Anda di halaman 1dari 22

BAB II

Struktur Fisik dan Struktur Batin Syi’ir‘Aqīdah Al-‘Awwām

Karya Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki

A. Struktur Fisik Syir ‘Aqīdah Al-‘Awwām

Syi’ir sebagai salah satu jenis karya sastra terbentuk dua struktur penting.

Struktur yang pertama adalah struktur fisik atau struktur yang membangunnya

dari luar. J. Waluyo (1991: 71) menerangkan bahwa unsur-unsur bentuk atau bisa

disebut struktur fisik puisi dapat diuraikan dalam metode puisi, yakni unsur estetik

yang membangun struktur luar puisi. Sebagaimana yang sebelumnya telah

diuraikan pada bab I, dapat diketahui bahwa terdapat enam unsur yang

membangun struktur fisik puisi. Unsur-unsur itu adalah diksi, pengimajian atau

khayal, kata konkret, bahasa figuratif atau majas, rima atau ritma, dan tata wajah

atau tipografi. Berikut ini adalah uraian struktur fisik yang membangun syair

‘Aqīdah Al-‘Awwām karya Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki.

1. Diksi (Pemilihan Kata)

Syi’ir‘Aqīdah Al-‘Awwām sebagai salah satu syi’ir Arab tentang ilmu-ilmu

dasar dalam agama Islam, mengandung pesan tentang ilmu ketauhidan, keimanan,

dan sejarah Nabi Muhammad SAW baik yang tersirat maupun tersurat. Dalam hal

ini, maka perlu diketahui adanya struktur fisik yang meliputi pemilihan diksi atau

pemilihan kata yang digunakan oleh Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki dalam syir

‘Aqīdah Al-‘Awwām agar mudah dimengerti oleh pembacanya.


Dalam syir ‘Aqīdah Al-‘Awwām, penyair memilih kata-kata yang

sederhana dengan bahasa yang umum digunakan dalam masyarakat sehingga

mudah dipahami. Dalam hal ini, diksi-diksi yang digunakan dalam syair ‘Aqīdah

Al-‘Awwām bermakna denotatif sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang

berbeda dari penyairnya. Denotatif menurut Tarigan (1995: 56) adalah kata-kata

bermakna yang sifatnya umum, tradisional, dan presedensial sebagai hasil

pemakaian selama berabad-abad. Berikut ini adalah contoh pemilihan kata

bermakna denotatif dalam syir ‘Aqīdah Al-‘Awwām :

ُ‫ِهلل ِع ْشـ ِريْ َن ِص َفة‬


ِ ‫ـب‬ ٍ ‫ِم ْن و ِاج‬ # ِ ‫اعلَم بِوجو‬
ُ‫ب الْ َم ْع ِرفَـة‬
َ ْ ُ ُ ْ ْ َ‫ َو َب ْع ُد ف‬۵)
[Min wājibillillāhi ‘isyr īna [Waba’du fa’lam bi wujūbil
shifatu] ma’rifatu]
Mempunyai 20 sifat wajib Allah Dan setelahnya ketauhilah
dengan yakin bahwa Allah

ُ‫َألمانَة‬ ِ ِ ِّ ِ‫ ب‬# ُ‫َأرسـل َأنْبِيا ذَ ِوي فَـطَـانـَة‬


َ ْ‫الصـ ْدق َوالتَ ْـبل ْـي ِغ َوا‬ َ ََْ ۱۱)
[Bi ash-shidqi wat-tablīghi wal- [Arsala anbiyā dzaw ī
amānatu] fathānatu]
Dengan jujur, menyampaikan, dan Allah telah mengutus para
dapat dipercaya Nabi yang memiliki sifat
cerdas

Berdasarkan kutipan bait di atas, bait ke-5 menggunakan diksi ُ‫ِع ْشـ ِريْ َن ِص َفة‬
untuk menjelaskan sifat wajib Allah. Diksi ini secara langsung memiliki makna

bahwa sifat wajib Allah ada 20. Bait ini semakin diperjelas dengan disebutkannya

keseluruhan sifat-sifat Allah tersebut. Dalam hal ini, makna denotatif disebabkan

karena kata yang dipilih memiliki makna yang sesuai dengan kenyataan atau fakta
yang ada. Hal ini sesuai dengan pengertian kata bermakna denotatif yaitu

keseluruhan unsur makna apa adanya atau makna berdasarkan sebenarnya dalam

sebuah kata (Suhardi, 2015: 60).

