Anda di halaman 1dari 12

KONSEP PERAN DAN TANGGUNG JAWAB MANUSIA DALAM

KEHIDUPAN DI DUNIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP


PENDIDIKAN ISLAM
Koko Khoerudin1) , Andewi Suhartini2) dan Adang Hambali3)
Nama lembaga dan alamat, kota, kode pos
1) Email: koko.khoerudin@uinsgd.ac.id
2)Email: andewisuhartini@uinsgd.ac.id
3)Email: adanghambali@uinsgd.ac.id

ABSTRAK

Allah menciptakan manusia dengan segala kesempurnaannya, berbeda dengan


makhluk lain. Karena Allah melengkapi penciptaannya, dengan adanya akal dan
pikiran. Semua ciptaan-Nya tidaklah sia-sia dan dengan keistimewaan yang Allah
berikan, manusia dijadikannya menjadi seorang khalifah di muka bumi dan
menjadikannya seorang ‘abdun. Peran dan tanggung jawab seorang hamba
sangatlah besar dalam kehidupannya ddi dunia ini, dan dalam dirinya telah melekat
melalui dua peran pokok: Yang utama adalah berperan sebagai ‘abdullah ( makhluk
sosial) yang bertugas untuk beribadah kepada Allah baik ibadah yang mahdhoh
maupun ghoir mahdhoh, dan peran kedua sebagai kholifatullah yang bertugas dan
bertanggung jawab untuk melestarikan bumi melalui proses pendidikan. Baik
sebagai ‘abdullah maupun sebagai kholifatullah dalam pelaksanaannya harus
berdasarkan pada tuntunan al-Qur’an dan al- Hadits Rasulullah SAW, sehingga
menggapai keselamatan dunia dan akhirat.

KATA KUNCI: Peran, Tanggung Jawab, dan Pendidikan Islam.

PENDAHULUAN
Dalam perjalanan hidup dan kehidupannya, manusia sebagai makhluk Allah
pada dasarnya mengemban amanah atau tugas-tugas kewajiban dan tanggungjawab
yang dibebankan oleh Allah kepadanya agar dipenuhi, dijaga dan dipelihara dengan
sebaik-baiknya. Al-Maraghy, ketika menafsirkan Q.S. al-Nisa’:58),
‫۞ ِا َّن ا ّٰلل َه يَأْ ُم ُر ُك ْم َا ْن تُ َؤ ُّدوا ْ َاْل ّٰم ّٰن ِت ِالّٰٰٓى َا ْه ِلهَ ۙا‬
ia mengemukakan bahwa amanah tersebut ada bermacam-macam bentuknya, yaitu:
Amanah hamba terhadap Tuhannya, yakni sesuatu yang harus dipelihara dan dijaga
oleh manusia, yang berupa mengikuti segala perintahNya dan menjauhi segala
laranganNya, serta menggunakan alat-alat potensialnya dan anggota badannya
dalam berbagai aktivitas yang bisa menimbulkan kemanfaatan baginya dan dapat
mendekatkan diri kepada Tuhannya, sehingga bila manusia melanggarnya, maka
berarti dia berkhianat kepada Tuhannya; Amanah hamba terhadap sesama manusia,
yakni mengembalikan barang-barang titipan kepada pemiliknya dan tidak mau
menipu, serta menjaga rahasia seseorang yang tidak pantas dipublikasikan; dan
Amanah manusia terhadap dirinya, yakni berusaha melakukan hal-hal yang lebih

1
baik dan lebih bermanfaat bagi dirinya untuk kepentingan agama dan dunianya,
tidak melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya baik untuk kepentingan
akhirat maupun dunianya, serta berusaha menjaga dan memelihara kesehatan
dirinya.
Di dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa manusia termasuk makhluk yang siap
dan mampu mengemban amanah tersebut ketika ditawari oleh Allah, sebaliknya
makhluk yang lain justeru enggan menerimanya atau tidak siap dan tidak mampu
mengemban amanah tersebut, sebagaimana firmanNya dalam Q.S. al-Ahzab : 72,
yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit,
bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya dan dipikullah amanah itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat dhalim dan bodoh” ().
Apa itu amanah? Ath-Thabathaba’i, ketika menafsirkan ayat tersebut, ia
mengemukakan bermacam-macam pengertian dari amanah, yaitu: (1) tugas-
tugas/beban kewajiban, sehingga bila orang mau mematuhinya, maka akan
dimasukkan ke dalam surga, sebaliknya bila melanggarnya akan dimasukkan ke
neraka; (2) akal, yang merupakan sendi bagi pelaksanaan tugas-tugas/beban
kewajiban dan tempat bergantungnya pahala dan siksa; (3) kalimah “La ilaaha illa
Allah; (4) anggota-anggota badan, termasuk di dalamnya alat-alat potensial atau
potensi-potensi dasar manusia, yang mampu mengemban dan melaksanakan
amanah dari Allah yang harus dijaga dan hanya digunakan dalam batas-batas yang
diridlai olehNya; (5) ma’rifah kepada Allah.
Pengertian yang keempat itulah, menurut Ath-Thabathaba’i, yang lebih
mendekati kebenaran. Al-Raghib al-Asfahani, pakar bahasa al-Qur’an, mengemu-
kakan beberapa pengertian tentang amanah, yaitu: (1) kalimah tauhid; (2) al-’adalah
(menegakkan keadilan); (3) akal. Menurut Al-Asfahani, bahwa pengertian yang
ketiga itulah yang benar, karena dengan akal bisa tercapai ma’rifah tauhid, bisa
terwujudkan keadilan dan mampu menjangkau berbagai ilmu pengetahuan dan
sebagainya, bahkan akal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk yang
lain.
Dari beberapa pendapat ahli tafsir tersebut dapat difahami bahwa tugas hidup
manusia – yang merupakan amanah dari Allah – itu pada intinya ada dua macam,
yaitu : ’Abdullah (menyembah atau mengabdi kepada Allah), dan Khalifah Allah,
yang keduanya harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab.
Maka dengan demikian, manusia dituntut dalam melaksanakan kedua peran
tersebut untuk bertanggung jawab, terhadap dirinya sendiri, kepada keluarga, serta
masyarakat. Dan lebih uhnya lagi kepada bangsa dan negara serta yang teringgi
tentunya tanggung jawab terhadap Allah Sang Maha Pencipta mempunyai arti yang
teramat penting, tanggun g jawab dan peran manusia bagi pendidikan agama Islam.
Perannya sebagai makhluk sempurna, diperoleh sebagai identitas muslim dengan
menjadi seorang hamba Allah, dan khalifah Allah beserta potensi lainnya. Benar-
benar telah dilakukan integrasi secara seimbang dalam kesatuan yang utuh. Dari
uraian tersebut dalam konsep Islam peran dan tanggung jawab manusia dapat
dilihat dari implikasinya terhadap pelaksanaan pendidikan Islam.

