Anda di halaman 1dari 74

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM THYPOID PADA AN.

A
DI RUANG IRNA 2 UTAMA RUMAH SAKIT KARTIKA CIBADAK
SUKABUMI

Disusun Oleh :

Rismawati

RUMAH SAKIT KARTIKA CIBADAK

Jln. Siliwangi No. 139 Cibadak

Telp. (0266) 7160071. Fax. (0262) 535586

SUKABUMI 2023

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat-Nya dan kemurahan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan Demam Thypoid Pada
An.A Di Ruang Irna 2 Utama Di Rumah Sakit Kartika Cibadak Sukabumi”.
Penulis berharap Askep ini bisa bermanfaat bagi semua karyawan khususnya
perawat RS. Kartika Cibadak yang memberikan pelayanan asuhan keperawatan yang
profesional dan senantiasa melayani dengan sepenuh hati yang dilandasi dengan
keimanan dan ketaqwaan.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik maupun saran yang bersifat membangun
dari semua pihak sehingga dapat dijadikan acuan untuk penulis di kemudian hari. Atas
perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.

Wasalamu’alaikum warahmatullahi Wabarokatuh.

Cibadak, Februari 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................
B. Tujuan Penulisan ...........................................................................................
C. Ruang Lingkup Keperawatan ................................................................
D. Metode Penulisan ....................................................................................
E. Sistematika Penulisan .............................................................................
BAB 2 TINJAUAN TEORITIS
A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan ...........................................
B. Pengertian Demam Thypoid ..................................................................
C. Etiologi .....................................................................................................
D. Patofisiologi ...........................................................................................
E. Gejala Klinis ...........................................................................................
F. Pemeriksaan Diagnostik ........................................................................
G. Komplikasi .............................................................................................
H. Penatalaksanaan Medis ........................................................................
I. Pencegahan .............................................................................................
J. Asuhan Keperawatan .............................................................................
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian ............................................................................................
B. Diagnosa Keperawatan ........................................................................
C. Rencana Keperawatan .........................................................................
D. Implementasi ........................................................................................

3
E. Catatan Perkembangan .......................................................................
BAB 4 PEMBAHASAN
A. Pengkajian ............................................................................................
B. Diagnosa Keperawatan ........................................................................
C. Intervensi Keperawatan ......................................................................
D. Implementasi ........................................................................................
E. Evaluasi .................................................................................................
BAB 5 PENUTUP
A. Kesimpulan ...........................................................................................
B. Saran ......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

4
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang
kesehatan saat ini yang terjadi di Negara Indonesia. Derajat kesehatan anak
mencerminkan derajat kesehatan bangsa, sebab anak merupakan sebagai generasi
penerus bangsa memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan dalam meneruskan
pembangunan bangsa. Namun, timbulnya suatu penyakit merupakan ancaman
terbesar yang beresiko menurunkan derajat kesehatan pada masyarakat dunia ini.
Ancaman penyakit paling berbahaya dalam menurunkan derajat kesehatan anak
adalah penyakit menular. Penyakit menular yang sering terjadi di negara berkembang
adalah penyakit pada saluran pernapasan dan pencernaan. Salah satu penyakit saluran
pencernaan adalah demam Tifoid (Kemenkes RI, 2015).

Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala
demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran yang disebabkan oleh infeksi bakteri salmonella
typhi (Lestari, 2016). Data dari WHO menyatakan bahwa penyakit demam Tifoid di
dunia mencapai 11-20 juta kasus pertahun yang mengakibatkan terjadinya sekitar
128.000-161.000 kematian setiap tahunnya dan saat ini sekitar 80% dari seluruh
kasus demam Tifoid terjadi di negara Afrika selatan, Bangladesh, Tiongkok, India,
Indonesia, Laos, Nepal, Pakistan serta Vietnam (WHO, 2018).

Di Indonesia sendiri, penyakit ini mencapai 350-810/100.000 penduduk di


Indonesia Itu artinya tiap tahun ada sebesar 600.000-1.500.000 kasus demam Tifoid
(Tifoid Fever: Indonesia’s Favorire Disease, 2016). data dari Riskesdas 2018
menyatakan jumlah penderita demam Tifoid di DKI Jakarta berjumlah 20.105
orang, Sumatra selatan berjumlah 10.708 orang, jambi berjumlah 4.564 orang,
lampung berjumlah 8.716 orang, dan Di Jawa Barat angka kejadian demam thypoid
mencapai 2,14% dari 100.000 kasus, banyak ditemukan pada umur sekolah (5-24

5
tahun) yaitu 1,9% dan terendah pada bayi yaitu 0,8%. (Badan Peneliti dan
Pengembangan Kesehatan, 2013).
Angka kejadian demam tifoid di Rumah Sakit Kartika dari Bulan Desember
2021 hingga Februari 2022 berjumlah 310 kasus. Angka tersebut naik turun dilihat
dari bulan Desember 2021 terdapat 107 Kasus, bulan Januari 2022 terdapat 122
kasus, bulan Februari 2022 terdapat 81 kasus

Penyakit demam Tifoid di sebabkan oleh infeksi kuman salmonella tpyhi yang
merupakan kuman negatif, dan tidak menghasilkan spora, hidup baik sekali pada
suhu tubuh manusia serta dapat mati pada suhu 70℃ dan menggunakan antiseptic (
Wulandari & Erawati, 2016). Dampak demam Tifoid sendiri terhadap tubuh
manusia yaitu menimbulkan perasaan tidak enak badan, lesu, pusing, dan tidak
bersemangat yang kemudian disusul dengan gejalagejala klinis seperti nyeri bagian
perut, anoreksia, mual muntah, konstipasi, diare, dan demam / hipertermia. Gejala
klinis terbanyak adalah demam, anoreksia diikuti oleh mual, muntah, dan nyeri
perut (Homenta, 2016).

Komplikasi dapat lebih sering terjadi pada individu yang tidak diobati
sehingga memungkinkan terjadinya pendarahan dan perforasi usus ataupun infeksi
fecal seperti visceral abses (Naveed and Ahmed, 2016). Salmonella typhi adalah
bakteri gram negatif yang menyebabkan spektrum sindrom klinis yang khas
termasuk gastroenteritis, demam enterik, bakteremia, infeksi endovaskular, dan
infeksi fecal seperti osteomielitis atau abses (Naveed and Ahmed, 2016).
Dari uraian diatas, penulis tertarik untuk mengangkat masalah penyakit demam
Tifoid dalam sebuah Makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada
keperawatan pada Anak dengan Demam Thyfoid di Ruang IRNA 2 Utama Rumah
Sakit Kartika Cibadak Kabupaten Sukabumi”.

6
1.2 Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dalam pembuatan makalah ini untuk mengetahui asuhan


keperawatan pada Anak dengan Demam Thyfoid di Ruang IRNA 2 Utama
Rumah Sakit Kartika Cibadak Kabupaten Sukabumi.
2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui Pengkajian pada pada Anak dengan Demam Thyfoid di Ruang


IRNA 2 Utama Rumah Sakit Kartika Cibadak Kabupaten Sukabumi
b. Mengetahui Diagnosa Keperawatan pada pada Anak dengan Demam
Thyfoid di Ruang IRNA 2 Utama Rumah Sakit Kartika Cibadak Kabupaten
Sukabumi
c. Mengetahui Rencana Keperawatan pada pada Anak dengan Demam Thyfoid
di Ruang IRNA 2 Utama Rumah Sakit Kartika Cibadak Kabupaten
Sukabumi.
d. Mengetahui Implementasi pada pada Anak dengan Demam Thyfoid di
Ruang IRNA 2 Utama Rumah Sakit Kartika Cibadak Kabupaten Sukabumi.
e. Mengetahui Evaluasi pada pada Anak dengan Demam Thyfoid di Ruang
IRNA 2 Utama Rumah Sakit Kartika Cibadak Kabupaten Sukabumi

1.3 Ruang Lingkup Keperawatan


Mengingat luasnya permasalahan dan keterbatasan waktu dalam pelaksanaan
asuhan keperawatan, penulis membatasi masalah hanya pada asuhan keperawatan
pada Anak dengan Demam Thyfoid di Ruang IRNA 2 Utama Rumah Sakit Kartika
Cibadak Kabupaten Sukabumi

7
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan ini dilakukan dengan menggunakan referensi yang
didapatkan secara autoanamesa (berasal dari pasien), buku, internet, dan Rekam
Medis.

1.5 Sistematika Penulisan


Untuk memahami lebih jelas laporan ini, maka materi yang tertera pada
laporan Asuhan Keperawatan ini dikelompokan menjadi beberapa sub bab dengan
sistematika penyampaian sebagai berikut :
1. BAB 1 Pendahuluan

Berisi tentang latar belakang, tujuan penulisan, ruang lingkup keperawatan,


metode penulisan dan sistematika penulisan.
2. BAB 2 Tinjauan Teori

Bab ini berisikan teori yang berupa anatomi dan fisiologi sistem pencernaan,
pengertian demam tifoid, etiologi, patifisiologi, gejala klinis, pemeriksaan
diagnostik, komplikasi, penatalaksanaan medis, pencegahan, asuhan
keperawatan pada pasien demam tifoid.
3. BAB 3 Tinjauan Kasus

Bab ini berisikan mengenai hasil dari tinjauan kasus yang dimulai dari
pengkajian, pengelompokkan data fokus, analisa data, diagnosa keperawatan,
perencanaan pelaksanaan, dan evaluasi.
4. BAB 4 Pembahasan

Bab ini berisikan mengenai pembahasan mengenai teori yang didapatkan dari
literature dengan studi kasus yang didapatkan yang dimulai dari pengkajian, data
focus, analisa data, diagnose keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi.
5. BAB 5 Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisikan Kesimpulan dan Saran yang berkaitan dengan analisa dan
optimalisasi dari yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya

8
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan


Anatomi saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring),
kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus.

Gambar 2.1 Sistem Pencernaan

Saluran cerna atau traktus digestifus merupakan sistem organ yang


berfungsi untuk mengambil berbagai zat dari luar tubuh (air, mineral, nutrien,
vitamin), memecah partikel-partikel besar menjadi partikel kecil, dan mentransfer
partikelpartikel tersebut dari lingkungan luar ke dalam darah, untuk selanjutnya
digunakan atau disimpan dalam sel. Secara umum, struktur anatomi sistem
pencernaan terdiri atas saluran yang berkesinambungan dan terhubung satu sama
lain (rongga mulut, faring, esofagus, lambung/gaster, usus besar, usus halus, anus)
serta organorgan aksesoris, yaitu kelenjar ludah, liver,
pankreas, serta kelenjar empedu (Gambar 2.1)

Secara mikroskopis atau histologis, dinding saluran cerna terdiri dari empat
lapisa, yaitu:
1. Tunika mukosa, terdiri dari lapisan epitel yang membatasi lumen saluran cerna,
lamina propria, dan tunika muskularis mukosa yang memisahkan mukosa

9
dengan submukosa. Berbagai segmen saluran cerna memiliki bentuk yang
banyak mengandung sel imun. Lamina propria merupakan lapisan dibawah
lapisan epitel yang banyak mengandung saluran limfa, pembuluh darah, dan
ujung-ujung saraf aferen maupun eferen.
2. Lapisan submukosa yang terdiri dari jaringan ikat elastis serta pembuluh darah
dan limfa. Pada lapisan ini, juga terdapat pleksus saraf Meissner yang berfungsi
untuk mempersarafi lapisan epitel dan mukularis mukosa.
3. Tunika muskularis yang tersusun dari jaringan otot polos sirkuler dan
longitudinal. Di antara lapisan otot sirkuler dan longitudinal usus halus, terdapat
kumpulan sel ganglion yang disebut dengan plexus Auerbach’s
4. Tunika serosa, yaitu jaringan ikat terluar yang menghasilkan cairan serous.
Meskipun memiliki struktur umum yang serupa, masing-masing segmen saluran
cerna memiliki karakteristik histologis tersendiri sesuai dengan fungsinya pada
proses digestif, yaitu fungsi motilitas (pergerakan makanan melalui traktus
digestifus), sekresi (pelepasan zat tertentu untuk membantu proses pencernaan
makanan), digesti (pemecahan makanan secara fisik maupun kimia), atau
absorpsi (pemindahan berbagai zat ke lingkungan dalam tubuh). Pada bagian
selanjutnya, akan dijelaskan mengenai fisiologi digesti secara umum dan
struktur serta proses spesifik yang berlangsung pada masing-masing segmen
saluran cerna.
Fungsi saluran cerna dapat dibagi menjadi empat komponen, yaitu motilitas,
sekresi, digesti, dan absorpsi. Fungsi motilitas melibatkan kontraksi otot polos
yang bertujuan untuk mendorong makanan melalui saluran cerna dan mencampur
makanan dengan jus digesti guna memfasilitasi proses digesti serta absorpsi. Secara
berurutan, motilitas saluran cerna mencakup proses ingesti (memasukkan makanan
ke dalam mulut), mastikasi (mengunyah), deglutisi (menelan), gerakan peristaltik
(gerakan ritmis saluran cerna), dan segmentasi (proses pencampuran di dalam
usus).

