Manajemen
Vol 07. No.
7
TAJUK RENCANA
4
Kartu Deteksi Dini Kanker untuk Keluarga. Sebuah Model Kartu Deteksi Dini Penyakit
MAKALAH KEBIJAKAN
Kepuasan Pasien Rumah Sakit (Tinjauan Teoritis dan Penerapannya pada Penelitian)
Jurnal Manajemen Pelayanan
ARTIKEL PENELITIAN
Pengetahuan, Sikap dan Persepsi Koasisten tentang Kebijakan Dokter Pegawai Tidak Tetap
(Dokter PTT) di Tiga Fakultas Kedokteran di Jawa Barat
Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen Karyawan terhadap Kepuasan Kerja
di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta
RESENSI BUKU
Manajemen
Pelayanan Kesehatan
The Indonesian Journal of Health Service Management
Volume 07/Nomor 04/Desember/2004
Daftar Isi:
TAJUK RENCANA:
IM Sunarsih Kartu Deteksi Dini Kanker untuk Keluarga Sebuah Model Kartu Deteksi
Dini Penyakit 177
MAKALAH KEBIJAKAN
Siswanto Pendekatan Politik sebagai Strategi dalam Advokasi Pembangunan
Sulanto Saleh Danu Kesehatan 181
Chriswardani Suryawati Kepuasan Pasien Rumah Sakit (Tinjauan Teoritis dan Penerapannya pada
Penelitian) 189
ARTIKEL PENELITIAN
Nugraha Wendy Freely Pengetahuan, Sikap dan Persepsi Koasisten tentang Kebijakan Dokter
Arisanti Nita Pegawai Tidak Tetap (Dokter PTT) di Tiga Fakultas Kedokteran di
Jawa Barat 195
Nurulhayah Status Profesi, Lama Kerja, Kemampuan Berbahasa Daerah dan Kinerja
Mubasysyir Hasanbasri Kepala Puskesmas: Analisis Survei Kesehatan dan Keluarga Indonesia 2000
211
Qurratul Aini Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen Karyawan terhadap
Sito Meiyanto Kepuasan Kerja di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta 223
Andreasta Meliala
RESENSI BUKU
Yvonne Dewikarini Reformasi Perumahsakitan Indonesia 229
i
JMPK Vol.
Tajuk Tajuk
TAJUK RENCANA
IM Sunarsih
Magister Manajemen dan Kebijakan Obat, FK UGM, Yogyakarta
K
esehatan merupakan hak dasar pemulihan kesehatan (rehabilitasi) yang
manusia dan merupakan faktor yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan
sangat menentukan kualitas sumber berkesinambungan. Dalam pendekatan primary
daya manusia.1 Oleh karena itu, kesehatan perlu health care sebagai strategi untuk mencapai
dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya serta “kesehatan untuk semua” ada hal mendasar yang
dilindungi dari ancaman yang merugikan. Telah perlu perhatian yaitu:
dilakukan berbagai upaya promosi kesehatan ● dari pelayanan yang bersifat kuratif-
untuk pemberdayaan masyarakat yang membuat rehabilitatif menjadi pelayanan yang
individu atau masyarakat mampu meningkatkan mengutamakan promotif-preventif tanpa
kendali terhadap berbagai aspek kehidupan melupakan kuratif- rehabilitatif
yang mempengaruhi kesehatan. Namun, ● dari bekerja untuk masyarakat menjadi
data menunjukkan masih banyak pasien datang bekerja untuk dan bersama masyarakat
ke pelayanan kesehatan dalam keadaan yang dalam meningkatkan derajat kesehatan
lanjut. masyarakat.
Pada dasarnya keluarga sebagai kelompok ● dari pendekatan patient oriented menjadi
terkecil masyarakat mampu untuk mengenali dan pendekatan community oriented.
mengatasi masalah kesehatannya sendiri, baik
melalui upaya yang dilaksanakan sendiri maupun Ketiga hal di atas memerlukan peran aktif
melalui pertolongan dari petugas terkait. Daya keluarga untuk melaksanakannya. Peran akan
keluarga inilah perlu dipupuk, dikembangkan agar semakin optimal apabila keluarga memperoleh
masalah kesehatan dapat teratasi sampai ke informasi kesehatan yang tepat, mempunyai
akarnya mulai dari dan oleh keluarga. Oleh pengetahuan dan kemauan untuk memelihara
karena itulah keluarga perlu didorong, serta melindungi kesehatannya, dan
dimotivasi, dan dibangkitkan kesadarannya mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat.
akan potensi yang dimiliki serta upaya untuk Kurangnya pengetahuan dan kemauan akan hal
mengembangkannya. Filosofi yang mendasari tersebut menyebabkan masyarakat sulit untuk
yaitu setiap keluarga atau masyarakat mengetahui keadaan kesehatannya atau tidak
mempunyai hak dan potensi untuk menentukan mau diperiksa dan diobati penyakitnya,
sendiri tindakan-tindakan yang berkaitan sehingga masyarakat tidak akan memperoleh
dengan kesehatannya. Dalam Undang- Undang pelayanan kesehatan yang layak. Oleh karena
Nomor 23 Tahun 1992 kesehat an itu, ada hal- hal yang diperlukan dalam
menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai pemberdayaan keluarga yaitu peningkatan
hak yang sama dalam memperoleh derajat pengetahuan masyarakat untuk mengetahui
kesehatan yang optimal. Namun, setiap orang kesehatannya sendiri, perubahan sikap, dan
berkewajiban untuk ikut serta dalam perilaku.
memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan perseorangan, keluarga dan PEMBERDAYAAN
lingkungannya. Untuk mewujudkan derajat MASYARAKAT
kesehatan yang optimal bagi masyarakat, Penyuluhan dan pelatihan merupakan upaya
diselenggarakan upaya kesehatan dengan meningkatkan peran keluarga dalam perubahan
pendekatan pemeliharaan dan peningkatan perilaku dan mengetahui kesehatannya sendiri.
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit Upaya efektif dapat dilakukan memanfaatkan
(preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan
177 177
JMPK Vol.
Tajuk Tajuk
jalur yang telah ada yang dapat sampai ke
kelompok
178 178
JMPK Vol.
Tajuk Tajuk
paling kecil yaitu melalui Pemberdayaan 5. Andeng-andeng (tahi lalat) yang berubah
Kesejahteraan Keluarga (PKK). Gerakan sifatnya, menjadi makin besar dan gatal.
pemberdayaan kesejahteraan keluarga bertujuan 6. Darah atau lendir yang tidak normal keluar
untuk mewujudkan atau meningkatkan dari lubang-lubang tubuh.
kesejahteraan keluarga dengan 10 program 7. Adanya koreng atau borok yang tidak mau
pokoknya. Keberadaan lembaga ini telah sampai sembuh.
di desa atau kelurahan. Kelompok-kelompok PKK
ada di dusun, lingkungan RW, RT serta kelompok Tanda awas kanker dalam KDDK tersebut
dasawisma. Kelompok dasawisma inilah merupakan tanda-tanda yang dengan mudah
diharapkan menjadi ujung tombak untuk dapat terlihat oleh orang awam, yang perlu
kesejahteraan keluarga, khususnya di bidang diwaspadai sebagai gejala penyakit kanker. Kartu
kesehatan. Pesan apapun dapat diberikan lewat ini dapat diisi oleh semua orang dengan sangat
alur PKK. Pada kelompok terkecil PKK adalah mudah, sehingga diharapkan gejala kanker akan
dasawisma yang mempunyai kesempatan untuk dapat ditemukan oleh warga sendiri dan dapat
bertemu pada setiap bulan sekali dengan warga, segera dilakukan tindak lanjut pemeriksaan
dapat diberikan penyuluhan dengan melibatkan medis sebagai kewaspadaan yang perlu
kader yang ada dan dari puskesmas setempat. dilakukan. Ini adalah cara yang sangat sederhana
pada saat ini, yang dapat dilakukan untuk
MEMERIKSA KESEHATAN SENDIRI mengungkap adanya penderita baru penyakit
Sangat ideal apabila anggota keluarga dapat kanker oleh dan untuk masyarakat atau dengan
mengetahui kondisi kesehatannya sendiri dengan kata lain pemberdayaan masyarakat.
cara yang sederhana. Banyak informasi yang Proses penggunaan KDDK memerankan
telah dikembangkan melalui leaflet dan media masyarakat dan sekaligus melakukan penyuluhan
massa, bagaimana pencegahan suatu pada masyarakat. Proses tersebut dimulai
penyakit dan mengetahui secara dini kondisi dengan memberikan penyuluhan tentang kanker
kesehatannya. Contohnya gejala demam kepada kader dusun, kepala dusun dan kepala
berdarah, malaria, TBC, HIV/AIDS, narkoba dan desa. Di sini peran PKK sangat dominan agar
sebagainya, sehingga keluarga secara dini kader dapat melaksanakan tugasnya dengan
dapat melakukan upaya sendiri maupun upaya baik. Setelah itu, informasi diteruskan oleh kader
mendapatkan pertolongan tenaga kesehatan. dusun kepada kepala keluarga di dusunnya
Informasi serupa banyak dilakukan melalui masing-masing, dibantu oleh tenaga medis
penyuluhan, seminar, dan sebagainya. Namun, dan para medis puskesmas. Dari proses ini
sering belum dapat diketahui sejauh mana telah terjadi suatu proses pemahaman dan
pemahaman dan pelaksanaan kegiatan dalam peningkatan pengetahuan tentang kanker dan
penanggulangan penyakit. penanggulangannya sebelum melakukan aksi
pengisian kartu. Kartu dibagikan kepada masing-
KARTU DETEKSI DINI KANKER UNTUK masing kepala keluarga dan dikumpulkan oleh
KELUARGA kader.
Masyarakat yang telah sadar akan Anggota keluarga yang mempunyai tanda
kesehatannya, perlu dibekali sarana untuk awas kanker, dengan didampingi oleh kader dari
mengetahui kesehatannya sendiri. Salah satu dusun setempat diperiksa oleh dokter
yang pernah dikembangkan adalah penggunaan puskesmas. Bila diperlukan, dilakukan
Kartu Deteksi Dini Kanker untuk keluarga pemeriksaan penegakan diagnosis dengan
(KDDK). Kartu Deteksi Dini Kanker (KDDK) ini papsmear, biopsi jarum halus, mammografi, dan
diciptakan oleh dr. Akmal Hanafi seorang dokter lain sebagainya di puskesmas maupun di rujuk ke
spesialis obstetri dan ginekologi yaitu kartu yang tempat lain. Dengan demikian, penegakan
berisi 15 tanda awas kanker. Kelima belas tanda diagnosis dapat dilakukan secara tepat dan akan
awas kanker tersebut sebenarnya terjemahan dapat ditemukan warga yang mempunyai sel-sel
sederhana dari WASPADA. WASPADA adalah yang menunjukkan keganasan atau kanker.
istilah yang mudah diingat oleh awam untuk Hasil penelitian Sunarsih, dkk.2,
mengetahui 7 gejala kanker, yaitu: pemberdayaan masyarakat dalam penemuan dini
1. Waktu buang air besar atau kecil ada kanker dengan penggunaan KDDK di 7 dusun
perubahan kebiasaan atau gangguan. Desa Ngalang menunjukkan bahwa dari 3.990
2. Alat pencernaan terganggu dan susah penduduk terdapat sejumlah 476 warga dengan
menelan. tanda awas kanker atau 11,93%-nya. Dari hasil
3. Suara serak atau batuk yang tidak sembuh. penelitian tersebut terdapat 35 wanita dengan
4. Payudara atau di tempat lain ada benjolan. benjolan di payudara yang dinamakan sebagai
tanda awas kanker payudara. Menurut penelitian
Sunarsih, dkk.3, dari
179 179
JMPK Vol.
Tajuk Tajuk
35 orang tersebut ditemukan sebanyak 3 orang
180 180
Tajuk Tajuk
181 181
Tajuk Tajuk
Informasi tambahan:
1. Bila menemukan tanda – tanda tersebut bukan berarti anda menderita kanker tetapi awas
kemungkinan kanker, periksakan segera ke puskesmas, bidan, dokter/rumah sakit.
2. Apakah ibu – ibu sudah melaksanakan Papsmear: Ya/Tidak
Bila Ya, hasilnya …………………………………………………………………………………..............
3. Apakah sudah melaksanakan SADARI: Ya/Tidak
Bila Ya, hasilnya …………………………………………………………………………………..............
4. Apakah sudah melaksanakan rontgen: Ya/Tidak
Bila Ya, hasilnya …………………………………………………………………………………..............
182 182
JMPK Vol. Politik sebagai
Pendekatan Pendekatan Politik sebagai
Siswanto
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Surabaya
ABSTRACT
183 183
JMPK Vol. Politik sebagai
Pendekatan Pendekatan Politik sebagai
kesehatan, perlu mengenal pendekatan politik memainkan power-nya masing-masing (lihat
guna memenangkan konteks pembangunan sumber power).
nasional tersebut. Dalam konteks advokasi pembangunan
Makalah ini akan mencoba mengupas kesehatan, tentunya perebutan kepentingan ini
bagaimana pendekatan politik dapat dipakai dapat dibagi dalam beberapa tingkatan. Tingkat
sebagai strategi dalam advokasi pembangunan pertama terjadi dalam unit satuan organisasi.
kesehatan. Dalam makalah ini akan dibahas Misal, dalam satuan organisasi Puslitbang akan
sesuai sistematika: (i) beberapa pengertian, (ii) terjadi perebutan kepentingan antarpeneliti
prinsip dasar untuk mempengaruhi, (iii) dan antarbidang atau bagian. Tingkat kedua
kekuatan mempengaruhi, (iv) analisis terjadi antarunit satuan organisasi. Misal,
stakeholders, (v) penyusunan rencana kerja perebutan sumber daya antara Badan
advokasi, dan (vi) kesimpulan. Litbangkes dan Ditjen- Ditjen. Tingkat ketiga
terjadi antarsektor. Misal, antara sektor
PENGERTIAN kesehatan versus sektor pendidikan. Dalam
Sebelum membahas strategi politik dalam berebut kepentingan tersebut, masing- masing
advokasi, berikut akan dikemukan pengertian aktor, baik secara individual maupun kelompok
advokasi dan politik. Advokasi menurut Webster akan saling memainkan power-nya masing-
Encyclopedia Unabridge Dictionary of English masing untuk melegitimasi kepentingannya.
Language1 adalah Act of pleading for supporting Namun, juga harus dipahami bahwa
or recommending active espousal (suatu tindakan pendekatan politik bukanlah satu-satunya
pembelaan untuk mendapatkan dukungan atau pendekatan dalam advokasi. Pendekatan politik
rekomendasi dukungan aktif). dapat dianggap sebagai muara dari beberapa
Secara lebih operasional, WHO 1 memberi pendekatan yang sudah ada, seperti, public
pengertian berikut: health, kedokteran, ekonomi, dan sosial.3
Pendekatan public health dan kedokteran
"advocacy is a combination on individual and penting untuk mengidentifikasi atau menemukan
social action design to gain political
commitment, policy support, social acceptance
intervensi yang tepat, pendekatan ekonomi
and systems support, for particular health goal penting untuk menyatukan bahasa (bahasa
or programme. Such action may be taken by uang) dan pendekatan sosial akan sangat
and on behalf of individual and group to create penting untuk melihat bagaimana masyarakat
living condition which are condusive to health memberi makna upaya pembangunan kesehatan.
and the achievement of healthy life style".
Dengan demikian, fokus pembahasan dalam
makalah ini adalah strategi advokasi
Jadi, advokasi adalah kombinasi antara
pembangunan kesehatan dengan menggunakan
pendekatan atau kegiatan individu dan sosial,
pendekatan politik, dalam artian seni (art) untuk
untuk memperoleh komitmen politik, dukungan
mempengaruhi aktor lain (stakeholders) guna
kebijakan, penerimaan sosial, dan adanya
memenangkan kepentingan pembangunan
sistem yang mendukung suatu program atau
kesehatan.
kegiatan.
Politik didefinisikan oleh Dahl2, setiap pola
PRINSIP DASAR MEMPENGARUHI
hubungan antarmanusia yang kokoh dan
Kemampuan untuk mempengaruhi
melibatkan secara cukup mencolok, kendali,
stakeholders agar mendukung ide-ide kita,
pengaruh, kekuasaan, dan kewenangan (power).
dalam hal ini kepentingan pembangunan
Dengan menggunakan definisi ini, dapat
kesehatan, sesungguhnya suatu seni (art) yang
dikatakan bahwa politik tidak hanya terjadi pada
memerlukan pengetahuan dan pemahaman
sistem pemerintahan. Politik juga terjadi pada
yang bersifat multidisipliner. Keberhasilan
klub-klub pribadi, badan usaha, organisasi
mempengaruhi ini akan semakin sulit apabila
keagamaan, kelompok suku primitif, marga, dan
aktor-aktor lain juga mempunyai kepentingan
bahkan pada unit keluarga.
sendiri dengan argumentasi masing-masing.
Pusat analisis politik adalah bagaimana
Secara realitas akan terjadi perebutan
seorang aktor dapat mempengaruhi aktor lain,
antarindividu dalam unit satuan organisasi,
sehingga aktor lain tersebut menuruti kemauan
antarorganisasi dalam satu sektor, bahkan
aktor pertama. Dalam konteks saling
antarsektor.
mempengaruhi ini, tiap-tiap aktor akan saling
Secara sederhana, prinsip dasar
beradu kekuatan untuk memenangkan
mempengaruhi stakeholders untuk
kepentingan, dengan taktik
memenangkan kepentingan dapat digambarkan
sebagai berikut.
184 184
Pendekatan Politik sebagai Pendekatan Politik sebagai
Stakeholders
Bahasa Sense-
Ritual making
Bahasa Aksi
Komunikasi
POWER
Advokator Komitmen Politik
Dukungan
Asumsi dasar yang harus dipegang dalam advokasi. Isi pesan haruslah menunjukkan fact
melakukan advokasi kepada stakeholders adalah find- ing yang meyakinkan, disajikan secara lugas,
sebuah paradigma bahwa stakeholders adalah tetapi harus tetap menjaga validitas data.
“bukan bawahan kita”. Jadi, apa yang dapat Misalnya, dalam advokasi program stop rokok,
dilakukan hanyalah sebatas mempengaruhi kita bisa mempengaruhi pemerintah dengan
mereka untuk memahami kepentingan kita. menunjukkan data berapa kerugian sosial akibat
Dalam mempengaruhi ini kita harus sakit karena perilaku merokok. Kalau kita mampu
menggunakan taktik dan strategi yang tepat. menunjukkan data bahwa biaya kerugian akibat
Agar isu atau pilihan kebijakan yang kita industri rokok melampaui manfaatnya, maka data
angkat mendapatkan komitmen politik dan tersebut akan ampuh untuk mendukung kebijakan
dukungan kebijakan (making-sense), maka dalam program stop rokok.
hubungan antara advokator dan stakeholders
pada proses advokasi perlu memperhatikan 3. Bahasa
hal-hal sebagai berikut.1,5 Dalam konteks bahasa, tidak hanya
menyangkut pemilihan bahasa dalam artian yang
1. Latar Belakang Penerima Advokasi sebenarnya tetapi juga menyangkut pemilihan
Sebagaimana sudah disebut di depan bahwa “senjata” yang tepat untuk sasaran advokasi yang
advokasi untuk kebijakan, pada dasarnya adalah tepat pula. Yang dimaksud memilih "senjata"
mempengaruhi stakeholders agar ia atau mereka yang tepat di sini adalah bagaimana cara
mau menuruti kehendak atau kemauan kita. Agar mengemas informasi sedemikian rupa, sehingga
pesan yang kita sampaikan dapat legitimate di informasi yang disampaikan dapat legitimate
mata stakeholders, isi pesan dan bahasa dalam perspektif atau cara pandang penerima
haruslah disesuaikan dengan cara pandang advokasi. Sebagai contoh, mempengaruhi
(mental model) dari penerima advokasi. Mental Pemda untuk mengalokasikan pembiayaan
model seseorang akan sangat dipengaruhi oleh yang lebih besar pada program upaya kesehatan
faktor-faktor pribadi (pendidikan, pengalaman masyarakat, maka analisis biaya-manfaat
hidup, kepribadian, agama, ideologi, dan upaya kesehatan masyarakat versus upaya
kepentingan seseorang) dan budaya masyarakat. kesehatan perorangan, akan lebih mampu
Faktor-faktor pribadi tersebut penting untuk meyakinkan legislatif dan eksekutif daripada
diperhatikan agar kita mampu menyesuaikan isi dengan analisis kematian dan kesakitan.
pesan dan bahasa agar mampu
‘membujuk’ penerima advokasi. Misalnya, untuk 4. Sumber atau Pembawa Pesan
mempengaruhi bupati atau walikota dengan latar Untuk menyampaikan gagasan atau
belakang seorang ekonom, maka ada baiknya informasi yang menyangkut perubahan
pesan "dibungkus" dengan bahasa ekonomi. kebijakan, perlu memanfaatkan narasumber
yang kredibel, sehingga mampu “membius”
2. Isi Pesan penerima advokasi. Misalkan, dalam rangka
Isi pesan harus diformulasikan sedemikian perubahan kebijakan dari rumah sakit tipe
rupa, sehingga mampu membujuk sasaran birokrasi menuju rumah sakit
185 185
Pendekatan Politik sebagai Pendekatan Politik sebagai
swadana, maka health economist dari luar dapat Dari Gambar 2, terlihat apa yang dimaknai
dijadikan narasumber untuk mempengaruhi seseorang (penerima advokasi) tentang suatu
legislatif dan eksekutif. Para ahli dari luar bisanya stimulus (bahan advokasi), sangat bergantung
akan lebih diapresiasi daripada ahli dari dalam kepada mental model seseorang. Selanjutnya,
institusi. mental model sangat dipengaruhi oleh faktor
pribadi (pengalaman, pendidikan, agama,
5. Format atau forum keyakinan, kepribadian, dan bahkan kepentingan
Beberapa format dipilih untuk melakukan seseorang) dan faktor budaya masyarakatnya.
advokasi dalam rangka perubahan kebijakan atau Oleh karena itu, pemilihan isi pesan, pengemasan
pembahasan isu tertentu. Misalkan, seminar atau bahasa, pemilihan format dan waktu, sedapat
presentasi, lobi, negosiasi, penggunaan media, mungkin menyesuaikan dengan faktor pribadi dan
atau melalui asosiasi peminat. budaya penerima advokasi.
