menimbulkan konflik horizontal, yaitu individu atau kelompok dengan individu
atau kelompok lainnya. Orang memperoleh berita bohong dan mempercayainya sebagai kebenaran.
Hoax kerap berisi ujaran kebencian terhadap individu maupun kelompok, sehingga digunakan untuk
merendahkan atau menjatuhkan yang lain. Heterogenitas agama dan politik masyarakat bisa terkoyak
oleh hoax yang bertebaran di internet dan media sosial.

Masyarakat plural tenggelam dalam kebencian satu sama lain karena percaya hoax sebagai
kebenaran. Masyarakat memercayai hoax tanpa tabayun bahkan cekatan dan tanpa berpikir mendalam
langsung menyebarkannya melalui media social sehingga menjadi viral. Kita mudah mengenali
orang-orang yang pikirannya dipenuhi kebencian terhadap orang lain yang berbeda agama dan partai
politik itu saat ini.

Bukti, tawuran antar warga sering terjadi bermula dari berita bohong. Prabowo Subianto mengaku
korban hoax. Mendikbud Muhadjir mengalami kritik pedas dari anggota DPR dan masyarakat karena
berita bohong kebijakan pendidikan yang beredar luas di media sosial dan media cetak sesaat setelah
ia dilantik.

Kedua, hoax menimbulkan konflik vertikal, yaitu masyarakat dengan pemerintah. Pemerintah
perlu dikritik ketika kebijakannya tidak pro-rakyat atau sewenang-wenang, tetapi harus dengan cara
demokratis dan santun, bukan menebar hoax atau kekerasan. Bicara dan sikap seseorang harus
berdasarkan pada data faktual yang sahih. Masyarakatyang memperjuangkan kebenaran dan keadilan
harus memakai akal sehat bukan dengan otot apalagi destruktif.

Contoh, dugaan gambar palu arit dalam uang kertas baru. Jumlah tenaga kerja asing ilegal asal
Cina yang jumlahnya tidak pernah pasti karena data pemerintah berbeda dengan data masyarakat. Jika
tidak segera diklarifikasi, kedua isu itu bisa menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat kepada
pemerintah atau sebaliknya.

Demikian pula sebaliknya, pemerintah tidak bisa serampangan dalam bertindak dan mengambil
kebijakan yang berkaitan langsung dengan rakyat bawah. Kebijakan harus didasarkan pada data valid,
bukan hoax. Maka masyarakat tidak bingung karena perbedaan pendapat di antara unsur-unsur
pemerintah.

Misal, perbedaan pendapat antara presiden, menteri keuangan, dan Kaporli dalam menyikapi
kenaikan biaya pajak kendaraan bermotor. Masing-masing seolah hendak “cuci tangan”, tidak mau
disalahkan. Mereka harus padu dan senada dalam menyikapi kebijakan agar rakyat percaya pada
pemerintah, dan tidak malah kecewa.

Contoh lainnya, penangkapan sejumlah orang terkait isu makar menjelang Aksi Bela Islam III
pada 2 Desember 2016 yang dianggap masyarakat tidak berdasar data yang benar. Ketika pemerintah
bertindak tegas terhadap penyebar hoax, bisa jadi pemerintah sendiri yang menggunakan hoax sebagai
dasar dalam bertindak.

Solusi

Dampak negatif hoax tersebut harus dicegah sedini mungkin agar konflik horizontal dan konflik
vertikal tidak terjadi lagi, minimal bisa diminimalisir. Jika tidak, hubungan antar masyarakat dan
hubungan rakyat dan negara selalu dipenuhi praduga dan kebencian. Akibatnya, kondisi bangsa tidak
tenteram, berisik penuh hoax dan saling tidak percaya. Penetrasi hoax harus segera diredam dengan
cara-cara yang demokratis.

Pertama, sekolah dan universitas perlu mensosialisasikan pentingnya berpikir kritis. Berpikir
kritis adalah kemampuan seseorang dalam menyaring berita benar atau bohong, dan tidak mudah
terprovokasi berita tertentu, serta melakukan cek dan recek terhadap suatu berita. Dimulai dari
lembaga pendidikan karena hoax merasuki siapa saja tanpa peduli kaum terpelajar sekalipun.

Orang tidak boleh percaya begitu saja terhadap informasi yang ada di internet dan media sosial,
sebab percaya hoax dan mudah menyebarkannya di media sosial tanpa berpikir sama jahatnya dengan
pembuat hoax itu sendiri. Sebelum menyebarkan sebuah berita, orang seharusnya sadar kebenaran
suatu berita dan bagaimana dampaknya nanti.

Berita sudah menjadi kebutuhan masyarakat dan diperlukan agar orang berwawasan luas dan
mengetahui situasi dunianya. Masalahnya, begitu banyak berita yang tersedia dan berasal dari ribuan
sumber. Maka, orang perlu cerdas memilih sumber berita online misalnya, karena dari 4000-an situs
online hanya 200-an saja yang terperivikasi sebagai berita online (pers) oleh dewan pers. Sekali lagi,
siswa dan mahasiswa bahkan guru dan dosen perlu disadarkan sejak dini pentingnya cerdas dalam
membaca berita.

Kedua, pemerintah mengkampanyekan pendidikan anti hoax melalui media cetak dan media
elektronik, serta baliho agar masyarakat memahami pentingnya harmoni sosial dan mencegah bahaya
hoax. Pembentukan Badan Cyber Nasional sangat tepat sepanjang tujuannya untuk mendidik
masyarakat untuk berpikir kritis dan mencegah masifnya hoax bernada kebencian di tengah
masyarakat.

Badan ini tidak boleh kontraproduktif, yaitu digunakan untuk membungkam orang-orang yang
kritis terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat bawah atau untuk menangkapi
pihak-pihak yang tidak sejalan dengan pemerintah. Kaum oposan yang kritis, bernalar sehat, dan
cerdas diperlukan untuk mengingatkan pemerintah akan tujuan berbangsa dan bernegara, yaitu
mencerdaskan dan mensejahterakan kehidupan seluruh lapisan rakyat. Negara ini sudah darurat hoax,
saatnya menyelenggarakan pendidikan anti hoax di semua lini kebangsaan yang majemuk ini.

# Memutus Tradisi Kekerasan #


Jejen Musfah, 2017
Dunia pendidikan kembali tercoreng dan berduka. Taruna Amirullah Aditya (19) meninggal di
asrama Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) akibat dianiaya lima seniornya pada Selasa malam, 10
Januari 2017. Ini bukan yang pertama, peristiwa serupa terjadi di STIP pada 6 April 2015, 25 April
2014, dan 12 Mei 2008.

Peristiwa memilukan dan memalukan itu menggambarkan bahwa, pertama, upaya STIP mencegah
tradisi kekerasan taruna senior terhadap taruna yunior tidak berhasil maksimal. Mayoritas taruna
menyadari kekerasan adalah perilaku tercela dan harus dihindari, tetapi masih ada taruna yang masih
menganggapnya hal yang wajar dan perlu.

Pemisahan lokasi asrama berdasarkan angkatan, sosialisasi anti kekerasan oleh dosen dan
pemasangan poster, dan sanksi berat terhadap pelaku kekerasan di lingkungan STIP, ternyata tidak
tidak membuat jera para taruna alias tidak efektif.

Kedua, tradisi yang baik maupun yang buruk akan berlangsung secara turun-temurun. Dosen dan
jajaran STIP pasti sudah berusaha keras dan berulangkali menjelaskan kepada taruna bahwa tradisi
kekerasan karena alasan apa pun tidak bisa dibenarkan, tetapi beberapa oknum taruna bergeming.
Dulu mereka dihukum kekerasan fisik oleh seniornya, mereka pun merasa perlu melakukan hal yang
sama terhadap yuniornya.

Ketiga, perlunya keseimbangan olah fisik dan olah jiwa para taruna. STIP adalah salah satu PT
yang melatih dan menjaga tarunanya agar berbadan atletis. Misal, dengan cara disiplin makan dan
latihan tertentu perut para taruna menjadi rata, dan otot-otot mereka terlihat kekar. Penampilan fisik
taruna menjadi menarik. Taruna berhasil membentuk tubuh yang ideal, tetapi ternyata jiwa sebagian
taruna itu lemah.

Keindahan dan kesempurnaan fisik mereka tidak selaras dengan kondisi jiwanya. Bagaimana bisa
seorang “kakak” tega mengeroyok dan menyiksa “adiknya” hingga meninggal dunia. Jiwa yang baik
tidak mungkin mampu berkata-kata kasar kepada sesama, apalagi main pukul yang bisa menyakiti dan
melukai.

Solusi

Kasus memilukan ini tentu saja tidak harus berakibat ditutupnya kampus STIP, seperti tertulis di
asrama taruna yang intinya adalah: “Jika terjadi kekerasan maka STIP bisa dibubarkan”. Tradisi
kekerasan senior terhadap yunior di kampus atau sekolah bersistem asrama perlu dicegah dengan
berbagai strategi. Insan pendidikan tidak boleh menyerah mundur sejengkal langkah pun dalam
mencari solusi perbaikan sistem pendidikan.

Pertama, kehadiran sosok pemimpin dan pembina yang bermukim di lingkungan asrama taruna.
Pimpinan atau kiai jika di pesantren itu didukung oleh beberapa pembina asrama yang bertugas
mengontrol aktivitas taruna pada saat di asrama. Ketika ada aktivitas mencurigakan, apalagi pada jam
istirahat, pimpinan dan pembina bisa menegur dan mencegahnya.

Sosok pimpinan asrama itu hidup bersama taruna dalam satu ekosistem kampus, sehingga
hubungan mereka layaknya ayah dengan banyak anak. Dengan demikian para taruna memiliki figur
teladan yang dihormati, disegani, dan dipatuhi, serta bisa dijadikan rujukan dalam berbicara dan
bertindak. Pimpinan harus bisa jadi sosok yang baik dan ditiru oleh taruna dalam hal karakter.

Kedua, kurikulum pendidikan karakter, yaitu revolusi mental taruna yang pendendam dan
pemarah kepada jiwa penuh kasih-sayang. Karakter mengasihi sesama itu dibentuk melalui habituasi
ritual keagamaan dan pembiasaan sikap saling menghormati, menyayangi, dan menghargai orang lain
di lingkungan asrama. Pimpinan asrama selalu hadir bersama para taruna dalam menjalankan ritual
keagamaan tersebut, sehingga sosoknya benar-benar dekat dan dikenal oleh taruna dengan baik.

Singkatnya, pimpinan asrama menjadi teladan bagaimana menjadi pribadi yang saleh emosional,
sosial, dan spiritual melalui ketaatan beribadah dan perilaku sehari-hari. Taruna tidak hanya belajar
kebaikan dan karakter dari poster, buku, dan ceramah di kelas, tetapi mereka belajar, melihat, dan
menyelami langsung dari pergaulannya dengan pimpinan dan pembina asrama mereka.

Demikianlah, tubuh yang baik dan sehat itu adalah hasil latihan dan asupan makanan yang
bergizi, baik, dan halal. Demikian pula jiwa yang baik dan saleh itu merupakan buah dari rutinitas
panjang dan tanpa lelah ritual keagamaan dan berkumpul dengan orang-orang baik dan saleh. Penulis
percaya, pendekatan agama dan individu yang mencerminkan sifat-sifat Tuhan mampu melahirkan
individu baik yang penuh kasih-sayang.

# Mengurai Krisis Karakter Bangsa #


amanah.com, 31 Desember 2017

Bangsa ini sedang mengalami masalah besar terkait mental pemimpin, penegak hukum,
penyelenggara Negara, pendidik, dan warganya. Negeri zamrud katulistiwa yang lekat dengan
baragam agama dan budaya luhur nusantara ini justeru tidak bisa lepas dari kasus nirkarakter, yaitu:
korupsi, kemiskinan, konflik SARA, radikalisme, dan ketertinggalan dalam bidang sains atau riset
ilmiah.

Bangsa ini besar secara jumlah penduduk dan wilayah darat dan laut, tapi miskin implementasi
nilai-nilai keutamaan warganya. Negeri kepulauan yang kaya sumber daya alam ini tidak mampu
memberikan kesejahteraan bagi warganya karena mental buruk pemimpin dan lemahnya kemampuan
dan kreativitas warganya.

Penyakit bangsa dan luas ini dominan menghiasi halaman Koran, berita televisi dan radio, dan
diskusi seminar di kampus. Mereka bertubi-tubi masuk memenuhi alam pikiran dan perasaan kita
sehingga menimbulkan tanda tanya besar: akan seperti apa nasib bangsa ini sepuluh tahun ke depan?

Pertama, penegakan kasus korupsi masih jauh dari berhasil. Kejaksaan, kepolisian, dan KPK
tidak berhasil mengurangi atau mencegah tindak pidana korupsi. Koruptor tumbuh subur karena
penegakan hukum dan kualitas manusia Indonesia yang lemah. Jumlah koruptor yang ditangkap
masih jauh dari angka yang riil. Angka-angka korupsi di bawah ini masih jauh dari fakta korupsi di
negeri ini.

Menurut Anti-Corruption Clearing House, rekapitulasi tindak pidana korupsi per 30 September
2017, di tahun 2017 KPK melakukan penanganan tindak pidana korupsi dengan rincian: penyelidikan
70 perkara, penyidikan 78 perkara, penuntutan 58 perkara, inkracht 48 perkara, dan eksekusi 49
perkara. Total penanganan perkara tindak pidana korupsi dari tahun 2004-2017 adalah penyelidikan
918 perkara, penyidikan 645 perkara, penuntutan 523 perkara, inkracht 436 perkara, dan eksekusi 463
perkara.

Rita Ayuningtyas dari Liputan6 menulis, hasil penelitian Laboratorium Ilmu Ekonomi,
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, mengungkap,
politikus dan swasta tercatat sebagai pelaku terbesar untuk korupsi. Totalnya sekitar 1.420 terpidana.
Sedangkan jumlah pelaku korupsi pegawai negeri sipil (PNS) mencapai 1.115 terpidana.

Analisis penelitian itu juga menyebutkan total nilai korupsi oleh politikus dan swasta mencapai
Rp 50,1 triliun. Dari jenis korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), modus
korupsi mencapai 242 atau sekitar 48 persen pada 2015.

Penyebab korupsi adalah penegakkan hukum yang lemah ditandai dengan rendahnya hukuman
bagi koruptor, dan banyaknya koruptor yang masih bebas berkeliaran alias tidak tersentuh hukum.
Sebab lain adalah integritas rendah pelaku korupsi. Sebaik apa pun sistem diciptakan, hanya bisa
mengurangi perilaku koruptif, tetapi tidak akan bisa membasminya tuntas.

Terpenting dan utama adalah pembentukan karakter sejak dini. Sikap menerima dengan penuh
syukur rezeki yang diperoleh secara halal (qanaah). Mulai dari rumah, TK, SD, SMP, SMA, PT,
hingga dunia kerja. Prinsip memandang rezeki: biar sedikit asal berkah. Pembelajaran sikap qanaah
ini harus sampai pada tingkat kesadaran individu untuk melaksanakannya. Penanaman sikap qanaah
ini tidak hanya teoritis tapi dipraktikkan dalam rumah, lembaga pendidikan, dan dunia kerja. Sikap ini
harus dibiasakan sejak dini sehingga melekat menjadi budaya hidup individu. Kelak, dalam hidup
nyata ia akan tetap konsisten pada jalan kebenaran dalam mengais rezeki. Kendali dan kualitas diri
lebih utama daripada pembangunan sistem anti korupsi—meskipun ini juga penting.

Kedua, kemiskinan penduduk menjadi pemandangan biasa di gang-gang sempit kota, lampu
merah, jembatan penyebrangan, dan di desa-desa. Kemiskinan penduduk bukan semata karena
lemahnya kreativitas penduduk tetapi bisa juga karena kebijakan pembangunan yang tidak pro rakyat
kecil. Banyak rakyat miskin tetapi pemimpin dan abdi Negara hidup mewah. Kue pembangunan
hanya dikuasai segelintir penguasa dan pengusaha.

Destrianita dari Tempo menulis, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2017 jumlah
penduduk miskin, yakni penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis
Kemiskinan di lndonesia mencapai 27,77 juta orang (10,64 persen dari jumlah total penduduk).

Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2016 sebesar 7,73 persen, turun
menjadi 7,72 persen pada Maret 2017. Sementara, persentase penduduk miskin di daerah pedesaan
pada September 2016 sebesar 13,96 persen, turun menjadi 13,93 persen pada Maret 2017.

Orang miskin karena keturunan (kultural) atau karena kebijakan pemerintah (struktural).
Kemiskinan kurtural dan kemiskinan struktural sama-sama berbahaya. Peran pemerintah dan swasta
dibutuhkan. Program pro rakyat miskin perlu diteruskan. Pendidikan gratis bagi warga miskin hingga
perguruan tinggi akan mampu mengubah kemiskinan turun-temurun. Pendidikan kunci perbaikan
ekonomi seseorang. Keluarga miskin mendapatkan keringan pembiayaan sekolah dan kuliah. Warga
miskin mendapatkan subsidi listrik dan gas.

Kehadiran lembaga seperti Dompet Duafa yang mengelola dana zakat, infak, dan sadaqah (ZIS)
untuk kepentingan pendidikan dan kesehatan kaum miskin, perlu dikembangkan dan didukung.
Pengelolaan ZIS belum efektif. Orang kaya baru muslim meningkat. Jamaah haji dan umrah Indonesia
besar. Kelas atas dan menengah muslim dan non-muslim Indonesia perlu dikelola dan dibangun
kesadarannya tentang kepedulian sosial dan pendidikan bagi warga miskin. Sinergi pemerintah dan
lembaga-lembaga swasta akan mampu mengurangi kemiskinan di Indonesia.

Sikap dermawan dan suka menolong sesama diajarkan di sekolah tetapi belum menjadi budaya
bangsa ini. Si kaya membantu yang miskin. Menolong sesama tidak akan mengurangi harta melainkan
menambah rezeki dan ketenangan batin si pemberi. Kehidupan sosial akan indah dan rukun karena
masyarakatnya saling membantu. Sebaliknya, kehidupan sosial akan rusak dan tidak nyaman
manakala si kaya tidak peduli dan tidak membantu si miskin.

Ketiga, konflik Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA) masih menjadi ancaman serius
bangsa besar ini. Konflik SARA yang besar, sedang, dan kecil di masa lalu bisa terulang jika fakta
keragaman SARA tidak disikapi dan dikelola dengan baik oleh penguasa dan masyarakat. Keragaman
itu bisa menjadi modal sosial untuk kemajuan bangsa tapi juga bisa menimbulkan bahaya kesatuan
bangsa.

Rizka Diputra dari Okezone menulis konflik SARA besar yang pernah terjadi di Indonesia, yaitu:
sentimen etnis berujung penjarahan pada 1998, konflik agama di Ambon pada 1999, tragedi Sampit:
suku Dayak vs Madura, dan penyerangan kelompok Syi'ah di Sampang.

Gesekan antar kelompok berbeda pandangan dan SARA rentan terjadi di Indonesia. Penyebabnya
faktor ekonomi, dendam, fitnah, mis informasi, dan politik. Cara mencegahnya adalah pencerdasan
masyarakat dan pendewasaan pemimpin. Sosialisasi kerukunan dan kesatuan masyarakat pada
masyarakat akar rumput melalui pengajian, masjid, gereja, vihara, pura, dan kelenteng.

Pada saat yang sama pemimpin, tokoh agama, tokoh adat harus mampu menjaga umat dari
tindakan destruktif dan anarkis, apa pun alasannya. Mereka adalah guru bagi masyarakat yang
membawa cahaya kedamaian dan kerukunan. Guru panutan yang bisa mengubah bahaya perpecahan
dan pertumpahan darah menjadi harapan hidup bersama yang penuh kedamaian dan ketenteraman.

Keempat, radikalisme menjadi ancaman serius bagi bangsa Indonesia. Pelakunya bukan hanya
orang awam tapi juga orang berpendidikan. Pelajar dan mahasiswa. Radikalisasi terjadi di pengajian
tertutup, di sekolah, dan di kampus. Sumbernya ceramah lisan dan buku pelajaran.

Muhammad Andika Putra dari CNN Indonesia menulis, Direktur Wahid Institute Yenny Wahid
menyebutkan, sebanyak 11 juta orang bersedia melakukan tindakan radikal. Data itu berdasarkan hasil
survei tentang radikalisme dan intoleransi yang dilakukan lembaganya. Survei tersebut
dilakukan pada 1.520 responden dengan metode multi stage random sampling.

Berdasarkan survei tersebut, sebanyak 0,4 persen penduduk Indonesia pernah bertindak radikal.
Sedangkan 7,7 persen mau bertindak radikal kalau memungkinkan. Kesenjangan ekonomi dan
ceramah sarat kebencian menjadi penyebab berkembangnya radikalisme di Indonesia.

Perbedaan pandangan terjadi di internal agama, apalagi antar agama. Perbedaan pandangan itu
tidak melulu soal agama, tapi juga soal politik dan ekonomi. Gerakan pemurnian paham keagamaan
yang radikal perlu digiatkan di komunitas pemeluk agama, sekolah, dan kampus. Buku-buku berbasis
Islam Rahmatan Lil Alamin (ISRA) disebarkan ke sekolah, kampus, lembaga pemerintah, dan
masyarakat. Guru dan dosen agama, dosen lainnya, dan dai dicek paham keagamaannya. Mereka yang
radikal dilarang menyebarkan paham tersebut, dan diberikan edukasi ISRA atau Islam yang moderat.

Kelima, tidak atau kurang inovatif adalah ciri pendidikan Indonesia secara umum. Sekolah dan
universitas di sini kurang melatih kreativitas dan inovasi peserta didik dan mahasiswa. Demikian juga
guru, dosen, dan peneliti. Temuan riset berhenti sekedar di laporan atau menang perlombaan, tidak
dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi.

Fransiska Wahyuning dari Liputan6 menulis, sejak 2008, Cornell University, sekolah bisnis
INSEAD, dan World Intellectual Property Organization telah merilis Global Innovation Index. Ini
pada dasarnya merupakan peringkat negara paling inovatif di dunia.

Pemenang tahun ini bukanlah orang asing di urutan teratas daftar, mendominasi dalam tujuh
kategori umum: penelitian, infrastruktur, institusi, kecanggihan pasar dan bisnis, dan komitmen
terhadap pengetahuan dan kreativitas. Berikut daftarnya seperti dilansir dari Inc ASEAN, Minggu
(27/8/2017): Swiss, Belanda, Amerika Serikat, Inggris, Denmark, Singapore, Finlandia, Jerman,
Irlandia, Korea Selatan, Luksemburg, Islandia, Jepang, Prancis, dan Hongkong.

Inovasi lahir dari rasa ingin tahu yang besar dan riset mendalam. Karya dan inovasi yang
bermanfaat bagi kehidupan umat perlu didukung oleh pemerintah dan swasta (dunia usaha dan dunia
industri). Pemerintah perlu membangun fasilitas riset yang unggul, di kampus dan di lembaga
penelitian. Dana riset diperbesar. Lembaga riset dan kampus bekerjasama dengan dunia usaha dan
dunia industri. Jika hasil riset diproduksi masal, maka akan berdampak ekonomis dan maslahat bagi
masyarakat dan dunia. Pembelajaran di sekolah dan kampus menumbuhkan rasa ingin tahu dan
budaya riset. Keduanya akan berhasil jika didukung ketekunan dan kerja keras.

Kelima masalah tersebut harus menjadi keprihatinan sekaligus fokus kerja bersama seluruh
lapisan masyarakat, apa pun profesinya. Setiap individu dewasa punya kewajiban mengatasi masalah
di atas sesuai perannya masing-masing. Entah sebagai orangtua, pendidik, abdi Negara, maupun
sebagai pemimpin.

Solusi dari masalah di atas adalah pembentukan sikap qanaah, dermawan, peduli sosial, inklusif,
cinta damai, moderat, dan kerja keras. Sifat tersebut bukan hal baru dalam kurikulum pendidikan kita.
Masalahnya, kita lemah dalam metode penyampaiannya kepada peserta didik, sehingga sifat-sifat itu
tidak menjadi sikap hidup mereka.

Presiden Jokowi sadar akan kelemahan bangsa tersebut sehingga berujar pentingnya revolusi
mental. Kemdikbud meluncurkan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Ide-ide itu bagus
tetapi perlu kerja keras dan kerja sama semua pihak agar berhasil.

# Tiga Karakter Anti Korupsi #


Majalah Adiluhung, Edisi 14 Tahun 2017

Di antara hal yang sering diperbandingkan antara Indonesia dan bangsa lain adalah korupsi.
Bagaimana tingkat korupsi, sikap pelaku korupsi, dan cara penanganan korupsi. Tentu saja kita berada
dalam kotak Negara yang lebih rendah bahkan tidak punya rasa malu, lebih tinggi tingkat korupsi, dan
paling lemah dalam hukuman pelaku korupsi.

Dianggap wajar korupsi sulit diberantas bahkan semakin menjadi di era reformasi. Zaman
reformasi kok korupsi semakin tinggi. Korupsi terjadi di level terendah pemerintahan sampai ke pusat.
Kelurahan, kecamatan, kabupaten, kota, provinsi, sampai ke ibu kota.
Korupsi dilakukan oleh kepala desa, anggota dewan, bupati, walikota, gubernur, kepala sekolah,
rektor, menteri, polisi, jaksa, dan hakim. Semua pemegang kebijakan publik atau pemimpin rakyat
melakukan korupsi. Media masa dan sosial media selalu berisi berita tentang korupsi. Tak pernah
berhenti bicara soal korupsi anak-anak negeri.

Pintu masuk korupsi melalui jual-beli kebijakan dan jual-beli keputusan yang persetujuannya
berada pada pejabat tertentu. Keputusannya bisa dibuat sesuai keinginan pihak yang menyuap.
Pengusaha dan masyarakat yang berkepentingan dengan sebuah kebijakan usaha, perkara, atau politik
melakukan negosiasi di luar peraturan atau mekanisme hukum atau aturan yang berlaku.

Bukan berarti bangsa ini tidak punya sama sekali kepala daerah dan pejabat yang baik dan lurus.
Banyak. Ahmad Heryawan dan M. Zainul Majdi adalah contoh gubernur Jawa Barat dan NTB zaman
now yang dinilai bersih. Zaman baheula negeri ini punya Hoegeng Imam Santoso dikenal sebagai
polisi jujur, Emil Salim, Marie Muhammad, Satrio Budiharjo Joedono, dan Sarwono Kusumaatmadja,
merupakan pejabat yang bersih. Banyak lagi yang lainnya.

Bangsa ini punya banyak sosok teladan dalam perilaku hidup yang jujur, religious, dan tanggung
jawab, yang perlu dicontoh oleh mereka yang saat ini sedang menjalankan tugas pelayanan bagi
rakyat. Sosok-sosok pemimpin yang berintegritas seperti tersebut itulah yang saat ini diharapkan
muncul di tengah masyarakat.

Rakyat sejahtera dan bahagia jika memiliki pemimpin yang kompeten dan punya integritas.
Pemimpin yang orientasinya membangun negeri. Membangun jalan raya sampai ke pelosok tanah air.
Menyediakan listrik murah bagi warga susah. Mengalirkan air bersih kepada rakyat kecil.

Pemimpin yang mensejahterakan rakyat. Menyediakan pendidikan dan kesehatan gratis bagi
warga miskin. Menyediakan lapangan kerja, dan memberikan upah minimum yang mencukupi.
Pemimpin yang merawat dan melestarikan budaya daerah. Membangun dan memelihara gedung
kesenian beserta benda-benda pusaka masa silam.

Sebagian rakyat geram melihat banyak pejabat yang dibui karena korupsi. Saat punya kedudukan
dan pengaruh orang sering lupa diri. Bukan memberi dan melayani masyarakat, tetapi memperkaya
diri. Gaya hidupnya glamour. Maunya kendaraan yang mahal. Pakaian dan perhiasan yang branded.
Melupakan penderitaan rakyat.

Itu sebabnya Presiden menggelorakan jargon revolusi mental sebagai strategi menjawab sekian
masalah bangsa ini. Kemendikbud meluncurkan regulasi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) di
sekolah. Pendidikan harus mengutamakan pembentukan karakter, disamping pengetahuan dan
keterampilan.

Sekolah dan universitas harus melahirkan banyak calon pemimpin dan pejabat serta pebisnis yang
memegang teguh prinsip-prinsip kebenaran dalam menjalankan profesinya. Sekolah dan universitas
harus meyakinkan bahwa orang-orang baik dan kompeten harus mau terjun ke dunia politik dan
bisnis. Sebab kalau tidak negeri ini akan dipimpin oleh orang-orang yang buruk.

Nilai-nilai religious, jujur, dan tanggung jawab, tiga dari delapan belas karakter yang
disosialisasikan Kemdikbud harus benar-benar terpatri ke dalam generasi penerus bangsa.
Pembelajaran karakter di sekolah dan kampus tidak lagi dominan teori, tetapi lebih banyak kegiatan,
program, dan terwujud dalam lingkungan dan kehidupan sekolah dan kampus.
Lembaga pendidikan harus menunjukkan ke peserta didik bagaimana dampak korupsi bagi
kehidupan berbangsa-negara. Korupsi tidak hanya mencederai pelaku tetapi merusak tatanan
pembangunan negeri yang seharusnya menjadikan kesejahteraan rakyat.

Generasi bangsa ini harus diajarkan bahwa peran individu lebih dominan daripada sistem dan
budaya birokrasi yang buruk dalam menangkal perilaku korup di setiap lembaga atau institusi
pemerintah. Karena itu mereka harus menjadi insan tangguh dalam menjaga religiusitas, jujur, dan
tanggung jawab.

Tidak ada perjuangan yang tanpa resiko. Menjalankan amanah kekuasaan dengan cara lurus dan
benar pasti akan bertemu batu sandungan. Jika dilakukan dengan cara baik dan dengan melibatkan
banyak orang baik birokrasi dan pelaksanaan program pemerintahan yang rawan korupsi akan
berubah menjadi terbuka dan bersih (sesuai aturan yang berlaku).

Kepala sekolah, guru, staf, dosen, Kaprodi, dekan, dan rektor, merupakan sumber teladan yang
baik dalam pembentukan karakter anti korupsi bagi siswa dan mahasiswa. Harus dihindari kesan
apalagi terbukti bahwa mereka pelaku korupsi, tidak jujur, tidak bertanggung jawab, dan tidak
religius. Anak didik bisa belajar sikap buruk dari pendidik sehingga mereka menghindarinya kelak,
tetapi lebih efektif mereka belajar sikap-sikap baik dari pendidik sehingga mereka menirunya kelak.

Lembaga pendidikan tidak boleh berhenti membudayakan tiga karakter anti korupsi, yaitu
religius, jujur, dan tanggung jawab. Korupsi tidak menunjukkan penurunan tetapi terus naik. Kita bisa
mencegahnya dengan menyiapkan generasi yang berkarakter anti korupsi. Semoga.
BAB VII

KEPEMIMPINAN

# Dilema Kepala Sekolah #


Amanah, Februari 2016

Modus kejahatan semakin beragam dan pelakunya bisa menyamar sebagai apa saja. Tidak
terkecuali dalam dunia pendidikan, penjahat menyamar menjadi wartawan atau anggota Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM). Mereka mengaku memiliki bukti penyimpangan penggunaan dana
sekolah dan akan memberitakannya jika kepala sekolah tidak mau “kerja sama”.

Kejahatan model ini penulis dengar langsung dari para pengawas dan kepala madrasah di Bogor
dan Bekasi pada 2014, tepatnya saat penulis menjadi pelatih untuk guru-guru madrasah selama
hampir dua tahun atas dana dari Australia. Perilaku mereka sudah sangat meresahkan warga sekolah,
khususnya kepala sekolah.

Kenangan pahit itu muncul lagi saat membaca berita, bahwa 40 lebih kepala SD, SMP, dan SMA
mengundurkan diri. Kepala sekolah di Kecamatan Kotagajah dan Seputihraman, Lampung, itu tidak
tahan mendapat intimidasi dari oknum yang mengaku LSM dan wartawan (Selasa, 26/01/2016).
Keputusan kepala sekolah ramai-ramai mengundurkan diri, menjadi tanda tanya besar: “Apa
sebenarnya yang terjadi dalam pengelolaan dana sekolah?”