10
1. Rongga mulut
Setelah seseorang melakukan seleksi makanan dengan bantuan indra
penglihatan dan penciuman, proses pencernaan dimulai di dalam mulut dan
diawali dengan ingesti, yaitu memasukkan makanan ke dalam rongga mulut.
Pada saat makanan kontak dengan lidah, taste bud akan mendeteksi komposisi
kimia zat makanan. Proses ingesti dilanjutkan dengan mastikasi atau gerakan
mengunyah, yaitu digesti fisik oleh gigi dan lidah serta proses digesti kimia oleh
saliva. Gigi merupakan organ pertama yang melakukan digesti mekanis.
Pertama, makanan digigit oleh gigi depan (incisura), kemudian gigi taring
(kanina) memecah makanan menjadi bagian kecil. Selanjutnya, makanan
dipotong menjadi bagian lebih kecil lagi oleh gigi premolar. Setelah itu, gigi
molar menggiling makanan sebagai akhir dari proses digesti mekanis di rongga
mulut.
Gigi geligi sangat kuat, gigi depan yang memecah dan menggiling
makanan bisa mengeluarkan kekuatan sampai 40 kg, sedangkan gigi molar
mempunyai kekuatan menggilas hingga 50 - 125 kg. Kunyahan gigi
meningkatkan luas permukaan makanan sehingga penetrasi enzim digesti yang
terkandung dalam saliva menjadi lebih mudah. Selain itu, lidah turut membantu
gerakan ke depan, belakang, dan samping untuk mengoptimalkan pencampuran
makanan dengan saliva. Tidak hanya memecah makanan, digesti mekanis juga
merangsang impuls saraf yang memicu sekresi cairan lambung dan
mempersiapan proses menelan.
Bersamaan dengan proses mengunyah, tiga pasang kelenjar ludah di
mulut menghasilkan saliva. Dalam sehari, tubuh kurang-lebih menghasilkan
1-1,5 kuarta saliva yang berfungsi untuk menjaga kelembapan mulut,
melarutkan makanan agar dapat dirasakan oleh indra pengecap, membilas
gigi agar tetap bersih, dan melumasi makanan dengan musin agar mudah
ditelan. Selain itu, saliva juga mengandung enzim amilase atau ptyalin yang
berfungsi untuk memecah zat tepung menjadi maltosa serta mengandung
lisozim (lysozyme) yang dapat mencerna dinding sel bakteri sehingga
berfungsi dalam pertahanan tubuh terhadap kuman. Setelah proses digesti

11
mekanis dan kimia di rongga mulut, lidah akan memindahkan bolus-bolus
makanan ke dalam faring sebagai langkah awal menelan.

2. Faring dan Esofagus


Faring merupakan saluran antara faring dan esofagus yang menjadi
tempat transisi pergerakan makanan secara volunter (di bawah kendali sadar)
menjadi gerakan involunter. Refleks menelan atau deglutisi yang terjadi di
faring akan mendorong makanan melalui esophagus menuju lambung. Selain
berfungsi untuk mentranspor makanan dan air ke dalam lambung, faring dan
esofagus dan juga mensekresi mukus. Proses pemindahan makanan sejak
ditelan hingga mencapai lambung membutuhkan waktu kurang-lebih selama
8 detik. Sebagian besar waktu tersebut dihabiskan untuk proses turunnya
makanan melewati esofagus, sedangkan cairan murni dapat turun ke esofagus
hanya dalam waktu satu detik atau delapan kali lebih cepat dibandingkan
makanan lunak. Makanan turun melewati esofagus dengan bantuan gerakan
peristaltik. Peristaltik merupakan gelombang gerakan yang cukup kuat dan
bekerja seperti gaya gravitasi. Bahkan, dalam kondisi tanpa gravitasi,
manusia masih dapat menelan kurang-lebih setengah ons makanan. Hal ini
menjadialasan mengapa astronot dapat makan dalam posisi jungkir balik atau
dalam gravitasi nol dan dalam kondisi tersebut mereka harus makan dalam
jumlah kurang dari 0,5 ons per sekali telan.

3. Lambung
Merupakan organ muskular yang berbentuk seperti kantong. Secara
anatomis, lambung dapat dibagi menjadi beberapa segmen, yaitu kardia yang
membatasi lambung dengan esofagus, fundus, korpus,dan pilorus Makanan
masuk ke dalam lambung dengan membukanya orifisium kardia. Di dalam
lambung, terjadi proses digesti fisik dan kimia yang akan menghasilkan
chyme atau kimus. Selain itu lambung juga berfungsi untuk menyimpan
makanan sebelum dilepaskan sedikit demi sedikit ke dalam usus halus.
Permukaan bagian dalam lambung dilapisi oleh rugae. Lapisan mukosa terdiri
atas beberapa jenis sel, yaitu:

12
a. Sel goblet, disebut juga dengan mucous neck cell, yang berfungsi untuk
mensekresi mukus. Mukus, bersamasama dengan HCO3, membentuk
sistem pertahanan nonspesifik lambung (gastric mucosal barrier) yang
berfungsi untuk melindungi epitel lambung.
b. Sel parietal, berfungsi untuk memproduksi asam klorida (HCl). Asam ini
berfungsi untuk membunuh bakteri dan denaturasi protein dan membuat
suasana lambung menjadi asam dengan PH 1,5 sampai dengan 3.

c. Sel chief, memproduksi pepsinogen yang kemudian diaktifkan oleh HCl


menjadi pepsin. Pepsin berfungsi untuk memecah protein. Selain itu, sel
ini juga memproduksi enzim lipase yang berperan dalam proses hidrolisis
lemak dengan memecah lemak menjadi asam lemak dan gliserol dan enzim
rennin yang berfungsi untuk mencerna susu.
d. Sel G, yang menghasilkan hormone gastrin. Hormon dilepaskan segera
setelah makanan masuk ke lambung dan berfungsi untuk memicu sekresi
jus digesti oleh kelenjar gaster.
e. Sel D, yang berfungsi menghasilkan hormon somatostatin (bekerja untuk
menghambat asam).
f. Enterochromaffin-like cell, berfungsi memproduksi substansi mirip
histamin. Ketiga enzim yang terkandung di dalam cairan lambung (gastric
juice) bercampur dengan makanan melalui proses mekanis, yaitu kontraksi
dan relaksasi lambung. Normalnya, lambung mengalami kontraksi
sebanyak tiga kali per menit dan mempunyai kapasitas untuk menampung
kurang-lebih dua pertiga volume makanan. Pada saat puasa, volume aktual
lambung kurang dari dua ons. Kontraksi dan relaksasi lambung ini
diinisiasi oleh pikiran, penglihatan, penciuman, serta pengecapan
makanan. Produksi cairan lambung dapat ditekan jika makanan tidak
tampak menarik, memiliki bau tidak sedap, atau dikonsumsi dalam suasana
tidak nyaman. Sekresi juga akan menurun dengan jumlah makanan yang
besar, kandungan lemak tinggi, atau proses mengunyah yang kurang.
Dalam keadaan sakit, takut, atau depresi, produksi cairan lambung dapat

13
tertekan lebih dari 24 jam. Hal ini menerangkan mengapa konsumsi
makanan dapat berkurang saat perasaan kecewa atau tidak senang.
Pengosongan makanan dari lambung memerlukan waktu antara 2 – 6
jam. Setiap gerakan peristaltik dapat mengosongkan 3/100 ons isi
lambung. Jika lambung berkontraksi dengan frekuensi tiga kali per menit,
maka pengosongan satu kilogram makanan memakan waktu sekitar 5 jam.
Proses digesti dan pengosongan lambung tergantung pada jenis makanan.
Protein dicerna dalam suasana asam, sedangkan lemak membutuhkan
suasana netral. Air dan cairan meninggalkan lambung paling cepat.
Pengosongan karbohidrat paling cepat dibandingkan protein atau lemak,
sedangkan protein meninggalkan lambung lebih cepat dibandingkan lemak.
Dalam jangka waktu 5 menit setelah lemak masuk ke dalam lambung,
hormon enterogastron masuk ke dalam darah dan kemudian menuju
lambung. Hormon ini menghambat gerakan lambung dan menyebabkan
pengosongan lambung menjadi lebih lambat. Waktu pengosongan lambung
untuk berbagai jenis karbohidrat juga berbeda.

4. Usus Halus
Usus halus merupakan tabung yang memiliki panjang kurang-lebih 6 –
7 meter dan terdiri atas duodenum (20 cm), jejunum (1.8 m), serta ileum.
Sebagian besar proses digesti kimia dan absorpsi terjadi di dalam usus halus.
Usus halus memiliki permukaan yang luas dengan adanya plika (lipatan
mukosa), vili (tonjolan mukosa seperti jari atau jonjot usus), serta mikrovili
atau brush border. Vili mengandung banyak kapiler dan pembuluh limfa
(central lacteal) yang memiliki peran sentral dalam proses absorbsi. Selain
itu, vili juga bergerak seperti tentakel gurita yang membantu proses
pergerakan zat makanan di dalam rongga usus halus.
Digesti Kimia: Usus Halus dan Pankreas Brush border banyak
mengandung enzim yang berikatan dengan membran sel epitel dan berfungsi
dalam proses digesti kimia. Enzim-enzim tersebut berperan dalam proses
hidrolisis disakarida, polipeptida, dan lain sebagainya. Salah satu jenis enzim

14
yang terdapat pada brush border adalah enterokinase. Enzim ini berfungsi
untuk mengaktifkan enzim tripsin yang diproduksi oleh pankreas. Tripsin
selanjutnya berfungsi dalam proses pemecahan polipeptida menjadi peptida
rantai pendek dan asam amino. Adapun enzim disakaridase berfungsi untuk
memecah disakarida menjadi monosakarida, seperti sukrase yang memecah
sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa serta laktase yang memecah laktosa
menjadi glukosa dan galaktosa. Kelenjar eksokrin pankreas mensekresi jus
pankreas ke dalam duodenum. Jus tersebut mengandung beberapa enzim dan
elektrolit, yaitu (1) amilase yang berfungsi untuk memecah karbohidrat/zat
tepung; (2) tripsinogen yang diaktifkan menjadi tripsin oleh enterokinase; (3)
lipase dan ko-lipase yang berfungsi untuk mencerna trigliserida; (4) enzim-
enzim protease serta nuklease; dan (4) natrium bikarbonat (alkali) yang
berfungsi untuk menetralisir asam lambung.
Digesti Kimia: Liver Pada proses digesti kimia, liver memiliki fungsi
utama untuk mensekresi cairan empedu dan memetabolisme zat-zat yang
telah diabsorbsi. Cairan empedu yang dihasilkan oleh liver disimpan di dalam
kandung empedu (gall bladder) untuk kemudian disekresikan ke dalam
duodenum. Garam empedu berguna dalam proses emulsi/absorbsi lemak.
Selain itu, cairan empedu juga mengandung bilirubin yang merupakan hasil
pemecahan sel darah merah dan akan dibuang melalui saluran cerna. Berbagai
proses metabolisme terjadi di dalam hati. Darah kaya nutrien mengalir dari
vili usus ke sistem porta hepatik. Berbagai nutrien tersebut akan diproses
terlebih dulu di dalam liver sebelum masuk ke sirkulasi umum. Selain itu,
liver juga berfungsi dalam proses degradasi sampah metabolisme, hormon,
obat, dan lain sebagainya. Organ ini juga mensintesis protein plasma dan
menjadi tempat penyimpanan kelebihan glukosa dalam bentuk glikogen,
penyimpanan cadangan lemak, mineral, dan vitamin. Glikogen akan dipecah
kembali menjadi glukosa untuk mempertahankan kadar gula darah dalam
rentang normal dan menyuplai kebutuhan energi saat tubuh memerlukannya
Absorpsi Karbohidrat dan Protein Karbohidrat dan protein dipecah
berturutturut menjadi monosakarida dan asam amino/peptida rantai pendek.

