Anda di halaman 1dari 8

Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia

Studi Penentuan Pelabuhan Utama Ekspor Ikan


Tuna di Aceh
1*
Pratiwi Dwi Suhartanti, 2Nurdasila Darmono
1
Program Studi Magister Manajemen Universitas Syiah Kuala, Aceh, Banda Aceh;
2
Program Doktor Ilmu Manajemen, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh.

*Corresponding Author: pratiwi482@gmail.com

Abstrak

Aceh merupakan pintu gerbang jalur perdagangan internasional bagi


pelabuhan-pelabuhan di Indonesia. Aceh juga memiliki potensi sumber daya
alam yang besar. Salah satu sumber daya alam yang melimpah adalah hasil
perikanan. Hasil perikanan di Aceh bisa diolah menjadi komoditi ekspor yang
mempunyai nilai jual yang tinggi. Aceh merupakan penghasil ikan tuna terbesar
di Indonesia. Potensi ini harus dikembangkan sehingga ikan tuna bisa menjadi
komoditi ekspor utama di Aceh. Namun berdasarkan data yang diperoleh dari
BPS, nilai ekspor hasil perikanan di Aceh sangat rendah, bahkan setiap tahun
terjadi penurunan. Hal ini terjadi karena tidak ada jaminan mutu terhadap
kualitas ikan tuna yang diekspor, sehingga perlu dibangun pabrik pengolahan
ikan tuna yang sekaligus berfungsi sebagai gudang penyimpanan dan
penjaminan mutu ikan. Pembangunan pabrik ini sebaiknya dilakukan di area
pelabuhan sehingga bisa mengurangi biaya transportasi. Namun kendalanya
adalah hampir di setiap kabupaten memiliki pelabuhan. Selama ini, Pemerintah
Aceh kurang fokus dalam membangun pelabuhan ekspor impor utama.
Pembangunan dilakukan di semua pelabuhan, sedangkan tidak ada kegiatan
ekspor impor di pelabuhan tersebut, sehingga perlu adanya studi untuk
menentukan pelabuhan utama yang layak dikembangkan untuk kegiatan
ekspor impor ikan tuna. Tulisan ini menganalisa dimana pelabuhan yang tepat
untuk membangun lokasi pabrik pengolahan ikan tuna. Berdasarkan metode
pusat gravitasi, hasil penelitian ini menyarankan Pelabuhan Perikanan yang
layak dikembangkan menjadi pelabuhan utama untuk ekspor ikan tuna di Aceh
adalah Pelabuhan Kuala Meureudu Pidie Jaya.

Kata kunci: penentuan lokasi, pelabuhan utama, ekspor-impor.

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah laut yang sangat luas. Hal
ini merupakan potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk dikembangkan. Sektor
kelautan dan perikanan sangat dibutuhkan perannya untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam kegiatan
usaha perikanan khususnya perikanan tangkap di laut, terlibat tiga unsur utama yaitu
komoditas perikanan laut, pelabuhan perikanan dan manusia sebagai pengelolanya.
Sehingga diperlukan usaha-usaha pengembangan ketiga unsur perikanan tersebut, yaitu
dengan penggunaan IPTEK perikanan laut dan pengembangan sarana dan prasarana lainnya
yang berhubungan dengan usaha perikanan tangkap laut.

Keberadaan pelabuhan-pelabuhan di Aceh memiliki peran sangat strategis dalam


mendukung pengembangan perikanan tangkap. Pelabuhan merupakan salah satu simpul
jaringan transportasi yang mengandalkan kemampuan sarana kapal yang memiliki daya

B86
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia

angkut logistik dalam jumlah besar. Kondisi topologi Aceh sendiri yang dikelilingi oleh lautan
menjadikan Aceh sangat berketergantungan pada transportasi laut untuk mengakses
wilayah lainnya terutama luar negeri. Pengembangan pelabuhan di Aceh dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah Aceh berpedoman pada suatu tatanan kepelabuhanan yang secara
hirarki dan terorganisasi dalam beberapa zona pengembangan transportasi. Zona
transportasi ini terbagi atas empat wilayah: Zona Pusat, Zona Utara-Timur, Zona Barat-
Selatan dan Zona Tenggara Selatan. Setiap zona diarahkan menjadikan pelabuhan sebagai
titik simpul jaringan yang akan menjembatani ke simpul transportasi di luar Aceh (skala
regional, nasional, dan internasional).