Saya
Jenjang mengam
Pemaknaan bil
tind a k a n
b er d
Saya men men asarka n
g - a d o psi key akin an-
k e y a kin a n - key akin an
k e- y a kin an say a
t ent an
Saya g
men d uni a
arik
k esim p ul an
Saya me m b u
a t asumsi-
asumsi b er d
asarkan
m akn a- m akn a y
Saya g
say a t a m b a hk
an
m e n a m b ahk
an m a kn a - m
a kn a (bud aya
d an Putaran refleksif
lih prib adi)
Saya m e milih (keyakin a n kit
“Data” d ari a p a
a y an g say a a
m a ti
m e m p e n g aruhi d
a t a a p a ya n g kit a
“D at a” dan pengalam an pilih di lain w aktu
yang dap at diam ati
(se p erti y an g bisa dit an gk
ap Chris Argyris 6
ol eh se bu a h vi d e o t Chris Argyris,
a p e re c ord er)
186 186
Pendekatan Politik sebagai Pendekatan Politik sebagai
Berbagai macam power yang dapat Apabila kita lihat sumber-sumber kekuatan
digunakan oleh advokator untuk mempengaruhi dari nomor 1 sampai dengan nomor 8, maka
stakeholders di antaranya adalah 7,8: kedudukan
1. Position power (authority). Dengan jabatan
tertentu maka seseorang akan mempunyai
kekuasaan formal tertentu sesuai dengan
jabatannya. Untuk meyakinkan instansi lain,
maka seorang kepala tentunya mempunyai
pengaruh lebih besar daripada kepala seksi.
2. Informasi dan keahlian . Power akan
mengalir deras pada orang yang menguasai
informasi dan pengetahuan (keahlian). Oleh
karena itu, inisiasi perubahan lebih sering
berawal dari tekanan para ahli di perguruan
tinggi daripada birokrat.
3. Pengaturan akan sumber daya (resources).
Posisi orang yang memegang kunci pada
pengaturan resources akan kuat untuk
mempengaruhi pihak lain. Misalnya, Staf
Ditjen Anggaran akan mempunyai daya tawar
yang tinggi pada saat pembahasan
pendanaan proyek.
4. Kekuatan pemaksa. Orang yang mempunyai
kekuatan pemaksa juga memegang kunci
untuk menaklukkan pihak lawan.
Misalnya, pemogokan oleh asosiasi dokter,
tentunya akan mampu melumpuhkan aktivitas
rumah sakit.
5. Aliansi dan jaringan. Adanya aliansi dan
jaringan yang kuat dengan pihak lain akan
memberikan kekuatan kepada seseorang
untuk mempengaruhi pihak lain. Dengan
aliansi dan jaringan seseorang akan dengan
mudah mendapatkan dukungan dari para
sekutunya.
6. Akses terhadap agenda. Akses terhadap
keputusan tentang agenda apa yang akan
dibahas, juga merupakan power yang kuat
untuk menggagalkan agenda pihak lain dan
menggolkan agenda kita. Dalam organisasi,
posisi sekretaris seringkali menentukan
seleksi terhadap agenda.
7. Kontrol terhadap pemaknaan dan simbol.
Kontrol terhadap pemaknaan dan simbol
penting untuk mempertahankan “unitas”
pemaknaan. Advokator yang efektif haruslah
mampu mendoktrinasi pihak lain tentang
keyakinan dan pemaknaan yang ia tawarkan.
Para kyai, misalnya, mempunyai kemampuan
yang hebat untuk menjaga unitas
pemaknaan.
8. Karisma . Seseorang yang mempunyai
karisma tinggi, maka secara fisik,
penampilan, serta kepribadiannya akan
mampu “membius” pihak lain untuk menuruti
kemauannya.
187 187
Pendekatan Politik sebagai Pendekatan Politik sebagai
hierarkis dalam organisasi (authority), hanyalah
salah satu dari sekian banyak sumber kekuatan.
Sementara itu, sumber-sumber kekuatan yang
lain bersifat lebih terbuka, dalam arti siapapun
dapat meningkatkan kekuatannya untuk
saling mempengaruhi dengan aktor lainnya.
Dengan demikian, advokator yang efektif
haruslah secara terus-menerus mendongkrak
berbagai sumber kekuatan guna meyakinkan
pihak lain untuk memenangkan kepentingannya.
ANALISIS STAKEHOLDERS
Politik selalu menyangkut pola hubungan
antaraktor untuk berebut pemaknaan dan
kepentingan, dengan menggunakan power-nya
masing-masing (lihat sumber power). Untuk itu,
dalam perspektif politik, apabila ingin
mempengaruhi stakeholders untuk mengegolkan
kebijakan tertentu, maka perlu melakukan analisis
stakeholders guna mendapatkan peta (mapping)
dari stakeholders yang ingin dipengaruhi.
Dalam analisis stakeholders, setidaknya ada
dua domain penting untuk dipelajari. Pertama,
menyangkut domain kepentingan, baik
kepentingan overt maupun kepentingan covert.
Kedua, menyangkut domain posisi stakeholders
dalam kaitannya dengan isu yang kita angkat
termasuk tingkat kekuatannya.
Kepentingan overt adalah tujuan idealistik
seseorang dikaitkan dengan organisasi tempat ia
menginduk, yang notabene steril dari kepentingan
pribadi. Misalnya, tujuan overt dari Departemen
Kesehatan adalah Indonesia Sehat 2010. Tujuan
overt Badan Litbang adalah menghasilkan
informasi sahih untuk masukan kebijakan
pembangunan kesehatan. Jelasnya, kepentingan
overt adalah tujuan sakral dari organisasi.
Sebaliknya, kepentingan covert adalah tujuan-
tujuan sempit dari masing-masing aktor yang
sarat dengan kepentingan pribadi. Sesuai
dengan namanya, tujuan covert jarang terpapar
secara publik. Tujuan covert hanya muncul
pada pembicaraan informal di kalangan
kelompoknya. Contoh, tujuan covert dari para
peneliti pada proyek penelitian adalah
menambah angka kredit dan mendapatkan
keuntungan finansial.
Dalam menganalisis stakeholders,
memprediksi tujuan-tujuan overt dan covert dari
para aktor sangat penting. Dengan mengetahui
mapping tujuan overt dan covert dari para aktor
yang ingin kita pengaruhi, kita akan mudah
menyesuaikan bahasa dan konsesi-konsesi
yang harus kita berikan, dalam negosiasi dan
dalam rangka memenangkan kepentingan kita.
Domain kedua dari analisis stakeholders
adalah mapping aktor, kaitannya dengan posisi
188 188
Pendekatan Politik sebagai Pendekatan Politik sebagai
aktor terhadap agenda yang kita angkat. Yang berbeda dengan agenda advokasi kita.
dimaksud posisi di sini adalah seberapa jauh Ketidaksepahaman ini dapat dipakai sebagai
keberpihakan aktor terhadap agenda yang kita dasar untuk menyusun argumen-argumen
angkat. advokasi kita. Musuh pada satu isu tertentu,
Berkaitan dengan posisi stakeholders misal, ketidaksetujuan akan peningkatan
terhadap isu atau agenda yang kita angkat, maka alokasi anggaran kesehatan, boleh jadi mitra
stakeholders dapat dikelompokkan menjadi pada isu lainnya, misal, setuju agar tarif rumah
empat, yaitu 9: sakit disesuaikan atau dinaikkan. Menentukan
a) Pembuat keputusan (stakeholders kunci) profil musuh, termasuk argumen-argumen yang
b) Beneficiaries (stakeholders primer) mereka kemukakan, penting untuk menyusun
c) Mitra (stakeholders sekunder) counter- argument berdasarkan data dan
d) Musuh/lawan penelitian mutakhir.
Hal-hal yang perlu dipersiapkan untuk
Pembuat keputusan atau stakeholders memastikan bahwa kita siap menghadapi oposisi
kunci adalah mereka yang mempunyai otororitas (lawan), yaitu:
untuk bertindak melakukan perubahan atau - Identifikasi musuh dan kekuatan musuh,
menetapkan kebijakan baru. Mengingat advokasi - Kumpulkan informasi tentang mereka (sikap,
berhubungan dengan perubahan undang-undang, bidang kerja, kualifikasi, pendidikan, agama,
peraturan, kebijakan, program dan praktik budaya interest pribadi atau tujuan covert, dan
tertentu, maka pembuat keputusan yang menjadi sebagainya),
target advokasi adalah pembuat undang-undang - Identifikasi alasan mengapa mereka
(legislatif), lembaga eksekutif, pemimpin agama, menentang prakarsa atau agenda kita,
tokoh informal, manajer program, dan pemuka - Identifikasi siapa yang dapat mempengaruhi
masyarakat lainnya. Karena tujuan utama pandangan dan pendapat mereka,
advokasi adalah penetapan kebijakan, para - Siapkan suatu rencana aksi yang mencakup
pembuat keputusan adalah target utama dalam data dan argumen-argumen yang
program advokasi. berdasarkan fakta, untuk menghadapi
Beneficiaries atau stakeholders primer argumen yang mungkin dimunculkan oleh
adalah individu atau kelompok-kelompok yang lawan.
memperoleh manfaat secara langsung dari hasil
kegiatan advokasi. Jika dimobilisasi dengan Analisis stakeholders (stakeholders profiling)
tepat, stakeholders primer merupakan advokator tidak hanya bermanfaat untuk mengidentifikasi
yang paling kredibel dan meyakinkan. Namun profil stakeholders, tetapi juga untuk
sayang, untuk beberapa program memobilisasi mengantisipasi dan memperhatikan kebutuhan
stakeholders primer tidak mudah untuk dan kepentingan mereka. Berdasarkan
dilaksanakan. analisis ini, dapat diidentifikasi siapa pembuat
Mitra atau stakeholders sekunder adalah keputusan yang ingin dirangkul, mitra dan
mencakup semua individu, kelompok dan beneficiaries yang ingin dilibatkan, serta musuh
organisasi yang mempunyai pandangan atau atau lawan yang perlu dibujuk. Dalam banyak
posisi sama, dan siap bergabung dalam suatu hal, pembuat keputusan adalah kelompok-
koalisi untuk membela suatu isu atau agenda kelompok kunci yang mempunyai otoritas untuk
tertentu. Membangun kemitraan adalah penting melakukan perubahan. Sebagai contoh, bila
dalam rangka memenangkan suatu agenda kita ingin meningkatkan alokasi anggaran
advokasi. Faktor-faktor yang dapat mempererat kesehatan dari APBD II, tentunya orang
kemitraan, antara lain, kesepakatan tentang kuncinya adalah Bupati, Sekretaris Daerah,
tujuan kemitraan, pembagian informasi dan Bappekab, Anggota DPRD II (Panitia Anggaran);
pengalaman belajar, komunikasi yang terbuka sementara sebagai lawan adalah sektor lainnya
dan jujur, pertemuan rutin, dan pertukaran yang juga memperebutkan anggaran.
pandangan.
Musuh atau lawan adalah individu-individu MENYUSUN RENCANA AKSI
atau kelompok-kelompok yang memiliki sikap dan Setelah memahami bahwa isu pembangunan
pemahaman yang bertentangan dengan agenda adalah masalah perebutan pemaknaan dan
(program) advokasi kita. Cara sederhana untuk perebutan sumber daya dalam suatu arena
mengidentifikasi musuh dalam advokasi, kontes pembangunan nasional, maka pendekatan
bukannya melihatnya sebagai musuh secara politik menekankan pentingnya analisis pemain,
terang- terangan, melainkan sebagai mengukur kekuatan mereka, membangun
seseorang atau kelompok yang memiliki koalisi, dan memainkan power untuk
keyakinan dan sikap yang melegitimasi agenda kita.
189 189
Pendekatan Politik sebagai Pendekatan Politik sebagai
Dalam menyusun rencana aksi advokasi, demikian, merupakan seni untuk memenangkan
langkah-langkah berikut dapat digunakan: kepentingan dengan memetakan kepentingan
(1) identifikasi atau review data dan hasil stakeholders, memetakan kekuatan, dan akhirnya
penelitian, yang berimplikasi kebijakan, yang akan menyusun strategi.
kita angkat, (2) tentukan instrumen kebijakan Untuk menyusun rencana aksi advokasi
publiknya, (3) petakan posisi stakeholders dengan efektif, maka perlu dilakukan langkah-
terhadap agenda kita, termasuk peta kekuatan langkah, yaitu: (i) kemukakan data atau informasi
dan tujuan overt/ covert-nya, (4) susun rencana dan implikasi kebijakannya, (ii) tentukan
aksi yang meliputi format, pengemasan bahasa, instrumen kebijakan publiknya, (iii) petakan posisi
dan waktu yang tepat. stakeholders terhadap agenda advokasi kita, (iv)
Dua tabel berikut dapat digunakan sebagai identifikasi tujuan overt atau covert stakeholders,
penolong untuk menyusun rencana aksi advokasi (v) prediksi kekuatan stakeholders, dan akhirnya
bidang kesehatan. (Tabel 1 dan Tabel 2). (vi) tentukan strategi yang tepat untuk
melaksanakan advokasi.
190 190
Pendekatan Politik sebagai Pendekatan Politik sebagai
5. Siswanto, dkk. Modul Bidang Kesehatan Bagi 7. Bolman and Deal. Reframing Organizations,
Manajer Puncak Tingkat Kabupaten/Kota. Artistry, Choice, and Leadership, Jossey-Bass
Puslitbang Pelayanan dan Teknologi Publishers, San Fransisco. 1997.
Kesehatan, Surabaya, 2003. 8. Lee, B. The Power Principle (Prinsip
6. Arifin, A. Modul Pelatihan Strategic Leadership Kekuasaan), Terjemahan, Binarupa Aksara,
dan Learning Organization, Puslitbang Jakarta. 2002.
Pelayanan dan Teknologi Kesehatan, 9. UNFPA. Advokasi: Aksi, Perubahan dan
Surabaya. 2004. Komitmen, UNFPA dan BKKBN. Jakarta. 2002.
191 191
JMPK Vol. Pasien Rumah
Kepuasan Kepuasan Pasien Rumah
Chriswardani Suryawati
Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah
ABSTRACT
Hospital patient’s satisfaction is one indicator of hospital services quality. Hospital has
many reasons to fulfill their patient’satisfaction. Satisfied patient would except the medication
better than unsatisfied patient. They will be a “marketer” and create “the positive image” of
the hospital. There was a sosio economic value of the positive image of hospital, especially
related to the hospital ‘s stakeholders.
Reliability, responsiveness, assurance, empathy and tangibles are the dimensions of
the hospital patient’s satisfaction. It would be varied by severity of the illness, age, sex,
education, occupation, race/ethnic and social cultural factors. Hospital patient’s satisfaction
could be measured by observing the services of the important personals (doctors and
nurses), admission dan billing services, medical and non medical facility by conducting such
a research.
Most research measure hospital patient’s satisfaction in Indonesia were conducted to
analize the variables determined to the overall services of inpatient atau outpatient services
or specified services by doctors and nurses. Others measured the differences of patient’s
satisfaction related to hospital room class and patient characteristics. Most research were
cross sectional study and quantitative research by developing bivariat or multivariate
analysis. Most study has become a library collection and the dissemination of the research
should be improved in the future. This article will explain the hospital patient’s satisfaction in
the theoretical aspect and in application on several research in Indonesia.
193 193
JMPK Vol. Pasien Rumah
Kepuasan Kepuasan Pasien Rumah
kesehatan, 2) evaluasi terhadap konsultasi
intervensi dan hubungan antara perilaku sehat
dan sakit, 3) membuat keputusan administrasi,
4) evaluasi efek dari perubahan organisasi
pelayanan,
5) administrasi staf, 6) fungsi pemasaran, 7)
formasi etik profesional. 4
Linder Pelz (dalam Krowinsky dan Steiber) 2
mengajukan sepuluh elemen sebagai faktor-faktor
yang perlu diamati dalam mengkaji kepuasan
pasien, yaitu: keterjangkauan (accessibility),
ketersediaan sumber daya ( availability of
resources), kontinuitas pelayanan (continuity of
care), efektivitas (terhadap hasil) (efficacy atau
outcomes of care), keuangan (finance),
humanitas (humaness), ketersediaan informasi
(information gathering), pemberian informasi
(information delivering), kenyamanan lingkungan
(pleasantness of surrounding), serta kualitas dan
kompetensi petugas (quality atau competence).
Model SERVQUAL (service quality) yang
dikembangkan Zeithalm dan Parasuraman 5
banyak dipakai sebagai landasan konsep
penelitian tentang kepuasan pasien di banyak
tempat. Model ini menyebutkan bahwa
pertanyaan mendasar yang cukup sensitif untuk
mengukur pengalaman konsumen mendapatkan
pelayanan tercakup dalam lima dimensi kualitas
pelayanan yaitu: 1) reliability (kehandalan):
kemampuan untuk menampilkan pelayanan
yang dijanjikan dengan segera dan akurat, 2)
responsiveness (ketanggapan atau kepedulian):
kemampuan untuk membantu konsumen dan
meningkatkan kecepatan pelayanan, 3)
assurance (jaminan kepastian): kompetensi
yang dimiliki sehingga memberikan rasa aman,
bebas dari bahaya, risiko atau keraguan dan
kepastian yang mencakup pengetahuan,
perilaku dan sifat yang dapat dipercaya, 4)
empathy (perhatian): sifat dan kemampuan
untuk memberikan perhatian penuh kepada
pasien, kemudahan melakukan kontak dan
komunikasi yang baik, 5) tangibles (wujud nyata):
penampilan fisik dari fasilitas, peralatan, sarana
informasi atau komunikasi dan petugas atau
pegawai.5
Ada dua dimensi kepuasan pasien: 1)
kepuasan yang mengacu hanya pada penerapan
standar dan kode etik profesi: hubungan dokter-
pasien, kenyamanan pelayanan, kebebasan
menentukan pilihan, pengetahuan dan kompetensi
tekhis, efektivitas pelayanan dan keamanan
tindakan, 2) kepuasan yang mengacu pada
penerapan semua persyaratan pelayanan
kesehatan: ketersediaan, kewajaran,
kesinambungan, penerimaan, ketersediaan,
keterjangkauan, efisiensi, dan mutu pelayanan
kesehatan.2
194 194
Kepuasan Pasien Rumah Kepuasan Pasien Rumah
Jacobalis menyebutkan bahwa berdasarkan
7
dengan keputusan profesinya terhadap pasien.
pengalaman sehari-hari, ketidakpuasan pasien Selain itu, seringkali dokter kurang
yang seringkali ditemukan yaitu berkaitan memperhatikan implikasi sosial ekonomi dari
dengan: sikap dan perilaku petugas rumah tindakan medis yang diambilnya karena terfokus
sakit, keterlambatan pelayanan oleh dokter dan pada masalah klinis dengan dalih kepentingan
perawat, dokter tertentu sulit ditemui, dokter pasien.9
kurang komunikatif dan informatif, perawat yang Hughes10 menemukan bahwa dokter umum
kurang ramah dan tanggap terhadap kebutuhan mempunyai nilai lebih tinggi daripada dokter
pasien, lamanya proses masuk perawatan, spesialis dalam hubungan interpersonal dengan
aspek pelayanan “hotel” di rumah sakit serta pasien. Demikian juga perawat, bidan, dan
kebersihan, ketertiban, kenyamanan, dan asisten dokter mempunyai nilai tinggi untuk
keamanan rumah sakit. interaksi dengan pasien. Pasien juga lebih
Sulit untuk memenuhi kepuasan semua menyukai dokter yang berbicara dengan mereka
konsumen pada jasa kesehatan dimana peranan tanpa membeda- bedakan, mau mendengarkan,
interaksi psiko sosial merupakan “the art” dari bersedia menjawab pertanyaan, menjelaskan
pelayanan medis. Banyak variabel non medis ikut kepada pasien dalam bahasa yang sederhana
menentukan kepuasan pasien antara lain: tingkat tentang kondisi kesehatannya, dan
pendidikan, latar belakang sosial ekonomi, mengikutsertakan pasien dalam pengambilan
budaya, lingkungan fisik, pekerjaan, keputusan tentang perawatan, serta kemudahan
kepribadian dan pengalaman hidup pasien. 7 menjumpai dokter. Semua itu merupakan faktor
Kepuasan pasien dipengaruhi oleh karakteristik yang meningkatkan hubungan interpersonal
pasien yaitu: umur, pendidikan, pekerjaan, etnis, dokter dengan pasien.
sosial ekonomi, dan diagnosis penyakit.8 Krisner11 berpendapat bahwa interaksi dokter
dengan pasien merupakan bagian internal dari
PERAN DOKTER DAN PERAWAT DALAM proses terapi dan merupakan kunci proses
MEWUJUDKAN KEPUASAN PASIEN kesembuhan. Dokter hendaknya berorientasi
Di dalam pelayanan rumah sakit, petugas kemanusiaan, memperhatikan pasien, serta
yang sangat banyak mendapatkan sorotan, profesional dalam bertindak. Pasien dengan
karena sangat berpengaruh terhadap kepuasan segala keanekaragamannya, baik segi
pasien yaitu dokter dan perawat. Bahkan kepribadian, pendidikan, status sosial, serta
kehadiran dan sentuhan pelayanan perawat tahapan penyakitnya sering bereaksi secara
mempunyai proporsi pelayanan yang terbesar di emosional terhadap penyakitnya. Hal yang
rumah sakit, sehingga tanpa mengabaikan penting diperhatikan oleh dokter sehingga setiap
pelayanan petugas yang lain, maka pelayanan pasien mendapat pelayanan menyeluruh, jasmani
dokter dan perawat tentu saja merupakan maupun rokhani.
pelayanan yang seharusnya mendapatkan Hampir semua pengambilan keputusan yang
perhatian lebih besar bagi manajemen rumah menyangkut tindakan apa yang akan
sakit. diberlakukan oleh dokter kepada pasien dilakukan
Dokter bertanggung jawab secara etika oleh dokter. Posisi yang tidak seimbang, karena
medis (seperti yang tercantum dalam sumpah informasi dan pengambilan keputusan dikuasai
Hipocrates) dan secara hukum. Tanggung jawab oleh dokter atau petugas kesehatan (supplier
dokter secara hukum dapat diartikan bahwa induced demand) dan di sisi lain konsumen tiidak
kelalaian dan kesalahan yang secara medis tahu apa yang harus mereka konsumsi untuk
mempunyai unsur: akibat sebenarnya tidak dapat mengatasi masalah kesehatannya (consumer’s
dibayangkan dan akibat tersebut tidak dapat ignorance) merupakan salah satu ciri pelayanan
dihindari, maka bukan merupakan kesalahan kesehatan.12
dokter.9 Bila harapan dan keinginan pasien selama
Bagi sebagian besar pasien kehadiran, dirawat terpenuhi maka pasien akan puas.
