Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pasal 4 ayat (2) UU Pajak Penghasilan mengatur Penghasilan dari transaksi


pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha
real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan dikenai pajak bersifat final
yang diatur dengan peraturan pemerintah. Adapun peraturan pemerintah yang
mengatur tentang jasa konstruksi adalah Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun
2008 s.t.d.d. Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 2009. Dalam pasal 5 peraturan
pemerintah ini diatur bahwa Pajak Penghasilan yang bersifat final dipotong oleh
Pengguna Jasa pada saat pembayaran dalam hal Pengguna Jasa merupakan
pemotong pajak atau disetor sendiri oleh penyedia jasa dalam hal pengguna jasa
bukan merupakan pemotong pajak.

Berkenaan dengan pemotongan pajak penghasilan, dalam pasal 23 ayat (1)


huruf c angka 2 diatur bahwa atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama
dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau
telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk
usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 2% (dua
persen) dari jumlah bruto atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah
dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Adapun
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Berdasarkan dua ketentuan diatas dapat diketahui bahwa pemotongan pajak


atas jasa konstruksi dalam Undang Undang Pajak penghasilan diatur dalam dua
pasal yaitu Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 23 yang dalam prakteknya menimbulkan
beberapa penafsiran yang berbeda. Sebagian pihak menafsirkan bahwa jasa

1
konstruksi merupakan objek pemotongan PPh Pasal 4(2) dan ada beberapa pihak
yang menafsirkan bahwa jasa konstruksi merupakan objek pemotongan PPh.

Hal yang umum sering dipahami bahwa organisasi nirlaba adalah suatu
organisasi yang bebas pajak (Tax Exemption), namun prinsipnya organisasi ini
bukan suatu organisasi yang memiliki kekebalan terhadap kewajiban pembayaran
pajak, hal ini bukan hanya di negara kita namun juga di negara-negara lain dimana
tidak memberi pengecualian kepada organisasi nirlaba maupun para
penggiat/pekerjanya sebagai wajib pajak. Pemerintah hanya memberikan fasilitas
pengecualian sebagai objek pajak pada penghasilan yang didapat oleh organisasi
nirlaba dalam bentuk hibah, sumbangan, maupun warisan.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apakah pengertian jasa konstruksi?
2. Apakah pengertian lembaga nirlaba?
3. Bagaimana aspek perpajakan atas jasa konstruksi dan lembaga nirlaba?

1.3 TUJUAN PEMBAHASAN

1. Mengetahui dan memahami tentang jasa konstruksi.


2. Mengetahui dan memahami tentang lembaga nirlaba.
3. Mengetahui dan memahami aspek perpajakan atas jasa konstruksi dan
lembaga nirlaba.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN JASA KONSTRUKSI

Pengertian jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan


pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan
jasa konsultasi pengawasan konstruksi.

Pengertian jasa konstruksi dalam Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun


2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi,
berdasarkan pasal 1 angka 2 dan angka 3 Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun
2008, jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan
konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa
konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Pekerjaan konstruksi adalah
keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan
beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal,
elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk
mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.

PENGGUNA JASA adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk


usaha tetap yang memerlukan layanan jasa konstruksi

PENYEDIA JASA adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk


usaha tetap, yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi baik
sebagai perencana konstruksi, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi
maupun sub-subnya.

2.2 PENGERTIAN LEMBAGA NIRLABA

Lembaga atau organisasi nirlaba adalah suatu organisasi yang tujuan-


tujuannya tidak mencakup penciptaan laba untuk kepentingan pribadi pemilik atau
pengelolanya. Organisasi nirlaba sering kali berusaha mencapai keuntungan
tersebut untuk tujuan sosial atau pendidikan dari organisasi dan bukannya untuk
kepentingan pribadi (Nickels et al., 2009: 8).