Dalam kenyataannya, potensi pendayagunaan pelabuhan di Aceh belum termaksimalkan.


Persoalan mendasar yang terjadi adalah keberadaan pengembangan jaringan transportasi
laut yang belum terencana dan terpadu yang didukung dengan pengembangan moda
transportasi lainnya. Demikian juga pengembangan wilayah seharusnya juga ikut didukung
oleh keberadaan pelabuhan-pelabuhan besar yang ada di Aceh. Sehingga keberadaan
efektifitas keberadaan pelabuhan-pelabuhan ini masih berjalan terpisah dengan
pembangunan wilayah. Persoalan lainnya adalah pembangunan sistem jaringan transportasi
terpadu.

Pelabuhan Perikanan Di Aceh

Pelabuhan dalam aktivitasnya mempunyai peran penting dan strategis untuk pertumbuhan
industri dan perdagangan serta merupakan segmen usaha yang dapat memberikan
kontribusi bagi pembangunan nasional. Hal ini membawa konsekuensi terhadap pengelolaan
segmen usaha pelabuhan tersebut agar pengoperasiannya dapat dilakukan secara efektif,
efisien dan profesional sehingga pelayanan pelabuhan menjadi lancar, aman, dan cepat
dengan biaya yang terjangkau. Secara teoritis, sebagai bagian dari mata rantai transportasi
laut, fungsi pelabuhan adalah tempat pertemuan (interface) dua moda angkutan atau lebih
serta interface berbagai kepentingan yang saling terkait. Barang yang diangkut dengan
kapal akan dibongkar dan dipindahkan ke moda lain seperti moda darat (truk atau kereta
api). Sebaliknya barang yang diangkut dengan truk atau kereta api ke pelabuhan bongkar
akan dimuat lagi ke kapal.

Oleh sebab itu berbagai kepentingan saling bertemu di pelabuhan seperti perbankan,
perusahaan pelayaran, bea cukai, imigrasi, karantina, syahbandar dan pusat kegiatan
lainnya. Atas dasar inilah dapat dikatakan bahwa pelabuhan sebagai salah satu infrastruktur
transportasi, dapat membangkitkan kegiatan perekonomian suatu wilayah karena
merupakan bagian dari mata rantai dari sistem transportasi maupun logistik. Namun jika
kita melihat kenyataan yang ada, harus kita akui bahwa memang pelabuhan-pelabuhan
yang ada di Aceh masih belum dikelola dengan baik.

Efektivitas sistem jaringan transportasi Aceh masih jauh dari hasil yang diharapkan.
Keberadaan pelabuhan-pelabuhan di Aceh saat ini masih terkesan terpisah dengan moda
jaringan transportasi lainnya. Pembangunan yang dilaksanakan masih dijalankan secara
terpisah diakibatkan berbagai persoalan kelembagaan dan kewenangannya, pendanaan dan
visi yang berbeda-beda di tiap daerah. Selain itu tidak ada fokus dari Pemerintah Aceh
dalam menetapkan prioritas pembangunan pelabuhan di masing-masing wilayah. Hampir di
setiap kabupaten/kota memiliki pelabuhan yang ingin dikembangkan. Sehingga semua dana
yang sudah dialokasikan tidak bisa terserap dengan baik. Banyak pelabuhan yang
berkembang hanya untuk melayani kebutuhan domestik, sehingga tidak mampu melakukan
ekspor-impor karena fasilitas yang tidak memadai

