Anda di halaman 1dari 24

SEJARAH

SANGSAKA
MERAH PUTIH
cerita menarik terkait asal usul bahan Bendera Pusaka Merah Putih yang dijahit oleh

Ibu negara Fatmawati. Konon, kain berwarna merah yang dijadikan bendera tersebut

berasal dari warung tenda soto yang dibeli seharga Rp500 sen.

Menurut cerita sebenarnya, Ibu Fat, panggilan akrab istri Presiden Soekarno ini,

sudah membuat bendera Merah Putih sebelum 16 Agustus 1945.

Namun, lantaran dianggap kekecilan, karena panjangnya hanya 50 centimeter, dia pun

berencana membuat kembali bendera tersebut. Namun, saat membuka lemari pakaiannya,

Ibu Fat hanya menemukan selembar kain putih bersih bahan seprai.
Dia tak punya kain berwarna merah sama sekali. Disaat

yang bersamaan, seorang pemuda bernama Lukas Kustaryo (Di

kemudian hari masuk militer dengan pangkat terakhir Brigjen)

yang berada di kediaman Soekarno.

Ibu Fat kemudian menyuruh pemuda ini untuk mencari

kain merah untuk bendera pusaka. Menurut penuturan Lukas

Kustaryo, pada majalah Intisari edisi Agustus 1991, dia lantas

berkeliling dan akhirnya menemukan kain merah yang tengah

dipakai sebagai tenda sebuah warung soto.


Kemudian, kain merah tersebut ditebusnya dengan harga

Rp500 sen, dan menyerahkannya kepada Ibu Fat. Akhirnya, Ibu Fat

menjahit bendera Merah Putih yang baru dengan ukuran 276 x 200

cm malam itu juga untuk digunakan keesokan harinya. Bendera itu

akhirnya dikibarkan pada hari Jumat 17 Agustus 1945 sekaligus

menjadi bendera pusaka di kemudian hari.

Sang Saka Merah Putih terakhir kali berkibar pada 1969, kemudian

pemerintah RI membuat bendera duplikat dengan ukuran 300 x 200

cm.
Namun demikian, kisah tersebut diluruskan melalui Buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno,

volume 1, yang terbit 1978. Melalui buku tersebut, Fatmawati menceritakan, dari mana dia

mendapatkan kain untuk bendera merah putih tersebut. Dalam buku tersebut, Ibu Fat

menceritakan, suatu hari, Oktober 1944, tatkala kandungannya berumur sembilan bulan (Guntur

lahir pada 3 November 1944), datanglah seorang perwira Jepang membawa kain dua blok. “Yang satu

blok berwarna merah sedangkan yang lain berwarna putih. Mungkin dari kantor Jawa Hokokai,” tukas

Fatmawati kala itu.

Dengan kain itulah, Ibu Fat menjahitkan sehelai bendera merah putih dengan menggunakan

mesin jahit tangan. Lalu, siapa perwira Jepang yang mengantarkan kain merah putih kepada

Fatmawati?. Dikisahkan, perwira tersebut adalah seorang pemuda bernama Chairul Basri yang

diperolehnya dari Hitoshi Shimizu, kepala Sendenbu (Departemen Propaganda).

Pada 1978, Hitoshi Shimizu diundang Presiden Soeharto untuk menerima penghargaan dari

Pemerintah Indonesia karena dianggap berjasa meningkatkan hubungan Indonesia-Jepang. Usai

menerima penghargaan, Shimizu bertemu dengan kawan-kawannya semasa pendudukan Jepang. “Pada

kesempatan itulah ibu Fatmawati bercerita kepada Shimizu bahwa bendera pusaka kainnya dari

Shimizu,” ujar Chairul Basri dalam memoarnya, Apa yang Saya Ingat.

Pada kesempatan lain, waktu berkunjung lagi ke Indonesia, Shimizu menceritakan kepada Chairul Basri, bahwa

dia pernah memberikan kain merah putih kepadanya untuk diserahkan kepada Fatmawati. Kain itu diperoleh

dari sebuah gudang Jepang di daerah Pintu Air, Jakarta Pusat, di depan bekas Bioskop Capitol.
Tokoh Pengibar Bendera Merah Putih Pertama

1. Latief Hendraningrat

Latief Hendraningrat. Foto: Wikipedia Mengutip buku Abdul Latief Hendraningrat, sang

pengibar bendera pusaka 17 Agustus 1945 oleh Nidjo Sandjojo. Raden Mas Abdul Latief

Hendraningrat atau dikenal dengan Latief Hendraningrat adalah prajurit Pembela Tanah Air (PETA)

yang lahir pada 15 Februari 1911. Pria berdarah ningrat Jawa itu aktif dalam kegiatan kemiliteran

yang dibentuk Jepang. Setelah bergabung dengan Pusat Latihan Pemuda (Seinen Kunrenshoo), Latief

pun masuk sebagai prajurit PETA.

