Anda di halaman 1dari 25

Makalah Ilmu Filsafat

“ Bidang Aksiologi “

NAMA: ALI AKBAR SITORUS

NIM 21700020

FAKULTAS HUKUM
KATA PENGANTAR

Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah SWT. kita memuji, meminta pertolongan,
meminta ampunan dan bertaubat kepada-Nya. Kita berlindung kepada Allah SWT. dari
kejahatan diri dan keburukan perbuatan kita. Siapapun yang diberi petunjuk oleh Allah
SWT., maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan siapa yang disesatkan-Nya maka
tidak ada yang bisa memberi petunjuk kepadanya. Kami bersaksi bahwa tiada
Dialah yang hak untuk disembah selain Allah SWT. dan tiada sekutu baginya. Dan
Kami bersaksi bahwa Muhammad SAW. adalah hamba dan Rasul-Nya. saya sangat
bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Filsafat Ilmu
Aksiologi :Nilai, moral” tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan salah satu tugas
mata kuliah Filsafat Ilmu. Saya menyadari makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari berbagai pihak
demi penyempurnaan makalah ini.
KATA PENGANTAR....................................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................

1.1 LATAR BELAKANG...........................................................................................


1.2 RUMUSAHAN MASALAH.................................................................................
1.1 TUJUAN PENULISAN........................................................................................

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................

2.1 MAKNA AKSIOLOGI.........................................................................................


2.2 KONSEP NILAI DALAM AKSIOLOGI.............................................................
2.3 LANDASAN AKSIOLOGI..................................................................................
2.4 KOMPONEN AKSIOLOGI..................................................................................
2.5 KEGUNAAN AKSIOLOGI..................................................................................

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................

3.1 KESIMPULAN.....................................................................................................
3.2 SARAN..................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 latar belakang

Filsafat dapat didefinisikan sebagai refleksi rasional, kritis dan radikal mengenai
hal-hal mendasar dalam kehidupan. Refleksi rasional merupakan perenugan ilmiah yang
bersandar pada rasio atau akal dan penalaran. Filsafat merupakan seni bertanya,
mempertanyakan apapun tanpa tabu, mempertanyakan tentang apa yang ada maupun
yang mungkin ada, sehingga filsafat kerap juga disebut berpikir spekulatif. pertanyaan
yang diajukan filsafat memiliki ciri khas yang mendalam. Kedalaman pertanyaan inilah
yang menjadi distingsi antara filsafat dengan ilmu pengetahuan.  

Ilmu merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis, dengan jelas


merumuskan dan menentukan apa yang hendak dikaji, bagaimana cara memperolehnya
dan bagaimana pula nilai kegunaannya. Tiga elemen ini merupakan hal yang mendasari
bangunan ilmu pengetahuan. Apa yang hendak dikaji disebut dengan istilah
ontologi, bagaimana cara memperolehnya disebut dengan epistemologi dan bagaimana
nilai gunanya disebut aksiologi. Oleh karenanya, pengetahuan ilmiah bertujuan untuk
menemukan kerangka konseptual berbagai aspek yang dapat mempermudah manusia
menyelesaikan masalah kehidupan.

  
Rumusan Masalah
1.Apa Makna Aksiologi?
2.Bagaimana Konsep Nilai Dalam Aksiologi?
3.Apa Landasan Aksiologi?
4.Apa Komponen Aksiologi?
5.Apa Kegunaan Aksiologi?
C.Tujuan Penulisan

1.Untuk mengetahui makna aksiologi.


2.Untuk mengetahui konsep nilai dalam aksiologi.
3.Untuk mengetahui landasan aksiologi.
4.Untuk mengetahui komponen aksiologi.
5.Untuk mengetahui kegunaan aksiologi.
BAB IIPEMBAHASANA.
 