3
Menurut Setiawan (2007) organisasi nirlaba meliputi; Gereja, Yayasan,
Sekolah, Rumah Sakit dan Klinik Publik. Sesuai dengan namanya, organisasi
nirlaba adalah orgnisasi yang dalam menjalankan aktivitas tidak berorientasi
untuk menghasilkan keuntungan bisnis (not for profit organization). Ukuran
keberhasilan yang hendak dicapai organisasi nirlaba bukan keuntungan secara
materi, tetapi untuk pelayanan sosial. Namun hal tersebut bukan berarti organisasi
nirlaba tidak boleh menghasilkan keuntungan. Hanya saja keuntungan yang
diperoleh dari aktivitas organisasi semata-mata ditujukan hanya untuk menutupi
biaya yang timbul dari kegiatan operasional atau keuntungan yang diperoleh akan
disalurkan kembali pada kgiatan utama organisasi tersebut.

Menurut PSAK No 45, organisasi nirlaba memperoleh sumber daya dari


sumbangan para anggota dan para penyumbang lain yang tidak mengharapkan
imbalan apapun dari organisasi tersebut. (Ikatan Akuntan Indonesia, 2009: 1).
Namun dalam perkembangan selanjutnya, organisasi nirlaba dapat menerima
sumber daya lain dari hasil pendapatan atas jasa yang diberikan pada publik dan
atau inventasi yang dilakukan.

Organisasi nirlaba dapat terus bertahan hidup demikian lama karena


memiliki sumber daya yang memadai untuk program-program organisasi, jadi
lembaga keuangan organisasi nirlaba seringkali menekankan sumber daya
finansial yang likuid dalam organisasi.

 Ciri-ciri Organisasi Nirlaba

Karakteristik organisasi nirlaba dalam menjalankan operasinya tidak bertujuan


untuk menghasilkan laba atau keuntungan. Hal tersebut akan berpengaruh
terhadap struktur, visi serta misi dari organisasi nirlaba. Dalam ruang lingkup
PSAK No 45 (2009: 45.2), dikatakan bahwa sebuah organisasi nirlaba harus harus
memenuhi karakteristik sebagai berikut :

a. Sumber daya entitas berasal dari penyumbang yang tidak mengharapkan


pembayaran kembali atau manfaat ekonomi yang sebanding dengan
jumlah sumber daya yang diberikan.

4
b. Menghasilkan barang dan jasa tanpa bertujuan memupuk laba, dan jika
suatu entitas menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak pernah dibagikan
kepada para pendiri atau pemilik entitas itu.

c. Tidak ada kepemilikan seperti lazimnya pada organisasi bisnis, dalam arti
bahwa kepemilikan dalam organisasi nirlaba tidak dapat dijual, dialihkan
atau ditebus kembali, atau kepemilikan tersebut tidak mencerminkan
proporsi pembagian sumber daya entitas pada saat likuidasi atau
pembubaran entitas.

 Pendapatan Organisasi Nirlaba


Jenis pendapatan yang terdapat pada organisasi nirlaba tergantung kepada
jenis dan karakteristik dari organisasi nirlaba. Secara umum bila dilihat dari
ada atau tidaknya pembatasan dari penyumbang, maka jenis pendapatan yang
terdapat pada organisasi nirlaba dapat dibagi menjadi :
a. Tidak terikat
b. Terikat secara permanen
c. Terikat temporer
Pendapatan pada lembaga nirlaba jauh lebih luas. Pada dasarnya organisasi
memiliki pendapatan itu sendiri. Adapaun penjelasan sumber pendapatan
organisasi nirlaba adalah sebagai berikut :
a. Pendapatan tidak terikat
Pendapatan tidak terikat misalnya pendapatan dari unit usaha
komersial yang dimiliki, pendapatan dari sumbangan yang mengikat,
penjualan asset dan sejenisnya, pendapatan dari investasi.
b. Pendapatan terikat secara permanen
Pendapatan terikat secara permanen misalnya pendapatan berupa hibah
atau grant yang diperoleh, maka harus digunakan sesuai dengan program
yang tercantum dalam proposal tersebut.