Sementara itu pada bait ke-11 dalam syi’r ‘Aqīdah Al-‘Awwām, hal serupa

juga ditemukan. Bait ke-11 merupakan bait yang mengawali bait-bait setelahnya

yang berisi tentang sifat wajib, mustahil, dan jaiz Rasulullah. Sama seperti bait

ke-5, pada bait ini penyair mengunakan diksi yang bermakna denotatif dan mudah

dimengerti untuk menyebutkan sifat-sifat Nabi yang telah diutus Allah SWT.

Berbeda dengan bait ke-11 yang menyebutkan jumlah sifat Allah terlebih dahulu,

pada bait ini Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki langsung menyebutkan sifat-sifat

Nabi tersebut, yaitu cerdas, jujur, menyampaikan, dan dapat dipercaya.

Tidak hanya diksi-diksi bermakna denotatif, diksi bermakna konotatif juga

terdapat dalam syi’r ini. Hal tersebut dapat dilihat pada bait ke-25 dan 26 syi’r

‘Aqīdah Al-‘Awwām. Kedua bait merupakan penjelasan tentang kitab-kitab Allah.

Berikut bait ke-25 dan 26 yang bermakna konotatif tersebut :

۲۵) ‫َزبُ ْـو ُر َد ُاو َد َواِجْنِ ْـي ُـل َعلَى‬ # َ‫ـسى َوفُ ْـرقَا ُن َعلَى خَرْيِ الْ َمال‬ ِ
َ ‫عْي‬
[Zabūru dāwuda wa injīlu ‘alā] [‘Īsā wafurqānu’alā khairil malā]

Zabur (bagi) Nabi Dawud dan Nabi Isa dan Al-Qur’an bagi
Injil (Bagi) sebaik-baik kaum (Nabi
Muhammad SAW)

(۲٦ ‫ـف اخْلَـلِْي ِل َوالْ َكلِْي ِم‬


ُ ‫ص ُح‬
ُ ‫َو‬ # ‫ـحـ َك ِم الْ َعلِ ْـي ِم‬ ِ
َ ْ‫فْي َهـا َكالَ ُم ال‬
[Wa shuchuful khalīli wal [Fīhā kalāmul hakamil ‘alīmi]
kalīmi]
Dan lembaran-lembaran Di dalamnya terdapat perkataan
(Shuhuf) suci yang diturunkan dari yang bijaksana dan
untuk Al-Khalil (Nabi Ibrahim) mengetahui
dan Al-Kaliim (Nabi Musa)

Berdasarkan kutipan di atas, maka diketahui bahwa kedua bait di atas

menjelaskan tentang kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada pada Nabi yang

telah diutusNya. Bait ke-25 menjelaskan bahwa kitab Zabur diturunkan kepada

Nabi Daud, kitab Injil kepada Nabi Isa sedangkan al-Qur’an kepada Nabi

Muhammad. Untuk menyebutkan al-Qur’an, penyair menggunakan diksi

“Furqān” yang merupakan nama lain dari al-Qur’an. Al-Qur’an memiliki nama

“Furqān” karena ia membedakan antara yang hak dan yang batil (Qaradawi,

1999: 358). Selain itu, bait ini juga menyebutkan bahwa al-Qur’an diturunkan

kepada Nabi Muhammad yang dalam syair digunakan diksi “Khairil Malā” untuk

mengganti penyebutan nama beliau.

Sementara itu, pada bait ke-26 penyair menggunakan al-Khalīl untuk

menyebut Nabi Ibrahim dan al-Kalīm untuk menyebutkan Nabi Musa. Dalam hal

ini, kata al-Khalīl tidak lagi bermakna apa adanya. al-Khalīl pada hakikatnya

memiliki makna yaitu teman karib/sang kekasih. Sementara penyair sudah

mengganti maknanya menjadi al-Khalīl yang merupakan julukan Allah untuk

Nabi Ibrahim yang cinta dan pengabdiannya kepada Allah sangatlah tulus

melebihi cinta kepada anaknya (Fikri, 2014: 115). Sama dengan al-Khalīl, al-

Kalīm juga merupakan julukan Allah untuk nabi Musa (Jauzi, 2016: 131). Makna

yang dimaksud penyair bukan lagi orang yang diajak bicara, melainkan Nabi

Musa. Alih-alih menuliskan secara langsung nama Nabi Ibrahim dan Nabi Musa,
penyair justru menuliskan julukannya. Dalam hal ini penyair menggunakan diksi

bermakna konotatif.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa syair ‘Aqīdah Al-‘Awwām

terbentuk dari diksi bermakna denotatif dan konotatif dalam menyampaikan isi

pesannya. Diksi bermakna konotatif menggunakan julukan-julukan atau nama lain

dari makna yang dimaksud.