Makna Aksiologi

Menurut Kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia, kajian tentang nilai khususnya etika. Nilai digunakan sebagai kata
benda abstrak, dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus.
Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan
segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian. Nilai sebagai kata bendakonkret.
Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk
merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia. Nilai juga dipakai
sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai. Sedangkan
menurut Wikipedia, Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan
bagaimana manusia menggunakan ilmunya Aksiologi adalah istilah yang berasal
dari bahasa Yunani yaitu; axios yang berarti nilai dan logos yang berarti ilmu. Menurut
Joh Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat, nilai merujuk pada pemikiran atau suatu
sistem seperti politik, sosial dan agama. Sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang
berharga, yang diidamkan oleh setiap insan.  
Beberapa definisi tentang aksiologi menurut para ahli :

1.Menurut Suriasumantri, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan
dari pengetahuan yang diperoleh.

2.Menurut Wibisono, aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika
dan moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.

3.Scheleer mengontraskan aksiologi dengan


 praxeology , yaitu suatu teori dasar tentang tindakan tetapi lebih sering dikontraskan
dengan deontology  , yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara moral.

4.Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu
etika dan estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian yang
membicarakan perilaku orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat tentang nilai
dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek.

5.Kattsoff mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelediki


hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Dari definisi
aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai
nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat
mengacu pada masalah etika dan estetika. Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang
bersifat normati
B.Konsep Nilai Dalam Aksiologi

Dalam pembahasan aksiologi, nilai menjadi fokus utama. Nilai dipahami sebagai
pandangan, cita-cita, adat, kebiasaan, dan lain-lain yang menimbulkan tanggapan
emosional pada seseorang atau masyarakat tertentu. Dalam filsafat, nilai akan
berkaitan dengan logika, etika, estetika. Logika akan menjawab tentang persoalan nilai
kebenaran sehingga dengan logika akan diperoleh sebuah keruntutan. Etika akan
berbicara mengenai nilai kebenaran, yaitu antara yang pantas dan tidak pantas, antara
yang baik dan tidak baik. Adapun estetika akan mengupas tentang nilaikeindahan atau
kejelekan. Estetika biasanya erat berkaitan dengan karya seni. Sebuah nilai bisa juga
bersifat subjektif dan objektif akan sangat bergantung pada perasaan dan
intelektualitas yang hasilnya akan mengarah pada perasaan suka atau tidak suka, senang
atau tidak senang. Nilai akan subjektif bila subjek sangat berperan dalam segala hal.
 
Sementara nilai objektif, jika ia tidak bergantung pada subjek atau kesadaran yang
menilai. Seorang ilmuwan diharapkan tidak mempunyai
kecenderungan memiliki nilai subjektif, tetapi lebih pada nilai ‘objektif’
sebab nilai ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sosial. Nilai ini tidak semata-
mata bergantung pada pendapat individu, tetapi lebih pada objektivitas fakta.
Peradaban manusia berkembang sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi.
Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri peradaban
manusia berhutang budi pada sains dan teknologi. Berkat sains dan teknologi
pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah.
Perkembangan ini baik di bidang kesehatan, transportasi, pemukiman, pendidikan, dan
komunikasi telah mempermudah kehidupan manusia. Sejak awal ilmu sudah dikaitkan
dengan tujuan perang. Selain itu, ilmu juga sering dikaitkan dengan faktor kemanusiaan,
di mana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan
kebutuhan manusia, namun sebaliknya manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan
diri dengan teknologi.
C. Landasan Aksiologi
Dalam aksiologis dibicarakan tentang kegunaan ilmu
pengetahuan bagi kehidupan manusia dan juga nilai-nilai yang harus dilembagakan
pada setiap dominannya. Aksiologi pada dasarnya bersifat ide dan karena itu ia abstrak
dan tidak dapat disentuh oleh panca indra. Yang dapat ditangkap dari aspek aksi ologis
adalah materi atau tingkah laku yang mengandung nilai. Karena itu nilai bukan soal
benar atau salah karena ia tidak dapat diuji. Ukurannya sangat subjektif dan objek,
kajiannya adalah soal apakah suatu nilai dekehendaki atau tidak. Berbeda dengan fakta
yang juga abstrak namun dapat diuji dan argumentasi rasional dapat memaksa orang
untuk menerima kebenarannya. Pengukuran benar dan salah dari suatu fakta dapat
dilakukan secara objektif dan empiris.