5
c. Pendapatan terikat temporer
Pendapatan terikat temporer misalnya diperoleh dari sumbangan untuk
program tertentu,ketika sudah lewat waktu masih tersedia dananya, maka
dapat dialihkan ke kegiatan lain.

2.3 ASPEK PERPAJAKAN JASA KONSTRUKSI DAN LEMBAGA


NIRLABA

2.3.1 ASPEK PERPAJAKAN ATAS JASA KONSTRUKSI

 Pelaksanaan Pengenaan Pajak Atas Jasa Konstruksi

Dengan diundangkannya Undang-Undang nomor 10 tahun 1994 dapat kita


ketahui bahwa mulai tangal 1 Januari 1995 jasa konstruksi dikenai pajak
penghasilan dengan tarif umum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila
badan pemerintah, Subyek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya melakukan
pembayaran jasa konstruksi kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap maka harus melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% dari
perkiraan penghasilan neto yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.

Untuk memberikan kemudahan dan kepastian hukum serta meningkatkan


kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak Penghasilan, pada
tanggal 20 Desember 1996 ditetapkan Peraturan Pemerintah nomor 73 tahun 1996
tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa
Konsultan yang mengatur bahwa atas penghasilan Wajib Pajak yang bergerak
dibidang usaha jasa pelaksanaan konstruksi dan Wajib Pajak badan yang bergerak
dibidang usaha jasa perencanaan kontruksi, jasa pengawasan kontruksi dan/atau
jasa konsultan, kecuali konsultan hukum dan konsultan pajak, dikenakan Pajak
Penghasilan yang bersifat final. Berdasarkan Peraturan Pemerintah ini maka sejak
tanggal 1 Januari 1997, seluruh penghasilan atas usaha jasa konstruksi dan
konsultan kecuali konsultan hukum dan konsultan pajak dikenai pajak
penghasilan yang bersifat final.

6
Dalam rangka meningkatkan efektivitas pengenaan pajak penghasilan atas
penghasilan dari usaha jasa konstruksi, pada tanggal 21 Desember 2000
diundangkan Peraturan Pemerintah nomor 140 tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi. Dalam peraturan
Pemerintah ini diatur bahwa atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa kontruksi,
dikenakan pajak penghasilan berdasarkan ketentuan umum undang undang pajak
penghasilan.Namun demikian, atas penghasilan yang diterima wajib pajak yang
memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan
oleh lembaga yang berwenang, serta yang mempunyai nilai pengadaan sampai
dengan Rp. 1.000.000.000, dikenakan pajak penghasilan yang bersifat
final.Berdasarkan Peraturan Pemerintah ini maka sejak tanggal 1 Januari 2001,
penghasilan atas usaha jasa konstruksi ada yang dikenai pajak penghasilan
berdasarkan ketentuan umum dan ada yang dikenai pajak penghasilan yang
bersifat final.Pada dasarnya penghasilan atas jasa konstruksi dikenakan pajak
penghasilan dengan tarif umum kecuali diterima oleh wajib pajak yang memenuhi
kualifikasi sebagai usaha kecil dan nilai pengadaan sampai dengan Rp.
1.000.000.000.

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang dikenai
pajak penghasilan berdasarkan ketentuan umum dikenakan pemotongan pajak
berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan oleh pengguna jasa
dalam hal pengguna jasa adalah pemotong pajak pada saat pembayaran uang
muka dan termin. Untuk penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
yang dikenai pajak penghasilan bersifat final dikenakan pemotongan pajak yang
bersifat final oleh pengguna jasa dalam hal pengguna jasa adalah pemotong pajak
Penghasilan pada saat pembayaran uang muka dan termin.

Untuk menyederhanakan pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan


dari usaha jasa konstruksi dan memberikan kemudahan serta mengurangi beban
administrasi bagi Wajib Pajak, pada tanggal 20 Juli 2008 ditetapkan Peraturan
Pemerintah nomor 51 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan
Dari Usaha Jasa Konstruksi. Berdasarkan peraturan pemerintah ini, mulai tanggal

7
1 Januari 2008 seluruh penghasilan atas usaha jasa konstruksi dikenai pajak
penghasilan yang bersifat final.