Biasanya, dana yang dipertanyakan oleh oknum itu adalah dana yang berasal dari pemerintah,
seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Ruang Kelas Baru (RKB), dan Bantuan Siswa Miskin
(BSM). Jika pengelolaan dana-dana itu dilakukan dengan baik dan sesuai aturan, mengapa kepala
sekolah harus takut? Bukankah seharusnya yang takut itu si oknum yang telah melakukan fitnah?

Seorang kepala madrasah di Bekasi yang juga Kiyai Pesantren menceritakan bagaimana ia
berhasil membuat jera oknum wartawan yang mempertanyakan penggunaan dana BOS di
madrasahnya. Karena tidak merasa bersalah, kepala sekolah tidak keberatan jika si oknum menuliskan
penggunaan dana BOS di media massa. Ternyata, ia bukan wartawan, tapi orang yang mengaku
wartawan untuk tujuan menipu para kepala sekolah.

Kita mengenalnya dengan sebutan, “wartawan bodrek”. Penulis pikir wartawan bodrek sudah
hilang di abad 21 ini, ternyata mereka masih ada karena tahu bahwa selalu ada celah penyimpangan
dalam penggunaan anggaran negara di sekolah-sekolah. Kepala sekolah yang tidak kompeten dan
tidak punya integritas akan kalah menghadapi oknum wartawan dan LSM.

Penyimpangan penggunaan dana dari pemerintah terjadi karena sistemnya sudah dibuat korup.
Misalnya, keterlambatan pencairan memaksa sekolah mencari dana talangan, karena program harus
tetap berjalan. Jumlah dana yang diterima sekolah tidak sesuai dengan yang tercantum di atas kertas,
karena dipotong untuk biaya-biaya tidak resmi. Sekolah tidak protes, sudah biasa.

Sekolah menerima sistem korup ini karena tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Menolak
bantuan dana dari pemerintah berarti siap mencari sumber dana lain. Tidak mudah mencari lembaga
yang bersedia membantu sekolah secara rutin, seperti BOS. Membebankan biaya operasional sekolah
kepada orangtua siswa hanya bisa dilakukan kepada mereka yang ekonominya menengah-atas.

Mayoritas pendidikan kita membutuhkan peran penuh negara. Sayangnya, mental pegawai kita
korup dan tidak jujur. Korupsi pendidikan sudah jadi budaya, karena pegawai kita yang rakus.
Koruptor tidak jera karena aparat hukum mudah dibeli.

Oknum wartawan dan LSM yang meneror kepala sekolah adalah akibat korupsi pendidikan.
Tidak mudah menjadi kepala sekolah di dalam sistem yang korup. Orang baik pun akan terjebak
dalam sistem kotor itu. Dia harus terbiasa “berterima kasih” kepada pemberi dana, juga kepada
preman berkedok wartawan. Menjadi kepala sekolah adalah dilema. Mengundurkan diri mungkin
pilihan terbaik.

# Menanti Kinerja Pendidikan Anies—Sandi #


Suara Guru, Edisi November-Desember 2017

Senin (16/10/2017), Anies Baswedan dan Sandiaga Uno resmi dilantik menjadi Gubernur dan
Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022. Persoalan Jakarta tidak hanya soal kemacetan dan
banjir yang sangat akut. Banyak persoalan pendidikan yang perlu dipecahkan ole Anies dan Sandi
selama memimpin Jakarta.

Masyarakat menaruh harapan besar terhadap kepemimpinan Anies-Sandi, khususnya perbaikan


pendidikan. Sejarah akan mencatat apakah Anies yang berpengalaman di dunia pendidikan, mantan
rektor, dan mantan menteri pendidikan era Jokowi ini mampu mengurai persoalan berikut.

Dari aspek bangunan dan fasilitas sekolah, pertama, banyak sekolah yang rusak dan tidak layak
tetapi tidak bisa segera dibangun atau direhab karena persoalan tiada dana atau birokrasi keuangan
yang ruwet. Penanganan sekolah rusak atau tidak layak sering lamban karena aturan yang rumit dan
birokrasinya panjang. Dampaknya siswa belajar tidak kondusif bahkan ada yang menjadi korban
runtuhan atap sekolah saat hujan lebat disertai angin besar.

Kedua, tidak tersedia atau sempitnya lahan bermain dan olahraga di sekolah. Persoalan ini jarang
menjadi perhatian publik padahal sangat penting bagi pengembangan bakat anak dan kenyamanan
mereka selama berada di sekolah.

Lahan sekolah yang sempit tidak cukup untuk menyediakan ruang olahraga dan taman bermain.
Bahkan jumlah siswa di setiap kelas melebihi kapasitas ideal karena sekolah kekurangan kelas,
sementara peminat sekolah negeri sangat tinggi—karena gratis.

Ketiga, tidak ada ruang perpustakaan, koleksi buku yang tidak memadai, atau tidak ada pengelola
perpustakaan. Sekolah tanpa ruang perpustakaan masih banyak di Jakarta. Jika pun ada, keadaannya
jauh dari layak. Jumlah buku sangat minim, tempat membaca tidak tersedia atau tidak nyaman,
ruangan dan buku-bukunya tidak terawat dan tidak bersih, dan sering hanya dikelola oleh guru, bukan
oleh staf khusus yang sarjana perpustakaan.

Tidak heran jika minat baca anak-anak Indonesia sangat rendah. Peran perpustakaan sangat besar
terhadap pengembangan budaya baca. Perpustakaan sekolah yang baik akan mendongkrak minat baca
siswa bahkan guru dan staf sekolah.
Keempat, jumlah toilet kurang atau tidak bersih. Kurangnya toilet dan ketidakbersihannya bukan
hanya soal kekurangan lahan dan dana. Kondisi ini menunjukkan lemahnya paradigma kepala sekolah
dan guru terhadap hakikat pendidikan.

Bagaimana pendidikan kebersihan—yang sering digaungkan di sekolah—bisa berhasil jika di


sekolah anak-anak melihat kondisi yang sebaliknya. Kebersihan toilet adalah cermin utama yang
menunjukkan benar-tidaknya pemahaman kepala sekolah dan guru terhadap pendidikan.

Sedangkan dari aspek pembiayaan pendidikan, pertama, gaji guru honorer dan guru swasta masih
kecil. Gaji guru PNS Jakarta besar tetapi guru honorer dan guru swasta masih banyak yang di bawah
UMR (Upah Minimum Regional). Ketimpangan pendapatan ini sangat tidak adil karena beban
mengajar guru sama, baik yang PNS maupun yang tidak.

Janji pemerintah mengangkat guru honorer menjadi PNS tidak kunjung ditepati. Sebelum
keputusan menjadikan mereka PNS yang entah sampai kapan, sebaiknya pemerintah menyusun skema
pemberian gaji yang layak bagi guru honorer.

Kedua, peran masyarakat kecil bahkan hampir tidak ada. Kecuali dana BOS dari pemerintah
pusat, Pemda DKI memberikan BOP (Bantuan Operasional Pendidikan), BOB (Bantuan Operasional
Buku), dan BRPS (Bantuan Rawan Putus Sekolah). Ada juga KJP (Kartu Jakarta Pintar) yang mirip
dengan skema BRPS.

Semua program pembiayaan pendidikan itu mengharuskan sekolah tidak memungut biaya sepeser
pun dari orang tua siswa. Saat ini masyarakat memaknai bahwa sekolah itu gratis. Melarang sekolah
memungut biaya pendidikan kepada semua orang tua siswa tanpa kecuali merupakan kebijakan yang
sangat keliru.

Kenyataannya pemerintah belum bisa menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai. Kualitas
sekolah sangat beragam. Ada yang sangat bagus, bagus, dan lebih banyak yang tidak bagus. Artinya
peran masyarakat masih sangat dibutuhkan dalam membangun pendidikan, khususnya orang tua siswa
yang mampu.

Ketiga, pengembangan bakat siswa tidak efektif. Pendidikan tidak hanya sekedar belajar di kelas,
tetapi mengembangkan bakat dan minat anak yang beragam melalui ekstrakurikuler. Masalahnya
setiap kegiatan pengembangan bakat siswa membutuhkan biaya yang sering tidak bisa didanai oleh
sekolah karena keuangannya minim. Sementara itu memungut biaya dilarang oleh pemerintah.

Jadilah sekolah itu berjalan apa adanya. Sekedar tatap muka di kelas lalu pulang. Program-
program ekskul yang merupakan wahana pematangan bakat siswa dan pintu meraih prestasi di level
nasional dan internasional perlahan akan mati jika kepala sekolah tidak berani memungut biaya
karena takut salah bahkan terkena sanksi.

Keempat, angka putus sekolah sangat tinggi karena faktor kemiskinan. Di antara janji Anies-Sandi
adalah meminimalisir angka putus sekolah ini. Semua program pemerintah pusat dan daerah tersebut
belum bisa menjamin anak-anak Jakarta minimal lulus SMA karena kebutuhan mereka tidak hanya
sekolah tetapi perlu biaya untuk makan sehari-hari.

Anak-anak usia sekolah mencari nafkah di lampu merah, tempat kemacetan, mall, masjid,
terminal, stasiun, pasar, bahkan kampus. Sungguh memprihatinkan. Di kala anak-anak seusia mereka
memakai seragam dan belajar di sekolah, mereka mengais rezeki di tengah terik matahari dan
dinginnya guyuran hujan.

Demikianlah beberapa masalah pendidikan di Jakarta yang harus ditangani Anies-Sandi.


Kepakaran dan komitmen Anies dalam dunia pendidikan seperti diperlihatkannya selama ini, semoga
menjadi bekal berharga untuk menjadikan kualitas pendidikan di Jakarta lebih baik.

Semoga energi keduanya tidak habis oleh isu reklamasi teluk Jakarta. Sebaliknya, keduanya bisa
merangkul semua pihak, mulai dari unsur pemerintah, dunia usaha dan dunia industri hingga
masyarakat luas untuk bersama-sama menjadikan Jakarta sebagai barometer keberhasilan bidang
pendidikan, khususnya tingkat dasar dan menengah.

# Memilih Pemimpin Ideal #


Siperubahan.com, 10 September 2016

Hidup di penjara bagi pelaku korupsi tidak membuat tingkat korupsi kepala daerah di Indonesia
menurun. Jumlah kepala daerah yang tertangkap tangan melakukan korupsi terus meningkat bahkan
sepertinya sulit untuk menurun apalagi dihilangkan. Bisa jadi fakta di lapangan tentang korupsi kepala
daerah lebih banyak lagi tetapi tidak terdeteksi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
kepolisian, atau kejaksaan.

Hal ini tentu bertentangan dengan janji kampanye setiap kepala daerah saat pemilu kada yang
akan memajukan daerah dan mensejahterkan masyarakat melalui sejumlah program seperti
pendidikan gratis, jaminan kesehatan, dan peningkatan ekonomi. Ketika sudah terpilih dan menduduki
jabatan gubernur, walikota, atau bupati, mereka terbuai kenyamanan dan fasilitas sehingga dengan
mudah melupakan janji-janjinya kepada masyarakat saat kampanye.

Korupsi kepala daerah terjadi karena pertama, biaya tinggi pemilihan kepala daerah. Setiap calon
kepala daerah atau timnya aktif menggalang bantuan dari beragam kalangan atau pihak-pihak tertentu
yang berkepentingan akan menawarkan bantuan dengan harapan tertentu setelah calonnya terpilih.
Setelah terpilih, sumber dana pribadi atau dari sumber lainnya itu harus kembali bahkan harus untung
besar sebelum masa jabatan kepala daerah berakhir.

Modusnya bermacam-macam, di antaranya pihak-pihak yang mendukung finansial kepala daerah


terpilih akan mendapatkan proyek yang dalam pelaksanaannya bisa saja melanggar aturan yang
berlaku; perjalanan dinas fiktif; bantuan sosial fiktif; dan penggelembungan belanja daerah.

Kedua, praktik suap-menyuap dalam birokrasi pemerintahan, laporan fiktif, dan


penggelembungan dana sudah membudaya. Budaya itu langgeng karena ada beberapa pihak mendapat
penghasilan besar meskipun diperoleh secara tidak sah. Budaya KKN juga akibat gaya hidup mewah
pemimpin daerah dan orang-orang di sekitarnya.

Pemimpin Ideal

Penyakit korupsi di pemerintahan daerah sudah sangat parah tetapi masih bisa disembuhkan yaitu
dengan menghadirkan pemimpin ideal untuk rakyat. Pertama, pemimpin yang punya integritas atau
kejujuran. Tugas seorang pemimpin daerah adalah bagaimana memperoleh, mengelola, dan
mendistribusikan keuangan daerah kepada program-program atau pihak-pihak yang seharusnya sesuai
perencanaan sebelumnya.

Integritas seorang pemimpin akan diuji saat ia berhadapan dengan uang dalam jumlah besar
maupun kecil. Pemimpin yang berintegritas akan menggunakan keuangan daerah sesuai regulasi dan
untuk pembangunan daerah, serta untuk program-program pro-rakyat seperti pendidikan, kesehatan,
dan ekonomi. Ia tidak akan menggunakan uang itu untuk kepentingan pribadi dan kelompok, apalagi
menumpuk kekayaan demi hidup mewah.

Pemimpin berintegritas bahkan mampu memengaruhi orang dan birokrasi yang korup menjadi
bersih, setidaknya menguranginya. Dia tidak sekedar menjadi teladan perilaku pejabat yang bersih
tetapi juga keras melawan perilaku korup bawahan dan rekanannya. Dia tidak takut dengan resiko
perlawanan dari kelompok tertentu, dan bersedia tidak popular.

Kedua, pemimpin yang kompeten atau memahami ilmu pemerintahan. Pemimpin yang ideal
adalah pemimpin yang segera setelah dilantik mengetahui masalah-masalah yang ada di daerahnya,
dan menyusun strategi pemecahan masalah bersama para ahli di bidangnya masing-masing.
Kemudian, ia menjalankan strategi itu dengan penuh tanggung jawab dan sungguh-sungguh. Tentu
dengan melibatkan banyak unsur di bawah kepemimpinannya.

Pemimpin kompeten tentu tidak sekedar melaksanakan program rutin biasa. Dia mampu
menggagas dan merealisasikan program-program inovatif sesuai dengan karakter daerahnya. Dengan
demikian kehadirannya terbukti memberi makna bagi kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Kondisi pendapatan asli daerah (PAD) setiap provinsi, kota, dan kabupaten jelas berbeda-beda, tetapi
pemimpin kompeten pasti mampu melahirkan program inovatif untuk kebaikan dan kebanggaan
daerahnya. Steve Jobs (1955-2011) pendiri Apple menulis, “Innovation distinguishes between a
leader and a follower.”

Memilih Pemimpin

Untuk mendapatkan kepala daerah mulai dari gubernur, walikota, hingga bupati, yang ideal
seperti di atas memerlukan upaya yang serius dan panjang. Pertama, partai politik seharusnya
mengusung calon kepala daerah yang memiliki integritas dan kompeten. Pertimbangan kemampuan
finansial atau popularitas calon tertentu jangan sampai menyingkirkan kader-kader partai yang
potensial.

Meski memungkinkan pencalonan kepala daerah melalui jalur independen, partai-partai politik
harus mampu mengusung calon-calon kepala daerah yang ideal untuk rakyat. Jika tidak, maka kasus
korupsi yang melibatkan gubernur, walikota, atau bupati akan terus terjadi di tahun-tahun yang akan
datang.

Korupsi kepala daerah menunjukkan kegagalan partai-partai politik melahirkan kader-kader yang
berintegritas dan kompeten. Tidak ada satu pun partai yang berhasil menunjukkan bahwa kader-
kadernya yang menjadi pemimpin di daerah terbebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tentu ada
beberapa kader partai yang berhasil memimpin daerahnya, dan pada saat yang sama dikenal jujur saat
menjabat. Partai harus melahirkan banyak kader yang ideal seperti itu agar rakyat Indonesia semakin
sejahtera dan berpendidikan tinggi.
Kedua, masyarakat harus cerdas memilih calon pemimpinnya, termasuk tidak memilih golput.
Pada era digital saat ini tidak sulit mengetahui rekam-jejak calon-calon kepala daerah karena sumber
informasi tersedia melalui internet. Di samping mempelajari materi kampanye masing-masing calon
pemimpin daerah, masyarakat bisa mengenali mereka melalui internet.

Semanis apa pun janji kampanye, jika riwayat hidup mereka tidak baik, atau ada calon yang lebih
baik, maka pilihan harus didasarkan pada kriteria integritas dan kapasitas sang calon. Bisa jadi
masyarakat tidak memiliki banyak pilihan calon pemimpin ideal di daerahnya karena sudah
ditentukan oleh partai, tetapi masyarakat harus tetap memilih yang terbaik di antara para calon yang
bersaing.

Masyarakat tidak boleh apatis dalam pemilu kada karena pemimpin daerah akan menentukan
nasib masyarakat. Kepala daerah akan menentukan gerak pembangunan fasilitas umum, pendidikan,
kesehatan, dan pariwisata di suatu daerah. Jika pembangunan bidang-bidang tersebut bergerak maju
dan baik karena pemimpin yang jujur dan kompeten, maka masyarakat setempat juga yang akan
menerima dampak positifnya.

Dengan demikian, iming-iming uang suap (berapa pun nilainya) dari setiap pasangan calon kepala
daerah harus ditolak dengan tegas oleh masyarakat pemilih. Keyakinan masyarakat tidak boleh bisa
dibeli oleh rupiah karena pertaruhannya adalah nasib demokrasi dan nasib bangsa ini di mata dunia.

Faktanya, masyarakat Indonesia yang terkenal religius tetapi saat pemilu bisa terpengaruh oleh
uang suap alias “serangan fajar”. Saatnya masyarakat cerdas atau dicerdaskan tentang memilih kriteria
pemimpin ideal untuk rakyat, karena kualitas pemimpin adalah kunci kemajuan suatu daerah dan
masyarakat.
BAB VIII

BUDAYA

# Sejuk-Asri Danau Toba #


Jejen Musfah, 2017

Empat hal yang terbayang saat menyebut Medan Sumatera Utara: kereta dari Bandara Kualanamu
ke Kota Medan, Kerajaan Maimun, Duren Ucok, dan Danau Toba di Parapat. Dari keempat itu,
mungkin Danau Toba yang membuat orang penasaran ingin datang atau berkunjung untuk kedua atau
ketiga kalinya.

Danau Toba terletak di Selatan Sumatera Utara yaitu Kota Kelurahan Parapat—sering juga
disebut Prapat, Kecamatan Girsang Sipanganboloh, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Danau
Toba berjarak 176 kilometer dari Medan, sekitar tiga hingga empat jam perjalanan darat. Di Prapat
terdapat Gereja, Masjid, dan Wihara.

Keindahan Danau Toba menarik banyak wisatan lokal maupun mancanegara untuk berkunjung
menikmati kesejukan dan keasrian Prapat dan Pulau Samosir yang terletak di tengah-tengah danau.
Tidak sulit berkunjung ke Samosir karena banyak perahu yang disewakan untuk para pengunjung.
Selain kapal besar, ada juga perahu kecil yang menampung tujuh hingga sepuluh orang. Biaya
sewanya sekitar tujuh ratus ribu rupiah pulang-pergi.

Dengan perahu, wisatawan bisa diajak ke Tanjung Sipora-pora melihat Pesanggrahan tempat
Presiden Pertama RI Soekarno diasingkan oleh Belanda pada 1 Januari 1949. Bangunan bercat putih,
ukuran 10 meter x 20 meter, dengan luas halaman dua hektar, yang dibangun pada 1820 itu masih
terlihat kokoh dan indah.

Masih di atas perahu, pengunjung biasanya diajak ke tebing Prapat melihat Batu Gantung, yang
menurut legenda setempat merupakan penjelmaan dari dua sejoli yang saling mencinta tetapi tidak
direstui oleh keluarga keduanya. Nah, pada saat hendak kabur, keduanya terjebat di pinggir tebing.

Selain menikmati pemandangan danau, tebing, dan bukit-bukit yang hijau oleh pepohonan,
pengunjung juga bisa mandi di pinggir danau. Layaknya di laut, di pinggir danau ada pasir putih yang
menambah kesan indah biru air danau yang jernih. Saat berlibur ke sana jangan lupa membawa jaket
karena cuacanya dingin menusuk.

Pendidikan

Sumatera Utara menjadikan pendidikan sebagai program prioritas. Momen pengalihan tanggung
jawab SMA/SMK dari kabupaten/kota ke provinsi dimanfaatkan Gubernur Sumatera Utara T Erry
Nuradi untuk memeratakan pendidikan. Di Sumut terdapat sekitar 19 ribu guru honorer. Agar sekolah
di kota dan di desa merasakan pendidikan yang setara, guru harus didistribusikan secara merata.

Dinas pendidikan provinsi Sumut bekerjasama dengan Polda dalam mendesain kurikulum muatan
lokal yaitu Lalu Lintas. Tujuannya mencegah angka kecelakaan di jalan dan menjadikan Sumut
sebagai wilayah yang tertib dan patuh tata tertib berlalu lintas. Sebagai kota tujuan wisata, ketertiban
di jalan raya akan membuat nyaman para pelancong.

Erry juga menekankan sekolah bebas pungutan liar dan penerapan sistem elektronik di sekolah-
sekolah di Sumut. Misalnya, penerimaan siswa baru dan pendataan prestasi siswa. Dengan demikian
orangtua tidak perlu menempuh jarak jauh untuk sekedar mendaftarkan anaknya sekolah. Dinas
pendidikan, sekolah, dan perguruan tinggi juga bisa memantau data prestasi siswa-siswi melalui
internet.

Kabupaten Simalungun mengganggarkan dana 4,5 miliar dalam APBD untuk memberikan
beasiswa pendidikan tinggi bagi pelajar miskin berprestasi. Untuk mendapatkan dana tersebut, pelajar
diseleksi atau Bupati Jopinus Ramli Saragih sendiri memilih langsung pada saat kunjungan ke
sekolah-sekolah.

Beasiswa itu mencakup biaya pendidikan dan kebutuhan hidup sampai wisuda. Sebanyak 15
sampai 20 pelajar dari Simalungun mendapatkan beasiswa ini pertahun. Mereka kuliah di IPB, USU,
dan lainnya. Program ini sudah berjalan empat tahun. Jopinus berharap dengan beasiswa ini kelak
Simalungun maju karena memiliki banyak putra daerah yang kompeten di bidangnya masing-masing.
Karena itu, diharapkan mereka tidak lupa daerahnya dan mengabdikan ilmunya di Sumatera Utara.

# Meratapi Bumi Pertiwi #


Jejen Musfah, 2017

Bencana alam merupakan ancaman serius bagi manusia abad ini, tidak terkecuali di Indonesia.
Longsor, banjir, dan kebakaran hutan kerap berulang setiap tahun, tidak saja mengakibatkan kerugian
materil tetapi juga menghilangkan banyak nyawa manusia. Teranyar, longsor di Ponorogo Jawa
Timur menyebabkan 16 korban tertimbun tanah setebal 10 meter (28/01).

Bencana alam bukan kutukan Tuhan melainkan akibat ulah perbuatan manusia. Firman Allah
SWT mengingatkan, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar),” (QS Ar-Rum [30]: 41).

Pertama, pembalakan liar dan penggundulan hutan mengakibatkan tanah longsor saat turun hujan.
Pembakaran hutan terus terjadi di Kalimantan dan Sumatera karena hukum di negeri ini bisa dibeli;
tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Badan Lingkungan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNEP) menilai
kerugian akibat kayu ilegal di dunia ditaksir mencapai 300 triliun.

Kedua, tanah dan taman untuk resapan air saat hujan dipaksakan untuk pembangunan mall,
apartemen, perkantoran, dan villa, sehingga mengakibatkan banjir di banyak kota kita. Bangunan liar
tersebar di banyak titik kota dan kabupaten, di pinggir kali, di dekat jalur kereta, di tengah kota, di
pinggir jalan, di pemukiman padat, hingga ke daerah puncak Bogor. Pembongkaran bangunan liar
dilakukan tetapi tidak lama kemudian bangunan liar kembali berdiri di tempat yang sama. Sungguh
masyarakat bebal tidak taat aturan.

Ketiga, sungai penuh sampah karena masyarakat membuang sampah sembarangan, bahkan laut
pun sudah tercemar. Di negara lain sungai menjadi obyek wisata, tetapi di negeri ini air sungai
menjadi sumber bencana. Salah satu sungai yang paling banyak sampahnya adalah sungai di depan
Season City, Jembatan Besi, Jakarta Barat. Pasukan oranye pernah mengangkat 80 ton sampah dalam
waktu lima jam.

Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian


Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), di tahun 2015 hampir 68 persen atau mayoritas mutu air
sungai di 33 provinsi di Indonesia dalam status tercemar berat. Sumber utama pencemar air sungai di
Indonesia berasal dari limbah domestik atau rumah tangga, menyusul limbah peternakan, industri, dan
pertanian.

Masyarakat seperti tidak pernah belajar dari masa lalu. Setiap kali bencana terjadi, bantuan segera
mengalir dari pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), instansi non-pemerintah,
masyarakat, dan individu. Bukti kesalehan sosial warga bangsa ini sangat tinggi. Tetapi hal ini belum
cukup. Warga republik ini harus membenahi akar masalah bencana alam itu sehingga korban jatuh
bisa dicegah di kemudian hari.

Pertama, rumah dan sekolah harus serius mengajarkan budaya bersih, tanggung jawab, dan
disiplin sejak dini. Ada kelakar, “Sekolah 12 tahun dan kuliah empat tahun, tetapi warga membuang
sampah masih sembarangan”. Itulah budaya warga bangsa ini. Bisa membaca banyak larangan tetapi
tidak bisa mematuhinya. Budaya bersih itu cermin tanggung jawab, sedangkan kotor dan jorok itu
cermin egois, alias mau menang sendiri.

Rumah dan sekolah gagal menanamkan sikap cinta kebersihan karena apa yang dibaca dan
didengar anak dan remaja tidak sesuai kenyataan. Misal, di rumah orang tua sering menimbun
pakaian, perabot, dan benda-benda yang sudah tidak dipakai—dibiarkan berdebu dan rusak perlahan.
Padahal lebih bernilai jika diberikan kepada orang lain. Toilet sekolah banyak yang kotor, bau, dan
jorok. Bahkan kaca dan daun jendela sekolah berdebu tanda warga sekolah tidak peka kebersihan.
Padahal sekolah mana yang tidak mengajarkan kebersihan!

Kedua, para pejabat dan aparat pemerintah harus taat hukum. Mereka harus berani menolak
kompromi dengan pengusaha yang nyata-nyata merusak lingkungan dan tata ruang kota. Reklamasi
teluk Jakarta adalah contoh mutakhir dan telanjang konspirasi pejabat dengan segelintir pengusaha.
Regulasi dan hukum tidak berlaku untuk mereka. Kecuali penjahat kerah putih itu, rakyat biasa juga
banyak yang melakukan pembalakan liar dan pembakaran hutan.

Dari generasi ke generasi, mereka menyaksikan bangsa ini diisi oleh pengusaha, pejabat, dan
aparat yang rakus, tamak, dan arogan. Pengusaha menyuap pejabat dan aparat, dan mereka
melindungi pengusaha. Mereka merusak alam pertiwi—daratan dan lautan—dengan dalih
pembangunan, percepatan, dan pertumbuhan ekonomi. Kenyataan alam negeri tercinta ini tidak sama
dan seindah dengan yang tertulis di buku pelajaran dan pidato penyelenggara negara, juga khutbah
ahli agama.

Jelas masalahnya, warga dan pejabat berwatak egois, rakus, dan tamak. Watak buruk itu merusak
bumi tempat mereka sendiri hidup. Manusia sedang menggali kuburannya sendiri. Rakyat negeri ini
telah lama tersiksa hebat: macet parah saat banjir, bau busuk sampah, dan kendaraan tidak bisa
melintas karena jalan tertutup longsor atau jembatan runtuh. Semua karena ulah manusia yang tidak
bersahabat dengan alam. Manusia akan menuai apa saja yang ditanamnya.
# Menimbang Seragam PNS #
Amanah, 26 Juli 2016

Sejak Jokowi kampanye sebagai calon Presiden RI pada 2014, kemudian terpilih hingga
pelantikan menteri, baju putih menjadi booming. Baju putih identik dengan Jokowi, sehingga di
kantor-kantor, pegawai laki-laki tua maupun muda yang memakai baju putih lengan panjang digulung
satu atau dua kali lipatan otomatis dapat teguran atau candaan “Jokowi”.

Kini, setiap kementerian, sekolah, dan kampus negeri mewajibkan para pegawai, pejabat, guru,
dan dosen memakai baju putih di hari-hari tertentu. Beberapa kantor kementerian menambahkan baju
batik dan pakaian adat di hari yang telah ditentukan. Baju batik dan pakaian adat merupakan hal baru
bagi sebagian kementerian.

Pada awal kebijakan baju putih diterapkan, konon omzet pedagang batik berkurang drastis hampir
50 persen. Batik yang sudah lebih dulu dipakai sebagai seragam kantor pada setiap satu atau dua hari
kerja tergeser oleh baju putih. Mungkin ini alasannya mengapa kini seragam kantor lima hari kerja itu
adalah baju putih, baju batik, dan pakaian adat. Demi mewadahi berbagai kepentingan.

Permukaan

Selintas tidak ada yang salah dengan kebijakan seragam ini. Baju putih melambangkan kesucian,
kebersihan, dan kejujuran. Lengan panjang yang dilipat menandakan siap bekerja secara total. Baju
batik dan pakaian adat adalah bukti cinta dan penghargaan terhadap budaya hasil karya anak bangsa.
Memakai baju batik dan pakaian adat juga merupakan bentuk promosi budaya, baik internal maupun
eksternal, sehingga kita dan orang luar mengetahui budaya bangsa ini yang amat kaya dan beragam.

Kenyataannya, belum semua pegawai dan pejabat menjadikan ruh atau jiwa pakaian itu sebagai
spirit dalam bekerja. Pegawai malas dan tidak kompeten masih banyak, yang seharusnya mulai
bangkit dan meningkatkan kompetensi diri. Pejabat masih saja berkata-kata kotor, grasa-grusu, dan
menebar fitnah di hadapan media, yang selayaknya harus santun, hati-hati, dan melakukan cek dan
ricek (tabayyun) sebelum mengeluarkan pendapat.

Korupsi tidak berkurang dilakukan oleh jajaran eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Meskipun
KPK sering melakukan tangkap tangan pelaku korupsi, mereka seperti tidak jera dan tidak takut sama
sekali. Semua lapisan bangsa ini sudah terjerat korupsi. Bahkan, korupsi terjadi dalam sektor
pendidikan. Penggelapan dana BOS oleh kepala sekolah dan bendahara, misalnya.

Demikianlah, kebijakan seragam baru sebatas perubahan penampilan pegawai dan pejabat. Ia
hanya menyentuh aspek permukaan, tetapi belum mengubah mentalitas pemakainya. Sebagai
perbandingan, hasil penelitian Brunsma (2006: 50-53) menyimpulkan bahwa seragam sekolah tidak
efektif, dan tidak melahirkan sikap dan lingkungan yang positif.

Bahkan, kewajiban memakai pakaian adat menambah beban baru bagi pegawai, khususnya kaum
perempuan. Perlu biaya tambahan untuk membeli pakaian, terutama pakaian adat. Memakainya
memerlukan waktu, dan aksesoris khusus yang sesuai. Tidak masalah jika mereka menggunakan
mobil ke kantor, tetapi naik motor atau angkutan umum? Bayangkan, kepanasan dan kehujanan.
Akhirnya, kantor-kantor pemerintahan berubah menjadi show room pakaian adat, di mana budaya
pamer penampilan lebih menonjol. Perempuan punya kecenderungan untuk tampil lebih baik dalam
berpakaian daripada laki-laki. Maka, kebijakan seragam adat ini, disadari atau tidak, merupakan
penjajahan atau pengekangan terselubung terhadap kebebasan perempuan dalam berbusana yang
dianggap nyaman bagi mereka dalam bekerja. Diko (2012: 223) menjelaskan dalam The Gender
Politics of The School Uniform, bahwa meskipun seragam sekolah efektif melahirkan rasa
kepemilikan (a sense of belonging), tetapi menimbulkan ketidakadilan gender.