Revitalisasi perikanan tangkap sebagai salah satu kegiatan pembangunan perikanan di Aceh
diharapkan dapat menjadi sumber pertumbuhan baru (engine of growth) perekonomian
daerah. Hal penting yang sangat menunjang kegiatan perikanan tangkap adalah

B87
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia

pembangunan kembali infrastruktur dasar, armada penangkapan ikan, dan infrastruktur


penunjang lainnya. Sebagai contoh di masa yang akan datang Aceh harus dilengkapi
dengan pelabuhan perikanan yang memadai dan dapat menampung berbagai kegiatan
perikanan terpadu dan berorientasi industri ramah lingkungan. Pengembangan pelabuhan
perikanan ini diantaranya diperuntukkan bagi kegiatan persiapan penangkapan ikan,
pembongkaran hasil tangkapan hingga pengolahan, pemasaran dan pendistribusian hasil
tangkapan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 37/
Permen-KP/2015 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang
Kelautan dan Perikanan Tahun 2016 dijelaskan bahwa Pelabuhan perikanan adalah tempat
yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai
tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan
sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh dan/atau bongkar muat ikan yang
dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.
Pengembangan pelabuhan perikanan diarahkan untuk meningkatkan fasilitas/sarana dan
prasarana pelabuhan perikanan dalam memenuhi kapasitas produksi atau pemenuhan
fasilitas agar pelabuhan perikanan dapat memiliki syarat minimal operasional.

Mengevaluasi beberapa pelabuhan di Aceh, secara umum keberadaan pelabuhan di Aceh


belum memberi peran yang optimal. Sesuai dengan PP No. 61/2009 tentang
Kepelabuhanan, dapat dimaknai bahwa semestinya pelabuhan memberi peran dalam artian
sempit (sebagai simpul dalam jaringan transportasi, tempat distribusi, produksi, dan
konsolidasi muatan atau barang, dan alih moda transportasi) dan luas (sebagai pintu
gerbang kegiatan perekonomian, penunjang kegiatan industri dan perdagangan, dan
mewujudkan kedaulatan Negara). Dalam artian sempit dapat dikatakan, pelabuhan di Aceh
belum sepenuhnya berhasil memberi pelayanan perpindahan barang/penumpang. Demikian
pula, untuk menyatakan keberhasilan pelabuhan di Aceh dalam artian yang lebih luas harus
dilakukan evaluasi ataupun kajian terlebih dahulu.

Undang-Undang No.17 tahun 2008 tentang pelayaran menjelaskan keberadaan Tatanan


Kepelabuhan Nasional diwujudkan salah satunya untuk menunjang pembangunan nasional
dan daerah. Hal ini sejalan dengan prioritas pembangunan wilayah Aceh sebagaimana
tertuang dalam RPJMA 2012-2017 menekankan tentang pentingnya perwujudan
infrastruktur terintegrasi yang diharapkan akan mampu menopang percepatan
pertumbuhan perekonomian wilayah. Karakteristik wilayah Aceh yang sebagian besar
wilayah pusat pertumbuhannya berada di wilayah pantai membutuhkan dukungan
penguatan pelayaran dan infrastruktur pelabuhan dengan adanya keberadaan suatu
pelabuhan utama/ internasional hub port. Akan tetapi dalam pembangunan dan
pengembangan pelabuhan, Aceh masih memiliki berbagai persoalan yang dihadapi.
Persoalan yang paling sering muncul ke permukaan adalah terkait dengan regulasi teknis
pada tingkat nasional dengan regulasi khusus pelaksanaan Otonomi khusus Aceh, UU No.11
tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Secara lebih teknis, dalam Rencana Induk
Pelabuhan Nasional (Permenhub No. KP. 414 tahun 2013 tentang Rencana Induk Pelabuhan
Nasional) menempatkan tidak adanya pelabuhan Utama di wilayah Aceh, sehingga
kepentingan penetapan pelabuhan utama di Aceh belum dapat terlaksana.