15
Selanjutnya, partikel-partikel tersebut akan ditranspor ke permukaan epitel
oleh ko-transporter. Monosakarida dan asam amino/peptide rantai pendek
diserap melalui proses coupling dengan ion Na+ atau H+ ke dalam sel epitel
dan kemudian masuk ke dalam kapiler darah menuju sistem porta hepatik.
Absorpsi Lemak Sebelum diserap dan dipecah, lemak (lipid)
mengalami proses emulsifikasi oleh garam empedu. Pada proses ini, lipid
berinteraksi dengan garam empedu untuk membentuk droplet. Selanjutnya,
enzim lipase yang dihasilkan oleh pankreas akan memecah lemak
teremulfikasi menjadi asam lemak bebas dan monogliserida yang kemudian
diserap oleh epitelium. Di dalam sel epitel, asam lemak dan monogliserida
tersebut menjalani proses re-sintesis untuk kembali membentuk trigliserida.
Trigliserida kemudian berikatan dengan protein untuk membentuk
chylomicron yang dilepaskan ke dalam submukosa melalui proses eksositosis.
Selanjutnya, chylomicron memasuki sistem limfatik lakteal sentral dan
ditranspor ke dalam sirkulasi darah.

5. Usus Besar
Usus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rektum yang
keseluruhannya memiliki panjang kurang-lebih 5 kaki. Kolon terdiri dari tiga
segmen, yaitu kolon asenden, transversum, serta desenden. Usus besar
terhubung dengan usus halus melalui katup ileosekal yang berfungsiuntuk
mengendalikan kecepatan masuknya makanan dari usus halus ke usus besar
dan mencegah refluks sisa makanan dari usus besar ke usus halus. Katup
ileosekal membuka ke bagian usus besar yang disebut sekum (caecum), yaitu
segmen yang berfungsi menerima sisa makanan. Bagian sekum yang
menonjol disebut apendiks. Posisi apendiks yang eksentrik mengakibatkan
sisa makanan mudah berakumulasi di rongga tersebut dan dapat
mengakibatkan peradangan atau apendisitis. Fungsi utama usus besar adalah
untuk menampung zat-zat yang tidak terdigesti dan tidak diabsorpsi (feses).
Sebagian kecil garam dan air sisa pencernaan juga diserap di dalam usus
besar. Apabila sisa makanan bergerak terlalu lambat atau berada di kolon

16
terlalu lama, akan terjadi absorpsi air yang berlebihan sehingga feses menjadi
keras dan mengakibatkan konstipasi. Kuranglebih 30% berat kering feses
mengandung bakteri E. coli. Bakteri ini hidup di dalam usus besar dan
memproduksi vitamin K.

6. Mekanisme Persarafan dan Endokrin Saluran Cerna


Sistem persarafan saluran cerna merupakan bagian dari sistem saraf
otonom yang terdiri dari jaring-jaring neuron yang mengatur fungsi saluran
cerna. Sel-sel serta serabut saraf terkumpul dalam dua jenis ganglia, yaitu
pleksus mienterikus Auerbach’s yang terletak di tunika muskularis dan plekus
submukosa Meissner. Selain fungsi yang dikendalikan otak dan korda spinalis
melalui nervus parasimpatis (nervus vagus) dan simpatis (ganglia prevertebral),
sistem ini mampu menjalankan fungsi secara otonom,seperti melakukan
koordinasi berbagai refleks secara independen. Sistem saraf enterik terdiri dari
neuron aferen, neuron aferen, dan interneuron.

Neuron aferen atau sensorik berfungsi untuk meneruskan rangsang


mekanis ataupun kimia, sedangkan neuron eferen berperan dalam mengontrol
gerakan peristalsis usus dan sekresi enzim. Fungsi tersebut melibatkan berbagai
neurotransmiter yang juga ditemukan pada sistem saraf pusat, seperti asetilkolin
(ACH), dopamine, dan serotonin. Proses pencernaan melibatkan tiga fase
persarafan, yaitu fase sefalik, gastrik, dan intestinal. Fase sefalik berawal proses
sensorik yang diperantarai oleh nervus vagus. Rangsangan terhadap nervus
vagus oleh penglihatan, penciuman, dan kontak makanan akan memicu sekresi
asetilkolin (ACH).

Asetilkolin selanjutnya merangsang sel chief, sel parietal, dan sel G di


dalam lambung untuk berturut-turut menghasilkan asam, pepsinogen, dan
gastrin. Selain itu, nervus vagus juga berfungsi untuk memperantarai sekresi
pankreas. Fase gastrik diawali dengan masuknya makanan ke dalam lambung
yang menstimuli reseptor karbohidrat dan protein. Adapun fase intestinal adalah
kontrol saraf terhadap pergerakan usus dan sekresi enzim. Mekanisme stimuli

17
melibatkan dua jenis refleks, yaitu refleks pendek (stimulasi efektor secara
langsung oleh makanan) dan refleks panjang (makanan menstimulasi nervus
vagus yang selanjutnya merangsang efektor untuk mengeluarkan ACH). Refleks
endokrin juga berperan dalam proses pencernaan. Jika ada stimulus berupa
makanan, lambung akan mengalami distensi dan mensekresi asam lambung yang
memicu reseptor dan integrator di sel endokrin lambung atau usus. Informasi
dari reseptor dan integrator selanjutnya diteruskan ke saraf eferen untuk
merangsang sekresi hormone gastrointestinal. Hormon gastrointestinal kemudian
merangsang efektor di sel otot polos, kelenjar eksokrin, dan sistem saraf untuk
melakukan kontraksi, sekresi atau sintesis, dan memicu rasa lapar

2.2. Pengertian Typoid

Demam Tifoid atau enteric fever adalah penyakit infeksi akut yang biasanya
mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu,
gangguan pada pencernaan dan gangguan keasadaran. Demam Tifoid disebabkan
oleh infeksi salmonella typhi (Lestari, 2016). Demam Tifoid atau typhus
abdominalis adalah suatu penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari seminggu, gangguan pada
pencernaan dan juga kesadaran (Price & M.wilson 2015). Tifoid fever atau demam
Tifoid adalah penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam satu
minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan gangguan
kesadaran (sari, 2013).

2.3. Etiologi
Penyebab utama demam Tifoid ini adalah bakteri samonella typhi. Bakteri. berupa
basil gram negatif, mempunyai flagela, bergerak dengan rambut getar, tidak
berspora, dapat hidup di dalam air, sampah dan debu mempunyai tiga macam
antigen yaitu antigen O (somatik yang terdiri atas zat kompleks lipopolisakarida),
antigen H (flagella), dan antigen VI. Dalam serum penderita, terdapat zat (aglutinin)
terhadap ketiga macam antigen tersebut. Kuman tumbuh pada suasana aerob dan

18
fakultatif anaerob pada suhu 15-41℃ (optimum 37℃) dan pH pertumbuhan 6-8.
Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan suhu 70℃ selama 15-20 menit. Faktor
pencetus lainnya adalah lingkungan, sistem imun yang rendah, feses, urin, makanan
minuman yang terkontaminasi, formalitas dan lain sebagainya (Lestari, 2016).

2.4. Patofisiologi

Patofisiologi menurut (Muttaqin & Sari, 2011, p. 489) yaitu Kuman


Salmonella typhi yang masuk ke saluran gastrointestinal akan ditelan oleh selsel
fagosit ketika masuik melewati mukosa dan oleh makrofag yang ada di dalam
lamina propia. Sebagian dari Salmonella typhi ada yang dapat masuk ke usus halus
mengadakan invaginasi ke jaringan limfoid usus halus (plak peyer) dan jaringan
limfoid mesenterika.Kemudian Salmonella typhi masuki melalui folikel limpa ke
saluran limfatik dan sirkulasi darah sistemik sehingga terjadi bacteremia.
Bakterimia pertama-tama menyerang sistem retikulo endothelial (RES) yaitu : hati,
limpa, dan tulang kemduian selanjutnya mengenai seluruh organ di dalam tubuh
antara lain sistem saraf pusat, ginjal, dan jaringan limpa.
Usus yang terserang tifus umumnya ileum distal, tetapi kadang bagian lain
usus halus dan kolon proksimal juga dihinggapi.Pada mulanya, plakat player penuh
dengan fagosit, membesar, menonjol, dan tampak seperti infiltrat atau hyperplasia
di mukosa usus. Pada akhir minggu pertama infeksi, terjadi nekrosis dan
tukak.Tukak ini lebih besar di ileum daripada dikolon sesuai dengan ukuran plak
pyer yang ada disana.Kebanyakan tukaknya dangkal, tetapi kadang lebih dalam
sampai menimbulkan perdarahan.Perforasi terjadi pada tukak yang menembus
serosa.Setelah penderita sembuh, biasanya ulkus membaik tanpa meninggalkan
jaringan parut dan fibrosis.
Masuknya kuman kedalam intestinal terjadi pada minggu pertama dengan
tanda dan gejala suhu tubuh naik turun khususnya suhu akan naik pada malam hari
dan akan menurun menjelang pagi hari. Demam yang terjadi pada masa ini disebut
demam intermiten (suhu yang tinggi, naik-turun, dan turunnya dapat mencapai
normal). Di samping itu peningkatan suhu tubuh, juga akan terjadi obstipasi sebagai
akibat penurunan mobilitas suhu, namun hal ini tidak selalu terjadi dan dapat pula

19
terjadi sebaliknya. Setelah kuman melewati fase awal intestinal, kemudian masuk
ke sirkulasi sistemik dengan tanda peningkatan suhu tubuh yang sangat tinggi dan
tanda-tanda infeksi pada RES seperti nyeri perut kanan atas, splenomegaly, dan
hepatomegaly.
Pada minggu selanjutnya dimana infeksi local intestinal terjadi dengan
tanda-tanda suhu tubuh masih tetap tinggi, tetapi nilainya lebih rendah dari fase
bakterimia dan berlangsung terus-menerus (demam kontinu), lidah kotor, tepi lidah
hiperemis, penurunan peristaltic, gangguan digesti dan absorpsi sehingga akan
terjadi distensi, diare dan pasien merasa tidak nyaman. Pada masa ini dapat terjadi
perdarahan usus, perforasi, dan peritonitis dengan tanda distensi abdomen berat,
peristaltic menurun bahkan hilang, melena, syok, dan penurunan kesadaran.

20
21
2.5. Manifestasi Klinis
Demam Tifoid pada anak biasanya lebih ringan daripada orang dewasa. Masa tunas
10-20 hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan
jika melalui minuman yang terlama 30 hari. Selama masa inkubasi mungkin
ditemukan gejala prodromal, perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri, nyeri kepala,
pusing dan tidak bersemangat, kemudian menyusul gejala klinis yang biasanya di
temukan, yaitu (Lestari, 2016)
a. Demam
Pada kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu bersifat febris remitten
dan suhu tidak tinggi sekali. Minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur
naik setiap hari, menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan
malam hari. Dalam minggu ketiga suhu berangsur turun dan normal kembali.
b. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan.
Pada abdomen dapat di temukan keadaan perut kembung. Hati dan limpa
membesar disertai nyeri dan peradangan.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran pasien menurun, yaitu apatis sampai samnolen.. Jarang
terjadi supor, koma atau gelisah (kecuali penyakit berat dan terlambat
mendapatkan pengobatan). Gejala yang juga dapat ditemukan pada punggung
dan anggota gerak dapat ditemukan reseol, yaitu bintik- bintik kemerahan
karena emboli hasil dalam kapiler kulit, yang ditemukan pada minggu pertama
demam, kadang-kadang ditemukan pula takikardi dan epistaksis
d. Relaps
Relaps (kambuh) ialah berulangnya gejala penyakit demam Tifoid, akan tetap
berlangsung ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu
badan normal kembali, terjadinya sukar diterangkan. Menurut teori relaps
terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat
dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti (Lestari, 2016).