Karena penerapan peraturan ini berlaku surut, maka menimbulkan kendala


dalam implementasinya di lapangan karena banyak Wajib Pajak yang melakukan
kontrak jasa konstruksi yang telah dipotong PPh Pasal 23 oleh pengguna jasa.
Untuk mengatasi kendala ini, pada tanggal 04 Juni 2009 diundangkan Peraturan
Pemerintah nomor 40 tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
nomor 51 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha
Jasa Konstruksi. Dalam peraturan Pemerintah ini, pengenaan pajak penghasilan
jasa konstruksi yang dilakukan dalam tahun 2008 diatur sebagai berikut:

1. Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008,


untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak yang dilakukan sampai
dengan tanggal 31 Desember 2008, berlaku ketentuan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah nomor 140 tahun 2000.
2. Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008,
untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak dilakukan setelah tanggal
31 Desember 2008 berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani
oleh Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sampai dengan tanggal 31
Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pemerintah nomor 140 tahun 2000;
b. dalam hal berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani
oleh Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sejak tanggal 1 Januari 2009 atau
penyelesaian pekerjaan tidak menggunakan berita acara serah terima
penyelesaian pekerjaan, pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan
berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.
3. Terhadap kontrak yang ditandatangani sejak tanggal 1 Agustus 2008,
pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.

8
Dengan memperhatikan dinamika pengenaan pajak atas jasa konstruksi
dalam Undang Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pemerintah yang
mengatur tentang jasa konstruksi sebagaimana telah diuraikan diatas dapat
diketahui bahwa pemerintah menghendaki pengenaan pajak bersifat final atas jasa
konstruksi.Hal ini dapat diketahui dengan diaturnya pengenaan pajak yang
bersifat final atas jasa konstruksi dalam pasal 4(2) huruf d Undang Undang nomor
36 Tahun 2008.Pengaturan ini untuk memperkuat kedudukan hukum pengenaan
pajak yang bersifat final atas jasa konstruksi yang sebelumnya diatur dalam
peraturan pemerintah.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa seluruh jasa


konstruksi yang kontraknya ditandatangani setelah tanggal 01 Agustus 2008
dikenai pajak penghasilan yang bersifat final sehingga merupakan objek
pemotongan PPh Pasal 4(2) oleh pengguna jasa. Untuk jasa konstruksi yang
kontraknya ditandatangani sebelum 01 Agustus 2008 pengenaan pajaknya
mengikuti Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 2009.

Undang-Undang nomor 36 tahun 2008 tidak bermaksud memberikan


pilihan kepada wajib pajak yang bergerak di bidang jasa konstruksi dalam
pengenaan pajaknya antara final dan tarif umum akan tetapi untuk memberikan
penegasan bahwa atas jasa konstruksi dikenai pajak yang bersifat final yang
pengaturannya berdasarkan peraturan pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah
nomor 51 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha
Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 40
tahun 2009.

 Jasa Konstruksi Sebagai Jasa Lain Yang Merupakan Objek PPh


Pasal 23

Dalam pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan diatur bahwa


ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri
keuangan. Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur jenis jasa lain ini
adalah Peraturan Menteri Keuangan nomor 244/PMK.03/2008. Apabila kita

9
perhatikan lebih jauh pasal 1 peraturan menteri keuangan, setidaknya terdapat
dua jenis jasa konstruksi yang dikelompokkan sebagai jenis jasa lainnya yaitu:

1. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC,


dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang
lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi
sebagai pengusaha konstruksi;
2. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon,
air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan,
selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang
konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi.

Jika kita gunakan parameter Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2008


sebagai dasar pengenaan pajak maka dua jenis jasa diatas dapat kita kelompokkan
kedalam jasa pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang
tidak memiliki kualifikasi usaha sehingga akan dikenakan PPh final dengan tarif
empat persen, namun karena dalam peraturan menteri keuangan dua jenis jasa
tersebut dikelompokkan ke dalam jenis jasa lain maka perlakuannya bukan
merupakan objek PPh final tetapi merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23.