penampilan, sapaan dan perhatian dokter yang Harapan pasien adalah hak pasien. Hak pasien
merawatnya sudah merupakan sebagian dari adalah kewajiban rumah sakit yang tentu saja
pengobatan. Pasien ingin diperlakukan secara harus diusahakan untuk dipenuhi oleh pihak
manusiawi, diperhatikan, dan dipenuhi keinginan rumah sakit.
dan kebutuhannya. Di sisi lain, terdapat benturan Beberapa hak pasien, yaitu: mereka berhak
antara harapan pasien dengan dokter. Profesi mendapatkan pelayanan yang manusiawi,
dokter adalah profesi yang “otonom” dan asuhan keperawatan yang bermutu, memilih
anggapan “dokter paling tahu” seringkali dokter, mendapatkan “second opinion” dokter
menyebabkan dokter “tidak rela” bila diatur yang merawat, menolak tindakan terhadap
bahkan oleh atasannya atau pihak manajemen dirinya, mengajukan keluhan dan memperoleh
rumah sakit dalam hubungannya informasi tentang: penyakit yang diderita,
195 195
Kepuasan Pasien Rumah Kepuasan Pasien Rumah
tindakan medis yang akan dilakukan oleh
rumah sakit,
196 196
Kepuasan Pasien Rumah Kepuasan Pasien Rumah
kemungkinan adanya penyulit tindakan medis, 1) profesionalisme keperawatan: keterampilan
alternatif tindakan lain, prognosis penyakit, serta dan
perkiraan besarnya biaya pengobatan. Selain itu,
pasien juga berhak didampingi oleh keluarga
dalam keadaan kritis, mengakhiri pengobatan
dan perawatan atas tanggung jawab sendiri,
serta berhak menjalankan agama dan
kepercayaannya selama dirawat di rumah sakit
tanpa mengganggu pihak lain.9
Selain hak, pasien juga mempunyai
kewajiban dan kewajiban ini tentu saja menjadi
hak rumah sakit. Adapun kewajiban pasien, yaitu:
pasien dan keluarganya harus mentaati
peraturan dan tata tertib rumah sakit, pasien
wajib menceritakan sejujur-jujurnya tentang
segala sesuatu tentang penyakitnya, pasien
wajib mematuhi semua instruksi dokter
dalam rangka pengobatan penyakitnya, pasien
(dan atau si penanggungnya) wajib melunasi
biaya atas semua pelayanan yang telah
diberikan oleh rumah sakit, pasien dan
penanggungnya wajib memenuhi semua
perjanjian yang telah ditandatanganinya.9
Pelayanan perawat merupakan pelayanan
terbanyak yang diperoleh pasien rumah sakit,
khususnya pada pelayanan rawat inap. Perawat
merupakan tenaga di rumah sakit terbanyak
(sekitar 40%) dan paling banyak berinteraksi
dengan pasien. Untuk memenuhi kepuasan
pasien, maka apa saja yang menjadi kewajiban
dan tanggung jawab perawat merupakan hal
yang harus dikaji.9
Keperawatan menurut hasil Lokakarya
Nasional Keperawatan tahun 1983 adalah suatu
bentuk pelayanan keperawatan profesional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan
kesehatan berdasarkan ilmu dan kiat
keperawatan berbentuk pelayanan bio psiko sosio
spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada
individu, keluarga dan masyarakat baik sakit
maupun sehat yang mencakup seluruh proses
kehidupan manusia.
Menurut Konsorsium Ilmu Kesehatan,
asuhan keperawatan adalah suatu proses atau
rangkaian kegiatan pada praktek keperawatan
yang diberikan kepada klien pada berbagai
tatanan pelayanan kesehatan dengan
menggunakan proses keperawatan dalam
lingkup wewenang serta tanggungjawab
keperawatan. Di Indonesia, standar asuhan
keperawatan ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Kesehatan (Kepmenkes) RI
No.660/Menkes/SK/IX/1987 dan dilengkapi
dengan Surat Edaran Direktur Jenderal
Pelayanan Medik (Dirjen Yanmed) Departemen
Kesehatan (Depkes) RI No.105/Yan
Med/RS.Umdik/Raw/I/88 tentang Penerapan
Standar Praktik Keperawatan Bagi Perawat
Kesehatan di Rumah Sakit.
Mutu pelayanan keperawatan sangat
dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:
197 197
Kepuasan Pasien Rumah Kepuasan Pasien Rumah
penguasaan iptek keperawatan sesuai dengan atau membahas berdasarkan kelas perawatan,
standar dan metode yang berlaku serta faktor pelayanan rawat
kepribadian perawat yang harus bersikap dan
berperilaku sebagai “major caring profesion”
dalam interaksinya dengan pasien, keluarga
pasien maupun profesi lain. 2) Efektivitas dan
efisiensi pemakaian peralatan dan fasilitas
keperawatan (keamanan, kenyamanan pasien
serta terjangkau sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuan).
3) Kepuasan pasien karena terpenuhinya
harapan dan kebutuhan pelayananan keperawatan.
8
198 198
Kepuasan Pasien Rumah Kepuasan Pasien Rumah
inap atau rawat jalan. Penelitian yang ada lebih Dalam pelayanan rawat inap, keberadaan
banyak meneliti pasien rawat inap daripada dokter dan perawat sangat dominan. Penelitian
pasien rawat jalan. yang dilakukan oleh JB. Anggono18 menyebutkan
Sebagian besar penelitian tersebut bahwa kepuasan pasien terhadap pelayanan
merupakan studi kuantitatif yang dilakukan perawat dipengaruhi oleh keterampilan dan
pengukuran terhadap serangkaian faktor atau perilaku perawat, serta fasilitas yang tersedia di
variabel yang menurut teori berpengaruh RS.St.Elizabeth Semarang. Untuk pelayanan
terhadap kepuasan pasien. Sebagian besar dokter di rumah sakit, S. Mansoer19 menemukan
penelitian yang ada mengambil datanya secara bahwa kunjungan (visite) dokter, cara
cross sectional dengan metode survey dan pemeriksaan pasien, tingkat responsif,
mempergunakan kuesioner terstruktur. Data informalitas, serta senioritas dokter mempunyai
yang diperoleh diolah dengan variasi uji statistik pengaruh terhadap kepuasan pasien rawat inap
baik bivariat (korelasi Spearman atau korelasi di RS Pelni Jakarta.
Pearson atau uji chi square) maupun multivariat. Penelitian tentang pengukuran indeks
Ada beberapa kesulitan untuk melakukan kepuasan pasien rawat inap dilakukan oleh
pengukuran kepuasan pasien, yaitu: 1) pasien tidak Anggraini, DD. 20 di RS Islam Jakarta Timur.
mempunyai pengetahuan tentang standar kualitas Anggraini, DD.20 menemukan bahwa lima dimensi
pelayanan, 2) pasien berada dalam keadaan tidak kualitas pelayanan (SERVQUAL), yaitu, kualitas
bisa mengekspresikan pendapatnya secara pelayanan, kehandalan, ketanggapan, jaminan
obyektif, 3) para tenaga profesional dan pasien kepastian dan perhatian, masing-masing
mempunyaimtujuan yang berbeda, 4) kualitas bermakna terhadap kepuasan pasien. Dengan
tergantung kultur dan kebudayaan, 5) variasi menggunakan Angka Indeks Laspeyres, yang
karakteristik pasien seperti: umur, latar belakang merupakan komulatif nilai kepuasan pasien
pendidikan, kelas sosial dan status pendidikan.4 terhadap dimensi kualitas pelayanan ditemukan
BA. Molachele13, dalam penelitiannya di RSU bahwa indeks tertinggi pada minggu ketiga
Fatmawati, Jakarta menemukan bahwa terhadap dan minggu keempat.20
keseluruhan pelayanan rawat inap di rumah sakit, Penelitian kepuasan pasien yang agak
ada hubungan yang cukup berarti antara berbeda dilakukan oleh Chriswardani21 dalam
kepuasan pasien dengan pelayanan dokter, penelitian pengembangan indikator kepuasan
pelayanan perawat, fasilitas medis, lingkungan pasien rawat inap di tiga rumah sakit di Jawa
rumah sakit dan makanan yang disediakan untuk Tengah dengan analisis faktor dengan metode
pasien. konfirmatif menemukan ada 18 indikator
Supraptono14 menemukan adanya hubungan kepuasan pasien rawat inap dalam tiga dimensi.
yang sangat bermakna antara pelayanan dokter, Ketiga dimensi berikut variabel yang
perawat, dan pelayanan administrasi terhadap berpengaruh terhadap kepuasan pasien, yaitu:
kepuasan pasien rawat nginap di RSU.dr. 1) pelayanan petugas: ketelitian dokter dalam
Murjani, Sampit. memeriksa pasien, keteraturan pelayanan
Sandan, H.K. 15 , menyebutkan perawat dalam memeriksa pasien,
bahwa lingkungan fisik rumah sakit, fasilitas kesungguhan perawat melayani kebutuhan
rumah sakit dan perilaku petugas (pemberi) dan permintaan pasien, serta sikap dan perilaku
pelayanan berpengaruh terhadap kepuasan petugas dalam menghidangkan makanan. 2)
pasien rawat nginap di RSU dr. Doris Sylvanus Kenyamanan rawat inap: kebersihan dan
Palangkaraya. karapihan gedung-koridor dan bangsal rumah
Wahyutomo 16 menyebutkan bahwa faktor sakit, kebersihan dan kerapihan ruang
lingkungan fasilitas berpengaruh terhadap perawatan, penerangan lampu gedung-bangsal
kepuasan pasien kelas VIP, sedangkan pada dan koridor di waktu malam, keamanan
pasien dan pengunjung rumah sakit,
pasien kelas I yang berpengaruh, adalah: obat,
kelengkapan fasilitas atau perabot ruang
makanan dan dokter. Pada kelas II dan III
perawatan, kebersihan kamar mandi pasien,
ternyata semua faktor yang diteliti, yaitu: obat,
variasi menu pasien, dan kebersihan peralatan
makanan, perawat, lingkungan, serta dokter
makan pasien. 3) Kemudahan dan kelancaran
berpengaruh terhadap kepuasan pasien di RS administrasi: ketersediaan dan kelengkapan
St.Elizabeth Semarang. obat-obatan di apotek rumah sakit, lama waktu
Zulkarnain 17 menemukan tidak adanya pelayanan apotek rumah sakit, lama waktu
hubungan antara karakteristik pasien dengan mendapatkan kepastian dari hasil
tingkat kepuasan pasien di bangsal penyakit pemeriksaan penunjang medis, kelancaran dan
dalam RSUP.dr.Sardjito Yogyakarta. kemudahan pelayanan administrasi masuk dan
menjelang pulang.
199 199
Kepuasan Pasien Rumah Kepuasan Pasien Rumah
KEPUSTAKAAN versitas Indonesia, Jakarta. 1993.
1. Jacobalis, S. Menjaga Mutu Pelayanan 14. Supraptono, S. Analisis Kualitas Pelayanan
Rumah dan Kepuasan Pasien Rawat Nginap di RSU
Sakit, Suatu Pengantar, Citra Windu dr. Murjani, Sampit. Tesis. Program
2. Satria, Jakarta. 1990. Magister Manajemen Rumah Sakit
Krowinski,
Measuring andWilliam, J., and
Managing Steven
Patient R. S.
Satisfaction, Mada, Yogyakarta. 1998.
American Hospital Publishing Inc. 1996. 15. Sandan, Hafner, K. Analisis Faktor-Faktor
3. Azwar, A. Program Menjaga Mutu Pelayanan yang
Mempengaruhi Tingkat Kepuasan Pasien
Kesehatan, Yayasan penerbit IDI, Jakarta. Rawat Inap di RSUD dr. Dorys Sylvanus
1994. Palangkaraya. Tesis. Program Magister
4. Merkouris, A., Lanara, V., Ifantopoulos, and Manajemen Rumah Sakit Universitas
Lemonidou C. Patient Satisfaction, A Key Mada, Yogyakarta. 1995.
Concept for Evaluating and Improving Nursing 16. Wahyutomo. Hubungan Antara
Practice. Journal of Nursing Management. Kepuasan
Pasien dengan Penampilan Pelayanan
1999. Rawat Nginap di RS St. Elizabeth
5. Zeithml, A., Valerie, A., Parasuraman, and Semarang, Tesis. Magister Administrasi
Leonard L. B. Delivering Quality Service, Pascasarjana Universitas Indonesia,
Balancing Costumer Perception Jakarta.
and 17. 1997.
6. Expectation, the
Donabedian, FreeDefinition
A. The Press, New York. 1990.
of Quality ang Zulkarnain,
Pasien Elfian. Analisis
Terhadap Tingkat
Interaksi Pasien dan
Approaches to Its Assessment, Exploration Perawat Dalam Memberikan Pelayanan
Quality Assessment and Monitoring, Volume Berdasarkan Karakteristik Pasien di
1. Health Administration Press, Ann Bangsal Penyakit Dalam RSU.dr. Sardjito
Arbor. Michigan. 1980. Yogyakarta, Tesis. Program Magister
7. Jacobalis, S. Beberapa Teknik dalam Manajemen Rumah Sakit Universitas
Menjaga
Mutu. Materi Kuliah. Magister Manajemen 18. Gadjah
Anggono,Mada,
J., Yogyakarta. 1999. Penentu
B. Faktor-Faktor
Rumah Sakit Pascasarjana, Universitas Tingkat Kepuasan Pasien Atas Layanan
Gadjah Mada, Yogyakarta. 1995. Keerawatan di Ruang Rawat Inap RS St.
8. Gunarsa, Singgih, D., dkk. Psikologi Elizabeth Semarang, Tesis. Magister
Perawatan, Cetakan ke-2. Gunung Mulia, Rumah Sakit Pascasarjana Universitas
Jakarta. 1995. Indo- nesia, Jakarta. 1996.
9. Guwandi. Dokter, Pasien, Hukum. Balai 19. Mansoer, S. Kepuasan Pasien Rawat
Penerbit Fakultas Kedokteran, Universitas Nginap
di RS. Pelni Jakarta Terhadap Pelayanan
Indonesia, 1996. Dokter. Tesis. Magister Administrasi Rumah
10. Hughes, J. Organization and Information of Sakit Pascasarjana Universitas
the Side, Disertasi tidak dipublikasikan.
Bed Jakarta. 1997.
University of Chicago. 1994. 20. Anggraini, D. D. Pengembangan
11. Krisner, J. A. Doctor’s View of the Doctor- Indeks
Kepuasan Pasien Sebagai Indikator
Patient Relationship, University of Chicago. Persepsi Pasien Terhadap Mutu Pelayanan
1990. di Rumah Sakit Islam (RSI), Jakarta
12. Sorkin, Alan, L. Health Economics, An Timur. Tesis. Program Magister
Introduction, Massachusetts, Lexington Books Masyarakat-Konsentrasi Administrasi
DC Heath and Co. 1976. Rumah
13. Molachele, Ba’diah, A. Kepuasan Sakit, Program Pascasarjana
Diponegoro, Semarang.
Pasien 21. 2001.
Terhadap Pelayanan Rawat Nginap di RSU Chriswardani, S. Pengembangan Indikator
Fatmawati Jakarta. Tesis. Magister Kepuasan Pasien Rumah Sakit di Jawa
Administrasi Rumah Sakit Pascasarjana Tengah,
(Risbinkes). Riset
Balitbangkes Pembinaan
Departemen
Kesehatan RI. 1998.
200 200
JMPK Vol.
Pengetahuan, Sikap dan Persepsi Pengetahuan, Sikap dan Persepsi
ABSTRACT
Background: The role about non permanent doctor (PTT) in Indonesia has changed in
several times. The latest role is stipulated by Kepmenkes 1540/Menkes/SK/XII/2002. The
content of that role mention that fresh graduate doctor are not only to be a non permanent
doctor but also to be a resident or practice with temporary license. The tendency of this role is
the unenthusiastic to be a non permanent doctor. The aim of this study is to know how the
internship will response this role in their carrier as a doctor.
Objective: This research was purposed to know how far knowledge, attitude and perception
respondent about the role of non permanent doctor..
Method: The method of this research was cross sectional survey method, which done by
collecting data from questionnaire (self-administered questionnaire). The respondent of this
research were internship students who will finish their study for 6 month later from 3 school
of medicine in West Java Province.
Result: The result of this research showed that 19% of respondent has not yet known about
the non-permanent doctor program (PTT), otherwise 52% has not yet known about other
program (cara lain). The most of information about PTT hasn’t been got from the legal
institution (Faculty, Ministry of Health and Indonesian Medical Council) but from the senior
students. From all of the respondent, only 65 % who will commit to joint with PTT, 49 % of
that will choose in West Java Province. The perception of respondent about PTT is variety.
The majority said that PTT is the program for distribute the doctor (71,1%), but 23,4 %
respondent said that PTT is compulsory. Most of respondent (75,6%) say that PTT must be
continued with any correction, and 25,8 % say that PTT must be eliminated.
Conclusion: Generally, respondent showed lack of information the role of non permanent
doctor. The reason is the source of information is not from the legal institution. More than a
quarter of respondent mentioned that they would not enroll to non permanent doctor program
and ready to accept the consequences. Because PTT program didn’t have reward and
punishment system, and carrier model, non permanent doctor isn’t the first choice of
respondent for their carrier. Respondent has still appraise that PTT give them opportunity
although it doesn’t give the good carrier after finish that program. Most respondent say that
the role of PTT program has to improve.
201 201
JMPK Vol.
Pengetahuan, Sikap dan Persepsi Pengetahuan, Sikap dan Persepsi
2010 diperlukan jumlah dokter yang cukup vey). Survey dilakukan dengan menggunakan
banyak dengan ratio 40 orang dokter per kuesioner yang diisi sendiri oleh responden (self-
100.000 penduduk, namun daya serap tenaga administered questionnaire). Subyek penelitian
kesehatan oleh jaringan pelayanan kesehatan adalah mahasiswa tingkat profesi (koasisten)
masih terbatas. Penyebaran SDM kesehatan yang akan menyelesaikan pendidikan profesi
belum menggembirakan, sekalipun sejak tahun dalam enam bulan ke depan dan berasal dari tiga
1992 telah diterapkan kebijakan penempatan Fakultas Kedokteran di Jawa Barat yaitu
tenaga dokter dan bidan dengan sistem Pegawai Universitas Padjadjaran (Unpad),
Tidak Tetap (PTT). 1,2,3 Universitas Kristen Maranatha (UKM), dan
Aturan pendayagunaan tenaga dokter Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani).
dimulai sejak diberlakukannya Undang-Undang Jumlah subyek dalam penelitian sebanyak 291
(UU) Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja responden. Analisis data dilakukan secara
Sarjana (WKS), yang menyebutkan pemerintah deskriptif dengan menggunakan program SPSS
mempunyai kewenangan untuk menempatkan versi 11.0.
tenaga dokter dan sebagai imbalannya akan
memperoleh reward menjadi Pegawai Negeri Sipil HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
(PNS).4 Tetapi aturan ini telah mengalami 1. Sebaran Responden
banyak perubahan sejak diberlakukannya Jumlah responden dalam penelitian ini
Keputusan Presiden Nomor 37 sebanyak 291 responden yang terdiri atas 134
Tahun 1991 tentang Pengangkatan Dokter orang (46 %) koasisten FK UNPAD, 85 orang
menjadi Pegawai Tidak Tetap (PTT) Selama (29%) dari FK UKM, dan 72 orang (25%) FK
Masa Bakti. Dengan aturan ini, maka Unjani. Dari jumlah total responden tersebut,
sekalipun telah menyelesaikan masa wajib kerja sebagian besar (66%) berjenis kelamin wanita
sarjana (atau yang saat ini dikenal dengan masa dan sisanya (34%) berjenis kelamin laki-laki.
bakti sebagai PTT, dokter tersebut tidaklah
secara otomatis diangkat sebagai pegawai 2. Pengetahuan Responden terhadap
negeri.5,6,7 Kebijakan Dokter PTT
Perkembangan terkini aturan pendayagunaan Pengetahuan responden terhadap kebijakan
tenaga dokter diatur melalui Keputusan Menteri dokter PTT yang didapatkan dari hasil penelitian
Kesehatan (Kepmenkes) 1540/Menkes/SK/XII/ ini menunjukkan bahwa masih ada responden
2002 yang menyatakan bahwa tata cara (19%) yang belum mengetahui adanya kebijakan
penempatan tenaga medis dibagi menjadi dua PTT. Hasil yang sama tampak pula dari hasil
yaitu melalui masa bakti dan cara lain. analisis kuesioner mengenai pengetahuan
Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) ini tentang kebijakan cara lain, yaitu sekitar (52%)
juga mengatur mengenai penundaan masa bakti, responden tidak mengetahui adanya kebijakan
yaitu seorang dokter bisa langsung melanjutkan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa informasi
pendidikan spesialis maupun berpraktik dengan kebijakan PTT belum tersampaikan secara
Surat Ijin Praktik Sementara (SIPS). 8 Dengan merata.
adanya aturan penundaan masa bakti, saat ini
terdapat kecenderungan lulusan dokter baru
Apakah saudara mengetahui adanya kebijakan
enggan untuk menjalani program PTT. Untuk PTT?
melihat sejauh mana minat calon dokter
(n=291)
(koasisten) terhadap pro- gram PTT perlu
dilakukan sebuah studi untuk mengetahui tingkat Tidak
pengetahuan, sikap maupun persepsi dokter yang 54 / 19%
akan menjalani kebijakan ini.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan
telaah kritis tentang pengetahuan, sikap dan
persepsi para koasisten sebagai calon dokter
yang akan menjalani kebijakan dokter PTT Ya
202 202
Pengetahuan, Sikap dan Persepsi Pengetahuan, Sikap dan Persepsi
Apakah saudara mengetahui adanya masa bakti cara
lain? belum
(n=291)
tahu
15%
Tidak Menjawab
9 / 3%
tidak
Ya Tidak
berminat
132 / 45% 150 / 52%
20%
berminat
65%
Sumber informasi mengenai kebijakan PTT Alasan yang dikemukakan oleh responden
akan sangat mempengaruhi pengetahuan yang berminat menjalani PTT, sebagian besar
responden. Sumber informasi yang didapat harus ingin mendapatkan SIP dan bisa melanjutkan
berasal dari sumber yang terpercaya untuk spesialis dengan biaya SPP yang lebih murah.
mendapatkan informasi yang akurat. Hasil Hal ini mencerminkan bahwa kebijakan dokter
penelitian ini menunjukkan bahwa sumber PTT belum disikapi dalam konteks
informasi yang didapat responden tentang PTT pengabdian dan pemerataan tenaga medis.
ternyata sebagian besar (69,42 %) didapatkan (Gambar 5)
dari kakak kelas. Hal ini jelas sangat
mempengaruhi pengetahuan responden karena 100%
40%
51 51
PTT masih diminati, kecenderungan untuk tidak 20% 40.2 34.3
banyak.
kebijakan gaji tdk layak keamanan tdk diijinkan PPDS
Hal ini harus mendapatkan perhatian dari pihak memaksa keluarga
pengguna terutama dinas kesehatan, agar tidak
terjadi ketimpangan antara jumlah dokter yang Gambar 6. Alasan Responden Tidak Akan Mengikuti
Kebijakan Dokter PTT
dibutuhkan dengan dokter yang mau
ditempatkan.
