PENDAHULUAN
Tabel 5.1.
Tingkat Keuntungan dan Distribusi Probabilitasnya
L~[Ri-E()]
2
a= (1.2)
t=l
sedangkan contoh biaya variabel misalnya biaya bahan baku, biaya bahan
penolong, komisi penjualan. Pemikiran yang digunakan adalah bahwa biaya-
biaya yang ditanggung oleh perusahaan bisa dibagi menjadi biaya tetap dan
biaya variabell.
Dengan menggunakan asumsi bahwa (1) biaya variabel per unit konstan,
(2) harga jual per unit konstan, dan (3) biaya tetap total konstan sepanjang
kapasitas produksi maka keadaan tersebut bisa digambarkan sebagai berikut.
Hiaya dan
Penghasllan (Rp.)
/
Penghasilan
/ .
· .· total
variabel
- - - - - - - Biaya tetap
Kita lihat bahwa pada suatu titik tertentu akan terdapat situasi di mana
penghasilan sama dengan total biaya (di sini biaya-biaya adalah biaya
operasi, tidak termasuk biaya karena menggunakan utang). Pada jumlah
produksi dan penjualan itulah dikatakan bahwa perusahaan berada dalam
keadaan impas (break-event). Bagaimana memperoleh titik impas (break
event point) tersebut?
Apabila
V = Biaya variabel per unit
FC = Biaya tetap total (artinya bukan per unit)
P = Harga jual per unit
Q = Unit yang dihasilkan dan dijual
R = Penghasilan yang diterima dari penjualan
TC = Biaya total, yaitu biaya tetap total plus biaya variabel total maka titik
impas tercapai pada saat
e EKMA421 3/MODUL 5 5.5
R = TC
Ini berarti bahwa,
PQ = FC+ VQ
FC = PQ- VQ
FC = Q(P-V)
Q = FC/(P-V) (1.3)
Tabel 5.2.
Pengaruh Penurunan Penjualan terhadap Laba Operasi
Satu hal yang perlu disadari adalah bahwa risiko tersebut mempunyai
dua sisi. Artinya, kalau terjadi kenaikan penjualan maka penambahan laba
operasi PT P ARAMITA juga lebih besar. Kita tidak mengatakan bahwa
perusahaan yang berisiko lebih besar adalah perusahaan yang lebih j elek.
Perusahaan yang berisiko lebih besar berarti bahwa arus kasnya lebih tidak
pasti. Kemungkinan menyimpang dari yang diharapkan adalah lebih besar.
Meskipun demikian perlu diingat bahwa penyimpangan tersebut bisa menjadi
lebih kecil ataupun lebih besar.
KEGIATAN BELAL.JAR 2
Tabel 5.3.
Penggunaan Coefficient of Variation sebagai Pengukur Risiko
Proyek C Proyek D
Ev 1.000 1.500
(j 400 500
/ \ / \
Coeff.of var.
0 40 == 400 0 33 == 500
' 1000 ' 1500
' I
' I
2. Risiko Proyek
Apabila dipergunakan ketidakpastian arus kas sebagai pengukur risiko
maka pemikiran ini berarti bahwa semakin tidak pasti arus kasnya atau
semakin besar nilai deviasi standar arus kas tersebut, semakin berisiko
proyek tersebut. Masalah yang timbul adalah bahwa proyek investasi
mempunyai jangka waktu cukup lama. Sementara kita menaksir arus kas
setiap tahun (termasuk ketidakpastiannya), proyek tersebut mungkin
diharapkan akan menghasilkan arus kas selama beberapa tahun. Dengan kata
lain, kita perlu menaksir arus kas yang diharapkan (expected cash flow) dan
deviasi standarnya pada tahun 1, tahun 2, sampai dengan tahun ke n. Untuk
proyek secara keseluruhan, penghitungan deviasi standar NPV perlu
memperhatikan keterkaitan arus kas pada tahun 1 dengan tahun ke-2, tahun
ke-2 dengan tahun ke-3, dan tahun ke n-1 dengan tahun ke-n.
Pada ekstremnya, pola arus kas bisa dikelompokkan menjadi 2 tipe, yaitu
(1) tidak mempunyai korelasi sama sekali (independen), dan (2) berkorelasi
e EKMA421 3/MODUL 5 5.13
Dalam hal ini, Ct adalah arus kas pada waktu ke-t, dan t = O, ... n.