22
2.6. Komplikasi
Komplikasi intestinal : perdarahan usus halus , perporasi usus dan ilius paralitik.
Komplikasi extra intestinal :
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis,
trombosis, tromboplebitis
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia dan syndrome uremia
hemolitik
c. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, dan kolesistitis.
e. Komplikasi ginjal glomerulus nefritis, pyelonephritis dan perinepritis.
f. Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meninggiusmus, meningitis, polyneuritis
perifer, sindroma guillain bare dan sindroma katatonia (Lestari, 2016).

2.7. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan darah perifer lengkap Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula
leukositosis atau kadar leukosit normal. Leukositosis dapat terjadi walaupun
tanpa disertai infeksi sekunder
b. Pemeriksaan SGOT dan SGPT SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan
kembali normal setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan juga SGPT ini tidak
memerlukan penanganan khusus
c. Pemeriksaan uji widal Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody
terhadap bakteri salmonella typhi. Uji widal dimaksudkan untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum penderita demam Tifoid. Akibat adanya infeksi
oleh salmonella typhi maka penderita membuat antibody (agglutinin)
d. Kultur
1) Kultur darah : bisa positif pada minggu pertama
2) Kultur urine : bisa positif pada akhir minggu kedua
3) Kultur feses : bisa positif dari minggu kedua hingga minggu ketiga

23
e. Anti salmonella typhi ig M Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi
secara dini infeksi akut salmonella typhi, karena antibody ig M muncul pada
hari ke3 dan 4 terjadinya demam (Nurarif & Kusuma, 2015).

2.8. Penatalaksanaan
penatalaksanaan pada demam Tifoid yaitu (Lestari, 2016).
a. Perawatan
1) Klien diistirahatkan 7 hari sampai 14 hari untuk mencegah komplikasi
perdarahan usus.
2) Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi bila
ada komplikasi perdarahan.
b. Diet
1) Diet yang sesuai, cukup kalori dan tinggi protein.
2) Pada penderita yang akut dapat diberikan bubur saring.
3) Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi lembut
4) Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7
hari.
c. Obat-obatan
1) Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-
4 kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari.
2) Bila mana terdapat kontra indikasi pemberian kloramfenikol, diberikan
ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali.
Pemberian intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari.
3) Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali.
Pemberian oral/intravena selama 21 hari.
4) Kotrimoksasol dengan dosis 8 mg/kgBB/hari terbagi dalam 2-3 kali
pemberian, oral, selama 14 hari. 5) Pada kasus berat, dapat diberi
ceftriakson dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dan diberikan 2 kali sehari atau
80 mg/kgBB/hari, sehari sekali, intravena selama 5-7 hari 6) Pada kasus
yang diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah
meropenem, azithromisin, dan fluoroquinolon

24
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S. typhi, maka
setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang
mereka konsumsi. S. typhi akan mati dalam air yang dipanaskan setinggi 57o C
dalam beberapa menit atau dengan prose iodinasi/ klorinasi. Vaksinasi atau
imunisasi memberikan pendidikan kesehatan dan pemeriksaan kesehatan secara
berkala terhadap penyaji makanan baik pada industri makanan maupun restoran
dapat berpengaruh terhadap penurunan angka kejadian demam tifoid (Soedarno,
Garna, Hadinegoro, 2012).
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin
yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan, mengkonsumsi
makanan sehat, memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan perilaku
hidup bersih dan sehat dengan budaya cuci tangan yang benar dan memakai
sabun, meningkatkan higiene makanan dan minuman, dan perbaikan sanitasi
lingkungan. Di Indonesia terdapat tiga jenis vaksin tifoid, yaitu:
1. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna

2. Vaksin parenteral sel utuh

3. Vaksin polisakarida Typhin Vi Aventis Pasteur Merrieux.

Pencegahan sekunder dilakukan dengan mendiagnosa penyakit secara


dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Pencegahan tersier
adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat komplikasi.
Apabila telah sembuh sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat dan pada
penderita carier perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium pasca penyembuhan
(Harahap, 2011).
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan
karena akan berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian
akibat demam tifoid. Tindakan preventif dan kontrol penularan kasus luar biasa
(KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman S. typhi
sebagai agen penyakit dan faktor pejamu (host) serta faktor lingkungan (Widodo,
2006).

25
Secara garis besar, terdapat tiga strategi pokok untuk memutuskan
transmisi tifoid, yaitu (Widodo. 2006) :
1. Identifikasi dan eradikasi S. typhi baik pada kasus demam tifoid maupun
kasus karier tifoid. Pelaksanaanya dapat dilakukan secara aktif dengan
mendatangi sasaran dan pasif dengan menunggu bila ada penerimaan
pegawai di suatu instansi. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi
tertentu seperti pengelola sarana makanan/ minuman. Sasaran lainnya adalah
yang terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas kesehatan, petugas
kebersihan, dan lainnya.
2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien yang terinfeksi S. typhi akut
maupun karier. Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun di
rumah dan lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S.
typhi.
3. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi dapat dilakukan dengan cara
vaksinasi tifoid di daerah endemik maupun hiperendemik.

2.9. Konsep Askep teori Typoid


A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama di dalam memberikan
asuhan keperawatan. Perawat harus mengumpulkan data tentang status
kesehatan pasien secara sistematis, menyeluruh, akurat, singkat, dan
berkesinambungan. Pengumpulan data ini juga harus dapat menggambarkan
status kesehatan klien dan kekuatan masalah-masalah yang dialami oleh klien
(Serri, 2010). Berikut ini adalah pengkajian tentang demam Tifoid
a. Biodata Klien dan penanggung jawab Biodata berupa nama, umur, jenis
kelamin, alamat, pendidikan, nomor registrasi, status perkwanian, agama,
pekerjaan, tinggi badan, berat badan, tanggal masuk rumah sakit
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama Biasanya klien dirawat dirumah sakit dengan
keluhan, demam, muntah, nafsu makan menurun, dan diare

26
2) Riwayat Kesehatan Sekarang Biasanya klien mengeluh kepala terasa
sakit, demam, nyeri dan juga pusing, berat badan berkurang, klien
mengalami mual, muntah dan anoreksia, merasa sakit diperut dan
juga diare, dan mengeluh nyeri otot.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit lain/pernah menderita penyakit seperti
ini sebelumnya
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji adanya keluarga yang menderita penyakit yang sama
(penularan).
c. Riwayat kehamilan dan persalinan
1) Pre natal care Kehamilan yang keberapa, tanggal lahir, gestasi
(fulterm, premature, post matur), abortus atau lahir hidup, kesehatan
selama sebelumnya/kehamilan, dan obat-obatan yang dimakan serta
imunisasi.
2) Natal Lamanya proses persalinan, tempat melahirkan, obat-obatan,
penolong persalinan, penyulit persalinan.
3) Post natal Berat badan normal 2,5 kg – 4 kg, panjang badan normal
49-52 cm, kondisi kesehatan baik, apgar score, ada atau tidak ada
kelainan kongenital.
d. Riwayat imunisasi Menanyakan riwayat imunisasi dasar seperti Bacilus
Calmet Guirnet (BCG), Difteri Pertusis tetanus (DPT), Polio, Hepatitis,
Campak maupun imunisasi ulangan.
e. Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran berbagai organ
fisik berkaitan dengan masalah perubahan dalam jumlah, besar, ukuran
atau dimensi tingkat sel. Pertambahan berat badan 2–4 Kg/tahun dan
pada anak wanita sudah mulai mengembangkan ciri sex sekundernya.
Perkembangan menitik beratkan pada aspek diferensiasi bentuk dan
fungsi termasuk perubahan social dan emosi
1) Motorik kasar

27
a) Loncat tali
b) Badminton
c) Memukul
d) Motorik kasar di bawah kendali kognitif dan berdasarkan secara
bertahap meningkatkan irama dan kehalusan.
2) Motorik halus
a) Menunjukan keseimbangan dan koordinasi mata dan tangan
b) Dapat meningkatkan kemampuan menjahit, membuat model dan
bermain alat musik.
3) Kognitif
a) Dapat berfokus pada lebih dan satu aspek dan situasi
b) Dapat mempertimbangkan sejumlah alternative dalam pemecahan
masalah
c) Dapat membelika cara kerja dan melacak urutan kejadian kembali
sejak awal
d) Dapat memahami konsep dahulu, sekarang dan yang akan datang
e)
4) Bahasa
a) Mengerti kebanyakan kata-kata abstrak
b) Memakai semua bagian pembicaraan termasuk kata sifat, kata
keterangan, kata penghubung dan kata depan
c) Menggunakan bahasa sebagai alat pertukaran verbal
d) Dapat memakai kalimat majemuk dan gabungan
f. Pola kebiasaan sehari hari Mengindentifikasi pola aktivitas klien sebelum
dan sesudah sakit. Yang meliputi nutrisi, eliminasi, personal hygiene,
istirahat tidur, aktivitas.
a) Nutrisi Menggambarkan pola nutrisi klien dari sebelum sakit sampai
saat klien sakit yang meliputi frekuensi makan, jenis makanan yang
dimakan, porsi makanan, frekuensi minum serta jenis minuman

yang klien minum berapa gelas atau liter/hari Yang perlu dikaji
adalah pola makan biasa dan masukan cairan klien, tipe makanan

28
dan cairan, peningkatan penurunan berat badan, nafsu makan,
pilihan makan. Pada klien yang mengalami demam Tifoid terdapat
keluhan mual muntah yang dapat berpengaruh pada pola perubahan
nutrisi klien (Wulandari & Erawati, 2016).

b) Eliminasi Menggambarkan keadaan eliminasi klien sebelum sakit


maupun saat sakit yang meliputi frekuensi, konsistensi, warna, dan
bau. Yang perlu dikaji adalah pola defekasi klien berkemih,
penggunaan ala bantu, penggunaan obat-obatan. Pada klien demam
Tifoid didapatkan klien konstipasi atau diare (Wulandari &
Erawati, 2016).
c) Istirahat tidur Mengkaji pola istirahat klien sebelum sakit dan pada
saat keadaan klien sakit yang meliputi lama tidur, kualitas dan
kuantitas nya Yang perlu dikaji adalah bagaimana pola tidur klien
selama 24 jam, bagaimana kualitas dan kuantitas tidur klien, apa
ada gangguan tidur dan penggunaan obat obatan untuk mengatasi
gangguan tidur. pada pasien demam Tifoid didapatkan pasien
mengalami gangguan tidur akibat demam.
d) Personal hygiene Diisi dengan bagaimana kebersihan klien sebelum
sakit maupun saat sakit yang meliputi : mandi, gosok gigi, keramas,
gunting kuku, ganti pakaian.
e) Aktivitas Mengkaji aktivitas klien sebelum sakit maupun saat sakit
yang meliputi rutinitas yang setiap hari dilakukan oleh klien. Yang
perlu dikaji adalah pola aktivitas klien, latihan dan rekreasi,
kemampuan untuk mengusahakan aktivitas sehari-hari
(merawat diri, bekerja), dan respon kardiovaskuler serta pernapasan
saat melakukan aktivitas.
g. Riwayat psikososial dan
h. spiritual
Meliputi informasi mengenai perilaku, perasaan dan emosi yang dialami
penderita sehubungan dengan penyakitnya, serta tanggapan keluarga
terhadap penyakit penderita

29
i. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum anak tidak enak badan, tampak lemah, lesu, nyeri
kepala, suhu tubuh meningkat 37-40℃, muka kemerahan dan tidak
bersemangat
2) Tingkat kesadaran tingkat kesadaran menurun, apatis sampai
samnolen, jarang terjadi supor, atau bahkan koma
3) Kepala rambut kusam, mudah dicabut/rontok
4) Mata posisi mata kiri dan kanan simetris, konjungtiva anemis, pupil
merespon terhadap cahaya, fungsi penglihatan tidak ada gangguan
5) Hidung pernapasan tidak menggunakan cupit hidung
6) Telinga pada anak demam Tifoid tidak mengalami gangguan
pendengaran
7) Mulut bibir pecah pecah, kering dan pucat, nafas berbau tidak sedap,
lidah tertutup selaput putih kotor
8) Leher tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, dan tidak terlihat otot
bantu
9) Dada dada simetris, pernafasan vesikuler
10) Abdomen
saat dipalpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsitensi
lunak serta nyeri tekan pada abdomen, pada perkusi didapatkan perut
kembung, serta pada aulkultasi peristaltik usus meningkat

11) Ekstemitas Normal bisa bergerak seperti biasa nya


12) Genetalia Tidak ada keluhan
j. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan darah perifer lengkap Dapat ditemukan leukopeni, dapat
pula leukositosis atau kadar leukosit normal.
2) Pemeriksaan SGOT dan SGPT SGOT dan SGPT sering meningkat,
tetapi akan kembali normal setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan
juga SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus
3) Pemeriksaan uji widal Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya
antibody terhadap bakteri salmonella typhi. Uji widal dimaksudkan

30
untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita Demam
Tifoid. Akibat adanya infeksi oleh salmonella typhi imaka penderita
membuat antibody (agglutinin)
4) Kultur
a) Kultur darah : bisa positif pada minggu pertama
b) Kultur urine : bisa positif pada akhir minggu kedua
c) Kultur feses : bisa positif dari minggu kedua hingga minggu ketiga
5) Anti salmonella typhi Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi
secara dini infeksi akut salmonella typhi, karena antibody muncul
pada hari ketiga dan keempat terjadinya demam.