2
METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan
menerapkan studi pustaka atau library research, sumber-sumber penelitian
berdasarkan sumber kepustakaan seperti buku, artikel ilmiah, dan yang lainnya.
Setelah sumber-sumber tersebut terhimpun terutama yang membahas mengenai
tujuan penciptaan Allah terhadap makhluk-nya sebagai landasan religius tujuan
pendidikan Islam, sumber tersebut dikategorisasikan berdasarkan dengan
pertanyaan penelitian. Kemudian, data-data yang didapatkan dari sumber-sumber
yang telah dikategorisasikan itu diabstraksikan oleh penulis untuk menampilkan
fakta mengenai pendapat dan pemikiran tentang peran dan tanggunjawab manusia
sebagai abdullah dan sebagai kholifatullah dengan mengkomparasi fakta dan lain
mengenai tugas dan tanggunjawab manusia di dunia. Fakta tersebut kemudian oleh
penulis dideskrispisan untuk menghasilkan informasi atau pengetahuan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Pengertian Tanggungjawab
Widagdho (1999) mengatakan bahwa Tanggung jawab adalah kesadaran
manusia atas tingkahlaku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak
disengaja. Tanggung jawab juga berartiperbuatansebagai wujud dari kesadaran
akan kewajibannya. Tanggung jawab erat kaitannya dengan kewajiban. Kewajiban
adalah sesuatu yang dibebankan terhadap seseorang. Kewajiban merupakan
bandingan terhadap hak, dan dapat juga tidak mengacu terhadap hak. Maka
tanggung jawab dalam hal ini adalah tanggung jawab terhadap kewajbannya (Franz
Magnis Suseno, 1986).
Tanggung jawab menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2008) adalah
keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (Rahmawati, L., 2015) Artinya jika
ada sesuatu hal boleh dituntut, dipersalahkan diperkarakan dan sebagainya.Orang
yang bertanggungjawab adalah orang yang berani menanggung resiko atas segala
hal yang menjadi tanggung jawabnya, jujur terhadap dirinya dan jujur terhadap
orang lain, adil, bijaksana, tidak pengecut dan mandiri. Dengan rasa tanggung
jawab, orang yang bersangkutan akan selalu berusaha memenuhi kewajibannya
melalui seluruh potensi dirinya. Orang yang bertanggung jawab adalah orang mau
berkorban untuk kepentingan orang lain ataupun orang banyak.
Ismail Suny dalam Nasution (2011: 50-51) menyebutkan dalam teori hukum
dikenal 2 (dua) macam pengertian tanggung jawab. Pertama ialah tanggung jawab
dalam arti sempit yaitu tanggung jawab tanpa sanksi dan yang kedua ialah tanggung
jawab dalam arti luas yaitu tanggung jawab dengan sanksi (Lengari, M. F. L., 2019)
Bertanggung jawab dimaksudkan sebagai suatu keadaan dimana semua
tindakan atau perbuatan atau sikap merupakan penjelmaan dari nilai-nilai moral
serta nilai-nilai moral serta nilai-nilai luhur kesusilaan dan atau keagamaan. Bisa
dikatakan juga bahwa bertanggung jawab berarti berada dalam tatanan norma, nilai
kesusilaan, dan agama, dan tidak diluarnya. Segala tindakan, perbuatan atau sikap
yang berada di luar bidang nilai atau norma kesusilaan dan agama tidak dapat
dipertanggungjawabkan (Sadullo, 2011: 175-176 (Lengari, M. F. L., 2019)
Tanggung jawab dalam konteks pergaulan manusia adalah keberanian. Orang
yang bertanggung jawab adalah orang yang berani menanggung resiko atas segala

3
yang menjadi tanggung jawabnya. Dia jujur terhadap dirinya dan jujur terhadap
orang lain, tidak pengecut dan mandiri. Dengan rasa tanggung jawab, orang yang
bersangkutan berusaha melalui seluruh potensi dirinya. Selain itu juga orang yang
bertanggung jawab adalah orang yang mau berkorban demi kepentingan orang
lain.Yaumi (2014) menulis beberapa pemahaman umum tentangtanggung jawab,
yaitu; (a) Tanggung jawab adalah mengerjakan tugas yang diberikan oleh orang
lain, (b) tanggung jawab menjaga sesuatu,(c)tanggung jawab adalah menolong
orang lain atau sesama ketika sedang membutuhkan pertolongan, (d) tanggung
jawab adalah keadilan, (e) tanggung jawab adalah membantu membuat lingkungan
sekitar kita (dunia) menjadi lebih baik, (f) tanggung jawab juga dapat dimaknai
dengan menjalankan perintah dari Tuhan Yang Maha Esa