Bekerja dengan memakai pakaian adat mungkin lebih ribet dan tidak nyaman dibanding
berpakaian putih atau batik. Bayangkan, perempuan hilir-mudik memakai hak tinggi dengan bawahan
rok! Seperti mereka yang bekerja di pusat-pusat pelatihan, yang membutuhkan mobilitas tinggi,
misalnya menjemput pembicara, kordinasi antar kelas, dan mengurus administrasi.

Kinerja

Demikianlah, seragam pegawai semestinya mempertimbangkan kenyamanan dalam bekerja


disamping keindahan dan pelestarian budaya. Mungkin memakai baju putih dan baju batik tidak
masalah karena mudah diperoleh, tetapi memakai pakaian adat jelas menambah beban pegawai, baik
dari segi finansial maupun segi kepraktisannya.

Sangat ironis, jika di kantor pemerintahan dan sekolah, para pegawai, pejabat, dan guru
berpenampilan “istimewa”, sementara kedisiplinan, kompetensi, dan kejujurannya tidak berubah ke
arah yang lebih positif. Kebanggaan pegawai dan pejabat terhadap keragaman budaya daerah bangsa
ini harus selaras dengan kinerja yang penuh disiplin, tanggung jawab, jujur, dan kompeten.

Cara pandang pejabat dan birokrasi di negeri ini sering lebih sibuk dan fokus pada mengatur
penampilan luar dan fisik seorang pegawai daripada hasil kinerjanya. Seragam pegawai dan name tag,
contohnya. Sementara terhadap pegawai yang kompetensi dan kinerjanya rendah, pejabat dan
birokrasi sering tidak bisa mengambil tindakan yang tegas.

Banyak Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tidak kompeten dan berkinerja rendah di banyak
kementerian dan instansi pemerintah, tetapi mereka memperoleh upah sama dengan mereka yang
kompeten dan berkinerja baik. Ketika seseorang sudah menjadi PNS, sulit memberhentikannya
meskipun keberadaannya seperti tidak ada bagi institusi.

Itulah salah satu pekerjaan besar pemerintah. Semangat pemerintah dalam mengubah tampilan
luar pegawai dan pejabat harus berbanding lurus dengan kinerja mereka dalam menjalankan tugas dan
fungsi mereka masing-masing di setiap instansi. Dengan demikian, PNS mampu menunjukkan hasil
kinerja nyata, disamping ramai-ramai berfoto ria saat mengenakan pakaian adat di kantor, dan
mengunggahnya ke Facebook. Ibarat seorang gadis, PNS harus tampil cantik luar dan dalam.
# Budaya Orang Pendidikan #
Republika, 22 Agustus 2016

Rakyat Indonesia sudah 71 tahun merdeka dari penjajahan fisik, tetapi budaya mereka masih
mencerminkan bangsa yang terjajah. Jiwa sebagian rakyat Republik masih terbelakang seperti tidak
siap menatap masa depan menjadi bangsa yang besar dan maju. Meski berulangkali pimpinan dan
anggota DPR, pejabat kementerian terkait pendidikan, studi banding ke luar negeri, dan banyak guru
dan dosen alumni luar negeri, kualitas pendidikan kita masih jauh panggang dari api.

Budaya yang lestari pada rakyat Indonesia, khususnya orang-orang pendidikan bangsa ini, adalah
budaya bangsa terbelakang dan terjajah. Kemerdekaan bangsa ini belum sempurna karena pemerintah
dan masyarakat gagal membangun jiwa putra-putri Pertiwi dari Sabang sampai Merauke, dan dari
Miangas hingga Pulau Rote. Budaya rendah dan buruk menyelimuti pendidikan Nusantara mulai dari
level mikro, messo, hingga makro.

Budaya Rendah

Pertama, budaya mencontek. Siswa mencontek jawaban saat ujian nasional bahkan dipelopori
oleh guru dan kepala sekolah. Guru menjiplak karya ilmiah untuk kenaikan pangkat karena
kompetensi meneliti dan menulis mereka rendah. Dosen memplagiasi deskripsi diri saat sertifikasi
sehingga banyak yang tidak lulus. Profesor memplagiasi karya ilmiah untuk mempertahankan status
keprofesorannya. Dosen menjiplak karya mahasiswa untuk artikel jurnal atau penelitian.

Kedua, budaya asal-asalan alias tidak mementingkan mutu. Sekolah dan Perguruan Tinggi (PT)
berbenah diri hanya pada saat akan diakreditasi atau divisitasi. Sekolah dan PT tergabung dalam
Organisasi Stándar Internasional (ISO) tetapi mutunya tetap rendah, padahal biayanya cukup besar.
Pemerintah mudah memberikan izin operasional Program Studi (Prodi) pencetak bakal calon guru
padahal dosen dan fasilitas PT-nya tidak memadai. Pemerintah dan masyarakat tidak memerhatikan
mutu dan gaji guru sehingga guru mengajar apa adanya.

Ketiga, budaya lamban dan mempersulit. Pencairan dana BOS lamban padahal kebutuhan
operasional sekolah tidak bisa ditunda. Pencairan dana sertifikasi guru lamban padahal sertifikasi
dosen bisa lancar setiap bulan. Pengurusan kenaikan pangkat dosen lamban karena tidak segera
dinilai, bahkan berkasnya bisa hilang.

Akreditasi Prodi lamban karena Badan Akreditasi Nasional (BAN) PT kekurangan dana dan
asesor. Penyelesaian studi S2 dan S3 sangat lamban karena mahasiswa tidak fokus menulis atau
pejabat dan dosennya sibuk di luar kampus. Adagium “Jika bisa dipersulit mengapa dipermudah”
dibuat untuk menggambarkan pelayanan birokrasi.

Keempat, budaya gila jabatan dan gelar. Dosen memakai gelar Doktor padahal belum selesai S3.
Dosen menggungat rektor yang terpilih secara demokratis. Guru, dosen, dan anggota dewan membeli
ijazah palsu. PT memberikan gelar doktor honoris causa kepada individu yang diragukan
kelayakannya oleh masyarakat. Kuliah kelas jauh dan/ atau Sabtu-Minggu yang dosen dan prosesnya
tidak sesuai standar tumbuh subur padahal jelas dilarang pemerintah.
Kelima, budaya manipulasi. Pelaporan dana BOS tidak sesuai jumlah dana yang diterima sekolah
karena “bocor” di sana-sini. Penggelembungan harga dalam pembelian barang seperti alat-alat
laboratorium dan perpustakaan, baik di sekolah, PT, maupun instansi pendidikan. Pengurangan hari
pelatihan, seminar, dan workshop sehingga hasilnya tidak maksimal.

Kepemimpinan Transformatif

Lima budaya itulah yang harus diperangi oleh orang-orang pendidikan dalam mengisi
kemerdakaan Republik saat ini. Kunci keberhasilan perlawanan itu ada pada kepemimpinan visioner
dan transformatif lembaga dan instansi pendidikan. Mereka itu bisa saja seorang menteri, direktur
jenderal, direktur, kepala dinas, rektor, kepala biro, dekan, dan kepala sekolah. Singkatnya, seseorang
yang memiliki kewenangan membuat kebijakan dan keputusan organisasi.

Seorang pemimpin harus mampu menggerakan bawahannya untuk bekerja dan bersikap sesuai
visi lembaga. “As we look ahead into the 21st century, leaders will be those who empower others,”
kata Bill Gates (1955-), pendiri Microsoft. Komitmen pemimpin pendidikan saat ini adalah
mewujudkan pelayanan yang bermutu dan melahirkan pribadi yang percaya diri, jujur, dan cerdas.
“Commitment is an act, not a word," tulis Jean-Paul Sartre (1905-1980). Pemimpin dinilai jika ia
membawa pembaruan bukan hanya ucapan.

Selanjutnya, seorang pemimpin diakui karena kemampuannya berinovasi dalam bidang pelayanan
maupun bidang keilmuan. Steve Jobs (1955-2011) pendiri Apple menulis, “Innovation distinguishes
between a leader and a follower.” Kumpulan masalah di atas membudaya di setiap lapisan pendidikan
karena minimnya pemimpin yang inovatif. Karena itu, ke depan pemerintah tidak cukup melakukan
penilaian akreditasi Prodi dan lembaga, tetapi penilaian kepemimpinan inovatif dan transpormatif.
Agar jelas ukuran keberhasilan seorang pemimpin pendidikan.

Lembaga pendidikan Indonesia masih berkutat dengan masalah administratif dan moral, sehingga
capaian akademik semisal penelitian tertinggal jauh dari negara-negara lain. Sekolah dan PT terang-
benderang memiliki visi kelas dunia atau universitas riset tetapi sedikit—untuk tidak mengatakan
tidak ada—yang mampu mencapainya meskipun didukung dana yang cukup besar. Hasil penelitian
masih bersifat lokal padahal dananya setara global.

Di bulan Kemerdekaan ini kita menanti lahirnya para pemimpin pendidikan seperti yang
digambarkan oleh Warren G. Bennis (1925-2014), “Leadership is the capacity to transform vision
into reality.” Pemimpin yang mampu mengubah budaya rendah dan buruk orang-orang pendidikan
menjadi budaya luhur dan baik, yang mengangkat harkat, martabat, dan daya saing bangsa. Wallahu
a'lam.

# Potret Penulis #
Jejen Musfah, 2017
Tidak banyak penulis sukses di Indonesia. Meski penulis merasa puas ketika bukunya terbit,
tetapi seorang penulis dianggap sukses jika bukunya laris di pasaran (best seller), diterjemahkan ke
dalam bahasa asing, dan diangkat ke layar lebar—dan banyak penontonnya. Sebut saja misalnya,
Habiburrahman El-Shirazi, Andrea Hirata, Ahmad Fuadi, Asma Nadia, dan Eka Kurniawan. Mereka
bisa menjadikan menulis sebagai sumber penghasilan utama, dan sejahtera.

Akan tetapi, tidak semua penulis sesukses dan seberuntung mereka. Kehidupan banyak penulis
jauh dari sejahtera. Ada beberapa kenyataan yang tidak menguntungkan penulis di negeri ini. Royalti
penulis—bukan terkenal—sangat kecil, 10 persen sampai 12 persen dari hasil penjualan. 90 persen
atau 85 persennya (bruto) milik penerbit. Penerbit berbagi dengan pembeli, toko, dan pemerintah. Jadi
royalti dibayarkan berdasarkan buku terjual, bukan buku tercetak. Tercetak belum berarti terjual.

Karena itu, pembayaran royalti membutuhkan waktu lama, biasanya enam bulan sekali—
tergantung kebijakan masing-masing penerbit. Setelah lama menunggu masa terbit buku, penulis juga
harus sabar menunggu masa pembayaran royalti. Proses sebuah naskah hingga terbit buku setidaknya
melalui fase editing, pembuatan sampul, layout, proof reading, dan naik cetak.

Proses ini bisa memakan lebih dari setahun karena menunggu antrian terbit. Untuk menikmati
royalti, seorang penulis membutuhkan waktu paling tidak dua tahun sejak pengiriman naskah.
Berbeda jika penulis memilih sistem jual hak cipta buku (jual putus) bukan sistem royalti. Begitu
sepakat harga, penulis langsung akan menerima uang dari penerbit.

Selain royalti yang kecil di atas, penulis masih dibebani pajak penulis oleh negara sebesar 15
persen. Maka, hanya sedikit rupiah yang diterima penulis dari hasil penjualan bukunya. Tidak semua
penulis, menulis karena tujuan ekonomi, melainkan idealisme menyebarkan gagasan dan mendidik
masyarakat lewat buku. Sharing is caring. Penulis tipe ini tidak peduli dengan besaran royalti, bahkan
sebagian mereka langsung menyumbangkannya ke yayasan sosial.

Hal lain yang merugikan penulis adalah pembajakan. Indonesia bukan hanya surga bagi para
pembajak lagu dan film, tetapi pembajak buku. Ada dua kategori pembajakan buku di Indonesia.
Pertama, pembajakan buku dalam skala besar dengan tujuan memperoleh keuntungan sebesar-
besarnya. Sebaran buku sangat luas mencakup kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung,
dan Yogyakarta. Biasanya kategori buku ajar, kamus, dan novel laris.

Pembajakan buku dalam skala kecil atau lokal. Mahasiswa dan dosen menggandakan (copying)
buku-buku yang ditulis oleh penulis asing berbahasa Arab atau Inggris karena kesulitan memperoleh
buku aslinya atau karena mahal alias tidak terjangkau oleh kemampuan mereka. Mereka
menggandakan untuk kepentingan pribadi (untuk dibaca dan dirujuk), bukan untuk diperjualbelikan
demi meraup keuntungan.

Praktik ganda-menggandakan buku asing ini banyak terjadi di kampus-kampus di Indonesia.


Seorang dosen yang baru pulang dari luar negeri misalnya, dan membawa beberapa buku terbaru,
biasanya “berbagi” dengan cara meminjamkan untuk digandakan bagi yang merasa perlu. Konon,
polisi pernah menggeledah sebuah tempat foto kopi di kampus ternama di Jakarta, karena praktik
semacam ini. Pembajakan, dalam kategori apa pun, merugikan penulis, penerbit, dan pemerintah.

Kemudian, hal lain yang membuat posisi penulis kurang beruntung adalah cetakan buku sangat
sedikit, 2000 hingga 3000 eksemplar sekali cetak. Tentu penerbit mempunyai beberapa alasan untuk
tidak gegabah dalam hal jumlah cetakan ini, seperti minat baca masyarakat yang rendah, daya beli
masyarakat lemah, harga kertas tinggi, dan ongkos produksi mahal. Semua alasan ini bisa diterima,
karena demikianlah faktanya.
Penerbit ingin tahu respon pasar terlebih dahulu terhadap sebuah buku terbitannya. Jika ternyata
responnya baik, maka ia akan mencetak edisi kedua, ketiga, dan seterusnya. Saat ini, jika penerbit
tidak memiliki beberapa buku yang laku keras di pasaran, maka secara perlahan ia akan bangkrut dan
mati.

Demikianlah, sedikit gambaran penulis di Indonesia. Penulis pemula bahkan kawakan tidak bisa
mengandalkan royalti untuk bertahan hidup, apalagi jika sudah berkeluarga. Maka, menjadi penulis
bukanlah profesi idaman generasi muda Indonesia. Pekerjaannya tidaklah ringan tetapi imbalannya
kecil. Seorang penulis harus rajin membaca, membuat peta konsep, rajin bertanya, duduk berjam-jam
di depan komputer, dan menulis dalam keheningan. Penulis identik dengan dunia sunyi-senyap, sebab
kondisi ini yang bisa mengalirkan gagasan dan bisa fokus.

Semoga, pemerintah dan DPR membuat kebijakan yang pro-penulis dan penerbit, karena buku
adalah penanda budaya bangsa. Wajah suram penulis negeri ini jangan sampai mematikan semangat
para penulis muda. Pemerintah dan DPR harus bisa mengubah kondisi kepenulisan negeri ini, bahwa
menjadi penulis merupakan profesi yang menjanjikan kesejahteraan. Jika tidak, menulis hanya akan
melahirkan luka, karena tidak ada harapan dalam menulis.

Wajah Lingkungan Hidup Kita


SINDO, Rabu, 10 Januari 2018

Penduduk bumi terus bertambah. Tak terkecuali di Indonesia. Seiring pertumbuhan penduduk,
kebutuhan terhadap hunian, industri, air, dan makanan pun akan semakin bertambah. Pembangunan
tanpa perencanaan matang dan tidak peduli dampak lingkungan akan berakibat buruk pada kualitas
hidup manusia di dalamnya—cepat atau lambat.

Indonesia adalah satu contoh negara gagal dalam pembangunan yang tidak peduli lingkungan
hidup yang hijau, sehat, dan nyaman. Pertama, hutan sengaja dibakar untuk pembangunan industri.
Luas hutan kita berkurang tiap tahun. Asap sisa pembakaran mencemari lingkungan wilayah
Indonesia, juga negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Sekolah dan kampus pun diliburkan.
Dampak pembakaran hutan sangat buruk bagi lingkungan dan kemanusiaan, tapi pemerintah tidak
bisa mencegah ritual tahunan pengusaha-pengusaha rakus. Mereka tidak pernah jera meskipun
hukummannya tidak ringan.

Kedua, sawah-sawah beralih fungsi jadi perumahan, mal, apartemen, dan industri. Hasil gabah
dan beras kita berkurang banyak setiap tahun. Sebagai negeri agraris, tanah-tanah luas membentang
dan subur, alih-alih swasembada pangan, kita malah memilih impor beras. Generasi milenial tak suka
jadi petani di sawah dan di kebun, tetapi memilih bekerja kantoran. Berbaju rapih, berdasi, dan wangi!
Pembangunan demi pembangunan melanggar jalur hijau karena aparat bisa dibeli rupiah pengusaha.

Ketiga, gedung perkantoran, mal, hotel, apartemen, dan kampus dibangun bertingkat karena tanah
langka dan mahal di kota-kota besar. Pembangunan dipusatkan di kota-kota besar, termasuk kampus.
Konsumsi listrik sangat tinggi karena gedung-gedung itu memerlukan penerangan, komputer, lift, dan
AC. Bahan bakar minyak bumi sebagai salah satu sumber energi listrik lambat laun akan menipis, dan
akhirnya habis. Singkatnya, ruang-ruang hijau kita berubah jadi gedung-gedung tinggi pencakar
langit. Bumi pun semakin panas.
Keempat, mal, toko, dan restoran menggunakan plastik untuk tas belanja konsumen.
Dibandingkan tas kertas, sampah tas plastik sulit terurai. Butuh waktu ratusan tahun. Gerakan tas
plastik berbayar dua tahun lalu tidak berhasil, padahal tujuannya bagus agar masyarakat hemat plastik
karena merusak lingkungan. Bukti bahwa masyarakat kita belum bisa dididik peduli lingkungan.

Kelima, sekolah, kampus, bank, kantor, tol, dan parkir, tidak (semua) menerapkan program
paperless. Kertas sengaja dihambur-hamburkan. Jumlahnya besar. Tidak ada upaya penghematan
kertas dalam surat-menyurat, pembuatan laporan, makalah, skripsi, tesis, dan disertasi. Ironis, bahkan
di dunia pendidikan tidak ada upaya serius mengungi kertas. Bahan utama kertas adalah kayu pohon.
Semakin tinggi konsumsi kertas, semakin banyak pohon ditebang. Semakin banyak pohon ditebang,
semakin tinggi potensi banjir dan semakin sedikit persediaan air di tanah.

Keenam, polusi udara semakin besar karena tingginya penggunaan kendaraan roda dua dan empat.
Kemacetan di kota-kota semakin menjadi-jadi dan parah. Masyarakat memilih kendaraan pribadi
karena mudahnya kredit, pertumbuhan kelas menengah, dan buruknya transportasi massal di
Indonesia. Banyak mobil pribadi hanya diisi satu-dua penumpang. Pemborosan massal yang
dibiarkan. Mungkin penggunaan kendaraan pribadi berkurang sedikit karena telah ada taksi dan ojek
daring.

Keenam masalah tersebut menunjukkan bahaya lingkungan hidup Indonesia yang tidak ringan.
Semua pihak bertanggung jawab dan harus berperan untuk mengatasinya. Pertama, pemerintah tidak
boleh kalah oleh pengusaha. Pembangunan pabrik, mal, apartemen, dan hotel tidak boleh melanggar
tata ruang dan jalur hijau.

Pabrik-pabrik yang merusak lingkungan segera ditutup karena membahayakan masyarakat sekitar.
Orientasi pembangunan bukan semata peningkatan pendapatan daerah tapi menjaga lingkungan tetap
sehat, nyaman, dan hijau. Pembangunan tidak dipusatkan di kota-kota besar tapi bergeser ke daerah-
daerah pinggiran. Konsep setiap pembangunan juga harus go green dan pemerataan.

Kedua, ganti tas plastik dengan tas kertas. Jika pengusaha dan pemerintah mau maka masyarakat
akan terbiasa. Membangun budaya memerlukan proses dan waktu yang panjang. Hemat air dan listrik.
Jangan biarkan kran bocor (meski kecil) dan AC menyala jika tidak digunakan. Pengabaian hal-hal
kecil merupakan awal mula kerusakan yang besar.

Ketiga, jalankan program paperless. Kampus, kantor swasta, dan pemerintah mengurangi
penggunaan kertas. Ganti dengan surat, laporan, dan kartu, yang berbasis elektronik. Di era digital
saat ini tidak akan sulit menerapkan program paperless. Hanya perlu kemauan yang kuat dari
pimpinan. Selain mengurangi penggunaan kertas, hal ini akan menghemat keuangan perusahaan dan
kampus.

Keempat, gerakan sejuta pohon. Di rumah, kantor, sekolah, dan kampus, fungsi pohon untuk
kenyamanan dan keteduhan. Bekerja dan belajar menguras energi dan emosi sehingga membutuhkan
relaksasi. Lingkungan yang hijau akan mengembalikan kebugaran dan mendatangkan ide-ide baru.
Demikian pula rumah tempat kembali selepas bekerja sehari penuh akan benar-benar mengembalikan
energi yang hilang jika di sekitarnya banyak pohon. Kampus-kampus negeri yang sudah kehabisan
lahan hijau sebaiknya segera dipindahkan ke pinggiran kota agar punya taman-taman hijau yang
memadai. Mahasiswa dan dosen yang belajar pun akan nyaman.

Akhirnya, lingkungan buruk di beberapa titik negeri ini terjadi karena ulah kita sendiri. Contoh,
air sungai dan laut yang kotor, sampah berserakan, saluran air mampet, perkampungan kumuh,
langkanya lahan hijau, dan polusi udara. Pengusaha yang tamak, pejabat yang rakus, penegak hukum
yang terbeli, dan warga yang abai terhadap terhadap isu-isu lingkungan, adalah paduan lengkap
terwujudnya lingkungan Indonesia yang buruk saat ini.

Semua elemen bangsa tersebut harus bergerak bersama dan segera bertindak nyata untuk
lingkungan yang lebih baik, indah, dan nyaman. Tidak ada kata terlambat untuk memulai suatu
kebaikan. Demi Indonesia yang lebih baik bagi generasi penerus dan bagi dunia. Mungkin bukan kita
yang akan menikmati hasilnya tapi generasi mendatang. Dengan demikian, kenangan mereka tentang
kita adalah kenangan yang baik dan membanggakan. Kita sudah seharusnya mewariskan bumi yang
nyaman dan hijau, bukan bumi yang menjijikan dan mematikan.
BAB IX

METODE

# Mahir Bahasa Arab dalam Empat Bulan #


Jejen Musfah, 2017

Kamis (13/11/2014), penulis dan 15 mahasiswa Program Magister PBA mengunjungi Pesantren
Arrayaah di Sukabumi. Luas tanahnya 15 hektar. Ada sekitar 650 santri. Mereka berasal dari Jawa,
Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Tes masuknya hanya wawancara: dipilih yang punya tekad kuat
belajar Bahasa Arab, baik dari keluarga kaya atau miskin. Semuanya gratis: biaya sekolah, buku, baju
seragam, asrama, dan makan sehari 3 kali. Di sini ada program difloma Bahasa Arab (2 tahun) dan S1
Pendidikan Bahasa Arab (belum ada lulusan, baru sampai semester V).

Pesantren berhasil menciptakan lingkungan berbahasa Arab Fushha (Bahasa Arab resmi atau
akademik bukan Bahasa Arab harian). Artinya, percakapan harian menggunakan Bahasa Arab. Siswa
Program Difloma, alumni Sekolah Menengah Atas, 80 persen tidak mengerti Bahasa Arab saat datang
ke pesantren. Hanya dalam waktu empat bulan, mereka mampu berbicara dalam Bahasa Arab dengan
fasih.

Keberhasilan pembelajaran Bahasa Arab di pesantren ini karena guru, lingkungan, siswa, dan
dana. Pertama, guru yang kompeten dan berkomitmen. Semua guru menguasai Bahasa Arab. Ada 7
guru yang berasal dari Mesir, Saudi, dan Sudan. Semua guru wajib tinggal di pesantren. Mereka
berinteraksi dengan murid di kelas, masjid, lapangan olahraga, dan di mana pun di pesantren ini.

Kedua, Lingkungan berbahasa Arab. Siswa belajar Bahasa dari guru dan siswa senior. Siswa
dilarang membawa hand phone, tapi boleh menelepon keluarga seminggu sekali selama lima menit.
Siswa hanya menonton televisi di waktu tertentu, dan semua program televisinya berbahasa Arab.
“Mungkin mereka tidak tahu siapa presiden RI saat ini,” canda seorang ustadz. Tidak ada kesempatan
untuk bicara selain Bahasa Arab Fushha, sehingga guru dari Mesir yang sudah hampir tiga tahun di
sini tidak bisa Bahasa Indonesia (kecuali hitungan satu, dua, tiga, dan seterusnya) dan meninggalkan
Bahasa ‘Amiyah (Bahasa Pasaran), yang dipakainya di Mesir.

Semua buku di perpustakaan berbahasa Arab. Bahkan petugas kebersihan, tukang kebun, penjaga
kantin, dan tukang cuci berbahasa Arab, karena semuanya berbahasa Arab di sini. Ketika di pasar
untuk berbelanja, siswa sering lupa bertanya kepada pedagang dengan Bahasa Arab: kam tsaman
hadza/hadzihi (Berapa harganya)...

Ketiga, siswa belajar dengan tekun. Siswa fokus belajar, belajar, dan belajar. Hanya siswa yang
rajin yang layak ada di sini, karena jika nilai satu pelajaran saja di bawah 6, ia akan dikeluarkan (nilai
6 di sini nilai objektif, bukan nilai subjektif). Siswa Difloma tidak diizinkan pulang selama dua tahun
dan mahasiswa pulang setahun sekali, tapi boleh dijenguk kapan pun. Siswa menghafal Al-Quran
meski tidak diwajibkan. Waktu luang mereka di sini sangat banyak, dan mereka menggunakannya
untuk menghafal Al-Quran—tanpa paksaan. Ini faktor lain yang membantu mereka menguasai Bahasa
Arab dengan cepat. Al-Quran membantu mereka belajar Bahasa Arab.
Keempat, dana. Dana tidak masalah sepertinya di pesantren ini. Semua kebutuhan pesantren
dibiayai oleh tiga orang dermawan dari Saudi Arabia. Setiap siswa memerlukan biaya sekitar 1,6 juta
perbulan. Minimal 2 x dalam seminggu mereka makan daging. Bangunan kelas, asrama, masjid, dan
perumahan guru dan staf sangat bagus. Semua lantainya dari marmer kualitas nomor satu. Semua guru
di sini mendapatkan fasilitas rumah dan gaji yang memadai.

Demikianlah, pesantren ini cocok bagi alumni SMA/MA yang ingin mempelajari Bahasa Arab
langsung dari guru-guru yang berasal dari negara berbahasa Arab (native speaker) atau guru-guru
alumni Timur Tengah. Selain gratis, keunggulannya adalah hafalan Al-Quran, tempat yang bagus dan
asri, guru-guru yang kompeten, dan bisa langsung kuliah S1 gratis di pesantren ini. Bagi yang ingin
kuliah di Timur Tengah juga tidak akan mengalami kendala Bahasa dan hafalan Al-Quran.

Penulis bersyukur atas kehadiran pesantren ini karena telah banyak membantu pendidikan
generasi muslim Indonesia, terutama dalam memperdalam Bahasa Arab sebagai Bahasa Al-Quran.
Semoga Allah memberikan kemakmuran bagi Kerajaan Saudi khususnya tiga orang dermawan
penyandang dana Pesantren Arrayaah di Sukabumi.




# Siklus Penelitian #
Pengantar Jurnal Mimbar Pendidikan Indonesia PGRI, Volume 1 2016

Idealnya, sebuah penelitian memiliki sekurang-kurangnya empat siklus, yaitu: laporan hasil
penelitian, penerbitan, hak kekayaan intelektual atau HAKI, dan terakhir penerapan hasil penelitian.
Setiap penelitian pasti menghasilkan temuan atau hasil penelitian. Hasil penelitian dilaporkan kepada
penyandang dana atau dipertanggungjawabkan di hadapan para penguji jika ia merupakan tugas akhir
mahasiswa sarjana atau pascasarjana.

Tidak berhenti sampai menghasilkan temuan, penelitian selaiknya dimajukan ke pengelola jurnal
dalam negeri maupun luar negeri, terakreditasi atau belum, terindeks scopus, DOAJ, atau lainnya.
Dengan demikian, hasil penelitian seseorang bisa dibaca dan dijadikan referensi oleh sarjana atau
ilmuwan sebidang ilmu. Penerbitan tulisan melalui jurnal daring (online) atau cetak akan memperluas
kesempatan pembaca. Jika jurnal cetak mahal dan daya jangkaunya sempit, maka jurnal daring saat
ini hampir bisa diakses oleh ilmuwan mana pun di dunia ini.

Langkah penting selanjutnya adalah pengurusan HAKI hasil penelitian. Harus diakui bahwa
peneliti dan dosen di Indonesia belum memiliki budaya mengurus HAKI atas hasil-hasil penelitian
mereka. Tentu banyak faktornya. Maka, upaya pengurusan hal tersebut bisa saja ditangani oleh unit
tertentu di kampus, semisal lembaga penjaminan mutu atau lembaga penelitian. Dengan demikian,
hasil penelitian terlindungi secara hukum, apabila terjadi plagiasi di kemudian hari atau setidaknya
dosen atau peneliti memiliki HAKI.

Siklus selanjutnya adalah penerapan hasil penelitian. Hasil penelitian dimanfaatkan oleh industri
dengan cara memproduksi produk tertentu, misalnya helm ber-AC; Hasil penelitian dibudidayakan,
misalnya durian merah dengan biji yang kecil tetapi dagingnya tebal; Hasil penelitian menghasilkan
kurikulum baru, misalnya kurikulum berbasis kerukunan beragama atau kurikulum anti kekerasan.

Semoga jurnal ini bermanfaat bagi pembacanya. Bagi guru, dosen, dan peneliti, kami menunggu
kiriman artikel hasil penelitiannya. Terima kasih kepada para penulis, dewan redaksi, dan Pengurus
PB PGRI, yang semuanya memberikan kontribusi atas terbitnya jurnal ini, dengan caranya masing-
masing.
BAB X

PENILAIAN

# Moratorium Ujian Nasional Jilid 2 #


Jejen Musfah, 2017

Jokowi dan JK menolak usulan moratorium ujian nasional (UN) yang dimajukan Mendikud
Muhadjir di akhir tahun 2016. Penolakan moratorium UN dengan berbagai alasan itu masih perlu
dikaji ulang di tahun 2017 karena beragam alasan berikut. Pertama, pemetaan mutu pendidikan
nasional tidak perlu dilakukan setiap tahun. Meski UN sudah berlangsung 13 tahun lamanya, standar
nasional pendidikan (SNP) sekolah-sekolah kita masih sangat timpang, bahkan sekolah-sekolah yang
dekat dengan ibu kota atau kota. Padahal pemerintah menjadikan nilai UN untuk pemetaan mutu
pendidikan di daerah tertentu, kemudian akan menjadikannya prioritas penerima bantuan. Tujuan ini
gagal dipenuhi oleh pemerintah seperti dijelaskan di atas.

Kegagalan pemerataan SNP itu bisa jadi karena keterbatasan dana pendidikan di pusat dan di
daerah. Karena itu, dana tahunan UN sebesar 500 miliar bisa digunakan untuk pemenuhan SNP di
sekolah-sekolah, swasta dan negeri, terutama di daerah terluar, terdalam, dan tertinggal (3T).
Pembenahan sekolah-sekolah yang rusak dan jembatan penyebrangan jauh lebih utama daripada
pelaksanaan UN setiap tahun.