PERBEDAAN PENGENAAN PPH PASAL 23 DAN PPH PASAL 4 AYAT 2

A. PPh pasal 23
 PPh pasal 23 (1) (A)
 Jika bukan sebagai jasa konstruksi
 15% X bruto yang termasuk sebagai deviden, bunga, royalty, hadiah,
dan penghargaan.
 PPh pasal 23 (1) (C)
 Sewa selain tanah atau bangunan
 Jasa teknik manajemen
 Jasa lain (244/PMK.09/2008)
 Kontrak dipisah material dan jasa, 2% X jasa

10
 Kontrak tidak dipisah, 2% X bruto
B. PPh pasal 4 ayat 2
 Perencanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau
badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa
konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk
dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
 Pelaksanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau
badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa
konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk
mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau
bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi
yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan
perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement
and construction) serta model penggabungan perencanaan dan
pembangunan (design and build).
 Tarif pajak untuk pelaksanaan konstruksi dan perencanaan
konstruksi :
1. 2 % X Nilai kontrak :Untuk penyedia jasa kecil,.
2. 4% X Nilai kontrak :Untuk penyedia jasa yang tidak
memiliki kualifikasi usaha
3. 3% X Nilai kontrak :Untuk penyedia jasa selain penyedia
(1 dan 2).
 Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau
badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa
konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal
pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.
 Tarif pajak untuk perencanaan dan pengawasan
1. 4% X Nilai kontrak :Untuk penyedia jasa usaha
2. 6% X Nilai kontrak :Untuk penyedia jasa yang tidak
memiliki kualifikasi
3.

11
TATA CARA PEMOTONGAN

Bila pengguna jasa adalah badan pemerintah, subjek pajak badan dalam
negeri, bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, dipotong oleh pengguna jasa pada saat
pembayaran uang muka dan termin.

Bila pengguna jasa adalah selain huruf a, disetor sendiri oleh penerima
penghasilan pada saat pembayaran uang muka dan termin.

TATA CARA PEMBAYARAN DAN PELAPORAN

Cara pembayaran dan pelaporan pph atas jasa konstruksi adalah sebagai
berikut:

 Dalam hal Pajak Penghasilan yang terutang melalui pemotongan, maka


Pembayaran atau penyetoran pajak disetor ke bank persepsi atau kantor
pos, paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
 Dalam hal Pajak Penghasilan terutang harus disetor sendiri oleh yang
penyedia jasa, maka wajib menyetor ke bank persepsi atau kantor pos,
paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa masa pajak berakhir;
 Wajib Pajak wajib menyampaikan laporan pemotongan dan atau
penyetoran pajaknya melalui Surat Pemberitahuan Masa ke Kantor
Pelayan Pajak atau KP2KP, paling lama 20 hari setelah masa pajak
berakhir.
 Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan pajak
bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

12
PPN ATAS JASA KONSTRUKSI

PPN atas Jasa Konstruksi dikenakan Sebesar 10% dari transaksi Jasa
Konstruksi. (Bila kontrak sudah termasuk PPN maka dikalikan 10/110%) PPN
terutang saat Pembayaran atau penyerahan Hasil Konstruksi.

2.3.2 ASPEK PERPAJAKAN ATAS LEMBAGA NIRLABA

 PAJAK PENGHASILAN

Subjek Pajak

Lembaga atau organisasi nirlaba termasuk di dalam defenisi badan


usaha sehingga merupakan Subjek Pajak Penghasilan, hal ini diatur dalam
Pasal 2 ayat 1 (b) UU PPh. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal
yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak
melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan
dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya
termasuk reksadana.