B. Diagnosa Keperawatan
Sumber diagnosa untuk penyakit demam Tifoid yang diambil adalah dari
SDKI, SLKI, dan SIKI. Berikut ini adalah diagnosa yang biasa nya
terjadi pada pasien Demam Tifoid :
a. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (infeksi) - Tanda
mayor
Ds : 1) tidak tersedia
Do : 1) suhu tubuh diatas nilai normal - Tanda minor
Ds : 1) tidak tersedia
Do :
1) kulit merah
2) kejang
3) takikardi
4) takipnea
5) kulit terasa hangat
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (inflamasi) -
tanda mayor
Ds :
1) mengeluh nyeri
Do :

31
1) tampak meringis
2) bersikap protektif
3) gelisah
4) frekuensi nadi meningkat
5) sulit tidur –
tanda minor
Ds : 1) tidak tersedia
Do :
1) tekanan darah meningkat
2) pola nafas berubah
3) nafsu makan berubah
4) proses berpikir terganggu
5) menarik diri

c. Intoleransi aktivitas

Definisi : Ketidakcukupan energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari

Penyebab

1) Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

2) Tirah baring

3) Kelemahan

4) Imobilitas
5) Gaya hidup monoton
Gejala dan tanda mayor :
Subjektif

1) Mengeluh lelah

Objektif

1) Frekuensi jantung meningkat > 20% dari kondisi istirahat Gejala dan
tanda minor :

32
Subjektif

1) Dispnea saat atau setelah aktifitas

2) Merasa tidak nyaman setelah beraktifitas

3) Merasa lemah

Objektif

1) Tekanan darah berubah >20% dari kondisi istirahat

2) Gambaran EKG menunjukkan aritmia saat atau setelah aktifitas

3) Gambaran EKG menunjukan iskemia

4) Sianosis

Kondisi Klinis Terkait

1) Anemia

2) Gagal jantung Kongestif

3) Penyakit Jantung Koroner

4) Penyakit katub jantung

5) Aritmia

6) Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)

7) Gangguan metabolic

C. Intervensi Keperawatan
a. Gangguan muskuloskelatal(SDKI, 2017, p. 128). Nutrisi,
ketidakseimbangan : kurang dari kebutuhan tubuh

Tujuan : Memperlihatkan status nutrisi yang dibuktikan oleh indicator


sebagai berikut (gangguan ekstrim berat, sedang, ringan, atau tidak
ada penyimpangan dari rentan normal) Kriteria hasil :

33
1) Mempertahankan berat badan

2) Menjelaskan komponen diet bergizi adekuat

3) Mengungkapkan tekad untuk mematuhi diet

4) Menoleransi diet yang dianjurkan

5) Mempertahankan masa tubuh dan berat badan dalam batas normal

6) Memiliki nilai laboratorium (mis. Transferrin, albumin, elektrolit)


dalam batas normal
7) Melaporkan tingkat energy yang adekuat Intervensi :
Aktifitas Keperawatan

1) Tentukan motivasi pasien untuk mengubah kebiasaan makan

2) Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi

3) Pantau nilai laboratorium, khususnya transferin, albumin, dan


elektrolit
Menejemen nutrisi (NIC) :

1) Ketahui makanan kesukaan pasien

2) Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan

3) Timbang pasien pada interval yang tepat Penyuluhan untuk


pasien
1) Ajarkan metode untuk perencanaan makan

2) Ajarkan pasien/keluarga tentang makanan bergizi dan tidak mahal

3) Menejemen nutrisi (NIC) : berikan informasi yang tepat tentang


kebutuhan nutrisi dan bagaimana memenuhinya.
Aktifitas kolaboratif

1) Diskusikan dengan ahli gizi dalam menentukan kebutuhan protein


pasien yang mengalami ketidakadekuatan asupan protein atau

34
kehilangan protein (mis., pasien anoreksia nervosa, penyakit glomerular
atau dialysis peritoneal)
2) Diskusikan dengan dokter kebutuhan stimulasi nafsu makan, makanan
lengkap, pemberian makanan melalui selang, atau nutrisi parental total
agar asupan kalori yang adekuat dapat dipertahankan
3) Rujuk ke dokter untuk menentukan penyebab gangguan nutrisi

4) Rujuk ke program gizi dikomunitas yang tepat, jika pasien tidak dapat
membeli atau menyiapkan makanan yang adekuat
Aktifitas lain

1) Buat perencanaan makanan dengan pasien yang masuk dalam jadwal


makan, lingkungan makan, kesukaan dan ketidaksukaan pasien serta
suhu makanan
2) Dukung anggota keluarga untuk membawa makanan kesukaan pasien
dari rumah
3) Anjurkan pasien untuk menampilkan tujuan makan dan latihan fisik di
lokasi yang terlihat jelas dan kaji ulang setiap hari
4) Bantu pasien menulis tujuan mingguan yang realistis untuk latihan fisik
dan asupan makanan
5) Tawarkan makanan porsi besar disiang hari ketika nafsu makan tinggi
6) Ciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk makan (mis.
Pindahkan barang-barang yang tidak sedap dipandang)

7) Hindari prosedur invasif sebelum makan

8) Suapi pasien jika perlu(Wilkinson, 2016, pp. 282-285)

b. Hipertermi

Tujuan : Pasien akan menunjukkan termoregulasi, yang dibuktika oleh


indicator gangguan sebagai berikut (gangguan ekstrim, berat, sedang,
ringan, atau tidak ada gangguan).
Kriteria hasil :

35
1) Menunjukkan metode yang tepat untuk mengukur suhu

2) Menjelaskan tindakan untuk mencegah atau meminimalkan peningkatan


suhu tubuh
3) Melaporkan tanda dan gejala dini hipertermia

Bayi akan :

1) Tidak mengalami gawat panas, gelisah, atau letargi 2)


Menggunakan sikap tubuh yang tidak dapat mengurangi panas
Intervensi :
Aktifitas keperawatan

1) Pantau aktifitas kejang

2) Pantau hidrasi (mis. Turgor kulit, kelembapan membrane mukosa)

3) Pantau tekanan darah, denyut nadi, dan frekuensi pernapasan

4) Kaji ketepatan jenis pakaian yang digunakan, sesuai dengan suhu


lingkungan
Penyuluhan untuk pasien/keluarga

1) Ajarkan pasien/keluarga dalam mengukur suhu untuk mencegah dan


mengenali secara dini hipertermia (mis., stroke bahang dan keletihan
akuibat panas)
2) Regulasi suhu (NIC) : Ajarkan indikasi keletihan akibat panas dan
tindakan kedaruratan yang diperlukan, jika perlu
Aktifitas kolaboratif

1) Regulasi suhu (NIC) :

Berikan obat antipiretik jika perlu. Gunakan matras dingin dan amndi
air hangat untuk mengatasi gangguan suhu tubuh, jika perlu
Aktifitas lain

1) Lepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan selimut


saja

36
2) Gunakan waslpa dingin (atau kantong es yang dibalut dengan kain) di
aksila, kening, tengkuk, dan lipat paha
3) Anjurkan asupan cairan oral, setidaknya 2 liter sehari, dengan tambahan
cairan selama aktifitas yang berlebihan atau aktifitas sedang dalam
cuaca panas
4) Gunakan kipas yang berputar diruangan pasien

5) Gunakan selimut pendingin (Wilkinson, 2016, pp. 216-217)

c. Intoleransi aktifitas

Tujuan : Menoleransi aktivitas yang biasa dilakukan, yang dibuktikan oleh


toleransi aktifitas, ketahana, penghematan energy, tingkat kelelahan,
energy psikomotorik, istirahat dan perawatan diri : AKS (dan AKSI)
Kriteria Hasil :
1) Mengidentifikasi aktifitas atau situasi yang menimbulkan kecemasan
yang dapat mengakibatkan intoleran aktivitas.
2) Berpartisipasi dalam aktifitas fisik yang dibutuhkan dengan peningkatan
denyut jantung, frekuensi pernapasan, dan tekanan darah serta
memantau pola dalam batas normal.
3) Pada (tanggal target) akan mencapai tingkat aktifitas (uraikan tingkat
yang diharapkan dari daftar pada saran penggunaan).
4) Mengungkapkan secara verbal pengalaman tentang kebutuhan oksigen,
obat dan peralatan yang dapat meningkatkan toleransi pada aktifitas.
5) Menampilkan aktifitas kehidupan sehari-hari (AKS) dengan beberapa
bantuan (mis. Eliminasi dengan bantuan ambulasi untuk ke kamar
mandi).
Intervensi :

Aktifitas keperawatan

1) Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur,


berdiri, ambulasi dan melakukan AKS dan AKSI
2) Kaji respon emosi, social, dan spiritual terhadap aktifitas

37
3) Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktivitas
Manajemen Energi (NIC) :
A. Tentukan penyebab keletihan (mis., perawatan, nyeri dan
pengobatan)
B. Pantau respon kardiorespiratori terhadap aktifitas (mis.,
takikardia, distribmia lain, dispenia, diaphoresis, pucat, tekanan
hemodinamik dan frekuensi pernapasan)
Penyuluhan untuk pasien

1) Penggunaan teknik napas terkontrol selama aktifitas jika perlu

2) Mengenali tanda dan gejala intoleran aktifitas, termasuk kondisi yang


perlu dilaporkan pada dokter
3) Pentingnya nutrisi yang baik

4) Penggunaan peralatan, seperti oksigen selama aktifitas

5) Penggunaan teknik relaksasi (mis., distraksi, visualisasi) selama aktifitas


6) Dampak intoleransi aktifitas terhadap tanggung jawab peran dalam
keluarga dan tempat kerja
7) Tindakan untuk menghemat energy sebagai contoh : menyimpan alat
atau benda yang sering digunakan di tempat yang mudah terjangkau
Aktifitas kolaboratif

1) Berikan pengobatan nyeri sebelum aktifitas apabila nyeri merupakan


salah satu factor penyebab
2) Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi, fisik (mis., untuk latihan
ketahanan), atau rekreasi untuk metencanakan dan memantau
program aktifitas jika perlu

3) Rujuk pasien ke pelayanan kesehatan rumah untuk mendapatkan


bantuan perawatan rumah jika perlu
4) Rujuk pasien ke ahli gizi untuk perencanaan diet, guna meningkatkan
asupan makanan yang kaya energy

38
Aktivitas lain

1) Hindari menjadwalkan aktifitas perawatan selama periode istirahat

2) Bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala, bersanndar, duduk,


berdiri, dan ambulasi sesuai toleransi
3) Pantau TTV sebelum, selama, sesudah aktifitas; hentikan jika TTV
tidak dalam rentang normal bagi pasien atau jika ada tanda-tanda bahwa
aktifitas tidak dapat ditoleransi (mis.,nyeri dada, pucat, vertigo,
dyspnea)
4) Rencanakan aktivitas bersaama pasien dan
keluarga yang meningkatkan kemandirian dan ketahanan
(Wilkinson, 2016, pp. 15-18).

