Anda di halaman 1dari 16

BLOK TRAUMATOLOGI

SEMESTER VII

LOGBOOK TUTORIAL SKENARIO 2

Dosen Pembimbing:

dr. Rusdani, MKKK

Disusun oleh:

HARRY BAGUS SANTOSO

61119066

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BATAM

TA. 2022/2022
MODUL BLOK TRAUMATOLOGI DAN KEGAWATDARURATAN

SKENARIO 2

DOKTER JAGA UGD

Anda adalah seorang dokter jaga Yang bertugas di UGD Pagi ini, tiba di ruang IGD
suatu rumah sakit yang sudah berisi empat pasien. Pasien pertama, Tuan W, 22 tahun, sadar,
terlihat lemas, GCS 13, dengan tekanan darah 85/60 mmHg, frekuensi nadi 114x/menit dan
frekuensi nafas 17x/m, tampak berlumuran darah setelah kecelakaan lalu lintas. Pasien
kedua, ibu X 31 tahun, hamil aterm, sedang berteriak kesakitan bahwa dia merasa dia akan
segera melahirkan, saat ini tidak ada tanda-tanda perdarahan, dengan TD 110/70 mmHg, N94
x/m, RR 32x/m. Pasien ketiga ibu Y, 42 tahun, datang dengan keluhan sesak dan nyeri dada
setelah tabrakan, dengan TD 110N/70 mmHg, N 100x/m, RR 32 x/m. Pasien keempat, anak
Z laki-laki 5 tahun, datang dengan luka bakar di daerah wajah dan dada (lebih kurang 15 %
permukaan tubuh), GCS 13, dengan TD 90/60, N 120x/m, dan RR 24 x/m.

Bagaimana Sikap Anda Sebagai dokter jaga, anda melakukan dan menentukan skala
prioritas penanganan terhadap pasien tersebut dengan menggunakan prinsip triage untuk
menentukan yang mana yang akan mendapatkan penanganan pertama terlebih dahulu?

A. TERMINOLOGI ASING
1. Hamil aterm: usia kehamilan 37 sampai 42 minggu (Manuaba, 2010).
2. Glasgow coma scale: alat pemeriksaan tingkat kesadaran yang paling sering
digunakan dan dijadikan baku emas saat memvalidasi skala koma yang baru (jurnal
UI 2017).
3. Triase: Triase adalah kategorisasi pasien berdasarkan urgensi dan prognosis pada
presentasi klinis pasien. Tujuan utama triase adalah untuk mengidentifikasi pasien
dengan kondisi kritis dan sensitif waktu dengan cepat dan memprioritaskan
perawatan mereka dibanding mereka yang dapat menunggu atau kondisinya lebih
stabil. (ESI).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Berapa tingkat kesadaran terendah dan tertinggi untuk skala gcs?
2. Bagaimana cara menentukan prioritas triase?
3. Apa saja yang harus di anamnesa saat melakukan triase?
4. Berapakah derajat luka bakar dari anak Z?
5. Berapa lama waktu yang di butuhkan untuk proses triase?
6. Apasaja yang menjadi prioritas triase?
7. Bagaimana penanganan dan penilaian awal terhadap pasien?