203 203
Pengetahuan, Sikap dan Persepsi Pengetahuan, Sikap dan Persepsi
Dalam penelitian ini dilihat pula dilakukan dengan sistem kontrak kerja, serta
kecenderungan pemilihan tempat tugas PTT. penempatan sebagai pegawai negeri sipil sesuai
Tempat tugas ini secara umum dibagi menjadi 3 dengan kebutuhan. Penempatan tenaga
kriteria yaitu biasa, terpencil dan sangat terpencil. kesehatan dengan sistem kontrak kerja
Gambar 7 menunjukkan bahwa (82%) responden diselenggarakan atas dasar kesepakatan secara
menginginkan tugas PTT-nya dilaksanakan di sukarela antara kedua belah pihak.1, 9
daerah dengan kriteria biasa yang dari jumlah
tersebut (78,7%) responden memilih untuk
bekerja di rumah sakit dan puskesmas DTP. Hasil
penelitian
ini juga menunjukkan sebagian besar responden Yakin
Tidak
yang menyatakan akan mengikuti program PTT 45%
tahu
menginginkan untuk ditempatkan di Pulau Jawa
48%
(66,3%) dan (49,1%) dari jumlah tersebut memilih
ditempatkan di Provinsi Jawa Barat.
Hasil di atas dapat dilihat bahwa pada masa
Tidak
mendatang penyebaran dokter PTT cenderung
yakin
akan tidak merata. Responden lebih berminat
7%
memilih ditempatkan di Pulau Jawa, dengan
kriteria
biasa dan bertugas di rumah sakit. Akibatnya
daerah yang terpencil dan sangat terpencil akan Gambar 8. Persepsi Responden
tentang Pengembangan Karir Pasca PTT
kesulitan mendapatkan dokter.
Pengembangan karir pasca-PTT akan
Kriteria tempat tugas PTT yang mempengaruhi persepsi responden terhadap
diinginkan kebijakan dokter PT T. Hasil penelitian
ini menunjukkan sekitar (48%) responden
sangat terpencil
terpencil menyatakan tidak tahu bahwa PTT akan
2%
16% mempengaruhi pengembangan karir pasca-PTT.
(Gambar 8).
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan
dalam SKN bahwa selama ini sistem
penghargaan dan sanksi, peningkatan karier,
pendidikan serta pelatihan berjenjang dan
biasa berkelanjutan, akreditasi pendidikan dan
82% pelatihan, serta sertifikasi, registrasi dan lisensi
SDM belum mantap.1 Dengan status sebagai
tenaga kontrak, dokter PTT mempunyai
Gambar 7. Kriteria Tempat Tugas PTT kewajiban yang sama dengan dokter PNS dalam
yang Diminati Responden hal pelayanan publik. Agar kualitas pelayanan
terhadap publik tetap terjaga, maka beberapa
aspek dalam hal peningkatan kemampuan, dan
4. Persepsi Responden terhadap Kebijakan pengembangan karir harus tetap diperhatikan.10
Pendayagunaan Dokter Persepsi responden terhadap keberlanjutan
Penelitian ini juga melihat persepsi program PTT menunjukkan bahwa walaupun
responden terhadap kebijakan PTT. Hasilnya responden belum menjalankan program PTT,
menunjukkan bahwa (71,1%) responden hanya (1%) yang menyatakan PTT dilanjutkan
mempersepsikan PTT diadakan sebagai seperti saat ini. Sebagian besar responden
upaya pemerintah untuk pemerataan tenaga (74,6%) memberikan saran agar PTT dilanjutkan
kesehatan. Namun demikian, (23%) responden dengan berbagai perbaikan (gaji, fasilitas,
memberikan penilaian bahwa PTT merupakan dan pengembangan karir), dan hanya (25%)
pemaksaan, karena PTT dilakukan tanpa yang memberikan saran PTT dihapuskan
adanya kontrak kerja yang disepakati kedua (Gambar 13). Hal ini menunjukkan bahwa PTT
belah pihak. Hal ini tidak sejalan dengan aturan dipersepsikan oleh responden masih
pemerintah dalam penempatan tenaga memberikan peluang kesempatan kerja setelah
kesehatan yang tercantum dalam SKN, yang lulus, walaupun tidak memberikan peluang
menyebutkan penempatan tenaga kesehatan di pengembangan karir yang jelas. (Gambar 9).
sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah
204 204
Pengetahuan, Sikap dan Persepsi Pengetahuan, Sikap dan Persepsi
100%
tidak memberikan peluang pengembangan karir
80%
setelah menyelesaikan program tersebut.
60%
40%
74.6 Saran
20%
25.8 Sikap dan persepsi calon dokter PTT akan
0% 1 sangat ditentukan oleh sejauh mana
pengetahuan
dilanjutkan dgn dilanjutkan spt saat ini dihapuskan
perbaikan mereka terhadap program PTT. Pengetahuan
yang didapat akan sangat tergantung pada
informasi
Gambar 9. Usulan terhadap Kebijakan Dokter PTT yang mereka terima. Penyebaran informasi
di Masa Datang
tentang program PTT sebaiknya mendapat
perhatian lebih serius dari institusi yang
Dalam penelitian ini digali pula pendapat
berwenang agar calon dokter PTT ke depan
responden tentang alternatif lain yang bisa dipilih
mendapat gambaran yang tepat tentang tugas,
selain PTT untuk pemerataan tenaga kesehatan.
fungsi, hak dan kewajiban sebagai dokter PTT.
Sebagian besar (68,6%) menyatakan alternatif
Diharapkan penyebaran informasi ini dijadikan
lain selain PTT adalah menyerahkan pada
sebuah program yang rutin dan berkala.
kebijakan otonomi daerah sebagai cara untuk
pemerataan tenaga kesehatan, (37,6%) dengan
KEPUSTAKAAN
mengadakan sistem dokter kontrak dan hanya
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
(23,7%) berpendapat dengan memasukkan
Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta. 2004:6-
dokter asing. (Gambar 10)
7.
100%
2. Departemen Kesehatan RI. Kepmenkes No.
80% 1202/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Indikator
60% Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman
40% Penetapan Indikator Propinsi Sehat dan
20%
68.6
37.6
Kota/ Kabupaten Sehat. Jakarta. 2003: 20.
0% 21.7 23.7 12.1 3. Nugraha W. F., Krisis Dokter Di Jawa
Barat
2006, Mungkinkah? Pikiran Rakyat. 2004:
membiarkan menyerahkan pd dokter kontrak memasukkan dr lainnya
menurut kebijakan otda asing 8(Kol.3-8.).
mekanisme
pasar 4. Undang-Undang Republik Indonesia No. 8/
1961 tentang Wajib Kerja Sarjana. Lembaran
Gambar 10. Usulan terhadap
Pemerataan Tenaga Medis selain PTT
Negara 1961/207. Jakarta. 1961.
5. Keputusan Presiden No. 37/1991 tentang
KESIMPULAN DAN SARAN Pengangkatan Dokter menjadi Pegawai Tidak
Kesimpulan Tetap (PTT) Selama Masa Bakti. Jakarta.
Secara umu m pengetahuan mengenai 1991.
6. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan
pendayagunaan dokter (PTT) yang diketahui oleh Sumber Daya Manusia Departemen
responden terlihat masih kurang. Hal ini Kesehatan. Beberapa Model Pendayagunaan
responden belum mendapatkan sumber informasi Tenaga Kesehatan Non-PNS Dalam Otonomi
tentang PTT yang berasal dari institusi yang Daerah. Jakarta. 2002:2-3.
berwenang (Depkes dan IDI). 7. Irvan A. dan Tjahja S. Pandangan ISMKI
Lebih dari seperempat total responden Terhadap Kebijakan Dokter PTT. 1998.
menyatakan sikap secara tegas untuk tidak Disadur dari http.//www.idionline.org
menjalani program PTT dan siap menerima 8. Departemen Kesehatan RI. Kepmenkes No.
konsekuensinya. Program PTT yang tidak memiliki 1540/Menkes/SK/XII/2002 tentang
sistem penghargaan dan sanksi yang jelas, pola berlaku saat ini harus diperbaiki. Hal ini
peningkatan karier, pendidikan dan pelatihan menunjukkan bahwa PTT masih memberikan
berjenjang dan berkelanjutan, menjadikan aturan peluang kesempatan kerja setelah lulus,
PTT bukan merupakan pilihan utama bagi dokter walaupun
dalam memilih jalur karirnya.
Persepsi responden terhadap kebijakan
pendayagunaan menunjukkan bahwa kebijakan
dokter PTT adalah upaya dalam pemerataan
tenaga kesehatan. Pola pendayagunaan yang
205 205
Pengetahuan, Sikap dan Persepsi Pengetahuan, Sikap dan Persepsi
Penempatan Tenaga Medis Melalui Masa
Bakti
dan Cara Lain. Jakarta. 2002.
9. Departemen Kesehatan RI. Permenkes No.
1199/Menkes/PER/X/2004 tentang Pedoman
Pengadaan Tenaga Kesehatan Dengan
Perjanjian Kerja di Sarana Kesehatan Milik
Pemerintah. Jakarta. 2004:3-10.
10. Azwar A, Peranan IDI dalam Membuka
Peluang Kerja Dokter Pasca-PT T,
disampaikan dalam Seminar Sehari Dokter
Pegawai Tidak Tetap. Jakarta. 1995 http://
www.jpkm-online.net/tajuk.php
206 206
JMPK Vol.
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
ABSTRACT
Background: Service agency of Sintesa Community Health Care Insurance Kendari was
founded as community health insurance agency at Kendari City. At the begining the agency
attracts people to become participants of health care insurance but due to some reasons the
number of participants decline.
Objective: The study was aims to identify factors leading to opting out and continuation as
member of community health care insurance agency.
Methods: The study was a qualitative and quantitative type. The qualitative method was
applied to 3 groups (22 people) of focus group discussion, two groups of which consisted of
those who opted out from their participation and one group consisted of those who
continued their participation in the insurance, followed by indepth interview with 4
respondents who opted out and 2 respondents who were active participants the topics for
study are premium issues, perception of being ill, health care packages, health services at
health centers and the professionalism of service agency. The discussion and interview
were recorded, transcripts were compiled and open coding was conducted.
Results: Most respondents, both who resigned and were active participants, worried about
the cost of being ill. Most participants who resigned said that premi was too high and that
they were dissatisfied with health care packages. Most participants, either those who opted
out or those who were still active said that health service at health centers was unsatisfactory
and the professionalism of service agency was low. Active participants had more knowledge
about community health care insurance than those who resigned. Factors leading to decision
of opting out from participation were the absence of premi collector, temporary cancellation
of premi collection, unawareness of the functioning of community health care insurance, and
distrust toward service agency. Factors leading to active participation were benefits of having
the insurance when participants were ill, satisfaction with health care packages and the fact
that participants had no other health insurance.
Conclusion: High premi, unsatisfactory health service at health centers and health care
packages, as well as low professionalism of service agency were factors leading to decision
of opting out from the insurance. Consequently there was declining number of community
health care insurance participants at Sintesa service agency.
201 201
JMPK Vol.
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
202 202
JMPK Vol.
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Bapel dan peserta JPKM.7 Faktor penting lain
dalam penyelenggaraan JPKM adalah premi.
Penetapan premi yang terlalu tinggi akan
mendorong penolakan masyarakat dan
meningkatkan resistensi masyarakat terhadap
program JPKM.8 Paket pemeliharaan kesehatan
pada penyelenggaraan JPKM dalam
pelaksanaannya juga memiliki berbagai
kelemahan yang dalam hal ini berkaitan dengan
kepuasan peserta (client satisfaction) dan
merupakan salah satu hambatan dalam
perkembangan program JPKM.9 Kelemahan
tersebut akhir-akhir ini sudah dikoreksi oleh Bapel
khususnya di tingkat provinsi seperti di
Jamkesos DIY. Tujuan penelitian ini adalah
mengeksplorasi dan membandingkan antara
peserta yang telah berhenti dan peserta yang
masih aktif dalam hal pengambilan keputusan
untuk berhenti atau melanjutkan kepesertaan
pada Bapel JPKM Sintesa Kendari.
dahulu terhadap satu kelompok peserta yang Perkembangan yang lambat diawal
telah berhenti. Peneliti bertindak sebagai berjalannya JPKM Bapel Sintesa ini berhubungan
fasilitator dengan latar belakang bekerja pada dengan penghasilan keluarga. Sebagian besar
bagian perencanaan dan keuangan Dinas peserta yang telah berhenti menjadi peserta
Kesehatan Kota Kendari dan sedang hanya seorang diri atau berdua saja. Jika
menempuh pendidikan S2 mengikutkan seluruh anggota keluarga menjadi
Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi peserta JPKM responden mengatakan berat,
Kesehatan. karena faktor penghasilan seperti ungkapan
Hasil DKT masing-masing kelompok dan responden sebagai berikut:
wawancara mendalam masing-masing responden “…….. kalau saya bu kalau anggota keluarga
direkam, dibuat transkrip untuk kemudian banyak bu, berat. Seperti saya kalo 6 atau 10
dianalisis. Proses analisis dilakukan dengan orang maunya ditetapkan saja jangan hitung per
cara open coding yang selanjutnya kepala……macam saya kan 6 orang kalo
Rp5.000,00 kan Rp30.000,00 satu bulan,
diklasifikasikan menjadi kategori-kategori. Untuk sementara kita punya pencaharian
meningkatkan reliabilitas dilakukan juga bagaimana…….“.
interpretasi oleh pembimbing pada transkrip yang Klp Berhenti I, Responden 7
telah di open coding. Triangulasi sumber
dilakukan dengan mewawancarai Hal ini sesuai dengan pendapat Mukti6 yang
penanggung jawab program JPKM pada Bapel mengatakan bahwa keterbatasan kondisi
Sintesa serta penelusuran data pemanfaatan kemampuan ekonomi masyarakat juga
pelayanan kesehatan peserta pada Bapel dan merupakan permasalahan kelambatan
PPK. Kategori-kategori ini kemudian perkembangan JPKM di Indonesia.
dikelompokkan dalam variabel penelitian dan Penelitian Iriani14 juga menyimpulkan, ada
selanjutnya dilakukan analisis secara deskriptif tujuh faktor yang berhubungan dengan kemauan
kualitatif. membayar iuran dana sehat secara teratur yang
pendapatan atau pengeluaran keluarga
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN merupakan salah satu faktor selain faktor
Responden yang hadir pada DKT peserta pendidikan, pengetahuan, persepsi,
yang telah berhenti masing-masing 8 orang dan kebiasaan berobat, tanggungan keluarga,
pada DKT peserta aktif yang hadir 6 orang. kelengkapan sarana pelayanan kesehatan,
Wawancara mendalam dilakukan sebanyak kemudahan mengumpulkan iuran, dan jarak
empat kali pada peserta yang telah berhenti dan tempuh, serta perilaku petugas.
dua kali pada peserta aktif.
3. Persepsi terhadap Risiko Sakit
1. Pengetahuan Persepsi terhadap risiko sakit baik peserta
Analisis kuantitatif yang dilakukan untuk berhenti maupun peserta aktif hampir sama.
mengukur pengetahuan responden menunjukkan Sebagian besar responden mengatakan khawatir
pengetahuan tentang JPKM pada peserta aktif dengan biaya jika jatuh sakit karena faktor
semua termasuk kategori baik sedangkan pada ekonomi atau penghasilan, biaya RS yang tinggi,
peserta yang telah berhenti yang termasuk tidak ada simpanan, dan karena JPKM sudah
kategori baik hanya 45%. tidak berlaku. Khawatir karena faktor ekonomi
Seperti dikatakan oleh Mukti6, kelambatan atau penghasilan seperti ungkapan berikut:
perkembangan JPKM di Indonesia dapat dilihat “……ya saya rasa begitu, karena kalau kita tahu
dari aspek masyarakat, penyedia layanan bahwa biayanya sekarang cukup tinggi apalagi
kesehatan, dan organisasi penyelenggara JPKM. misalnya kita melihat kondisi yang memang
Dari aspek masyarakat masih dihadapkan pada belum memungkinkan, kita merasa berat dengan
adanya biaya-biaya itu……..”.
masalah mendasar seperti tingkat pengetahuan Wawancara Peserta Aktif, Responden 1
kesehatan masyarakat yang jauh dari cukup.
Biaya RS yang tinggi dan biaya obat yang
2. Penghasilan mahal juga merupakan kekhawatiran peserta bila
Rerata penghasilan peserta yang telah jatuh sakit seperti ungkapan berikut:
berhenti lebih tinggi dari peserta aktif. Rerata
“…….Jelas, iyo toh kuatir. Siapa tau biayanya di
penghasilan peserta yang telah berhenti adalah rumah sakit tidak disangka-sangka lebih besar
Rp532.500,00 dengan penghasilan terendah dari yang kita duga toh …..“.
Rp150.000,00 dan tertinggi Rp1.200.000,00. Wawancara Peserta Berhenti, Responden 3
Adapun rerata penghasilan peserta aktif adalah
Rp406.250,00 dengan penghasilan terendah
Rp300.000,00 dan tertinggi Rp 800.000,00.
204 204
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
“…….kan biasa itu tiba-tiba kita butuh biaya “......dari hasil pengamatan saya juga salah satu
banyak. Uangnya wah itu, maksudnya tiba-tiba kendala waktu itu sampai JPKM ini agak berat
kita jatuh sakit, kita butuh obat, mau beli…., di berkembang karena itu tingginya premi yang
sanakan seperti kalo di rumah sakit bu langsung harus mereka bayar sehingga itu juga apa
obat, langsung bayar, langsung resep namanya....kuran g banyak peserta yang
dikasih…….”. masuk.....”.
DKT Klp Aktif, Responden 1 Wawancara Pengelola Bapel
Selain itu, peserta merasa khawatir dengan Bagi peserta aktif tingkat premi dirasakan
biaya bila jatuh sakit karena faktor tidak adanya tidak memberatkan dibandingkan dengan
simpanan atau tabungan seperi berikut: pelayanan yang diterima di PPK seperti berikut
“……..memang bu, kalau seandainya kita ini ini:
masih sehat, artinya setelah kita jatuh sakit kan
“.......Saya pikir kalau untuk iurannya itu cukup,
sekarang kita sudah hitung-hitung karena jelas
eh sangat ringan karena memang sangat
manusia itu nanti akan sakit. Jadi seyogyanya
terjangkau, apalagi kalau kita melihat bahwa
kita pada saat sehat itu kita ada simpananlah
kalau misalnya kita terjadi sakit itu pelayanannya
begitu…..”
juga jauh sangat tidak sesuai dengan iuran yang
DKT Klp Berhenti II, Responden 1
kita kumpul.....”.
Wawancara Peserta Aktif, Responden 1
Hal ini seperti hasil penelitian Mukti10 yaitu
90% responden menjawab sumber biaya Hasil penelitian Husniah11 juga menyimpulkan
perawatan di RS adalah biaya sendiri dan bahwa peserta JPKM Bapel Jasma Angsana
diperkuat dengan jawaban responden tentang Singkawang yang masih aktif menilai bahwa
persepsi terhadap risiko sakit yang tingkat premi yang harus dibayar dapat
menunjukkan bahwa 67% menjawab khawatir diterima, sebaliknya peserta sudah berhenti
dan sangat khawatir akan biaya kesehatan bila merasa keberatan dengan premi yang harus
jatuh sakit. dibayar.
Tujuan utama perhitungan premi adalah
4. Premi untuk menentukan biaya yang akan dibebankan
Peserta yang telah berhenti mengatakan kepada masyarakat untuk melaksanakan program
bahwa premi tidak berat jika menjadi peserta jaminan pemeliharaan kesehatan bagi
seorang diri saja atau hanya berdua tetapi bila masyarakat yang bersangkutan. Untuk mencapai
memasukkan seluruh anggota keluarga premi tujuan ini, semua pihak yang terlibat dalam JPKM
sebesar Rp7.500,00 per orang per bulan harus mencari keseimbangan yang sesuai dalam
dirasakan berat seperti ungkapan responden menentukan tingkat premi yang akan
berikut: dibebankan kepada masyarakat.
“……Kalau saya merasa berat itu kalau bayar per Keseimbangan yang sesuai dapat diperoleh
kepala. Saya rasa Bapel JPKM buat suatu komite dengan mempertimbangkan tiga elemen dasar
artinya komite itu simpulkanlah itu misalnya satu
(asas) dalam menentukan tingkat premi, yaitu
keluarga lima kepala, jelas kami merasa berat per
bulannya….. Artinya harus disetujui oleh pihak kecukupan (adequacy), kewajaran (com-
direktur Sintesa misalnya satu keluarga itu petitiveness atau reasonableness), dan keadilan
Rp10.000,00 biar 10 orang anaknya tapi (equity). Ketiga elemen dasar ini akan menjaga
disepakati begitu karena kami juga merasa berat
pelaksanaan program JPKM dalam melayani
misalnya dibayar per kepala……”.