Objek Pajak

Penghasilan lembaga atau organisasi nirlaba dapat dibedakan menjadi


penerimaan yang bukan objek pajak dan penerimaan yang merupakan objek
pajak. Penerimaan atau penghasilan yang bukan merupakan objek pajak
adalah sebagai berikut: (a) Bantuan atau sumbangan, (b) Dividen atau bagian
laba yang diterima atau diperoleh yayasan atau organisasi yang sejenis dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan
di Indonesia, dan (c) Bantuan atau sumbangan dari Pemerintah.

13
Sedangkan, penghasilan lembaga atau organisasi nirlaba yang
merupakan Objek Pajak terdiri dari:

1. Penghasilan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-


undang Pajak Penghasilan antara lain adalah: (a) Penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari usaha pekerjaan, kegiatan atau jasa, (b) Bunga
deposito bunga obligasi , diskonto SBI dan bunga lain, (c) Sewa dan
imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta, dan (d) Keuntungan
dari pengalihan harta termasuk keuntungan pengalihan harta yang semula
berasal dari bantuan sumbangan atau hibah.
2. Bagi lembaga atau organisasi nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan
termasuk penghasilan pada butir 1 huruf a adalah: (a)Uang pendaftaran
dan uang pangkal, (b)Uang seleksi penerimaan siswa/mahasiswa/peserta
pendidikan, (c)Uang pembangunan gedung/pengadaan prasarana atau
pembayaran lainnya dengan nama apapun yang berkaitan dengan
keberadaan siswa/ mahasiswa/peserta pendidikan, (d)Uang SPP, uang
SKS, uang ujian, uang kursus, uang seminar/lokakarya, dan sebagainya;
(e)Penghasilan dari kontrak kerja dalam bidang penelitian dan sebagainya;
dan (f)Penghasilan lainnya yang dikaitkan dengan jasa penyelenggaraan
pengajaran/pendidikan/pelatihan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
3. Bagi lembaga atau organisasi nirlaba yang bergerak dibidang pelayanan
kesehatan termasuk penghasilan pada butir 1 huruf a adalah : (a)Uang
pendaftaran untuk pelayanan kesehatan, (b)Sewa kamar/ruangan di rumah
sakit, poliklinik, pusat pelayanan kesehatan, (c) Penghasilan dari
perawatan kesehatan seperti uang pemeriksaan dokter, operasi rontgent,
scaning, pemeriksaan laboratorium, dan sebagainya, (d)Uang pemeriksaan
kesehatan termasuk "General Check Up", (e)Penghasilan dari penyewaan
alat-alat kesehatan, mobil ambulance dan sebagainya, (f)Penghasilan dari
penjualan obat, dan (g) penghasilan lainnya sehubungan dengan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan dengan nama dan dalam bentuk
apapun.

14
 Pengurangan penghasilan bruto

Untuk memperoleh penghasilan netto lembaga atau organisasi nirlaba


diperkenankan mengurangkan :

1. Biaya – biaya yang berhubungan langsung dengan usaha, pekerjaan,


kegiatan atau pemberian jasa untuk mendapatkan menagih dan memeihara
penghasilan atau biaya yang berhubungan langsung dengan operasional
penyelenggaran yayasan atau organisasi yang sejenis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 dan dengan memperhatikan Pasal 9 ayat
(1) Undang- undang PPh.
2. Penyusutan atau amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta yang
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dan Pasal 11 A Undang-undang PPh.
3. Subsidi / beasiswa yang diberikan kepada siswa yang kurang mampu
ataupun biaya pendidikan siswa yang kurang mampu yang dipikul oleh
lembaga atau organisasi nirlaba yang tidak bergerak di bidang pendidikan,
biaya pelayanan kesehatan pasien yang kurang mampu yang dipikul oleh
lembaga atau organisasi nirlaba yang tidak bergerak di pelayanan
kesehatan

 Penghasilan Kena Pajak

1. Penghasilan Kena Pajak lembaga atau organisasi nirlaba yang


dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan adalah gunggungan
penghasilan pada butir 3, kecuali penghasilan yang dikenakan Pajak
Penghasilan yang bersifat final, dikurangi dengan butir 4 dan dengan
memperhatikan butir 5. Atas selisih lebih dikenakan pajak penghasilan
berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun
1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1994, dan apabila menunjukkan selisih negatif tidak
terutang pajak penghasilan.