Prestasinya di pelatihan militer sangat membanggakan. Ia pernah dipercaya menjabat

Komandan Kompi yang berpangkat Sudanco. Itu adalah satu tingkat di bawah pangkat tertinggi

pribumi, yaitu Daidanco atau Komandan Batalion. Sebelum mengibarkan bendera, Latief juga

mengamankan lokasi dengan mengerahkan prajuritnya di sekitar kediaman Soekarno. Prosesi

pengibaran bendera Merah Putih pun berjalan lancar tanpa gangguan.


2. Suhud Sastro Kusumo

Berdasarkan informasi dari buku Pendidikan Pencasila dan Kewarganegaraan:

Aktualisasi Nilai-nilai Pancasila dan Kewarganegaraan dalam Perspektif Santri oleh Edi

Rohani, Suhud Sastro Kusumo merupakan anggota Barisan Pelopor yang dibentuk Jepang. Pria

kelahiran 1920 ini diketahui cukup dekat dengan Latief.

Suhud juga memegang peran penting dalam detik-detik menjelang Hari Kemerdekaan.

Pada 14 Agustus 1945, Suhud dan sejumlah anggota Barisan Pelopor mendapat mandat untuk

menjaga keluarga Soekarno. Sayangnya, ia dan pasukannya kecolongan saat Soekarno dibawa

oleh Sukarni dan Chaerul Saleh ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Beruntung,

Soekarno kembali ke rumah di malam harinya dan mulai mempersiapkan Proklamasi

Kemerdekaan. Dalam momen itu, ia mendapat mandat untuk menyiapkan tiang bendera.
3. Surastri Karma Trimurti

Soerastri Karma Trimurti atau S.K. Trimurti, dialah salah satu pahlawan wanita yang

telah ikut memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia melawan penjajah. Lahir di

Boyolali, Jawa Tengah, wanita yang memakai kebaya di samping ibu Fatmawati pada foto

pengibaran bendera pertama Indonesia ini bergabung menjadi pejuang setelah mendengar

pidato menggelegar dari Bung Karno.

Lulus dari Tweede Indlandsche School atau sekolah Ongko Loro, Trimurti sempat

mengajar dan menjadi anggota Nasionalis Partindo di tahun 1933. Ia menjadi pejuang

militan, hingga akhirnya dipenjarakan Belanda 3 tahun kemudian karena menyebarkan

pamflet anti penjajah. Ia kemudian beralih karir dari mengajar ke dunia jurnalisme setelah

bebas dari penjara, dan dari sana karir jurnalistiknya pun dimulai.
Bendera merah putih merupakan simbol atau identitas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Bendera merah putih bukan sekadar selembar kain dengan dua warna, namun memiliki makna yang dalam daripada

itu. Bendera merah putih merupakan simbol dari negara Indonesia. Bendera ini juga memiliki beberapa sebutan

lainnya yaitu bendera pusaka, sang saka merah putih dan sang dwi warna (dua warna).

Bendera merah putih atau biasa juga disebut sebagai bendera dwiwarna ini memiliki catatan sejarah yang

panjang hingga akhirnya dapat berkibar sebagai Bendera Negara Indonesia. Bahkan perjuangan para pahlawan

untuk menyelamatkan bendera merah putih masih berlanjut setelah kemerdekaan diproklamasikan.
Makna Bendera Merah Putih

Indonesia memilih warna merah dan putih untuk bendera negaranya, bukan tanpa alasan.

Makna bendera merah putih sangat khusus bagi bangsa ini. Dimana warna merah artinya berani

dan putih artinya suci.

Merah bisa melambangkan sebagai tubuh manusia sedangkan putih melambangkan sebagai

jiwa manusia. Keduanya bisa saling melengkapi dan menyempurnakan. Selain itu, warna merah

pada bendera Indonesia memiliki arti keberanian bangsa Indonesia saat melawan penjajah.