Sesuai dengan PP No.61 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa dalam penetapan hierarkhi
kepelabuhan, Pelabuhan Utama memiliki karakteristik kedekatan secara geografis dengan
tujuan pasar internasional, kedekatan dengan jalur pelayaran internasional, memiliki jarak
tertentu dengan pelabuhan utama lainnya, memiliki luas daratan dan perairan tertentu,
mampu melayani kapal dengan kapasitas tertentu, tempat alih muat penumpang dan
barang internasional, dan volume kegiatan bongkar muat dengan jumlah tertentu.
Berdasarkan hal tersebut, keberadaan wilayah Aceh yang didukung oleh Alur laut Kepulauan
Indonesia (ALKI) I, berada pada lintasan koridor pelayaran internasional di Selat Malaka
sangat potensial untuk memiliki Internasional Hub Port.

B88
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia

Hal lain terkait regulasi adalah ketidakjelasan batasan kewenangan dalam hirarkhi
pelabuhan. Dalam klasifikasi tersebut dijelaskan, Pelabuhan Utama merupakan kewenangan
pemerintah pusat, pelabuhan pengumpul merupakan kewenangan Provinsi dan Pelabuhan
Pengumpan merupakan kewenangan Kabupaten/Kota. Sedangkan berdasarkan UUPA,
kewenangan terhadap seluruh pelabuhan di Aceh menjadi tanggung jawab Pemerintah
Aceh. Mengingat besarnya tanggung jawab yang diemban, hal ini membutuhkan persiapan
yang sangat besar terkait keberadaan otoritas pelabuhan, sumber daya manusia, dan
berbagai fasilitas pendukung sampai dengan dukungan dunia usaha, agar dapat
terlaksananya amanat undang-undang maka selanjutnya Pemerintah Aceh harus segera
menentukan langkah-langkah apa yang perlu diambil dalam melaksanakan UUPA untuk
menjalankan kewenangan mengelola pelabuhan (Dishubkomintel Aceh, 2017).

Pemerintah Aceh berusaha untuk mengembangkan sumberdaya pesisir dengan mendukung


upaya pengembangan pertumbuhan daerah tersebut menjadi daerah industri, salah satunya
industri perikanan. Pelabuhan Perikanan (PP) merupakan salah satu sarana yang penting
dalam usaha pengembangan industri perikanan tangkap. Untuk mendukung upaya
Pemerintah Aceh tersebut diperlukan kajian mengenai penentuan pelabuhan utama yang
akan dikembangkan menjadi kawasan industri perikanan di Aceh. Lokasi Pelabuhan
Perikanan yang saat ini sedang dikembangkan oleh Pemerintah Aceh sebagai dijadikan
alternatif lokasi industri tersebut adalah:
1. Pelabuhan Pendaratan Samudera Lampulo Banda Aceh: 05° 34´ 45˝ LU - 95° 19´
30˝ BT;
2. Pelabuhan Perikanan Kuala Meureudu Pidie Jaya: 4°54' 15,702" LU - 96°1' 13,656
"BT;
3. Pelabuhan Perikanan Nusantara Kuala IDI Aceh Timur: 04° 57’ 26” LU - 097° 45’ 52”
BT; dan
4. Pelabuhan Perikanan Meulaboh Aceh Barat: 04°07’ 50” LU dan 96° 08’ 00” BT.

Hasil dan Pembahasan

Penentuan pelabuhan utama untuk ekspor ikan tuna di Aceh perlu dilakukan untuk
pengembangan kawasan industri perikanan yang maju di Aceh. Beberapa faktor yang
mempengaruhi keputusan lokasi adalah:
1. Produktivitas tenaga kerja;
2. Nilai tukar mata uang;
3. Budaya;
4. Perubahan perilaku menuju industry; dan
5. Kedekatan pada pangsa pasar, para pemasok dan para pesaing.

