Anda di halaman 1dari 12

SECONDARY TRAUMATIC STRESS DISORDER PADA POLISI YANG MENANGANI

KASUS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI UNIT PPA POLRES MALANG

Arif Budi Darmawan

Jurusan Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik.

19410136@student.uin-malang.ac.id

Abstrak : Penyidikan suatu kasus yang melibatkan individu yang mengalami trauma seperti kekerasan seksual
terhadap anak berpotensi mengalami Secondary Traumatic Stress Disorder (STSD). Secondary Traumatic
Stress Disorder (STSD) merupakan gangguan stres yang dapat timbul akibat interaksi terhadap seseorang yang
mengalami peristiwa traumatis. Secondary Traumatic Stress Disorder (STSD) ini bisa timbul dikarenakan
adanya salah satu pemicu yaitu adanya emotional contagion dimana seringkali empati dilibatkan untuk
penanganan kasus yang melibatkan perempuan dan anak. Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji mengenai
apa saja bentuk dari emotional contagion, faktor apa saja yang bisa menimbulkan Secondary Traumatic Stress
Disorder (STSD), dan cara mengatasi atau mencegah timbulnya Secondary Traumatic Stress Disorder (STSD).
Penelitian ini dilakukan pada empat orang poliisi yang merupakan penyidik kasus kekerasan seksual terhadap
anak di Unit PPA Polres Malang. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan hasil data deskriptif.
Penelitian ini menggunakan tipe pendekatan fenomenologis. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara
semi terstruktur dan diolah menggunakan teknik analisis tematik. Analisis data menggunakan coding hasil
wawancara. Uji keabsahan data menggunakan uji kredibilitas yakni teknik triangulasi sumber data dan member
checking. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa bentuk-bentuk emotional contagion yang ada pada
penyidik seperti rasa iba, kasihan, sedih, menangis, dan marah. Selain itu ada beberapa gejala ditunjukkan oleh
pada setiap subjek yang mengarah ke gejala Secondary Traumatic Stress Disorder (STSD) yakni gejala
intrusive, arousal dan avoidance. Ditemukan juga adanya keunikan pada setiap subjek dalam cara mengatasi
timbulnya Secondary Traumatic Stress Disorder (STSD).
Kata kunci : Secondary Traumatic Stress Disorder (STSD), Kekerasan seksual anak, Penyidik

PENDAHULUAN memiliki risiko menyebabkan Secondary


Personil polisi yang sering menangani Traumatic Stress Disorder (STSD) (Bozga et
kasus kekerasan seksual pada anak al., 2020; Hurrell et al., 2018; MacEachern et
membutuhkan keterlibatan empati dan simpati al., 2011; Powell & Tomyn, 2011).
pada saat menginvestigasi korban sekaligus Secondary Traumatic Stress Disorder
harus bisa mengendalikan diri secara (STSD) merupakan serangkaian gejala PTSD
emosional agar tidak ada keterlibatan akibat paparan tidak langsung akan peristiwa
emosional yang berlebihan terhadap korban traumatis yang terjadi melalui hubungan
(Parkes et al., 2019). Kemampuan untuk personal maupun profesional dengan orang
mengontrol atau membatasi diri dalam hal yang mengalami trauma yang menceritakan
emosional juga dibarengi dengan adanya pengalaman traumatisnya Bride dan Kintzle
tuntutan dari instansi terkait untuk menjunjung (2011). Salah satu alasan dasar pemicu STSD
tinggi ke efektifan dan efisiensi waktu dalam pada anggota polisi yang menginvestigasi
hal penanganan kasus (Perdana, 2021). kasus tersebut ialah adanya emotional
Investigasi kasus yang melibatkan anak seperti contagion. Emotional contagion dipandang
kasus penelantaran dan pelecehan seksual juga sebagai komponen tertentu dari empati di mana

1
orang tidak hanya memiliki kemampuan untuk dan burnout ketika ada beberapa gejala yang
berbagi perasaan kepada orang lain, tetapi juga tumpang tindih.
memiliki kemampuan untuk merasakan Namun, ada perbedaan sehubungan
perasaan orang lain (Englert, 2014). Adapun dengan sebab dan akibat masing-masing
kaitannya emotional contagion dengan STSD istilah. Vicarious Truma ini mengacu pada
sendiri Figley (1993) menyatakan secara perubahan permanen dalam seseorang melihat
sederhananya mereka yang berempati dan dan memahami dunia sebagai efek kumulatif
bertemu langsung dengan korban trauma dapat bekerja dengan korban trauma dari waktu ke
mengalami Secondary Traumatic Stress waktu. Lalu selanjutnya ada Compassion
Disorder. Fatigue atau kelelahan emosional dan fisik
Menurut Hatfield et al (2019) serta hilangnya empati atau kasih sayang
Emotional Contagion adalah suatu terhadap orang lain, akibat dari tuntuntan
kecenderungan untuk secara otomatis pekerjaan untuk berempati dan membantu
menirukan (mimicry) dan menyesuaikan korban trauma yang berkelanjutan. Terakhir
(synchrony) ekspresi wajah, vokal atau suara, ada burnout yang mana digambarkan sebagai
postur tubuh, dan gerakan orang lain, dan respon terhadap tekanan hubungan
konsekuensinya, ikut terpengaruh secara interpersonal yang berkepanjangan dengan
emosional. Jika seseorang terkena Secondary korban trauma dan ini ditandai oleh tiga
Traumatic Stress Disorder (STSD) maka bisa komponen yaitu lelah, mudah tersinggung,
berdampak bagi perilaku dan juga kesehatan serta kinerja yang menurun.
psikologisnya, adapun jangka pendek dari Berdasarkan pemaparan diatas, maka
seseorang yang terkena STSD yaitu topik ini harus diangkat dan dibahas untuk
diantaranya adalah gangguan tidur, mudah mengetahui sejauh mana paparan Secondary
marah, lebih sensitif, mudah merasa cemas dan Traumatic Stress Disorder di kalangan
sebagainya. penyidik khususnya personel unit PPA Polres
Tidak hanya itu, jika seseorang yang Malang. Hal tersebut lah yang mendasari
terkena STSD ini tidak segera berkonsultasi peneliti untuk mengkaji lebih dalam terkait
kepada tenaga ahli seperti Konselor ataupun bagaimana bentuk emotional contagion pada
Psikolog untuk mencegah ataupun penyidik, apa saja faktor yang mempengaruhi
mengatasinya, maka akan terkena efek jangka timbulnya Secondary Traumatic Stress pada
panjang dari STSD itu sendiri yang mana bila penyidik, dan bagaimana cara mengatasi
seseorang terpapar Secondary Traumatic Secondary Traumatic Stress pada penyidik.
Stress Disorder (STSD) umumnya Masih minimnya penelitian tentang Secondary
menunjukkan simtom-simtom yang sama Traumatic Stress Disorder (STSD) di instansi
dengan Post Traumatic Stress Disorder kepolisian, khususnya pada personel penyidik
(PTSD) antara lain, ketakutan yang intense, yang berada di unit PPA Polres Malang.
depresi, ketidak mampuan untuk percaya pada
TINJAUAN PUSTAKA
orang lain dan bahkan bisa menyebabkan
Menurut Doctor & Shiromoto (2010)
bunuh diri (psike.id, 2022). Secondary Traumatic Stress Disorder (STSD)
Adapun bentuk-bentuk gejala umum adalah kondisi kesehatan mental yang
dari Secondary Traumatic Stress Disorder mempengaruhi profesional atau populasi umum
(STSD) ini hampir sama dengan Post yang membantu maupun mendukung orang-
Traumatic Stress Disorder (PTSD). STSD orang yang terpapar peristiwa traumatik. STSD
sendiri kadang-kadang juga disebut sebagai sendiri merupakan konsekuensi alami dari
vicarious trauma, compassion fatigue, kepedulian antara orang yang mengalami