B. Peran dan Tanggungjawab Manusia di Muka Bumi


1. Peran dan Tanggungjawab manusia sebagai ’Abdullah (hamba Allah):
Peran manusia sebagai ’Abdullah merupakan realisasi dari mengemban
amanah dalam arti: memelihara beban/tugas-tugas kewajiban dari Allah yang harus
dipatuhi, kalimah La ilaaha illa Allah atau kalimat tauhid, dan atau ma’rifah
kepadaNya. Sedangkan Khalifah Allah merupakan realisasi dari mengemban
amanah dalam arti: memelihara, memanfaatkan, atau mengoptimalkan penggunaan
segala anggota badan, alat-alat potensial (termasuk indera, akal dan qalbu) atau
potensi-potensi dasar manusia, guna menegakkan keadilan, kemakmuran dan
kebahagiaan hidup.
Peran manusia sebagai ’abdullah bisa difahami dari firman Allah dalam Q.S.
Adz-Dzariyat ayat 56: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Mengapa manusia berperan sebagai ‘abdullah? Untuk menjawab masalah ini
bisa dikaitkan dengan proses kejadian manusia yang pada dasarnya manusia terdiri
atas dua substansi, yaitu jasad/materi dan roh/immateri. Jasad manusia berasal dari
alam materi (saripati yang berasal dari tanah), sehingga eksistensinya mesti tunduk
kepada aturan-aturan atau hukum Allah yang berlaku di alam materi (Sunnatullah).
Sedangkan roh-roh manusia, sejak berada di alam arwah, sudah mengambil
kesaksian di hadapan Tuhannya, bahwa mereka mengakui Allah sebagai Tuhannya
dan bersedia tunduk dan patuh kepadaNya (Q.S. al-A’raf: 172). Karena itulah, kalau
manusia mau konsisten terhadap eksistensi dirinya atau naturnya, maka salah satu
peran dan tugas hidup yang harus dilaksanakannya adalah ’abdullah (hamba Allah
yang senantiasa tunduk dan patuh kepada aturan dan KehendakNya serta hanya
mengabdi kepadaNya).
Hanya saja diri manusia juga telah dianugerahi kemampuan dasar untuk
memilih atau mempunyai “kebebasan” (Q.S. al-Syams: 7-10), sehingga walaupun
roh Ilahi yang melekat pada tubuh material manusia telah melakukan perjanjian
dengan Tuhannya (untuk bersedia tunduk dan taat kepadaNya), tetapi
ketundukannya kepada Tuhan tidaklah terjadi secara otomatis dan pasti
sebagaimana robot, melainkan karena pilihan dan keputusannya sendiri. Dan
manusia itu dalam perkembangannya dari waktu ke waktu suka melupakan
perjanjian tersebut, sehingga pilihannya ada yang mengarah kepada pilihan baiknya

4
(jalan ketaqwaan) dan ada pula yang mengarah kepada pilihan buruknya (jalan
kefasikan).
Karena itu Allah selalu mengingatkan kepada manusia, melalui para Nabi atau
Rasul-rasulNya sampai dengan Nabi Muhammad SAW. sebagai nabi/rasul terakhir,
agar manusia senantiasa tetap berada pada naturnya sendiri, yaitu taat, patuh dan
tunduk kepada Allah SWT. (’abdullah). Setelah rasulullah SAW. wafat, maka tugas
memperingatkan manusia itu diteruskan oleh para shahabat, dan para pengikut Nabi
SAW. (dulu sampai sekarang) yang setia terhadap ajaran-ajaran Allah dan
rasulNya, termasuk di dalamnya adalah para pendidik muslim.
2. Peran dan Tanggungjawab Manusia sebagai Khalifah Allah
Peran manusia juga sebagai khalifah Allah di muka bumi. Hal ini dapat
difahami dari firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah: 30: ”Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau
dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui.”
Apa yang dimaksud dengan khalifah? Kata khalifah berasal dari kata “khalf”
(menggantikan, mengganti), atau kata “khalaf” (orang yang datang kemudian)
sebagai lawan dari kata “salaf” (orang yang terdahulu). Sedangkan arti khilafah
adalah menggantikan yang lain, adakalanya karena tidak adanya (tidak hadirnya)
orang yang diganti, atau karena kematian orang yang diganti, atau karena
kelemahan/tidak berfungsinya yang diganti, misalnya Abu Bakar ditunjuk oleh
umat Islam sebagai khalifah pengganti Nabi SAW, yakni penerus dari perjuangan
beliau dan pemimpin umat yang menggantikan Nabi SAW. setelah beliau wafat,
atau Umar bin Khattab sebagai pengganti dari Abu Bakar dan seterusnya; dan
adakalanya karena memuliakan (memberi penghargaan) atau mengangkat
kedudukan orang yang dijadikan pengganti. Pengertian terakhir inilah yang dimak-
sud dengan “Allah mengangkat manusia sebagai khalifah di muka bumi”,
sebagaimana firmanNya dalam Q.S. Fathir ayat 39, Q.S. al-An’am ayat 165.
Manusia adalah makhluk yang termulia di antara makhluk-makhluk yang lain
(Q.S. al-Isra’: 70) dan ia dijadikan oleh Allah dalam sebaik-baik bentuk/kejadian,
baik fisik maupun psikhisnya (Q.S. al-Tin: 5), serta dilengkapi dengan berbagai alat
potensial dan potensi-potensi dasar (fitrah) yang dapat dikembangkan dan
diaktualisasikan seoptimal mungkin melalui proses pendidikan. Karena itulah maka
sudah selayaknya manusia menyandang tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi antara lain menyangkut tugas
mewujudkan kemakmuran di muka bumi (Q.S. Hud : 61), serta mewujudkan
keselamatan dan kebahagiaan hidup di muka bumi (Q.S. al-Maidah : 16), dengan
cara beriman dan beramal saleh (Q.S. al-Ra’d : 29), bekerjasama dalam
menegakkan kebenaran dan bekerjasama dalam menegakkan kesabaran (Q.S. al-
’Ashr : 1-3). Karena itu tugas kekhalifahan merupakan tugas suci dan amanah dari
Allah sejak manusia pertama hingga manusia pada akhir zaman yang akan datang,
dan merupakan perwujudan dari pelaksanaan pengabdian kepadaNya (’abdullah).