Kedua, mutu pendidikan nasional bisa juga diketahui dari penilaian eksternal semacam PISA
(Programme for International Student Assesment) dan TIMSS (Trend International Mathematics and
Science Study). UN bukan satu-satunya cara mengetahui mutu pendidikan Indonesia. Hasil penilaian
dua lembaga internasional tersebut selalu menunjukkan peringkat Indonesia berada di bawah negara-
negara Asia seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura. Data ini seharusnya menyadarkan kita untuk
lebih fokus pada perbaikan proses pembelajaran daripada menilai hasil belajar siswa di SD, SMP, dan
SMA dalam bentuk UN. Singkatnya, tanpa UN kita sudah tahu di mana dan bagaimana posisi mutu
pendidikan nasional kita.

Ketiga, motivasi belajar siswa harus muncul dan bersemi sepanjang waktu bukan hanya
menjelang UN. Tugas guru paling utama adalah mengajarkan siswa mencintai belajar dan membaca
di mana pun dan kapan pun. Siswa belajar karena suka dan menghargai ilmu pengetahuan bukan
karena ingin lulus ujian. Maka, setiap menghadapi ujian apa pun termasuk UN, siswa tidak akan
merasa takut karena sudah biasa belajar dan berlatih.

Keempat, nilai UN yang masih menjadi penentu kelulusan meski tidak 100 persen mengakibatkan
oknum guru memanipulasi nilai rapor. Tidak ada guru yang ingin anak didiknya tidak lulus sekolah
sehingga mereka akan memberikan nilai rapor yang tinggi sebagai antisipasi nilai UN siswa yang
rendah. Siswa tidak lulus karena nilai mata pelajaran merupakan aib bagi guru, orangtua, dan kepala
sekolah. Penghapusan hasil UN sebagai penentu kelulusan mungkin perlu dipertimbangkan agar guru
berhenti berdusta alias jujur.

Kelima, pelaksanaan UN 2016 berbasis komputer maupun kertas masih diwarnai kecurangan
seperti kebocoran soal dan jual-beli jawaban. Kecurangan seperti itu berulang terjadi setiap
pelaksanaan UN menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah dan mental sakit pelaku pendidikan
kita. UN yang dilaksanakan beberapa hari saja merusak proses pendidikan selama tiga tahun di
sekolah karena siswa belajar tentang ketidakjujuran.

Apa yang harus dilakukan guru dan pemerintah untuk UN yang lebih baik? Pertama, guru
mengajar siswa untuk bisa menjawab soal-soal pilihan ganda tanpa melupakan pengembangan minat
dan bakat siswa. Siswa yang tidak berbakat dalam mata pelajaran UN tidak perlu dipaksakan meraih
nilai tinggi tetapi difasilitasi pengembangan bakatnya masing-masing. UN hanya mengukur
pengetahuan siswa padahal belajar juga menumbuhkan sikap dan keterampilan yang justeru terbukti
lebih penting dalam hidup kelak. Bimbingan belajar bisa saja masuk ke sekolah sepanjang tidak
memberatkan siswa dari keluarga miskin. Siswa kaya harus membantu siswa yang miskin.

Kedua, pemerintah memberikan prioritas program pemerataan guru dan fasilitas pendidikan
sehingga kesenjangan pendidikan di kota dan desa tidak terlalu jauh. Pelatihan guru harus menyasar
mereka yang sama sekali belum pernah ikut pelatihan, sehingga peran pemerintah daerah sangat
penting. Pelatihan guru juga biasa diinisiasi oleh kepala sekolah dengan cara bekerjasama dengan
komite sekolah dan dunia industri. Pelatihan penting karena guru kompeten merupakan kunci
keberhasilan pendidikan.

Ketiga, UN BK di semua sekolah akan menjadi pilihan tak terelakan sesuai dengan perkembangan
zaman, sehingga pemenuhan fasilitas komputer di sekolah harus menjadi prioritas pemerintah yang
lainnya. Pemerintah tidak bisa sendirian, sehingga harus bekerjasama dengan daerah dan pelaku
industri, bahkan masyarakat mampu. Guru harus melek teknologi sehingga mereka bisa
memanfaatkan komputer tidak saja saat UN tetapi untuk pembelajaran sehari-hari dan peningkatan
wawasan keilmuan.

Dari penjelasan di atas bukan mustahil Mendikbud Muhadjir akan mengajukan moratorium UN
jilid kedua, dan semoga Jokowi dan JK mendengar informasi yang komprehensif tentang kelemahan
UN. Bukankah seharusnya mereka mendengar suara menteri yang diangkat karena mereka percaya
kapasitasnya dalam pendidikan?

Ujian Nasional 2018, SMA Awal April, SMP Akhir April

27 Oktober 2017
JawaPos.com- Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah mengeluarkan jadwal tentatif
Ujian Nasional (Unas) 2018. Meski bersifat tentatif, hampir pasti tidak ada perubahan dan tinggal
disahkan. Untuk jenjang SMA, MA, dan SMK, jadwal penyelenggaraan Unas 2018 hampir sama
dengan tahun ini. Yakni dimulai pada pekan pertama April.

Yang berbeda adalah jadwal unas SMP sederajat. Tahun ini unas SMP sederajat digelar pada
Mei. Sementara itu, tahun depan unas SMP dilaksanakan pada akhir April. Rangkaian pelaksanaan
Unas 2018 diawali untuk kelompok SMK dan MAK pada 2–5 April. Kemudian disusul kelompok
SMA dan MA pada 9–12 April. Lalu ditutup unas SMP sederajat pada 23–26 April.

Ketua BSNP Bambang Suryadi menjelaskan, penyelenggaraan Unas 2018 sempat bakal
dimajukan karena tahun depan ada pilkada serentak. Namun, akhirnya rencana memajukan
pelaksanaan Unas 2018 pada Februari tidak jadi diputuskan. ’’Kami berharap baik unas maupun
pilkada serentak sama-sama berjalan dengan lancar dan kondusif,’’ katanya.
Dia menyatakan, penyusunan jadwal tentatif Unas 2018 itu sudah mempertimbangkan hari libur
nasional, hari penting keagamaan, dan sejenisnya. Dengan demikian, pelaksanaan unas tidak
sampai bertabrakan dengan hari libur maupun hari keagamaan. Dosen UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta itu menjelaskan, pemerintah tetap mengupayakan pelaksanaan ujian nasional berbasis
komputer (UNBK) sebanyak-banyaknya.

Untuk jenjang SMA, MA, SMK, dan MAK, ditargetkan 100 persen menjalankan UNBK.
Sedangkan tingkat SMP dan MTs ditargetkan 70 persen. ’’Tentu UNBK tidak selalu di sekolah
masing-masing. Tetap ada yang bergabung ke sekolah lainnya,’’ jelasnya. Bahkan, numpang
UNBK juga bisa dilakukan pada lintas kelompok atau jenjang. Misalnya, siswa SMK numpang
fasilitas UNBK di SMA atau sebaliknya. Untuk itu, BSNP membuat jadwal unas SMK dan SMA
tidak berbarengan supaya bisa resource sharing.

Bambang menuturkan, jumlah sekolah peserta Unas 2018 terus didata. Catatan sementara,
jumlah sekolah peserta Unas 2018 untuk kelompok SMA sebanyak 12.959, SMK ada 12.585, dan
MA tercatat 7.806. Dia berharap pendataan atau pendaftaran siswa dan sekolah peserta Unas 2018
sudah beres Desember 2017. Dengan demikian, bisa langsung digunakan pemetaan jumlah sekolah
pelaksana UNBK maupun yang berbasis kertas.

Rencana ketentuan baru dalam unas tahun depan adalah pelaksanaan unas perbaikan. Setelah
unas utama digelar, lanjut Bambang, akan dilaksanakan unas susulan. Program unas susulan itu
diperlukan untuk peserta ujian yang berhalangan, misalnya karena sakit saat unas utama. Selain itu,
BSNP menyiapkan unas perbaikan yang rencananya digelar Juli 2018. Unas perbaikan, antara lain,
dilaksanakan untuk peserta ujian yang tidak bisa ikut unas utama dan susulan. ’’Mungkin saat unas
susulan, dia masih dalam perawatan,’’ jelasnya.

Selain itu, unas perbaikan diselenggarakan untuk siswa yang tidak mampu mengejar standar
nilai minimal. Meskipun unas bukan lagi penentu kelulusan, ada standar nilai kelulusan. Standar
nilai minimal Unas 2018 masih sama dengan Unas 2017. Bambang menegaskan, unas perbaikan
tahun depan hanya diperuntukkan peserta Unas 2018.

Pengamat pendidikan Jejen Musfah menuturkan, ada tiga poin yang harus diperhatikan di masa
persiapan Unas 2018. Yakni, pemerintah jangan memaksakan sekolah melaksanakan UNBK karena
infrastrukturnya belum siap. Memaksakan pelaksanaan UNBK bisa berujung pada pungutan
pengadaan unit komputer.

Kemudian, karena unas sudah tidak menjadi penentu kelulusan dan penentu masuk PTN, tidak
boleh ada praktik kecurangan. ’’Baik itu oleh oknum guru, nonguru, maupun orang tua siswa dan
siswanya sendiri,’’ jelasnya. Jangan sampai ada yang membocorkan soal ujian dan orang tua yang
mencari serta membeli bocoran soal atau kunci jawaban.

Selain itu, sambung Jejen, tensi unas saat ini tidak terlalu tegang. Karena itu, proses belajar
sebaiknya dilakukan secara alamiah di sekolah. Tidak perlu dipaksakan ikut bimbingan belajar
yang tarifnya bisa jutaan rupiah dalam sebulan. Dia berharap jangan sampai bimbingan belajar
terkesan menggantikan pembelajaran di sekolah.
BAB XI

FASILITAS

# Zonasi Terbit, Prestasi Terbenam #


SINDO, 19 Juli 2017

Kebijakan zonasi menuai protes dari orang tua siswa. Permendikbud nomor 17 tahun 2017
menyebutkan setiap sekolah harus menerima 90 persen peserta didik dari zona tempat sekolah itu ada.
Sementara 10 persen lainnya, 5 persen untuk mereka yang berprestasi dengan ketentuan dan 5 persen
untuk perpindahan antar daerah atau luar negeri. Diatur pula SMA dan SMK khusus kreasi provinsi
harus menampung minimal 20 persen anak didik berasal dari keluarga tidak mampu di provinsi
tersebut.

Diatur seleksi siswa baru mempertimbangkan urutan prioritas sesuai daya tampung berdasar
ketentuan jarak tempat tinggal ke sekolah, usia, nilai hasil ujian SD, dan prestasi. Zonasi memiliki
keunggulan seperti meminimalisir keterlambatan siswa, siswa bisa lebih lama di sekolah, dan
mengurangi biaya antar-jemput siswa. Meski demikian sistem ini perlu mendapat beberapa catatan.

Pertama, pemerataan. Sistem kompetisi kerap membuat siswa tidak diterima di sekolah negeri
yang dekat dengan rumahnya. Penerimaan siswa baru berdasarkan prestasi bukan zonasi. Kebijakan
zonasi menjamin siswa bisa diterima di sekolah negeri yang dekat dengan rumahnya meski nilai
akademiknya rendah. Benarkah sistem ini menjamin pemerataan pendidikan, terutama bagi siswa
miskin?

Zonasi menguntungkan siswa yang rumahnya terdapat sekolah negeri tetapi merugikan mereka
yang jauh dari sekolah negeri meski prestasinya baik. Tidak semua wilayah memiliki sekolah negeri
atau ada tapi jumlahnya terbatas—tidak sesuai dengan jumlah lulusan TK, SD, dan SMP. Sekolah
favorit berada di pusat kota dan berdekatan. Akhirnya, sebagian siswa miskin yang nilainya rendah
tetap harus mendaftar di sekolah swasta.

Sekolah swasta dengan kualitas sama dengan sekolah negeri pasti berbiaya mahal sehingga siswa
miskin tidak bisa mendaftar di sana. Kecuali biaya sumbangan yang tidak terjangkau, jarak sekolah
dengan rumah yang jauh menimbulkan biaya antar-jemput siswa yang mahal. Belum uang jajan
karena siswa harus makan siang di sekolah.

Kedua, sekolah favorit. Sistem kompetisi menjadikan sekolah negeri diisi oleh anak-anak yang
unggul secara akademik. Fasilitas dan guru yang bagus serta biaya yang terjangkau—bahkan gratis—
menjadikan sekolah negeri incaran setiap orang tua. Muncullah istilah sekolah favorit vis a vis sekolah
pinggiran atau sekolah gurem. Sistem zonasi membuat orang tua kecewa karena prestasi anaknya
tidak serta merta menjadikannya diterima di sekolah negeri.

Siswa yang rajin belajar agar meraih nilai sekolah dan UAN-nya bagus dengan tujuan diterima di
sekolah negeri merasa sia-sia sebab kebijakan zonasi dikeluarkan menjelang penerimaan siswa baru
2017. Apakah sistem baru ini malah menjadikan siswa malas belajar merupakan pertanyaan yang
menarik diteliti, sebab tanpa nilai yang bagus pun si anak bisa diterima si sekolah negeri—asal
rumahnya dekat.
Demikian juga anak-anak yang rumahnya jauh dari sekolah negeri tidak termotivasi untuk belajar
dengan giat karena yang menentukan kelulusan bukan prestasi akademik tetapi zonasi. Maka, orang
tua kaya bisa saja pindah rumah di sekitar sekolah negeri favorit atau memanipulasi kartu keluarga
saudara atau orang lain demi kelulusan anaknya. Orang kaya juga bisa memanfaatkan oknum guru
yang tergiur jual beli kursi.

Ketiga, siswa titipan pejabat dan anggota dewan. Penerimaan siswa baru kerap memunculkan
masalah siswa titipan pejabat atau anggota dewan yang membuat kepala sekolah dilema. Meski tidak
sesuai zonasi, siswa titipan bisa saja bisa diterima. Jika ini tetap terjadi akan sangat tidak adil bagi
siswa miskin atau siswa yang berprestasi yang tidak diterima di sekolah negeri.

Praktik siswa titipan diduga tidak mungkin bisa terjadi karena sistem PPDB secara daring.
Seleksinya berdasarkan data siswa yang masuk ke dalam sistem sehingga bisa dipantau oleh
masyarakat. Siswa tertentu yang namanya tiba-tiba muncul dalam kelulusan bisa menimbulkan
masalah terutama bagi orang tua yang merasa anaknya tidak lulus padahal syaratnya mencukupi.
Meski demikian, bukan tidak mungkin sistem daring bisa “ditembus”.

Bukan hanya anggota dewan dan pejabat, guru juga bisa terjerat praktik penitipan anaknya di
sekolah negeri di mana ia mengajar atau sekolah negeri lainnya. Meski tidak tertulis, mungkin kepala
sekolah merasa perlu membela gurunya dengan alasan jiwa korps: “bagaimana mereka mengajar
anak-anak orang lain sementara anak mereka sendiri tidak lulus di sekolah negeri”. Ini bisa terjadi
karena tidak semua rumah guru dekat dengan sekolah tempat ia mengajar.

Sekolah Baik

Sekolah baik dan berbiaya terjangkau merupakan impian masyarakat. Itulah sekolah negeri yang
diperebutkan oleh orang tua setiap tahun ajaran baru karena jumlahnya yang terbatas. Meski mungkin
ada sekolah swasta bagus yang terjangkau, image positif masyarakat terhadap sekolah negeri yang
menjanjikan masih sangat kuat. Sekolah negeri masih menjadi pilihan pertama orang tua untuk belajar
anak-anak mereka.

Bagaimana mengatasi celah kelemahan sistem zonasi? Pertama, percepatan pembangunan


sekolah negeri. Pemerataan pendidikan bagi siswa miskin bisa diatasi dengan pendirian sekolah negeri
yang saat ini jumlahnya sangat minim. Sekolah negeri terjangkau masyarakat karena seluruh
pembiayaannya berasal dari pemerintah melalui APBN dan APBD. Fasilitas sekolah negeri juga
umumnya sudah bagus.

Kedua, bantuan pemerintah terhadap sekolah swasta. Kecuali dana BOS dan tunjangan profesi
guru, pemerintah harus mendukung terwujudnya sekolah swasta yang bagus terutama yang bebas
biaya. Misal, bantuan fasilitas belajar, tunjangan kesejahteraan guru, dan penempatan guru negeri di
swasta. Dengan demikian pandangan masyarakat terhadap sekolah swasta lambat laun akan berubah.
Image sekolah swasta baik itu mahal harus berubah. Semakin besar peran pemerintah terhadap
sekolah swasta akan semakin kecil mereka meminta sumbangan kepada wali siswa.

Ketiga, siswa kaya sekolah di sekolah swasta. Meski pilihan sekolah adalah hak orang tua siswa,
prioritas sekolah negeri sebaiknya diberikan kepada siswa miskin dengan kuota 50 persen, misalnya.
Berbeda dengan siswa miskin, siswa kaya bisa memilih sekolah swasta yang bagus. Karena itu,
pemerintah harus membuat sistem yang memungkinkan siswa miskin bisa sekolah di negeri. Lebih
dari ini, kesadaran orang tua kaya dalam mendahulukan mereka yang lemah dalam akses pendidikan
sangat penting.

# Banyak Buku, Sedikit Waktu #


Jejen Musfah, 2017

Kemajuan teknologi dan informasi mampu mengubah konsep buku yang tadinya identik dengan
kertas cetakan, berat dibawa, dan sulit dijangkau, menjadi buku elektronik (e-book), ringan dan
mudah dibawa bahkan dalam jumlah ratusan judul dan ribuan halaman, dan mudah diperoleh karena
beberapa buku bisa diunduh secara gratis. Membaca buku elektronik sudah menjadi budaya baru
masyarakat di era digital saat ini.

Koleksi buku di perpustakaan kampus, perpustakaan umum, dan perpustakaan pemerintah


mencakup buku cetak dan buku elektronik, terbitan dalam dan luar negeri. Akademisi di Indonesia
diwajibkan membaca buku dan jurnal, serta menulis artikel ilmiah karena sudah menjadi tuntutan dan
standar global. Karena itu, pemerintah melalui perpustakaan nasional dan kampus-kampus negeri dan
swasta menyediakan dana besar untuk berlangganan jurnal elektronik. Biayanya tidak sedikit, bisa
miliaran rupiah dalam setahun.

Budaya Baca

Kemudahan memperoleh akses buku dan jurnal di perpustakaan tersebut belum dimanfaatkan
dengan baik oleh masyarakat, khususnya dosen dan mahasiswa, sehingga biaya yang telah
dikeluarkan menjadi mubazir. Ada tiga alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama, mahasiswa dan dosen
belum memiliki budaya membaca yang baik. Di mayoritas rumah, sekolah, dan kampus Indonesia
tidak ada desain program menumbuhkan budaya baca. Belum ada contoh sekolah dan kampus di sini
yang berhasil mengembangkan budaya baca komunitasnya.

Bisa dilihat, sulit mendapatkan para dosen dan mahasiswa membaca buku atau jurnal di kampus.
Siswa dan mahasiswa tidak mendapatkan sosok teladan yang gemar membaca. Demikian juga di
sekolah dan kampus tidak tersedia kursi dan meja, apalagi taman yang nyaman untuk membaca buku,
kecuali di perpustakaan. Perpustakaan saja tidak akan cukup untuk menumbuhkan budaya baca civitas
akademik.

Padahal, lembaga pendidikan harus menyediakan tempat dan fasilitas yang mendukung, yang
merangsang warganya untuk membaca di kala senggang maupun saat mengerjakan tugas-tugas
sekolah atau kampus. Jika fasilitas yang memadai itu sudah ada, maka dosen dan mahasiswa seniorlah
yang harus pertama membaca dan mungkin juga diskusi, sehingga mahasiswa baru dan staf akan
mengikuti dan terpengaruh budaya baca tersebut.

Sedikit Waktu
Kedua, mata kuliah terlalu banyak sehingga mahasiswa sibuk mengerjakan tugas-tugas dari
berbagai dosen. Mahasiswa membaca sekedar untuk menyelesaikan tugas, bukan membaca banyak
buku dan jurnal untuk memperdalam suatu tema kajian. Sehingga, mahasiswa tahu sedikit tentang
banyak hal, bukan tahu banyak tentang satu hal. Karena itu, mata kuliah harus dibuat ramping tetapi
dengan banyak tugas membaca dan meneliti, serta melahirkan makalah ilmiah.

Ketiga, dosen tidak fokus kepada pembelajaran dan penelitian yang identik dengan membaca.
Waktu dosen banyak habis untuk menangani administrasi kampus, jika ia adalah pejabat struktural—
demikian juga guru yang jadi kepala sekolah, atau mengerjakan pekerjaan di luar kampus seperti
sebagai asesor, konsultan, pelatih, tenaga ahli, pimpinan lembaga, pimpinan organisasi masyarakat,
dan lain sebagainya. Hampir tidak ada dosen yang meluangkan waktunya untuk membaca di
perpustakaan kampus.

Tidak salah seorang dosen merangkap pekerjaan seperti tersebut di atas, selama ia mampu
meluangkan waktu untuk membaca, meneliti, dan menulis. Jika dosen terlalu sibuk di dalam atau di
luar kampus, sementara ia tidak gemar membaca apalagi meneliti, dan tidak punya komitmen belajar,
maka waktu dosen tersebut akan digunakan di luar membaca. Dosen sibuk mengajar di banyak
kampus atau ceramah di banyak pengajian, sementara karyanya—artikel dan buku, sebagai hasil atau
buah dari banyak membaca—sangat minim bahkan hampir nihil.

Karena itu, dosen harus kembali ke tugas dan fungsi pokoknya sebagai pengajar, peneliti, dan
pengabdi masyarakat. Porsi yang besar pada aspek pengajaran bukan berarti mengajar di banyak
kampus, tetapi meluangkan waktu untuk menyiapkan bahan, alat, dan media pembelajaran, sehingga
perkuliahan berjalan baik dan menyenangkan. Dosen sebaiknya menulis buku terkait mata kuliah
yang diajarkannya. Menulis apa pun, apalagi buku ajar, tidak akan terwujud tanpa meluangkan waktu
membaca buku-buku terkait.

Kebijakan tentang dosen yang menduduki jabatan struktural di kampus, yang mewajibkan mereka
menangani hal-hal yang bersifat administratif, harus segera dihapuskan. Kebijakan tersebut sangat
menyita waktu dosen sehingga mereka tidak sempat membaca, menulis, apalagi meneliti. Pekerjaan
administrasi bisa dilakukan oleh staf, lulusan SMA/ MA atau sarjana. Selama kebijakan ini masih
berlaku, maka sulit mengharapkan produktivitas menulis dan meneliti dosen struktural. Padahal, bisa
jadi dosen struktural adalah dosen yang potensial. Artinya, kebijakan di atas kontraproduktif dengan
cita-cita universitas riset atau universitas kelas dunia.

Demikianlah, banyak buku dan jurnal tidak terbaca oleh sebagian besar mahasiswa dan dosen
karena mereka tidak punya waktu dan budaya membaca mereka lemah. Kebijakan pengayaan buku
dan jurnal di kampus harus diikuti dengan penyediaan lingkungan dan fasilitas membaca yang baik,
dan kampanye budaya membaca. Sebagai contoh, pada setiap Senin dan Kamis di kampus, satu atau
dua jam pada 08.00 hingga 10.00 WIB, staf, mahasiswa, dan dosen diwajibkan membaca buku. Pada
tahun keenam, kebijakan membaca di kampus ini akan menjadi budaya membaca civitas akademik
kampus.

Ketika kampus berhasil melakukan revolusi mental malas membaca ini, maka investasi buku dan
jurnal di kampus tidak akan sia-sia karena memberi banyak manfaat bagi mahasiswa dan dosen.
Meski mereka tidak punya banyak waktu untuk membaca, pasti mereka akan memanfaatkan waktu
yang sedikit itu untuk membaca. Hasilnya tentu tidak akan sebesar yang diharapkan oleh universitas
yang mengusung cita sebagai universitas riset.

Karena itu, kebijakan lain yang harus dipikirkan adalah bagaimana mahasiswa dan dosen dipicu
untuk banyak membaca, bukan terjebak urusan administratif atau pekerjaan “di luar” kampus yang
menyita waktu. Tugas mendesak para pemimpin di kampus saat ini adalah bagaimana mengimbangi
banyaknya sumber bacaan, buku dan jurnal, dengan alokasi waktu yang dimiliki oleh mahasiswa dan
dosen. Yang terjadi adalah, banyak buku yang harus dibaca, tetapi sedikit waktu yang mereka miliki.
BAB XII

PERGURUAN TINGGI

# Evaluasi Kinerja Profesor #


Jejen Musfah, 2017

Profesor Indonesia terusik. Pasalnya Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 menyatakan bahwa
pada November 2017 pemerintah akan mengevaluasi kinerja profesor. Bahwa profesor yang tidak
memiliki artikel di jurnal internasional akan dicabut tunjangan kehormatannya. Artinya, seorang
profesor hanya akan menerima gaji dan tunjangan sekitar sepuluh juta rupiah perbulan.

Sebelumnya, syarat publikasi di jurnal internasional menjadi faktor determinan minimnya jumlah
profesor di Indonesia. Pangkat banyak dosen mentok di lektor kepala karena tidak memiliki publikasi
jurnal internasional. Data Kemristekdikti per Januari 2016 menunjukkan, ada 5.889 guru besar se-
Indonesia. Mereka terdiri dari 5.094 guru besar di perguruan tinggi (PT) negeri dan 795 orang di PT
swasta. Pada Oktober 2015 jumlah guru besar hanya 4.710.

Paling tidak, sampai 2017 ini dosen dengan pangkat lektor kepala bahkan profesor belum banyak
yang berhasil menembus jurnal internasional yang umumnya berbasis di luar negeri. Di Indonesia ada
tapi jumlahnya sangat sedikit. Dosen Indonesia belum terbiasa dengan pola penulisan artikel jurnal,
apalagi jurnal internasional. Di Indonesia misalnya, sedikit sekali jurnal yang terakreditasi
Kemristekdikti dan LIPI, apalagi setelah jurnal diwajibkan terbit secara daring (online).

Setidaknya ada dua faktor penyebab minimnya publikasi internasional seorang profesor. Pertama,
kompetensi riset lemah. Dulu menjadi profesor tidak harus memiliki publikasi internasional, sehingga
banyak profesor itu yang tidak punya karya di jurnal internasional. Pertanyaanya, apakah semua dosen
wajib memiliki kompetensi riset level internasional? Bagaimana dengan kompetensi mengajar?
Bukankah periset yang baik belum tentu pengajar yang baik. Demikian juga sebaliknya.

Kedua, dana riset minim. Di Indonesia seorang profesor tidak otomatis memperoleh dana riset
dari pemerintah, bahkan proposal risetnya bisa tidak lolos dalam seleksi dana hibah riset, baik di
kampusnya maupun di Kemenag atau Kemristekdikti. Hal ini menunjukkan dua hal: proposal riset
yang tidak bermutu atau keterbatasan dana pemerintah.

Tren Scopus

Pemerintah sudah berupaya menyediakan dana riset meski kecil sehingga dosen harus bersaing
mendapatkannya. Pemerintah juga memberikan penghargaan berupa uang bagi dosen yang artikelnya
dimuat di jurnal internasional. Hasilnya belum terlalu menggembirakan, meskipun beberapa profesor
sudah mulai sadar dan mulai menulis di jurnal internasional. Pelatihan jurnal internasional terindeks
scopus dilakukan di hampir semua kampus. Prosiding seminar internasional terindeks Scopus atau
Thomson mulai menjadi tren kampus-kampus di Indonesia.
Sesungguhnya peluang sangat terbuka bagi profesor yang kompeten dalam riset, baik pendanaan
dalam negeri maupun luar negeri. Karena itu, kebijakan pemerintah menghapus tunjangan kehormatan
profesor yang tidak berkarya di jurnal internasional bereputasi, sangat tidak bijak. Jika pemerintah
merasa tunjangan kehormatan tidak sepadan dengan kinerja profesor, maka cukup menguranginya
satu kali gaji pokok—sebelumnya dua kali.

Hasil penelitian dosen dalam bentuk buku atau artikel dengan pengakuan internasional seperti
dimuat di jurnal terindeks scopus adalah hal yang berbeda. Bisa jadi banyak penelitian dosen yang
bagus tetapi tidak diterima di jurnal internasional.

Karena itu penulis mengusulkan, profesor dibebaskan sementara dalam mengajar untuk fokus
meneliti dengan dana penuh dari dalam maupun luar negeri, tanpa dikurangi take home pay-nya.
Penelitian dilakukan di dalam negeri maupun luar negeri selama satu tahun. Dana penuh dimaksud
mencakup dana kebutuhan keluarga profesor yang ditinggalkan sementara meneliti karena dia tidak
menerima pekerjaan lainnya.

Tagihannya adalah hasil riset yang bagus, bisa dalam bentuk buku dan artikel jurnal. Jika artikel
tersebut ditolak oleh beberapa jurnal internasional, maka cukup diterbitkan oleh jurnal nasional
terakreditasi yang saat ini sudah daring dan umumnya terindeks direktori open access jurnal (DOAJ).
Artinya, jurnal tersebut bisa dibaca oleh akademisi dunia, dan terpenting adalah mengunduhnya gratis.

# Politisasi Pemilihan Rektor #


Republika, 18 Februari 2016

Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan
Pemberhentian Rektor Perguruan Tinggi di lingkungan Kemenag yang memberikan kewenangan
pemilihan rektor kepada Menteri Agama ditolak sejumlah guru besar. Sebanyak 300 guru besar dari
Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) mendatangi DPR meminta PMA itu dicabut.
Penerbitan PMA itu menunjukkan bahwa menteri tidak peka terhadap skala prioritas penyelesaian
masalah-masalah di PTKIN.

Kelahiran PMA itu bisa dibaca dalam konteks pertama, beberapa PTKIN bermasalah dalam
pemilihan rektor, sehingga mengakibatkan konflik internal. Sebagai solusi, Kemenag mengirim rektor
sementara dari pusat untuk menyelesaikan konflik internal dan melakukan pemilihan rektor baru.
Selama ini, upaya ini efektif. Menghadirkan pihak ketiga ke kampus yang sedang berkonflik internal.

Sesungguhnya, inilah keberhasilan atau prestasi Kemenag, mendamaikan dua kubu yang bertikai
di kampus-kampus PTKIN dengan mengirim orang yang dianggap tepat. Penulis yakin, tidak mudah
bagi Kemenag, mengirim siapa ke kampus mana yang sedang berkonflik. Ketepatan Kemenag
mengirim utusan ke sebuah kampus yang berkonflik, sehingga masalah bisa diselesaikan dengan
cepat, menyenangkan kedua pihak, dan tidak menimbulkan masalah yang lebih besar.

Konflik dalam pemilihan rektor hingga menemui jalan buntu dan menimbulkan kekosongan
pemimpin tertinggi kampus, harus dibaca sebagai dinamika politik kampus. Dari konflik tersebut para
akademisi akan belajar tentang arti kejujuran, demokrasi, dan kepemimpinan sejati. Ketika bertarung,
ia harus siap menang juga harus siap kalah. Ketika salah satunya atau keduanya berbuat curang atau
tidak siap kalah, maka timbullah konflik.

Penyelesaian konflik kampus oleh pusat merupakan pelajaran berharga bagi akademisi untuk
lebih dewasa di kemudian hari. Alih-alih berkonflik antar dosen, sudah saatnya lebih banyak kampus
yang membuka undangan terbuka calon rektornya—seperti sudah dilakukan beberapa PT kita. Tidak
hanya dosen-dosen terbaik internal kampus, dosen-dosen terbaik dari eksternal kampus diundang
untuk mengikuti seleksi calon rektor. Dalam rangka memilih pemimpin kampus yang terbaik,
persaingan sebaiknya dibuka selebar-lebarnya.