2
kejadian mengerikan ataupun peristiwa kembali, dan mengalami mimpi mengenai
traumatik (korban) dengan orang lainnya yang peristiwa traumatis (Schiraldi, 2009).
terpengaruh oleh sifat orang yang mengalami Gejala arousal adalah gejala fisik yang
peristiwa traumatik. STSD dapat terjadi jika timbul akibat adanya gejala intrusive. Gejala
identifikasi dengan korban terlalu kuat dan arousal terjadi akibat sistem saraf menjadi lebih
intens, strategi koping dari penolong yang tidak sensitif karena trauma. Gejala arousal dapat
tepat, maupun akibat penolong yang tidak dapat meningkat ketika sistem saraf bereaksi
menjalankan strategi penyelamatan mereka berlebihan walaupun terhadap stressor yang
sendiri secara adaptif. kecil. Beberapa tanda dari gejala arousal meliputi
Figley (2012) juga mengatakan bahwa gangguan tidur, mudah marah, kesulitan
ketika suatu kejadian traumatik terjadi secara mengingat dan berkonsentrasi, serta memiliki
langsung pada seseorang, maka gangguan respon yang berlebihan (Schiraldi, 2009).
kesehatan mental yang dapat muncul disebut Gejala avoidance terjadi akibat
dengan Post Traumatis Stress Disorder (PTSD), timbulnya gejala intrusive dan arousal sehingga
dan jika seseorang berempati secara berlebihan orang-orang yang mengalami STSD berusaha
terhadap orang lain yang mengalami peristiwa menghindari semua hal yang mengingatkan
traumatik, maka gangguan kesehatan mental mereka akan trauma yang terjadi. Gejala
yang muncul disebut dengan Secondary avoidance meliputi upaya menghindari pikiran,
Traumatic Stress Disorder (STSD). percakapan, kegiatan, tempat, maupun orang-
Berdasarkan penjelasan diatas dapat orang yang dapat mengingatkan pada peristiwa
disimpulkan bahwa Secondary Traumatic Stress traumatis (Schiraldi, 2009).
Disorder (STSD) adalah suatu kondisi yang Emotional contagion atau Penularan
mempengaruhi kondisi mental seseorang akibat emosi didefinisikan sebagai kecenderungan
dari paparan korban yang mengalami untuk menangkap emosi dari orang lain (J. Tsai
pengalaman traumatis. et al, 2012). Penularan emosi atau
Tanda dan gejala dari Secondary kecenderungan untuk meniru dan merasakan
Traumatic Stress Disorder (STSD) sangat mirip menampilkan emosi dan pengalaman orang lain
dengan tanda dan gejala Post Traumatic Stress dalam interaksi sosial lebih dari kemungkinan
Disorder (PTSD). Hal yang membedakan adalah dipengaruhi oleh mempengaruhi atau suasana
bahwa PTSD diperoleh akibat paparan secara hati yang ada orang yang terlibat dalam interaksi
langsung dari peristiwa traumatik, sedangkan tersebut (Hatfield, Cacioppo, & Rapson, 1992
STSD diperoleh akibat paparan secara tidak dalam Englert, 2014).
langsung dari peristiwa traumatik (Doctor & Polisi merupakan alat penegak hukum
Shiromoto, 2010). yang dapat memberikan perlindungan,
Schiraldi (2009) mengatakan bahwa 3 pengayoman, serta mencegah timbulnya
gejala STSD saling berkaitan dan terjadi secara kejahatan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
berurutan. Ketiga gejala tersebut meliputi, gejala sesuai dengan pendapat Rahardi mengatakan
intrusive, arousal, dan avoidance. Gejala bahwa Kepolisian sebagai salah satu fungsi
intrusive adalah gejala awal yang terjadi pada pemerintahan negara dibidang pemeliharaan
orang-orang yang mengalami STSD. keamanan dan ketertiban masyarakat (Sadjiono,
Gejala intrusive dapat terjadi dalam 2010).
bentuk pemikiran, penglihatan, dan persepsi.
Gejala intrusive muncul secara tiba-tiba dan METODE PENELITIAN
umumnya meliputi gangguan ingatan atau Penelitian ini akan menggunakan metode
mengingat kembali peristiwa traumatis, merasa kualitatif dengan hasil data deskriptif untuk