15
2. Dalam menghitung gunggungan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada butir 1 tidak termasuk penghasilan yang telah
dikenakan Pajak Penghasilan secara final misalnya pajak penghasilan
atau bunga deposito, penjualan saham di bursa efek.

 Dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan

Lembaga atau organisasi nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan


formal mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi dapat
mengakui dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan. Dana
pembangunan gedung dan prasarana pendidikan adalah dana yang akan
digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang berasal
dari sisa lebih, yaitu selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan obyek
Pajak Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan
tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya operasional sehari-hari
lembaga sebagai penghasilan pada tahun pajak digunakannya, dan sebesar
dana yang telah digunakan tersebut merupakan biaya yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto pada tahun pajak yang bersangkutan.

Pembangunan gedung dan prasarana pendidikan adalah pembangunan


fisik sarana pendidikan seperti :

1. Pembelian tanah untuk pembangunan prasarana pendidikan.


2. Gedung sarana pendidikan.
3. Asrama mahasiswa.
4. Rumah dinas guru, dosen, atau karyawan.
5. Peralatan laboratorium, perpustakaan termasuk buku-buku.
6. Sarana olahraga.
7. Inventaris kantor.

Pelaksanaan ketentuan tersebut dilakukan sebagai berikut :

16
1. Sisa lebih lembaga setiap tahun yang akan digunakan untuk
pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dialihkan ke rekening
dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan.
2. Pembukuan atas penggunaan dana pembangunan gedung dan
prasarana pendidikan pada tahun berjalan dilakukan dengan mendebet
rekening aktiva dan rekening dana pembangunan gedung dan
prasarana pendidikan serta mengkredit rekening kas atau hutang dan
rekening modal lembaga.

Lembaga memberitahukan rencana fisik sederhana dan rencana biaya


pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak setempat dengan tindakan kepada Direktur Jenderal Pendidikan
tinggi dan/atau Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah atau yang
ditunjuk, dan dilampiri dengan pernyataan.

Dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan wajib digunakan


untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dalam jangka waktu 4
(empat) tahun setelah berakhirnya tahun pajak diterimanya dana tersebut.

Apabila pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dibiayai dengan


dana pinjaman, maka bunga atas pinjaman tersebut dapat dibebankan sebagai
biaya lembaga. Apabila setelah lewat jangka waktu 4 (empat) tahun setelah
berakhirnya tahun pajak diterimanya dana tersebut, lembaga tidak menggunakan
dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dimaksud, maka dana
pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut diakui sebagai
penghasilan dan dikenakan Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya setelah
lewat jangka waktu 4 (empat) tahun tersebut.

Pengenaan Pajak Penghasilan atas dana pembangunan gedung dan


prasarana pendidikan yang tidak digunakan setelah lewat jangka waktu di atas
ditambah dengan sanksi sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Atas pengeluaran untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan


yang berasal dari dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan

17
sebagaimana dimaksud di atas tidak boleh dilakukan penyusutan berdasarkan UU
PPh.

 PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

Jika lembaga dalam operasinya tidak melakukan penyerahan barang atau


jasa yang terutang PPN maka lembaga tersebut tidak termasuk kriteria subjek
PPN sehingga tidak perlu dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).
Namun sebaliknya jika lembaga melakukan penyerahan barang atau jasa yang
terutang PPN maka harus mendaftarkan diri sebagai pengusaha kena pajak
(PKP) jika omzetnya sudah lebih dari Rp 4,8 M pertahun dan berlaku
ketentuan yang diatur dalam UU PPN dan peraturan pelaksanaannya.

2.4 KASUS

Penerimaan pajak dari sektor konstruksi dan real estate tahun 2018 dinilai
masih minim jika dibandingkan dengan kontribusinya untuk produk domestik
bruto (PDB) yang mencapai 13 persen.