5
Tugas-tugas dan tanggungjawab kekhalifahan tersebut menyangkut: tugas
kekhalifahan terhadap diri sendiri; tugas kekhalifahan dalam keluarga/rumah
tangga; tugas kekhalifahan dalam masyarakat; dan tugas kekhalifahan terhadap
alam.
Peran kekhalifahan terhadap diri sendiri meliputi tugas dan tanggung jawab:
(1) menuntut ilmu pengetahuan (Q.S.al-Nahl: 43), karena manusia itu adalah
makhluk yang dapat dan harus dididik/diajar (Q.S. al-Baqarah: 31) dan yang
mampu mendidik/mengajar (Q.S. Ali Imran: 187, al-An’am: 51); (2) menjaga dan
memelihara diri dari segala sesuatu yang bisa menimbulkan bahaya dan
kesengsaraan (Q.S. al-Tahrim: 6) termasuk di dalamnya adalah menjaga dan
memelihara kesehatan fisiknya, memakan makanan yang halal dan sebagainya; dan
(3) menghiasi diri dengan akhlak yang mulia. Kata akhlaq berasal dari kata khuluq
atau khalq. Khuluq merupakan bentuk batin/rohani, dan khalq merupakan bentuk
lahir/ jasmani. Keduanya tidak bisa dipisahkan, dan manusia terdiri atas gabungan
dari keduanya itu yakni jasmani (lahir) dan rohani (batin). Jasmani tanpa rohani
adalah benda mati, dan rohani tanpa jasmani adalah malaikat. Karena itu orang yang
tidak menghiasi diri dengan akhlak yang mulia sama halnya dengan jasmani tanpa
rohani atau disebut mayit (bangkai), yang tidak saja membusukkan dirinya, bahkan
juga membusukkan atau merusak lingkungannya.
Peran dan tanggungjawab kekhalifahan dalam keluarga/rumah tangga meliputi
tugas membentuk rumah tangga bahagia dan sejahtera atau keluarga sakinah dan
mawaddah wa rahmah/cinta kasih (Q.S. ar-Rum: 21) dengan jalan menyadari akan
hak dan kewajibannya sebagai suami-isteri atau ayah-ibu dalam rumah tangga.
Tugas kekhalifahan dalam masyarakat meliputi tugas-tugas : (1) mewujudkan
persatuan dan kesatuan umat (Q.S. al-Hujurat: 10 dan 13, al-Anfal: 46); (2) tolong
menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan (Q.S. al-Maidah: 2); (3) menegakkan
keadilan dalam masyarakat (Q.S. al-Nisa’: 135); (4) bertanggung jawab terhadap
amar ma^ruf nahi munkar (Q.S. Ali Imran: 104 dan 110); dan (5) berlaku baik
terhadap golongan masyarakat yang lemah, termasuk di dalamnya adalah para fakir
dan miskin serta anak yatim (Q.S. al-Taubah: 60, al-Nisa’: 2), orang yang cacat
tubuh (Q.S. ’Abasa: 1-11), orang yang berada di bawah penguasaan orang lain dan
lain-lain.
Sedangkan peran dan tanggungjawab kekhalifahan terhadap alam (natur)
meliputi tugas-tugas: (1) mengkulturkan natur (membudayakan alam), yakni alam
yang tersedia ini agar dibudayakan, sehingga menghasilkan karya-karya yang
bermanfaat bagi kemaslahatan hidup manusia; (2) menaturkan kultur (mengalam-
kan budaya), yakni budaya atau hasil karya manusia harus disesuaikan dengan
kondisi alam, jangan sampai merusak alam atau lingkungan hidup, agar tidak
menimbulkan malapetaka bagi manusia dan lingkungannya; dan (3) mengIslamkan
kultur (mengIslamkan budaya), yakni dalam berbudaya harus tetap komitmen
dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil-’alamin, sehingga berbudaya berarti
mengerahkan segala tenaga, cipta, rasa dan karsa, serta bakat manusia untuk
mencari dan menemukan kebenaran ajaran Islam atau kebenaran ayat-ayat serta
keagungan dan kebesaran Ilahi.
Dari berbagai uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai
makhluk Allah harus mampu mengemban amanah dari Allah, yaitu menjalankan

6
tugas-tugas hidupnya di muka bumi. Manusia sebagai makhluk Allah mempunyai
dua tugas utama, yaitu: (1) sebagai ’abdullah, yakni hamba Allah yang harus
tunduk dan taat terhadap segala aturan dan KehendakNya serta mengabdi hanya
kepadaNya; dan (2) sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang meliputi
pelaksanaan tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri, dalam keluarga/rumah
tangga, dalam masyarakat, dan tugas kekhalifahan terhadap alam.