seolah-olah peristiwa traumatis terulang memahami fenomena yang dialami partisipan
3
penelitian secara holistik dan dalam suatu dalam wawancara akan tersusun dalam suatu
konteks khusus (Moleong, 2014). Menurut pedoman wawancara yang tidak mengikat.
Creswell (2010) penelitian kualitatif merupakan
metode-metode untuk mengeksplorasi dan HASIL PENELITIAN DAN
memahami makna yang –oleh sejumlah individu PEMBAHASAN
atau sekelompok orang – dianggap berasal dari Pengambilan data dilakukan pada empat (4)
masalah sosial atau kemanusiaan. subjek yang merupakan Penyidik unit PPA yang
Pada penelitian ini peneliti menggunakan telah bergelut menangani kasus kekerasan
tipe pendekatan fenomenologi. Penelitian seksual perempuan dan anak selama lebih dari
fenomenologi yaitu jenis penelitian kualitatif satu (1) tahun. Keempat partisipan mengalami
yang melihat dan mendengar lebih dekat dan dampak serupa akibat proses penyidikan.
terperinci penjelasan dan pemahaman individual Wawancara dilakukan oleh peneliti secara tatap
tentang pengalaman-pengalamannya. Penelitian
muka personal tiap subjek. Sebelum wawancara
fenomenologi memiliki tujuan yaitu guna dimulai, peneliti menjelaskan secara garis besar
menginterpretasikan serta menjelaskan mengenai penelitian dan beberapa hal yang perlu
pengalaman-pengalaman yang dialami seseorang diperhatikan oleh subjek. Tiap subjek juga telah
dalam kehidupan ini, termasuk pengalaman saat menyetujui untuk berpartisipasi pada penelitian
interaksi dengan orang lain dan lingkungan). ini yang dibuktikan dengan surat pernyatataan
Lokasi yang digunakan dalam penelitian persetujuan (informed consent) yang mencakup
Hubungan Emotional Contagion dengan pemberian informasi lengkap tentang penelitian
Secondary Traumatic Stress Disorder pada dan kesediaan subjek untuk berpartisipasi.
Polisi adalah di salah satu reserse yang ada di Berdasarkan pengambilan data dari proses
unit Polres Malang yaitu di Unit Pelayanan wawancara yang dilakukan dapat ditarik 3 tema
Perempuan dan Anak (UPPA) Polres Malang. besar yakni bentuk dari emotional contagion,
Subyek penelitian adalah penyidik UPPA Polres faktor-faktor secondary traumatic stress
Malang, yang mana semua adalah anggota
disorder, dan cara mengatasi timbulnya
kepolisian yang bertugas di UPPA serta memiliki secondary traumatic stress disorder.
pengalaman lebih dari 1 (satu) tahun menyidik.
Maka dari itu peneliti menggunakan 1. Bentuk dari emotional contagion pada
anggota polisi yang bertugas di UPPA untuk penyidik yang menangani kekerasan
dijadikan subjek penelitian dengan jumlah 4 seksual terhadap anak
(empat) orang. Penelitian ini akan difokuskan Perasaan negatif dan peningkatan
kepada penyidik yang terkena secondary sensivitas emosional dirasakan oleh para
traumatic stress disorder akibat dari paparan subjek. Dalam menginvestigasi kasus
korban pelecehan seksual pada saat penyidikan. kekerasan seksual terhadap anak, personel
Teknik pengumpulan data dalam penelitian memang perlu menghadirkan empati dalam
ini adalah dengan wawancara semi terstruktur proses penyidikan agar korban dari kekerasan
yang menggunakan beberapa pertanyaan yang seksual ini bisa leluasa untuk menceritakan
bersifat terbuka dan dibatasi oleh suatu tema dan kronologis kejadian yang dialaminya. Namun
alur (Arikunto, 2010). Teknik ini bertujuan agar pada keempat subjek ditemukan adanya
partisipan dapat berbicara dan memberikan dampak dimana empati tersebut juga
infomasi melalui proses wawancara secara lebih memunculkan rasa iba, kasihan dan tidak tega
bebas dan terbuka serta memudahkan partisipan terhadap korban yang mengalami kejadian
untuk memahami pertanyaan peneliti. Adapun traumatis.
batasan tema dan alur yang akan digunakan