Perhatikan bahwa karena t dimulai dari waktu ke-0 maka tanda untuk Ct bisa
positif (kas masuk) maupun negatif (kas keluar), sedangkan tingkat bunga
yang dipergunakan adalah Rf, yaitu tingkat bunga bebas risiko.
Misalkan, Rf = 9%. Dengan demikian, NPV yang diharapkan adalah
E(NPV) =
3.cm 4.cm 4.cm 5.cm 6.cm 7.cm
-11.(XX)+ 1 + 2+ 2+ 3 + 4 + 5
(1+0,9) (1+0,9) (1+0,9) . (1+0,9) (1+0,9) (1+0,9)
Dengan demikian,
E(NPV) = -11.000 + 12.656
= +1.656
n O(J"2
(]"=
L( t+ Rf t
t =O
2 2 2
(1-1.095) (1-1.095) (1-1.095)
a= 0+ 2 + 4 + 6
(1+ 0' 09) (1+ 0' 09) ( 1+ 0, 09)
15, 77 % 15, 77 %
S = [NPVi-E(NPV)]/cr (2.3)
Dalam hal ini, S adalah jumlah deviasi standar yang distandardisir, NPVi
adalah NPV yang ingin dicari berapa probabilitasnya untuk mencapai NPV
tersebut atau lebih kecil (bisa juga lebih besar). Di sini NPVi = 0. Dengan
menggunakan persamaan (2.3) tersebut maka
s = (0 - 1.656)/1.604
= 1 03
'
Tabel 5.4.
Probabilitas Arus Kas beserta Nilainya (dalam Jutaan), untuk Setiap Tahun
Tahun 1 Tahun 2
Probabilitas Arus kas Probabilitas Arus kas Joint
Semula P 1 Bersih Kondisional P 2/1 bersih probabilit,1
0,40 -Rp60,00 0,12
0,30 -Rp20,00 0,40 -Rp20,00 0,12
0,20 Rp10,00 0,06
0,30 Rp20,00 0,12
0,40 RP40,00 0,40 Rp40,00 0,16
0,30 RP60,00 0,12
0,20 Rp40,00 0,06
0,30 Rp80,00 0,40 Rp80,00 0,12
0,40 RP100,00 0,12
lnvestasi Jada awal tahun Rp 40 'uta
Hasil perhitungan tersebut kita sajikan pada Tabel 5.5 berikut ini.
Tabel 5.6.
Probabilitas Kumulatif untuk Memperoleh Nilai NPV Tertentu
Cara lain adalah memperkirakan koefisien korelasi antar arus kas pada
masing-masing periode. Apabila proyek tersebut mempunyai usia ekonomis
2 tahun maka variance NPV bisa dirumuskan sebagai berikut.
2
cr NPV = 2 2
cr cr 1 + cr 2
cr
2 2 3k
2 + cr b 2 cr 1cr2 (2.4)
KEGIATAN BELAL.JAR 3
Model ini mendasarkan diri pada pemikiran bahwa semakin besar risiko
suatu investasi, semakin besar tingkat keuntungan yang diminta oleh
pemodal. Kalau konsep ini diterapkan pada NPV maka tingkat bunga yang
dipergunakan untuk menghitung NPV akan menjadi makin besar untuk
proyek dengan risiko yang makin tinggi. Dengan demikian, konsep CAPM
yang semula dikembangkan untuk investasi pada sekuritas sekarang
diterapkan pada investasi pada real assets.
CAPM berargumentasi bahwa memang benar arus kas tidaklah pasti.
Ketidakpastian arus kas tersebut disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu di
antaranya operating leverage. Faktor lainnya adalah erat tidaknya hubungan
kondisi bisnis tersebut dengan kondisi perekonomian. Keadaan ini disebut
sebagai siklikalitas. Ada jenis-jenis industri tertentu yang sangat dipengaruhi
oleh kondisi faktor-faktor makro ekonomi, seperti bisnis real estate dan
bisnis otomotifl meskipun ada juga yang tidak terlalu dipengaruhi.
Perusahaan-perusahaan yang sangat dipengaruhi oleh faktor siklikalitas
dikatakan mempunyai beta yang tinggi.
Dalam CAPM risiko didefinisikan sebagai beta (B). Dengan demikian,
perusahaan yang mempunyai operating leverage dan siklikalitas yang tinggi,
diartikan sebagai perusahaan yang mempunyai risiko atau beta yang tinggi.