C. Peran dan Tanggung Jawab Manusia Implikasinya terhadap Pendidikan


Islam
Implikasi dari Peran dan Tanggung Jawab Manusia terhadap pendidikan,
sebagaimana Hasan Langgulung (Hasan Langgulung, 2004) sebagai berikut:
1. Peran Abdullah di bumi dan implikasinya pada tujuan Pendidikan
Kata ábd disamping mempunyai arti budak, dalam pengertian negatif, ia juga
mengandung pengertian yang positif, yaitu dalam hubungan antara manusia dengan
penciptanya. Seorang hamba Tuhan artinya orang yang taat dan patuh terhadap
perintah-Nya . Kata ‘abid dalam Al-Qur’an dipakai untuk menyebut semua manusia
dan jin (QS Adz-Zariyat:56)
ِ ُ‫َو َما َخلَ ْق ُت ٱلْ ِج َّن َوٱ ْْل َنس ا َّْل ِل َي ْع ُبد‬
‫ون‬ ﴾٦٥﴿
Kata “ibadah” diartikan sebagai sesuatu kegiatan penyembahan,
ِ ِ atau pengabdian
kepada Allah. dalam pengertian sempit, kata ibadah hanya menunjuk pada segala
aktifitas pengabdian yang sudah digariskan oleh syariat Islam, baik bentuknya, caranya,
waktunya serta syarat dan rukunnya (Mahmud, dkk., 2015, hlm. 12)
Sedang dalam pengertian luas, ibadah tidak hanya terbatas pada hal-hal yang
disebutkan di atas, namun mencakup segala aktivitas pengabdian yang ditujukan
kepada Allah semata. Ibadah dalam Islam lebih merupakan amal saleh dan latihan
spiritual yang berakar dan diikat oleh makna yang hakiki dan bersumber dari fitrah
manusia (Mahmud, dkk., 2015, hlm. 12)
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagai ‘abd pada dasarnya
merupakan kesatuan pembentuk kebudayaan. Kebudayaan dibentuk oleh adanya
pendidikan dan pemikiran terhadap alam sekitarnya dan pemahaman terhadap hukum-
hukumnya yang kemudian diwujudkan dalam tindakan (Mahmud, dkk., 2015, hlm. 12)

2. Khalifah Allah di bumi dan implikasinya pada tujuan Pendidikan


Menurut Hasan Langgulung, manusia dianggap sebagai khalifah Allah, ia tidak
dapat memegang tanggung jawab sebagai khalifah kecuali kalau manusia dilengkapi
dengan potensi-potensi. Ada ada empat macam ciri yang dimiliki manusia sebagai
khalifah (Hasan Langgulung, 2004, hlm. 74–75) Empat ciri-ciri tersebut adalah :
a. Fitrah manusia.
b. Pemuasan terhadap kebutuhan jasmani (biologis) dan ruhani
c. Kebebasan manusia
d. Akal fikiran.
Ciri-ciri khalifah beserta implikasinya dalam pendidikan Islam .
a. Fitrah manusia dan implikasinya terhadap pendidikan
Menurut Hasan Langgulung, fitrah adalah potensi yang baik. Hadis yang
bermakna “Setiap anak-anak dilahirkan dengan fitrah. Hanya ibu bapaknyalah yang
menyebabkan ia menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. Tetapi hal ini tidak bermakna
7
bahwa manusia itu menjadi hamba kepada lingkungan, seperti pendapat ahli-ahli
behaviorisme. Pada dasarnya fitrah manusia asalnya suci dan seharusnya berkembang
kearah yang lebih baik. Manusia yang telah diberi potensi yang baik oleh Allah karena
itu biarpun anak diajar tidak diajar ia dengan sendirinya akan sesuai dengannya, kecuali
kalau ia didik dengan sebaliknya yaitu kearah yang mengingkari agama (Hasan
Langgulung, 2004, hlm. 214–215) Fitrah adalah tiada lain dari sifat-sifat Tuhan yang
ditiupkan Tuhan kepada setiap manusia sebelum lahir, dan pengembangan sifat-sifat
itu setinggi-tingginya (Hasan Langgulung, 1999:59) dalam (Mahmud, dkk., 2015, hlm.
29)
Senada dengan hal ini, menurut Dr. Jalaluddin, manusia memiliki beberapa potensi
utama yang secara fitrah dianugerahkan Allah kepadanya, yaitu :
1) Hidayat al-Ghariziyat (potensi naluriah)
Yaitu dorongan primer yang berfungsi untuk memelihara keutuhan dan kelanjutan
manusia. Diantara dorongan tersebut adalah berupa instink untuk memelihara diri,
seperti makan, minum, penyesuaian tubuh terhadap lingkungan dan sebagainya.
2) Hidayat al-Hassiyat (potensi inderawi)
Potensi inderawi erat kaitannya dengan peluang manusia untuk mengenal sesuatu
diluar dirinya. Melaui alat indera penglihatan, penciuman, pendengaran, perasa, peraba
dan lain-lain.
3) Hidayat al-Aqliyyat (potensi akal)
Potensi akal memberi kemampuan pada manusia untuk memahami simbol-
simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisa, membandingkan maupun membuat
kesimpulan dan dapat memilih hal yang benar atau salah. Akal juga dapat mendorong
manusia berkreasi dan berinovasi dalam menciptakan kebudayaan serta peradaban.
4) Hidayat al-Diniyyat (potensi keagamaan)
Pada diri manusia sudah ada dorongan keagamaan yaitu dorongan untuk
mengabdi kepada sesuatu yang lebih tinggi, yaitu Tuhan yang menciptakan alam
semesta beserta isinya (Jalaluddin, 2000)
Menurut ahli-ahli pendidikan, untuk mengolah potensi-potensi (fitrah) yang
tersembunyi itulah tugas utama pendidikan, yaitu merobah (transform) potensi-potensi
itu menjadi kemahiran atau keahlian yang dapat dinikmati oleh manusia. Seperti
keahlian dalam hal intelektual (Intelectual ability) tidak ada gunanya kalau hanya disimpan
di kepala para ahli ilmu, ia akan berguna kalau keahliannya itu sudah dirobah menjadi
penemuan-penemuan ilmiah dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan (Mahmud,
dkk., 2015, hlm. 30)
Potensi-potensi manusia yang meliputi (fisik, mental dan spiritual) adalah sesuatu
yang penting dalam perkembangan manusia itu sendiri baik sebagai individu maupun
masyarakat bahkan untuk menciptakan peradaban yang tinggi dan memelihara
perdamaian di dunia ini, dengan syarat mereka beriman dan beramal saleh, kalau tidak
maka potensi-potensi yang dimiliki manusia akan menjadi tenaga penghancur dan
perusak manusia dan kemajuan yang telah diciptakannya sendiri.
Kaitannya dengan fungsi iman dalam Islam adalah menjadi dasar segala nilai-nilai
kehidupan politik, ekonomi, sosial, ilmu filsafat, dan lain-lainnya yang selanjutnya
merupakan aspek penggerak (motivational aspect) terhadap segala tindakan manusia
(Hasan Langgulung, 2004, hlm. 124)
Implikasi lainnya adalah pendidikan diarahkan untuk bertumpu pada tauhid. Hal
ini dimaksudkan untuk menciptakan hubungan yang mengikat manusia dengan Allah