4
“Pada kasus pemerkosaan yang di lakukan hampir nangis. Itu pada saat kasus ayah
oleh ayah kandung sendiri itu saya pernah ngelakuin kekerasan seksual kepada anaknya
tanganin, waktu itu saya merasa miris dan sendiri. Ya kok tega banget gitu bapaknya
kasian banget sama korban bahkan sampai ngelakuin itu ke anak sendiri, apalagi saya kan
pernah waktu itu saya menangis dikarenakan punya anak perempuan ya. Gak habis pikir aja
cerita dari korban yang begitu menyedihkan.” kasian anaknya.” (DC-W1-18 September
(LH-W1-12 September 2022) 2022)

“ Pernah sih saya ngerasa ikut sedih gitu kan Pada subjek SV dan DC terlihat perasaan
kita juga polisi kayak manusia biasa pada iba, kasian, sedih dan miris kepada korban.
umumnya dan kita sebagai penyidik harus Dampak dari laporan korban dari sesi
bener-bener perasa maksudnya itu kita harus interogasi menyebabkan penyidik mengingat
bisa masuk ke dunia korban misalnya sudah pada orang lain yang dekat dengan mereka
disetubuhi oleh pacarnya dan teman-teman seperti keluarga. Hal tersebut bisa muncul
pacarnya maka kita harus bisa melibatkan disebabkan dari keterlibatan perasaan (empati
empati sebagai penyokong dia agar bisa lebih dan simpati). Akan tetapi perasaan empati
percaya diri dan leluasa menceritakan ataupun simpati yang di munculkan oleh
kejadian tersebut.” (VL-W1-16 September subjek SV dan DC hanya pada saat sesi
2022) interogasi terhadap korban kekerasan seksual
terhadap anak. Setelah interogasi selesai
Subjek LH dan SV mengutarakan bahwa mereka hanya terdiam dan kerap kali
empati memang perlu dihadirkan saat menceritakan kronologis (laporan) tersebut ke
menyidik kasus kekerasan seksual anak agar anggota personil yang lain.
hasil penyidikan bisa maksimal. Namun LH
mengaku bahwa ia merasakan perasaan iba dan 2. Faktor-faktor yang menimbulkan
kasihan terhadap korban hingga terkadang Secondary Traumatic Stress Disorder
pada kasus yang tergolong berat seperti Pada Penyidik
pemerkosaan beliau merasa tidak tega saat
mendengar cerita dari korban hingga kala itu Faktor-faktor yang menimbulkan STSD ini
pernah sampai menangis. Hal ini juga di muncul akibat dari lamanya paparan penyidik
dukung oleh pernyataan serupa dari partisipan dalam menangani kasus kekerasan seksual
DC dan VL. terhadap anak. Banyaknya laporan kasus
kekerasan seksual terhadap anak dan cerita
“ Kalo terhadap korbannya si ya yang pasti pengalaman-pengalaman traumatis dari korban
kasian dan miris saja, saya kan emang belum kekerasan seksual pada saat BAP, hal ini
punya tapi kalau sudah menangani kasus berpotensi mempengaruhi munculnya STSD
tersebut saya keinget keponakan atau sepupu dalam diri penyidik. Dari laporan yang telah
saya yang perempuan dan gak tega saja. masuk di PPA Polres Malang di dapatkan data
Kadang saya juga ngerasa kesel dan marah ke bahwa faktor trauma dari korban kekerasan
pelaku kok ya tega ada orang gituin anak seksual terhadap anak mempengaruhi para
dibawah umur. Saya bayangin pasti betapa subjek dari segi psikis.
trauma dia setelah dapat kejadian itu” (SV-
“Untuk saya pribadi si mungkin tidak terlalu
W1-13 September 2022)
berpengaruh [..] dari laporan yang masuk
mengenai kekerasan seksual terhadap anak saya
“ Pernah si dulu saya sempet ngerasa iba ke
lebih ke mengedukasi anak saya saja jangan
korban, bahkan saya sampe kayak sedih
5
sampai terjadi seperti apa yang sering di wanti terus menerus ke anak saya kalau sama
laporkan atau saya tangani di PPA. Harus lebih lelaki jangan mau dibodoh-bodohi.” (DC-W1-
bisa menempatkan mana baik buruknya ketika 18 September 2022)
sedang bersama lawan jenisnya. Takutjika anak
saya menjadi pelaku kekerasan seksual tersebut “Kalau ke diri aku si gak terlalu berpengaruh ya
juga, saking takutnya pernah sesekali saya cerita dari korban itu, cuma aku kepikirannya
bermimpi anak saya yang menjadi pelaku kalau udah dirumah aku kan punya adik cowok
dikarenakan setelah menangani kasus kekerasan nih, nah biasanya saya suka agak keras dan
seksual. Tapi itu kejadian sudah lama sekali pas bilangin ke adik saya gitu kalo sama perempuan
awal-awal saya masih baru jadi penyidik.” (LH- tuh gak boleh kasar dan amit-amit sampe
W1-12 September 2022) ngelakuin kekerasan seksual.” (VL-W1-16
September 2022)
Jika dilihat dari pernyataan subjek LH,
subjek LH menunjukkan gejala STSD yaitu Dari pernyataan diatas pula menunjukkan
gejala intrusive. Gejala intrusive yang dialami bahwa subjek SV dan DC juga mengalami gejala
oleh subjek LH adalah mengalami mimpi intrusive. Gejala intrusive yang dialami oleh
peristiwa traumatis yang di alami oleh korban subjek SV dan DC adalah mengingat kembali
kekerasan seksual terhadap anak yang mana peristiwa traumatis yang pernah ditanganinya
subjek LH sangat takut dan khawatir bila dahulu. Bahkan subjek DC sampai sering
anaknya menjadi pelaku kekerasan seksual melamun dikarenakan kasus yang ditanganinya
terhadap anak sehingga subjek LH bermimpi belum rampung juga. Namun pada subjek VL
bahwa seakan-akan anaknya menjadi pelaku tidak menunjukkan adanya gejala intrusive,
kekerasan seksual. Hal ini disebabkan karena hanya saja subjek VL lebih mengkhawatirkan
subjek memunculkan sikap empati berlebih adiknya takut menjadi pelaku kekerasan seksual.
terhadap keadaan yang dialami oleh korban.
“Kalau dari segi emosional si lumayan
“Buat saya si bukan kearah trauma si cuma berpengaruh ya [...] Saya merasa sedih dan iba
kadang kepikiran gitu kalo itu nantinya bakal kepada korban, lalu pada saat menginterogasi
terjadi ke diri saya atau keluarga terdekat. Terus tersangka yang mana sekaligus ayah si korban
kadang suka keinget pernah nanganin kasus saya sangat kesal dan marah karena tidak
tentang kekerasan seksual kalo ada kumpul- berpikir panjang dan hanya mengutamakan
kumpul keluarga suka diminta cerita-cerita nafsunya [...] Amarah saya memuncak ketika
jadinya sering keinget lagi laporan kasus-kasus jawaban yang diberikan oleh tersangka
tersebut.” (SV-W1- 14 September 2022) berputar-putar tidak kepada inti pertanyaanya,
sampai saya mencoret hidungnya memakai
“Kalau saya si enggak sampai trauma, tapi spidol.” (LH-W1-12 September 2022)
cuma stress aja apalagi kalau pelapornya telpon
terus menerus ke saya. Jujur itu membuat saya “Soal emosional, kadang saya tuh dikantor kalau
stress, cuma terkadang saya sebelum tidur sering udah kesel yang emang bener-bener gak bisa
melamun memikirkan kasus yang saya tangani dibendung lagi sama tersangka suka saya
tentang kekerasan seksual terhadap anak yang lampiaskan entah itu menjitak ataupun menonjok
tidak kunjung selesai apalagi kalau bukti- bagian tubuhnya tersangka. Kalo ke korban saya
buktinya belum kuat, kadang saya suka kesel lebih ke kasihan si, kayak kok bisa sampai seperti
sendiri dan kasihan sama korban. Saya juga itu.” (DC-W1-18 September 2022).
sangat khawatir anak saya akan mengalami
Selain gejala intrusive, gejala lain yang
peristiwa tersebut juga makanya saya wanti-
juga ditunjukkan yaitu arousal, dimana subjek