2. Pengimajian

Meskipun dilatarbelakangi oleh bertemunya penyair dengan Rasulullah di

dalam mimpi, syair yang ditulis oleh Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki bukanlah

imajinasi belaka melainkan sebuah fakta ilmu dalam agama Islam. Penjelasannya

pun sesuai dengan yang terdapat dalam ajaran agama Islam.

Pengimajian atau yang dalam bahasa Arab disebut khayal sebagai struktur

fisik dalam syair ‘Aqīdah Al-‘Awwām berarti usaha pengarang dalam

membangkitkan citraan panca indera pembaca sehingga pembaca seolah dapat

merasakan, mendengarkan atau melihat sesuatu yang diungkapkan oleh

pengarang. Dalam hal ini, Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki berusaha membuat

pembaca seolah dapat membayangkan secara langsung apa yang disampaikan

penyair.

Adapun pengimajian yang diciptakan oleh penyair dapat dilihat pada bait

yang menjelaskan tentang sosok malaikat berikut ini :

ٍ َ‫ك الَّ ِـذي بِال‬


۲۱) ‫َأب َو ُْأم‬ ْ ُ َ‫َوالْ َمـل‬ # َ ‫الَ َأ ْك َل الَ ُش ْـر‬
‫ب َوالَ َن ْو َم لَ ُـه ْم‬
[Wal malakualadzi bilā abin wa [La aklalā syurba walā nauma
um] lahum]
Para malaikat itu tetap tanpa Tidak makan dan tidak minum
bapak dan ibu serta tidak tidur

Pada bait ke-21 di atas, dapat diketahui bahwa dalam syair yang

membahas tentang keimanan seperti ‘Aqīdah Al-‘Awwām mengandung unsur

pengimajian dalam bait-baitnya agar mempermudah penyampaian isi syair.

Melalui bait di atas, untuk menjelaskan sosok malaikat, penyair mendeskripsikan

malaikat sebagai makhluk Allah SWT yang tidak makan, minum, maupun tidur.

Melalui hal ini, pembaca akan mendapatkan imaji bahwa malaikat berbeda

dengan manusia. Adapun manusia masih harus makan untuk memenuhi rasa

lapar, minum untuk memenuhi rasa haus, begitu pula dengan kebutuhan tidur.

Dengan pengimajian ini, maka pembaca seolah dapat melihat malaikat sebagai

makhluk yang berbeda dengan manusia meski pada kenyataannya tidak pernah

melihatnya secara langsung.

Unsur imaji juga dapat memacu perasaan pembaca sehingga timbul daya

bayang dalam pikiran. Unsur imaji ini memainkan perasaan pembaca dalam

memahami peristiwa hari kiamat yang terdapat dalam syair. Berikut kutipan bait

yang menunjukkan imaji tersebut :

ِ ِ ِ ‫ِإ‬ ِ ِِ
ْ ‫يْ َـمـانُنَا ب َـي ْوم آخ ٍر َو َج‬
۲۸) ‫ب‬ # ‫ب‬
ْ ‫َو ُك ِّل َمـا َكا َن بـه م َن الْ َع َج‬
[Īmānunā biyaumi ākhirin [Wakulli mā kāna bihi minal
wajab] ‘ajab]
Keimanan kita kepada Hari Dan segala perkara yang dahsyat
Akhir hukumnya wajib pada Hari Akhir
Berdasarkan kutipan bait di atas, maka dapat diketahui bahwa penyair

menggunakan imaji dalam mendeskripsikan hari kiamat. Penyair memacu

perasaan pembaca dengan menggunakan kata ‫ب‬


ْ ‫الْ َع َج‬ yang diartikan perkara

dahsyat atau secara harfiah artinya suatu keterkejutan. Melalui kata ini, maka

penyair mengharapkan kepekaan pembaca untuk membayangkan peristiwa hari

kiamat yang dahsyat dan hanya berisi perasaan terkejut dan takjub dari manusia.