8
Swt. Apasaja yang dipelajari anak didik seharusnya tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip tauhid. Untuk itu kurikulum pendidikan Islam harus menekankan pada konsep
tahuid ini (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993, hlm. 29)
b. Pemuasan Kebutuhan jasmani dan ruhani serta implikasikasi terhadap
pendidikan
Menurut Hasan Langgulung jasmani tempat melekatkanya kebutuhan-kebutuhan
bukanlah itu saja. Badan hanyalah salah satu unsur ke mana ditambahkan lagi sesuatu
yang berlainan. Interaksi roh dengan badan menghasilkan khalifah. Roh inilah unsur
kedua yang penting yang membedakan khalifah itu. Kata roh digunakan dalam Al-
Qur’an, atau seorang malaikat, atau terutama Jibril atau Isa, atau makhluk spiritual yang
bersatu dengan badan (Hasan Langgulung, 2004, hlm. 218)
Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa kehidupan manusia bergantung pada
wujudnya roh di dalam badannya. Hilangnya roh dari badan bermakna mati. Tentang
bagaimana bentuk roh itu, dicegah oleh Al-Qur’an mempersoalkannya yaitu:
﴾٥٦﴿ ‫وح ِم ْن َٔٱ ْم ِر َربِىى َو َما ٰٓ ُٱو ِتي ُتم ِم َن ٱلْ ِعلْ ِم ا َّْل قَ ِل ايًل‬
ُ ‫َوي َْسـَٔلُون ََك َع ِن ٱ ُّلرو ِح قُ ِل ٱ ُّلر‬
ِ
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah : “Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (Q.S. Al-
Isra : 85)
Roh merupakan amanah Allah yang diberikan kepada manusia. selanjutnya tugas
manusia untuk memelihara dan mengembangkan roh dengan berbagai pendidikan
rohaniah.
Peranan keluarga dalam pendidikan jasmani menurut Hasan Langgulung sangat
penting. Anak-anak harus mengetahui pentingnya pendidikan jasmani. Anak-anak
harus dibiasakan dalam menjaga kesehatan pribadinya. Sikap ini harus diberikan orang
tua kepada anak-anaknya menurut tingkat pemikiran mereka. Peranan keluarga dalam
pendidikan jasmani juga dapat dilaksanakan sebelum bayi dilahirkan. Yaitu dengan
melalui pemeliharaan terahadap kesehatan ibu dan memberinya makanan yang baik
dan sehat, sebab hal itu berpengaruh pada anak dalam kandungan.
Diantara cara-cara yang dapat membantu untuk mencapai tujuan-tujuan
pendidikan jasmani adalah memberi anak-anak makanan yang sehat dan cukup
kandungan gizi. Juga harus diperhatikan upaya memberikan pencegahan terhadap
penyakit yang biasa menyerang anak-anak. Membiasakan anak-anak berolah raga untuk
melatih otot-otot dan anggota tubuh lainnya. Dan yang terpenting adalah menjaga
kebersihan lingkungan anak-anak yang menjadi kediaman mereka (Hasan Langgulung,
1999:78). Mengenai pendidikan rohani Ada beberapa jalan yang harus ditempuh dalam
mengembangkan roh dengan berbagai pendidikan rohaniah (Muhaimin dan Abdul
Mujib, 1993, hlm. 10) seperti:
1) Memberikan pendidikan Islami untuk mengenal Allah Swt.
2) kurikulum pendidikan Islam ditetapkan dengan mengacu pada petunjuk Allah
yang bersumber dalam Al-Qur’an dan Sunnah
3) Pendidikan diarahkan untuk mampu mengemban amanah berupa tugas
sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah Allah
4) Pendidikan tidak berakhir sampai usia berapapun tidak beakhir setelah roh
meninggalkan jasad. Untuk itu pendidikan diarahkan pada pendidikan seumur
hidup.