DKT Klp Berhenti II, Responden 3 masyarakat secara adil (fair) dan terhindar dari
kesulitan keuangan akibat tingkat premi yang
Premi yang terlalu tinggi dengan hitungan terlalu rendah atau kesulitan pemasyarakatan
per kepala menurut responden berhenti akibat tingkat premi yang terlalu tinggi.
menyebabkan banyak masyarakat Keberhasilan program JPKM sangat ditentukan
mengundurkan diri seperti ungkapan berikut: oleh tingkat partisipasi masyarakat dalam
“......Makanya itu hari banyak sebenarnya yang program. Premi yang terlalu tinggi akan
mau masuk kalo begitu. Waktu rapat pertama mendorong penolakan masyarakat dan
dorang (mereka) kira..... banyak orang bu tapi meningkatkan resistensi masyarakat atas
karena mereka dengar begitu tidak jadi mi....”. program JPKM. Keseimbangan antara kualitas
DKT Klp Berhenti I, Responden 6
tingkat pelayanan dan kewajaran tingkat premi
merupakan hal yang harus senantiasa dijaga.8
Menurut pengelola Bapel premi yang
ditetapkan oleh Bapel terlalu tinggi, sehingga
5. Paket Pemeliharaan Kesehatan
kurang banyak peserta yang masuk dan ini
Peserta berhenti yang pernah memakai kartu
merupakan salah satu kendala sehingga JPKM
JPKM untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
Bapel Sintesa tidak berkembang seperti dikatakan
merasa cukup atau puas dengan paket
oleh pengelola Bapel sebagai berikut:
pemeliharaan kesehatan yang ada seperti berikut:
205 205
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
“Cukup bagus karena ini kita bisa pakai berobat
begitu saja....macam-macam pelayanannya”.
6. Pelayanan Kesehatan di PPK
Ketidakpuasan terhadap pelayanan
Peserta berhenti khususnya yang belum kesehatan di PPK baik Puskesmas maupun
pernah memakai kartu JPKM untuk mendapatkan rumah sakit tidak hanya diungkapkan oleh
pelayanan sebagian besar merasa tidak puas peserta yang telah berhenti tetapi juga oleh
dengan paket pemeliharaan kesehatan karena peserta yang masih aktif. Bagi responden yang
adanya batasan-batasan dan RS tertentu sebagai sudah pernah menggunakan kartu JPKM untuk
PPK seperti ungkapan berikut: mendapatkan pelayanan kesehatan tanggapan
responden umumnya positif dengan pelayanan
“........keinginan kita sebagai masyarakat kecil
bu,……JPKM Sitesa itu kan segala apa saja kesehatan umum. Tetapi tidak demikian dengan
penyakit. Harapan kita itu dibantu dengan JPKM pelayanan kesehatan gigi, KB dan persalinan
kesehatan. Ah sementara di sini seperti ada karena walaupun ketiga pelayanan ini termasuk
pembedaan, batasan-batasan penyakit seperti dalam kontrak tetapi petugas di PPK
yang terjadi macam operasi tidak dibiayai, ini pas
seperti kita masyarakat kecil dilayani mengharuskan peserta untuk membayar seperti
keseluruhan…..”. ungkapan berikut:
DKT Klp Berhenti II, Responden 1 “......disuruh bayar dulu bu, hanya kalau umum
ndak, hanya kalau gigi biasa kadang kita....ada
“........tapi maunya kalau dirujuk ke rumah sakit
juga yang itu apa namanya....orangnya di situ apa
jangan rumah sakit propinsi saja, maunya bisa
namanya....petugasny a sekke (kikir) apa
semua rumah sakit seperti Santa
namanya begitu......”.
Anna........karena biasa kita berkunjung ke
Wawancara Peserta Berhenti, Responden 4
keluarga kita trus kita sakit misalnya di
Wawotobi, tidak mungkin misalnya kita sakit di “......waktu melahirkan di Abunawas di suruh
luar kota kita kembali dulu baru berobat. Maunya bayar. Saya kasihkan kartu begini toh ndak
kartunya bebas.....”. berlaku di sini bu kartu begini. Ini bukan kartu
DKT Klp Berhenti II, Responden 2 gratis, kita bayar tiap bulan, pertahun juga bisa.
Iya memang tapi kita tidak baku pegang dengan
Terhadap paket pemeliharaan kesehatan, JPKM. Akhirnya saya keluar dari Rumah Sakit
peserta aktif merasa cukup atau puas dan sudah saya bayar dulu baru saya datang melapor di
kantornya.....”.
sesuai dengan premi yang dibayarkan seperti DKT Klp Aktif, Responden 2
ungkapan-ungkapan responden sebagai berikut:
“.......itu mi kita nekat ikut karena maksudnya Perasaan tidak puas responden terhadap
semua penyakit begitu toh bisa kita pake berobat, pelayanan kesehatan di Puskesmas juga
tinggal yang disengaja saja yang tidak bisa.....”.
DKT Peserta Aktif, Responden 4 diungkapkan oleh responden berhenti maupun
responden aktif yang merasa dibedakan dengan
“.......saya kira kalau menurut saya sesuai pasien umum seperti ungkapan berikut:
dengan apa yang ada dikontrak itu sudah cukup
sesuai dengan dana yang kita keluarkan, karena “......iya, kayaknya dibedakan begitu karena kalau
tidak mungkin juga kita keluarkan dana sedikit kita pakai kartu JPKM tidak terlalu diperhatikan
kita menuntut yang lebih besar. Saya pikir sudah begitu, karena memang waktu saya hamil.... lama
pantas dengan apa yang tercantum dalam dianu dulu yang membayar dulu, yang ambil
kontrak itu.......”. kartu dulu.....”.
Wawancara Peserta Aktif, Responden 1 Wawancara Peserta Aktif, Responden 2
206 206
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
pergi saja bu masih berlaku ini JPKM
Sintesa….….”.
Tanggap an responden terhadap
DKT Klp Aktif, Responden 1 profesionalisme Bapel dapat dikelompokkan
menjadi tanggapan terhadap kelengkapan
Penanggung jawab JPKM Bapel Sintesa administrasi peserta, penyuluhan dan pembinaan
ketika dimintai pendapat tentang hal ini oleh Bapel, cara pengumpulan premi, cara
mengatakan bahwa beberapa kali peserta JPKM memperoleh kartu pelayanan kesehatan,
ini diharuskan membayar oleh PPK, seperti penampungan dan penyelesaian keluhan,
ungkapan berikut: penggantian biaya pelayanan kesehatan, dan
kepercayaan terhadap Bapel.
“….. sebenarnya di rumah sakit memang kan
awal-awalnya juga sudah sering terjadi begitu Tanggapan responden tentang kelengkapan
utamanya yang rawat jalan waktu itu. Itu yang administrasi peserta antara peserta berhenti dan
sering masuk dirujuk itu sering disuruh bayar peserta aktif hampir sama. Hampir semua
dan itu berapa kali kita harus ganti artinya setelah responden baik peserta aktif maupun berhenti
teman-teman ke sana dapat keluhan……”. mengatakan hanya menandatangani formulir atau
Wawancara Pengelola Bapel
kuitansi dan ada pula yang hanya menerima
Kusumo 13 dalam penelitiannya juga brosur atau kartu sebagai ikatan antara peserta
dengan Bapel seperti ungkapan:
menyimpulkan bahwa pelayanan kesehatan
berhubungan secara bermakna dengan “Kayaknya hanya formulir yang pertama
masuk”.
kepesertaan JPKM.
Sikap tidak puas responden terhadap
Bahwa responden tidak menandatangani
keharusan membayar pelayanan kesehatan yang
kontrak sebagai kelengkapan administrasi
termasuk dalam kontrak juga dapat menjadi
peserta terlihat dari jawaban responden:
penyebab berhentinya responden dari
kepesertaan JPKM. Dalam Pasal 27 Permenkes “…… coba seandainya pada saat kita masuk
kemudian lembaran kontrak itu kita dikasih itu
Nomor 571/ Menkes/Per/VII/1993 disebutkan sesuai dengan aturan di dalam itu akan kita tahu
bahwa PPK dilarang menarik pembayaran persis hak dan kewajiban kita itu memang
dari peserta sepanjang pelayanan yang kelihatan bu….”.
diberikan sesuai dengan paket kesehatan yang DKT Klp Berhenti II, Responden 1
telah disepakati.3
Ketidaksiapan sistem pembayaran kapitasi Berkaitan dengan hal ini ketika ditanyakan
mungkin juga merupakan penyebab beberapa kepada pengelola JPKM Bapel Sintesa,
petugas kesehatan di PPK I mengharuskan penanggung jawab JPKM ini mengatakan:
peserta JPKM untuk membayar biaya pelayanan “........seperti yang saya bicarakan dulu itu bahwa
mereka kan mengisi formulir dulu setelah itu
kesehatan walaupun sebenarnya pelayanan menandatangani kontrak....ini kan formulirnya
tersebut masuk dalam paket pemeliharaan dan dibelakangnya ini kontrak. Jadi saya tidak
kesehatan seperti yang tercantum dalam kontrak. tahu apakah mereka....bagaimana sosialisasinya
Hendrartini2 mengatakan dari pengamatan di teman-teman tetapi yang jelas setiap isi formulir
dengan kontraknya sekaligus...”.
lapangan dijumpai permasalahan-
permasalahan yang menunjukkan Wawancara Pengelola Bapel
ketidakberhasilan program JPKM ini antara lain
yaitu PPK belum siap dengan konsep Responden yang telah berhenti maupun
pembayaran kapitasi. Perubahan ini tidak mudah yang masih aktif mempunyai pendapat yang
dilakukan mengingat sistem fee for service hampir sama tentang penyuluhan dan
sudah membudaya di kalangan tenaga medis, pembinaan yang diberikan oleh Bapel. Bapel
sehingga banyak muncul kritik dan keluhan tidak pernah memberi penyuluhan diungkapkan
dari PPK menyangkut pembayaran kapitasi ini. responden sebagai berikut:
Malik5 juga mengatakan lambannya “….belum pernah. Hanya itu dia datang menagih
perkembangan JPKM antara lain juga karena setelah itu dia catat, dia kasih....dirinya, pulang
mi….”.
PPK kurang profesional dalam memberikan
pelayanan kesehatan selain dari pemahaman
JPKM yang kurang.
yang terbaik kepada setiap anggotanya sesuai
7. Profesionalisme Bapel dengan aturan yang telah dibuat.
Profesionalisme dalam memberikan
pelayanan merupakan salah satu faktor yang
penting seperti dalam pelayanan kesehatan.
Profesionalisme pengelola Bapel menunjukkan
kecakapan kerja dalam memberikan pelayanan
207 207
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
DKT Klp Aktif, Responden 1
208 208
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
“........baru ini kan biasanya ada itu.... berhenti di kegiatan home industri.......progra m HIV
tengah jalan, dorang (mereka) tidak anu lagi jadi AIDS........terus yang lain ada program
kita biasa ragu-ragu kalau kita mau pergi berobat Askesos........terus banyak tetapi ya....mungkin
baru tidak pernah datang, seperti tahun ini kita sudah cukup......”.
membayar bu tidak pernah mi dia datang karena Wawancara Pengelola Bapel
dia pikir mungkin sudah dibayar........”.
DKT Klp Aktif, Responden 1
Banyaknya program yang ditangani
penanggung jawab JPKM Bapel Sintesa juga
Cara pengumpulan premi menurut peserta
menyebabkan kurangnya perhatian dalam
yang telah berhenti maupun yang masih aktif
menjalankan program JPKM ini. Penanggung
tidak sulit karena kolektor datang menagih ke
jawab JPKM sudah tidak terlalu memperhatikan
rumah peserta seperti ungkapan berikut:
berapa Puskesmas yang masih menjadi PPK
“Iya tidak sulit, ada yang datang menagih ke dalam program JPKM ini seperti ungkapan
rumah”.
penanggung jawab Bapel sebagai berikut:
Tetapi menurut responden yang terjadi justru “.........jadi kan sekarang yang sisa jalan itu,
kolektor yang tidak datang menagih iuran lagi sisa....kalau ndak salah sisa 3 atau 4 Puskesmas.
Kan dulu cuma 5 atau 6 Puskesmas. Kalau yang
seperti ungkapan-ungkapan responden sebagai lalu sudah berhenti karena pesertanya habis, itu
berikut: ada penyampaia n ke Puskesmas….hanya
“…….tidak ditagih bu, sudah 40 uang yang memang yang belakangan ini ya terus terang
masuk saya membayar….”. saya sudah tidak terlalu perhatikan........”.
DKT Klp Berhenti I, Responden 2 Wawancara Pengelola Bapel
“........karena anu....dia kan tidak pernah lagi Dalam hal mendapatkan kartu pelayanan
datang menagih......”.
Wawancara Peserta Berhenti, Responden 1 kesehatan semua responden mengatakan mudah
mendapatkan karena peserta mendapatkannya 1
“…..artinya sudah tidak ada yang datang hari atau 2 hari setelah didaftar menjadi peserta
menagih. Jadi kita ini bu mau bayar sama siapa.
Pusing mau bayar dengan siapa…..”. seperti ungkapan-ungkapan berikut:
DKT Klp Berhenti II, Responden 2 “......saya rasa semua satu kali diantar itu hari
bu karena saya yang mengedarkan dengan
Keterbatasan tenaga merupakan faktor pak....Angsuran pertama itu langsung keluar
kartunya....”.
terhambatnya perkembangan JPKM Sintesa ini DKT Klp Berhenti, Responden 8
selain dari faktor peserta sendiri seperti yang
diungkapkan pengelola Bapel sebagai berikut: “......ndak, kayaknya 2 hari begitu langsung
dibawakan ke sini.....”.
“......karena selama ini salah satu faktor Wawancara Peserta Aktif, Responden 2
mandeknya JPKM ini karena pengumpulan premi
itu tidak bisa kita optimalkan. Jadi ada dua sisi
Ada berbagai pendapat respoden tentang
yang saya lihat, pertama dari kita sendiri
keterbatasan tenaga yang kedua dari sisi peserta penampungan keluhan dan penyelesaiannya oleh
sendiri.......”. Bapel. Baik responden aktif maupun berhenti
Wawancara Pengelola Bapel kedua kelompok ini mengatakan keluhannya
“........tapi disisi lain berdasarkan laporan teman- segera ditanggapi dan diselesaikan tetapi ada
teman bahwa mereka itu kadang sudah 2 kali, 3 juga yang tidak. Beberapa responden mengatakan
kali datang tidak terbayar....dan bahkan ada yang keluhannya segera ditanggapi karena mendapat
menyatakan setelah datang, berhenti karena penggantian biaya pelayanan yang telah mereka
tidak pernah sakit. Jadi dia minta mundur karena
dia bilang saya rugi ini karena tidak pernah juga keluarkan lebih dahulu seperti ungkapan
sakit”. responden:
Wawancara Pengelola Bapel “.....ah ditanggapi tawa. Langsung dia urus,
malahan dimarahi itu bidan-bidan. Dikembalikan
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan itu kita punya uang........”.
DKT Klp Aktif I, Responden 1
Masyarakat (JPKM) Bapel Sintesa merupakan
salah satu program yang dijalankan oleh LSM “…..waktu saya melahirkan saya bayar
Sintesa Kendari. Penanggung jawab JPKM Bapel Rp325.000,00 trus dikasih kuitansi pembayaran
Sintesa juga menangani beberapa program lain dari RS….baru saya bawa ke kantor Bapel baru
digantikan…..”.
seperti yang dikatakan oleh penanggung jawab DKT Klp Aktif I, Responden 2
JPKM Bapel Sintesa sebagai berikut:
“.......untuk divisi program sendiri yang di sini, Keluhan peserta yang tidak ditanggapi oleh
jadi yang pertama sarana air bersih dan sanitasi, Bapel juga menyebabkan responden berhenti
terus yang kedua JPKM sendiri,........pembinaan dari kepesertaan JPKM seperti yang
diungkapkan responden sebagai berikut:
209 209
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
“........hanya itu bu kenapa saya berhenti bu, sementara kalau bilang mau tarik kembali itu
hanya itu saja kendalanya saya kenapa saya tidak ada masalah bu tapi ada penjelasan kenapa
berhenti bu karena itu dia ambil saya punya kartu tiba-tiba berhenti…….”.
saya suruh perbaiki tidak dikasih DKT Klp Berhenti II, Responden 1
kembalikan........”.
Wawancara Peserta Berhenti, Responden 4 “......bukan saya yang berhenti bu. Di sana yang
stopkan di Sintesa itu. Bagian penagihan katanya
Walaupun beberapa responden merasa puas distopkan dulu untuk sementara ndak tau apa
alasannya nanti bulan depannya baru dia datang
karena keluhannya kepada Bapel untuk kembali kasih informasi. Sampai sekarang juga
mendapat penggantian biaya terpenuhi tetapi sudah hampir satu tahun lagi……”.
ada juga responden yang tidak setuju Wawancara Peserta Berhenti, Responden 2
dengan cara membayar biaya pelayanan
kesehatan lebih dulu kemudian digantikan oleh Bahkan karena tidak transparan dalam
Bapel seperti ungkapan responden berikut: pengelolaan premi sehingga responden
“….seperti kita tiba-tiba sakit ya bu....syukurlah menyuruh istri berhenti dari kepesertaan JPKM:
kalau ada uang. Itu susahnya kalau nanti kita mau “.......reperti kemarin bu istri saya kan sudah
bayar nah tidak ada uang.........Ini susahnya kalau bayar 5 bulan premi walaupun hanya Rp7.500,00
kita mau bayar sendiri sementara kita sudah per bulan uang itu telah disetor ke sana entah
masuk JPKM ternyata kita tidak dibantu kembali atau tidak tapi ke mana uangnya.......”.
duluan........”. DKT Klp Berhenti II, Responden 1
DKT Klp Berhenti II, Responden 1
Menurut pengelola Bapel konsep JPKM awal
Dalam hal kepercayaan terhadap Bapel yang dikembangkan Bapel akan dihentikan dulu
dalam pengelolaan premi, peserta aktif dan akan diintegrasikan pada program lain
cenderung lebih percaya kepada Bapel sehingga seperti ungkapan berikut:
responden tetap menjadi peserta JPKM selain
“........saya rencana setelah peserta habis ini,
karena responden tidak mempunyai asuransi konsep JPKM awal yang coba kita kembangkan
kesehatan yang lain seperti ungkapan responden itu kita hentikan, selanjutnya nanti JPKM yang
berikut: ke depan itu kita coba semacam integrasikan ke
dalam program........Askeso s (Asuransi
“……kita percaya kasian jadi kita tidak ragu-ragu Kesejahteraan Sosial) yang sekarang ini.
turun…makanya kita masuk kita masuk JPKM ini Makanya untuk sementara saya habiskan dulu
bu karena kita tidak punya asuransi kesehatan masa kepesertaannya”.
yang lain…….”. Wawancara Pengelola Bapel
DKT Klp Aktif, Responden 4
Ketidakpercayaan terhadap Bapel ini juga
Juga responden aktif tetap percaya karena
karena responden menganggap Bapel mengelola
kolektor yang bermasalah telah berhenti seperti
JPKM ini sebagai bisnis dan mencari keuntungan:
ungkapan:
“……..salah satu penyelenggara apa saja pasti
“…….Oh iyo...iyo, percaya kan dia sudah tidak menyangkut masalah keuntungan....bagi badan
mi, keluar mi.....”. yang menyelenggaraka n itu bisnis, dia
DKT Klp Aktif, Responden 5 membantu tapi........jelas dia dapat
keuntungan.......”.
Ketidakpercayaan terhadap pengelolaaan DKT Klp Berhenti II, Responden 1
premi oleh Bapel lebih banyak diungkapkan oleh
peserta yang telah berhenti dan khususnya yang Tidak siapnya aparat yang menangani pro-
belum pernah memakai kartu JPKM untuk gram JPKM menurut Hendrartini2 merupakan
mendapat pelayanan kesehatan seperti yang salah satu penyebab ketidakberhasilan program
diungkapan responden berikut: JPKM di lapangan. Pada umumnya pengelola
“……nanti pikir-pikir dulu lagi, sudah Bapel masih belum mengetahui manajemen
pengalaman beginikan selama satu tahun kita pengelolaan Bapel JPKM yang baik khususnya
membayar Rp21.000,00 per bulan ndak tau manajemen pemasaran, manajemen
uangnya dikemanakan juga…….”. keuangan dan perencanaan sebagai organisasi
Wawancara Peserta Berhenti, Responden 2
bisnis. Sebagai organisasi bisnis JPKM Bapel
Sintesa belum dapat melakukan manajemen
Ketidakpercayaan responden juga
pemasaran, keuangan dan perencanaan dengan
disebabkan karena Bapel tidak memberi tahu atau
baik. Dalam melakukan pemasaran JPKM ini
menjelaskan alasan berhenti sementara seperti
Bapel lebih banyak melakukan secara door to
ungkapan- ungkapan responden berikut:
door, sehingga JPKM ini hanya bertambah
“…….masalahny a begini, mestinya ada
penjelasan, sekarang kan tidak ada penjelasan anggotanya pada awal-awal berdirinya. Menurut
bu jadi kita tidak tahu persis kenapa macet pengelola Bapel kekurangan
210 210
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
tenaga juga menjadi penyebab tidak ketentuan secara tertulis yang mencakup
berkembangnya JPKM ini yang menyebabkan pemberian informasi bagi peserta dan PPK, paket
pengumpulan premi tidak dapat dioptimalkan pemeliharaan kesehatan, dan tata cara
selain dari faktor peserta sendiri yang kurang memperoleh pelayanan.
sadar manfaat JPKM seperti diungkapkan oleh Banyaknya program yang ditangani oleh
pengelola Bapel sebagai berikut: penanggung jawab Bapel juga berpengaruh pada
“...Sebenarnya memang ada dua faktor juga perkembangan JPKM ini, karena penanggung
memang anu...., pertama strategi yang kita jawab menjadi kurang memperhatikan program
kembangkan dulu dengan door to door JPKM.
penagihan premi rupanya sangat tidak efektif
trus kedua kita mencoba apa namanya Terhambatnya program JPKM ini seperti
keterbatasa n tenaga dan ketiga memang dikatakan Hendrartini 2 adalah karena
ditingkat masyarakat tingkat kesadarannya pada umumnya Bapel belum mengetahui
terhadap JPKM itu masih sangat....katakanlah pengelolaan manajemen JPKM yang baik. Pasal
masih sangat rendah.....”.