Dengan demikian nampaklah bahwa perusahaan yang mempunyai
ketidakpastian arus kas yang tinggi juga akan cenderung mempunyai beta
yang tinggi pula.
e EKMA421 3/MODUL 5 5.25
(3.1)
Dalam hal ini, E(Ri) adalah tingkat keuntungan yang layak (diharapkan)
untuk sekuritas i, Rf adalah tingkat keuntungan dari investasi bebas risiko, Bi
adalah beta (yaitu ukuran risiko) sekuritas i, dan E(Rm) adalah tingkat
keuntungan portofolio pasar yang diharapkan. Apabila CAPM akan
diterapkan untuk menilai profitabilitas investasi pada aktiva riil (proyek)
maka i di sini menunjukkan proyek tersebut. Dengan demikian semakin
tinggi risiko (atau B) proyek tersebut, semakin tinggi tingkat keuntungan
yang dianggap layak untuk investasi tersebut. Ri ini yang kemudian
dipergunakan sebagai tingkat bunga (= r) dalam menghitung NPV.
Apabila dipergunakan CAPM dalam menentukan tingkat bunga (= r)
yang layak dalam perhitungan NPV maka arus kas yang dipergunakan adalah
arus kas yang diharapkan (expected cash flow). Kita tahu bahwa arus kas
tersebut tidak pasti, tetapi ketidakpastian tersebut diakomodir oleh tingkat
bunga yang dipergunakan untuk menghitung NPV.
Karena itu, kalau kita ingin menerapkan CAPM dalam capital budgeting
maka yang diperlukan adalah sebagai berikut.
1. Menaksir beta dari proyek (rencana investasi) yang sedang dianalisis.
2. Menaksir tingkat keuntungan portofolio pasar. Sebagai proxy sering
dipergunakan tingkat keuntungan rata-rata dari seluruh kesempatan
investasi yang tersedia di pasar modal atau indeks pasar.
3. Menentukan tingkat keuntungan dari investasi yang bebas risiko.
Sebagai proxy sering dipergunakan tingkat keuntungan dari sekuritas
yang dijamin oleh pemerintah (misalnya Sertifikat Bank Indonesia).
4. Menaksir arus kas yang diharapkan.
Kegiatan 1 s/d 3 dimaksudkan untuk menaksir tingkat keuntungan yang
dipandang layak untuk menilai investasi tersebut. Setelah kita berhasil
menaksir r maka penghitungan NPV dilakukan dengan menggunakan
informasi yang diperoleh dari kegiatan 4.
sebagai taksiran beta industri tekstil3. Sayangnya beta yang kita taksir
merupakan beta dari saham, dan beta ini sudah dipengaruhi oleh faktor utang
yang dipergunakan oleh perusahaan. Untuk mengeluarkan pengaruh utang
yang dipergunakan (ingat bahwa kita masih mengasumsikan bahwa investasi
dibiayai dengan 100% modal sendiri), dipergunakan rumus sebagai berikut.
Dalam hal ini, Bi adalah beta dari saham (equity), Biu adalah beta
perusahaan tersebut seandainya menggunakan 100% modal sendiri (disebut
juga sebagai beta aktiva), t adalah tarif pajak penghasilan, S adalah nilai
modal sendiri, dan B adalah nilai utang.
Misalkan, beta equity industri tekstil ditaksir sebesar 1 ,32. Rata-rata
perbandingan antara utang dengan modal sendiri yang dipergunakan oleh
perusahaan-perusahaan dalam industri tersebut adalah 0,50 : 0,50. Tarif pajak
penghasilan sebesar 35%. Berdasarkan atas informasi tersebut, bisa dihitung
beta aktiva industri tekstil, yaitu:
Biu = [1 ,32/ {1+(0,5/0,5)(1-0,35)}]
= 1,32/1,65
= 0,80
Misalkan, tingkat keuntungan rata-rata investasi di sekuritas diharapkan
untuk tahun-tahun yang akan datang akan sebesar 20%. Tingkat keuntungan
dari investasi bebas risiko sebesar 8%. Apabila perusahaan akan membangun
pabrik tekstil maka tingkat keuntungan yang layak untuk menghitung NPV
proyek tersebut adalah (untuk 100% equity financing)
Ri = 0,08 + 0,80(0,20-0,08)
= 0,176 atau sebesar 17,6% (untuk menyederhanakan bisa
dibulatkan ke atas menjadi 18%)
mungkin terpaksa harus menggunakan metode lain (seperti cara di atas) atau
menggunakan judgment sepenuhnya dalam memperkirakan r yang layak.