6
LH dan DC sulit untuk mengontrol ingin memukul pelaku saja tidak sampai
emosionalnya ketika sedang menginterogasi terealisasi.
korban maupun pelaku. Selain itu kadang-
kadang subjek LH dan DC memiliki respon yang “Kalau awal saya menangani kasus kekerasan
berlebihan ketika sedang dihadapkan pada seksual memang iya, saya sulit melupakan
pelaku kekerasan seksual terhadap anak, seperti kejadian sehubungan dengan perkara yang saya
memukul dan menjahili pelaku. tangani, akan tetapi dengan kurun waktu yang
bisa dibilang lama menangani dan menghadapi
“Pada saat menangani kasus kekerasan seksual para korban kekerasan seksual saya harus bisa
terhadap anak emosi saya kerap kali sulit untuk mengendalikan pikiran saya.” (LH-W2-04
terkontrol apalagi dalam mendengar cerita dari Oktober 2022)
korbannya langsung pada saat sesi interogasi.
Begitupun pada saat saya menginterogasi “Pada saat awal-awal saya menjadi penyidik si
pelakunya, kadang saya hampir ingin memukul dan menangani kasus kekerasan seksual
si pelaku dikarenakan sangat marahnya saya terhadap anak memang iya, saya sulit
terhadap tindakan pelaku. Kadang kali pada melupakan hal-hal yang baru pertama saya
saat dirumah juga perasaan marah atau sedih tangani dan ingin menghindari tempat yang
tersebut mempengaruhi mood saya, jadi males mengingatkan kejadian traumatis korban” (DC-
ngapa-ngapain gitu saking penatnya nanganin W2-12 Oktober 2022)
kasus kekerasan seksual tersebut.” (SV-W1-14
Selain gejala intrusive dan arousal subjek LH
September 2022).
dan DC menunjukkan gejala avoidance. Dimana
“Kalo soal itu si iya, seringkali saya sulit gejala tersebut menunjukkan bahwa subjek
mengontrol emosi saya [...] Aku kayak bener- menghindari tempat kejadian dari korban anak
bener “ih ngeselin banget ini orang pengen ku yang mengalami kekerasan seksual dan selalu
tabok mukanya” itu kalo ke tersangka yang udah teringat ketika melewati tempat kejadian
jelas-jelas salah tapi masih ngeles gitu loh [..] traumatis tersebut. Sedangkan subjek SV dan VL
Sering juga kalo ke korban yang melapor tentang merasa biasa saja dan tidak pernah ada pikiran
kekerasan seksual yang dialaminnya nih, kayak untuk menghindari tempat-tempat tertentu.
tragis banget ceritanya bisa bisa saya sampe
3. Cara mengatasi timbulnya Secondary
nangis gitu loh berkaca-kaca. Jadi kadang saya
Traumatic Stress Disorder Pada Penyidik
terngiang-ngiang aja di kepala kalo denger
cerita yang sampe segitunya.” (VL-W1-16
Para penyidik beresiko besar terkena
September 2022)
STSD untuk itu demi menghindari terpaparnya
Subjek SV dan VL juga menunjukkan STSD tersebut para penyidik biasanya
gejala arousal yang mana mereka merespon melakukan hal-hal yang menurutnya positif.
hanya dengan ingin memukul pelaku ataupun Untuk itu para subjek memiliki coping yang
hanya marah saja kepada pelaku kekerasan bervariasi dalam hal mengatasi timbulnya
seksual terhadap anak. Tidak sampai adanya STSD. Dalam hal tersebut para subjek selalu
respon berlebihan seperti subjek LH dan DC mempunyai cara masing-masing agar terhindar
yang sesekali memukul ataupun menjahili dari STSD. Dari cara-cara tersebut dapat
pelaku. Itu dikarenakan subjek SV dan VL masih diketahui perbedaan masing-masing coping
baru di Unit PPA dan pangkatnya dibawah antar subjek.
subjek LH dan DC. Jadi subjek SV dan VL hanya
“Jika ada kasus lain yang lapor dan saya
tangani saya berusaha semaksimal mungkin
7
tidak terdristrak pada kasus sebelumnya “Untuk cara mengatasinya kalau saya ya pergi
(kasus kekerasan seksual terhadap anak). Jika ke luar dulu ngerokok gitu biar gak stress,
secara emosional saya masih mengingat kasus sering kali saya juga bersih-bersih di meja
sebelumnya saya biasanya keluar ruangan kantor saya untuk menghilangkan penat dari
ataupun bercanda dengan sesama rekan kerja, banyaknya kasus yang saya tangani. Kadang
agar mood saya kembali normal.” (LH-W1-12 saya juga kalau udah pusing sama kasus,
September 2022) misalkan ada laporan kasus baru saya
limpahkan ke penyidik lain untuk
Untuk subjek LH sendiri ia lebih menanganinya.” (DC-W1-18 September
cenderung bercanda dengan sesama rekan 2022)
kerjanya dalam hal mengatasi timbulnya STSD Bagi subjek DC lebih memilih untuk
itu sendiri. Jika emosi dari subjek LH tidak membersihkan meja kantornya ketika dalam
kunjung stabil, maka subjek LH akan sedang keadaan stress dan juga untuk
meninggalkan ruangan PPA untuk beberapa menghindari timbulnya STSD, selain itu
menit. Jika mood subjek LH sudah kembali seringkali subjek DC keluar untuk merokok
normal baru ia akan kembali bekerja. agar sedikit meringankan penat ketika sedang
menangani kasus kekerasan seksual.
“Cara ngatasinnya ya, oh kalo saya sendiri si Untuk menghindari timbulnya STSD
misalnya lagi bawaanya mau marah-marah para penyidik Polres Malang melakukan
ataupun tiba-tiba sedih gitu kebawa karena strategi coping yang bermacam-macam, ada
abis nanganin kasus si biasanya langsung yang bernyanyi, bersih-bersih, drakoran,
nonton drakor gitu. Kalo gak saya langsung bercanda dengan sejawat dan ada juga yang
memesan makanan di gojek/grab food untuk keluar dari kantor untuk mencari makanan agar
mengatasi emosi saya yang sedang meledak- tidak teringat kembali laporan-laporan yang
ledak.” (SV-W1-14 September 2022) dilaporkan oleh korban kekerasan seksual. Para
subjek mengatakan bahwa hal-hal tersebut lah
“Kalo cara saya sendiri ngatasinnya, kalo soal yang menjadi coping trauma dan stress mereka
berita yang viral kemaren si saya akui saya dikala sedang menangani kasus kekerasan
terlalu emosional dan berlebihan jadi saya seksual terhadap anak.
sedikit stress dan cara ngatasinnya saya gak
KESIMPULAN
nangani kasus lain seharian itu jadi kayak Penelitian ini mengkaji mengenai
diem kalo gak ngelakuin hal yang saya suka Secondary Traumatic Stress Disorder pada
aja kayak nyanyi-nyanyi sendiri kalo gak polisi yang menangani kasus kekerasan seksual
drakoran.” (VL-W1-16 September 2022) terhadap anak melalui pendekatan kualitatif
dengan metode fenomenologis. Berdasarkan
Sedangkan pada subjek SV dan VL pengambilan data yang di ambil dari empat
subjek yang merupakan penyidik di unit PPA
mengatasi timbulnya STSD dengan cara
Polres Malang ditemukan tiga rumusan
menonton drama korea. Subjek SV sering kali masalah yakni bentuk-bentuk dari emotional
membeli makanan lewat aplikasi gofood ketika contagion, faktor-faktor yang menimbulkan
ia sedang stress dengan kasus yang STSD, dan cara mengatasi timbulnya STSD.
ditanganinya. Sedangkan subjek VL lebih Peneliti menemukan bahwa bentuk-bentuk dari
cenderung suka bernyanyi ketika sedang dalam emotional contagion yang ada pada polisi di
keadaan stress. Kedua aktivitas yang unik unit PPA Polres Malang yaitu berupa emosi
sedih, marah, iba dan khawatir. Bentuk-bentuk
untuk mengatasi timbulnya STSD.
emosi tersebut muncul akibat dari munculnya