Wawancara Pengelola Bapel 41 Permenkes Nomor 571/Menkes/Per/VII/1993
menyebutkan penyelenggaraan program JPKM
Penyuluhan dan pembinaan yang tidak harus dilakukan secara terpisah dari kegiatan lain
diberikan kepada peserta dikatakan oleh yang dilakukan oleh Bapel dan pemisahan
pengelola Bapel JPKM Sintesa, karena faktor tersebut meliputi pemisahan organisasi,
tenaga lapangan yang kurang dan lokasi tempat pengelolaan, tenaga, sarana, dan dana. Selain
tinggal peserta yang umumnya berjauhan faktor tenaga, faktor dana juga menjadi hambatan
sehingga sulit melakukan mobilisasi untuk dalam pelaksanaan JPKM Bapel Sintesa ini.
bertemu. Dalam menjalankan program ini pengelola
Seperti pendapat Thabrany7 yang hanya bergantung pada dana dari donatur
mengatakan bahwa salah satu hal penyebab yang besarnya hanya untuk biaya
lambatnya pertumbuhan Bapel dan peserta operasional Bapel selama satu tahun sehingga
JPKM antara lain belum memadainya sumber ketika pengumpulan premi peserta tidak dapat
daya manusia yang mampu mengelola asuransi dioptimalkan Bapel menjadi kesulitan dana dan
kesehatan apalagi JPKM yang manajemennya dikatakan oleh pengelola Bapel bahwa Bapel
lebih kompleks dari pengelolaan asuransi sebelumnya tidak melakukan analisis kecukupan
kesehatan tradisional. dana untuk pelaksanaan JPKM ini dan hanya
Sumber daya manusia di Bapel JPKM berijin berdasarkan ketersediaan dana operasional
umumnya masih belum sesuai dengan kualifikasi selama satu tahun seperti ungkapan berikut:
yang diperlukan. Departemen Kesehatan tidak “......ndak ada-ndak ada analisa sampai ke situ.
mensyaratkan kualifikasi tenaga untuk Bapel. Yang jelas waktu itu kan kita memang sanggup
biaya operasionalnya selama satu tahun.....”.
Berbeda dengan perundang-undangan asuransi Wawancara Pengelola Bapel
yang mensyaratkan paling sedikit separuh dari
pimpinan perusahaan harus memiliki gelar Bapel Sintesa dalam mengelola JPKM ini
profesional tertentu. Ketiadaan persyaratan belum memperhatikan rencana operasional
spesifik ini, khususnya dalam penghimpunan penyelenggaraan JPKM seperti bunyi Pasal 38
dana akan sangat besar risikonya bagi Permenkes Nomor 571/Menkes/Per/VII/1993 yang
perkembangan JPKM itu sendiri. Dalam kegiatan menyebutkan bahwa rencana operasional
operasionalnya Bapel baru dapat menerapkan penyelenggaraan JPKM harus dibuat setiap tahun
tiga jurus, yaitu ikatan kontrak, penyediaan yang salah satunya adalah modal, cadangan, dan
pelayanan paripurna dan manajemen keluhan investasi.
peserta. Bapel dalam kegiatannya
beroperasi sebagai asuransi pertanggungan KESIMPULAN DAN SARAN
kerugian (indemnity insurance) yang kurang
sesuai dengan konsep managed care atau Kesimpulan
JPKM.4 Premi yang terlalu tinggi, pelayanan kesehatan
Kontrak yang tidak diberikan kepada peserta di PPK dan paket pemeliharaan kesehatan yang
juga menjadi hambatan dalam pelaksanaan belum memuaskan serta profesionalisme Bapel
JPKM ini. Sebagian besar responden yang belum baik merupakan faktor yang
mengatakan hanya menerima formulir atau menyebabkan peserta JPKM berhenti sehingga
kuitansi sebagai ikatan antara peserta dengan terjadi penurunan jumlah peserta JPKM pada
Bapel. Dalam Pasal 50 Bapel Sintesa.
Permenkes Nomor 571/Menkes/Per/VII/1993
disebutkan bahwa Bapel dalam
menyelenggarakan program JPKM harus
membuat ketentuan-
211 211
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
212 212
JMPK Vol.
Otonomi Daerah dan Akuntabilitas Otonomi Daerah dan Akuntabilitas
ABSTRACT
Background: The shifting of the responsibility of the district health office from the ministry
health to local government during decetralization policy could mean a positive impact on
health status. Since they experience public financed programs and have the capacity to note
the difference between what happen in the field what stated in the official report, DPRD and
community could have an opportunity to oversee the performance of DOH. If this assumption
is true, LAKIP in decentralization era would be more commonsensical and accountable to the
program mission and reality. This study evaluates if the practice of performance
accountability reporting (LAKIP) in District Health Office has improved after the
implementation of district autonomy act. It looks at the evidence for a new vision and mission
of the DOH during the decentralization policy, organizational changes in response to them,
and local stakeholder participation in local health planning.
Method: Main source of information is 2002 and 2003 performance accountability report and
relevant government documents. During the field work in November to December 2004,
respondents from DOH, DPRD, and community organizations were interviewed.
Result: LAKIP reflects more about administrative accountability. No description on the
effectiveness of the program available in the report. Several issues related to this matter
include time uncertainty of money for program implementation program organization.
Importantly, the shift in financial responsibility of local government has no effect on the
increase in local resources available for health. The organization vision and mission lack of
clarity and district specific intention. Although it is reasonable to share the global and
national scope of the Health Department’s vision, it is important that local government
express its own vision so that create the local driving force to achieve them differently from
other district or the national standard. Local stakeholders do not seem to have a room to
express their own vision. DPRD and local NGOs have shown a degree of participation health
program and planning, however they involved in a few limited events and in an ad hoc basis.
Part of this problem is due to the limited personal background of the DPRD member in local
health problems, program interventions, and the DOH work practices.
Conclusion: LAKIP still reflects administrative procedure in one form of finance public
responsibility. Program effectiveness and efficiency remains unnoticed. While it is difficult to
judge the performance of DOH for health merely on the basis of LAKIP, it is necessary to
open public access to the LAKIP so that local stakeholders could verify the gap between the
contents and the public experience.
213 213
JMPK Vol.
Otonomi Daerah dan Akuntabilitas Otonomi Daerah dan Akuntabilitas
PENGANTAR HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sesuai dengan instruksi Presiden Republik Akuntabilitas Kinerja Dinas Kesehatan
Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Kabupaten Kulonprogo dilaksanakan mulai dari
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, semua penyusunan perencanaan strategis, pelaksanaan
instansi pemerintah sebagai unsur penyelenggara kegiatan, pengukuran kinerja dan pelaporan
pemerintahan negara untuk mempertanggung- kinerja melalui LAKIP. Data hasil capaian kinerja
jawabkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi, Dinas Kesehatan Kabupaten Kulonprogo tahun
serta kewenangan pengelolaan sumber daya 2002 dan tahun 2003 menunjukkan kategori
dengan didasarkan suatu perencanaan strategis sangat berhasil (Tabel 1). Namun, bila melihat
yang ditetapkan oleh masing-masing instansi. angka pencapaian terdapat pada pencapaian
Kinerja instansi pemerintah dipertanggungjawab- kinerja kebijakan tahun
kan melalui Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi 2003 terdapat penurunan.
Pemerintah (SAKIP). Dinas Kesehatan
Kabupaten Tabel 1. Kinerja Dinas Kesehatan Kulonprogo
Kulonprogo telah melaksanakan pertanggung-
jawaban dari tugas pokok dan fungsi yang baru Capaian Kinerja Bersumber LAKIP
setelah implementasi otonomi daerah. Aspek Kinerja 2002 2003
Akuntabilitas kinerja didefinisikan sebagai Kegiatan 91,4% 94,3%
perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah (sangat berhasil) (sangat berhasil)
214 214
Otonomi Daerah dan Akuntabilitas Otonomi Daerah dan Akuntabilitas
pajak yang terbatas. 2 Hal ini terjadi pula di Karena pembiayaan yang terbatas, tidak
Kabupaten Kulonprogo bahwa pembiayaan sesuai dengan besar kewenangan yang harus
kesehatan tidak seiring dengan luas kewenangan dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan, maka
yang diberikan. Pembiayaan cenderung menurun kinerja yang dihasilkan tidak optimal. Masih ada
dan proporsi belum sesuai dengan standar WHO beberapa kewenangan yang tidak muncul dan
yaitu minimal 15% APBD (Tabel 4). tidak terukur dalam pertanggungjawaban kinerja
Dinas Kesehatan Kabupaten Kulonprogo (Tabel
5).
Jenis Kewenangan
Tanggung Jawab %
(Sesuai SK Bupati Kulonprogo No. 839 Tahun 2000)
215 215
Otonomi Daerah dan Akuntabilitas Otonomi Daerah dan Akuntabilitas
Keberhasilan penyelenggaraan otonomi Agar pelaksanaan otonomi dapat berjalan
daerah tidak terlepas dari partisipasi stakeholder dengan baik maka diperlukan organisasi dan
yang masing-masing memiliki fungsi yang manajemen yang baik pula.5 Perbedaan
berbeda tetapi saling berkaitan satu.3 Hasil organisasi kesehatan sebelum dan sesudah
wawancara dengan LSM dan DPRD Komisi E otonomi daerah (Tabel 7) menunjukkan tugas
(Tabel 6) menunjukkan bahwa partisipasi LSM pokok dan fungsi yang baru telah ditetapkan oleh
terbatas pada pelaksanaan dan Komisi E DPRD daerah melalui Perda Kabupaten Kulonprogo
sebatas pada proses pembuatan keputusan Nomor 11 Tahun
dan evaluasi. Keterbatasan dalam partisipasi ini 2000. Tugas dan fungsi tersebut harus
menunjukkan bahwa kontrol stakeholder belum dipertanggungjawabkan kepada Bupati melalui
optimal. Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Untuk melakukan kontrol memerlukan (SAKIP).
kejelasan visi, misi, dan tujuan dan sasaran serta Meskipun telah mencerminkan tugas dan
kebijakan yang harus dilakukan yang dituangkan fungsi yang harus dijalankan, susunan struktur
dalam perencanaan strategis. 4 Visi Dinas organisasi yang baru tidak banyak berbeda dari
Kesehatan Kabupaten Kulonprogo masih apa yang ada pada organisasi kesehatan yang
mengacu pada pusat, tetapi misi sudah lama (Tabel 8). Tugas pokok dan fungsi yang
menggambarkan tujuan organisasi dan sasaran tercermin dalam struktur organisasi dapat
yang ingin dicapai. Tujuan organisasi sudah jelas memperjelas kinerja apa yang harus dan
dan selaras dengan visi dan misi organisasi. Visi, dipertanggung- jawabkan melalui Akuntabilitas
misi, dan tujuan organisasi sudah tercermin Kinerja Instansi (AKIP).
dalam program-pro- gram yang dilaksanakan
dan dipertanggung- jawabkan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten Kulonprogo.
2002 2003
Persentase pembiayaan kesehatan APBD Kabupaten 53,38 47,30
per total pembiayaan kesehatan
Persentase pembiayaan kesehatan APBD Kabupaten 8,4 7,51
per total APBD
Capaian Kewenangan %
216 216
Otonomi Daerah dan Akuntabilitas Otonomi Daerah dan Akuntabilitas
Dinas Kesehatan
Menyelenggarakan sebagian urusan rumah
tangga daerah dalam bidang kesehatan
217 217
Otonomi Daerah dan Akuntabilitas Otonomi Daerah dan Akuntabilitas
218 218
Otonomi Daerah dan Akuntabilitas Otonomi Daerah dan Akuntabilitas
Sesudah otonomi daerah dapat dilihat bahwa pelaksanaan misi instansi, disarankan beberapa
manajer tertinggi adalah Bupati, yang hal sebagai berikut. Pemerintah Daerah perlu
menunjukkan bahwa pertanggungjawaban ada meningkatkan tanggung jawab kewenangan
pada tingkat daerah. Dinas Kesehatan bidang kesehatan menjadi secara penuh
sebelum otonomi menjadi pelaksana, tetapi dengan meningkatkan pembiayaan bagi program
setelah otonomi daerah Dinas Kesehatan program kesehatan secara bertahap. Dinas
menjadi organisasi yang bertanggung jawab Kesehatan perlu memperbaiki proses akuntabilitas
kepada Bupati. Karena dalam otonomi daerah, kinerja mulai dari perencanaan, pengukuran
rumah sakit menjadi unit pelaksana daerah. kinerja sampai dengan pelaporan
Direktur bertanggung jawab pada Bupati, pertanggungjawaban. DPRD dan LSM perlu
membuat pertanggungjawaban kinerja meningkatkan fungsi kontrol di daerah
kesehatan secara keseluruhan menjadi lebih terhadap kinerja Dinas Kesehatan dengan
sulit karena memerlukan koordinasi yang kuat dilibatkan secara dini dalam proses pengambilan
antara Dinas Kesehatan dan rumah sakit agar tar- keputusan, perencanaan sampai dengan
get-target program kesehatan bisa dicapai. evaluasi.
219 219
JMPK Vol.
Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas
ABSTRACT
Background: Community health service is a sector that has become the responsibility of all
Indonesian regencies with regards to the implementation of the regional autonomy to enable
the community to get better access to health services. Unfortunately, the implementation of
health services post regional autonomy in fact is deteriorating due to reduction of drug
procurement budget over the years, whereas drug availability is one of success indicators of
community health services. In fact, medical treatment in community health services in
Indonesia is dominated by curative measures where drug is a very vital component. These
facts serve as a basis for carrying out this research to evaluate the effect of regional
autonomy to the drug availability in South Bengkulu Regency.
Objective: To evaluate the utilization of available drug budget, to evaluate the budget
planning and drug procurement process, to evaluate the drug availability for the top 10
diseases, and to evaluate the efficiency and effectiveness in the drug procurement.
Methods: Analytical-descriptive method on the analysis unit of South Bengkulu Regency
Health Services Office. The data has been gathered based on observations and interviews
with Bengkulu Regency Health Services Head of Office, the Pharmaceutical Warehouse
Manager and management staff of the Health Services Office.
Results: Drug budget fitness decreases from 154,15% to 58,71% and allocation of budget in
health sector to drugs decreases from 81,66% to 6,89%. The planning process uses the
consumption pattern involving integrated drug planning team, while drug procurement
process follows existing regulations. Drug availability drops from 42 months to 14 months with
an increase in drug unavailability from 2,56% to 6,68%. The increase in efficiency and
effectiveness of drug management is marked by increase in fitness of drug availability to
disease pattern to under
90%, reduction of damaged drugs from 10,53% to 1,08% and reduction of expired drugs
from
15,31% to 1,62%.
Conclusions: The decrease in drug procurement budget has caused the decline in drug
availability, but with positive impact on effectiveness and efficiency of drug management.
Possible measures to be taken to bring a healthy autonomous society into reality include an
increase in drug budget proportion, the use of rational drug in health service units and the
promotion of JPKM program.
21 21
JMPK Vol.
Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas
Ketersediaan obat sebagai unsur utama
dalam pelayanan kesehatan selain
keterjangkauan, safety, quality dan efficiency ,
ketersediaan obat terkait erat dengan
pendanaan. 3 A lo k a s i pendanaan kesehatan
sebelum tahun 1999 di Indonesia berkisar US$
12 per kapita namun sejak pelaksanaan
otonomi turun menjadi US$
6.75 per kapita per tahun. 4 Kondisi yang sama
juga terjadi pada Kabupaten Bengkulu Selatan,
anggaran obat publik turun dari 1,47 milyar
22 22
JMPK Vol.
Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas
rupiah menjadi 348,25 juta rupiah atau turun 76%. memperoleh gambaran tentang tingkat
Nilai belanja obat ini hanya 2,48% dari anggaran ketersediaan obat publik pada Dinas Kesehatan
kesehatan umum tahun 2002 yang besarnya Kabupaten Bengkulu Selatan sebelum dan
berkisar 12,27 milyar rupiah.5 sesudah otonomi daerah.
Persentase anggaran obat di atas sangat Bahan penelitian berupa peraturan
kecil bila dibandingkan dengan persentase perundang- undangan pelaksanaan otonomi
anggaran obat nasional. Belanja obat daerah, dokumen anggaran pengadaan obat,
merupakan bagian terbesar dari anggaran pengadaan obat, pola demografi dan pola
kesehatan baik di negara maju maupun di penyakit, data pemakaian obat, data stok obat,
negara berkembang. Jika di negara maju LPLPOP, dan standar pengobatan puskesmas.
berkisar antara 10%-15%, maka di negara Jenis data yang diperlukan untuk penelitian
berkembang lebih tinggi yaitu hingga 35%- adalah jumlah anggaran dinas kesehatan secara
66%. Indonesia sendiri sekitar 39% anggaran umum, kebutuhan dana pengadaan obat,
kesehatan dipergunakan untuk anggaran anggaran obat yang tersedia, kuantum obat
pembelanjaan obat.6 yang direncanakan dalam satu tahun, pola
Kecilnya proporsi anggaran pengadaan obat penyakit daerah, pemakaian obat seluruh
publik tersebut bertolak belakang dengan ide puskesmas, ketersediaan obat di gudang
dasar penyelenggaraan otonomi daerah. farmasi, obat yang rusak dan kadaluarsa,
Lemahnya pelayanan sektor kesehatan akan pendistribusian obat ke puskesmas, dan data
menjadi kontra produktif terhadap kinerja tentang kekosongan obat.
pemerintah daerah dalam melaksanakan
pelayanan publik. 7 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pertanyaannya adalah bagaimana dampak I. Anggaran Pengadaan Obat Publik
penurunan anggaran dan proporsi penyediaan Selama kurun waktu lima tahun terakhir,
obat terhadap ketersediaan obat publik? alokasi anggaran pengadaan obat publik di
Perubahan besar terhadap anggaran Kabupaten Bengkulu Selatan menunjukkan
kesehatan terutama proporsi anggaran perubahan yang cukup drastis. Terhadap
pengadaan obat yang cenderung terus anggaran kesehatan secara umum, anggaran
mengalami penurunan, mendorong pengadaan obat mengalami penurunan (Gambar
dilakukannya penelitian mengenai pengaruh 1 dan Tabel 1).
penurunan anggaran obat tersebut terhadap
tingkat ketersediaan obat di Dinas Kesehatan
Kabupaten Bengkulu Selatan. Penelitian ini secara
umum bertujuan meneliti ketersediaan obat
publik di Dinas Kesehatan Kabupaten
Bengkulu Selatan pascaotonomi daerah. Secara
khusus penelitian ini bertujuan mengetahui
pemanfaatan anggaran yang tersedia,
mengetahui proses perencanaan anggaran dan
pengadaan obat, mengetahui tingkat
ketersediaan obat terhadap sepuluh pola
penyakit terbanyak, dan mengetahui efisiensi
serta efektivitas pengadaan obat di Kabupaten Gambar 1. Perubahan Anggaran Pengadaan Obat
Bengkulu Selatan. Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu Selatan
Tahun 1999-2003
22 22
Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas
22 22
Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas
Tabel 2. Kesesuaian Item Obat dengan DOEN D. Persentase Obat Kadaluarsa dan Obat Rusak
Memperhatikan data obat kadaluarsa dan obat
Uraian Tahun Persentase rusak seperti terlihat pada Tabel 5, terdapat
persentase kadaluarsa dan kerusakan yang
cukup
Sebelum Desentralisasi 1999 98,16
2000 93,01
besar sebelum otonomi daerah.
2001 99,07
Sesudah Desentralisasi 2002 99,53 Tabel 5. Obat Kadaluarsa dan Obat Rusak
2003 100,00
Persentase
Uraian Tahun
Berdasarkan data di atas, tingkat ketaatan Kadaluarsa Rusak
para pengelola obat publik yang cukup tinggi,
baik
sebelum maupun setelah otonomi daerah. Tingkat ketersediaan obat terus mengalami
Kondisi seperti ini sangat mendukung penurunan meski hingga tahun 2003
ketersediaan obat ketersediaan obat masih di atas 12 bulan.
publik, khususnya pada sisi efisiensi.
2001 79,03
Sesudah 2002 89,03
2003 81,14
2001 3
Sesudah 2002 0
2
2003 14
22 22
Ketersediaan Obat Puskesmas
Sebelum Desentralisasi pada Dinas
1999 15,31% 10,53% Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas
2000 13,63% 8,59%
2001 10,43% 2,37%
Sesudah Desentralisasi 2002 5,21% 1,42%
2003 1,62% 1,08%
22 22
Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas
memiliki jatah obat tadi belum membutuhkannya persentase kesesuaian antara ketersediaan
pada saat tersebut. obat dan pola penyakit, walaupun
kesesuaian tersebut masih di bawah 90%.
F. Persentase Rata-Rata Waktu Kekosongan Akan tetapi, tingkat kesesuaian tersebut
Obat tidak dapat dijadikan indikator terhadap
Kekosongan obat merupakan satu kondisi ketersediaan seluruh kebutuhan obat publik
yang menggambarkan ketidaktersediaan obat karena terjadi penurunan linear terhadap
dalam jangka waktu satu tahun. Rata-rata ketersediaan obat yang cukup tajam.
waktu kekosongan obat dari obat indikator Berdasarkan perhitungan diperoleh hasil
menggambarkan kapasitas sistem pengadaan dan bahwa selama lima tahun terakhir terjadi
distribusi dalam menjamin kesinambungan suplai penurunan ketersediaan obat dari angka 42
obat. bulan sebelum otonomi daerah menjadi
hanya 14 bulan pada tahun 2003.
Tabel 7. Rata-rata Waktu Kekosongan Obat 4. Berkurangnya anggaran pengadaan obat
publik pascaotonomi daerah tidak selalu
Uraian Tahun Persentase berdampak negatif terhadap manajemen obat
Sebelum Desentralisasi 1999 2,56
di tingkat Kabupaten Bengkulu Selatan.
2000 4,09 Berdasarkan indikasi yang ada terdapat
2001 6,96 perbaikan tingkat efisiensi yang sangat baik
Sesudah Desentralisasi 2002 6,83 dari tahun sebelumnya. Hal ini terlihat jelas
2003 6,68 dari besarnya penurunan anggaran obat yang
tidak terlalu berdampak pada penurunan
Kekosongan obat yang terjadi karena tingkat ketersediaan obat.
keterlambatan pengadaan obat dibiarkan karena
masih ada obat lain sebagai pengganti. Di Saran
samping itu, puskesmas dapat mengadakan 1. Bagi pembuat kebijakan daerah dapat lebih
obat yang kosong dengan dana JPS yang proporsional dalam penganggaran
tersedia di puskesmas. Kekosongan obat meski pembiayaan kesehatan guna pemeliharaan
terdapat obat pengganti dapat menurunkan mutu kesehatan publik.
pengobatan yang diberikan. Bagi Dinas Kesehatan harus lebih
mampu meyakinkan pemerintah daerah
KESIMPULAN DAN SARAN dalam merebut porsi anggaran kesehatan
sesuai dengan rekomendasi World Health
Kesimpulan Organiza- tion (WHO) sebesar minimal 15%.