Selain memicu perasaan, imaji yang diciptakan oleh penyair juga memicu

indera penglihatan pembaca. Melalui imaji ini, pembaca seolah-olah melihat

peristiwa yang dideskripsikan penyair. Berikut ini kutipan bait yang menunjukkan

imaji tersebut :

(٤٦ ‫َو َقْب َـل ِه ْج َـر ِة النَّـيِب ِّ اِْإل ْسَرا‬ # ‫ِم ْـن َم َّـكةَ لَْيالً لُِق ْد ٍس يُ ْد َرى‬
[Wa qabla hijroti an-Nabiyyil [Min makkata lailan liqudsin
isrā] yudrā]
Dan sebelum Nabi hijrah (ke Dari Makkah pada malam hari
Madinah) terjadi peristiwa Isra’ menuju Baitul Maqdis yang
dapat dilihat

Pada bait ke-46 di atas, penyair melibatkan imaji visual melalui kata ً‫لَْيال‬
atau ‘malam’ yang mendeskripsikan waktu terjadinya peristiwa Isra’ yang dilalui

Nabi Muhammad SAW. Kata ً‫لَْيال‬ merupakan suatu ungkapan yang digunakan

penyair untuk memacu imajinasi pembaca sehingga muncul daya bayang dalam

pikiran. Melalui kata yang artinya malam tersebut, pembaca dapat memahami

bahwa peristiwa Isra’ dilakukan dalam keadaan sekitar yang tenang karena malam

adalah waktu yang biasa digunakan manusia biasa beristirahat. Dengan demikian,
pembaca seolah-olah dapat melihat langsung maupun membayangkan keadaan

suatu malam terjadinya peristiwa Isra’ dari kata ً‫ لَْيال‬.

Selain memacu atau melibatkan perasaan dan penglihatan pembaca, Syekh

Ahmad Marzuki Al-Maliki memainkan imaji pembaca dengan melibatkan kata

yang menunjukkan gerak. Kata yang digunakan penyair seolah dapat dibayangkan

atau dilihat oleh pembaca. Imaji ini dapat dilihat pada bait ke-47 yang

mendeskripsikan peristiwa mi’raj. Berikut kutipan bait yang menunjukkan imaji

tersebut :

َّ ِ‫َو َب ْع َد ِإ ْس َـر ٍاء عُُر ْو ٌج ل‬


(٤۷ ‫لس َـما‬ # ‫َحىَّت َرَأى النَّـيِب ُّ َربًّـا َكـلَّ َما‬
[Wa ba’da isrāi ‘urujun [Chatta raā an- Nabiyyu rubban
lissamā] kallamā]
Setelah Isra’ lalu Mi’raj (naik) Sehingga Nabi melihat Tuhan
ke atas (langit) yang berfirman

Berbeda dengan data-data sebelumnya, bait ke-47 memberikan

deskripsi tentang gerakan yang ditandai oleh ‫عُـ ـ ُـر ْو ٌج‬ atau ‘naik’ untuk

mendeskripsikan peristiwa isra’ mi’raj yang dilalui Nabi Muhammad

SAW. Kata ‫عُ ـ ُـر ْو ٌج‬ ini menjelaskan sebuah gerakan berpindahnya Nabi

Muhammad SAW ke tempat yang tinggi yaitu di langit. Ungkapan ini

dilakukan penyair agar pembaca dapat membayangkan dalam pikirannya

tentang bagaimana terjadinya peristiwa mi’raj yang melibatkan pergerakan

Nabi Muhammad SAW melalui kata ‫ج‬


ٌ ‫عُر ْو‬ ُ .
Dengan demikian, berdasarkan kutipan-kutipan bait di atas maka

dapat diketahui bahwa syair ‘Aqīdah Al-‘Awwām yang berisi tentang

dasar-dasar agama Islam yang banyak digunakan untuk mempelejari

agama juga menggunakan unsur imaji di dalamnya. Hal ini digunakan agar

pembaca dapat memahami syair secara mendalam dengan melibatkan

imajinasi dan perasaan.

3. Kata Konkret

Setelah melihat keseluruhan isi syair, unsur kata konkret tidak terdapat

dalam syair ‘Aqīdah Al-‘Awwām. Adapun imaji yang terdapat dalam syair bukan

merupakan hasil dari adanya kata konkret namun kenyataan yang tetap dapat

memacu daya bayang pembaca. Sebagaimana pengertian kata konkret secara

bahasa adalah sesuatu yang nyata, benar-benar ada artinya berwujud, dapat lihat,

diraba, dan lain sebagainya (Depdiknas, 2008: 748). Sementara itu, dalam ilmu

sastra, kata konkret sebagaimana menurut Siswanto (2008: 119) adalah kata-kata

yang ditangkap oleh panca indera dan berkaitan dengan munculnya imaji. Kata-

kata yang diperkonkret menyebabkan pembaca dapat menbayagkan secara jelas

peristiwa atau keadaan yang dilukiskan oleh penyair (Waluyo, 1987: 81).