8
empati berlebih dari para subjek terhadap itu kadang-kadang subjek LH dan DC memiliki
korban kekerasan seksual terhadap anak. respon yang berlebihan ketika sedang
Peneliti juga menemukan bahwa dihadapkan pada pelaku kekerasan seksual
dampak yang dialami oleh keempat subjek terhadap anak, seperti memukul dan menjahili
meliputi dampak emosional yakni adanya pelaku.
sensitivitas emosional dan perasaan iba Subjek SV dan VL juga menunjukkan
terhadap korban, adanya rasa kewalahan pada gejala arousal sama seperti subjek LH dan DC
saat menangani korban traumatis, dan juga yaitu dimana subjek SV dan VL sulit untuk
adanya rasa tanggung jawab yang besar untuk mengontrol emosionalnya ketika sedang
menangkap pelaku kejahatan serta kelelahan menginterogasi korban maupun pelaku. Akan
fisik dan psikis. Dari keempat subjek hanya ada tetapi, subjek SV dan VL tidak sampai
dua subjek yaitu LH dan DC yang merasakan membuat respon yang berlebihan seperti
dampak dari penyidikan korban kekerasan memukul ataupun menjahili pelaku. Hanya
seksual terhadap anak yang mempengaruhi saja subjek SV dan VL ini terlihat sangat
gaya parenting mereka terhadap anak mereka dongkol dan ingin memukul pelaku yang jelas-
dikarenakan sudah berkeluarga dan memiliki jelas sudah bersalah akan tetapi tidak mau
anak. mengakui kesalahannya yang telah
Peneliti juga menemukan bahwa dari diperbuatnya. Namun kekesalan dari subjek
keempat subjek menunjukkan tanda-tanda atau SV dan VL hanya sebatas kesal saja tidak
gejala dari STSD itu sendiri, yakni subjek LH sampai terealisasi untuk memukul si pelaku
menunjukkan gejala STSD yakni gejala kekerasan seksual terhadap anak.
intrusive yang mana ditunjukkan dengan Gejala terakhir yang mengarah ke
subjek LH bermimpi buruk tentang peristiwa gejala STSD adalah gejala avoidance. Gejala
traumatis akibat dari menangani kasus ini dialami oleh subjek LH dan DC. Pada awal-
kekerasan seksual terhadap anak. Subjek DC awal karir sebagai penyidik, subjek LH dan DC
dan SV juga menunjukkan gejala intrusive sempat merasakan gejala ini yang dimana
yang berupa teringat kembali peristiwa subjek LH dan DC selalu menghindari tempat
traumatis dari laporan korban anak dari yang mengingatkan kejadian traumatis dari
kekerasan seksual yang pernah ditanganinya korban kekerasan seksual terhadap anak yang
dahulu. melapor ke Unit PPA Polres Malang. Itu
Sedangkan untuk subjek VL tidak dikarenakan subjek LH dan DC pada saat baru
menunjukkan gejala intrusive ini dikarenakan menjadi penyidik belum terbiasa mengontrol
subjek VL selalu tidak ambil pusing dalam emosional dan pikiran dari cerita korban
pekerjaan dan permasalahan yang ada di kantor traumatis pada saat interogasi.
tidak pernah di bawa kerumah ataupun di Adapun peneliti juga menemukan
ingat-ingat lagi pada saat di rumah. Akan bermacam variasi serta keunikan pada setiap
tetapi, efek dari laporan-laporan yang masuk di subjek dalam strategi coping untuk mengatasi
unit PPA Polres Malang tentang kekerasan timbulnya Secondary Traumatic Stress
seksual terhadap anak ini masih berdampak Disorder (STSD). Subjek LH memiliki strategi
pada dirinya yaitu dengan mengkhawatirkan coping yaitu dengan bersenda-gurau dengan
adiknya dan takut jika nanti adiknya menjadi sesama rekan kerjanya. Adapun subjek SV
pelaku kekerasan seksual. Maka dari itu, strategi copingnya sangat unik, yaitu dengan
subjek VL ketika dirumah selalu keras dengan cara membeli makanan di aplikasi gofood yang
adiknya dikarenakan untuk mencegah ataupun mana setiap subjek merasa stress dan ingin
menghindari adiknya menjadi pelaku dari menghindari timbulnya STSD dalam dirinya
kekerasan seksual. maka subjek SV akan membeli makanan dan
Gejala selanjutnya yang mengarah ke memakan makanan tersebut diruangan PPA.
gejala STSD yaitu gejala arousal. Gejala
arousal yang dialami oleh subjek LH dan DC SARAN
yaitu dimana subjek LH dan DC sulit untuk Berdasarkan hasil penelitian,
mengontrol emosionalnya ketika sedang pembahasan, kesimpulan, serta manfaat yang
menginterogasi korban maupun pelaku. Selain ingin dicapai dalam penelitian ini. Maka