tidak dapat diuji. Ukurannya sangat subjektif dan objek, kajiannya adalah soal apakah
suatu nilai dekehendaki atau tidak. Berbeda dengan fakta yang juga abstrak
namun dapat diuji dan argumentasi rasional dapat memaksa orang untuk menerima
kebenarannya. Pengukuran benar dan salah dari suatu fakta dapat dilakukan secara
objektif dan empiris. Landasan aksiologis ilmu berkaitan dengan dampak ilmu bagi
umat manusia. Persoalan utama yang mengedepan di sini adalah:
“Apa manfaat(untuk apa) ilmu bagi manusia?”. Dalam konteks ini, dapat ditambahkan
pertanyaan:
“Sejauh mana pengetahuan ilmiah dapat digunakan?”. Dalam hal ini, persoalannya
bukan lagi kebenaran, melainkan kebaikan. Secara epistemologis, persoalan ini berada
di luar batas pengetahuan sains. Menurut Bertens, pertanyaan ini menyangkut etika:
“Apakah yang bisa dilakukan berkat perkembangan ilmu pengetahuan, pada
kenyataannya
 boleh dipraktikkan juga?”. Pertanyaan aksiologis ini bukan merupakan pertanyaan yang
dijawab oleh ilmu itu sendiri, melainkan harus dijawab oleh manusia di balik ilmu itu.
Jawabannya adalah bahwa pengetahuan ilmiah harus dibatasi penggunaannya, yakni
sejauh ditentukan oleh kesadaran moral manusia. Namun, jadi, sejauh mana hak
kebebasan untuk meneliti? Hal ini merupakan permasalahan yang pelik .Pedoman untuk
menguji nilai dipengaruhi oleh psikologi maupun teori logika. Para hedonis menemukan
pedoman mengenai jumlah
atau besarnya kenikmatan yang dirasakan seseorang atau masyarakat
sebagai barometer dari sistem nilai. Kaum Idealis menjadikan sistem objektif 
mengenai norma-norma rasional atau yang paling ideal sebagai kriteria. Dari berbagai
corak aliran ini maka hubungan antara nilai dan fakta dapat diselidiki melalui tiga hal.
 Pertama
, aliran naturalis potsitivisme yang menyatakan tidak ada kaitan antara pengalaman
manusia dengan sistemnilai.
 Kedua
, objektifisme logis yang menyatakan bahwa nilai merupakan esensi logis dan substantif
yang tidak ada kaitannya dengan status atau tindakan eksistensi dalam realitas.
 Ketiga
, aliran objektif metafisis yang menyatakan nilai adalah norma ideal yang mengandung
unsur integral objektif dan aktif dari kenyataan metafisik. Dengan demikian dalam
filsafat aksiologis pembicaraan utama terkait erat dengan kaitan ilmu dan moral. Hal ini
telah lama menjadi bahan pembahasan para pemikir antara lain Merton, Popper, Russel,
dan pemikiran lainnya. Pertanyaan umum yang sering muncul berkenaan dengan hal
tersebut adalah : apakah itu bebas dari sistem nilai ? Ataukah sebaliknya, apakah itu
terikat pada sistem nilai? Ternyata pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban yang
sama dari para ilmuwan. Ada dua kelompok ilmuwan yang masing-masing punya
pendirian terhadap masalah tersebut. Kelompok pertama menghendai ilmu harus
bersifat netral terhadap sistem nilai. Menurut mereka tugas ilmuwan adalah menemukan
pengetahuan ilmiah. Ilmu ini selanjutnya dipergunakan untuk apa, terserah pada yang
menggunakannya, ilmuwan tidak ikut campur. Kelompok kedua sebaliknya berpendapat
bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada

metafisik keilmuwan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek


penelitian, maka kegiatan keilmuwan harus berlandaskan azas-azas moral .Hubungan
antara ilmu dengan moral oleh Jujun S. dikaji secara hati-hati dengan
mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Pandangan Jujun S mengenai hal
tersebut adalah sebagai berikut:
 
Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan moral
maka pembahasan masalah ini harus didekati dari segi-segi yang lebih terperinci yaitu
segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
 
Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor sejarah, baik
sejarah perkembangan ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu dalam lingkup
perjalanan sejarah kemanusiaan.
 
Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek penelaahannya
(objek ontologis/objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah moral yang berazaskan tidak
mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, dan tidak
mencampuri masalah kehidupan.
 
Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metoda keilmuwan yang
berporoskan proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah moral yang berazaskan
menemukan kebenaran, yang dilakukan denganpenuh kejujuran, tanpa kepentingan
langsung tertentu dan berdasarkan kekuatan argumentasian sich

 Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia
dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan memperhatikan kodrat manusia,
martabat manusia, dan keseimbangan/kelestarian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan
dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunaluniversal
D. Komponen Aksiologi1.
 
Etika:
Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahui dan mampu
mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Di dalam etika, nilai  kebaikan dari
tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang
penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung
jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan sebagai sang
pencipta. Dalam perkembangan sejarah etika, ada 4 teori etika sebagai sistem filsafat
moral yaitu hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan pragmatisme. Hedonisme
adalah suatu pandangan yang menganggap bahwa sesuatu yang baik jika mengandung
kenikmatan bagi manusia. Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar
tujuan. Adapun tujuan dari eudemonisme itu sendiri adalah kebahagiaan. Selanjutnya,
utilitarismeyang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para
warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah Ilahi atau melindungi apa yang
disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya, pragmatisme adalah suatu pemikiran yang
menganggap bahwa sesuatu yang baik adalah yang berguna secara praktis dalamkehidu
pan. Ukuran kebenaran suatu teori adalah kegunaan praktis teoriitu, bukan dilihat secara
teoretis. Etika berada dalam setiap faktor kehidupan manusia, meski tidak selalu
dinyatakan secara tertulis, dalam berkomunikasi pun ada etikanya. Namun, mengkaji
masalah etika komunikasi termasuk kajian yang masih teramat luas. Hal ini disebabkan
karena komunikasi
terdiri bebagai konteks komunikasi yang menjadi bagiannya, misalnya,komunikasi antar
personal, komunikasi antar budaya, periklanan humas, jurnalistik, pers, dan sebagainya.
Masing-masing mempunyai etika masing-masing yang satu dengan lainnya tidak
akan sama karena objek kajiannya berbeda.
 
2. Estetika

Estetika akan dikaitkan dengan seni karena estetika lahir dari penilaian manusia tentang
keindahan. Kattsof mengatakan bahwa estetika akan menyangkut perasaan, dan
perasaan ini adalah perasaan indah. Nilai keindahan tidak semata-mata pada bentuk atau
kualitas objeknya, tetapi juga isi atau makna yang dikandungnya. Dengan demikian
sebuah estetika akan ditemukan dalam sisi lahirnya maupun batinnya,
bukan hanya sepihak. Sebagai ilustrasi bahwa wanita
cantik belum tentu indah, karena cantik disini belum tentu menimbulkankesenangan
pada perasaan orang lain. Ilustrasi lain, misalnya
kita bangun pagi, matahari memancarkan sinarnya kita merasa sehat dansecara umum
kita merasakan kenikmatan. Meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah tetapi
kita mengalaminya dengan perasaan nikmat
E. KEGUNAAN AKSIOLOGI