1. Berdasarkan pemanfaatan anggaran yang 2. Untuk memenuhi kebutuhan obat yang tidak
tersedia diperoleh hasil bahwa terdapat terpenuhi, terutama jika terdapat wabah
perbedaan yang tajam untuk anggaran endemis dan bencana alam, dinas kesehatan
pengadaan obat sebelum dan setelah dapat mengajukan permintaan penambahan
desentralisasi. Walau terdapat kenaikan obat kepada Departemen Kesehatan
anggaran pengadaan obat Republik Indonesia yang menyediakan
pascadesentralisasi, besarannya pada tahun buffer stok nasional, tentunya harus
2003 hanya berkisar 58,71% dari kebutuhan didukung dengan data keadaan yang
dana pengadaan obat. Berdasarkan hasil sebenarnya.
perhitungan indikator kesesuaian dana 3. Efisiensi penggunaan obat di tingkat
pengadaan obat sejak tahun 2001 hingga puskesmas dapat ditingkatkan lagi oleh
2003 terjadi kekurangan kesesuaian Dinas Kesehatan dengan mengadakan
kebutuhan dana pengadaan obat berkisar pelatihan penggunaan obat yang rasional
41%-60%. kepada petugas kesehatan secara
2. Proses perencanaan melalui tim berkala dan dilakukan pengawasan.
perencanaan obat terpadu melibatkan semua Peningkatan kualitas petugas farmasi
unsur terkait dan pengadaan obat di kabupaten dengan memberi kesempatan
Kabupaten Bengkulu Selatan menggunakan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
metode konsumsi. tinggi atau mengikutsertakan dalam
3. Kekurangsesuaian dana pengadaan obat pelatihan- pelatihan secara berkala dan
ternyata tidak secara langsung berkesinambungan.
mengakibatkan berkurangnya kesesuaian 4. Memanfaatan peluang dana lain yang
ketersediaan obat untuk 10 pola penyakit mungkin tersedia seperti menggalakkan
terbanyak. Hal ini dibuktikan dengan program JaminanPemeliharaan
relatif membaiknya Kesehatan
22 22
Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas
Masyarakat (JPKM) agar masyarakat dapat 5. Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu
membiayai sendiri pemeliharaan Selatan, Data Anggaran Kesehatan dan
kesehatannya. Pengadaan Obat Publik.
6. Departemen Kesehatan RI, Pedoman
KEPUSTAKAAN Pengelolaan Obat Publik dan
1. Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 Perbekalan Jakarta. 2002.
Kesehatan,
dan 25 Nomor Tahun 1999, Sinar Grafika, 7. Dwiyanto, A., dkk. Teladan dan
Jakarta. Pantangan
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
2. Annisa, E., dan Suryawati, S. Pengaruh dan
Otonomi Daerah, PSKK-UGM,
Ketersediaan Dana Kontan Terhadap Yogyakarta,
2003.
Pengadaan dan Penggunaan Obat tingkat 8. Triyanto. Desentralisasi dan
Puskesmas Dinas Kesehatan Kabupaten Ku- Penganggaran
Obat pada Dinas Kesehatan
dus, Jurnal Manajemen Pelayanan Kabupaten
Propinsi Nusa Tenggara Timur. Tesis.
Kesehatan, 2001;04(01):53-61.
Yogyakarta. Pasca Ilmu Kesehatan Masyarakat
Sarjana
3. Sunarsih. Jurnal Manajemen Pelayanan UGM,
Yogyakarta. 2000.
Kesehatan, Yogyakarta. 2002;05(02):67-71. 9. Purwaningsih, S., dkk. Evaluasi
4. Riyanto, S. Tantangan Pendanaan Penerapan
Perda Kabupaten Gunung Kidul
Kesehatan
Pascaotonomi dan Desentralisasi, Jurnal No.14/2000
Terhadap Ketersediaan Obat Di
Manajemen Pelayanan Kesehatan, Puskesmas,
Jurnal Manajemen Pelayanan
Yogyakarta. 2002;05(03):113-16. Kesehatan.
2003;06 (01):29-34.
22 22
JMPK Vol. antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen
Hubungan Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen
ABSTRACT
Background: This study observes the relationship between leadership style and staff
commitment towards job satisfaction at RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. It was
obvious that job satisfaction occurred in PKU Muhammadiyah Yogyakarta. It was indicated
by high rate of staff absence which reaches 5%, promotion system which was not yet well-
managed, low staff commitment, staff distrust towards their superior, lack of support and
encouragement from the superior, absence of transparancy between staff and the
management indecision making process. The decline of hospital performance in the last two
years. High rate of absence and declining performance indicates low productivity as a
positive effect of job satisfaction. Objectives: The objective of the study was to raise staff’s
job satisfaction by examining the relationship between leadership style and staff
commitment towards job satisfaction. Methods: The study was a descriptive one with cross
sectional survey scheme which used questionnaires distributed to 202 respondents. The
subject of the study was staff of RSU PKU Muhammadiyah Y ogyakarta by using stratified
random sampling technique. Data analysis was conducted using correlation and double
regression analysis.
Results and discussion: The results of statistical analysis showed the following relationship
pattern: perception to leadership style (R=0,518), work commitment (R=0,667) influenced job
satisfaction with 0,000 significance. Effective contribution of staff commitment was 44,4%
having greater contribution to job satisfaction than leadership style which had 26,9%
effective contribution.
Conclusion: Both perception of leadership style and work commitment influenced job
satisfaction. In order to increase job satisfaction, personnel policy adopted by the
management of RSU PKU Muhammadiyah should be able to motivate staff for work.
22 22
JMPK Vol. antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen
Hubungan Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen
2. Pegawai yang meninggalkan tugas dan Jenis alat ukur yang digunakan dalam rangka
tempat kerja tanpa alasan yang jelas pada memperoleh data penelitian ini berupa kuesioner
saat jam kerja mencapai 10% per bulannya. tertutup yang sudah diuji validltas dan
reliabilitasnya. Sebelum dilakukan uji hipotesis,
Kerugian akibat kemangkiran karyawan di terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang meliputi
RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta diperoleh uji normalitas sebaran dan uji linieritas hubungan.
sebesar Rp1.043.047.329,00 dengan tingkat Penelitian ini menggunakan analisis korelasi dan
kemangkiran sebesar 5%. Angka ini jauh di atas regresi berganda sebagai metode analisis
standar kemangkiran untuk perusahaan menurut datanya. Perhitungan analisis data dilakukan
World Class Operator (WCO) yaitu sebesar <1% dengan menggunakan alat bantu program
per tahunnya. Dari berbagai penelitian yang telah software statistik.
dilakukan oleh para ahli terlihat bahwa terdapat Beberapa kesulitan yang dialami peneliti
korelasi kuat antara kepuasan kerja dan tingkat dalam penelitian yaitu pengisian angket oleh
kemangkiran. Artinya, karyawan yang tinggi responden tidak dapat diawasi oleh peneliti.
tingkat kepuasan kerjanya akan rendah Selain itu, tingginya mobilitas dan kesibukan
tingkat kemangkirannya. responden menyebabkan waktu yang
Kepuasan kerja merupakan masalah yang dibutuhkan untuk pengumpulan data menjadi
penting untuk diperhatikan dalam hubungannya lebih lama dari rencana semula.
dengan produktivitas kerja karyawan yang tentu
sangat besar manfaatnya bagi organisasi. Oleh HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
karena itu, diperlukan perhatian dan upaya yang Responden terbesar dalam penelitian ini
berkesinambungan untuk mengatasinya. Untuk terletak pada jenis pekerjaan tenaga nonmedis
itu, perumusan masalahnya adalah apakah yaitu sebesar 93 orang atau 47,94%. Hasil
rendahnya kepuasan kerja karyawan statistik menunjukkan bahwa menurut persepsi
disebabkan gaya kepemimpinan yang kurang karyawan, gaya kepemimpinan yang diterapkan
sesuai? atau komitmen karyawan yang rendah? di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta lebih
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk condong pada gaya kepemimpinan partisipatif.
menguji hubungan antara gaya kepemimpinan Hasil statistik deskriptif perbandingan rerata
dan komitmen karyawan terhadap kepuasan empiris = 68,64 yang mendekati dengan rerata
kerja. hipotesis =72 pada variabel komitmen kerja
menunjukkan bahwa komitmen kerja
BAHAN DAN CARA PENELITIAN karyawan RSU PKU Muhammadiyah
Jenis penelitian ini adalah penelitian Yogyakarta sudah cukup baik. Pada
deskriptif dengan rancangan penelitian kategorisasi interpretasi skor persentase
crossectional survey. Subjek penelitian ini adalah komitmen kerja menunjukkan hasil interpretasi
karyawan RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta sangat tinggi = 69,07%, tinggi = 23,20%, sedang
dengan pengambilan sampel menggunakan =
teknik pencuplikan rambang bertingkat 5,67% dan rendah =2,06%, sedangkan
(stratified random sampling). kategorisasi interpretasi skor persentase
Pengelompokkan dalam strata berdasarkan jenis kepuasan kerja menunjukkan hasil interpretasi
pekerjaan yaitu tenaga medis, tenaga paramedis sangat tinggi
perawatan, tenaga paramedis nonperawatan, dan = 26,29%, tinggi = 25,77%, sedang = 34,54% dan
tenaga nonmedis. Kemudian cuplikan rambang rendah = 13,40%.
sederhana dipilih dari setiap strata jenis Berdasar hasil uji analisis regresi antara
pekerjaan. Jumlah populasi pada penelitian ini variabel persepsi gaya kepemimpinan, komitmen
sebesar 603. Kriteria sampel yang ditetapkan kerja karyawan terhadap kepuasan kerja di RSU
adalah karyawan tetap. Berdasarkan kriteria PKU Muhammadiyah Yogyakarta secara
tersebut diperoleh besar sampel sebesar 202 bersama- sama diperoleh nilai F regresi 76,434,
karyawan. koefisien korelasi sebesar 0,667 dengan tingkat
1. Variabel bebas 1: persepsi gaya signifikansi
kepemimpinan dengan subvariabel gaya 0,000. Hal ini berarti bahwa persepsi gaya
direktif, gaya suportif, gaya delegatif, dan kepemimpinan, komitmen kerja berperan
gaya partisipatif. terhadap kepuasan kerja karyawan RSU PKU
2. Variabel bebas 2: komitmen karyawan Muhammadiyah Yogyakarta. Hasil penelitian
dengan subvariabel affective commitment, tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan
continuance commitment, dan normative oleh Soejadi 1, yang mengatakan bahwa ada
commitment. beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan
3. Variabel terikat: kepuasan kerja karyawan. kerja dan yang paling penting adalah komitmen,
gaji, promosi, rekan sekerja, atasan, dan
22 22
JMPK Vol. antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen
Hubungan Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen
pekerjaan itu sendiri. Sesuai dengan hasil
analisis regresi
22 22
Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen
tersebut menunjukkan bahwa penerapan gaya pemimpinnya menerapkan gaya yang direktif
kepemimpinan atasan yang sesuai adalah gaya yaitu gaya kepemimpinan yang dilaksanakan
partisipatif. Penerapan gaya ini akan dapat oleh pimpinan kepada bawahan dengan
mempengaruhi kepuasan kerja karyawan. Begitu banyak memberikan pengarahan dan petunjuk,
pula apabila terjadi peningkatan komitmen kerja tetapi sedikit dukungan. Di samping itu,
karyawan akan dapat menyebabkan peningkatan biasanya menggunakan komunikasi satu arah.
kepuasan kerjanya. Oleh karena itu, berdasarkan Inisiatif pemecahan masalah dan keputusan
hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa ada hanya dilakukan oleh pemimpin dan
korelasi positif antara persepsi gaya pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh
kepemimpinan dan komitmen kerja karyawan pemimpin.
terhadap kepuasan kerja karyawan. Gambar an gaya kepemimpinan yang
Temuan ini mendukung pendapat para ahli diterapkan atasan dapat ditemukan berbeda
bahwa kepuasan karyawan meningkat bila antara kenyataan dengan gaya kepemimpinan
mendapat dukungan dari atasan langsungnya yang dipersepsikan karyawan. Hal ini dapat
yang penuh pengertian, bersahabat, dijelaskan melalui pendapat yang dikemukakan
menyampaikan pujian untuk hasil kerja yang oleh Muchlas2 dan Robbins 6 bahwa ada tiga
baik, dan mendengarkan pendapatnya.2 Atasan faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu
dengan gaya kepemimpinan demikian tercermin situasi, target, dan pelaku persepsi. Kemudian
dalam gaya kepemimpinan partisipatif sesuai adanya selektivitas dalam persepsi dipengaruhi
dengan hasil penelitian bahwa 45,84% tenaga oleh faktor perhatian luar yang terdiri dari
medis, paramedis perawatan sebesar 48,71%, pengaruh-pengaruh lingkungan luar seperti:
pada karyawan paramedis nonperawatan intensitas, ukuran, kontras, repetisi, gerakan,
sebesar 43,33% dan keterbaruan, dan keterbiasaan. Faktor perhatian
45,16% karyawan nonmedis mengungkapkan dalam didasarkan pada masalah psikologis
kecondongannya pada gaya kepemimpinan individu yang bersifat kompleks seperti proses
partisipatiflah yang diterapkan atasannya. Menurut belajar, motivasi, dan kepribadian. Faktor
Muchlas2 gaya kepemimpinan partisipatif adalah lingkungan kerja yang memiliki kekuatan terbesar
gaya kepemimpinan yang dilaksanakan oleh dalam berinteraksi dengan karyawan dan tingkat
pimpinan kepada bawahan dengan banyak pendidikan dapat pula menjelaskan adanya
memberikan dukungan, tetapi sedikit memberikan perbedaan penilaian antara karyawan baik secara
individu maupun kelompok.
pengarahan. Dalam membuat keputusan
Dari analisis regresi mengenai hubungan
dilaksanakan bersama-sama bawahan dan antara komitmen kerja dan kepuasan kerja
kontrol atas keputusan dilakukan secara diperoleh angka R yaitu koefisien korelasi
bergantian. Proses pengambilan sebesar
keputusannya disebut sebagai partisipasi 0,667, nilai F regresi 153,597 dengan tingkat
karena posisi kontrol atas pengambilan signifikansi 0,000. Hal ini menunjukkan makna
keputusan dipegang secara bersama- sama. bahwa ada hubungan positif antara komitmen
Hasil penelitian ini juga mendukung karyawan dan kepuasan kerja. Hal ini berarti
penelitian yang dilakukan Purwanto 3 yang semakin tinggi komitmen maka semakin tinggi
menyebutkan bahwa perawat yang termasuk pula kepuasan kerjanya. Hasil penelitian ini
dalam kelompok staf manajerial lebih,menyukai mendukung pendapat para ahli bahwa komitmen
gaya kepemimpinan partisipatif daripada gaya kerja sebagai variabel independen dapat
kepemimpinan direktif walaupun dijalankan mempengaruhi variabel dependennya yaitu
dengan penuh kebajikan kepada bawahannya. kepuasan kerja. Hal tersebut sebagaimana
Dari hasil penelitiannya didapatkan hubungan dituturkan oleh Mathiew dan Zajac7 yang
yang signifikan antara gaya kepemimpinan mengatakan bahwa dengan adanya komitmen
dengan kepuasan kerja. Hasil ini mendukung yang tinggi akan membuat perusahaan atau
pula hasil penelitian Hartawan4 dengan unit organisasi akan mendapatkan dampak positif
analisisnya karyawan Dinas Kesehatan Provinsi seperti, meningkatnya produktivitas, kualitas
Jawa Tengah. Penelitian Hartawan4 mengenai kerja, dan kepuasan kerja karyawan, serta
hubungan gaya dan situasi kepemimpinan penurunan tingkat keterlambatan, absen dan
terhadap kepuasan kerja menyimpulkan tumover karyawan.
bahwa kepuasan kerja karyawan sangat Hasil penelitian ini juga mendukung
dipengaruhi oleh faktor atasan. Namun, pernyataan William8 yang mengemukakan bahwa
penerapan gaya kepemimpinan partisipatif komitmen merupakan suatu faktor penentu dari
tidaklah sesuai untuk semua karyawan pada kepuasan kerja. Seseorang yang memiliki
semua bidang pekerjaan. Siagian 5 komitmen yang tinggi menandakan adanya
mengemukakan bahwa pegawai bawahan kepuasan pada dirinya yang berkaitan dengan
akan bersedia bekerja keras jika pekerjaan.
23 23
Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen
Hasil penelitian komitmen kerja ini nonmedis mempunyai sikap komitmen yang
berdasarkan model komitmen yang dikemukakan dikategorikan normative commit-
oleh Allen dan Meyer 9 . Allen dan Meyer
9
memberikan model komitmen yaitu Three
Compo- nent Model of Organizational
Commitment yang merupakan konsep utama
komitmen terhadap organisasi. Model komitmen
pegawai ini mencakup tiga elemen penting yaitu
keinginan (desire), kebutuhan (need), dan
kewajiban (obligation) yang mempresentasikan
tiga bentuk komponen yaitu affective,
continuance, dan normative commitment.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa
komitmen karyawan terhadap RSU PKU
Muhammadiyah Yogyakarta disebabkan oleh: (1)
suatu bentuk keterikatan antara pegawai
terhadap organisasi. Hal ini tercermin melalui
usaha pegawai yang berupa totalitas dalam
memberikan yang terbaik untuk organisasi; (2)
menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi; dan (3)
adanya keinginan untuk diakui oleh organisasi
tempat individu bekerja.
Hasil statistik pada kategori sikap komitmen
karyawan RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta
menunjukkan bahwa 74,6% tenaga medis RSU
PKU Muhammadiyah Yogyakarta mempunyai
sikap komitmen yang dikategorikan dalam
affective com- mitment. Hal tersebut menunjukkan
bahwa aspek affective commitment merupakan
aspek komitmen yang paling menonjol bagi
tenaga medis. Hal ini berarti bahwa mereka
terikat untuk tetap berada pada organisasi karena
merasa mempunyai satu tujuan dan selera yang
sama dengan organisasi tetapi bila organisasi
mengganti arah atau tujuan, mereka mungkin
akan keluar dari organisasi. Di sisi lain, aspek
komitmen yang menonjol pada karyawan
tenaga paramedis perawatan dan
nonperawatan adalah continuance commitment.
Sebesar 63,2% tenaga paramedis perawatan dan
56,8% tenaga paramedis nonperawatan tergolong
dalam continuance commitment yang berarti
sikap komitmen karyawan didasarkan karena
kebutuhan untuk tetap berada dalam organisasi.
Berdasarkan hal tersebut kualitas hidup yang
dipandang dari dua sisi, yaitu: (1) dengan
bertahan dalam organisasi, individu
meningkatkan investasi dalam bentuk
senioritas, spesialisasi, tunjangan, ikatan
keluarga dalam organisasi yang belum tentu bisa
mereka dapatkan dengan bekerja pada
organisasi lain, (2) individu merasa harus tetap
bekerja dalam organisasi karena mereka
tidak memiliki pandangan atau alternatif
pekerjaan lain. Tidak adanya investasi (side-
bets) dan alternatif pekerjaan lain, maka
pegawai memiliki komitmen yang tinggi karena
mereka harus melakukannya (have to). Tenaga
23 23
Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen
ment sebanyak 38,4% yang mengandung makna bahwa masih ada 56,1% variabel lain yang
bahwa karyawan dapat setia, tidak keluar dari diduga berpengaruh
organisasi disebabkan pengaruh sosial seperti
tidak ingin dikatakan sebagai tukang
pemberontak, tidak ingin mengecewakan
pemimpinnya atau tidak ingin dianggap sebagai
karyawan yang kurang baik dan tidak bisa
berterima kasih.
Hasil penelitian yang menyatakan ada
hubungan antara komitmen sebagai variabel
independen dengan kepuasan kerja sebagai
variabel dependen ini sekaligus membuktikan
ditemukannya fakta bahwa tidak hanya kepuasan
kerja sebagai variabel independen yang dapat
mempengaruhi komitmen kerja sebagai variabel
dependen. Sebagaimana penelitian yang
dilakukan AI Rosyid10 bahwa kepuasan kerja
merupakan salah satu faktor yang dapat
meningkatkan komitmen pegawai. Hal tersebut
didukung oleh teori yang dikemukakan oleh
Handoko 11 bahwa timbulnya komitmen kerja
dipengaruhi oleh kepuasan kerja yang
dirasakan oleh karyawan.
Diketahui pula dari hasil penelitian bahwa
interpretasi karyawan mengenai kepuasan kerja
di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta
menunjukkan kategorisasi sangat tinggi =26,29%,
tinggi = 25,77%, sedang = 34,54% dan rendah =
13,40%. Terlihat dari hasil tersebut bahwa
variabel kepuasan kerja yang terdiri dari
penghargaan, dukungan kondisi kerja,
tanggapan atau penilaian terhadap pekerjaan dan
dukungan rekan sekerja sudah
diinterpretasikan cukup baik oleh
karyawannya. Hasil interpretasi yang rendah
pada sebagian karyawan menandakan perlu
adanya perhatian dari pihak rumah sakit untuk
lebih meningkatkan kepuasan kerja
karyawannya. Diketahui bahwa 95 karyawan
atau 49% karyawan menyatakan tidak setuju
dengan butir pernyataan nomor 2 yaitu
“Keputusan promosi karyawan ditangani
secara adil”,
sebanyak 86 karyawan atau 44,3% karyawan
menyatakan tidak setuju dengan butir pernyataan
nomor 3 yaitu
“Ada cukup kesempatan untuk
mengembangkan diri dalam pekerjaan saya”
dan sebanyak 88 karyawan atau 45,4%
karyawan menyatakan tidak setuju dengan butir
nomor 8 yaitu
“promosi untuk pekerjaan saya dilakukan
secara teratur”.
Hal ini menandakan bahwa terdapat masalah
pada sistem promosi yang dijalankan sehingga
hal tersebut mempengaruhi kepuasan kerja
karyawan.