C. Implementasi

Keperawatan Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan


yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status
kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan yang lebih baik, sehingga
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Potter & Perry, 2014).
Implementasi pada pasien anak Demam Tifoid dilakukan 1-3 hari.
Implementasi menuangkan rencana asuhan kedalam tindakan. Setelah
rencana dikembangkan, sesuai dengan kebutuhan dan prioritas klien, perawat
melakukan intervensi keperawatan spesifik, yang mencakup tindakan
perawat. Rencana keperawatan dilaksanakan sesuai intervensi. Tujuan dari
implementasi adalah membantu klien dalam mencapai peningkatan kesehatan
baik yang dilakukan secara mandiri maupun kolaborasi dan rujukan
(Bulechek & McCloskey: dikutip dari Potter, 2014).

D. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses


keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana
tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai berdasarkan tujuan yang

39
telah dibuat dalam perencanaan keperawatan (Potter & Perry, 2014). Evaluasi
yang digunakan berbentuk S (Subjektif), O (Objektif), A (Analisis), P
(Perencanaan terhadap analisis). Evaluasi adalah proses keperawatan yang
bertujuan untuk mengukur respon klien terhadap tindakan keperawatan dan
kemajuan klien kearah pencapaian tujuan.

40
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Pengkajian
1. Identitas Klien

Nama : An.A

Umur : 13 tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Pendidikan : SMP

Suku Bangsa : Sunda/Indonesia

No.medrec : 004858

Dx.medis : Typhoid

Tanggal Masuk : 18 Februari 2023

Tanggal Pengkajian : 18 Februari 2023

Alamat : Kp.Ciheurang tonggoh Rt 02/05 Kab.Sukabumi

2. Identitas Penanggung Jawab

Nama : Ny.I

Umur : 38 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Hubungan : Ibu Kandung

Alamat : Kp.Ciheurang tonggoh Rt 02/05 Kab.Sukabumi

41
3. Alasan Masuk Rumah Sakit
Ibu klien mengatakan klien mengalami demam tinggi diserta lemas
4. Keluhan Utama
Ibu klien mengatakan demam
5. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Ibu klien mengatakan demam naik turun, sudah 5 hari disertai lemas
diseluruh badan. Saat dikaji An.A tampak lemah, tampak menggigil dan
akral panas saat dikaji ,TTV di dapatkan TD 110/70 mmHg, Spo2 98%, S
39,30 C, N 82x/menit. RR 24 x/menit.
2) Riwayat kesehatan dahulu
a. Riwayat resproduksi kehamilan dan kelahiran
a) Pre Natal
An.A merupakan anak pertama dari 2 bersaudara, selama hamil ibu
klien selalu melakukan pemeriksaan rutin ke dokter obgyien, ibu klien
mengatakan saat hamil tidak mengalami kendala apapun.
b) Natal
Ibu klien mentakan usia kandungan ketika melahirkan An.A sudah
cukup bulan, ibu klien melahirkan dengan cara normal.
c) Post Natal
Ibu klien mengatakan setelah melahirkan tidak ada komplikasi apapun
b. Riwayat pemberian makan
Ibu klien mengatakan An.A saat lahir minum asi dan ditambah susu
formula, saat sudah beranjak besar An.A sering makan makanan yang
terdapat di kanti seperti bakso dll.
c. Penyakit,operasi, pemeriksaan atau tindakan medis/ edera sebelumnya
Ibu klien mengatkan klien belum pernah mengalami cedera yang
diharuskan dilakukan operasi atau tindakan medis lannya
d. Penyakit masa kanak-kanak
Ibu klien mengatakan klien pernah mengalami Kejang demam di usia 3
tahun sampai dengan usi 6 tahun

42
e. Riwayat alergi
Ibu klien mengatakan An.A tidak memiliki riwayat alergi pada
makanan maupun obat-obatan
f. Imunisai
Ibu klien mengatakan saat bayi sampai balita An.A diberikan imunasi
lengkap di dokter spesialis anak
g. Pengobatan
Ibu klien mengatakan An.A sebelum sakit tidak dalam masa pengobatan
apapun

6. Riwayat Psikososial Anak


Sebelum sakit An.A berrsekolah di SMP Islam yang diharuskan untuk
mondok/menginap. An.A juga anak yang ceria dan suka bermain dengan teman-
teman sebayanya.
7. Spritiual Anak Dan Keluarga
Keluarga ber agama islam dan selalu melakukan ibadah solat 5 waktu dan An.a
rajin mengaji di Pondok setiap magrib dan sebelum adzan subuh, setelah sakit
An.A hanya terbaring ditempat tidur.
8. Pola Pengetahuan Keluarga
Keluarga pasien tahu setiap tindakan yang diberikan kepada anaknya agar
anaknya sembuh dan bisa beraktivitas lagi seperti sebelumnya

43
9. Pola aktivitas sehari-hari

No ADL Saat Sehat Saat Sakit

1 Nutrisi
a. Makan
Lauk dan sayur Lauk dan sayur
 Jenis/kesukaan
3 kali sehari/ satu 3 kali sehari/satu
 Frekuensi/Jum
porsi ½ porsi
 lah
Tidak ada Tidak ada
 Pantangan
Tidak ada Kurang nafsu
 Keluhan
makan
b. Minum
 Jenis/kesukaan
Air putih Air putih
 Frekuensi/Jumlah
6-7 gelas 3-4 gelas
 Pantangan
Tidak ada Tidak ada
 Keluhan
Tidak ada Tidak ada

2 Istirahat dan Tidur


a. Malam
 Lama 8 jam/hari 7 jam/hari
 Kualitas Baik Baik
 Keluhan Tidak ada Tidak ada
b. Siang
 Lama 1 jam/hari 1jam/hari
 Kualitas Baik Baik
 Keluhan Tidak ada Tidak ada

44
3 Eliminasi
a. BAK 4-5x/hari 4-5x/hari
 Frekuensi kuning kuning
 Warna pesing pesing obat
 Bau tidakada tidak ada
 Kesulitan
b. BAB
 Frekuensi 1x/hari 1x/hari
 Warna Kuning pekat Kuning pekat
 Bau Khas Khas
 Kesulitan Tidak ada Tidak ada

4 Personal Hygine
a. Mandi
 Frekuensi 2x/hari 1x/hari diseka
 Penggunaan Sabun 2x/hari dikamar mandi
 Gosok Gigi 2x/hari
 Gangguan Tidak ada Tidak ada

b. Berpakaian
 Frekuensi 2x/hari

2x/hari

10. Pemeriksaan Fisik


1) Keadaan Umum
Sakit Sedang
2) Kesadaran : Compos mentis
3) Pemeriksaan Umum dan TTV
Antropometri
BB : 42 kg TB : 150 cm
IMT : 18,6 =Normal

45
Tanda-tanda Vital

TD :110/70 mmhg
N : 82x/menit
R : 28x/menit
S : 39,3°C
Spo2 : 98%

4) Ukuran pertumbuhan
Tinggi Badan : 150 cm
Berat Badan sehat : 44 kg
Berat Badan sakit : 42 kg
5) Pemeriksaan Head to Toe
a) Rambut
Saat di inspeksi warna rambut hitam, persebaran rambut merata, rambut
tebal, tidak terdapat rambut rontok
b) Kepala
Tidak teraba benjolan, bentuk wajah simetris
c) Kulit kepala

Tidak ada lesi pada kulit kepala, tidak ada luka di kulit kepala.
d) Mata
Bulu mata tampak lentik, konjungtiva tampak anemis, sklera ikterik, pupil
simetris, respon pupil terhadap cahaya nomal, tidak ada pembengkakan pada
mata
e) Hidung
tidak ada polip, tidak terdapat secret yang keluar dari hidung
f) Mulut
Mulut tampak simetris mukosa bibir agak kering, mulut bersih, kemampuan
bicara baik An.A dapat menelam dan menggigit dengan baik

46
g) Telinga
Telinga tampak simetris antara kiri dan kanan, tidak terdapat lesi
maupun luka, tidak ada cairan yang keluar dari telinga dan dapat
merepon saat dipanggil sesuai dengan arah.
h) Leher
Tampak bentuk leher simetris tidak ada pembengkakan kelenjar tiroid,
tidak ada lesi, tidak ada pembesaran KGB
i) Thorax
Saat diinfeksi dada tampak simetris, pengembangan paru kiri da kanan
simetris, saat diauskultasi tidak ada suara napas tambahan, bunyi irama
jantung normal lupdup.
j) Abdomen
Bentuk abdomen flat, umbilukus tampak bersih, tidak ada lesi maupun
bekas operai.Bising usus normal 6x/menit (bising usus normal
5-35x/menit), Tidak ada nyeri tekan di empat kuadran, tidak ada
pembengkakan.
k) Genitalia
Tidak ada kelainan bentuk normal dan lengkap tidak terpasang kateter.
l) Exterimitas
a. Atas
Tangan kiri klien terpasang infus RL 20 tetes/jam, tidak ada edema,
tidak ada memar, turgor kulit (+), tidak ada lesi, tidak ada
pembengkakan, akral teraba panas
b. Bawah
Tidak ada edema, tidak ada luka, tidak ada lesi, akral teraba panas,
tonua otot

5 5
5 5

47
11. Pemeriksaan Penunjang

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal : 18-02-2023

No Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

1 Hemoglobin 10,4 13,0-17,5

2 Hematokrit 31,8 31-55

3 Leukosit 4400 4000-9000

4 Trombosit 150.000 150.000-250.000

5 Tubex TF 10 0-2 : negatif


.>2atau >4:
inkonklusif
4-10: positif

Terapi Pengobatan

Jenis Rute Dosis Kegunaan


Terapi
RL IV 20 cc/jam Mempertahankan hidrasi
pada klien rawat inap dan
menambahkan elektrolit
tubuh untuk
mengembalikan
keseimbangan tubuh
Terpacef IVl 2X1 gr Antibiotik untuk
pengobatan infeksi saluran
pernapasan bawah, infeksi
saluran kemih, infeksi kulit,
infeksi tulang, infeksi intra-
abdominal, gonore,

48
meningitis, pencegahan
infeksi sebelum operasi
Jenis Rute Dosis Kegunaan
Terapi
Elkana Po 1 x 5 mg Jsuplemen makan yag
berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan vitamin dan
kalsium terutama pada anak
dalam masa pertumbuhan
Paracetamol IV 3x 400 mg Meredakan rasa nyeri dan
menurunkan demam

a) Balance Cairan
BB : 42 kg
TB : 150
AM : 8cc/kgBB/hari = 8x42/24 jam = 336/24 jam
IWL : (30-usia) x kgBB/24 jam = (30-13) x 42/24 jam
= 17x 42/24 jam = 714cc/24 jam
IWL Kenaikan Suhu : IWL Normal + 200x (suhu sekarang –

36.8oC)

= 744 + 200 (39.3 – 36.8)

= 744 + 200 (2.5)

= 744 + 500

= 1.244/24 jam

 Input

- Minum : 600 cc

- Infus : 20cc/jam x 24 = 480 cc

- Terapi Obat : 55

49
- AM : 336
Total : 1.951

 Output

- Urine : 600

- IWL : 1.244

Total : 1.844

Balance Cairan = Intake – Output


= 1.951 – 1.844
= 107/24 jam

12. Analisa Data

No DATA ETIOLOGI MASALAH

1. Hipertermi Salmonella typhi Hipertermi


berhubungan dengan
proses penyakit Masuk melalui makanan,
DS : minuman, jari/kuku tangan,
- Ibu klien muntahan lalat,feses.
mengatakan demam
naik turun sudah 5
hari disertai lemas Menuju ke saluran
pencernaan