Dalam catatan Kemenkeu, kontribusi pajak sektor tersebut hanya


mencapai 6,9 persen atau 8,5 triliun dari total penerimaan pajak RI.

Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus


Prastowo menilai bahwa penyebab minimnya pendapatan pajak dari dua sektor
tersebut adalah pengenaan PPh final yang besarnya hanya 2 persen.

Karena itulah, kata dia, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perlu meninjau
ulang PPh final yang berlaku saat ini. "Jadi secara umum effective tax rate sektor
ini masih lebih rendah dibanding sektor lain," ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat
(15/2/2019).

Yustinus berpendapat, kontribusi penerimaan pajak dari sektor konstruksi


sebenarnya bisa dinaikkan ke angka 5 persen dengan perkiraan profit marjin
sebesar 20 persen.

18
"Memang perlu kajian, tapi dari profit margin mereka setidaknya dari 2
persen menjadi 4-5 persen cukup masuk akal," tuturnya.

Sejak lama, Ditjen Pajak memang tengah mengkaji perubahan


penghitungan pajak penghasilan (PPh) untuk sektor konstruksi dan real estate
untuk mengerek pendapatan dari sektor tersebut. Salah satunya, dengan mengubah
tarif final ke penghitungan berbasis pembukaan.

Sebab, dengan PPh final, kontraktor yang rugi bisa tetap terkena pajak
sementara kontraktor besar akan diuntungkan lantaran laba yang diterima besar
tetapi potongan PPh-nya kecil. Namun, menurut Yustinus, skema final yang ada
saat ini lebih efektif untuk dilakukan.

Sebab, metode pembukuan di sektor jasa konstruksi agak rumit karena


pembayaran termin akan terkait dengan pengakuan pendapatan dan biaya di
depan. "Sektor ini pembayarannya pakai termin. Jadi cukup spesifik di pengakuan
pendapatan dan biaya. Bisa menimbulkan beda waktu," ucapnya.

Penyelesaian

Mengubah tarif final ke penghitungan berbasis pembukuan. Sebab, dengan


PPh final, kontraktor yang rugi bisa tetap terkena pajak sementara kontraktor
besar akan diuntungkan lantaran laba yang diterima besar tetapi potongan PPh-
nya kecil.

19
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Pengertian jasa konstruksi dalam Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun


2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi,
berdasarkan pasal 1 angka 2 dan angka 3 Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun
2008, jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan
konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa
konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.

Lembaga atau organisasi nirlaba adalah suatu organisasi yang tujuan-


tujuannya tidak mencakup penciptaan laba untuk kepentingan pribadi pemilik atau
pengelolanya. Organisasi nirlaba sering kali berusaha mencapai keuntungan
tersebut untuk tujuan sosial atau pendidikan dari organisasi dan bukannya untuk
kepentingan pribadi (Nickels et al., 2009: 8).

Dengan diundangkannya Undang-Undang nomor 10 tahun 1994 dapat kita


ketahui bahwa mulai tangal 1 Januari 1995 jasa konstruksi dikenai pajak
penghasilan dengan tarif umum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila
badan pemerintah, Subyek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya melakukan
pembayaran jasa konstruksi kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap maka harus melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% dari
perkiraan penghasilan neto yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.

Lembaga atau organisasi nirlaba termasuk di dalam defenisi badan usaha


sehingga merupakan Subjek Pajak Penghasilan, hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat 1

20
(b) UU PPh. Penghasilan lembaga atau organisasi nirlaba dapat dibedakan
menjadi penerimaan yang bukan objek pajak dan penerimaan yang merupakan
objek pajak.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/10926542/PPH_KONSTRUKSI

http://www.nusahati.com/2013/01/sekilas-tentang-pajak-organisasi-nirlaba/

http://www.jtanzilco.com/blog/detail/932/slug/aspek-pajak-dalam-yayasan

https://tirto.id/setoran-pajak-konstruksi-minim-djp-diminta-kaji-ulang-pph-final-
dg6U

21

Anda mungkin juga menyukai