Tingkat pengaruh persepsi gaya
kepemimpinan, komitmen kerja terhadap
kepuasan kerja sebesar 43,9% menunjukkan
23 23
Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen
terhadap kepuasan kerja. Ada beberapa faktor langkah-Iangkah peningkatan komitmen
lain yang dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan sehingga dapat lebih meningkatkan
antara lain yaitu umur, komunikasi, kepuasan kerja karyawannya. Hal tersebut tidak
pengembangan karir, kondisi psikologis.11 dimaksudkan untuk mengecilkan makna dari
Model regresi penelitian ini telah memenuhi peranan penerapan gaya kepemimpinan
asumsi normalitas dan linieritas. Hasil terhadap kepuasan kerja, yang juga menjadi
perhitungan statistik menunjukkan adanya arah langkah selanjutnya dalam usaha untuk lebih
korelasi positif antara persepsi dengan kepuasan, meningkatkan kepuasan kerja karyawannya.
terlihat dengan angka R = 0,667. Angka R square
sebesar 0, 269 menunjukkan pengaruh KEPUSTAKAAN
persepsi terhadap kepuasan kerja sebesar 1. Soejadi, S. P. Pedoman Penilaian Kinerja
26,9%. Dari uji Anova atau F test, diperoleht F Rumah Sakit Umum. Ketiga Bina, Jakarta.
hitung sebesarh 70,520 dengan tingkat 1996.
signifikansi 0,000. Untuk korelasi regresi didapat 2. Muclash, M. Perilaku Organisasi 1: Dengan
angka R sebesar 0,667 yang menandakan bahwa Beberapa Contoh Studi Kasus. Program
korelasi atau hubungan komitmen dengan Pendidikan Pascasarjana Magister
kepuasan adalah kuat. Angka R square sebesar Manajemen Rumah sakit, UGM, Yogyakarta.
0, 444 menunjukkan pengaruh komitmen 1999.
terhadap kepuasan kerja sebesar 44,4%. Dari uji 3. Purwanto, H. Persepsi Gaya Kepemimpinan
Anova atau F test, didapat F hitung adalah dan Kepuasan Kerja Karyawan di Rumah
70,520 dengan tingkat signifikansi 0,000. Sakit Umum Daerah Swadana Jombang.
Tesis, UGM, Yogyakarta. 1998.
Tabel 1. Korelasi Regresi Persepsi Gaya Kepemimpinan, 4. Hartawan, A. Hubungan Gaya dan Situasi
Komitmen Kerja terhadap Kepuasan Kerja
Kepemimpinan Terhadap Kepuasan Kerja
Karyawan Dinas Kesehatan Propinsi Jawa
Variabel R R F Signifikansi
Square Tengah. Tesis Program Pascasarjana
Magis-
ter Manajemen Rumah sakit,
Persepsi gaya n,
kepemimpina
komitmen kerja 0,667 0,439 76,434 0,000 UGM,
Yogyakarta. 2001.
terhadap kepuasan 5. Siagian, S. P. Teori dan
kerja Praktek
Kepemimpinan. Rineka Cipta, Jakarta.
6. 1991.
Robbins, S. P. Perilaku Organisasi:
KESIMPULAN DAN SARAN Kontroversi, Aplikasi (Alih Bahasa). PT.
Prenhallindo, Jakarta. 1996.
Kesimpulan 7. Mathiew, J. E., and Zajac, D. M. A Review
Sesuai dengan hasil analisis regresi tersebut and Meta Analysis of the Atendent
ditunjukkan bahwa penerapan gaya Correlates, and consequences of
kepemimpinan atasan yang sesuai, berdasarkan Organizational Commitment. Psychological
hasil penelitian ini, adalah gaya partisipatif. Bulletin. 1990;108: 171-194.
Dengan demikian, gaya tersebut akan dapat 8. William, S. Management and Organization.
mempengaruhi kepuasan kerja karyawan dan South-Western Publishing. Co, Ohio. 1984.
dengan semakin meningkatnya komitmen yang 9. Allen, N. J., and Meyer, J. P. The Measure-
tinggi akan mempengaruhi pula kepuasan kerja. ment and Antecendent Affective,
Continuance, and Normative Commitment to
Saran Organization, Journal of Occupational
Apabila ditinjau dari hasil penelitian, terlihat Psychology. 1990;
bahwa sumbangan efektif komitmen karyawan 63:1-18.
sebesar 44,4% lebih besar peranannya terhadap 10. Al Rosyid, N. H. Hubungan antara Human
kepuasan kerja daripada peranan penerapan Relation dan Komitmen Kerja pada
gaya kepemimpinan yang memilki sumbangan Perusahaan. Skripsi. Fakultas Psikologi,
efektif sebesar 26,9%. Oleh karena itu, RSU UGM, Yogyakarta. 1995.
PKU Muhammadiyah Yogyakarta disarankan 11. Handoko, T. H. Manajemen Personalia dan
untuk jangka pendek agar lebih Sumber Daya Manusia (Edisi ketiga).
memprioritaskan Penerbit BPFT, Yogyakarta. 1997.
23 23
JMPK Vol. Rese
RALAT
MAKALAH KEBIJAKAN VOL. 07/NO.03/SEPTEMBER/2004
LANGKAH-LANGKAH PELAYANAN
ANAMNESIS PEMERIKSAAN PELAYANAN
• KB : • UMUM : • KB :
– Riwayat Kes. Reproduksi – Keadaan Umum – Pemberian / Pemasangan
– Riwayat Penyakit – Tensi Alkon
– Pemakaian Alkon • PALPASI PERUT : – Konseling
– Kontra Indikasi Pemakaian – Kehamilan? – Pengobatan Efek Samping
ALKON – Penyakit / Tumor dan lain- – Rujukan ke RS
• PMS/AIDS : lain • PMS :
– Keluhan / Gejala – Gejala Penyakit PMS – Penyuluhan PMS/Aids
– Faktor Risiko • Inspeksi Alat Kelamin: Ada – Konseling
Kelainan atau Tidak – Penjaringan/ Penemuan
• In Speculo: Ada Cairan Vagina Penderita Dengan
Berlebihan /Abnormal? Pengambilan Spesimen è
Periksa Di Laborat
– Pengobatan
– Rujuk Ke RS
23 23
JMPK Vol. Rese
Resensi Buku
B
uku “Reformasi Perumahsakitan merambah dunia politik, ekonomi, sosial dan
Indonesia” merupakan buku yang kesehatan. Demikian pula tuntutan reformasi
berisi analisis mengenai perubahan kesehatan yang telah disebut pada bab ketiga ini
lingkungan yang akan membimbing organisasi menghendaki adanya perubahan orientasi
untuk memiliki orientasi ke depan demi strategis departemen kesehatan secara umum
kelangsungan hidup dan perkembangannya. dan rumah sakit secara khusus. Pada bab
Orientasi ini disebut juga orientasi strategis yang keempat membahas mengenai kompleksitas
akan membentuk pola organisasi dalam dari upaya reformasi rumah sakit itu sendiri.
beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya, Kemudian pada bab lima, enam, dan tujuh
dan merupakan kunci dari keberlangsungan serta membahas mengenai pemberdayaan yang perlu
perkembangan organisasi di masa mendatang. dilakukan terhadap rumah sakit dan sistem
Dalam buku ini yang dimaksud organisasi adalah pelayanan kesehatannya sendiri, serta wadah
rumah sakit. dan jaringan yang diperlukan untuk mewujudkan
Buku ini berisi sembilan bab. Pada bagian pemberdayaan itu.
pertama dari buku ini yaitu pendahuluan Pembahasan mengenai buku ini diakhiri
menerangkan mengenai enam komponen dengan langkah-langkah konkret yang terdapat
institusional yang membentuk sistem kesehatan dalam bab delapan dan indikator kinerja dari
yaitu pemerintah, penyedia pelayanan kesehatan sistem pelayanan kesehatan dalam
(providers), institusi penyedia Sumber Daya menerapkan reformasi pada bab sembilan. Pada
Manusia dan pengembangannya, institusi akhir dokumen ini, disajikan beberapa formulir
pembeli jasa pelayanan kesehatan (purchasers), yang dapat digunakan oleh pihak yang
institusi dari sektor lain dan masyarakat. Bab berminat untuk membantu menerapkan
kedua membahas mengenai pendekatan analitik reformasi/redefinisi fungsi dan peran
yang lebih berfokus pada perubahan organisasinya sendiri. Agar memudahkan
lingkungan eksternal dan keadaan lingkungan dalam pemahaman, pada bab-bab buku ini
internal rumah sakit, sehingga redefinisi yang diselipkan konteks untuk lebih menjelaskan
dihasilkannya adalah sistem perumahsakitan, substansi yang sedang dibahas. Substansi yang
berikut dengan sistem pelayanan kesehatannya dibahas adalah berbagai model struktur sistem
yang adaptif terhadap perubahan lingkungan pelayanan kesehatan kabupaten atau kota dan
yang dapat terjadi kapan saja. Maka, redefinisi rumah sakitnya, berikut model pengorganisasian
rumah sakit tidak dapat dipisahkan dari arus dan manajemennya. Adapun konteks tersebut
reformasi yang tengah merambah dunia meliputi faktor-faktor politik, ekonomi, budaya,
politik, ekonomi, sosial dan kesehatan. sosial, teknologi dan institusional yang
Kemampuan menganalisis lingkungan yang kritis mempengaruhi proses reformasi kesehatan dan
memberi masukan yang berguna untuk rumah sakit. Justru faktor kontekstual, terutama
pembuatan keputusan yang dibutuhkan bagi yang institusional inilah yang paling menentukan
perkembangan organisasi sesuai dengan tuntutan berhasil atau tidaknya reformasi. Secara umum,
jaman. Perkembangan faktor lingkungan ini buku ini cukup memberikan gambaran mengenai
memaksa para manajer harus memeriksa faktor reformasi RS dalam sistem pelayanan kesehatan
lingkungan yang ternyata menjadi elemen-elemen yang memiliki dua komponen pokok, yaitu
yang menekan dan sangat berpengaruh terhadap substansi dan konteks. Buku ini tepat untuk
kelangsungan hidup rumah sakit sebagai suatu menjadi pendamping bagi para mahasiswa S1, S2
organisasi, sedangkan pada bab ketiga maupun praktisi yang ingin memperoleh
membahas mengenai redefinisi rumah sakit yang gambaran reformasi RS dalam sistem pelayanan
tidak dapat dipisahkan dari arus reformasi kesehatan.
yang tengah
Yvonne Dewikarini
23 23
Inde Inde
Manajemen
ISSN: 1410-6515
Pelayanan Kesehatan
The Indonesian Journal of Health Service Management
1 Badan Layanan Umum (BLU) sebagai Bentuk Hukum Organisasi Rumah Sakit Pemerintah yang
Bersifat Lembaga Nonprofit.
Laksono Trisnantoro
Makalah Kebijakan
Artikel Penelitian
19 Analisis Pembiayaan Kesehatan yang Bersumber dari Pemerintah melalui District Health
Account di Kabupaten Sinjai.
Akhirani, Laksono Trisnantoro
35 Analisis Faktor-faktor Penyebab Pengambilan Obat di Luar Apotek Rumah Sakit Bakti Timah
Pangkal
Pinang.
Mohamad Edi, Sulanto Saleh Danu, Riris Andono Ahmad
41 Pengaruh Umpan Balik Dampak Monitoring-Training-Planning (MTP) dalam Pengobatan ISPA di
Puskesmas Kabupaten Sleman.
Intriati Yudatiningsih, Sri Suryawati
Resensi Buku
23 23
Inde Inde
Makalah Kebijakan
55 Pertimbangan Kebutuhan Bisnis dan Kesiapan Organisasi untuk Berubah sebagai Dasar
Pengambilan Keputusan Re-Engineering sebagai Strategi Peningkatan Mutu.
Tjahjono Kuntjoro.
Artikel Penelitian
75 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peresepan Obat Generik di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr.
Sardjito.
Nunuk Maria Ulfah, Soenarto Sastrowijoto, Sulanto Saleh Danu.
81 Tingkat Kepuasan Dokter Keluarga Terhadap Sistem Pembayaran Kapitasi PT Askes di Kota
Medan.
Mega Karyati, Ali Ghufron Mukti, M. Syafril Nusyirwan
Resensi Buku
99 Optimizing the Power of Action Learning: Solving Problems and Building Leaders in Real Time.
Hari Kusnanto
Tajuk Rencana
103 Tantangan Aplikasi Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit di Era Global.
Sunartini Hapsara
Makalah Kebijakan
105 Kepimpinan Klinik-Peran dan Tantangan Manajer Rumah Sakit dalam Peningkatan Mutu
Pelayanan
Kesehatan
Iwan Dwiprahasto
23 23
Inde Inde
109 Integrasi Kegiatan Penanggulangan Penyakit Menular Seksual dalam Pelayanan Keluarga
Berencana di Puskesmas.
Kristiani
Artikel Penelitian
115 Survey Kepuasan Pengguna Jasa Pelayanan Kesehatan Perjan Rumah Sakit Sanglah Denpasar.
Muninjaya
125 Upaya Perbaikan Perencanaan dan Distribusi Obat Puskesmas melalui Monitoring-Training-
Planning di Kabupaten Kolaka.
Harun Masirri, Sri Suryawati, Siti Munawaroh
141 Hubungan Besaran Iur Biaya dengan Kepuasan Peserta Askes di Rumah Sakit Umum Wangaya.
Ida Ayu Kade Widnjani, Ali Ghufron Mukti, Julita Hendrartini
147 Studi tentang Pembiayaan, Kepuasan Kerja dan Perilaku Pelanggan Polindes di Daerah
Terpencil: Analisis Situasi dalam rangka Making Pregnancy Safer (MPS).
Ristrini, Wasis Budiarto
157 Efek Himbauan Pelatihan terhadap Kelengkapan Rekam Medis Pasien Rawat Inap di RSU
Pancaran
Kasih GMIM Manado.
Maria R.I Koagouw, Hari Kusnanto, Andreasta Meliala
163 Telaah Rekam Medis Pendidikan Dokter Spesialis sebelum dan sesudah Pelatihan di IRNA
II, RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Meliala, Sunartini
Resensi Buku
Tajuk Rencana
177 Kartu Deteksi Dini Kanker untuk Keluarga. Sebuah Model Kartu Diteksi Dini Penyakit.
IM Sunarsih
Makalah Kebijakan
189 Kepuasan Pasien Rumah Sakit (Tinjauan Teoritis dan Penerapannya pada Penelitian)
Chriswardani Suryawati
23 23
Inde Inde
Artikel Penelitian
195 Pengetahuan, Sikap dan Persepsi Koasisten tentang Kebijakan Dokter Pegawai Tidak Tetap
(Dokter
PTT) di Tiga Fakultas Kedokteran di Jawa Barat.
Nugraha Wendy Freely, Arisanti Nita
201 Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) Bapel
Sintesa
Kendari.
Amelia, Ali Gufron Mukti
211 Otonomi Daerah dan Akuntabilitas Kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten Kulonprogo di Daerah
Istimewa Yogyakarta
Dwi Ciptorini, Mubasysyr Hasanbasri
219 Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu Selatan Pasca
Otonomi
Daerah
Dewi Mustika, Sulanto Saleh Danu
225 Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen Karyawan terhadap Kepuasan Kerja di
RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta
Quratul Aini, Sito Meiyanto, Andreasta Meliala
Resensi Buku
23 23
Inde Inde
INDEKS PENULIS
Akhirani
Analisis Pembiayaan Kesehatan yang Bersumber dari Pemerintah melalui District Health Account di
Kabupaten Sinjai, 07(01):19-ap.
Ahmad, R. A.
Lihat, Edi, M.
Aini, Q
Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen Karyawan terhadap Kepuasan Kerja di RSU
PKU Muhammadiyah Yogyakarta, 07(04): 225-ap.
Amelia
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) Bapel Sintesa
Kendari,
07(04): 201-ap.
Budiarto, W.
Lihat, Ristrini.
Chusniati, U.
Health Economics “Fundamental and Flow of Funds” 2nd Edition, 07(01): 51-rb.
Ciptorini, D.
Otonomi Daerah dan Akuntabilitas Kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten Kulonprogo di Daerah Istimewa
Yogyakarta, 07(04): 211-ap.
Danu, S. S. Lihat,
Edi, M. Lihat,
Mustika, D. Lihat,
Ismedsyah. Lihat,
Ulfah, N. M.
Dewikarini, Y
Reformasi Perumasakitan Indonesia, 07(04): 231-rb.
Dwiprahasto, I.
Medical Error di Rumah Sakit dan Upaya untuk Meminimalkan Risiko, 07(01):13-mk.
Memahami dan Belajar dari Kegagalan Organisasi, 07(02):53-tr.
Kepimpinan Klinik-Peran dan Tantangan Manajer Rumah Sakit dalam Peningkatan Mutu Pelayanan
Kesehatan, 07(03):105-mk.
Edi, M.
Analisis Faktor-faktor Penyebab Pengambilan Obat di Luar Apotek Rumah Sakit Bakti Timah Pangkal
Pinang, 07(01):35-ap.
Freely, N. W
Pengetahuan, Sikap dan Persepsi Koasisten tentang Kebijakan Dokter Pegawai Tidak Tetap (Dokter
PTT) di Tiga Fakultas Kedokteran di Jawa Barat, 07(04): 195-ap.
23 23
Inde Inde
Hapsara, S.
Tantangan Aplikasi Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit di Era Global, 07(03):103-tr.
Hasanbasri, M
Lihat, Ciptorini, D.
Hendrartini, J.
Lihat, Kisworini, F. Y.
Lihat, Widnjani, I. A. K.
Ismedsyah
Evaluasi Distribusi Antituberkulosis di Kabupaten Kota Provinsi Sumatera Utara, 07(03):135-ap.
Karyati, M.
Tingkat Kepuasan Dokter Keluarga Terhadap Sistem Pembayaran Kapitasi PT Askes di Kota Medan,
07(02):81-ap.
Kisworini, F. Y.
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Upaya Pengendalian Biaya Pelayanan Kesehatan Peserta
PT. Askes di Puskesmas Kota Yogyakarta, 07(01):27-ap.
Koagouw, M. R. I
Efek Himbauan Pelatihan terhadap Kelengkapan Rekam Medis Pasien Rawat Inap di RSU Pancaran
Kasih GMOM Manado, 07(03): 157-ap.
Kristiani
Integrasi Kegiatan Penanggulangan Penyakit Menular Seksual dalam Pelayanan Keluarga Berencana
di Puskesmas, 07(03):109-mk.
Lihat, Ratna, W.
Kuntjoro,T.
Pertimbangan Kebutuhan Bisnis dan Kesiapan Organisasi untuk Berubah sebagai Dasar Pengambilan
Keputusan Re-Engineering sebagai Strategi Peningkatan Mutu, 07(02): 55-mk.
Kusnanto, H.
Optimizing the Power of Action Learning: Solving Problems and Building Leaders in Real Time,
07(02):99- rb.
Lihat, Koagouw, M. R. I.
Masirri, H.
Upaya Perbaikan Perencanaan dan Distribusi Obat Puskesmas melalui Monitoring-Training-Planning di
Kabupaten Kolaka, 07(03):125-ap.
Meiyanto, S
Lihat, Aini, Q.
Meliala, A
Telaah Rekam Medis Pendidikan Dokter Spesialis sebelum dan sesudah Pelatihan di IRNA II, RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta, 07(03): 163-ap.
Lihat, Aini, Q
Lihat, Koagouw, M. R. I.
23 23
Inde Inde
Mukti, A. G
Lihat, Amelia.
Lihat, Karyati, M.
Lihat, Widnjani, I. A. K.
Munawaroh, S.
Lihat, Masirri, H.
Muninjaya
Survey Kepuasan Pengguna Jasa Pelayanan Kesehatan Perjan Rumah Sakit Sanglah Denpasar,
07(03):115-ap.
Murti, B.
Intervensi Pemerintah di sektor kesehatan: Regulasi Monopoli-Oligopoli, 07(01):3-mk.
Mustika, D.
Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu Selatan Pasca Otonomi
Daerah, 07(04): 219-ap
Nita, A.
Lihat, Freely, N.W
Nusyirwan, M. S.
Lihat, Karyati, M.
Probandari, A.
Health Economics for Developing Countries: a Practical Guide, 07(03): 173-tr.
Ratna, W.
Evaluasi Kegiatan Perawatan Kesehatan Keluarga Rawan di Puskesmas Mergangsan dan Mantrijeron
Kota Yogyakarta, 07(02):89-ap.
Ristrini
Studi tentang Pembiayaan, Kepuasan Kerja dan Perilaku Pelanggan Polindes di Daerah Terpencil:
Analisis
Situasi dalam rangka Making Pregnancy Safer (MPS), 07(03):147-ap.
Sastrowijoto, S.
Lihat, Ulfah, N.M.
Siswanto
Pendekatan Politik sebagai Strategi dalam Advokasi Pembangunan Kesehatan, 07(04): 181-mk.
Sjabana, D.
Penggunaan Indikator WHO untuk Memonitor Implementasi Kebijakan Obat Nasional (Hubungan
antara
Karakter Negara dan Indikator Latar Belakang, Struktur, Proses, dan Keluaran), 07(02): 69-ap.
Sunarsih, I.M.
Kartu Diteksi Dini Kanker untuk Keluarga. Sebuah Model Kartu Diteksi Dini Penyakit, 07(04):177-tr.
Lihat, Ismedsyah.
Sunartini
Lihat, Meliala.
Supardi, S.
Lihat, Ratna, W.
23 23
Inde Inde
Suryawati, C.
Kepuasan Pasien Rumah Sakit (Tinjauan Teoritis dan Penerapannya pada Penelitian, 07(04): 189-mk.
Suryawati, S.
Lihat, Masirri, H.
Lihat, Sjabana, D.
Lihat, Yudatiningsih, I.
Trisnantoro, L.
Badan Layanan Umum (BLU) sebagai Bentuk Hukum Organisasi Rumah Sakit Pemerintah yang
Bersifat
Lembaga Nonprofit, 07(01):1-tr.
Lihat, Akhirani
Ulfah, N.M.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peresepan Obat Generik di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr. Sardjito,
07(02):75-ap.
Utarini, A.
Alternatif Strategi Pelaksanaan Peran Regulasi pascaDesentralisasi di Daerah, 07(02):61-mk.
Widnjani, I. A. K
Hubungan Besaran IUR Biaya dengan Kepuasan Peserta Askes di Rumah Sakit Umum Wangaya,
07(03):141-ap.
Yudatiningsih, I.
Pengaruh Umpan Balik Dampak Monitoring-Training-Planning (MTP) dalam Pengobatan ISPA di
Puskesmas Kabupaten Sleman, 07(01):41-ap.
24 24