Kedua, menteri dengan sengaja berusaha memperluas kewenangannya. Dari sekedar pemberi
stempel rektor terpilih senat dan melantiknya, tapi juga ingin memilihnya. Senat hanya mengajukan
usulan nama-nama calon rektor kepada menteri. Kebijakan ini melanggar UU Sisdiknas Nomor 20
Tahun 2002 dan UU PT Nomor 12 Tahun 2012 yang menjamin PT diselenggarakan dengan prinsip
otonom dan demokratis.

Kebijakan ini jauh lebih otoriter dibanding kebijakan Kemdikbud yang memberikan 35 persen
kuota suara kepada Mendikbud dalam pemilihan rektor, ketua, atau direktur lembaga pendidikan
tinggi milik pemerintah (Permendikbud Nomor 24 Tahun 2010). Siapa menjadi rektor ditentukan oleh
kedekatannya dengan menteri, bukan oleh suara mayoritas senat universitas—meskipun senat
memiliki 65 persen suara.

Sistem ini dikhawatirkan menciptakan suburnya budaya lobi politik para dosen yang haus
kekuasaan kepada menteri. Ketika menjadi dosen an sich tidak menjanjikan kesejahteraan, maka
menjadi pejabat di kampus merupakan pilihan terbaik bagi sebagian dosen—bahkan bagi mereka
yang sudah menjadi guru besar yang tunjangannya sudah lumayan besar. Sementara pelan namun
pasti budaya seleksi berdasar kompetensi dan integritas akan sirna.

Kejahatan sistem ini akan makin sempurna jika menteri atau orang-orang di sekitarnya
menggunakan kewenangannya itu untuk kepentingan pribadi dan/atau kelompok. Ini jelas
bertentangan dengan adagium revolusi mental pemerintahan Presiden Jokowi dan Lima Budaya Kerja
Kemenag, yaitu integritas, profesionalitas, inovasi, tanggung jawab, dan keteladanan.

Akhirnya, jika stabilitas kampus yang diinginkan dari kebijakan ini, maka asa ini akan gagal
besar. Insan kampus tentu lebih paham siapa rektor yang terbaik untuk mereka, bukan menteri yang
sehari-hari “jauh” dari kampus. Jika otonomi dan demokrasi kampus punya cela, kementerian harus
memperbaikinya dengan cara-cara yang baik, bukan dengan memberangusnya. Ambil-alih kekuasaan
kampus. Sentralisasi kampus tidak akan pernah lebih baik dari otonomi kampus.

Belajar dari beberapa kasus penyelesaian konflik pemilihan rektor selama ini, seharusnya
Kemenag mampu merumuskan desain pembinaan PTKIN, khususnya pencegahan konflik pemilihan
rektor. Bukankah pencegahan lebih baik daripada mengobati. Sudah bisa dipetakan apa saja penyebab
konflik, dan bagaimana cara mengatasinya. Kecuali itu, perbaiki sistem yang sudah ada, sehingga
celah konflik semakin kecil.

Lagi pula jumlah konflik pemilihan rektor sangat kecil dibanding mereka yang berhasil dan aman-
aman saja. Semoga kebijakan di atas bukan antiklimaks ketidakpercayaan menteri kepada para
akademisi. Tetapi ingin menguji komitmen para dosen untuk mengembangkan kampus melalui
pengajaran, riset, dan pengabdian masyarakat, bukan terpecah-belah ke dalam kelompok-kelompok
kepentingan saat perebutan kekuasaan. Sudah saatnya, para dosen bersatu padu menarik gerbong
kampus masing-masing yang sudah jauh tertinggal jauh dari negara-negara tetangga.
# Internasionalisasi Islam Indonesia #
Republika, 23 Juli 2016

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 57 Tahun 2016
tentang Pendirian Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Universitas ini diproyeksikan
menjadi lembaga riset studi-studi keislaman, sehingga ke depan Indonesia menjadi kiblat studi Islam.
Orang Timur Tengah dan Eropa belajar Islam ke Indonesia, bukan sebaliknya sebagaimana yang
terjadi selama ini.

Universitas ini hanya akan membuka program S2 dan S3, sehingga fokus pada riset, baik yang
dilakukan oleh mahasiswa maupun dosen. Faktanya, universitas kelas dunia memiliki jumlah
mahasiswa pascasarjana lebih banyak dibanding mahasiswa sarjana (S1). Hal inilah yang belum
terjadi di Perguruan Tinggi Keagmaan Islam Negeri (PTKIN) di Indonesia, meskipun para rektor
memahami dan menyatakannya di setiap forum. Fokus kerja PTKIN, yaitu 11 UIN, 25 IAIN, dan 9
STAIN masih di tingkat sarjana bukan pascasarjana.

Tidak mudah mewujudkan gedung dan fasilitas universitas berskala internasional di tengah
perekonomian bangsa yang sedang lesu, apalagi mewujudkan visi universitas riset di atas. Hingga saat
ini bangunan belum ada, penulis tidak yakin bisa selesai dalam dua hingga tiga tahun ke depan—
meski lokasi kampus kemungkinan di daerah Depok Jawa Barat. Justeru inilah kesempatan baik bagi
tim perumus untuk menyusun grand design dan rencana strategis universitas secara matang, sehingga
tujuan ideal pendirian universitas bisa dicapai.

Mutu Mahasiswa dan Dosen

Tulisan singkat ini menjelaskan sejumlah tantangan dan peluang dalam mewujudkan cita-cita
sebagian anak bangsa untuk memiliki universitas Islam bertaraf internasional. Pertama, masukan
mahasiswa dan dosen. Kriteria calon mahasiswa pascasarjana di antaranya adalah kemampuan
menulis dan kemampuan bahasa asing, karena target lulusannya adalah menjadi peneliti; S2 menguji
teori dan S3 menemukan teori baru.

Status para mahasiswa pun harus mahasiswa full study. Tidak sedikit mahasiswa pascasarjana
PTKIN di Indonesia masih tetap mengajar dan menjabat, disamping kuliah (izin belajar bukan tugas
belajar). Akibatnya mereka tidak bisa fokus meneliti. Tidak akan mudah mendapatkan kriteria
mahasiswa full study dan memiliki kemampuan menulis dan Bahasa asing yang bagus di tahun-tahun
pertama UIII, karena standar lulusan S1 PTKIN Indonesia lemah dalam kemampuan menulis apalagi
meneliti, dan lemah juga dalam kemampuan berbahasa asing. Kecuali itu, kemampuan ekonomi
masyarakat masih lemah.
Demikian juga tidak akan mudah mengumpulkan dosen-dosen ahli dalam kajian Islam yang
memiliki reputasi internasional, khususnya dalam penerbitan artikel jurnal dan buku internasional.
Mungkin ada tapi tersebar di setiap provinsi Indonesia atau tersebar di luar negeri. Bagaimana akan
bisa melahirkan lulusan sebagai peneliti yang mampu melahirkan artikel-artikel atau karya berbobot
jika para dosennya tidak pernah atau sedikit publikasi internasionalnya?
Jujur saja sedikit sekali dosen PTKIN yang fokus pada dunia penelitian, dan makin sedikit
jumlahnya dosen yang pakar dalam penelitian kajian Islam yang berhasil mengkader para yuniornya
dalam bidang penelitian. Maka, inilah momentum tepat bagi pemerintah untuk memanggil putra-putri
terbaik bangsa yang mengajar di luar negeri untuk kembali ke Indonesia. Yaitu mereka yang bergelar
doktor atau profesor dalam bidang kajian Islam. Sebelumnya, pemerintah harus menyiapkan rumah,
gaji, dan fasilitas lainnya yang layak buat mereka.

Publikasi Hasil Riset

Kedua, proses dan sistem belajar-mengajar. Sulit menghasilkan tesis atau disertasi yang bagus
jika kompetensi masukan mahasiswanya lemah seperti dijelaskan di atas. Apalagi tesis ditulis hanya
selama satu semester atau disertasi selama tiga atau lima semester. Maka program penguatan bahasa
asing dan kemampuan riset harus dilakukan sebelum memulai perkuliahan.

Mahasiswa pascasarjana PTKIN sulit didorong menulis tugas akhir di semester-semester awal
perkuliahan karena pemahaman teori, metodologi, dan kemampuan menulisnya sangat lemah. Bahkan
setelah mengikuti perkuliahan selama tiga semester pun mahasiswa pascasarjana itu tetap lemah
dalam tiga hal tersebut. Hal ini sekali lagi karena mutu masukan mahasiswanya sangat lemah sejak
awal. Singkatnya, proses seleksi tidak ketat.

Maka, proses seleksi menjadi kata kunci dalam mewujudkan universitas riset. Istilahnya,
“menyaring” calon mahasiswa bukan “menjaring”. Pada tahun-tahun pertama pendirian UIII perlu
disediakan beasiswa penuh untuk memperoleh calon-calon mahasiswa yang bermutu dalam kajian
Islam. Ruang kuliah, perpustakaan, jaringan internet, taman baca, dan ruang menulis khusus disiapkan
dengan baik dan matang.

Ketiga, publikasi hasil riset. Melahirkan lulusan menjadi peneliti yang mampu mengembangkan
ilmu pengetahuan tidak mustahil bisa dicapai dengan sistem dan strategi di atas. Hal lainnya adalah
perlu disiapkan jurnal cetak dan daring untuk menampung karya-karya mahasiswa dan dosen,
meskipun bisa saja mengirimkannya ke jurnal kampus atau asosiasi lain, baik di dalam maupun luar
negeri.

UIII perlu memiliki jurnal ilmiah sendiri tentang kajian Islam Indonesia, terutama yang berbasis
daring sesuai tuntutan Kemristek Dikti. Dengan demikian, ilmuwan dari dalam dan luar negeri akan
mudah mengakses dan mengenal hasil-hasil riset ilmuwan Indonesia. Semakin sering artikel tersebut
dibaca dan dijadikan rujukan oleh para akademisi di banyak negara, maka pelan tapi pasti UIII akan
kedatangan mahasiswa dan dosen dari luar negeri.

PTKIN Indonesia tidak menjadi rujukan ilmuwan dunia karena disamping minim publikasi ilmiah
juga karena hasil-hasil risetnya tidak terpublikasi secara internasional, baik cetak maupun daring.
Karena itu, perlu disiapkan tenaga teknis khusus yang menangani sirkulasi artikel secara daring.
PTKIN banyak yang memiliki visi menjadi universitas riset atau universitas kelas dunia tetapi
mengabaikan pengadaan staf-staf khusus yang menangani jurnal daring ini.

Idealnya, tidak hanya staf yang memahami sirkulasi artikel secara daring dalam sebuah laman
situs web jurnal, tetapi para penulis artikel dan mitra bebestari juga wajib memiliki akun masing-
masing dan memahami dengan baik cara menggunakannya. Meski tuntutannya demikian, diakui
bahwa sirkulasi artikel secara daring masih dilakukan oleh staf jurnal.
Hal di atas bisa terwujud jika pemerintah dan swasta berkomitmen menyokong pendanaan riset
kajian Islam. Selama ini, dosen PTKIN sulit mendapatkan dana penelitian karena dananya terbatas,
sehingga harus bersaing dengan ratusan dosen lainnya. Pada medio 2016 ini misalnya, pemerintah
tiba-tiba memotong anggaran dana seluruh kementerian, yang di antaranya berpengaruh terhadap
jumlah dana penelitian di kampus.

Terakhir, tidak perlu menggunakan kata internasional untuk nama universitas agar dikenal dunia.
Cukup dibuktikan dengan produktivitas publikasi hasil-hasil riset yang bagus, konsisten, dan
meningkat setiap tahun, insya Allah, dalam sepuluh atau dua puluh tahun setelah berdiri, UIII akan
menjadi magnet penarik ilmuwan mengkaji Islam pada umumnya, dan Islam Nusantara pada
khususnya.

# Menakar Wacana Impor Rektor #


SINDO, 15 Juni 2016

Wacana pemerintah mendatangkan dosen luar negeri untuk menjadi rektor universitas negeri di
Indonesia menimbulkan pro dan kontra. Ide impor rektor itu bertujuan meningkatkan kinerja
universitas, terutama bidang penelitian yang masih rendah. Asumsinya, kualitas rektor berpengaruh
signifikan terhadap kemajuan suatu universitas, khususnya penelitian.

Apakah rektor dari dosen luar negeri yang kompeten akan menjamin kinerja universitas Indonesia
menjadi lebih baik? Melihat faktor kualitas rektor dalam kelemahan kinerja universitas Indonesia sah-
sah saja, tetapi terlalu menyederhanakan persoalan. Kinerja dan keunggulan universitas dipengaruhi
oleh banyak faktor, rektor sebagai pimpinan tertinggi sebagai salah satunya.

Kriteria Rektor

Pengalaman universitas-universitas di Indonesia berikut ini menjelaskan bagaimana banyak faktor


yang perlu dibenahi dalam tata kelola universitas di sini, sebelum kebijakan impor rektor benar-benar
terjadi. Indonesia tidak kekurangan dosen yang kompeten. Banyak dosen berprestasi dalam bidang
akademik, kreatif, inovatif, bereputasi internasional, dan keluaran universitas terbaik dalam dan luar
negeri.

Dosen teladan atau terbaik universitas bisa terpilih menjadi rektor, bisa juga tidak. Masalah kita
sesungguhnya bukan pada terkotak-kotaknya dosen ke dalam organisasi kemasyarakatan (NU,
Muhammadiyah, HMI), almamater, atau kesukuan. Akan tetapi, bagaimana mereka bisa sepakat
memilih rektor kompeten yang dianggap mampu membawa kampus produktif melahirkan karya-karya
inovatif dan diakui di dunia internasional.

Kriteria kompeten bagi rektor berbeda dengan kriteria kompeten seorang dosen yang ilmuwan.
Seorang ilmuwan yang menghasilkan banyak karya ilmiah di jurnal internasional, menjadi pembicara
di banyak seminar internasional, dan karenanya terkenal, belum tentu cocok sebagai rektor
universitas.
Mampu melahirkan program kreatif dan inovatif terkait publikasi ilmiah, sekaligus mampu
mempengaruhi dosen berorientasi menjadi ilmuwan dengan reputasi internasional misalnya, adalah
dua kriteria yang harus dimiliki setiap calon rektor. Pemilihan rektor dengan kriteria kreatif dan
inovatif inilah yang seharusnya dilakukan oleh dosen universitas di Indonesia, dari kelompok mana
pun mereka.

Dalam hal ini, dua menteri yang menangani pendidikan tinggi harus pula mengacu pada kriteria
pemimpin di atas. Suara menteri dalam pemilihan rektor, baik yang memiliki kuota 35 suara
(Menristek Dikti) atau yang memiliki kuota penuh (100 persen/ Menag), harus diberikan kepada calon
dengan kualifikasi terbaik di antara calon-calon yang dimajukan oleh universitas. Menggunakan
wewenang menteri tersebut untuk memilih calon yang benar-benar bermutu dan berintegritas jauh
lebih baik daripada mengimpor rektor.

Kemampuan Meneliti

Mengundang dosen luar negeri menjadi rektor universitas negeri di Indonesia tidak otomatis akan
meningkatkan reputasi univeritas di level internasional, karena kendala rektor kita adalah lemahnya
kemampuan meneliti dan menulis dosen. Publikasi ilmiah univeritas negeri yang rendah bukan semata
“kesalahan” rektor, tetapi lemahnya kompetensi meneliti para dosen.

Peluang penelitian bagi para dosen sudah terbuka lebar, baik di Kemenristek Dikti, di Kemenag,
maupun di kampus masing-masing. Dananya cukup besar meskipun masih terbilang kecil jika
dibandingkan dengan rasio jumlah dosen dan apalagi dengan dana riset negara-negara berkembang
lainnya. Banyak dosen memperoleh dana penelitian, dari yang 10 juta hingga 200 juta bahkan lebih,
tetapi hasil penelitiannya tidak menghasilkan sesuatu yang baru, sehingga tidak “dibaca” ilmuwan
dunia. Penelitian mereka hanya berakhir di jurnal atau di lemari perpustakaan.

Maka, para rektor universitas negeri saat ini sedang mendorong para dosen untuk meningkatkan
kemampuan meneliti, meneliti, dan menulis karya ilmiah pada satu sisi, dan mengirim para dosen
kuliah S2 dan S3 pada sisi yang lain. Demikian pula yang dilakukan oleh Kemenristek Dikti,
Kemenag, dan LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan). Di Indonesia baru ada 5.109 profesor,
padahal yang dibutuhkan 22 ribu. Saat ini, masih ada sekitar 50 ribu dosen yang masih lulusan S1.

Sesungguhnya Indonesia sedang dalam fase bergerak maju dalam bidang penelitian dan publikasi
internasional. Memang belum sesuai harapan. Peringkat universitas-universitas ternama Indonesia
masih jauh di bawah Malaysia dan Singapura.

Berbagai pihak tidak berpangku tangan menanggapi ketertingalan tersebut. Dana penelitian
tersedia, langganan jurnal internasional sudah dilakukan, penelitian kolaboratif dengan dosen luar
negeri mulai dijalin, penerbitan jurnal internasional sudah menggeliat, dan workshop penulisan artikel
ilmiah bertebaran. Lalu apa yang harus dibenahi dalam pendidikan tinggi kita, khususnya bidang
penelitian dan publikasi ilmiah, selain mengganti rektor?

Pertama, dosen dan menteri terkait memilih calon rektor univeritas negeri dari dalam negeri dan
bisa dosen dari dalam atau luar universitas, yang benar-benar kompeten dan memiliki kriteria
pemimpin yang kreatif dan inovatif. Calon rektor dipilih bukan karena ia berambisi terhadap jabatan
itu tetapi minim prestasi dan lemah integritas.
Dosen dan menteri harus berjiwa layaknya seorang ilmuwan yang keputusannya harus objektif
dan tindakannya profesional. Tidak memaksakan seseorang yang tidak kompeten dalam jabatan
sangat strategis, semisal rektor. Sekali lagi, kriteria rektor berbeda dengan kriteria seorang ilmuwan.
Rektor yang terbukti tidak mampu meningkatkan publikasi ilmiah kampusnya di level internasional
berkenan mengundurkan diri, atau tidak dipilih lagi pada periode kedua. Pada saat dilantik, rektor
menandatangani fakta integritas tentang hal ini.

Kedua, rektor menyeleksi dosen dalam rumpun ilmu masing-masing untuk fokus pada penelitian
dan publikasi artikel di jurnal nasional terakreditasi dan jurnal internasional, selain mengajar tentunya.
Selama mereka tergabung dalam “dosen-peneliti”—katakanlah demikian, mereka tidak boleh
menjabat di kampus, seperti rektor, dekan, ketua Prodi, kepala pusat bahasa, kepala perpustakaan, dan
kepala pusat penelitian.

Dosen kompeten dalam penelitian dan menulis artikel ilmiah sering mandul dalam menghasilkan
karya ilmiah setelah menduduki jabatan strategis di kampus. Dosen-peneliti juga tidak diberi jam
mengajar yang banyak—seperti dosen dengan jabatan, tetapi wajib menghasilkan penelitian yang
berpotensi publikasi nasional terakreditasi atau internasional, minimal satu tahun satu artikel. Dosen-
peneliti yang kemampuan menelitinya masih standar ditingkatkan melalui pelatihan intensif di bawah
bimbingan dosen-peneliti yang sudah ahli dan berpengalaman.

Indonesia memiliki banyak dosen yang kompeten, kreatif, dan inovatif. Tugas menteri dan rektor
merangkul mereka, menempatkan mereka ke dalam posisi yang tepat, mengarahkan, memberi ruang
dan fasilitas yang memadai untuk lahirnya karya-karya baru, dan mengembangkan yang belum
matang. Untuk memperkuat dosen dan universitas negeri, bisa juga memanggil sebagian kecil anak-
anak bangsa yang “bersinar terang” di universitas dan perusahaan luar negeri.

# Mencegah Plagiasi di Kampus #


SINDO, 10 Oktober 2017

Pemberhentian jabatan rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) oleh Menristek Dikti karena
alasan plagiasi disertasi mahasiswanya dan proses pembelajaran doktoral yang tidak standar
merupakan catatan pahit dunia pendidikan Indonesia. Status PT negeri dan nama besar tidak menjadi
jaminan proses pembelajaran dan pendidikan berjalan sesuai standar, apalagi layak dijadikan rujukan
karena keunggulan tertentu.

Plagiasi disertasi penulis yakin bukan hanya terjadi di UNJ tetapi juga di PT lain, negeri dan
swasta. Temuan plagiasi di kampus-kampus tertentu hanya menjadi isu lokal, berbeda dengan kasus
UNJ yang menjadi viral dan menasional karena sampai pada pemberhentian rektor. Jangankan
disertasi, kasus jual beli ijazah doktoral sangat banyak terjadi di sini.

Faktor Determinan
Berikut adalah beberapa faktor yang memungkinkan disertasi tidak terdeteksi sebagai plagiasi
oleh sebuah program studi (Prodi). Pertama, belum semua kampus menggunakan aplikasi pendeteksi
plagiasi bagi karya akhir mahasiswanya. Kalaupun menggunakan, berapa persen batas maksimal yang
diperbolehkan sangat tergantung pada kebijakan kampus masing-masing.

Plagiasi sesungguhnya menjadi tanggung jawab penuh mahasiswa, bukan dosen pembimbing
apalagi rektor. Dalam surat pernyataan karya orisinal bermaterai yang dilampirkan di disertasi, jelas
sangsi yang akan diterima mahasiswa jika ternyata plagiasi, yaitu pencabutan gelar doktor. Plagiasi
atau tidak sebuah disertasi, seharusnya tercium saat proses penulisan sampai sebelum ujian terbuka.

Masalahnya, dosen pembimbing, beberapa dosen penguji, dan Ketua Prodi tidak punya waktu
cukup (atau tidak mau) untuk melakukan pengecekan keaslian karya mahasiswa. Sudah saatnya setiap
Prodi atau mahasiswa melakukan cek keaslian karya, sebelum ujian terbuka.

Kedua, kompetensi menulis dan riset mahasiswa rendah sehingga dicarilah jalan pintas menjadi
doktor dengan membayar penulis atau plagiasi. Jika plagiasi berisiko tinggi, lain halnya dengan
membayar joki disertasi. Pelakunya aman. Joki disertasi atau orang yang bertugas menulis disertasi
orang lain dengan bayaran tertentu sungguh banyak di sini. Bisa jadi ini “lahan basah” bagi orang-
orang tertentu.

Mahasiswa yang tidak mampu menulis dan penelitian tetapi punya banyak uang mudah saja
memiliki disertasi yang sesuai dengan keinginannya. Gagasan besarnya bisa saja dari yang
bersangkutan tetapi proses riset dan penulisannya dilakukan orang lain. Pada saat bimbingan dan ujian
memang ternilai dan terlihat ia menguasai disertasinya.

Hal ini akan terjadi terus jika tidak ada pilihan lain untuk menjadi doktor di sini kecuali menulis
disertasi. Maka, perlu dipertimbangkan jalur alternatif penyelesaian studi doktoral dan magister,
misalnya mengambil tiga mata kuliah dengan tugas akhir masing-masing satu makalah berdasarkan
mini riset. Tentu, gelar mereka yang selesai dengan disertasi dan dengan yang tidak perlu dibedakan.

Tidak ada guna sama sekali “memaksa” orang untuk menulis dan meneliti kalau faktanya tidak
semua mahasiswa pascasarjana bisa menulis. Yang terjadi justeru mengajarkan orang untuk
melanggar peraturan akademik, plagiasi misalnya. Sistem akademik seharusnya dibuat berdasarkan
kondisi objektif mahasiswa.

Ketiga, status ganda bahkan status jamak mahasiswa pascasarjana. Mahasiswa tidak sepenuhnya
sebagai mahasiswa (mahasiswa penuh/ full student). Selain harus kuliah di hari-hari tentu, mereka
juga bekerja sebagai pejabat publik, kepala daerah, anggota dewan, pejabat struktural, dosen, peneliti,
widyaiswara, guru, atau pegawai kantoran.

Masalah mereka biasanya soal manajemen waktu untuk kuliah dan menulis. Jika pada perkuliahan
tatap muka mereka berhasil, tetapi tidak pada saat menulis disertasi. Hal ini karena alih-alih
mengurangi jam kerja untuk fokus menulis tugas akhir, mereka malah lebih aktif dan lebih sibuk
bekerja setelah selesai kuliah tatap muka. Padahal tahap menulis disertasi inilah yang memerlukan
waktu lebih banyak tinimbang saat kuliah dulu.

Kondisi inilah yang kerap memicu jalan pintas atau cara instan mahasiswa menyelesaikan
disertasi. Bagi mereka yang masih punya integritas sering pilihannya itu pahit seperti tidak
menyelesaikan studi, menjadi mahasiswa abadi, tugas belajar, atau cuti atas tanggungan sendiri,
daripada harus selesai tetapi dengan karya dituliskan orang lain atau plagiasi.
Keempat, jumlah Prodi S3 masih sedikit dibandingkan peminatnya. Prodi S3 terpusat di kota-kota
besar: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya, Makassar, Padang, Jambi, dan
Gorontalo. Apalagi pembukaan program S3 baru terkendala jumlah guru besar. Dosen lektor kepala
terkendala kewajiban publikasi jurnal internasional terindeks scopus.

Kampus negeri menjadi incaran karena bisa menaikan prestise seseorang jika berhasil menjadi
alumninya. Akibatnya jumlah dosen tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa. Pertumbuhan jumlah
mahasiswa tidak dibarengi perekrutan dosen baru. Meski jumlah dosen tidak memadai, Prodi
memaksa membuka kelas-kelas nonreguler, seperti kelas eksekutif, kelas Sabtu-Minggu, kelas Jumat-
Sabtu, kelas malam, dan kelas jarak jauh.

Masalah biaya jelas lebih besar dari kelas reguler. Nah, proses belajar dan bimbingan disertasi
mungkin rawan manipulasi atau tidak standar. Efektivitas bimbingan penulisan disertasi oleh seorang
dosen yang membimbing lebih dari jumlah standar patut diragukan. Diberitakan, sejak 2012 hingga
2016, Djaali mempromotori 327 calon doktor. Jika dirata-rata, ia mendampingi 65 mahasiswa
doktoral per tahun (Tempo, 31/08/2017).

Peran BAN PT?

Tentu tidak adil jika pemerintah hanya berhenti pada UNJ. Proses investigasi harus dilakukan
kepada PT lain yang diduga tidak wajar dalam melaksanakan perkuliahan pascasarjana. Hal ini untuk
menepis anggapan sebagian masyarakat bahwa kasus ini tidak murni persoalan akademik tetapi
politis.

Kasus ini mengajarkan perlunya peran lebih dari Badan Akreditasi Nasional (BAN) PT atau
pembentukan lembaga baru yang fokus pada penjaminan mutu PT. Tugas lembaga ini mencegah dari
awal atau mendeteksi kemungkinan terjadinya praktik-praktik melanggar aturan PT, seperti pada
kasus UNJ. Dengan demikian, kasus lebih besar bisa dicegah karena sudah diperbaiki sejak awal.

Hasil akhir akreditasi Prodi tidak hanya pemberian nilai, tetapi harus dilanjutkan ke level
investigasi jika data menunjukkan kejanggalan (seperti jumlah mahasiswa bimbingan yang tidak
wajar, rasio jumlah dosen dan mahasiswa, dan kelas-kelas nonreguler). Data borang akreditasi sebuah
Prodi menunjukkan janggal-tidaknya perkuliahan di suatu kampus.

Visitasi assesor ke Prodi harus dimanfaatkan untuk meneliti dokumen-dokumen pendukung,


seperti absensi kelas, nilai UTS, nilai UAS, jadwal kuliah, dan rasio dosen dengan mahasiswa. Jadi,
BAN PT punya data mutu PT. Data kelebihan dan kekurangan PT sudah dimiliki, yang belum
dilakukan adalah menjadikan data itu untuk perbaikan mutu PT, dan dengan lembaga apa saja
kerjasama perlu dilakukan. Perlukah lembaga baru?

Afirmasi Ma’had Aly


Jejen Musfah, 2016

Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Agama dan Keagamaan Kemenag mengadakan
Workshop Pengembangan Ma’had Aly di Hotel Naripan Bandung, 5-7/10/2016. Pesertanya 13 Kiyai
dari Ma’had Aly, dosen, dan peneliti. Di antara agenda kegiatannya adalah merumuskan Standar
Nasional Ma’had Aly.

Ma’had Aly (MA) adalah satuan pendidikan tinggi keagamaan yang khas dan unik yang berbeda
dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Kekhasan itu tercermin dalam beberapa distingsi
yakni MA harus diselenggarakan oleh Pondok Pesantren, berbasis pada kitab kuning, dan tenaga
pengajar adalah ulama. Lulusan MA diharapkan menjadi kader ulama.

Penulis sebagai salah satu peserta memiliki beberapa catatan. Pertama, penerbitan Peraturan
Menteri Agama (PMA) No. 71/2015 tentang Ma’had Aly menempatkan MA setara perguruan tinggi
keagamaan Islam lainnya. 13 MA telah resmi menjadi lembaga formal. Tantangannya tidak ringan,
MA harus mampu memenuhi delapan standar nasional MA yang masih dalam tahap perancangan
(akan ada beberapa workshop lanjutan).

Melahirkan standar itu bukan perkara mudah karena disamping harus mengacu kepada delapan
Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang dikeluarkan oleh BSNP, juga harus memuat kekhasan yang
dimiliki oleh pesantren. Bisa jadi ada penambahan atau pengurangan aspek-aspek yang terdapat dalam
setiap standar yang sudah ada itu.

Meski masih dalam proses penyusunan, mudir, kiyai, dan dosen MA sudah harus segera
melakukan evaluasi diri terkait kondisi riil dengan kondisi ideal delapan standar nasional MA
tersebut. Dengan demikian, diketahui pasti aspek-aspek apa saja yang sudah terpenuhi dan tidak
terpenuhi dari standar tersebut. Data inilah yang dijadikan program kerja pengelola MA saat ini.
Terbaca juga mana aspek yang bisa dipenuhi oleh MA, dan mana aspek yang bisa dipenuhi oleh
pemerintah dalam hal ini Kemenag.

Misalnya, bagaimana ketersediaan dosen tetap dan tidak tetap yang akan mengajar mata kuliah
tertentu? Jika ada, bagaimana dengan linieritas keilmuannya? Apakah penentuan Program Sejarah dan
Peradaban Islam, Tafsir dan Ilmu Tafsir, atau Fiqh dan Ushul Fiqh di MA tertentu berdasarkan
ketersediaan dan kepakaran dosen yang dimiliki pesantren?

Kedua, MA diharapkan mampu melahirkan kader ulama, yang sedianya bisa dilahirkan oleh Prodi
Agama di STAIN/S, IAIN/S, maupun UIN/S. Ulama adalah orang yang memahami ilmu-ilmu agama
(tafaqquḥ fiddīn) dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sosial. Ulama yang mampu
membumikan kitab kuning, di antaranya bersikap toleran, moderat, seimbang, dan santun. Kelahiran
dan pengakuan MA diakui oleh Kemenag untuk menjawab kelangkaan ulama di tanah air.

Kelangkaan ulama bukan semata kegagalan pesantren dan PTKI, tetapi juga karena turunnya
minat masyarakat belajar ilmu-ilmu agama. Sudah belasan tahun hingga hari ini Prodi keagamaan sepi
peminat, terutama saat IAIN ramai-ramai berubah menjadi UIN. Masyarakat berpikir pragmatis
dengan memilih Prodi yang lulusannya jelas melahirkan profesi tertentu, sehingga ada jaminan masa
depan.

Tantangan MA akan sama dengan yang dialami PTKI tersebut, yakni langka peminat. Karena itu,
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kamaruddin Amin menjanjikan beasiswa bagi mahasiswa bahkan
untuk dosen. Beasiswa ini akan menjadi daya tarik bagi calon mahasiswa, sekaligus kesempatan bagi
MA untuk menyaring lulusan-lulusan terbaik, baik dari pesantren, madrasah Aliyah, maupun lainnya.
Input mahasiswa tidak bisa diabaikan. Meski tidak harus 100 persen, minimal 50 persen
mahasiswa harus memiliki kemampuan Bahasa Arab yang bagus karena mereka akan dicetak sebagai
ulama. Kabar baiknya, pada 2017 nanti MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus) yang sempat
dihentikan akan dibuka kembali dalam rangka menyiapkan calon-calon mahasiswa Prodi Keagamaan.