9
c. Kebebasan Manusia dan implikasinya terhadap metode pendidikan
Aspek ketiga pada sifat-sifat manusia lainnya adalah kebebasan kemauan. Menurut
Hasan Langgulung masalah kebebasan kemauan manusia betul-betul mendapat tempat
khusus dalam sejarah pemikiran Islam, dan dianggap masalah-masalah intelektual yang
pertama kali mendapat perhatian kaum Muslimin. Beberapa mazhab telah mengkaji
tentang kemauan kebebasan secara mendalam dan sungguh-sungguh sehingga
memunculkan berbagai aliran dalam ilmu kalam. Permasalahan yang timbul adalah
membuat sentesis antara aqal (akal) dan naql (wahyu) (Hasan Langgulung, 1991:268)
Manusia boleh menerima atau menolak untuk percaya kepada Allah. Dia memiliki
kebebasan kemauan. Kemauannya yang bebas menyebabkan ia memilih apa yang baik
dengan berinteraksi melalui fitrahnya sebagai hamba Allah (Hasan Langgulung, 2004,
hlm. 79)
Kebebasan adalah salah satu hak-hak tabi’i manusia. Diantara hak-hak tabi’i
manusia yang paling menonjol adalah hak untuk hidup, hak untuk bebas, hak untuk
mewakili dan diwakili, hak untuk mendapat ketentraman, hak untuk mendapat
persamaan dan keadilan dan lain-lain.
Implikasi dari konsep kebebasan manusia sudah jelas pada pendidikan Islam. Bila
murid percaya bahwa tingkah lakunya telah ditentukan lebih dahulu maka ia tentu akan
memiliki sikap passif. Mungkin ia tiak mau bekerja keras. Kegagalan atau keberhasilan
karena disebabkan oleh faktor-faktor dari luar yaitu oleh Tuhan. Akan tetapi, kalau kita
berpendapat sebaliknya, bahwa bila seseorang percaya pada tanggung jawab pada
sesuatu tentunya akan memberi makna yang lebih dalam kepada pendidikan.
Pendidikan menumpukan perhatian untuk menolong murud-murid memilih berbagai
pilihan dan memilih yang benar dan baik. Pendidikan tidak apat dipandang sebagai
proses yang memaksakan kehendak dimana guru menentukan setiap langkah yang
harus diambil oleh setiap murid. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu
memelihara kebebasan lebih bersifat bimbingan daripada sebagai paksaan kepada anak
didik (Abdurrahman Abdullah, 1994, hlm. 84)
d. Potensi akal (‘aql ) dan implikasinya terhadap pendidikan Islam
Dalam pandangan Islam, akal merupakan potensi manusia yang paling penting.
Itulah yang mendasari pentingnya akal dalam memahami rukun iman. Dalam Al-
Qur’an kata ‘aqal dengan berbagai bentuknya banyak disebut, seperti kata
ta’qilun/ya’qilun, terdapat sebanyak 46 ayat, kemudian 14 ayat yang menyebutkan kata
tatafaqqarun, 13 ayat yang menyatakan yafqahum. Ayat-ayat ini menganjurkan untuk
berfikir atau peringatan bagi orang yang berfikir (Abdurrahman An-Nahlawi,
1995:125). Kata ‘Aql tidak pernah muncul dalam Al-Qur’an sebagai kata benda abstrak
(masdar). tetapi sebagi kata-kata kerja, dengan kerbagai bentuknya. Semuanya
menunjukkan aspek pemikiran pada manusia, seperti surat di atas (ta’qilun) (Hasan
Langgulung, 2000:304)
Keberadaan akal sangat dihargai oleh Allah, sebagai mana firman Allah dalam Al-
Qur’an QS Al-Baqoroh:164 :
‫ا َّن ِفى َخلْ ِق ٱ َّلس َم َٰ َ َٰو ِت َوٱ ْ َْٔل ْر ِض َوٱ ْخ ِتلَ َٰ ِف ٱل َّ ْيلِ َوٱلنَّه َِار َوٱلْ ُفلْ ِك ٱل َّ ِتى تَ ْج ِرى ِفى ٱلْ َب ْح ِر ِب َما يَن َف ُع‬
ِ
ٍ ٍ َّ ‫ٱلنَّ َاس َو َما ٰٓ َٔٱ َنز َل ٱلل َّ ُه ِم َن ٱ َّلس َما ٰٓ ِء ِمن َّما ٰٓ ٍء فَأَٔ ْح َيا ِب ِه ٱ ْ َْٔل ْر َض ب َ ْعدَ َم ْو ِتهَا َوب َ َّث ِفيهَا ِمن ُك ِل َدآٰب‬
﴾٤٥١﴿ ‫ون‬ َ ُ‫َوت َْص ِر ِيف ٱ ِلري َ َٰ ِح َوٱ َّلس َح ِاب ٱلْ ُم َس َّخ ِر بَيْ َن ٱ َّلس َما ٰٓ ِء َوٱ ْ َْٔل ْر ِض َل َءاي َ َٰ ٍت ِل َق ْو ٍم ي َ ْع ِقل‬
10
Keahlian mengamati sesuatu yang bermakna, memahami dan menggambarkan
sebab-sebab dan akibat sesuatu. Diantara fungsi akal adalah mencipta yang berpangkal
pada berfikir, tetapi lebih tinggi dari itu adalah dengan melalui pengamatan dengan
melibatkan unsur yang disebut daya kreativitas (creativity).
Berakal menurut Hasan Langgulung, bukan sekedar kecerdasan tetapi
kesanggupan membedakan yang baik dari yang buruk dengan memikirkan kejadian
langit dan bumi. Sedangkan fungsi akal adalah mencegah manusia supaya jangan
menghancurkan diri sendiri. Hal inilah yang belum dikembangkan oleh pendidikan
modern (Hasan Langgulung, 2000:225)
Islam menurut Hasan Langgulung memberikan jawaban yaitu dengan ihsan,
Rasulullah saw. Menjelaskan arti Ihsan ialah “bahwa engkau menyembah Allah seperti
engkau melihat Dia, sebab kalau engkau tidak melihat Dia niscaya Dia melihat engkau”.
Itulah cara mengembangkan hati nurani (super-ego). Yaitu bahwa segala tingkah laku
(behavior) kita berada dibawah pengawasan Allah Swt (Hasan Langgulung, 2000:225)
Menurut Hasan Langgulung, walaupun pendidikan akal telah dikelola oleh institusi
pendidikan, namun di dalam keluarga, pendidikan akal mendapat perhatian yang besar.
Peranan keluarga tidak dapat dibebaskan dari tanggung jawab ini. Bahkan menjadi
tanggung jawab yang besar sebelum anak-anak harus disekolahkan. Keluarga bertugas
untuk menolong anak-anaknya menemukan, membuka dan menumbuhkan kesediaan,
bakat dan minat serta kemampuan-kemampuan akalnya dan membiasakan sikap
intelektual yang sehat dan melatih indera kemampuan-kemampuan akal tersebut
(Hasan Langgulung, 2000:366)
Muhaimin berpendapat, bahwa berbagai potensi dasar atau fitrah manusia tersebut
harus ditumbuhkembangkan secara optimal dan terpadu melalui proses pendidikan
sepanjang hayatnya. Manusia diberi kebebasan/kemerdekaan berfikir untuk berikhtiar
mengembangkan potensi-potensi dasar atau fitrah manusia tersebut. Namun demikian,
dalam pertumbuhan dan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari adanya batas-
batas tertentu, yaitu adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap menguasai alam, yaitu
taqdir (“Keharusan Universal”atau kepastian umum” sebagai batas akhir dari ikhtiar
manusia dalam kehidupan di dunia).
Disamping itu, pertumbuhan dan perkembangan potensi manusia juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor hereditas, lingkungan alam dan geografis, lingkungan
sosio-kultural, sejarah dan faktor-faktor temporal (Muhaimin, 2022, hlm. 19). Dalam
ilmu pendidikan, faktor yang menentukan keberhasilan pendidikan itu ada lima yang
saling berkaitan dan berpengaruh satu sama lain, yaitu faktor tujuan, pendidik, peserta
didik,alat pendidikan, dan milieu/lingkungan.