9
peneliti menganjurkan saran-saran sebagai Bjornestad, A.G., Schweinle, A., Elhai, J.D.
berikut : (2014). Measuring secondary traumatic
stress symptoms in military spouses with
1. Bagi instansi pendidikan the posttraumatic stress disorder checklist
military version, The Journal of Nervous
Diharapkan adanya suatu informasi maupun and Mental Disease, vol. 202, p. 864-869
kegiatan yang dapat memberikan informasi lebih Bozga, A., McDowall, A. & Brown, J. (2020),
lanjut mengenai Secondary Traumatic Stress “Little Red Sandals”: female police
Disorder (STSD) bagi mahasiswa agar bisa lebih officers' lived experience of investigating
mengetahui dan mengenal tanda-tanda dari sexual violence". Policing: An
International Journal, Vol. 44 No. 1, pp.
gejala Secondary Traumatic Stress Disorder
32-48.
(STSD) dan Tindakan pencegahannya. Bride, B. E., & Kintzle, S. (2011). Secondary
traumatic stress, job satisfaction, and
2. Bagi instansi POLRI occupational commitment in substance
abuse counselors. Traumatology, 17(1),
Diharapkan adanya suatu pemahaman yang 22-28.
lebih terkait Secondary Traumatic Stress Bride, B.E., Robinson, M.M., Yegidis, B., &
Disorder (STSD) kepada setiap anggota Polisi Figley, C.R. (2004). Development and
untuk lebih bisa mencegah atuapun mengatasi validation of the secondary traumatic
timbulnya gejala itu sendiri. stress scale. Sage Journal, p. 27- 35
Bromet, E.J. (2016). Long-term outcomes in
psychopathology research. United State of
3. Bagi penelitian selanjutnya
America: Oxford University Press.
Diharapkan adanya penelitian lebih ChoosingTherapy.com. (2021, September
mendalam dengan menggunakan kuisioner 14). Secondary Trauma: Definition,
maupun wawancara terkait Secondary Traumatic Causes, & How to Cope. Diakses pada 19
Stress Disorder (STSD) dan juga diharapkan September 2022, dari
pada peneliti selanjutnya di ada kan intervensi https://www.choosingtherapy.com/second
lebih lanjut mengenai STSD di instansi ary-trauma/.
kepolisian. Christopher K. Hsee, et all. 1990. The Effect of
Power on Susceptibility to Emotional
DAFTAR PUSTAKA Contagion. Cognition And Emotion
Abidin, Zainal. 2007. Teori-Teori Psikologi Journal. Vol. 4, No.4,pp. 327-340.
Sosial Tentang Kekerasan Kolektif. Jurnal Corey, G., 1991 Theory and Practice of
Fakultas Psikologi Universitas Counseling and Psychotherapy,
Padjajaran.hlm: 1-19
Brooks/Cole Pub.Co, California.
Akinbobola, O. I., & Zugwai, S. Y. (2019).
Emotional Empathy, Social Distance and Craun, S.W., & Bourke, M.L. (2014). The use of
Attitude of Police Officers towards People humor to cope with secondary traumatic
with Mental Illness. Psychology, 10, 830- stress. Journal of Child Sexual Abuse, 23
843. (7), 840-852.
https://doi.org/10.4236/psych.2019.10605 Creswell, J. W. (2015). Penelitian kualitatif dan
4 desain riset: Memilih di antara lima
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu
pendekatan. (Ed. Ke-3). Yogyakarta:
Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Beck, J.G. & Sloan, D.M. (2012). The oxford Pustaka Pelajar.
handbook of traumatic stress disorder, [e- Crumpei & Dafinoiu. (2012). Secondary
book], diakses 27 September 2022, dari traumatic stress in medical students.
https://books.google.co.id. Procedia social and Behavioral Sciences.
Vol. 46, pp.1465-1469.
10
Denzin & Lincoln. 2009. Handbook of Figley, C.R. (2012). Traumatology Of Grieving:
Qualitative Research. Yogyakarta : Conceptual, Theoretical, and Treatment
Pustaka Pelajar. Foundation, [e-book], diakses 25
Diniaty. (2014). Konselor Waspadai Secondary September 2022, dari
Traumatic Stress Saat Memberi Pelayanan https://books.google.co.id.
Konseling Bagi Klien. International Hatfield, E., Cacioppo, J. L. & Rapson, R. L.
Guidance and Counseling Seminar. Vol. 1, 1994. Emotional contagion. Current
pp. 1-7. Directions in Psychological Sciences.Vol.
Doctor, R.M & Shiromoto, F.N. (2010). The 2, pp.96-99
encyclopedia of trauma and traumatic Hatfield, E., Cacioppo, J. L. & Rapson, R. L.
stress disorder. New York: Facts On File. 1994. Emotional contagion. Current
Doherty, R. W. 1997. The Emotional contagion Directions in Psychological Sciences.Vol.
scale: A measure of individual differences. 2, pp.96-99.
Journal of Nonverbal Behavior, 21, pp. https://mediaindonesia.com/nusantara/414415/la
131-154. gi-kkb-menembak-tukang-bangunan-di-
Dold, M., Bartova, L., Kautzky, A., Souery, D., papua, diakses pada 26 September 2022
Mendlewicz, J., Serretti, A., Porcelli, S., pukul 21.00 WIB.
Zohar, J., Motgomery, S. & Kasper, S. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/36074104/,
(2017). The impact of comorbid post diakses pada 26 September 2022 pukul
traumatic stress disorder in patients with 20.20 WIB.
major depressive disorder on clinical https://www.liputan6.com/news/read/5037025/b
features, pharmacological treatment harada-e-buka-suara-kronologi-
strategies, and treatment outcomes – result kematian-brigadir-j-kian-berbalik,
from a cross-sectional European diakses pada 26 September 2022 pukul