Ketiga, empat tahun ke depan perlu disiapkan pembukaan program magister MA, dan enam tahun
ke depan dibuka program doktor MA. Kedua program itu untuk menampung lulusan sarjana MA,
sehingga keilmuan mereka cukup memadai sebagai seorang ulama. Opsi lainnya adalah mengirim
alumni MA yang berprestasi ke luar negeri untuk melanjutkan S2 dan S3, seperti ke Mesir, Iran,
Maroko, Tunisia, atau Saudi. Hal ini tidak masalah karena selain menguasai Bahasa Arab, mahasantri
di MA diwajibkan menghafal Al-Quran—sebagaimana standar beberapa kampus luar negeri tersebut.

Karena tidak semua bisa melanjutkan ke program magister, mahasantri harus dibekali
keterampilan khusus disamping penelitian dan menulis, seperti ceramah dalam Bahasa Arab, public
speaking, dan life skills. Jangan sampai alumni MA berpindah “profesi”, atau meninggalkan peran
keulamaan karena tergiur profesi lainnya. Alumni MA diharapkan menjadi ulama, dan (bila
diperlukan) wirausahawan.

Adapun menjadi ulama yang mahir menulis dan meneliti tidaklah mudah, tetapi merupakan tujuan
yang harus diperjuangkan oleh pengelola MA. Jika ini berhasil, bukan saja akan mengisi kekosongan
karya-karya intelektual ulama Nusantara, tetapi akan menjadi daya tarik mahasiswa dan ilmuwan
asing belajar Islam ke Indonesia.

Demikianlah, afirmasi pemerintah terhadap MA sudah dan akan terus mengalir. Keberhasilan
melahirkan ulama-ulama Nusantara masa depan yang produktif, menebar kedamaian, dan
pengembang masyarakat, sangat tergantung kepada kerja dan persatuan para kiyai dan dosen di satu
dan antar pesantren di Nusantara.

# Merintis Kampus Hijau #


qureta.com, 3 September 2016

Taman berumput hijau dan pepohonan besar nan rindang adalah dua di antara pembeda kampus di
luar negeri dan kampus di Indonesia saat ini. Pada awal berdiri kampus-kampus besar milik
pemerintah memiliki taman dan pepohonan besar, tetapi seiring bertambahnya mahasiswa, lahan-
lahan hijau sebagai resapan air dan pengindah kampus berubah menjadi bangunan bertingkat, baik
untuk perkantoran, ruang pertemuan, maupun untuk ruang kelas. Akibatnya, kampus tidak lagi hijau
dan tidak nyaman untuk belajar.

Kampus hijau tidak hanya terkait dengan tersedianya lahan hijau tetapi komitmen kampus dalam
mewujudkan lingkungan kampus yang ramah lingkungan melalui beragam program dan budaya yang
dijalankan secara konsisten sehingga warga kampus merasa nyaman berada di dalamnya. Faktanya,
kampus-kampus kita sepi dari kampanye dan komitmen melahirkan kampus hijau, bahkan
menunjukkan kondisi sebaliknya.
Masalah

Pertama, lahan hijau berkurang karena bertambahnya bangunan kampus. Gedung-gedung kampus
saat ini pasti ber-AC karena umumnya kampus besar terletak di perkotaan yang cuacanya panas
menyengat. AC membuat suasana belajar nyaman tapi dampak penggunaan AC sangat buruk bagi
pencemaran udara. Sedangkan jika tidak menggunakan AC, kegiatan belajar-mengajar sangat tidak
nyaman. Konsumsi listrik tinggi karena penggunaan AC tersebut, juga lift, lampu, komputer, dan air.

Kedua, penggunaan kertas meningkat tajam karena jumlah mahasiswa banyak. Makalah dan
skripsi mahasiswa menghabiskan berim-rim kertas setiap bulan dan tahun. Belum lagi penggunaan
kertas di kantor seperti undangan rapat dan berkas-berkas laporan kegiatan untuk bagian keuangan
yang sangat tebal. Intinya, sampah kertas dan lainnya dari kampus besar melonjak tinggi yang perlu
segera dikurangi seminimal mungkin.

Ketiga, mahasiswa, staf, dan dosen ramai membawa kendaraan pribadi ke kampus, baik roda dua
maupun roda empat sedangkan lahan parkir tidak memadai. Banyaknya kendaraan di kampus
menimbulkan masalah polusi udara di area kampus dan menganggu kenyamanan. Banyaknya
kendaraan itu menunjukkan kemapanan ekonomi dosen, gaya hidup, juga buruknya transfortasi umum
di Indonesia.

Solusi

Berikut beberapa ide mewujudkan kampus hijau. Pertama, mulai membangun gedung di area
baru yang tanahnya luas secara bertahap karena lokasi kampus lama sudah tidak kondusif. Setiap
bangunan baru tidak lebih dari tiga lantai agar tidak memerlukan lift. Bangunan dirancang agar setiap
ruangan mendapat pencahayaan dari sinar matahari sehingga akan meminimalisir penggunaan lampu
di pagi, siang, dan sore hari. Kemudian, secara bertahap 20 hingga 30 tahun ke depan pindah ke
kampus baru yang lebih kondusif, hijau, luas, dan representatif.

Kedua, menyediakan bis kampus untuk dosen dan staf sehingga bisa mengurangi penggunaan
kendaraan pribadi. Sebelum transfortasi umum bagus dan nyaman, warga kampus akan memilih naik
motor dan mobil pribadi kecuali pihak kampus menyediakan bis khusus.
Ketiga, membangun asrama mahasiswa, staf, dan dosen juga akan mengurangi kendaraan di
kampus. Pembangunannya di area kampus yang bisa dijangkau dengan sepeda atau berjalan kaki. Di
samping mengurangi kendaraan pribadi di area kampus, ia juga akan meningkatkan kinerja staf dan
dosen. Mahasiswa juga bisa tepat waktu mengikuti perkuliahan.
Keempat, tempat parkir kendaraan di luar kampus sehingga suasana kampus nyaman dan bersih.
Warga kampus harus dibiasakan berjalan kaki satu hingga dua kilo. Perlu disiapkan atap penghubung
gedung atau kendaraan khusus pengantar antar gedung untuk musim hujan. Kelima, mengurangi
penggunaan kertas (paperless) untuk makalah, karya ilmiah, dan administrasi perkantoran dengan
memanfaatkan teknologi dan lainnya.
Memulai

Pengembangan universitas adalah cita-cita bersama warga kampus. Setiap kampus penting
berkembang dalam banyak hal tetapi lebih penting bagaimana mengelola perkembangan sehingga
kampus kita tetap hijau dan nyaman untuk belajar. Pembangunan kampus-kampus di Indonesia
sepertinya tidak memerhatikan konsep go green atau pemanasan global.

Kampus hijau bukan saja akan membuat belajar dan pengajaran menjadi nyaman tetapi juga
memperlambat pemanasan global. Kampus tidak hanya melaksanakan seminar go green, penghijauan,
dan pemanasan global tetapi menerapkannya di lingkungan, melalui program, dan budaya kampus.
Kampus seharusnya menjadi contoh gerakan penghijauan dan melakukan upaya-upaya nyata
terwujudnya label kampus hijau. Saatnya pemerintah menjadikan kampus hijau sebagai indikator
penilaian akreditasi. Rektor harus dipaksa menata ulang dan merintis desain kampus yang berorientasi
pada kampus hijau dan ramah lingkungan.

# Kematian Jurnal Ilmiah #


Jejen Musfah, 2016

Alasan pemisahan tata kelola PT dari Kemendikbud ke Kemenristek adalah meningkatkan kinerja
penelitian dosen PT. Salah satu problem akut mutu PT Indonesia adalah rendahnya mutu jurnal
ilmiah, baik secara kuantitas maupun kualitas. Makin sulit mencari jurnal terakreditasi nasional,
apalagi internasional.

Menristek Dikti, Moh. Nasir menyatakan bahwa banyak hasil penelitian hanya menjadi penghias
perpustakaan. Dalam kontek penerbitan jurnal, pernyataan tersebut mengingatkan penulis tentang
sulitnya mendapatkan naskah hasil penelitian yang memenuhi kriteria ilmiah. Kuantitas dan kualitas
penelitian dosen perlu ditingkatkan, sehingga layak diterbitkan di jurnal terakreditasi nasional maupun
internasional.

Dari pengalaman penulis mengelola jurnal ilmiah di perguruan tinggi negeri, setidaknya ada tiga
aspek kritis terkait penelitian dosen. Pertama, sulit mencari naskah yang sesuai standar karya ilmiah.
Meski banyak dosen yang melakukan penelitian, namun hasilnya tidak layak terbit. Kelemahan
penelitian dosen setidaknya dalam dua hal: tidak ada hal baru dan minim analisis atau ide penulis.
Menurut Neil Amstrong, “Research creating new knowledge.” Abert Szert-Gyorgyi menulis,
“Research is see what everybody else has been seen, and to think what nobody else has thought.”

Selain itu, tidak mudah bagi pengelola jurnal (tidak terakreditasi) mengumpulkan naskah.
Pengelola harus aktif dan sabar menghubungi dosen—dalam dan luar perguruan tinggi-nya—untuk
mendapatkan naskah. Berbeda halnya dengan jurnal yang sudah terakreditasi, dosen akan berlomba
mengirimkan naskahnya, bahkan siap membayar berapa pun.

Kedua, minimnya jurnal terakreditasi. Beberapa syarat yang harus dipenuhi jurnal untuk bisa
terakreditasi adalah mutu artikel, penerbitan harus konsisten, melibatkan mitra bestari, dan mayoritas
artikel (80 persen) berasal dari dosen di luar lembaga penerbit jurnal. Tidak mudah memenuhi kriteria
ini jika pengelolaan jurnal dilakukan setengah hati.
Ketiga, bahasa Inggris dosen sangat lemah sehingga sedikit yang mempublikasikan hasil
penelitiannya di jurnal internasional. Dikti mewajibkan dosen yang akan naik pangkat ke guru besar
atau profesor harus menulis di jurnal internasional. Pertanyaannya, apakah PT sudah menyiapkan
calon-calon guru besarnya untuk siap menjawab tantangan tersebut? Bahkan beberapa PT mewajibkan
mahasiswa doktoralnya untuk menulis di jurnal internasional sebagai syarat ujian terbuka/promosi.

Tiga Pelajaran

Tiga masalah di atas mengandung pelajaran bahwa, pertama, dosen lemah dalam penguasaan
materi, metode penelitian, dan keterampilan menulis. Memang, sepanjang ingatan penulis,
keterampilan menulis dan riset bukan syarat untuk menjadi dosen. Lagi pula penelitian dosen terkesan
sekedar menyerap anggaran dan bagi-bagi jatah anggaran, bukan karena asas profesionalitas: siapa
pakar dalam apa, meneliti apa, dan hasilnya apa nanti.

Tidak terbaca dalam penelitian dosen, kalimat, paragraf, dan sintesa sebagai hasil dari rasa ingin
tahu maupun hasil proses penelitian yang sungguh-sungguh. Rasa ingin tahu dan menghargai proses
merupakan sikap yang wajib dimiliki oleh setiap peneliti. Zora Neale Hurston menulis, “Research is
formalized curiosity. It is poking and prying with purpose.” Dan Nik Ahmad Nizam berkata, “It is
important to get results from experiment, but the most important is the process in getting that results.”

Sebaliknya, terbukti beberapa karya ilmiah dosen adalah plagiasi. Meneliti jelas sebuah proses
yang tidak sederhana, dimulai dari menentukan topik, mengumpulkan referensi, merumuskan
instrumen, menggali data dan informasi, menganalisis data, hingga menarik kesimpulan. Sementara
plagiasi adalah mengutip karya orang lain—sebagian atau keseluruhan—dan mengakuinya sebagai
karya sendiri. Plagiasi bisa lebih mudah dilakukan siapa, kapan, dan di mana pun dengan cara
googling. Dermot Mulroney berujar, “What people actually refer to as research nowadays is really
just googling.” Wilson Mizner memberikan petunjuk yang menarik tentang perbedaan antara plagiasi
dengan riset, “If you steal from one author it’s plagiarism; if you steal from many it’s research.”

Kedua, menunjukkan bahwa sulit mencari dosen yang siap mengelola jurnal secara all out, karena
tidak jelas hak dan kewajibannya—berbeda misalnya dengan jabatan Ketua atau Sekretaris Jurusan.
Padahal, pekerjaannya tidak ringan. Meski jurnal terbit dua kali dalam setahun misalnya, tapi proses
mengerjakannya sepanjang tahun. “Hanya orang gila yang mau mengelola jurnal,” ujar seorang
Profesor saat menjadi narasumber pengelolaan jurnal di Jakarta. Tentu ia sedang bercanda, meski
kenyataannya memang demikian.

Ketiga, bahasa Inggris belum menjadi bahasa pengantar kuliah dan penulisan makalah di banyak
kampus di Indonesia. Selama bahasa Inggris tidak dipakai di kampus, sulit dosen terampil menulis
dalam bahasa tersebut, bahkan alumni luar negeri sekalipun—karena inti bahasa adalah praktik.
Jangankan menulis dalam bahasa Inggris, menggunakan referensi asing saja dosen kita sangat jarang.
Kampus kita hampir tidak ada yang kondusif dalam pengembangan bahasa Inggris, meski mimpinya
menjadi universitas kelas dunia dan/atau universitas riset.

Tiga Pertimbangan
Menghadapi masalah tersebut, tiga hal bisa dijadikan pertimbangan oleh pimpinan fakultas.
Pertama, pelatihan riset dan menulis bagi dosen. Dosen yang aktif menulis di jurnal internasional bisa
menjadi narasumber. Meski dosen selalu memberikan tugas menulis makalah kepada mahasiswa,
bukan berarti ia sendiri terampil menulis. Menarik, dosen biasa mengoreksi dan menilai makalah,
skripsi, dan tesis mahasiswa, sementara ia sendiri tidak punya karya ilmiah yang bagus.

Pelatihan dimaksudkan melatih dosen menulis dan meneliti di satu sisi, dan merubah paradigma
dosen tentang penelitian di sisi yang lain. Faktanya, banyak dosen lebih suka mengajar daripada
meneliti. Hal ini bisa dipahami karena iklim dan kebijakan tidak memihak kepada peneliti maupun
hasil penelitiannya, padahal menurut Frederick Sanger, “Scientific research is one of the most exciting
and rewarding of occupations.”

Kedua, menumbuhkan komitmen pemimpin terhadap jurnal ilmiah. Tidak semua pimpinan
fakultas dan jurusan mendukung secara penuh penerbitan jurnal, karena salah paham tentang makna
publikasi ilmiah. Ketika isi jurnal terakreditasi tidak bisa diisi 100 persen (hanya 20 persen) oleh
dosen lembaga penerbit jurnal itu, maknanya bahwa kerjasama antar lembaga PT merupakan suatu
keniscayaan.

Maka, masalah tidak selesai dengan mendorong dosen mengirim tulisan ke lembaga yang punya
jurnal, sementara di lembaga sendiri jurnal dibiarkan mati suri; hidup segan mati pun tak mau. Salah
besar dosen yang pemimpin (struktural: bisa dekan atau ketua jurusan) tidak mendukung penuh
penerbitan jurnal yang terakreditasi, karena menurut Philip Zimbardo, “Academic success depends on
research and publication.”

Ketiga, pelatihan bahasa Inggris bagi dosen, tepatnya English for Academic Purposes (EAP).
Melihat kondisi kompetensi dosen saat ini, jangan berharap semuanya akan terampil menulis dan
meneliti. Menulis memerlukan bakat disamping latihan secara teratur. Karena itu, seperempat saja
dosen di setiap PT menekuni penelitian, penulis kira lebih dari cukup. Dosen kelompok ini sebaiknya
fokus melakukan penelitian dan pengajaran, tidak ditugaskan sebagai pejabat struktural atau lainnya,
karena waktunya akan habis untuk hal-hal yang bersifat administratif.

Akhirnya, dampak rendahnya mutu hasil penelitian sudah terjadi di banyak kampus Indonesia,
yaitu matinya jurnal ilmiah. Kematian jurnal ilmiah dikarenakan tidak terbit lagi, masa akreditasi
sudah habis (dan tidak diperbaharui), atau jurnal terbit ala kadarnya alias tidak memenuhi standar
jurnal ilmiah terakreditasi. Karena itu, saatnya pimpinan fakultas dan jurusan menghidupkan kembali
jurnal ilmiah dengan cara menjaring dosen dan staf teknis untuk menjadi pengelola dan mendorong
dosen untuk melakukan penelitian sesuai standar yang berlaku. Setiap ada kemauan pasti ada jalan.
BAB XIII

BIAYA

# Pungutan Biaya Pendidikan #


Majalah Suara Guru, Edisi Maret-April 2017

Pemerintah serius menangani korupsi di lembaga pendidikan, khususnya sekolah. Setelah


mengeluarkan Perpres Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar,
pemerintah mengeluarkan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Dari segi
boleh tidaknya sekolah meminta sumbangan dari orangtua siswa, kedua regulasi tersebut bertentangan
dengan UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 dan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang
Pungutan Biaya Pendidikan, yang menyatakan bahwa masyarakat dan orangtua bertanggung jawab
atau boleh berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan.

Saber pungli sudah menangkap oknum guru dan staf di beberapa sekolah yang diduga melakukan
pungutan liar kepada orangtua siswa, sehingga cukup membuat banyak sekolah mengambil sikap:
meniadakan pungutan secara total, berhati-hati, dan tetap melakukan pungutan dengan seizin komite
sekolah. Pilihan apa pun itu mempunyai dampak positif dan negatif terhadap mutu sekolah.

Dalam praktik, sekolah sulit membedakan antara pungutan (yang dilarang) dan sumbangan (yang
diperbolehkan). Pungutan bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya
ditentukan oleh satuan pendidikan dasar, sedangkan sumbangan sebaliknya. Sekolah yang komitmen
pada mutu tidak mungkin tidak melakukan pungutan karena dana dari pemerintah tidak memadai.

Sekolah memerlukan partisipasi orangtua dalam peningkatan mutu layanan pendidikan karena
beberapa alasan. Pertama, pemerintah tidak menanggung seluruh biaya satuan pendidikan. Biaya
rutin yang dikeluarkan pemerintah meliputi gaji guru, gaji staf, bantuan operasional sekolah (BOS),
dan dana isian pelaksanaan anggaran (DIPA). Faktanya, BOS dan DIPA tidak bisa menutupi biaya
operasional riil sekolah. Misalnya, sekolah memerlukan biaya untuk guru honorer, seragam sekolah,
buku, ekstrakurikuler, bahan-bahan laboratorium, rekreasi, perpisahan, dan perlombaan siswa level
nasional maupun internasional.

Kedua, sekolah memerlukan program unggulan dan fasilitas yang di atas standar minimal agar
menghasilkan proses, prestasi, dan keluaran yang bermutu. Pengembangan bakat siswa memerlukan
bimbingan intensif guru sehingga berprestasi di level nasional dan internasional. Upaya ini perlu
didukung oleh fasilitas pendidikan dan dana yang memadai.

Sekolah memenuhi kebutuhan biaya pendidikan tersebut dari sumbangan siswa melalui rapat
komite sekolah. Komite sekolah dianggap sebagai representasi orangtua siswa. Masalahnya, kondisi
ekonomi setiap orangtua siswa berbeda-beda sehingga dalam beberapa kasus muncul protes dari
sebagian orangtua terhadap sumbangan sekolah.

Tradisi pungutan atau sumbangan di sejumlah sekolah otomatis memetakan sekolah mahal,
sekolah sedang, dan sekolah murah. Artinya, masyarakat sudah mengetahui dan bisa mengukur ke
sekolah mana ia akan memasukan anak-anaknya. Itu mengapa sebagian orangtua tidak banyak
mengeluhkan sumbangan sekolah karena sudah sadar konsekuensi memilih sekolah tertentu.
Pemerintah sepertinya keberatan dengan polarisasi alamiah sekolah menjadi: elit, menengah, dan
bawah tersebut, sebab sekolah negeri seharusnya terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Pendidikan dasar dan menengah harus gratis karena pemerintah sudah menyalurkan beberapa dana
rutin di atas ke sekolah negeri.

Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah melarang guru menjadi anggota
komite sekolah dan melarang sekolah menarik sumbangan dari orangtua, tetapi mendorong penarikan
dana dari perusahaan dan masyarakat. Pertama, keberadaan guru dalam unsur komite sekolah selama
ini dinilai menjadi sebab keputusan komite lebih memihak sekolah daripada kepentingan orangtua.

Mengeluarkan guru dari keanggotaan komite sekolah bisa menimbulkan masalah baru. Komite
dan guru tidak bisa dipisahkan karena keduanya perlu menjalin komunikasi yang baik. Akan tetapi,
kinerja komite perlu dikoreksi terutama tentang disparitas ekonomi orangtua siswa pada saat
membicarakan sumbangan atau pungutan.

Kedua, peran serta finansial orangtua tidak bisa dihilangkan karena sekolah memerlukan
kepastian dana dari sisi kapan dan jumlah. Tidak mungkin sekolah tidak menarik dana dari orangtua
selama pemerintah tidak menjamin kebutuhan sekolah yang bermutu. Solusinya, orangtua siswa yang
mampu harus memberikan sumbangan kepada sekolah secara rutin. Siswa dari keluarga miskin bebas
biaya selama sekolah.

Jika tidak, bagaimana sekolah akan berjalan baik tanpa kepastian dana. Misal, sumbangan dari
perusahaan atau masyarakat tidak jelas berapa jumlah dan kapan waktunya. Sekolah dan komite
sekolah tidak akan mudah menggalang dana karena banyak faktor. Akan lebih mudah bagi komite
sekolah membicarakan tanggung jawab pendidikan dengan para orangtua siswa yang mampu daripada
meyakinkan “orang luar sekolah”.

Penulis sepakat bahwa guru, staf, dan komite sekolah tidak boleh melakukan korupsi dana
pendidikan. Akan tetapi melarang sekolah menggalang dana rutin dari orangtua yang mampu
merupakan langkah mundur dalam mewujudkan pendidikan bermutu dan partisipasi orangtua
terhadap pendidikan.

Jika pemerintah membiarkan aparat mudah menangkap guru dan staf karena dugaan pungutan
liar, maka tunggu saja saat kemunduran pendidikan Indonesia karena sekolah akan berjalan “apa
adanya”. Sepanjang digunakan untuk kepentingan siswa dan sekolah, pungutan tidak bisa dilarang.
Regulasi Komite Sekolah dan Saber Pungli itu bisa dijadikan alat oleh wartawan bodrek dan LSM
abal-abal untuk memeras kepala sekolah yang selama ini cukup meresahkan.

# Dilema Pungutan Biaya Pendidikan #


SINDO, 23 Maret 2017

Kepala sekolah SMKN 8 Jember dan dua wakilnya diamankan tim saber pungli. Sekolah berhasil
mengumpulkan Rp 120 juta dari hasil pungutan syarat ujian, yaitu 1 juta per siswa. Polisi
mengamankan uang sisa ujian Rp 40 juta (Detik.com, 7/3/2017). Ini adalah kasus terbaru dugaan
pungutan liar yang dilakukan oleh oknum kepala dan wakil kepala sekolah. Sebelumnya, sudah
beberapa kepala sekolah yang ditangkap atas dugaan kasus yang sama.
Penangkapan kepala sekolah atas dugaan pungutan liar menimbulkan pro kontra di tengah
masyarakat terutama kalangan pendidikan. UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 dan Permendikbud
Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan Biaya Pendidikan, menyatakan bahwa masyarakat dan
orangtua bertanggung jawab atau boleh berpartisipasi dalam pembiyaan pendidikan. Sementara
Perpres Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, dan Permendikbud
Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, melarang sekolah melakukan pungutan kepada
orangtua siswa.

Komersialisasi Pendidikan

Beragam pungutan sudah berlangsung lama di sekolah. Mulai dari biaya masuk, buku, seragam,
iuran bulanan, ekstra kulikuler, beragam ujian, studi banding, hingga perpisahan. Setiap sekolah bebas
menentukan besaran pungutan tersebut karena pemerintah tidak mengaturnya secara tegas.

Akibatnya, sekolah-sekolah bagus dan pavorit di perkotaan tidak terjangkau siswa kelas
menengah apalagi siswa miskin. Sekolah bagus identik dengan biaya mahal. Tidak hanya harus pintar,
seorang siswa harus membayar mahal agar bisa masuk sekolah pavorit dan bagus. Dengan kata lain,
sekolah bagus tidak bisa diakses siswa-siswa pintar tetapi miskin.

Sekolah menjelma lembaga bisnis yang tujuannya mendapat profit sebesar-besarnya. Prinsipnya
untung rugi bukan nilai sosial demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Alih-alih memprotes, para
orangtua berlomba dan bangga memasukan anaknya ke sekolah-sekolah pavorit, meskipun mahal
harganya. Memang, prestasi akademik siswa-siswa di sekolah-sekolah ini bagus. Misal, alumninya
banyak diterima di perguruan tinggi negeri ternama. Siapa yang tidak tergiur dan berani bayar mahal.

Di sekolah pavorit orangtua siap membayar apa dan berapa saja. Di sekolah umumnya, satu dua
orangtua siswa memprotes kebijakan pungutan biaya pendidikan. Bagi siswa miskin, beragam
pungutan di sekolah memang sangat memberatkan. Apalagi pemerintah dan calon kepala daerah
sering menyebutkan pendidikan gratis seiring penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Peran orangtua

Fakta menunjukkan bahwa pendidikan tidak terjangkau oleh banyak siswa miskin di negeri ini.
Pendidikan tidak sepenuhnya gratis seperti digaungkan selama ini. Di awal masuk gratis, tetapi di
tengah dan di akhir semester muncul beragam pungutan. Alasannya, dana sekolah tidak cukup
menutupi semua kegiatan dan pogram sekolah.

Kondisi inilah yang melahirkan kebijakan pelarangan pungutan di sekolah, yaitu Perpres Nomor
87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, dan Permendikbud Nomor 75
Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Bahwa kepala sekolah dan komite sekolah harus hati-hati dalam
menarik dan mengelola dana dari orangtua. Langkah ini mungkin efektif menghentikan pungutan liar
di sekolah-sekolah, tetapi bukan berarti tanpa dilema.

Peran orangtua dalam pembiayaan pendidikan tetap diperlukan, khususnya bagi mereka yang
mampu. Tanpa sumbangan orangtua siswa, sekolah akan berjalan sempoyongan—untuk tidak
mengatakan akan mati suri. Dana BOS an sich tidak akan bisa mencukupi biaya operasional sekolah,
apalagi untuk membiayai program-program unggulan semisal mengikutsertakan siswa dalam lomba-
lomba tingkat nasional dan internasional. Butuh biaya tidak sedikit menyiapkan para siswa terlibat
dalam lomba akademik dan non-akademik.

Artinya, tiadanya pungutan di sekolah akan berdampak pada penurunan kualitas pendidikan di
sekolah, khususnya mutu lulusan. Seharusnya, fungsi tim saber pungli adalah memastikan pungutan
masih dalam jumlah wajar dan bagi siswa mampu, bukan melarangnya sama sekali. Hal ini penulis
kira yang harus segera dicermati pemerintah, agar sekolah bisa bermutu dan inovatif.

Jika tidak, kepala sekolah akan semakin banyak yang bersikap apatis terhadap pelaksanaan
program-program kreatif dan inovatif di sekolah. Bukankah program itu berjalan kalau ada dananya?
Saat ini bisa jadi banyak kepala sekolah bersikap: “lebih baik diam tanpa kreasi tetapi selamat,
daripada bekerja keras dan kreatif tetapi penuh resiko”.

Transparansi

Operasi Tangkap Tangan (OTT) kepala sekolah dan wakil kepala sekolah terkait pungutan liar di
sekolah harus dijadikan momentum pentingnya transparansi manajemen keuangan sekolah. Pepatah
menyebutkan, “Corruption is authority plus monopoly minus transparency”. Pertama, setiap
pungutan harus mendapat persetujuan komite sekolah dan dinas pendidikan. Jika sudah disetujui,
tidak ada niat jahat, dan untuk kepentingan siswa, kepala sekolah tidak harus takut terhadap tim saber
pungli.

Kedua, pungutan hanya bagi siswa mampu dan tidak disertai ancaman tertentu. Misal, melarang
ikut ujian bagi siswa yang belum membayar. Ketiga, pemerintah segera mengevaluasi sekolah-
sekolah berbiaya mahal. Kecuali menurunkan besaran beragam pungutan, tujuannya adalah agar
sekolah-sekolah itu bisa diakses oleh siswa dari semua kalangan masyarakat.

Jadi, pungutan di sekolah tidak harus dihilangkan sama sekali, tetapi diatur sedemikian rupa
sehingga tidak merugikan orangtua miskin. Juga tidak menjadikan sekolah sebagai tempat menarik
dana sebesar-besarnya dari orangtua mampu, sebab manusia pendidikan tidak layak mencari
keuntungan dari sekolah. Tulisan Abdul Kalam berikut ini penting dibaca guru dan kepala sekolah, “If
a country is to be corruption free and become a nation of beautiful minds, I strongly feel there are
three key societal members who can make a difference. They are the father, the mother, and the
teacher”.

Biaya Kuliah
Jejen Musfah, 2017

Kategori Dosen

Penulis membagi dosen menjadi dua, yaitu dosen yang tidak mampu dan dosen yang mampu.
Dosen tidak mampu karena memang gaji dosen tidak seberapa jika dibandingkan dengan pengeluaran
kebutuhan sehari-hari, dengan satu orang istri dan dua orang anak misalnya. Jika ada dosen yang
mampu berarti dari sononya sudah kaya, atau punya kerjaan lain selain di kampusnya atau istrinya
pandai cari duit. Memang ada ya dosen yang hanya ngajar di kampusnya saja?

Kategorisasi ini penulis buat untuk menggambarkan keadaan dosen yang kuliah doktoral atau yang
cukup puas dengan gelar masternya. Dosen pertama pasti kecil hati untuk kuliah karena biaya S-3 di
Indonesia tidak murah, tapi dosen kedua belum tentu juga mau kuliah. Kedua dosen sama-sama tidak
kuliah, alasannya saja yang beda: tiada uang dan tiada kemauan. Kuliah memerlukan uang dan
kemauan. Memiliki kemauan lebih utama daripada punya uang. Mencari uang sulit, tapi jauh lebih
sulit memiliki kemauan.

Kategori Beasiswa

Asal ada kemauan, banyak beasiswa S-3 bagi dosen. Penulis membagi beasiswa menjadi tiga.
Pertama, beasiswa khusus atau tertutup, yang disediakan oleh Dikti atau Diktis. Disebut tertutup
karena penerimanya dibatasi dosen di bawah naungan Diktis atau Dikti. Misalnya, seorang dosen
tidak bisa mendapatkan beasiswa S-3 yang dikeluarkan Dikti hanya karena ia dosen di bawah binaan
Diktis.

Pengkotakan ini sering menimbulkan kesan tak adil di mata dosen, terutama bagi dosen di bawah
Diktis. Inilah salah satu dampak negatif pendidikan Indonesia berada di bawah dua payung.
Kemenristek Dikti satu pihak, dan Kemenag di pihak lain.
Kedua, beasiswa umum, yaitu LPDP. Beasiswa ini terbuka untuk semua dosen PT di Indonesia,
yang mau kuliah di dalam maupun luar negeri. Persyaratannya cukup berat, minimal dosen harus
melampirkan skor TOEFL 450 – 500. Tidak banyak dosen yang bisa memenuhi syarat bahasa asing
ini. Ibaratnya, mereka kalah sebelum bertanding.
Ketiga, beasiswa dari kampus luar negeri atau negara lain. Lagi-lagi, persyaratan Bahasa Inggris
sering menjadi kendala bagi dosen, sehingga kuota yang disediakan sering tidak terpenuhi. Tentu
masih banyak beasiswa lainnya selain tiga beasiswa tersebut.
Dari segi peluang, dosen lebih mungkin mengambil beasiswa yang pertama, selanjutnya yang
kedua, baru yang ketiga. Semakin besar tagihan Bahasa Inggris, semakin sedikit dosen yang akan
bersaing. Kemampuan Bahasa Inggris dosen kita lemah, karena tidak terlatih sejak semula—bukannya
tidak mampu sama sekali.