DO :

- Saat dilakukan Lolos dari asam lambung

pengkajian akral
panas saat
Masuk Usus halus
dikaji ,TTV di
dapatkan TD 110/70

50
mmHg, Spo2 98%, Perdaran darah masuk ke
S 39,30 C, N 82x/m, retikuo endthelia terutama
RR 24 x/menit. hati dan limfa di organ
-

Masuk ke aliran darah

Mengkibatkan komplikasi
seperti neuropsikriatrik,
pernapasan dll

Merngsang melepas sel


parogen

Mempengaruhi pusat
thermogulerator di
hipotalamus

Hipertermia

2. DS : Bakteri salmonella typhy Intoleransi


Klien mengatakan dan salmonella Aktivitas
pusing saat bangun paratyphy masuk ke saluran
tidur dan lemas cerna


DO :
Berkembangbiak di usus
Klien tampak Lemas

dan pucat
Imunitas humoral (Ig A)

51
kurang baik

Menembus sel epitel



Berkembang biak di lamina
propia


Ditelan makropag sel
fagosif


Menembus dan masuk
aliran darah

Bakterinemia II
Symptomatik

Nyeri Otot

Kelemahan fisik

Intoleransi Aktivitas

DS : Bakteri salmonella typhy Resiko


Klien mengatakan dan salmonella Ketidaksemim
kurang napsu makan paratyphy masuk ke saluran bangan nutrisi
Porsi makan ½ habis, cerna kurang dari
kebutuhan

DO: BB sakit : 44 kg Sebagian dimusnahkan di
BB sehat : 42kg

52
Penurunan BB 2kg asam lambung
Konjungtiva merah

muda. Nafsu makan
Peningkatan asam lambung
menurun. IMT = 18,3
(Berat Badan Normal) ↓

Mual, muntah

Anoreksia

Resiko
Ketidaksemimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Hipertermi b.d Proses inflamasi ditandai dengan ibu klien mengatakan demam
naik uturn sudah 5 hari disertasi lemas
2. Intolerasi aktivitas b.d Kelemahan Fisik ditandai dengan klien mengatakan
lemas dan pusing saat bangun dari tidur
3. Resiko ketidak seimbangan Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d anoreksi
ditandai dengan kurang napsu makan , makan hanya habis setngeah porsi,
serta BB saat sehat 44 dan saat sakit 42 kg

53
3.3 Intervensi Keperawatan

INTERVENSI
NO DIAGNOSA RENCANA
TUJUAN RASIONAL
KEPERAWAT TINDAKAN
AN
1 Hipertermi b.d proses Tujuan Observasi
penyakit Setelah dilakukan intervensi - Pantau suhu dan tanda-tanda - Untuk memantau peningkatan
keperawatan selama 3x24 jam vital lainya, suhu tubuh
maka ekspetasi membaik - Identifikasi penyebab - Untuk menghindari komplikasi
dengan kriteria hasil : hipertermi akibat hipertermi
- pernapasan pasien normal, - Monitor tanda dan gejala - Menentukan intervensi yang akan
tidak terjadi perubahan dilakukan
warna kulit, mencegah Teurapetik - Kompres hangat mambu
terjadinya kejang dan Sakit - berikan kompres air hangat membantu melancarkan aliran
kepala - monitor suhu setiap 3 jam darah
- suhu tubuh normal sesuai kebutuhan, - Memantau peningkatan suhu tubuh
- monitor dan laporkan adanya - Memantau kompliasi yang akan
tanda gejala hipertermia, terjadi yang disebabkan oleh
- tingkatkan intake cairan dan penginkatan suhuh tubuh
nutrisi adekuat - Untuk menghindari dehidrasi

54
Edukasi akibat laju metabolisme tubuh
- Anjurkan makan dan minum akibat hipertermi
hangat - Meningkatkan cairan dapat
- Berikan penjelasan mengenai membantu mengurangi dehidrasi
penyebab demam - Dalam menunjang upaya
kolaborasi perawatan
- berikan pengobatan
antipiretik paracetamol 500
mg
- Pemberian cairan RL
melalui IV 12 makro
2 Intoleransi aktivitas b.d Setelah dilakukan perawatan selama Observasi 1. Sebagai data dasar dalam
kelemahan fisik 3 x 24 jam diharapkan toleransi Obervasi Tanda – Tanda Vital melakukan intervensi
aktivitas teratasi dengan kriteria : - Observasi tingkat kemampuan keperawatan Untuk mengetahui
1. Tekanan darah Normal (sistolik pasien untuk berpindanh dari tempat kemampuan pasien dalam
100-120 mmhg, diastolic 70-90). tidur dan ambulasi. beraktivitas.
2. Klien dapat 2. Untuk membantu pasien dalam
Terapeutik
Beraktivitas melancarkan peredaran darah,
- Bantu pasien untuk mengubah posisi dan membantu pasien dalam
secara berkala, bersandar, duduk beraktivitas

55
berdiri dan ambulasi sesuai toleransi 3. Membantu pasien dalam
- Bantu pasien dalam tindakan untuk beraktivitas selama perawatan di
menghemat energy rumah sakit.
(contoh :menyimpan barang yang
sering digunakan di tempat yang
mudah dijangkau

3 Resiko Setelah dilakukan perawatan Observasi 1. Mual dan muntah sebagai tolak
Ketidakseimbangan selama 3x24 jam diharapkan - Observasi mual dan muntah ukur dalam intervensi keperawatan
nutrisi kurang dari nutrisi Edukasi Makanan hangat tidak
kebutuhan b.d - Anjurkan makan selagi hangat menyebabkan mual
anoreksia Kolaborasi 2. Ahli gizi memberikan diet sesuai
- Kolaborasi dengan ahli gizi dalam 3. dengan kebutuhan nutrisi klien
pemberian diet demam tifoid
- Lanjutkan dalam pemberian obat 4. Obat elkana berfungsi dalam nafsu
(elkana 1x5ml) makan anak

56
3.4 Implementasi Keperawatan

Nama : An.A Ruang : 225B


No. RM : 004858 Tanggal : 18-02-2023
No Tanggal/Waktu Implementasi dan Evaluasi TTD

1 18-02-2023 S: Risma
Dinas Siang Ibu klien mengatakan Demam masih naik turun disertai tidak
17.00 nafsu makan

O:
17.05
Kes Compos Mentis, IVFD RL 6 jam/Kolf, Suhu 37,6oC
A:

17.10 Hipertermi b.proses inflamasi


Resiko gangguan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d tidak nafsu
makan

P:

17.15 Observasi TTV dan KU


Anjurkan Kompres Hangat bila demam

57
Lanjutkan pemberian therapy

I:

1. Memberikan therapy antipiretik paracetamol 400 mg melalui iv


R/ tidak ada alergi dan kemerahan pada kulit.

18.00 2. Memberikan therapy obat Elkana 1x5ml dan antibiotic terfacep 1 gr.
R/ tidak ada alergi, kemerahan, dan gatal pada kulit pasien

3. Mengobservasi TTV
R/ TD = 110/70, N = 82, RR 24, S = 38o C
4. Mengajarkan kompres hangat dikeing dileher dan dikedua ketiak jika demam
R/ klien mengerti cara mengompres dengan benar. Suhu tubuh klien hangat.
5. Menganjurkan klien untuk menggunakan baju tipis
R/ Klien menggunakan baju tipis dan mengganti baju ketika banyak berkeringat.
6. Berkolaborasi dengan ahli gizi mengenai kebutuhan diet untuk pasien R/ ahli
gizi memberi diet sesuai dengan kebutuhan pasien
7. Menjelaskan pentingnya mengkonsumsi air minum 1,8 liter/hari
R/ Klien mengerti pentingnya mengkonsumsi air minum ketika demam.

E:

Klien tampak lemas

58
Suhu tubuh normal direntang 37,5

R:

1. Observasi TTV dan KU

2. Anjurkan makan selagi hangat


3. Lanjutkan pemberian therapy Elkana Via oral , Terfacef dan Paracetamol via IV

Catatan Perkembangan
No Tanggal/Waktu Implementasi dan Evaluasi TTD

1 19-02-2023 S: Risma
20.00 Ibu klien mengatakan Demam masih naik turun disertai lemas

O:

20.05 Ku Sedang, Kes Compos Mentis, IVFD RL 20 ttes/jam ,

N: R: 22 Suhu 37,7oC , klien tampak menggigil

A:
Hipertermi b.proses inflamasi
Intoleransi Aktivitas b.d kelemahan fisik

59
20.10 P:

Observasi TTV dan KU


Anjurkan Kompres Hangat bila demam
20.15
Lanjutkan pemberian therapy

I:
1. Menganjurkan kompres hangat dikedua ketiak jika terjadi demam
R/ klien mengerti cara mengompres dengan benar. Suhu tubuh klien hangat
2. Menganjurkan klien untuk menggunakan baju tipis R/ Klien mengerti
20.30 3. Menganjurkan klien untuk bergerak bersandara dan melakukan kegiatan ringan
seperti mengambil barang pribadi klien
21.00 R/klien mengerti
21.05 4. Memberikan therapy obat Paracetamol 400 mg via IVR/ tidak ada alergi
kemerahan
21.06 5. Mengambil sampel darah untuk pengecekan h2tl sebanyak 1cc
R/klien tanpak tenang
21.30 6. Mengobservasi TTV dan KuR/ Ku Sedang Ke.Composmentis TD = 110/70, N
= 82, RR 24, S = 37o C
7. Memberikan therapy obat terfacep 1 gr
05.30 R/ obat terfacep 1 gr IV klien tidak terdapat alergi

60
8. Memberikan therapy obat Elkana 5 ml
06.00 R/ obat Elkana 5 ml terlayani

E:

Demam menurun, Pusing (+) Lemas (+)


R:

07.00 1. Observasi TTV dan KU


2. Observasi Mual muntah
3. Kompres hangat bila demam
4. Anjurkan makan selagi hangat
5. Lanjutkan pemberian therapy Elkana Via oral , Terfacef dan Paracetamol via
IV

No Tanggal/Waktu Catatan Perkem TTD

4 20-02-2023 S: Risma
Ibu klien mengatakan Demam masih naik turun disertai
20.00 lemas

O:

61
20.05 Ku Sedang, Kes Compos Mentis, IVFD RL 20 ttes/jam ,

N: R: 22 Suhu 37,8oC , klien tampak menggigil

A:
Hipertermi b.proses inflamasi

20.10 Intoleransi Aktivitas b.d kelemahan fisik


P:

Observasi TTV dan KU


20.15 Anjurkan Kompres Hangat bila demam
Lanjutkan pemberian therapy

I:
1. Menganjurkan kompres hangat dikedua ketiak jika terjadi demam
R/ klien mengerti cara mengompres dengan benar. Suhu tubuh klien hangat

20.30 2. Menganjurkan klien untuk menggunakan baju tipis R/ Klien mengerti


3. Menganjurkan klien untuk bergerak bersandara dan melakukan kegiatan

21.00 ringan seperti mengambil barang pribadi klien

21.05 R/klien mengerti


4. Memberikan therapy obat Paracetamol 400 mg via IVR/ tidak ada alergi

21.06 kemerahan
5. Mengobservasi TTV dan KuR/ Ku Sedang Ke.Composmentis TD = 110/70,

62
N = 82, RR 24, S = 37o C
21.30 6. Memberikan therapy obat terfacep 1 gr

R/ obat terfacep 1 gr IV klien tidak terdapat alergi


7. Memberikan therapy obat Elkana 5 ml
05.30
R/ obat Elkana 5 ml terlayani

E:

Demam menurun, lemas menurun


06.00 R:
1. Observasi TTV dan KU
2. Kompres hangat bila demam
3. Lanjutkan therapy

07.00

63
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pengkajian
Pada saat pengkajian telah dilakukan identifikasi pasien dengan nama
An.A berusia 13 tahun, lahir di sukabumi 09 Juli 2009 , dengan pendidikan
terakhir SMP, berjenis kelamin laki-laki, suku sunda, beralamatkan di
Kp.Ciheurang tonggoh Rt 02/05 Kab.Sukabumi

Dibawa ke IGD Rumah Sakit Kartika Cibadak dengan keluhan demam naik
turun sudah 5 hari disertai lemas
Hal ini sesuai dengan teori menurut Nurarif dan Kususma (2015) bahwa
pengkajian mengenai identititas pasien dapat dilakukan dengan menanyakan
jenis kelamin, kelompok umur, faktor yang mendukung terjadinya typus
abdominals adalah iklim tropis, social ekonomi yang rendah, sanitasi lingkungan
yang kurang.
Klien mengeluh demam sejak 5 hari yang lalu dengan suhu 39,3oC.
Demam naik ketika malam hari dan demam dirasakan turun ketika di pagi hari.
Hal ini sesuai dengan teori Muttaqin dan Sari 2011) bahwa tanda dan gejala dari
demam tipoid ini adalah demam berkisar 39oC pada malam hari dan biasanya
turun pada pagi hari.
Ketika klien masuk ke IGD pasien dalam keadaan sadar (kompos mentis)
dengan GCS 15. Hal ini tidak sama dengan teori yang mengatakan bahwa pasien
demam tifoid tampak terlihat sakit berat dan sering didapatkan terjadinya
penurunan kesadaran bahkan bisa hingga apatis dan delirium. (Muttaqin dan
Sari , 2011)
Selain dari demam An.A mengeluh pusing dan lemas. Menurut Wijaya
(2013) pasien yang terinfeksi bakteri salmonella thypi akibat dari makan
makanan yang tidak higienis. Pasien akan mengatakan badannya terasa panas,
mual, nyeri di abdomen, pasien akan tampak lemas dan pucat serta panas terasa
di seluruh tubuh.