Terdapat empat metode yang digunakan untuk menyelesaikan masalah lokasi, yaitu:

Metode Pemeringkatan Faktor


Banyak factor (kualitatif maupun kuantitatif) yang harus dipertimbangkan dalam memilih
suatu lokasi. Metode pemeringkatan faktor menggunakan bobot untuk membuat proses
pengambilan keputusan menjadi lebih objektif. Metode pemeringkatan faktor sering
digunakan karena mencakup variasi faktor yang sangat luas. Metode pemeringkatan factor
mempunyai enam tahap:
1. Mengembangkan daftar faktor-faktor terkait;
2. Menetapkan bobot pada setiap faktor untuk mencerminkan seberapa jauh faktor itu
penting bagi pencapaian tujuan perusahaan;
3. Mengembangkan suatu skala untuk setiap faktor (misalnya, 1 sampai 10 atau 1
sampai 100 point);
4. Meminta pimpinan menentukan skor setiap lokasi untuk setiap faktor, dengan
menggunakan skala yang telah dikembangkan pada tahap;

B89
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia

5. Mengalikan skor itu dengan bobot dari setiap faktor, dan menentukan jumlah total
untuk setiap lokasi; dan
6. Membuat rekomendasi yang didasarkan pada skor laba maksimal, dengan juga
mempertimbangkan hasil dari pendekatan kuantitatif.

Analisis Titik Impas Lokasi


Merupakan penggunaan analisis biaya-volume produksi untuk analisis titik untuk membuat
suatu perbandingan ekonomis terhadap alternatif-alternatif lokasi. Dengan mengidentifikasi
biaya variabel dan biaya tetap serta membuat grafik kedua biaya ini untuk setiap lokasi,
kita dapat menentukan alternatif mana yang biayanya paling rendah. Analisis titik-impas
lokasi dapat dilakukan secara matematik atau secara grafik. Pendekatan grafiknya
mempunyai keuntungan dengan memberikan kisaran jumlah setiap lokasi dapat dipilih.
Tahapan dalam analisis titik-impas adalah:
1. Tentukan biaya tetap dan biaya variabel untuk setiap lokasi;
2. Plot biaya untuk setiap lokasi, dengan biaya pada garis vertikal dan volume produksi
tahunan pada garis horisontal di grafik itu; dan
3. Pilih lokasi yang biaya totalnya paling rendah, untuk setiap volume produksi yang
diinginkan.

Metode Pusat Gravitasi


Merupakan teknik matematis dalam menemukan lokasi pusat distribusi yang akan
meminimisasi biaya distribusi. Dalam menemukan lokasi yang terbaik untuk menjadi pusat
distribusi, metode ini memperhitungkan lokasi pasar, volume barang yang dikirim ke pasar
itu, dan biaya pengangkutan. Karena volume kendaraan kontainer yang dipindahkan setiap
bulannya mempengaruhi biaya, jarak bukan menjadi satu-satunya kriteria utama. Metode
pusat gravitasi mengasumsikan bahwa biaya secara langsung bersifat proporsional dengan
jarak dan banyaknya barang yang diangkut.

Lokasi yang ideal adalah lokasi yang membuat jarak tertimbang antara gudang dan outlet
pengecernya menjadi minimal, jarak ini diberi bobot sesuai dengan banyaknya kontainer
yang diangkut. Langkah pertama dalam metode pusat gravitasi adalah menempatkan lokasi
pada suatu sistem koordinat. Titik asal sistem koordinat dan skala yang digunakan bersifat
berubah-ubah selama jarak relative (antar lokasi) dinyatakan secara tepat. hal ini mudah
dilakukan dengan menempatkan titik-titik pada peta biasa. Pusat gravitasi dapat ditentukan
menggunakan persamaan sebagai berikut:

koordinat x pusat gravitasi =


Ʃ dix Qi
Ʃ Qi
Koordinat y pusat gravitasi =
Ʃ diy Qi
Ʃ Qi
dimana:
dix= koordinat –x lokasi i,
diy= koordinat –y lokasi i,
Qi = kuantitas barang yang dipindahkan ke atau dari lokasi i

Model Transportasi
Tujuan dari model transportasi adalah untuk menetapkan pola pengiriman terbaik dari
beberapa titik penawaran (pasokan/sumber) ke beberapa titik permintaan (tujuan) agar
dapat meminimalkan produksi total dan biaya transportasi. Walaupun teknik pemrograman
linier dapat digunakan untuk menyelesaikan jenis masalah ini, telah dikembangkan
algoritma bertujuan khusus yang lebih efisien untuk aplikasi transportasi. Model
Transportasi memberikan solusi awal yang pantas, kemudian perbaikan bertahap dilakukan
hingga solusi optimal dicapai.