multicenter study, European 20.00 WIB.
Neuropsychopharmacology, vol. 27(7), p. J Tsai, et all. 2012. A Study of Emotional
625-632. Contagion with Virtual Characters. Journal
Duffy, E., Avalos, G., & Dowling, M. (2014). University if Southern California.pp.81-88.
Secondary traumatic stress among Jhonson, S.L. (2009). Therapist’s guide to
emergency nurses: a crossectional study. posttraumatic stress disorder intervention,
International Emergency Nursing, p. 1-6. [e-book], diakses 28 September 2022, dari
Edmonson, D. & Kanel, R.V. (2017). Post- https://books.google.co.id.
traumatic stress disorder and Kindermann, D., Schmid, C., Greeven, C.D.,
cardiovascular disease, The Lancet Huhn, D., Kohl, R.M., Junne, F., Schleyer,
Psychiatry, vol. 4(4), p. 320-329 M., Daniels, J.K., Ditzen, B., Herzog, W.,
Englert, Lauren. 2014. The Impact of Emotional & Nikendei, C. (2017). Prevalence of and
Contagion and its Relationship to Mood. risk factors for secondary traumatization in
pp.1-19. interpreters for refugees, Journal
Englert, Lauren. 2014. The Impact of Emotional Psychopathology, p. 1-11.
Contagion and its Relationship to Mood. Kintzle, S., Yarvis, J.S., & Bride, B.E. (2013).
pp.1-19 dalam Secondary traumatic stress in military
https://www.mckendree.edu. primary and mental health care providers,
Figley, C.R. (2012). Encyclopedia of trauma: an Journal of Military Medicine, vol 178, p.
interdisciplinary guide, [e-book], diakses 1310-1315.
24 September 2022, dari Lahad, M. & Doron, M. (2010). Protocol for
https://books.google.co.id. treatment of post traumatic stress disorder,
11
[e-book], diakses tanggal 27 September Shiromani, P.J., Keane, T.M & Ledoux, J.E.
2022, dari https://books.google.co.id. (2009). Post-traumatic stress disorder:
Lambert, J.E., Engh, R., Hasbun, A. & Jessica Basic science and clinical practice, [e-
Holzer. (2012). Impact of posttraumatic book], diakses 26 september 2022, dari
stress disorder on the relationship quality https://books.google.co.id.
amd psychological distress on intimate Stamm, B.H. (1999). Secondary Traumatic
partners: a meta-analytic review, Journal of Stress. Self Care Issues for Clinicians,
Family Psychology, vol. 26(5), p. 729-737. Researchers & Educators. MD : Sidran
MacEachern, A. D., Dennis, A. A., Jackson, S., Press.
& Jindal-Snape, D. (2019). Secondary Stevens, D., Wilcox, H.C., MacKinnon, D.F.,
traumatic stress: Prevalence and Mondimore, F.M., Schweizer, B., Jancic,
symptomology amongst detective officers D., Coryell, W.H., Weissman, M.M.,
investigating child protection cases. Lenvinson, D.F. & Potash, J.B. (2013).
Journal of Police and Criminal Psychology, Posttraumatic stress disorder increase risk
34, 165-174. for suicide attempt in adults with recurrent
major depression, Wiley Online Library,
Parkes, R., Graham-Kevan, N., & Bryce, J. vol. 30, p. 940-946.
(2019). You don’t see the world through Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan
the same eyes any more: The impact of Pendekatan Kuantitatif,. Kualitatif, dan
sexual offending work on police staff. The R&D. Bandung: Alfabet.
Police Journal,92(4), 316-338. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif
Patterson, C.H., 1959 Counseling and Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Psychotherapy: Theory and Practice, Sukmaningrum & Poerwandari. (2004).
Harper & Row, New York. Dinamika Secondary Traumatic Stress,
Pittman, J.O.E., Goldsmith, A.A., Lemmer, J.A., Vicarious trauma dan Burnout. Universitas
Kilmer, M.T. & Baker, D.G. (2012). Post- Indonesia, Depok.
traumatic stress disorder, depression, and Vacarino, V., Goldberg, J., Rooks, C., Shah,
health-related quality of life in OEF/OIF A.J., Veledar, E., Faber, T.L., Votaw, J.R.,
veterans, Quality of Life Research, vol. 21, Forsberg, C.W. & Bremner, J.D. (2013).
p. 99-103. Post-traumatic stress disorder and
Psike.id (2021, 13 November). Secondary incidence of coronary heart disease,
Trauma Stress Disorder : Definisi, Gejala, Journal of The American College of
dan Cara Mengatasi. Diakses pada 19 Cardiology, vol. 62(11), p. 970-978.
September 2022, dari War Trauma Foundation and World Vision
https://psike.id/secondary-trauma-stress- International (2011). Psychological First
disorder-definisi-gejala-dan-cara- Aid: Guide For Field Workers, World
mengatasi/. Health Organization, Geneva.
Sadjijono. 2010. Memahami Hukum Kepolisian. Wentworth, B.A., Stein, M.B., Redwine, L.S.,
Laksbang PRESSindo. Yogyakarta. Xue, Y., Taub, P.R., Clopton, P., Nayak,
Satjipto Raharjo. 2009. Penegakan Hukum Suatu K.R. & Maisel, A.S. (2013). Post-traumatic
Tinjauan Sosiologis. Genta Publishing. stress disorder a fast track to premature
Yogjakarta. cardiovascular disease?, Cardiology in
Schiraldi, G.R. (2009). The post traumatic stress Review, vol 21(1), p. 16-22.
disorder: Sourcebook Second Edition. New Winkel, W.S., & Sri Hastuti, M.M., 2004
York: McGraw Hill Companies. Bimbingan dan Konseling di Institusi
Pendidikan, Media Abadi, Yogyakarta.
12

Anda mungkin juga menyukai