Pemahaman tenaga
kependidikan secara
konprehensif dan sistematis
turut serta dalam
menumbuhkan rasa
kepercayaan diri dalam
melakukan tugas-tugas
profesionalnya. Hal ini
terjadi karena konsep-
konsep ilmiah pendidikan
menerangkan prinsip-prinsip
bagaimana
orang melakukan
pendidikan. Penguasaan
yang mantap terhadap
konsep-konsep ilmiah
pendidikan memberikan
pencerahan tentang
bagaimana melakukan
tugas-tugas
profesional pendidikan.
Apabila hal ini terjadi, maka
seorang tenaga pendidikan
akan dapat bekerja konsisten
dan efisien, karena dilandasi
oleh prinsip-prinsip
pendidikan yang jelas
terbaca dan kokoh.
Tindakan-tindakannya akan
menunjukan arah yang lebih
jelas, dan bentuknya pun
tidak
asal-asalan, tetapi lebih
terpola yang dipilih
berdasarkan pertimbangan
prinsip-prinsip
pendidikan yang diyakini
dan dianutnya.
Pemahaman tenaga kependidikan secara konprehensif dan sistematis turut serta
dalam menumbuhkan rasa kepercayaan diri dalam melakukan tugas-tugas
profesionalnya. Hal ini terjadi karena konsep-konsep ilmiah pendidikan
menerangkan prinsip-prinsip bagaimana orang melakukan pendidikan. Penguasaan
yang mantap terhadap konsep-konsep ilmiah pendidikan memberikan pencerahan
tentang bagaimana melakukan tugas-tugas profesional pendidikan.
Apabila hal ini terjadi, maka seorang tenaga pendidikan akan dapat bekerja
konsisten dan efisien, karena dilandasi oleh prinsip-prinsip pendidikan yang jelas
terbaca dan kokoh. Tindakan-tindakannya akan menunjukan arah yang lebih jelas,
dan bentuknya pun tidak asal-asalan, tetapi lebih terpola yang dipilih berdasarkan
pertimbangan prinsip-prinsip pendidikan yang diyakini dan dianutnya.

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan, maka kesimpulan penulisan makalah ini adalah :
Dengan mengetahui dimensi aksiologi dalam pengembangan ilmu menunjukkan
bahwa Cakupan obyek filsafat lebih luas dibandingkan dengan ilmu, karena ilmu
hanya terbatas pada persoalan yang empiris saja, sedangkan filsafat mencakup yang
empiris dan yang non empiris. Karena itulah, filsafat disebut sebagai induk ilmu.
Dengan menganalisis etika dan estetika keilmuan dalam aksiologi menunjukkan
bahwa fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan
datang atau memberi pemaknaan bahwa etika sebagai prinsip atau standar perilaku
manusia, yang kadang – kadang disebut dengan moral. Kegiatan menilai dibangun
berdasarkan toleransi atau ketidakpastian. Hal ini berlaku dalam semua ilmu,
termasuk ilmu eksakta. Perubahan ilmu dilandasi oleh prinsip toleransi.
Dengan menganalisis fungsi matematika dalam aksiologi menunjukkan bahwa
Matematika sebagai ilmu dasar, dipergunakan dalam berbagai bidang ilmu, baik
matematika sebagai pengembangan aljabar maupun statistik. Matematika dalam ilmu
sosial juga dikembangkan sebagai sosiometri, psychometric, ekonometri, dan
sebagainya.