Zona Nyaman

Meski kondisi ekonomi tidak bagus, dosen tertentu tetap memilih kuliah. Inilah yang disebut ada
kemauan untuk maju. Caranya? Uang dapur istri dikurangi, karena sebagian uangnya dipakai untuk
membayar biaya semester. Bukan tak pernah berusaha mendapat beasiswa. Beberapa kali mengikuti
seleksi beasiswa gagal. Konon, untuk memperoleh beasiswa perlu pendekatan khusus.

Masalahnya, berapa dosen yang sanggup memilih jalan perih berliku seperti ini? Dosen yang
berani keluar dari zona nyaman. Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Kuliah dengan
modal pas-pasan plus keluarga bukanlah jalan kenikmatan, melainkan perjalanan penuh air mata
duka.
Itu lahiriahnya, wajar sebagaimana manusia. Batinnya pasti tersenyum bangga, sebab kelak tak
lama setelah tiga, empat tahun, atau lebih, semua pengorbanan semasa kuliah pasti tergantikan. Hanya
soal waktu.
BAB XIV

KELEMBAGAAN

# Mewujudkan Sekolah Inklusi #


SINDO, 21 Maret 2016

Setiap anak yang lahir di republik ini berhak mendapatkan pendidikan di sekolah yang berstandar
baik, tidak terkecuali anak berkebutuhan khusus (ABK) dan berbakat istimewa. Jumlah mereka tidak
sedikit. Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2009 saja, dari sebanyak 61,2
juta anak berusia 0-15 tahun, sebanyak 354.707 anak diantaranya termasuk dalam kategori disabilitas.
Indeks disabilitas sebesar 7 per 1000 anak.

ABK bisa belajar di sekolah luar biasa (SLB) dan di sekolah inklusi. Sekolah inklusi adalah
pendidikan yang melibatkan ABK ringan, sedang, atau berat, belajar di kelas bersama-sama anak-
anak yang normal. Pada 5 Oktober 2009 dikeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70
tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan
dan yang memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa.

Pada tahun 2008, jumlah sekolah inklusi secara nasional dari SD hingga SMA hanya 254 sekolah,
namun pada tahun 2014 jumlahnya meningkat signifikan menjadi sebanyak 2.430 sekolah formal
yang ikut berpartisipasi menyelenggarakan pendidikan inklusi. Pada 2016 ini, tentu sekolah inklusi
lebih banyak lagi.

Sekolah inklusi penting dan perlu ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya karena jumlah dan
kualitas SLB tidak sebanding dengan jumlah ABK yang tiap tahun semakin bertambah. Angka
partisipasi murni (APK) anak berkebutuhan khusus untuk jenjang pendidikan dasar pada tahun 2010
baru mencapai 29 persen atau 75 ribu anak. SLB sendiri menghadapi masalah kekurangan sarana
belajar yang standar, bahkan kekurangan guru khusus.

Kesadaran dan Dukungan

Menyelenggarakan sekolah inklusi tidak mudah karena membutuhkan kesadaran dan dukungan
dari berbagai pihak. Pertama, sekolah. Tidak cukup niat baik saja, kepala sekolah harus juga
menyediakan guru khusus, dan memberikan pelatihan kepada guru kelas dan guru bidang studi.
Demikian juga penyediaan sarana dan prasarana sekolah yang ramah ABK dan berbakat khusus. Jika
tidak serius merencanakannya, sekolah inklusi hanya akan menjadi status, tetapi praktik
pendidikannya tidak memberikan dampak positif bagi anak-anak.

Kedua, orangtua. Dukungan orangtua sangat penting untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah
inklusi, berbaur dengan anak-anak normal. Menurut data Susesnas 2009, masih terdapat 70 persen
anak berkebutuhan khusus yang belum merasakan jaminan hak pendidikannya dikarenakan berbagai
alasan, antara lain mereka disembunyikan oleh para orangtuanya, atau lokasi tempat tinggalnya sulit
dijangkau.
Orangtua membantu guru dalam hal pencapaian hasil belajar melalui pendampingan belajar di
rumah. Orangtua bersama guru bekerjasama mengembangkan bakat anak dengan latihan rutin di
sekolah dan di rumah, dan mengikutkannya ke setiap perlombaan tingkat kecamatan, kabupaten,
provinsi, nasional, bahkan mancanegara.

Para orangtua yang menyekolahkan anak mereka di sekolah inklusi juga diharapkan memberikan
dukungan, bukan memindahkan anak-anak mereka atau menghindari sekolah inklusi karena khawatir
anak mereka terganggu, terancam, tidak nyaman, dan lain sebagainya. Mereka bisa memberikan
pemahaman kepada anak-anak mereka untuk berempati, berteman, bermain, dan bekerjasama.
Dukungan dari para orangtua tersebut akan membantu efektivitas pembelajaran sekolah inklusi.

Ketiga, guru. Idealnya, sekolah inklusi memiliki guru khusus selain wali kelas dan guru mata
pelajaran. Guru khusus adalah guru dengan latar belakang sarjana pendidikan khusus (gelarnya S.Pd).
Selain mengajar, guru khusus memberikan pemahaman—dalam bentuk diskusi—kepada guru mapel
dan wali kelas tentang ABK dan berbakat, seperti gaya belajar, karakter, dan cara mengajar mereka.

Jadi, guru khusus, guru mapel, dan wali kelas membangun kesepahaman tentang ABK dan
berbakat, sehingga pembelajaran di kelas berjalan menyenangkan, efektif, dan efisien. Mereka
menjadi tim pengajaran yang saling mengisi dalam pembelajaran dan pelatihan, bukan masing-masing
berdiri sendiri dan apalagi tidak saling berdiskusi.

Guru kelas inklusi harus mampu membuat dan menggunakan bahan, metode, dan media ajar yang
sesuai dengan ragam ABK, karena capaian pembelajaran mereka berbeda dengan siswa pada
umumnya. Bahan, metode, dan media ajar yang sesuai dengan tipe-tipe ABK akan membantu
kenyamanan dan ketercapaian pembelajaran. Sebaliknya, ketidaksesuaian bahan dan media akan
mengganggu bahkan menjadikan belajar sebuah kesia-siaan belaka.

Program Pemerintah

Keempat, pemerintah. Tanpa keterlibatan penuh pemerintah pusat dan daerah, cita-cita sekolah
inklusi masih jauh dari harapan. Oleh karena itu, langkah berikut bisa dipertimbangkan. Mengangkat
sarjana pendidikan khusus sebagai PNS yang ditempatkan di sekolah negeri dan sekolah swasta.
Kehadiran mereka bisa memotivasi dan mengedukasi guru-guru lainnya. Maka, diharapkan sekolah
inklusi semakin bertambah, minimal satu kabupaten satu sekolah, bahkan lebih.

Menyelenggarakan pelatihan dan seminar terkait pendidikan inklusi untuk guru dan orangtua
siswa, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Tidak semua guru dan orangtua memahami dengan
baik tentang pendidikan inklusi, sehingga mereka cenderung menghindar, takut, dan tidak mau terlibat
dalam pendidikan inklusi.

Memberikan insentif kepada sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, termasuk kepada guru
khusus, guru mata pelajaran, dan wali kelas, karena tugas mereka lebih berat daripada guru di kelas
reguler. Jika insentif ini memadai, maka akan melahirkan beberapa sekolah inklusi baru di tingkat
kabupaten dan kecamatan—tentu uang bukan sebagai tujuan utama.

Menunjuk tim khusus untuk menyusun materi, metode, dan media pembelajaran khusus ABK—
dengan segala variasinya. Dengan demikian, guru-guru dapat menggunakan buku, metode, dan media
tersebut sebagai rujukan, dan memodifikasinya sesuai kondisi masing-masing sekolah. Kelemahan
utama sekolah inklusi adalah tidak adanya materi dan media khusus untuk ABK.
Akhirnya, semoga semakin banyak ABK Indonesia yang terlayani pendidikannya. Kita tunggu
komitmen menteri, gubernur, wali kota, dan bupati untuk mewujudkan sekolah inklusi, khususnya di
desa dan daerah pesisir atau pulau-pulau kecil. Perhatian pemimpin daerah adalah masa depan bagi
anak-anak berkebutuhan khusus dan memiliki keceradasan dan/atau bakat istimewa.

# Melajukan Pemerataan Pendidikan #


Majalah Suara Guru, Edisi Mei-Juni 2017

Tema Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini adalah “percepat pendidikan yang merata
dan berkualitas”. Membaca tema ini—dengan kalimat perintah—penulis langsung ingat pesta tahunan
Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang baru saja usai. Meski dinilai memiliki banyak
keunggulan dibanding ujian kertas dan pensil, ia membuat kepala sekolah, guru, orang tua, dan siswa
pusing tujuh keliling.

Bukti tidak meratanya pendidikan di Indonesia semakin terang benderang, khususnya aspek
sarana dan prasarana. Sekolah-sekolah percontohan dan unggulan saja kewalahan menyediakan
komputer untuk sekian ratus siswa, apalagi sekolah-sekolah biasa di kabupaten/ kota. Demi prestise
pejabat dan pemerintah, banyak sekolah dipaksa melaksanakan UNBK padahal kondisi riilnya tidak
memungkinkan.

Dalam waktu singkat dan kondisi keuangan yang kritis, kepala sekolah harus menyediakan
komputer, server, dan genset. Sementara itu sebagian siswa harus menumpang ujian di sekolah lain,
menginap, dan berlatih UNBK secara dadakan. Target kuantitas sekolah pelaksana UNBK terkesan
dipaksakan. Tidak berdasarkan kajian mendalam.

Pemerataan pendidikan berjalan lamban karena beberapa faktor. Pertama, dana pendidikan untuk
penyediaan sapras sangat terbatas: dibandingkan dengan jumlah sekolah negeri dan swasta. Setiap
tahun, ke sekolah mana saja dana itu diberikan kerap mengundang Tanya. Jangankan untuk
penyediaan komputer dan jaringan internet, bangunan sekolah kita saja banyak yang rusak. Atap
sekolah ambruk sering terjadi bahkan menelan korban.

Kedua, alokasi dana tidak tepat sasaran. Sementara banyak sekolah rusak berat maupun ringan,
banyak instansi pemerintah yang tiap tahun membangun gedung baru atau merehab gedung yang
sebenarnya masih layak pakai. Renovasi gedung atau lainnya di kantor pemerintahan atau kampus
negeri bukan karena kebutuhan tetapi penyerapan anggaran. Ujungnya adalah indikasi korupsi.

Percepatan pendidikan yang merata dan berkualitas memerlukan keterlibatan swasta, baik
individu maupun kelompok. Semua pihak yang mampu di negeri ini harus peduli pendidikan,
khususnya pendidikan dasar dan mengengah. Kepedulian ini langka, mahal, dan harus diperjuangkan
bersama. “The only thing more expensive than education is ignorance,” kata Benjamin Franklin.

Pertama, orang tua siswa yang mampu didorong memenuhi standar minimal sapras di sekolah,
tanpa paksaan. Komite sekolah sebagai wadah berkumpul orang tua siswa harus diberdayakan dalam
pemenuhan standar pendidikan sehingga mereka yang benar-benar mampu punya andil dalam
peningkatan mutu pendidikan.
Sementara itu sekolah yang sudah bagus atau rujukan diupayakan membantu sekolah-sekolah
yang ada di sekitarnya. Kinerja kepala sekolah atau komite dinilai dari keberhasilannya membina dan
memajukan sekolah-sekolah sekitar, di samping kemajuan sekolahnya sendiri. Tidak hanya aspek
akademik, bantuan sekolah ke sekolah juga bisa berupa fasilitas dan pembangunan gedung.

Upaya itu tidak akan mudah. Kepala sekolah harus mendapatkan kepercayaan orang tua siswa
sehingga mereka berkenan gotong royong membangun sekolah bermutu. Membantu tanpa pamrih.
Kepercayaan itu akan lahir jika kepala sekolah hadir sebagai pemimpin dan pribadi yang baik.

Kedua, dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan diarahkan ke sekolah-sekolah


kategori rendah. Pemerintah harus membuat regulasi tentang ini secara khusus. Tidak elok suatu
daerah yang banyak perusahaan besarnya tetapi keadaan sekolah-sekolahnya buruk.

Sekolah berperan penting dalam kehidupan masyarakat sekitar, maka wajar Dunia Usaha dan
Dunia Industri (Dudi) membantu pembangunan dan pengembangan sekolah. Kepala sekolah, komite,
pemerintah daerah, dan Dudi perlu duduk bersama membincang penguatan mutu pendidikan. Kepala
sekolah dan komite yang bergerak sendiri melobi Dudi kerap gagal. Intervensi Pemda melalui regulasi
penting agar kerjasama dan sinergi Dudi dengan sekolah terwujud.

Seperti sekolah, Dudi juga harus berperan terhadap masyarakat sekitar terutama sekolah-sekolah
di sekitarnya. Dudi tidak bisa hanya berpangku tangan saat tahu peran penting pendidikan bagi
perubahan individu dan masyarakat. “When individuals change, society will change. And when
society change, the whole world will change. The welfare of the individual is bound up with the
welfare of society as a whole,” tulis Sathya Sai Baba.

Kerja dan kepedulian bersama itulah yang memungkinkan pemerataan pendidikan yang
berkualitas di Indonesia bisa terwujud. Pemerintah harus mampu mengajak orang tua dan Dudi untuk
peduli pendidikan. Kuncinya adalah pemerintah harus memiliki kredibilitas dan kapasitas dalam
mengelola bidang pendidikan sehingga melahirkan kepercayaan masyarakat.

Jika pemerintah seperti ini di mana korupsi bidang pendidikan masih tinggi, dan kebijakan
pendidikan lemah dan silih berganti sebelum tuntas, maka sulit mendapatkan kepercayaan
masyarakat. Karena itu pemerintah harus mulai serius mengelola pendidikan: revolusi mental pejabat,
birokrat, dan praktisi. Sungguh kita tidak ingin, tema melajukan pendidikan yang merata dan
berkualitas hanya akan tinggal kenangan, lapuk dimakan waktu.

# Menyikapi Full Day School #


SINDO, 14 Juni 2017

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi memastikan bahwa pada tahun ajaran
2017-2018 belajar di sekolah berlangsung selama lima hari, Senin hingga Jumat. Sabtu dan Minggu
libur. Maka, siswa belajar di sekolah dari pagi hingga sore sekitar pukul 16.00. Permendikbud-nya
akan segera keluar.

Sebelumnya, pada 2016 kebijakan ini ramai mendapat tanggapan pro dan kontra dari masyarakat,
sehingga kebijakan ini urung diberlakukan. Sekolah seharian penuh (Full Day School—FDS)
dianggap pemerintah merupakan model ideal untuk membina karakter siswa di sekolah karena banyak
orang tua yang tidak bisa mengawasi anak pada siang hingga sore hari.

Fasilitas

Kehadiran siswa sehari penuh di sekolah akan berdampak pada beberapa hal. Pertama,
keterbatasan ruang kelas belajar. Beberapa sekolah menerapkan sistem jam belajar pagi dan siang
karena kekurangan ruang kelas. Jumlah siswa tidak sebanyak jumlah kelas yang dimiliki. Meski siswa
belajar Senin hingga Sabtu, jam belajar untuk semua kelas tidak bisa dimulai dari pagi. Sekolah ini
jelas tidak akan bisa menerapkan kebijakan FDS di atas.

Kedua, kantin sehat. Kebijakan FDS berdampak pada kesiapan sekolah menyediakan makan siang
yang bergizi bagi siswa, entah melalui kantin sekolah atau warung-warung sekitar sekolah. Mungkin
juga siswa membawa makan siang dari rumah yang dibawanya sejak pagi. Sekolah harus memastikan
bahwa menu makan siang siswa terjamin kesehatannya. Kantin, pedagang, dan warung-warung
sekitar sekolah harus dipastikan hanya boleh menjual makanan yang sehat. Tugas ini tidak ringan
karena terkait dengan usaha seseorang.

Ketiga, tempat belajar dan bermain. Belajar seharian di sekolah tidak menjadi masalah jika
fasilitasnya memadai. Masalahnya, jangankan taman belajar, taman bermain, perpustakaan,
laboratorium, dan lapangan olahraga, sekolah kita banyak yang kekurangan ruang kelas dan toilet.
Toilet yang ada pun tidak standar jumlah dan kebersihannya. Kondisi fasilitas sekolah yang minim itu
tidak akan membuat siswa merasa nyaman berada di sekolah.

Ekstrakurikuler

Meski sebagian sekolah tidak akan mampu menerapkan kebijakan FDS di atas, catatan berikut
bisa dipertimbangkan sekolah-sekolah penyelenggara FDS—baik yang baru akan maupun yang sudah
lama melaksanakan. Pertama, bakat dan minat siswa yang beragam. Kebijakan sekolah seharian
penuh tidak sekedar memindahkan jam belajar Sabtu ke Senin hingga Jumat tetapi momentum
pengembangan bakat dan minat siswa melalui ekstrakurikuler yang variatif.

Seperti dijelaskan Mendikbud bahwa sekolah sampai sore tidak identik dengan belajar di kelas.
Sekolah didorong kreatif melaksanakan kegiatan yang mengembangkan bakat dan minat siswa.
Sekolah harus menyediakan pelatih yang mampu menyempurnakan keterampilan siswa dalam bidang
akademik, seni, dan olahraga. Kemudian sekolah memberikan kesempatan siswa mengikuti lomba-
lomba dari level kecamatan, kabupaten, kota, provinsi, nasional, hingga internasional.

Sekolah kita sedikit yang mengakomodasi bakat dan minat siswa yang heterogen. Padahal tujuan
utama pendidikan adalah pengembangan bakat siswa sehingga ia menemukan jati diri mereka masing-
masing. Kendalanya adalah keterbatasan dana dan fasilitas yang dimiliki sekolah. Tetapi kendala
utamanya adalah tiadanya budaya kreatif dan inovatif pemimpin sekolah.

Kedua, karakter siswa. Selain melahirkan kegembiraan siswa karena melakukan hal yang mereka
sukai, ekstrakurikuler itu juga akan mengembangkan karakter positif bagi siswa. Keterlibatan siswa
dalam kegiatan akademik, seni, dan olahraga akan memupuk sikap tekun, sabar, disiplin, tanggung
jawab, dan mandiri. Pembentukan karakter sebagai tujuan utama kebijakan FDS pun tercapai.
Untuk bisa terampil, juara, dan berprestasi dalam bidang tertentu, siswa harus berlatih sungguh-
sungguh. Dibutuhkan kesabaran, disiplin, ketekunan, dan kerja keras siswa dalam meraih cita-citanya.
Disadari ataupun tidak oleh siswa, proses ini akan melatih siswa yang berkarakter. Kuncinya adalah
bimbingan dari guru atau pelatih.

Siswa yang memiliki kegiatan sesuai hobinya akan terhindar dari aktivitas yang tidak berguna
apalagi merugikan dirinya dan orang lain. Waktunya akan diisi dengan berlatih dan berlatih untuk
mencapai kemahiran sehingga bisa menjadi ahli dan meraih prestasi. Mereka akan berinteraksi dengan
teman-teman yang memiliki hobi yang sama dan maju bersama. Sikap kerjasama dan menghargai
perbedaan mereka akan terbentuk dengan baik.

Demikianlah, kebijakan FDS harus disikapi positif oleh sekolah. Bagi yang belum memungkinkan
melaksanakan, mari mulai berbenah menuju sekolah yang fasilitasnya memadai untuk belajar sehari
penuh dan berorientasi pengembangan kecerdasan siswa yang beragam. Dalam jangka menengah,
mayoritas sekolah harus siap dengan FDS.

Sementara sekolah yang sudah menerapkan FDS seperti SDIT, SMPIT, dan SMAIT, diharapkan
mampu memfasilitasi keragaman minat dan bakat siswa melalui ekskul sehingga meraih prestasi di
level nasional maupun internasional. Bimbingan dan latihan siswa dalam bidang tertentu akan
melahirkan siswa yang tidak hanya terampil tetapi juga berkarakter. Semoga revolusi mental sebagai
landasan filosofis FDS bisa terwujud.

Pengamat: Madrasah Dirugikan Adanya Kebijakan Full Day School

17 Juni 2017
JawaPos.com - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy dinilai
telah berlaku sepihak karena akan menerapkan 5 hari sekolah dan 8 jam belajar atau full day
school. Pasalnya banyak yang menentang kebijakan itu.

Pemerhati pendidikan Jejen Musfah mengatakan, Muhadjir perlu melakukan pengkajian ulang
terhadap Peraturan Menteri (Permen) Nomor 23/2017 tentang Hari Sekolah yang mengatur full day
school. Pasalnya dalam hal ini sekolah madrasah sangat dirugikan jam pelajaran agamannya harus
10 persen saja.

"Jadi sangat bijak kalau melihat kesiapan masdrasah dulu, dan jangan dipaksakan," ujar Jejen
dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (17/6).

Oleh sebab itu, dia meminta Mendikbud melakukan evaluasi terhadap Permen tersebut.
Pasalnya apabila ada kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat banyak, maka akan
menimbulkan suatu kegaduhan.

"Jadi memang apabila tidak bisa dilakukan full day school maka dilakukan revisi," pungkasnya.
Sebelumnya, Mendikbud Muhadjir Effendy menilai, perlu penerapan kebijakan baru di tahun
pelajaran baru pada Juli 2017 nanti, yakni full day school. Muhadjir berpandangan di sekolah
negeri khusunya memang hanya belajar dari Senin hingga Jumat. Hanya saja siswa masih terbebani
dengan kegiatan ekstrakulikuler pada Sabtu atau Minggu. Dengan adanya kebijakan full day school
ini, siswa tidak perlu lagi berkegiatan
# Menyoal Lima Hari Sekolah #
Jejen Musfah, 2017

Kebijakan Full Day School atau Lima Hari Sekolah (LHS) menuai banyak kritik dari masyarakat.
Kritik tidak hanya dilayangkan terkait substansi kebijakan, tetapi menyeret isu politik antara dua
organisasi masyarakat terbesar di Indonesia—sebuah kesimpulan yang terlalu dini. Dalam hal ini
Mendikbud Muhadjir dianggap mewakili ormas tertentu yang dinilai akan mendegradasi pendidikan
Islam di bawah ormas lainnya.

Kebijakan ini merupakan turunan dari program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) di sekolah
dimana narasi besarnya adalah revolusi mentalnya Presiden Jokowi . PPK melalui kebijakan LHS
diharapkan mampu menangkal paham radikalisme dan menghindarkan siswa dari bahaya narkoba—
yang sudah mulai menyasar siswa SD, SMP, dan SMA. Kontra terhadap kebijakan ini setidaknya
mencakup tiga hal.

Pertama, mematikan madrasah diniyah takmiliyah, pondok pesantren, dan pendidikan al-Quran
(TKA, TPA, dan TQA). Inilah yang membuat kaum nahdiyyin berteriak lantang menolak kebijakan
LHS di surat kabar juga di media sosial. Kekhawatiran ini beralasan karena jam belajar sampai 16.00
itu beririsan dengan jam belajar di tiga lembaga pendidikan Islam di atas.

Argumentasi Mendikbud yang akan mengakomodasi jam belajar di tiga lembaga itu ke dalam
beban delapan jam di sekolah atau meminta kepala sekolah menjadikan ustadz atau pendeta untuk
menjadi sumber belajar di sekolah, akan sulit dalam tataran praktik. Bukankah di sekolah sudah ada
guru-guru agama?

Meskipun demikian, praktik belajar lima hari sudah banyak berjalan di Indonesia, yaitu SDIT,
SMPIT, dan SMAIT. Sekolah dan madrasah yang unggul umumnya belajar hingga sore hari. Sekolah
berasrama (boarding school) dan pesantren bahkan 24 jam mendidik siswa, dan sangat diminati oleh
masyarakat Indonesia. Selain madrasah, sekolah berbasis keislaman menambah jam pelajaran agama
minimal pada baca-tulis Quran, hafalan, dan praktik ibadah. Setiap lembaga pendidikan memiliki
pasarnya masing-masing.

Kedua, menghapus matapelajaran PAI. Banyak pihak menduga kebijakan ini bisa menghapuskan
mapel PAI di sekolah. Jika mapel PAI dihapus maka tidak perlu lagi guru PAI; jika guru PAI tidak
dibutuhkan lagi maka Program Studi PAI juga perlahan akan ditutup. Demikian diskusi yang
berkembang di sebuah fakultas pendidikan meskipun penulis yakin tidak ke arah tersebut kebijakan
ini dibuat.

Penafsiran itu tidak relevan karena kebijakan LHS justeru ingin menguatkan lima nilai utama,
yaitu: religius, nasionalis, gotong royong, mandiri, dan integritas. Kita sama tahu bahwa pendidikan
agama Islam merupakan matapelajaran yang muatan materinya mampu mengembangkan kelima nilai
utama di atas. Menghapuskan matapelajaran agama paradoks dengan tujuan kebijakan 5HS yang
rumah besarnya adalah PPK dan/atau revolusi mental.

Ketiga, kompensasi kehadiran guru. Kehadiran guru delapan jam di sekolah dalam lima hari
mungkin tidak masalah bagi guru PNS tetapi akan menjadi masalah bagi guru honorer. Guru honorer
tidak hanya mengajar di satu sekolah melainkan lebih demi mendapatkan gaji cukup. Alasannya, jam
pelajaran di satu sekolah terbatas dan harus berbagi dengan guru-guru lainnya.

Beban kerja yang maksimal kepada guru hanya pas bagi guru PNS padahal jumlah mereka sedikit
dibandingkan jumlah guru honorer. Meminta guru-guru honorer berada di sekolah selama delapan jam
sehari perlu mempertimbangkan kemampuan keuangan sekolah. Di sekolah negeri saja guru honorer
nelangsa apalagi di sekolah-sekolah swasta.

Saat ini sekolah negeri tidak boleh memungut biaya pendidikan walaupun tujuannya
kesejahteraan guru honorer. Alih-alih mendapatkan apresiasi, kepala sekolah dan bendahara sekolah
ditangkap polisi atas dugaan pungli. Demikian juga sekolah swasta tidak berani memungut biaya
karena akan ditinggalkan oleh masyarakat alias tidak mendapatkan siswa. Masyarakat akan memilih
sekolah gratis. Intinya, sekolah minim dana untuk membayar guru honorer secara layak.

Demikianlah, setiap kebijakan pendidikan Indonesia akan menemukan tantangan yang tidak
ringan karena disparitas mutu sekolah yang sangat tinggi, juga keragaman modelnya. Kebijakan LHS
mungkin cocok bagi sekolah/ madrasah tertentu tetapi tidak mungkin bagi sekolah yang lainnya.
Maka, pemerintah tidak boleh memaksakan kehendak pada satu sisi, dan masyarakat tidak boleh
berlebihan dalam menyikapi suatu kebijakan pada sisi yang lain.

Kita harus (tetap) bersatu dalam perbedaan pandangan. Menjadikan dialog sebagai jalan
memajukan pendidikan Indonesia yang lebih baik. Indonesia bukan hanya tentang keragaman agama,
suku, dan bahasa, melainkan juga memiliki keragaman jenis dan model pendidikan. Semua ini
warisan leluhur bangsa bernama Indonesia yang patut kita jaga dan pelihara.

# PGRI Vs Pemerintah #
SINDO, 15 Juni 2016

Sukses bidang pendidikan pada 2016 ini akan tergantung pada kemampuan pemerintah dan pihak-
pihak terkait dalam menjadikan masa lalu sebagai penghidup masa depan. Bukan sebaliknya, masa
lalu yang membunuh masa depan. Pemerintah, organisasi keguruan, dan individu harus mampu
belajar dari pengalaman pahit dan manis di 2015.

Akhir 2015, dunia pendidikan ditandai dengan friksi antara organisasi guru terbesar, yaitu PGRI
dengan pemerintah. Hal ini cukup mengejutkan karena semestinya keduanya berjalan seiring sejalan
dalam agenda peningkatan kualitas pendidikan yang semakin baik, khususnya guru yang jumlahnya
hampir tiga juta orang.

Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yudi Krisnandi dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan melarang guru-guru di berbagai daerah ikut perayaan
HUT PGRI ke-70 di GBK, 13 Desember 2015 lalu. Alih-alih mematuhi larangan itu, guru-guru tetap
datang ke Jakarta, hingga berjumlah sekitar 100 ribu guru dari berbagai daerah. Ini melebihi kapasitas
GBK yang berkapasits 88.306.
Respon Pemerintah

Tentu hanya Yudi Krisnandi dan Anies Baswedan yang tahu pasti apa alasan larangan tersebut.
Akan tetapi, jika merunut ke belakang, bisa jadi ini terkait dengan eksistensi guru honorer yang
nasibnya belum jelas, bahkan terombang-ambing. Guru honorer menuntut pemerintah dan DPR segera
mengangkat mereka menjadi CPNS, sebagaimana janji pemerintah sebelumnya. Akhir-akhir ini guru
honorer semakin sering melakukan demo besar-besaran menuntut hak mereka.

Kecuali itu, mungkin pemerintah menilai PGRI selama ini terlalu kritis terhadap pemerintah.
Suara PGRI sering bersebrangan dengan kebijakan pemerintah. Misalnya, kebijakan UKG pada 2015
ini. PGRI menilai UKG tidak akan efektif karena hasil UKG pada periode 2012 sebagai contoh, tidak
pernah ditindaklanjuti dengan pelatihan.

Konflik antara PGRI dan wakil pemerintah berlanjut dengan tidak hadirnya dua menteri tersebut
di GBK. Terlepas diundang atau tidak diundang, yang pasti ada masalah komunikasi di antara mereka.
Bahkan Presiden pun tidak hadir, dan hanya diwakili oleh Puan Maharani, Menteri Koordinator
Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Komitmen pemerintah terhadap guru pun
dipertanyakan.

Respon kekecewaan pemerintah terhadap PGRI sangatlah tidak dewasa, emosional, dan terkesan
terburu-buru, tanpa pemikiran yang matang. Seharusnya, pemerintah memberi contoh yang baik
dalam mengambil kebijakan. Larangan itu tidak menyelesaikan masalah yang ada antara keduanya,
tetapi menimbulkan masalah baru.

Pemerintah bertanggung jawab segera menghentikan friksi ini, sehingga keduanya bisa bersama-
sama melakukan kerja produktif untuk kebaikan guru di masa datang. Jika tidak, komitmen
pemerintah dalam mengurai masalah pendidikan yang sangat kompleks, khususnya guru patut
diragukan. Sikap positif dilakukan Anies, yaitu menghadiri HGN dan HUT ke-70 PGRI, 19 Desember
2015 di Kabupaten Banyuwangi.

Sikap dua kementerian itu tidak seharusnya terjadi, karena PGRI adalah mitra pemerintah.
Program pemerintah terkait guru akan berjalan lebih baik jika melibatkan PGRI, karena ia memahami
tentang kondisi dan masalah-masalah guru. PGRI yang memiliki cabang hampir di seluruh kepulauan
nusantara, merupakan mitra yang potensial bagi pemerintah pusat maupun daerah. Berdasarkan data
Maret 2014, kepengurusan PGRI terdapat di 33 Provinsi, 350 Kabupaten/Kota, 4126 Kecamatan, dan
68.139 Desa. Terdapat 1,6 juta orang anggota PGRI.

Mengikuti perayaan HUT PGRI tidak akan mengurangi citra guru profesional—sebagaimana
disampaikan pemerintah. Sebaliknya, salah satu ciri guru profesional adalah keikutsertaan guru dalam
organisasi profesi, sebagaimana diamanahkan regulasi. Organisasi profesi adalah wadah
pengembangan kompetensi guru, sekaligus tempat guru menyampaikan, menghimpun, dan
mencarikan jawaban masalah-masalah terkait keguruan, baik internal maupun eksternal.