Kalau kita masih ingin melakukan penyesuaian terhadap r nya maka
judgment bisa dibantu kembali dengan menggunakan CAPM.
Karena itu, cara yang kedua adalah, memperkirakan beta dari industri
yang "dekat" dengan proyek yang kita analisis. Kemudian, bandingkan
apakah kira-kira operating leverage dan siklikalitas proyek kita, lebih besar
ataukah lebih kecil apabila dibandingkan dengan industri yang kita
pergunakan sebagai proxy. Apabila "ya" maka beta proyek kita akan lebih
tinggi dari beta industri proxy tersebut. Berapa besar lebih tingginya memang
kita tidak tahu persis. Akan tetapi, paling tidak kita tahu bahwa seharusnya
beta proyek kita lebih tinggi dari beta industri proxy tersebut. Di sinilah
judgment tetap diperlukan untuk memperkirakan berapa perbedaan beta
tersebut.
B. DIVERSIFIKASI BISNIS
Hal yang menarik dari pendekatan CAPM ini adalah bahwa setiap
proyek diperlakukan sebagai "perusahaan mini". Artinya, kalau suatu
perusahaan (misalkan bisnis utamanya adalah industri farmasi) akan
mendirikan perusahaan pembangunan perumahan (real estate) maka rencana
investasi tersebut akan diperlakukan sebagai suatu proyek yang terpisah dari
bisnis saat ini. Dengan kata lain, menguntungkan tidaknya proyek tersebut
tidak dipengaruhi oleh bisnis perusahaan saat ini. Kecuali kalau rencana
investasi tersebut ternyata diharapkan memberikan synergistic effect pada
bisnis saat ini, barulah perlu dipertimbangkan efek sinergi tersebut pada
analisis4. Efek sinergi biasanya diharapkan muncul kalau perusahaan
melakukan diversifikasi ke bisnis yang berkaitan.
Sebagai misal, perusahaan manufaktur melakukan ekspansi dengan
membentuk perusahaan distributor. Dengan cara ini diharapkan bisa
menghemat biaya distribusi. Penghematan ini merupakan efek sinergi.
Apabila present value penghematan biaya mencapai Rp X maka dalam
perhitungan NPV, Rp X ini perlu ditambahkan.
Dengan demikian, pendekatan CAPM menolak investasi yang semata-
mata dilakukan untuk diversifikasi. Setiap investasi hendaknya dinilai dari
NPVnya, bukan karena investasi tersebut merupakan diversifikasi ataukah
tidak. Hal ini disebabkan karena CAPM mengukur risiko dengan risiko
5.28 MANA.JEMEN KEUANGAN e
sistematis (beta). Per definisi risiko sistematis adalah risiko yang tidak bisa
dihilangkan dengan diversifikasi. Karena itu, diversifikasi tidaklah
memberikan manfaat.
Memang ada beberapa penulis yang berpendapat bahwa diversifikasi ke
berbagai jenis industri memberikan manfaat bagi perusahaan yang
melakukannya5. Dengan melakukan diversifikasi arus kas diharapkan akan
menj adi lebih stabil sehingga mengurangi risiko (yang diukur dari risiko
total). Untuk itu perhatikan contoh berikut ini.
Manfaat diversifikasi dalam menstabilkan arus kas (atau tingkat
keuntungan) ditentukan terutama oleh koefisien korelasi antar arus kas (atau
tingkat keuntungan). Kalau kita kembali ke Modul 3 maka penggabungan
beberapa investasi (membentuk portofolio) akan menghasilkan deviasi
standar portofolio ((p) yang dirumuskan sebagai
Dalam hal ini, sij adalah covariance antara proyek (investasi) i dengan j,
yang bisa juga dirumuskan sebagai crij = Pijcricrj. Dalam hal ini, pij adalah
koefisien korelasi antara i dengan j. (cri dalah variance keuntungan investasi i
(yaitu bentuk kuadrat dari cri)· Perhatikan bahwa apabila koefisien korelasi6
antartingkat keuntungan investasi makin kecil maka diversifikasi akan makin
efektif menurunkan risiko portofolio.
Pada dasarnya pemikiran ini adalah mendasarkan diri pada teori
portofolio, yang diterapkan pada portofolio proyek real assets. Misalkan,
terdapat dua proyek, proyek 1 dan 2, yang mempunyai informasi sebagai
berikut.
cr port= ~(1,0)2. 2
+ (2)(0, 3)(20.000)(6.000) + 1, 0(6000 2
)
Lport = Rp 22.538,00