C. HIPOTESIS
1. Pada GCS terdapat 3 komponen yaitu pergerakan bola mata, verbal, dan pergerakan
motorik.Nilai total dari ketiga komponen berkisar antara 3-15, dengan nilai makin
kecil semakin buruk prognosisnya.
2. Pasien Nol (Hitam)
Pasien meninggal atau cedera Parah yang jelas tidak mungkin untuk diselamatkan.
Prioritas Pertama (Merah)
Penderita Cedera berat dan memerlukan penilaian cepat dan tindakan medik atau
transport segera untuk menyelamatkan hidupnya. Misalnya penderita gagal nafas,
henti jantung, Luka bakar berat, pendarahan parah dan cedera kepala berat.
Prioritas kedua (kuning)
Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera dan tingkat yang kurang berat dan
dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat. misalnya cedera
abdomen tanpa shok, Luka bakar ringan, Fraktur atau patah tulang tanpa Shok dan
jenis-jenis penyakit lain.
Prioritas Ketiga (Hijau)
Pasien dengan cedera minor dan tingkat penyakit yang tidak membutuhkan
pertolongan segera serta tidak mengancam nyawa dan tidak menimbulkan kecacatan.
3. Anamnesa triase biasanya berfokus pada keluhan utama pasien. Anamnesa ini
mencakup uraian tentang keluhan yang dirasakan, bagaimana cedera terjadi (jika ada),
kapan masalah timbul dan kapan menghilang serta tindakan yang sudah dilakukan
sebelum pasien tiba di IGD.
4. Luka bakar sedang atau derajat dua antara 15-30% luas.
5. Semua pasien di IGD yang mengalami kondisi gawat darurat dengan label non
urgensi harus mendapatkan response time perawatan kesehatan dengan professional
dalam 5 menit dari kedatangan.
6. Prioritas 1 (Resuscitation) : Kondisi pasien yang mengancam nyawa dan memerlukan
penanganan yang agresif/segera.
Prioritas 2 (Emergent) : Kondisi pasien yang berpotensi mengancam nyawa, dan /
atau anggota tubuh beserta fungsinya, dan membutuhkan intervensi medis segera
(waktu tunggu pasien – 15 menit)
Prioritas 3 (Urgent) : Kondisi pasien yang dapat berpotensi menyebabkan kegawatan
dan membutuhkan penanganan yang cepat (waktu tunggu < 30 menit)
Prioritas 4 (Less Urgent) : Kategori pasien dengan resiko rendah untuk terjadinya
perburukan kondisi saat pasien menunggu Treatment (waktu tunggu < 60 menit)
Prioritas 5 (Non Urgent) : Kondisi pasien yang stabil dan cukup aman untuk
menunggu tindakan selanjutnya (waktu tunggu < 120 menit).
7. Tindakan awal yang penting adalah mengajak bicara pasien dan membangkitkan
respon verbal. Respon verbal yang adekuat menunjukan adanya airway yang paten,
ventilasi yang intak, dan perfusi otak yang adekuat. Pada pasien dengan penurunan
kesadaran, lidah akan jatuh kebelakang dan menutupi hipofaring. Obstruksi demikian
dapat dikoreksi dengan maneuber chin lift atau jaw thrust. Kemudian airway dapat
dipertahankan sementara dengan orophrayngeal atau nasopharyngeal airway.
D. SKEMA

Pasien 1

Tuan W
22 tahun

Datang ke igd

ANAMNESA PEMERIKSAAN FISIK PEMERIKSAAN


inspeksi/KU: PENUNJANG
- -
lemas
berlumuran darah

GCS 13
TD 85/60 mmHg
N 114x/m
RR 17x/m

DIAGNOSA
syok hipovolemik
Pasien 2

Ibu X
31 tahun

Datang ke igd

ANAMNESA PEMERIKSAAN FISIK PEMERIKSAAN


inskpeksi: PENUNJANG
- berteriak kesakitan -

TD 110/70 mmHg
N 94x/m
RR 32x/m

DIAGNOSA
Hamil aterm
Pasien 3

Ibu Y
42 tahun

Datang ke igd

ANAMNESA PEMERIKSAAN FISIK PEMERIKSAAN


PENUNJANG
mengeluh sesak dan TD 110/70 mmHg -
nyeri dada setelah N 100x/m
tabrakan RR 32x/m

DIAGNOSA
trauma thorax
Pasien 4

Anak Z
5 tahun

Datang ke igd

ANAMNESA PEMERIKSAAN FISIK PEMERIKSAAN


inspeksi: PENUNJANG
- luka bakar di daerah -
wajah dan dada
(lebih kurang 15%
permukaan tubuh)

GCS 13
TD 90/60 mmHg
N 120x/m
RR 24x/m

DIAGNOSA
Luka Bakar derajat II
E. LEARNING OBJECTIVE
1. Menjelaskan tentang prinsip dasar Triage
2. Menjelaskan tentang prinsip dasar syok
3. Menjelaskan tentang prinsip dasar penangan trauma
4. Menjelaskan tentang prinsip dasar penanganan luka bakar