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

kata konkret sebagai unsur fisik puisi atau syair adalah usaha penyair untuk

membangun imaji pembaca melalui kata-kata yang berwujud dan dapat diterima

oleh panca indera sehingga membangkitkan imajinasinya. Adapun Syekh Ahmad

Marzuki Al-Maliki dalam menyampaikan maksud syairnya tidak menggunakan


perumpamaan atau benda berwujud yang membuat pembaca berimajinasi atau

memahami isi syair. Sebaliknya, Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki cenderung

menggunakan kata-kata sederhana yang biasa digunakan dalam bahasa sehari-hari

atau bahasa yang biasa ditemukan dalam Al-Qur’an maupun hadist.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa unsur fisik syair ‘Aqīdah

Al-‘Awwām tidak terdiri dari unsur kata konkret di dalamnya. Hal ini bermanfaat

agar tidak terjadinya penafsiran berbeda dari selain yang dimaksud penyair.

4. Bahasa Figuratif (Majas)

Sebuah syair atau puisi dibangun oleh salah satu unsur yang berhubungan

dengan gaya bahasa kiasan atau bahasa figuratif. Bahasa figuratif adalah bahasa

yang digunakan penyair untuk menyampaikan maksud dengan cara yang tidak

biasa yakni menggunakan kata yang bermakna kias atau lambang (waluyo, 1987:

83). Dalam hal ini, Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki menggunakan bahasa

figuratif atau majas dalam menyampaikan beberapa maksud dalam syairnya.

Adapun penyair banyak menggunakan julukan ataupun gelar yang secara bahasa

memiliki arti yang berbeda dengan maksud penyair.

Penyair menggunakan majas pada beberapa bait dalam syair. Salah satu

penggunaan majas ditunjukkan pada bait yang mendeskripsikan tentang istri-istri

Rasulullah SAW. Berikut kutipan bait yang menunjukkan majas tersebut :

(٤۲ ‫صطََفى‬ ٍ ِ ِ ‫اخَت ْر َن النَّـيِب َّ الْ ُم ْقَت َفى‬


ْ ‫َع ْن ت ْس ِع ن ْس َوة َوفَاةُ الْ ُم‬ # ْ َ‫ُخيِّ ْـر َن ف‬
[‘An tis’i niswatin wa fātul [Khuyyirna fakhtarna an-
mushthafā] Nabiyyal muqtafā]
Dari 9 istri Nabi ditinggalkan Maka mereka memilih Nabi
setelah wafatnya sebagai panutan

Berdasarkan kutipan bait di atas, majas ditunjukkan melalui kata

“mushthafā” untuk mendeskripsikan makna sesungguhnya yaitu Nabi

Muhammad SAW. Secara bahasa, “mushthafā” memiliki arti orang pilihan.

Sementara itu, “mushthafā” merupakan nama lain Nabi Muhammad SAW. Nama

musthafa adalah nama yang biasa disematkan bersama dengan nama Nabi

Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul yang telah dipilih Allah SWT. Dengan

demikian, maka dapat diketahui bahwa kata “mushthafā” yang digunakan penyair

tidak bermaksud menunjukkan arti sebenarnya melainkan nama Nabi Muhammad

SAW. Menggunakan kata untuk makna yang tidak sebenarnya di dalam syair

dalam kajian balaghah disebut juga idengan majaz. Majaz yang digunakan

penyair dapat digolongkan ke dalam majaz isti’arah jika mengacu pada pengertian

sebagaimana menurut Hilmi (2016: 42) Majaz Isti’arah adalah majaz yang

menggunakan lafadz yang bukan semestinya tetapi terdapat sisi persamaan yang

mempertemukan lafadz yang dipindahkan dengan lafadz hakiki.

Adapun karena menggunakan nama lain atau sifat untuk menunjukkan

makna yang sebenarnya dalam sastra Indonesia termasuk ke dalam jenis majas

yang merupakan salah satu unsur fisik pembangun syair. Majas yang

menggunakan julukan atau nama lain maupun sifat termasuk ke dalam majas
antonomasia. Sebagaimana menurut Hilmi (2016: 45) antonomasia menggunakan

julukan, gelar, ataupun sifat sebagai ganti menyebutkan nama sebenarnya.