B. KEPUSTAKAAN
Abuddin Nata,  Manajemen Pendidikan,  (Jakata: Kencana, 2008)
Ahmad Tafsir, filsafat ilmu, (Bandung:Rosdakarya, 2006)
Aksiologi Ilmu, dalam http://adikke3ku.wordpress.com/2012/02/110/aksiologi-
ilmu diakses tanggal 25 April 2018
Djuberansyah Indar, Filsafat Pendidikan (Surabaya: Karya Abdi Tama, 1994)
Filsafat Pendidikan, dalam
http://dedihendriana.wordpress.com/2012/02/10/filsafat-pendidikan, di akses tanggal 17
September 2012
Hadi Masruri, filsafat sains dalam Al Qur’an, (Malang: UIN Malang Press, 2007)
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Pengantar Mengenai Sistem dan Metode.
Yogyakarta: Andi Offset, 1990)
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta: Baya Madya Pratama.
1997)
K. Bertens. Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000)
S. Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1996)
Sahabuddin, Filsafat Pendidikan suatu Pengantar kedalam Pemikiran,
Pemahaman, dan Pengamalan Pendidikan Bersendikan Filsafat (Ujung Pandang:
Program Pascasarjana IKIP, 1997
Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
1986)
Pemahaman tenaga
kependidikan secara
konprehensif dan sistematis
turut serta dalam
menumbuhkan rasa
kepercayaan diri dalam
melakukan tugas-tugas
profesionalnya. Hal ini
terjadi karena konsep-
konsep ilmiah pendidikan
menerangkan prinsip-prinsip
bagaimana
orang melakukan
pendidikan. Penguasaan
yang mantap terhadap
konsep-konsep ilmiah
pendidikan memberikan
pencerahan tentang
bagaimana melakukan
tugas-tugas
profesional pendidikan.
Apabila hal ini terjadi, maka
seorang tenaga pendidikan
akan dapat bekerja konsisten
dan efisien, karena dilandasi
oleh prinsip-prinsip
pendidikan yang jelas
terbaca dan kokoh.
Tindakan-tindakannya akan
menunjukan arah yang lebih
jelas, dan bentuknya pun
tidak
asal-asalan, tetapi lebih
terpola yang dipilih
berdasarkan pertimbangan
prinsip-prinsip
pendidikan yang diyakini
dan dianutnya.
Pemahaman tenaga
kependidikan secara
konprehensif dan sistematis
turut serta dalam
menumbuhkan rasa
kepercayaan diri dalam
melakukan tugas-tugas
profesionalnya. Hal ini
terjadi karena konsep-
konsep ilmiah pendidikan
menerangkan prinsip-prinsip
bagaimana
orang melakukan
pendidikan. Penguasaan
yang mantap terhadap
konsep-konsep ilmiah
pendidikan memberikan
pencerahan tentang
bagaimana melakukan
tugas-tugas
profesional pendidikan.
Apabila hal ini terjadi, maka
seorang tenaga pendidikan
akan dapat bekerja konsisten
dan efisien, karena dilandasi
oleh prinsip-prinsip
pendidikan yang jelas
terbaca dan kokoh.
Tindakan-tindakannya akan
menunjukan arah yang lebih
jelas, dan bentuknya pun
tidak
asal-asalan, tetapi lebih
terpola yang dipilih
berdasarkan pertimbangan
prinsip-prinsip
pendidikan yang diyakini
dan dianutnya.
Pemahaman tenaga
kependidikan secara
konprehensif dan sistematis
turut serta dalam
menumbuhkan rasa
kepercayaan diri dalam
melakukan tugas-tugas
profesionalnya. Hal ini
terjadi karena konsep-
konsep ilmiah pendidikan
menerangkan prinsip-prinsip
bagaimana
orang melakukan
pendidikan. Penguasaan
yang mantap terhadap
konsep-konsep ilmiah
pendidikan memberikan
pencerahan tentang
bagaimana melakukan
tugas-tugas
profesional pendidikan.
Apabila hal ini terjadi, maka
seorang tenaga pendidikan
akan dapat bekerja konsisten
dan efisien, karena dilandasi
oleh prinsip-prinsip
pendidikan yang jelas
terbaca dan kokoh.
Tindakan-tindakannya akan
menunjukan arah yang lebih
jelas, dan bentuknya pun
tidak
asal-asalan, tetapi lebih
terpola yang dipilih
berdasarkan pertimbangan
prinsip-prinsip
pendidikan yang diyakini
dan dianutnya.

Anda mungkin juga menyukai