64
Ketika pasien dilakukan pengkajian pada Sistem Pencernaan didapatkan
data sebagai berikut : mulut tampak bersih, mukosa bibir kering, abdomen tidak
takembung, terdapat nyeri ulu hati, peristaltic usus 5x/menit, BAB 1 x/hari,
tampak lkonsistensi lunak, diet lunak, nafsu makan menurun, porsi makan ½
eporsi. Menurut Teori Muttaqin dan Sari (2011) pada pasien dengan demam
tipoid pemeriksaan pada sistem pencernaan pasien akan mengalami lidah kotor
as berselaput putih dan tepi hiperemis disertai stomatitis hal ini nampak pada
danminggu kekdua berhubungan dengan infeksi sistemik dan endotoksin kuman.
padahaal ini tidak sama dengan yang alami. Selain pada lidah kotor pasien
dengan demam tifoid akan sering muntah, perut kembung, distensi abdomen dan
nyeri hal ini merupakan tanda yang diwaspadai terjadinya perforasi dan
peritonitis, selain itu terjadinya penurunan bising usus pada minggu pertama dan
terjadinya konstipasi serta selanjutnya meningkat akibat terjadinya diare. Hal ini
tidak sesuai dengan teori peristaltic usus An.A 5x/menit, BAB 1x/hari dan tidak
terjadi diare.

4.2 Diagnosa
Menurut SDKI (2017) diagnose keperawatan yang akan muncul pada
pasien dengan demam tifoid adalah Defisit Nutrisi, hipertermi, dan intoleransi
aktivitas. Defisit nutrisi adalah dimana asupan nutrisi tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolism tubuh.hal in disebabkan oleh
ketidakmampuan dalam menelan makanan, mencerna makanan, mengabsorbsi
makanan, peningkatan kebutuhan metabolism, faktor ekonomis dan faktor
psikologis. Hipertermi adalah suhu tubuh meningkat diatas rentang tubuh
normal, penyebab dari hipertermi tersebut adalah dehidrasi, terpaparnya
lingkungan panas, proses penyakit (infeksi dan kanker), ketidaksesuaian pakaian
dengan suhu lingkungan, peningkatan laju metabolism, respon trauma, aktivitas
berlebihan dan penggunaan incubator.

Dan intoleransi aktivitas adalah ketidakcukupan energy untuk melakukan


aktivitas sehari – hari yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai

65
dan kebutuhan oksigen, tirah baring, kelemahan, imobilitas dan gaya hidup
monoton.
Diagnosa keperawatan ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala yang
dirasakan oleh An.A Diagnosa keperawatan pertama yang muncul pada masalah
An. A yaitu Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit infeksi dibuktikan
dengan data subjektif pasien mengeluh demam, tidak enak badan, data objektif
suhu tubuh diatas nilai normal, kulit pucat,dan akral hangat serta untuk diagnose
kedua resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d anoreksia dan
intoleransi aktifitas b.d kelemahan fisik. Hal ini sudah sesuai dengan teori yang
telah dijabarkan diatas.

4.3 Intervensi Keperawatan


Perencanaan keperawatan adalah rencana keperawatan yang akan
perawat lakukan kepada pasien sesuai dengan diagnosa yang ditegakkan
sehingga kebutuhan pasien dapat terpenuhi. Secara teori rencana keperawatan
dituliskan sesuai dengan rencana dan kriteria hasil berdasarkan Standar
Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) dan Standar Luaran Keperawatan
Indonesia (SLKI).

Intervensi yang disusun berdasarkan diagnosa Hipertermia berhubungan


dengan proses penyakit dan resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan b.d anoreksia dan intoleransi aktifitas b.d kelemahan fisik .
Perencanaan yang dibuat ini diberikan kepada An.A yang bertujuan untuk
melihat respon hasil dari asuhan keperawatan dan terapi kompres hangat.
Intervensi yang dilakukan perawat pada An.A yaitu identifikasi penyebab
hipertermia, monitor suhu tubuh, monitor komplikasi akibat hipertermia,
menyediakan lingkungan yang dingin, melonggarkan pakaian pasien, melakukan
pendinginan eksternal, menganjurkan tirah baring, mengajarkan keluarga
bagaimana melakukan tindakan kompres hangat yang benar dan yang terakhir
yaitu memberikan obat berupa cairan intravena ke pasien.

Aktifitas Keperawatan menurut Wilkinson (2016) yaitu dengan perencanaan


Tentukan motivasi pasien untuk mengubah kebiasaan makan, Tentukan

66
kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi, Pantau nilai
laboratorium, khususnya transferin, albumin, dan elektrolit. Pada Tindakan
Penyuluhan untuk pasien yaitu Ajarkan metode untuk perencanaan makan,
Ajarkan pasien/keluarga tentang makanan bergizi dan tidak mahal dan berikan
informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana memenuhinya.
Aktifitas kolaboratif yang bisa digunakan yaitu Diskusikan dengan ahli gizi
dalam menentukan kebutuhan protein pasien yang mengalami ketidakadekuatan
asupan protein atau kehilangan protein (mis., pasien anoreksia nervosa, penyakit
glomerular atau dialysis peritoneal), Diskusikan dengan dokter kebutuhan
stimulasi nafsu makan, makanan lengkap, pemberian makanan melalui selang,
atau nutrisi parental total agar asupan kalori yang adekuat dapat dipertahankan,
Rujuk ke dokter untuk menentukan penyebab gangguan nutrisi, Rujuk ke
program gizi dikomunitas yang tepat.

4.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi keperawatan merupakan komponen dari proses
keperawatan adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang
diperlukan untuk mencapai tindakan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan
keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Potter & Perry, 2015). Penulis
melakukan asuhan keperawatan selama 3 hari yaitu pada pasien An.A mulai
tanggal 18 Februari 2023 sampai dengan tanggal 20 Februari 2023 Implementasi
yang dilakukan adalah manajemen hipertermia, memberikan teknik non
farmakologi yaitu teknik kompres hangat. Tindakan teknik kompres hangat
melakuakn edukasi mengenai PHBS. dilakukan setiap hari selama 3 hari
perawatan. Implementasi pada An.A dapat dilakukan penulis sesuai rencana
tindakan keperawatan. Pada saat melakukan tindakan keperawatan, penulis tidak
mengalami kesulitan karena pasien kooperatif .

4.5 Evaluasi Keperawatan


Masalah pada An.A pada diagnosa keperawatan hipertermi b.d proses inflamasi
teratasi ditandai dengan suhu tubuh An.A terakhir 37oC dalam batas normal

67
(36,5 oC – 37,5 oC). masalah pada diagnose resiko kekurangan nutrisi kurang dari
kebutuhan b.d anoreksia teratasi ditandai dengan klien mengatakan mual
berkurang, makan 1 Porsi habis dan tidak muntah, masalah intoleransi aktifitas
b.d kelemahan fisik yang terjadi pada An.A teratasi ditandai dengan lemas
berkurang

68
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Thypoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut
yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas
berkepanjangan, ditopang dengan bacteremia tanpa keterlibatan struktur
edhothelia atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi
kedalam sel fagosit monocular dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan
peyer’s patch dan dapat menular pada orang lain melalui makanan atau
air yang terkontaminasi (Nurarif & Kusuma, 2015).
Asuhan keperawatan pada pasien dengan demam tifoid dimulai
dengan pengkajian, menentukan diagnose keperawatan,
perencaan/intervensi, implementasi dan evaluasi. Pengkajian pada An.A
dengan demam sejak 5 hari yang lalu, pusing dan lemas, serta tidak nafsu
makan . diagnosa medis thypoid disease, diagnose keperawatan
hipertermi b.d proses inflamasi dan resiko ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan b.d anoreksia. Perencanaan sesuai dengan tabel
perencanaan pada Bab 3, Implementasi dan evaluasi masalah teratasi.

5.2 Saran
1. Bagi Pasien dan Keluarga
Saran untuk pasien dan keluarga yaitu kedepan nya untuk
menerapkan pola hidup sehat, memperhatikan lagi makanan yang
dimakan, menghindari hal hal yang dapat membuat tubuh menjadi
sakit, seperti tidak memperhatikan kebersihan diri, jajan
sembarangan, jika ada anggota keluarga yang mengalami demam
silahkan untuk menggunakan teknik nonfarmakologis yang sudah
diajarkan oleh penulis yaitu tindakan terapi kompres hangat.

69
2. Bagi Perawat
Tindakan Teknik kompres hangat ini dapat digunakan oleh perawat
untuk menurunkan demam dan menurunkan nyeri pada pasien
demam Tifoid karena terbukti bisa menurunkan demam dan nyeri
pada pasien Demam Tifoid sehingga dapat meningkatkan mutu
layanan rumah sakit yang lebih baik, khususnya pada pasien Demam
Tifoid masalah pemenuhan kebutuhan rasa aman dan nyaman.
3. Bagi rumah sakit Kartika Cibadak
Rumah sakit diharapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan dan
fasilitas kesehatan secara optimal bagi para tenaga medis seperti alat
yang digunakan. sehingga diharapkan proses perawatan dapat
berjalan dengan baik dan sesuai dengan standar operasional prosedur
yang sudah ada

70
DAFTAR PUSTAKA

Judith M.Wilkinson.2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC


Jurnal,Bidan.2012. Hipotermi pada Bayi
Lestari Titik. (2016). Asuhan Keperawatan Anak. Yogjakarta: Nuha Medika.
Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction
Nursalam. 2008. Proses dan Dokumentasi Keperawatan, Edisi 2. Jakarta: Salemba
Medika.
Nurarif, A, H & Hardhi, K. (2015) Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Yogyakarta : Medicaction
Kirnamoro & Maryana (2014) Anatoni Fisiologi. Yogyakarta : Pustaka Baru Press
Price Sylvia A, Wilson Lorraine M, 2015. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Jakarta: EGC; Purba, dkk. (2016). Program Pengendalian Demam Tipoid di
Indonesia: tantangan dan Peluang. Media Litbangkes, Vol. 26 No. 2.
Potter, Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: konsep, Proses, dan Praktik,
Edisi 4, Jakarta: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta.
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Indonesia.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Definisi
dan indikator. Jakarta: PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Definisi
dan kriteria hasil. Jakarta: PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Definisi
dan tindakan keperawatan. Jakarta : PPNI
WHO, 2014. Maternal Mortality: World Health Organization. World Health
Organization (WHO), 2014. Angka Kematian Bayi. Amerika
Widodo, D. (2014). Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi 6 : Demam Tifoid. Jakarta: Interna
Publishing

71
Dokumentasi

72
73
Ujian Klinik

74

Anda mungkin juga menyukai