Sikap Guru

Kasus di atas menimbulkan kekecewaan guru-guru dari berbagai daerah yang hadir di GBK.
Akibatnya, pada saat Puan Maharani membacakan sambutan Presiden, berkali-kali guru
meneriakinya. Ia bahkan sampai meminta persetujuan hadirin untuk melanjutkan sambutan atau tidak,
karena kesal.

Meskipun Puan adalah seorang menteri, dan hadir mewakili Presiden, guru seolah memandangnya
bukan very very important person—sebagaimana biasanya seorang menteri hadir dalam sebuah acara.
Secara spontan, guru-guru meluapkan kekecewaannya dengan cara berteriak di hadapan pejabat
pemerintah. Dalam hal ini Puan.
Sikap para guru itu sangat disayangkan, karena menunjukkan sikap tidak dewasa dalam
menghadapi masalah. Guru seharusnya mampu menahan amarah mereka, meskipun persoalan yang
dihadapinya tidaklah ringan. Memberi kesempatan orang bicara, dan mendengarkannya dengan baik
merupakan karakter baik. Sikap sebaliknya, apa pun alasannya, adalah karakter buruk.

Sebagai manusia, Puan pasti kecewa dengan hal tersebut. Tetapi semoga ia memaklumi dan
memaafkan para guru yang sudah tidak menghargainya. Sebagai menteri, ia punya kapasitas dan
kewenangan untuk menyelesaikan persoalan guru. Tentu bukan sendirian. Dia bersama Anies
Baswedan, Yudi Krisnandi, dan Mohamad Nasir, duduk bersama untuk mengurai satu persatu
permasalahan guru.

Catatan lainnya buat guru adalah sampah bekas nasi kotak yang berserakan di halaman sekitar
GBK. Kondisi ini bertentangan dengan apa yang selalu diajarkan guru di depan kelas dan di sekolah.
Membuang sampah pada tempatnya dan kebersihan merupakan karakter dasar yang harus ditanamkan
kepada siswa di sekolah. Hal ini tidak akan berhasil jika para guru sendiri tidak memberi contoh yang
baik kepada siswa.

Hal ini terlihat masalah kecil. Akan tetapi, kita tidak akan mampu menyelesaikan masalah-
masalah besar jika kita sendiri tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah yang kecil. Guru harus
mampu menjadi teladan dalam perilaku sekecil apa pun, pada saat sendiri maupun berkumpul dalam
jumlah besar. Jika masih ada yang lemah pada sebagian kecil guru, maka yang banyak yang sudah
baik harus mampu memengaruhi yang sedikit itu. Bukan malah sebaliknya.

Akhirnya, semoga friksi antara PGRI dan pemerintah tidak berlanjut di tahun ini. Keduanya
bergandeng tangan dan melangkah bersama untuk menghasilkan kinerja pendidikan nasional yang
berkeadilan, bertanggung jawab, nirkorupsi, dan mencerdaskan. Perbedaan pandangan merupakan
sumber energi untuk melakukan tindakan besar, bukan sumber konflik dan perpecahan, apalagi
permusuhan antar anak bangsa.

# Dinamika Pengelolaan Madrasah di Indonesia #


Seminar Nasional tentang Madrasah, Prodi PGMI, IAIN Pekalongan, 07 Desember 2017

Problem yang dihadapi madrasah saat ini adalah mutu yang rendah dan minimnya dana. Hanya 20
persen madrasah negeri. 80 persen madrasah swasta. Pemerintah tidak bisa mengabaikan madrasah
swasta. Peran mereka besar bagi pembangunan pendidikan bangsa. Mereka layak mendapat bantuan
maksimal. Seperti madrasah negeri.

Prestasi bidang sains siswa dan guru madrasah harus diproduksi masal sehingga berdampak pada
kesejahteraan peneliti (muda). Jika tidak, hasil penelitian berhenti pada hak kekayaan intelektual atau
hak paten, atau juara di level tertentu. Padahal, tujuan penelitian adalah menjawab masalah, dan
hasilnya bisa dinikmati masyarakat dunia.

Maraknya korupsi dan narkoba juga menimbulkan pertanyaan bagaimana mutu lulusan
pendidikan kita, khususnya madrasah dan pesantren. Tidak sedikit pelaku korupsi adalah alumni
pendidikan madrasah dan pesantren. Bukankah keunggulan pesantren dan madrasah selama ini adalah
melahirkan alumni yang berkarakter? Kesalehan selama menjadi siswa dan santri runtuh setelah
mereka masuk dunia praktis, khususnya dunia politik (saat menjadi anggota dewan, kepala daerah,
hakim, jaksa, polisi).

Konflik antar warga masyarakat kerap terjadi. Konflik horinzontal menunjukkan masyarakat yang
tidak dewasa. Api kemarahan dan permusuhan mudah menyala hanya karena persoalan sepele dan
kecil. Ke manakah nilai-nilai yang diajarkan madrasah selama mereka menjadi siswa dulu? Mengapa
semua nilai itu seolah rontok saat mereka menjadi warga masyarakat dewasa. Hidup dalam dunia
nyata yang banyak bertemu dengan pandangan dan sikap yang berbeda. Mengapa bukan sikap saling
menghargai dan saling menasihati yang muncul?

Jika dilihat sisi lain, peran madrasah tidak bisa juga dianggap remeh. Lima tahun terakhir, siswa
madrasah menunjukkan prestasi bidang sains dan Matematika. Buka saja laman direktorat madrasah
kementerian agama. Kemenag menyelenggarakan International Islam Education Expo (IIEE), di ICE
BSD (2017). Pada acara ini siswa madrasah di antaranya membuat karya ayunan romantis dan rumah
robot.

Ada 18 kreasi MI, 13 kreasi MTs, dan 18 kreasi MA. Madrasah juga juara sekolah sehat. Juara
madrasah adiwiyata. Kompetesi sains madrasah diadakan setiap tahun untuk memantik semangat dan
menjaring bakat-bakat siswa di bidang sains. Lulusan madrasah tidak lagi identik dengan penguasaan
ilmu keagamaan. Mereka juga jago sains. Tentu saja karakter lulusan madrasah itu baik.

Madrasah juga menjadi laboratorium calon guru agama dan umum. Mahasiswa fakultas keguruan
melakukan praktik mengajar di madrasah. Jelas madrasah punya peran terhadap mutu bakal calon
guru-guru. Pelayanan dan bimbingan guru-guru madrasah terhadap mahasiswa keguruan saat praktik
mengajar menentukan mutu lulusan fakultas keguruan.

Madrasah juga melakukan akselerasi kebijakan dengan melahirkan MAN Insan Cendikia (MAN
IC) di setiap provinsi. MAN Program Keagamaan dan MAN Program Keahlian didirikan lagi pada
2017 ini. Madrasah aliyah tidak hanya fokus pada ilmu keagamaan tetapi mulai banyak yang
mendalami pertanian dan perikanan. Ini menunjukkan pergeseran kurikulum madrasah yang poisitif.

Pendirian MAN IC di setiap provinsi secara masif bagus, tetapi jangan sampai dana pemerintah
terserap terlalu besar untuk membesarkan MAN IC, sementara madrasah negeri dan madrasah swasta
lainnya sedikit mendapatkan bantuan finansial, atau tidak dapat sama sekali. Prinsip keadilan
pengelolaan anggaran pendidikan tetap harus dianut pemerintah, agar tidak muncul disparitas mutu
pendidikan yang tinggi antar madrasah.

MAN IC menyasar siswa dari orangtua muslim kelas menengah dan kelas atas, di samping
kecerdasan siswa. Keberhasilan pemerintah bukan hanya pada saat siswa MAN IC meraih banyak
prestasi tetapi siswa dari madrasah negeri dan swasta lainnya juga mampu menjadi lulusan yang
berprestasi di bidang keagamaan, sains, akademik, maupun non akademik—sesuai dengan minat dan
bakatnya masing-masing.

Dirjen Pendidikan Islam menetapkan SK 2748B/2012 tentang Panca Prestasi Madrasah, yaitu: 1)
Prestasi akhlak mulia; 2) Prestasi ilmu keagamaan; 3) Prestasi sains dan teknologi; 4) Prestasi bahasa
dan budaya; 5) Presatasi olahraga dan seni. SK ini menunjukkan komitmen pemerintah yang hasilnya
bisa dilihat pada lima tahun terakhir. Madrasah banyak menuai prestasi.

Madrasah Techno Natura di Depok layak disebut sebagai contoh baik. Sistem pembelajarannya
berbeda dari madrasah lainnya. Tidak berbasis mata pelajaran. Siswa diharuskan menemukan jawaban
masalah-masalah keseharian mereka. Mereka berdiskusi antar teman dan bekerjasama dalam
melahirkan ide-ide baru untuk menjawab permasalahan itu. Madrasah mengajarkan siswa: problem
solving, komunikasi, dan kerjasama.

Kemajuan madrasah terletak pada kekuatan inovasi dan kreasi kepala madrasah. Guru dan siswa
akan ikut irama yang dimainkan oleh kepala madrasah. Maju cara pikir dan tindakan kepala maka
maju pula siswa dan guru. Dana penting. Keterlibatan orang tua penting. Kerjasama dengan
pemerintah dan dunia usaha mutlak.

Pemerintah tidak hanya fokus pada madrasah negeri. Madrasah swasta memerlukan sentuhan
kebijakan mutu. Sinergi pemerintah dengan masrasah swasta akan mendorong kemajuan madrasah
secara nasional. Jangan sampai ada kesan madrasah swasta sebagai anak tiri pembangunan.

Kemenag Hidupkan Lagi MAN PK

11 Februari 2017
JawaPos.com- Satu dasawarsa terakhir, madrasah aliyah negeri program keagamaan (MAN PK)
mati suri. Kementerian Agama (Kemenag) mulai tahun ini menghidupkan lagi madrasah yang
menjadi primadona di eranya tersebut. MAN PK diharapkan menjadi wahana kaderisasi calon
ulama.

Penerimaan MAN PK dibuka pada 6 Maret mendatang. Pendaftaran dibuka secara nasional dan
terpusat melalui www.ppdb-manpk.com. Proses belajar-mengajarnya berjalan dengan sistem
berasrama dan beasiswa biaya pendidikan. Siswa hanya dibebani biaya makan selama tinggal di
asrama.

Sepuluh MAN PK yang kini hidup lagi itu antara lain terdapat di MAN Koto Baru Padang
Panjang, MAN 3 Makassar, MAN 1 Surakarta, MAN 1 Darussalam Ciamis, dan MAN 2 Mataram.
Kemudian MAN 1 Jogja, MAN Denanyar Jombang, MAN 2 Samarinda, MAN 2 Martapura, serta
MAN 1 Jember.

Dirjen Pendidikan Islam Kemenag Kamaruddin Amin menyatakan tidak sekadar menghidupkan
lagi MAN PK. Ke depan, Kemenag membuat MAN PK serupa di provinsi lainnya. ”Madrasah
harus memproduksi calon ulama cendekia,” tuturnya di Jakarta kemarin (10/2). Konsentrasi
pendidikan agama di MAN PK antara lain fikih, tafsir, dan hadis.

Pengamat pendidikan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jejen Musfah menyambut baik
kembali dibukanya MAN PK. Dia berharap siswa di MAN PK mempelajari Islam dengan beragam
mazhab. ”Jadi, siswa tidak NU banget, Muhammadiyah banget, atau Persis banget,” katanya.
Jejen menambahkan, lulusan MAN PK akan menjadi input yang bagus untuk perguruan tinggi
keagamaan. Khususnya jurusan dakwah dan syariah. Selama ini, karena input kurang berkualitas,
jurusan keagamaan kalah pamor dengan jurusan-jurusan umum di kampus Islam.

# PGRI: Rumah Perjuangan Guru #


SINDO, Sabtu, 25 November 2017

Setiap 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional (HGN). Pada 2017 ini bertepatan
dengan HUT Ke-72 PGRI. PGRI merupakan satu di antara banyak organisasi guru yang ada di
Indonesia. Lainnya seperti Ikatan Guru Indonesia (IGI), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII),
dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Masih banyak yang lainnya.

Guru wajib berorganisasi. Dalam UU Guru dan Dosen Tahun 2005 pasal 14 tegas tertulis, “Guru
membentuk organisasi profesi yang bersifat independen yang bertujuan untuk memajukan profesi,
meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan dan
pengabdian kepada masyarakat.” Pasal ini mandul karena tidak semua guru sadar berorganisasi. Lebih
sedikit lagi yang aktif. Tidak ada yang memaksa guru, dan tidak perlu dipaksa. Paling bisa dihimbau
dengan cara baik dan dialog. Mengapa berorganisasi menjadi penting bagi guru?

Peningkatan Kompetensi

Pertama, guru memerlukan wadah peningkatan kompetensi dan profesionalisme. PGRI misalnya,
setiap tahun dan dalam rangka memperingati HGN dan HUT PGRI mengadakan Pekan Olahraga dan
Seni (Porseni) bagi guru di tiap wilayah kabupaten/ kota. Meriah dan megah. Ada banyak baliho besar
dan barisan guru berseragam di banyak wilayah NKRI.

Tidak hanya bidang olahraga dan seni, dilombakan juga Karya Tulis Ilmiah (KTI). PGRI juga
melakukan pemilihan kepala daerah yang berdedikasi tinggi pada dunia pendidikan di wilayahnya. Ini
tradisi baik dan mulia, meski memerlukan kerja keras dari setiap panitia.

Dalam perlombaan ada spirit persatuan, kekompakan, disiplin, kejujuran, pengorbanan, dan
kerjasama. Nilai-nilai yang tidak cukup sekedar diajarkan di sekolah tetapi perlu dipraktikan oleh
setiap pendidik. Saatnya guru diuji bukan menguji. Disamping sebagai pengajar nilai, mereka harus
mampu menjadi pelaksana nilai.

Potensi akademik dan non-akademik guru terwadahi dan tersalurkan dalam kegiatan ini.
Pengakuan nyata bahwa setiap individu guru itu unik. Terampil, kuat, dan bagus dalam bidangnya
masing-masing. Tidak setiap individu unggul dalam semua kecerdasan. Inilah praktik kecerdasan
jamak Howard Gardner bagi guru oleh PGRI.

Seminar dan lokakarya pendidikan dilaksanakan dari tingkat pengurus besar hingga ranting. PGRI
tidak bekerja sendiri tetapi bekerjasama dengan banyak pihak, seperti ASEAN Council of Teacher
(ACT) + Korea Selatan, Educational Internastional (EI), Telkom, Mikrosof, Bulog, pemerintah, dan
pemerintah daerah.

Pengalaman guru terlibat kegiatan akademik di dalam dan di luar negeri merupakan strategi
pembentukan guru profesional dan kompeten. Cirinya guru bersedia terus belajar. Tidak ketinggalan
zaman. Melek sains. Mengembangkan berpikir kritis, kreatif, dan inovatif. Pemicunya mau membaca
keberhasilan orang dan negara lain. Jika ada kesempatan berkunjung langsung.
Ukuran keberhasilan pembinaan guru oleh PGRI dan pemerintah adalah pengajaran yang
menyenangkan, efektif, dan inovatif. Karena itu, dilombakan bidang kreativitas dan inovasi
pembelajaran di kelas. Bentuknya karya ilmiah atau makalah. Makalah pemenang dan terpilih
kemudian diterbitkan dalam jurnal ilmiah Pengurus Besar (PB) PGRI.

Rumah Perjuangan

Kedua, guru memerlukan rumah perjuangan. PGRI terlibat aktif dalam setiap masalah yang
dihadapi guru, seperti persoalan hukum, kesejahteraan, status, dan profesi guru. Sepanjang tahun
masalah-masalah ini muncul tanpa henti. Yang satu belum selesai muncul kasus baru. Biasa. Semua
organisasi mengalami hal yang sama: menghadapi masalah dan menyelesaikannya.

Guru merupakan profesi mulia tapi sering tidak dipahami oleh orangtua murid. Alih-alih
dihormati, guru malah dibui. Di daerah guru juga jadi korban kekerasan orangtua siswa. Bukan berarti
guru tidak pernah salah. Mereka bukan malaikat. Ada guru yang tega menganiaya dan melecehkan
siswa. Prinsipnya: yang benar dibela dan yang salah dihukum.

Tunjangan profesi guru dan dosen sebesar satu kali gaji pokok adalah hasil perjuangan PGRI dan
lainnya melalui jalur diplomasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yaitu lahirnya UU Guru
dan Dosen Tahun 2005. Tidak hanya guru PNS, semua guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik
berhak mendapatkan tunjangan profesi.

Di beberapa daerah, PGRI berhasil menambah kesejahteraan guru melalui serangkaian dialog
panjang dengan bupati, walikota, dan gubernur. Demikian juga status guru honorer atau Guru Tidak
Tetap (GTT) di beberapa daerah mendapatkan kepastian setelah memperoleh pengakuan dari
pemerintah daerah karena usaha PGRI dan pemimpin daerah yang peduli guru.

Perjuangan masih panjang. Belum semua agenda perjuangan pendidikan PGRI berhasil, seperti:
pengangkatan guru honorer menjadi PNS tanpa tes, kekurangan guru SD dan SMP, Uji Kompetensi
Guru (UKG) hanya untuk pemetaan kompetensi guru, penyatuan pembayaran gaji dan tunjangan
profesi, dan administrasi guru yang sederhana alias simpel.

Sederet kerja baik dan benar itu tidak mulus. Jalannya berliku. Perlu keikhlasan, perjuangan,
pengorbanan, dan kekompakan. Ada yang mengapresiasi tapi tidak sedikit yang apatis bahkan
mencemooh. Pasti perlu biaya. Dari mana? Iuran anggota PGRI. Meski iuran itu belum maksimal
PGRI terus berjalan maju. Berjuang demi guru Indonesia. Tidak melihat identitas: anggota PGRI atau
bukan, negeri atau swasta, sekolah atau madrasah.

Kerja keras dan ikhlas PGRI jelas belum dirasakan oleh semua guru. Jumlah guru sekitar 3 juta,
tersebar di sekolah dan madrasah, dan di daerah-daerah terpencil. Butuh pengelolaan yang baik,
profesional, dan canggih. Tidak manual tetapi elektronik. Memanfaatkan teknologi terkini.

Kekuatan PGRI adalah guru itu sendiri. Guru yang sadar pentingnya dan terlibat organisasi.
Dalam organisasi guru bisa belajar bersama dan berjuang demi nasib guru yang lebih baik dan
profesional. Guru profesional adalah kunci pendidikan bangsa yang baik. Bangsa bisa maju jika
pendidikannya baik.

Guru harus menjadikan PGRI sebagai rumah perjuangan yang nyaman. Di dalamnya dirumuskan
agenda-agenda perbaikan pendidikan Indonesia, khususnya mutu guru. Cita-cita ini bisa diraih dengan
ringan dan segera manakala sinergi PGRI dengan pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha,
terlebih sinergi PGRI dengan para guru, terjalin erat dan kokoh. Selamat merayakan HGN dan HUT
PGRI Ke-72. Maju dan bersinar pendidikan Indonesia.
BIODATA PENULIS

Jejen Musfah, lahir di Serang, 02 Juni 1977. Dosen Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta sejak 2005-sekarang. Meraih gelar Sarjana bidang Pendidikan Bahasa Arab di
Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta (lulus tahun 2000). Kemudian menyelesaikan studi S2 bidang
Pendidikan Agama Islam di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta (lulus tahun 2004).
Selain itu, ia juga menempuh pendidikan Diploma Pendidikan Bahasa Arab di LIPIA Jakarta (lulus
tahun 2007). Gelar doktor diraihnya pada tahun 2011, bidang Ilmu Pendidikan/ Manajemen
Pendidikan di UNINUS Bandung.

Berbagai prestasi berhasil diraihnya, antara lain: Juara 2 Lomba Opini Pendidikan Tingkat Nasional,
Kemendikbud RI (2013), Juara Harapan Lomba Opini Pendidikan Keluarga, Kemendikbud RI (2016),
dan Dosen teladan FITK UIN Jakarta (2017).

Beliau akrab dikenal sebagai penulis dan pengamat bidang pendidikan. Namun karena keaktifan dan
komitmennya ia dipercaya memegang beberapa jabatan penting, baik di luar maupun di dalam
kampus. Pertama, Jabatan bidang Jurnalistik meliputi Pemimpin Redaksi, Jurnal Dirasat IAI Al-
Aqidah Jakarta (2006-2007), Redaktur Pelaksana, Jurnal Didaktika Islamika FITK UIN Jakarta (2009-
2010), Dewan Redaksi, Suara madrasah CTLD UIN Jakarta (2013-2014), Pemimpin Redaksi,
Majalah Suara Guru Pengurus Besar PGRI Jakarta (2016-sekarang), dan Wakil Ketua Penyunting
Jurnal Ilmiah Mimbar Pendidikan Indonesia PGRI (2016-sekarang). Kedua, Jabatan struktural antara
lain sebagai Sekretaris Program Magister Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Jakarta (2012-
2016), dan Ketua Program Magister Manajemen Pendidikan Islam (2016-Sekarang).

Selain itu, ia juga aktif sebagai narasumber di berbagai kegiatan seperti seminar, pelatihan, kuliah
umum, talkshow, dan lain sebagainya. Penyelenggaranya, antara lain: Kementerian Agama Pusat RI,
Puslitbang Penda Kemenag RI Jakarta, Pusdiklat Kementerian Agama RI Jakarta, Balai Diklat
Keagamaan Makassar, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan RI, Metro TV, Berita Satu TV, UIN SU Medan, UIN Serang, UIN Makassar, IAIN
Pekalongan, Madrasah Aliyah Pembangunan UIN Jakarta, Sekolah Guru Indonesia (SGI) Dompet
Duafa Bogor, Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Universitas Indonesia Timur (UIT) Makassar,
Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dan STAI Fatahillah Serpong.

Dalam aktivitasnya yang sangat tinggi, ia tetap aktif menulis dan melakukan berbagai riset. Dalam
karya tulis, tidak sedikit yang dimuat di media cetak. Beberapa penelitiannya, antara lain: PPG PAI di
FITK UIN Jakarta (2015), Lemlit UIN Jakarta; Kompetensi Dosen Program Magister FITK (2015),
FITK UIN Jakarta; Pengelolaan Guru Madrasah Nusa Tenggara Barat (2016), Puslitbang Penda;
Evaluasi Kurikulum 2013 Mata Pelajaran PAI, Jambi (2016), Puslitbang Penda; Indek Pendidkan
Agama di SMA/SMK, Sulawesi Selatan (2016), Puslitbang Penda; Model Integrasi Kurikulum Sekolah
Berbasis Pesantren (2017), UIN Jakarta; Tracer Studi Alumni PAI UIN Jakarta (2017), Puslitbang
Penda; dan Madrasah Khas Diniyah Putri Lampung (2017), Puslitbang Penda.

Karya buku yang ditulisnya antara lain: Doa Ajaran Ilahi, bersama A. Masykur, Hikmah: 2000;
Risalah Puasa, Risalah: 2002; Bahkan Tuhan pun Bersyukur, Hikmah: 2003; Rindu Kematian,
Hikmah: 2003; Doa Harian Ajaran Rasulullah, Risalah: 2004; Doa Ajaran Sahabat Rasulullah,
Hikmah: 2005; Meraih Makrifat (Tesis), Mizan: 2006; Indeks Al-Quran Praktis, Hikmah: 2007;
Peningkatan Kompetensi Guru melalui Pelatihan dan Sumber Belajar (Disertasi), Kencana: 2011.
Cetakan Ketiga; Manajemen Pendidikan; Teori, Kebijakan, dan Praktik, Kencana: 2015; Analisis
Kebijakan Pendidikan: Pendidikan Nirkreasi, Prenada: 2016; dan Tips Menulis Karya Ilmiah,
Prenada: 2016. Sedangkan karya tulis lainnya berbentuk terjemahan, yaitu: Tuhan Tak Pernah
Memaksa/ Shifât Al-Âmir bi Al-Ma’rûf wa Al-Nâhi bi Al-Munkar, Hikmah: 2004; dan Qishash Al-
Thair wa Al-Hayawânat fî Al-Qurân Al-Karîm, Mizan: 2009.

Selain itu, ia juga aktif sebagai tim penulis pedoman bidang pendidikan yang diselenggarakan oleh
berbagai pihak, seperti: Pedoman Integrasi Kultur Pesantren di Sekolah Berbasis Pesantren,
Kemenag & Kemendikbud RI, 2012; Pedoman Penguatan PAI di MTs, Puslitbang Kemenag RI,
2012; Pedoman Riset Agama dan Keagamaan di Wilayah Terdepan, Puslitbang Penda Kemenag RI,
2017; dan Panduan Model Penguatan Karakter Kepesantrenan pada Sekolah Berbasis Pesantren,
2017.

Sebagai editor juga kerap dilakukannya di luar aktivitas menulisnya, diantaranya: Suwito, Pendidikan
Akhlak Ibnu Miskawaih, Belukar Budaya, 2003; Didin Hafiduddin, Membentuk Pribadi Qurani,
Hikmah, 2004; Deden Ridwan, Neo-Modernisme Cak Nur, Belukar Budaya, 2005; Pendidikan
Holistik: Pendekatan Lintas Perspektif, Prenada, 2011; Tokoh Agama Nusantara, Puslitbang Lektur
Kemenag, 2013; Redesain Pendidikan Guru, Prenada, 2013; Pendidikan Islam: Memajukan Umat dan
Memperkuat Kesadaran Bela Negara, Prenada, 2016; Pendidikan Guru Indonesia, FITK 2017; dan
Pendidikan Islam: Isu dan Inovasi, FITK 2017.

Kontribusinya dalam dunia pendidikan tidak hanya terbatas pada penelitian, penulisan, dan editor
buku. Banyak makalah, artikel dan opini dalam buku, jurnal, prosiding, ataupun media massa (koran).
Beberapa artikel yang dimuat di buku antara lain: Membumikan Pendidikan Holistik, dalam
Pendidikan Holistik; Pendekatan Lintas Perspektif, Kencana: 2012, h. 2-20; Kepemimpinan
Transformatif dan Mutu LPTK, dalam Redesain LPTK: Teori, Kebijakan, dan Praktik, Kencana:
2015, h. 119-131; Memelihara Keunggulan Lembaga Pendidikan Islam, dalam Pendidikan Islam:
Memajukan Umat dan Memperkuat Kesadaran Bela Negara, Prenada, 2016, h. XI-XV; Peran
Madrasah Negeri Model, dalam Pendidikan Islam: Memajukan Umat dan Memperkuat Kesadaran
Bela Negara, Prenada, 2016, h. 63-67; Raibnya Mahkota Anak, dalam Hasil Karya Pemenang Lomba
Jurnalistik, Kemdikbud 2017, h. 127-132; Keharusan Disrupsi Tarbiyah UIN Ciputat, dalam
Pendidikan Guru Indonesia, FITK 2017, h. V-VII; dan Kematian Jurnal Ilmiah, dalam Pendidikan
Guru Indonesia, FITK 2017, h. 16-19. Sedangkan beberapa artikel dalam jurnal, dinataranya:
Kecerdasan Akal Menurut Hadis, Jurnal Kordinat, Vol. VI, No. 2, Oktober, 2005, h. 17-36; Metode
Pendidikan Hati, Jurnal Dirasat, Vol. 02, No. 01, 2007, h. 34-43; Manajemen Pengembangan
Kompetensi Guru, Jurnal Mimbar Agama, Vol. 26, No. 2, 2009, h. 256-278; Metode Pendidikan
dalam Perspektif Islam, Jurnal Tahdzib, Vol. III, No. 1, Januari, 2009, h. 106-121; Kepemimpinan
Kepala Sekolah, Jurnal Media Pendidikan, Vol. XXV, No. 3, 2010, h. 405-412; Kompetensi
Pedagogik Guru, Jurnal Didaktika Islamika, Vol. XI, No. 2, Desember, 2010, h. 261-275;
Pembentukan Budaya Sekolah, Jurnal Mimbar Agama, Vol. 28 No. 1, 2011, h. 111-120; Al-madrasah
al-mutafawwiqah: dirasah halah ‘an mumayyizatil madrasah ats-tsanawiyah al-ula MAN 1 bi
Yogyakarta, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1, No. 1, 2014, h. 263-280. Pengembangan Kurikulum di
Komunitas Homeschooling Ka Seto Pusat, Indonesian Journal of Educational Research, UIN Jambi,
2017, Vol 2, No. 1; Perguruan Diniyyah Putri Lampung, Pesantren Pendidik Perempuan, dalam
Jurnal Edukasi Puslitbang Penda, 2017.

Adapun makalah Prosiding/ Seminar, antara lain: The Problems and Solutions in Teaching Practice
for Preservice-Teacher Students, p. 427-440, Oct, 29-31 2014, ICEMS, UIN Jakarta; Pembentukan
Budaya Disiplin di SMK Negeri 18 Jakarta, h. 91-99, 28-30 Nov 2014, Musyawarah Kerja APMAPI
dan Temu Ilmiah Nasional Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Gorontalo; Scientific
Research; Case Study of Islamic Studies Master Degree Lectures Faculty of Tarbiya and Teachers”, p.
74-84, Sept, 09th - 11st 2015, FIP-JIP, Universitas Negeri Gorontalo; The Implementation of BOS in
SMA Negeri 37 Jakarta”, p.?, 15th – 17th April 2016, International Conference on Educational
Management and Administration & Congress of ISMAPI, Universitas Negeri Makassar. Profesional
Teacher Education (PPG) of Islamic Religious Education (PAI) Teachers in Indonesia, The 6th
International Conference on Educational, Management, Administration and Leadership (6th ICEMAL
2016) will be held on August 28, 2016 in Bandung, Indonesia; dan Makalah, “The Continuity of
Walisongo’s Islamic Propagation (Da’wah): Religious Faculties at the State Islamic Universities
(UIN) in Indonesia”, AICIS, 20 – 23 November, BSD Banten.

Opini pendidikan yang ditulisnya telah dimuat di berbagai media massa (koran), seperti: Republika,
SINDO, Media Indonesia, Jawa Pos, Radar Bogor, Amanah, Majalah Suara Guru PB PGRI, Majalah
Pinisi Balai Diklat Makassar, dan Majalah Adiluhung Kemendikbud.

Email/ Website/ Hp/ Alamat

jejen@uinjkt.ac.id/ jejen.lec.uinjkt.ac.id/ 081 222 380 111

Komplek UT Blok J No. 3 Jabon Mekar Parung Bogor


BIODATA EDITOR

Dede Munandar, lahir di Tangerang 26 Februari 1990. Meraih gelar Sarjana (S1) bidang Manajemen
Pendidikan di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lulus tahun
2012). Kemudian saat ini, sedang melanjutkan program studi magister pada bidang Manajemen
Pendidikan Islam di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Profesi yang geluti adalah sebagai guru di beberapa jenjang pendidikan seperti: SMK Al Fattah
Tangerang, Banten (2013-2016), MIN 3 Tangerang, Banten (2016-sekarang). Selain menjadi guru, ia
juga pernah menjabat sebagai Wakil Kepala Sekolah di SMK Al Fattah Tangerang, Banten (2014-
2016).

Aktivitas lainnya seperti menjadi tim penulis buku, tim penyusunan borang akreditasi Program Studi
Magister Manajemen Pendidikan Islam (MPI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan narasumber di
kegiatan pelatihan. Beberapa tulisan sebagai tim penulis, antara lain: Pedoman Riset Agama dan
Keagamaan di Wilayah Terdepan, Puslitbang Penda Kemenag RI, 2017; dan Panduan Model
Penguatan Karakter Kepesantrenan pada Sekolah Berbasis Pesantren, Balai Litbang Pendidikan
Kemenag RI, 2017. Selain itu menulis essai pendidikan tentang Sekolah Guru Khusus Pendamping,
Kemendikbud, 2017.

Email/ Hp

ddmnndr@gmail.com/ 0821 2345 2939

Anda mungkin juga menyukai