Penggunaan nama lain Nabi Muhammad juga terdapat pada bait yang

mendeskripsikan tentang nama-nama Nabi dan Rasul. Berikut kutipan data yang

menunjukkan penggunaan majas tersebut :

۱۹) ِ
‫س َز َكريـَّا حَيْىَي‬
ْ ُ‫ـاس يُ ْون‬
ُ َ‫إلْي‬ # ‫ِعْي َسـى َوطَـهَ َخامِتٌ َد ْع َغـيَّا‬
[Ilyāsu yūnusu zakariyyā [‘Īsā wa thaha khātimun da’
yahyā] ghayya]
Ilyas, Yunus, Zakariya, Yahya Isa dan Thaha (Muhammad)
sebagai
penutup, maka tinggalkanlah
jalan
yang menyimpang dari
kebenaran

Sama seperti nama “mushthafā”, kata “Thaha” juga merupakan nama lain

yang biasa digunakan untuk menyebut Nabi Muhammad SAW. Pada bait di atas,

kata “Thaha” tidak digunakan untuk menunjukkan arti yang sebenarnya

melainkan mewakili penyebutan Nabi Muhammad SAW. Nama Thaha sebagai

nama lain Nabi Muhammad ini sesuai dengan as-Sahbuny (2016: 943) adapun

ulama tafsir Abu Hanifah pernah mengemukakan hadist yang mengatakan bahwa

Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah memberiku tujuh nama, yaitu

Muhammad, Ahmad, Thaha, Yasin, al-Muzammil, al-Muddassir, dan Abdullah.”

Adapun sifat Nabi Muhammad juga digunakan sebagai majas untuk

menunjukkan makna yang lain. Berikut ini adalah bait yang menunjukkan majas
dalam deskripsi identitas penyair yang mendapat pesan dari Rasulullah melalui

perantara mimpi :

۵۲) ‫َأح َـم ُد الْ َم ْر ُز ْوقِ ْي‬


ْ ‫ك‬ َ ‫اظ ُم تِْل‬
ِ َ‫ن‬ # ‫ص ُد ْو ِق‬ ِ ِ َّ ِ‫من يْنتَ ِمي ل‬
ْ ‫لصـادق الْ َم‬ َ َْ
[Nādhimu tilka achmadul [Man yantami lishādiqil
marzuqī] mashduqi]
Penyairnya adalah Achmad Seorang yang bernisbat kepada
Al-Marzūqī Al-Malikī Nabi
Muhammad

Berdasarkan kutipan di atas, kata “shādiqil mashduqi” tidak digunakan

untuk menunjukkan makna yang sebenarnya. Kata “shādiqil mashduqi” memiliki

arti yang sesungguhnya yaitu orang yang benar dan dibenarkan. Sedangkan hal ini

sesuai dengan sifat nabi Muhammad SAW yang benar atau jujur beserta ajaran

agama paling benar yang dibawanya. Adapun kata “shādiqil mashduqi” sebagai

salah satu sifat nabi ini sebelumnya telah disebutkan oleh Abu Abdurrahman

Abdullah bin Mas’ud dalam pengantar hadis Rasulullah SAW tentang penciptaan

manusia berikut ini :

“Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud ra, Ia berkata:

Rasulullah saw menuturkan kepada kami dan beliau adalah ash-

Shadiqul Mashduq (orang yang benarlagi dibenarkan

perkaranya)....” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa dalam menjelaskan ilmu agama

yang diungkapkan Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki dalam syairnya terdiri dari

unsur bahasa figuratif atau yang biasa disebut majas. Hal ini dilakukan untuk
menambah keindahan dalam gaya bahasa sekaligus memperluas pengetahuan

pembaca tentang nama lain atau sifat Nabi Muhammad SAW.

5. Rima/Ritma

Salah satu unsur dari struktur fisik yang membangun sebuah puisi atau

syair adalah rima. Rima adalah struktur fisik yang berkaitan erat dengan bunyi

dan irama. Menurut Sayuti (2008: 104) rima adalah dua kata atau lebih yang

memiliki kesamaan atau kemiripan baik posisinya di akhir kata, ataupun bunyi-

bunyi yang disusun pada jarak atau rentangan tertentu secara teratur dan berulang.

Dalam penelitian syair atau puisi Arab, rima akhir dari sebuah bait puisi inilah

yang disebut juga dengan qafiyah. Qafiyah terdapat pada huruf-huruf yang berada

pada ujung bait syi’ir yang terdiri dari huruf akhir yang mati di ujung bait sampai

dengan huruf hidup sebelum huruf mati.