Pembahasan

Menjelaskan Tentang Prinsip Dasar Triage

Triage seharusnya segera dan tepat waktu, penanganan yang segera dan tepat waktu
akan segera mengatasi masalah pasien dan mengurangi terjadi kecacatan akibat kerusakan
organ. Pengkajian seharusnya adekuat dan akurat, data yang didapatkan dengan adekuat dan
akurat menghasilkan diagnosa masalah yang tepat. Keputusan didasarkan dari pengkajian,
penegakan diagnose dan keputusan tindakan yang diberikan sesuai kondisi pasien.

Intervensi dilakukan sesuai kondisi korban, penanganan atau tindakan yang diberikan
sesuai dengan masalah/keluhan pasien. Kepuasan korban harus dicapai, kepuasan korban
menunjukkan teratasinya masalah. Dokumentasi dengan benar, dokumentasi yang benar
merupakan sarana komunikasi antar tim gawat darurat dan merupakan aspek legal.

Anda telah memahami tentang prinsip triage, sekarang Anda akan belajar tentang
klasifikasi triage. Klasifikasi ini penting untuk menseleksi korban yang datang sehingga
keselamatan korban segera ditolong. Klasifikasi ini dibagi menjadi 3 yaitu :

Prinsip – prinsip triage yang utama sekali harus dilakukan adalah:

- Triage umumnya dilakukan untuk seluruh pasien


- Waktu untuk Triage per orang harus lebih dari 30 detik
- Prinsip utama triage adalah melaksanakan prioritas dengan urutan nyawa,
fungsi, dan penampilan.
- Pada saat melakukan triage, maka kartu triage akan dipasangkan kepada
korban luka untuk memastikan urutan prioritasnya

Kategori Triase IGD


Ada 4 kategori warna dalam sistem triase IGD dan setiap warna memiliki arti
masing-masing yang disesuaikan dengan kondisi pasien. Berikut ini adalah penjelasan
dari keempat kategori warna tersebut:

 Kategori merah
Pasien dengan kategori merah adalah pasien prioritas pertama yang
membutuhkan pertolongan segera. Contoh pasien dengan kategori ini adalah
pasien cedera kepala berat, luka bakar tingkat 3, serangan asma akut, serangan
jantung, atau syok anafilaktik. Pasien dengan kondisi tersebut biasanya akan
ditempatkan di area khusus, yaitu area resusitasi.
 Kategori kuning
Pasien dengan kategori kuning juga membutuhkan tindakan segera, hanya saja
tidak dalam kondisi kritis. Contoh pasien dengan kategori ini adalah korban
kecelakaan dengan luka robek. Penanganan dan perawatan terhadap pasien
akan dilakukan di area khusus tindakan.
 Kategori hijau
Pasien dengan kategori hijau umumnya mengalami cedera ringan dan masih
mampu berjalan serta mencari pertolongan sendiri, misalnya luka lecet setelah
kecelakaan atau demam tinggi tetapi kondisi vital stabil. Pasien dengan
kategori hijau biasanya akan ditempatkan di ruang observasi.
 Kategori hitam
Kategori hitam hanya diperuntukkan bagi pasien yang sudah tidak mungkin
ditolong lagi atau sudah meninggal ketika dibawa ke IGD.

Menjelaskan Tentang Prinsip Dasar Penanganan Syok

1. Penatalaksanaan Syok Anafilaktik

Penatalaksanaan syok anafilaktik menurut Haupt MT and Carlson RW adalah


Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik
peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
a. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi
dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha
memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
b. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
1) Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas,
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar,
posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang
menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik
mandibula ke depan, dan buka mulut.
2) Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak
ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke
hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain
ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan
oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera
ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi,
atau trakeotomi.
3) Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.
karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.

Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup


dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru.

a. Segera berikan adrenalin 0.3–0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa


atau 0.01 mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini
dapat diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis
menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2–4 ug/menit.
b. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang
memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5–6 mg/kgBB intravena dosis
awal yang diteruskan 0.4–0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
c. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau
deksametason 5–10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi
efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel.
d. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk
koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai
tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya
peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila
memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3–4 kali dari perkiraan
kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20– 40% dari volume plasma.
Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang
sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan
juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan
histamin.
e. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik
dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau
terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian sudah
harus semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan
transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus
tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
f. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi
harus diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan
penderita yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2–3 kali suntikan,
harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi.

2. Penatalaksanaan Syok Hipovolemik

a. Mempertahankan Suhu Tubuh


Suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada penderita untuk
mencegah kedinginan dan mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-kali
memanaskan tubuh penderita karena akan sangat berbahaya.
b. Pemberian Cairan
1) Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar, mual-
mual, muntah, atau kejang karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke
dalam paru.
2) Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi atau dibius
dan yang mendapat trauma pada perut serta kepala (otak).
3) Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada
indikasi kontra. Pemberian minum harus dihentikan bila penderita menjadi
mual atau muntah.
4) Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan
pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume
intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau
pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik
intravaskuler.
5) Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus seimbang
dengan jumlah cairan yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis cairan
yang sama dengan cairan yang hilang, darah pada perdarahan, plasma
pada luka bakar. Kehilangan air harus diganti dengan larutan hipotonik.
Kehilangan cairan berupa air dan elektrolit harus diganti dengan larutan
isotonik. Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan kristaloid
memerlukan volume 3–4 kali volume perdarahan yang hilang, sedang bila
menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah yang sama dengan
jumlah perdarahan yang hilang. Telah diketahui bahwa transfusi eritrosit
konsentrat yang dikombinasi dengan larutan ringer laktat sama efektifnya
dengan darah lengkap.
6) Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian
cairan yang berlebihan.
7) Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan
berlebihan yang akan membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi
darah dan tindakan untuk menghilangkan nyeri.
8) Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat,
mengingat pada syok septik biasanya terdapat gangguan organ majemuk
(Multiple Organ Disfunction). Diperlukan pemantauan alat canggih
berupa pemasangan CVP, “Swan Ganz” kateter, dan pemeriksaan analisa
gas darah.

3. Penatalaksanaan Syok Neurogenik

Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti
fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan
sfingter prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang
berkumpul ditempat tersebut. Penatalaksanaannya menurut Wilson R F, ed.. adalah

a. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi
Trendelenburg).
b. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan
menggunakan masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi
yang berat, penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat
dianjurkan. Langkah ini untuk menghindari pemasangan endotracheal yang
darurat jika terjadi distres respirasi yang berulang. Ventilator mekanik juga
dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan menurunkan
penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi.
c. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi
cairan. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya
diberikan per infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang
cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk
menilai respon terhadap terapi.
d. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat
vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan
seperti ruptur lien) :
1) Dopamin: Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10
mcg/kg/menit, berefek serupa dengan norepinefrin. Jarang terjadi
takikardi.
2) Norepinefrin: Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan
tekanan darah. Epinefrin. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat
dengan pengaruhnya terhadap jantung Sebelum pemberian obat ini
harus diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok
hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan
vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok
neurogenik
3) Dobutamin: Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan
oleh menurunnya cardiac output. Dobutamin dapat menurunkan
tekanan darah melalui vasodilatasi perifer.
Syok merupakan gangguan sirkulasi yang diartikan sebagai kondisi tidak
adekuatnya transport oksigen ke jaringan atau perfusi yang diakibatkan oleh
gangguan hemodinamik. Gangguan hemodinamik tersebut dapat berupa
penurunan tahanan vaskuler sitemik terutama di arteri, berkurangnya darah balik
vena, penurunan pengisian ventrikel dan sangat kecilnya curah jantung.
Tahap- tahap penanganan segera pasien syok :
 Melakukan survey primer ABCDE yang terdiri dari Airway (menilai jalan
nafas), Breathing( menilai pernafasan cukup atau adanya obstruksi jalan
nafas), circulation (menilai sirkulasi peredaran darah), disability (menilai
kesadran dengan cepat), exposure (menilai adanya cedera leher atau tulang
belakang).
 Fase resusitasi, kelanjutan upaya intervensi dan pemantauan yang di mulai
dari survei primer. (memasang pulse oxymetri)
 Pemantauan Lanjutan dari pemantauan tekanan vena sentral, pemantauan
kateter pulmonal, pemantauan kateter intra-arteria, pemantauan non-invasif,
penempatan kateter urin dan nasogastrik.
 Fase perawatan definitif
 Persiapan untuk pemindahan pasien, pemindahan pada kamar operasi atau
unit perawatan intensif khusus.