Sedangkan warna putihnya memiliki arti niat suci dari para pahlawan serta rakyat dalam

berjuang untuk kemerdekaan Republik Indonesia.

Karena itulah bendera merah putih dikibarkan dalam setiap upacara di Istana Negara

setiap tahunnya pada tanggal 17 Agustus untuk mengenang jasa para pahlawan dan sebagai wujud

syukur atas Kemerdekaan Republik Indonesia.


Melansir Website Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kelahiran bendera merah putih

dilatarbelakangi oleh izin kemerdekaan dari Jepang. Pada tanggal 7 September 1944 Kekaisaran

Jepang berjanji untuk memberikan kemerdekaan kepada para pejuang untuk memproklamasikan

kemerdekaan.

Menerima kabar tersebut, Chuuoo Sangi In atau badan yang membantu pemerintah

pendudukan Jepang terdiri dari orang Jepang dan Indonesia menindaklanjuti izin kemerdekaan yang

telah dijanjikan oleh kekaisaran Jepang. Chuuoo Sangi In mengadakan sidang tidak resmi pada

tanggal 12 September 1944. Sidang tersebut dipimpin langsung oleh Ir. Soekarno.

Adapun hal yang dibahas dalam sidang tersebut adalah pengaturan pemakaian bendera dan

lagu kebangsaan yang sama di seluruh Indonesia. Hasil dari sidang tersebut adalah pembentukan

panitia bendera kebangsaan merah putih dan panitia lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Panitia Bendera Kebangsaan Indonesia diketahui oleh Ki Hajar Dewantara. Adapun

anggotanya antara lain Puradireja, Dr. Poerbatjaraka, Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat, Mr. Moh.

Yamin, dr. Radjiman Wedyodiningrat, Sanusi Pane, KH. Mas Mansyur, PA Soerjadiningrat, dan Prof.

Dr. Soepomo.

Panitia bendera kebangsaan memutuskan menggunakan warna merah dan putih sebagai warna

bendera Indonesia. Pemilihan warna ini berdasarkan filosofi merah berarti berani dan putih berarti

suci, sehingga menjadi jati diri bangsa Indonesia. Sementara untuk ukuran bendera ditetapkan sama

dengan ukuran bendera Nippon yakni perbandingan antara panjang dan lebar tiga banding dua.

Setelah ditentukan tentang warna dan ukuran bendera, atas permintaan Soekarno kepada

Shimizu, Kepala Barisan Propaganda Jepang (Sendenbu), Chaerul Basri diperintahkan mengambil kain

dari gudang di Jalan Pintu Air. Kain ini diperintahkan untuk diantar ke Jalan Pegangsaan Nomor 56

Jakarta.
Kain yang dimaksud berbahan katun halus atau setara dengan jenis primissima

untuk batik tulis halus dengan panjang 300 cm dan lebar 200 cm. Kain berwarna merah

dan putih itu kemudian dijahit oleh istri Ir. Soekarno, Fatmawati. Fatmawati menjahit

bendera merah putih usai dirinya dan keluarga kembali ke Jakarta dari pengasingan di

Bengkulu.

Pada 13 November 2014 bendera diukur ulang, yakni dengan panjang 276 cm dan

lebar 199 cm. Kemudian Bendera merah putih yang telah dijahit tersebut dikibarkan

pada hari Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, di Jalan

Pegangsaan Timur 56 yang saat ini bernama Jalan Proklamasi, Jakarta.


Pada tanggal 4 Januari 1946, Presiden, Wakil Presiden, dan para Menteri

pindah ke Yogyakarta. Hal ini atas pertimbangan keamanan. Perpindahan ini juga

membawa serta bendera merah putih. Setelah pindah ke Yogyakarta bendera merah

putih dikibarkan di Gedung Agung.

Ketika Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 19 Desember 1948,

bendera merah putih sempat diselamatkan oleh Presiden Soekarno. Bendera merah

putih kemudian dipercayakan kepada ajudan Presiden yang bernama Husein

Mutahar. Husein Mutahar mengungsi dengan membawa bendera pusaka tersebut.