Berdasarkan karakter syair ‘Aqīdah Al-‘Awwām sebagai salah satu syair

klasik atau tradisional, syair ini terikat dengan gaya bahasa lama, berupa ‘arūdh

(wazan/bachr) dan qāfiyahatau rima secara tekstual yang akan menjadi

pembahasan berikut ini. Berdasarkan 57 bait yang terdapat pada syair, diketahui

bahwa qafiyah yang terdapat dalam syair tidak hanya terdapat satu jenis qafiyah

melainkan dengan jenis berbeda-beda. Sebagaimana menurut Abdulloh Darwisy

(dalam Khalilah, 2020: 626) qafiyah beragam jenisnya, ia bisa berada pada satu

sebagian kata, satu kata, dan dua kata.

Pola rima atau qafiyah dalam syair ‘Aqīdah Al-‘Awwām berbeda-beda tiap

baitnya. Hal ini dapat diketahui dengan mengidentifikasi pada beberapa bait syair.
‫‪Berikut analisis terhadap beberapa bait syair dengan memperhatikan ketentuan-‬‬

‫‪ketentuan lainnya dalam ilmu Arudl yang juga berlaku seperti wazn, bahr, dan‬‬

‫‪taf’ilah :‬‬

‫السالَ ُم َس ْـر َم َدا )‪۳‬‬


‫ـصالَةُ َو َّ‬
‫مُثَّ ال َّ‬ ‫‪#‬‬ ‫َعلَى الـنَّـيِب ِّ خَرْيِ َم ْن قَ ْد َو َّح َدا‬
‫‪/‬م‬
‫صاَل ْ‪/‬ةُ َو ْس َساَل ْ ُ‬
‫صَ‬‫مُثْ َم ْ‬ ‫‪#‬‬ ‫َعلَ ْن نَيِب ْ ‪ِ /‬ي خَرْيِ َم ْن‪ /‬قَ ْد َو ْح َح َداْ‬
‫َسْر َم َداْ‬
‫‪0//0// 0//0// 0//0/0/‬‬ ‫‪#‬‬ ‫‪0//0/0/ 0//0// 0//0//‬‬

‫ُم ْسَت ْفعِلُ ْن‪ُ /‬مَت ْفعِلُ ْن ‪ُ /‬مَت ْفعِلُ ْن‬ ‫‪#‬‬ ‫‪/‬م ْسَت ْفعِلُ ْن‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ُمَت ْفعلُ ْن ‪ُ /‬مَت ْفعلُ ْن ُ‬

‫ـحبِ ِه َو َم ْـن تَـبِ ْـع ‪(٤‬‬ ‫ِِ‬ ‫َسـبِْي َل ِديْ ِن احْلَ ِّق َغْيَر ُم ْـبـتَ ِد ْع‬
‫صْ‬ ‫َوآله َو َ‬ ‫‪#‬‬
‫ص ْحبِ ِه ‪َ /‬و َمْنتتَبِ ْع‬ ‫ِِ‬ ‫َسبِْي َل ِد ْي ‪/‬نِْل َح ْق ِق َغ ْي ‪َ /‬ر ُمْبتَ ِد ْع‬
‫َواَاْله ‪َ /‬و َ‬ ‫‪#‬‬
‫‪0//0//0//0//0//0//‬‬ ‫‪#‬‬ ‫‪//0//0/0/0//0//0//0‬‬
‫ُمَت ْفعِلُ ْن ُمَت ْفعِلُن ُمَت ْفعِلُ ْن‬ ‫‪#‬‬ ‫ُمَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُمَت ْفعِلُ ْن‬

‫اعلَم بِوجو ِ‬
‫ب الْ َم ْع ِرفَـةُ )‪۵‬‬ ‫ِهلل ِع ْشـ ِريْ َن ِص َفةُ‬
‫ـب ِ‬ ‫ِم ْن و ِاج ٍ‬
‫َو َب ْع ُد فَ ْ ْ ُ ُ ْ‬ ‫‪#‬‬ ‫َ‬
‫َو َب ْع ُد فَاْ ‪ْ /‬علَ ْم بُِو ُج ْو ‪/‬بِْل َم ْع ِرفَة‬ ‫ش ‪ِ /‬ريْ َن ِص َفة‬ ‫ِ ِ ِ ِ ِ‬
‫‪#‬‬ ‫م ْن َواْجنِب ْ ‪/‬ل ْلاَل ْه ع ْ‬
‫‪0//0/0/0///0/0//0//‬‬ ‫‪#‬‬ ‫‪/0/0//0/0/0//0/0///0‬‬
‫ُمَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن‬ ‫‪#‬‬ ‫ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُم ْستَعِلُ ْن‬