KESIMPULAN
Dibanding makhluk-makhluk lain, manusia merupakan iptaan Maha sempurna
Allah SWT, dengan kesempurnaan akal pikiran yang telah dianugerahkan dan yang
tidak ada pada makhluk lain. Itulah kemuliaan-Nya yang diberikan kepada manusia
yang merupakan proses kehidupan yang akan dilalui dengan terlahirnya ke dunia.
Allah menciptakan manusia hanya untuk menyembahnya, yang memiliki peran
sangat ideal yaitu memakmurkan bumi dan memelihara serta mengembangkannya
untuk kemaslahatan hidup manusia. Sehingga manusia akan diminta pertanggung
jawabannya di akhirat kelak. Pentingnya pendidikan Islam dalam membentuk
kepribadian manusia ditonjolkan dari segi keimanan, ibadah, dan akhlak, yang
11
diwujudkan dalam bentuk keteladanan perilaku oleh individu. Sebagai hasil dari
keteladanan tersebut, manusia akan memahami pentingnya mengamalkan ajaran
agama, khususnya peran Islam dalam diri manusia sebagai penentu atau landasan
kepribadian, sikap, dan perilaku, serta peran manusia dalam mengembangkan
kepribadiannya. Diri mereka, keluarga mereka, dan masyarakat. Untuk memastikan
bahwa tujuan hidup manusia di bumi ini terwujud.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Abdullah. (1994). Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an


Ter. H.M. Arifin dan Zainuddin. PT. Rineka Cipta.
Franz Magnis Suseno. (1986). Kuasa dan Moral,. Gramedia.
Hasan Langgulung. (2004). Manusia dan Pendidikan. Pustaka Al-Husna Baru.
Jalaluddin. (2000). Teologi Pendidikan. Rajawali Press.
Lengari, M. F. L. (2019). Pengaruh tanggung jawab dan kemampuan penalaran
firmal terhadap hasil belajar pengetahuan dan hasil belajar keterampilan
pada materi pokok system koloid dengan menerapkan model pembelajaran
berbasis masalah pada siswa kelas XI MIA 5 SMAN 7 Kupang tahun
ajaran 2018/2019. Doctoral dissertation, Universitas Katolik Widya
Mandira).
Mahmud, dkk. (2015). Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya. PT. Remaja
Rosdakarya.
Muhaimin. (2022). Paradigma Pendidikan Islam. PT. Remaja Rosdakarya.
Muhaimin dan Abdul Mujib. (1993). Pemikiran Pendidikan Islam. Trigenda
Karya.
Rahmawati, L. (2015). Khuruj dan Komitmen Pada Keluarga (Studi Deskriptif
Pada Jamaah Tabligh). (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau).

12

Anda mungkin juga menyukai