B90
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia

Dalam penentuan pelabuhan utama ekspor ikan tuna ini menggunakan metode pusat
gravitasi karena dinilai lebih fleksibel dan tidak memerlukan lokasi yang memerlukan
pembatasan.

Tabel 1 Titik Koordinat Pelabuhan dan Volume Ikan Tuna yang Dihasilkan/hari (ton)
Koordinat Volume ikan tuna yang
No Pelabuhan
X y dihasilkan/hari (ton)
1 PPS Lampulo 5.34 95.19 170
2 PPP Kuala Meureudu 4.57 97.45 50
3 PPN Kuala Idi 4.54 96.1 50
4 PPP Meulaboh 4.06 96.35 32

Dengan menggunakan rumus untuk mencari koordinat pusat gravitasi, didapatkan


koordinat dari titik terpilih adalah sebagai berikut:
5.34x170 + 4.57x50 + 4.54x50 + 4.06x32
Koordinat x pusat gravitasi =
170 + 50 + 50 +32

= 4.94
95.19x170+97.45x50+96.1x50+96.35x32
Koordinat x pusat gravitasi =
170 + 50 + 50 +32

= 95.84

Sehingga diperoleh (x,y) = (4.94 , 95.84)

Gambar 1. Titik Koordinat Pusat Gravitasi

Berdasarkan metode pusat gravitasi, Pelabuhan Perikanan yang layak dikembangkan


menjadi pelabuhan utama untuk ekspor ikan tuna di Aceh adalah Pelabuhan Kuala
Meureudu. Pada tahun 2012, Pemerintah Aceh untuk pertama kalinya mulai merintis
peningkatan status sejumlah pelabuhan perikanan, salah satunya mempersiapkan
pelabuhan ekspor tuna berstandar internasional. Pelabuhan Perikanan Kuala Meureudu
merupakan salah satu lokasi alternatif pembangunan pelabuhan ekspor tuna dengan
fasilitas modern di Pidie Jaya. Pelabuhan ekspor tersebut rencananya menjadi salah satu
infrastruktur prioritas yang mendukung pengembangan sejumlah komoditi ekspor lain di

B91
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia

Aceh, termasuk ekspor komoditi perkebunan, pertanian dan hasil industri lainnya (VOA
Indonesia, 2012).

Rencana pembangunan pelabuhan ekspor di Pidie Jaya cukup strategis dan berbatasan
langsung dengan akses perdagangan melalui jalur laut terpadat di dunia, yaitu berada di
sekitar perairan selat Malaka. Kalangan praktisi maritim sebelumnya mengatakan, wilayah
tangkapan tuna di Aceh salah satu yang terluas di Asia, mencakup hingga berbatasan
dengan perairan (internasional) di Selat Malaka, Laut Andaman serta Samudera Hindia di
bagian barat dan utara provinsi Aceh. Untuk mengembangkan potensi ini, dibutuhkan
komitmen para pihak yang berkepentingan dalam menghadapi masalah-masalah
lingkungan, stabilitas harga, kualitas dan kapasitas tangkapan hasil perikanan laut
termasuk tuna, agar lebih proporsional sesuai kebutuhan pasar ekspor, baik lokal maupun
global. Beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian serta pertimbangan dalam
pengembangan pelabuhan ekspor utama untuk komoditi ikan tuna adalah sebagai berikut:
1. Pertumbuhan/perkembangan ekonomi daerah penyangga (hinterland) dari pelabuhan
yang bersangkutan;
2. Perkembangan industri yang terkait dengan pelabuhan;
3. Data arus (cargo flow) sekarang dan perkiraan yang akan datang serta jenis dan
macam komoditi yang akan keluar masuk;
4. Tipe dan ukuran kapal yang diperkirakan akan memasuki pelabuhan;
5. Jaringan jalan (prasarana dan sarana angkutan dari/ke daerah penyangga;
6. Alur masuk/keluar menuju laut;
7. Aspek nautis dan hidraulis;
8. Dampak keselamatan dan lingkungan hidup;
9. Analisa ekonomi dan keuangan; dan
10. Koordinasi antara lembaga penyelenggara yang seimbang.