Penanganan syok harus bertujuan untuk memperbaiki 8 penyebab dan


membantu mekanisme kompensasi fisiologis untuk memulihkan perfusi jaringan
yang adekuat.

Menjelaskan Tentang Prinsip Dasar Penanganan Trauma Thorax

Trauma thorax merupakan trauma yang mengenai dinding thorax atau organ
intra thorax, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma tajam.
Tahap- tahap penanganan segera pasien trauma Thorax :
 Pertolongan pertama dengan melakukan surver primary ABC
 Segera berikan oksigen 100% dan pertahankan pemberian oksigen selama
masa perawatan. Pemberian suplementasi oksigen aliran tinggi mempercepat
absorpsi udara pleural secara klinis.
 Titik untuk aspirasi adalah pada sela iga 2 di linea midklavikula. Dapat juga
dilakukan di sela iga 5 linea aksilaris anterior untuk mencegah perdarahan
yang mengancam nyawa.

Selang Torakostomi/Kateter Interkostal : Prosedur ini dianjurkan jika aspirasi


sederhana tidak efektif dan torakoskopi tidak tersedia. Titik pemasangan
kateter/selang sama dengan titik pemasangan jarum aspirasi sederhana.

Menjelaskan Tentang Prinsip Dasar Penanganan Luka Bakar

Luka bakar adalah cedera di kulit yang disebabkan oleh panas, baik dari api,
paparan bahan kimia, radiasi sinar matahari, maupun sengatan listrik. Luka bakar
perlu segera diobati karena dapat menimbulkan infeksi pada kulit.
Prinsip penanganan luka bakar yaitu :
 Primary survey ABCDE
 Fluid ( Resusitasi Cairan) : resusitasi cairan yang adekuat dan monitoring
 Manajemen nyeri : berikan morfin intervena 0,05 – 0,1 mg/kg dan untuk anak
paracetamol cairan drip (setiap 6 jam) dosis 10 – 15 mg/kgBB/kali
 Menyingkirkan kemungkinan adanya trauma lain
 Mencegah gastroporesis, dekompresi lambung
Daftar Pustaka

1. Hinson, et al. (2018). Accuracy of Emergency Department Triage Using the


Emergency Severity Index and Independent Predictors of Under-triage and Over-
triage in Brazil: A Retrospective Cohort Analysis. International Journal of Emergency
Medicine, doi: 10.1186/s12245-017-0161-8. 

2. Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (2018). Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2018 tentang Pelayanan Kegawatdaruratan. 
3. Skeet Muriel.,1995., Tindakan Paramedis Terhadap Kegawatan dan Pertolongan
Pertama., EGC, Jakarta Tambunan Karmell., et. All., 1990., Buku Panduan
Penatalaksanaan Gawat Darurat., FKUI, Jakarta
4. Skeet Muriel.,1995., Tindakan Paramedis Terhadap Kegawatan dan Pertolongan
Pertama., EGC, Jakarta Tambunan Karmell., et. All., 1990., Buku Panduan
Penatalaksanaan Gawat Darurat., FKUI, Jakarta
5. Tschoop JM, Bintcliffe O, Astoul P, Canalis E, Driese P, Janssen J, et al. ERS task
force statement: diagnosis and treatment of primary spontaneous pneumothorax.

Anda mungkin juga menyukai