Namun, untuk alasan keamanan dari penyitaan Belanda, ia melepaskan benang jahitan

Bendera merah putih. Bagian merah dan putih bendera akhirnya terpisah. Dua

bagian bendera ini kemudian dibawa menggunakan dua tas yang berbeda.
Pada pertengahan Juni 1949, ketika berada dalam pengasingan di Bangka, Presiden

Soekarno meminta kembali bendera pusaka kepada Husein Mutahar. Ia kemudian

menjahit dan menyatukan kembali Bendera merah putih dengan mengikuti lubang

jahitannya satu persatu. Bendera merah putih disamarkan dengan bungkusan kertas

koran, lalu diserahkan kepada Soejono untuk dikembalikan kepada Presiden Soekarno di

Bangka. Setelah kembali ke tangan Presiden Soekarno, Bendera merah putih dibawa

kembali ke Ibu Kota Republik Indonesia di Yogyakarta pada tanggal Pada tanggal 6 Juli

1949. Bendera merah putih kemudian kembali dikibarkan di halaman depan Gedung Agung

pada tanggal 17 Agustus 1949.

Sehari setelah penandatanganan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh

Belanda di Den Haag pada 28 Desember 1949, Bendera merah putih disimpan di dalam

sebuah peti berukir dan diterbangkan dari Yogyakarta ke Jakarta menggunakan pesawat

Garuda Indonesia Airways.


Setelah melalui perjalanan panjang, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 40

tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, Bendera merah putih ditetapkan

sebagai Bendera Pusaka dan selalu dikibarkan setiap tahun pada tanggal 17 Agustus

untuk memperingati hari kemerdekaan di depan Istana Merdeka.

Pada tahun 1967, setelah Presiden Soekarno digantikan oleh Presiden

Soeharto, Bendera merah putih masih dikibarkan. Namun, kondisi bendera sudah

sangat rapuh.

Bendera merah putih Pusaka terakhir dikibarkan di depan Istana Merdeka

pada 17 Agustus 1968. Sejak saat itu, bendera pusaka tidak lagi dikibarkan dan

digantikan dengan duplikatnya.


Tempat Penyimpanan Bendera Pusaka Merah Putih

Karena warna Bendera Pusaka sudah pudar karena usia dan kualitas kain yang rapuh

maka tidak dikibarkan lagi. Setelah pensiun, Bendera Pusaka merah putih kini disimpan dalam

vitrin yang terbuat dari flexi glass berbentuk trapesium di Ruang Bendera Pusaka, Istana

Merdeka.

Bendera diletakkan dalam posisi tergulung dengan bagian atas bendera dilapisi dengan

kertas bebas asam. Suhu ruangan 22,7 derajat celcius dengan kelembaban ruang penyimpanan

62%.

Bendera Pusaka merah putih digulung dengan pipa plastik dilapisi kain putih yang pada

bagian luarnya dilapisi semacam kertas singkong (abklatsch) berkualitas tinggi dan diikat

dengan pita merah putih.


Bendera bersejarah ini pernah dikonservasi oleh Balai Konservasi Dinas Kebudayaan dan
Permuseuman Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 21 April sampai Juli 2003. Tujuan konservasi ini
bertujuan untuk :
- Membersihkan noda dan kotoran;
- Menghilangkan bekas lipatan;
- Merestorasi bagian yang robek dan hilang;
- Menghilangkan jamur (fumigasi); dan
- Menyimpan kembali dengan keadaan digulung dan dilapisi kain sutera untuk mencegah kusut,
robek, dan mempermudah proses pemindahan.

Saat ini Bendera Pusaka Merah Putih berstatus sebagai Cagar Budaya Nasional. Bendera
ini terdaftar sebagai cagar budaya benda dengan nama Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih.

Dikutip dari registrasi cagar budaya Kemendikbud, bendera merah putih ditetapkan
sebagai benda cagar budaya pada 9 Januari 2015 melalui Surat Keputusan Menteri Nomor
003/M/2015, dengan nomor RNCB.20150201.01.000032. Tentunya Bendera Pusaka ini telah
sesuai dan memenuhi kriteria Cagar Budaya Nasional.
Dr. Poerbatjaraka Hitoshi Shimizu Ir. Soekarno

Dr. Radjiman
Sanusi Pane Wedyodiningrat PA Soerjadiningrat
Prof. Dr. Hoesein
Djajadiningrat Soejono

Mr. Moh. Yamin Ki Hajar Dewantara


Puradireja

Anda mungkin juga menyukai