Kesimpulan

Berdasarkan metode pusat gravitasi, tulisan ini menyarankan Pelabuhan Perikanan yang
layak dikembangkan menjadi pelabuhan utama untuk ekspor ikan tuna di Aceh adalah
Pelabuhan Kuala Meureudu Pidie Jaya. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah perlu
mengembangkan pelabuhan perikanan ini sehingga menjadi pelabuhan ekspor tuna
terbesar dengan standar internasional sehingga dapat meningkatkan perekonomian
masyarakat Aceh.

Daftar Pustaka
Aksen, A., Altinkemer, K. (2008). A location-routing problem for the conversion to the
‘‘click-and-mortar” retailing: The static case, European Journal of Operational
Research, 186 : 554–575.
Ambrosino, D., Scutellà, M.G. (2005). Distribution network design: New problems and
related models, European Journal of Operational Research, 165 : 610–624.
Aghezzaf, E. (2005). Capacity planning and warehouse location in supply chains with
uncertain demands, Journal of the Operational Research Society, 56 : 453–462.
Avittathur, B., Shah, J., Gupta, O.K. (2005). Distribution centre location modelling for
differential sales tax structure, European Journal of Operational Research, 162 :
191–205.
Amiri. (2006). Designing a distribution network in a supply chain system: Formulation
and efficient solution procedure, European Journal of Operational Research 171
(2006) 567–576.
Chen, S., Liu, X. (2006). Factors That Affecting Logistics Center Location and One Site
Selecting Method. Weinan Teacher's college Journal, 21(2) : 22-24

B92
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia

Canel, C., Khumawala, B.M. (1997). Multi-period international facilities location: An


algorithm and application, International Journal of Production Economics 35 : 1891–
1910.
Canel, C., Khumawala, B.M. (2001). International facilities location: A heuristic
procedure for the dynamic uncapacitated problem, International Journal of
Production Research, 39 : 3975–4000.
Canel, C., Khumawala, B.M., Law, J., Loh, A. (2001). An algorithm for the capacitated,
multi-commodity multi-period facility location problem, Computers & Operations
Research 28 : 411–427.
Council of Supply Chain Management Professionals, (2017). <http://cscmp.org>
Carlsson, D.M. (2005). Rönnqvist, Supply chain management in forestry – Case
studies at södra cell AB, European Journal of Operational Research, 163 : 589–616.
Dasci, A., Verter, V. (2001). A continuous model for production–distribution system
design, European Journal of Operational Research 129 (2001) 287–298.
Eskigun, E., Uzsoy, R., Preckel, P.V., Beaujon, G., Krishnan, S., Tew, J.D. (2005)
Outbound supply chain network design with mode selection, lead times and
capacitated vehicle distribution centers, European Journal of Operational Research,
165 : 182–206.
Hakravarty, A.K. (2006 Global plant capacity and product allocation with pricing
decisions, European Journal of Operational Research 165 (2005) 157–181.
Klose, A.D. (2005). Facility location models for distribution system design,
European Journal of Operational Research 162 (2005) 4–29.
Render, B., Heizer, J. (2005). Prinsip-Prinsip Manajemen Operasi. Penerbit Salemba
Empat. Jakarta.

B93

Anda mungkin juga menyukai