‫‪Berdasarkan hasil analisis data di atas, dapat kita ketahui qafiyah dari tiap‬‬

‫‪masing-masing bait. Pada bait ke-3, qafiyah terdapat pada kata‬‬ ‫‪َ yang terdapat‬و َّح َدا‬

‫‪pada satu kata. Jenis qafiyah ini termasuk ke dalam qafiyah mutadarik. Qafiyah‬‬
mutadarik adalah qafiyah yang di antara dua huruf matinya terhalang dua huruf

hidup (dalam Khalilah, 2020: 626). Sementara itu qafiyah terdiri dari huruf wawu,

cha’, dal, dan alif dengan rawi muqayyad alif. Dimana rawi muqayyad adalah

rawi atau huruf terakhir dari sebuah qafiyah yang terdiri dari huruf mati. Hal ini

sesuai dengan keberadaan harakat sukun pada qafiyah ini yang terletak pada huruf

cha’ dan alif.

Adapun pada bait ke-4, pola qafiyah terdapat pada kata ‫ ُم ْـب ــتَ ِد ْع‬yang juga

terdapat pada satu kata. Jenis qafiyah ini juga termasuk ke dalam qafiyah

mutadarik seperti bait ke-3. Sementara itu, qafiyah terdiri dari huruf mim, ba’, ta’,

dal, ‘ain dengan rawi muqayyad ‘ain dimana harakat sukun terletak pada ba’ dan

‘ain.

Sementara itu, pada bait ke-5 pola qafiyah terdapat pada kata ُ‫ِع ْش ـ ِريْ َن ِصـ َفة‬
yang artinya qafiyah terdapat pada dua kata. Adapun jenis qafiyah termasuk ke

dalam qafiyah mutarakib yaitu adanya dua huruf mati terhalang tiga huruf hidup.

Sementara itu, qafiyah terdiri dari huruf nun, shad, fa’, ta’ sedangkan harakat

sukun terdapat pada huruf ya’ dan ta’ dengan rawi mutlak fa’. Berbeda dengan

rawi muqayyad, rawi mutlak adalah rawi yang terdiri dari huruf hidup. Karena

huruf ta’ marbutah tidak termasuk rawi, maka huruf sebelumnya menjadi huruf

rawi, yaitu huruf fa’. Dengan demikian, qafiyah yang terdapat pada ketiga kutipan

bait memiliki unsur yang berbeda-beda. Rawi atau huruf akhir pada ketiga qafiyah

juga memiliki jenis yang berbeda-beda.


Sementara itu, sebagaimana diketahui rima atau ritma sangat berkaitan

dengan irama. Adapun irama yang tetap menurut pola tertentu, jumlah suku

katanya, tekanannya, dan alun suara naik turunnya tetap disebut dengan metrum

(Pradopo, 2002: 40; Jabrohim, 2003: 54). Jika rima dalam ilmu sastra Arab

disebut sebagai qafiyah, maka metrum inilah yang dikenal dengan istilah bachr.

Bachr yang digunakan dalam syair berdasarkan analisis di atas termasuk ke dalam

bahr rajaz dengan polanya yaitu :

‫ ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن‬# ‫ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن‬

Akan tetapi, wazan atau pola dari bachr tersebut mengalami perubahan

bentuk dari aslinya. Sesuai dengan pendapat Imam Khalil (dalam Arifuddin, 2018:

100) bahwa bachr rajaz merupakan bachr yang bersifat fluktuatif karena

mengalami banyak perubahan. Perubahan tersebut berupa zihaf dan illah.

Menurut Arifuddin (2018: 38,43) zihaf adalah perubahan yang terjadi pada satu

tempat dari satu taf’ilah, sedangkan illah adalah perubahan yang terjadi pada

sabab dan watad dari taf’ilah ‘arūdh dan taf’ilah dharab. Dengan demikian,

perubahan-perubahan tersebut menjadi karakter dari bachr rajaz, sehingga bentuk

wazn selalu berubah-ubah atau tidak menetap dalam satu bentuk.

Perubahan tersebut terlihat pada ketigakutipan bait, yaitu bait ke-3,4,dan 5.

Pada bait ke-3 pada satar pertama terdapat perubahan taf’ilah yakni zihaf mufrad

berupa khabn. Khabn adalah membuang huruf kedua yang mati (Kholilah, 2020:

625). Pada bait ini, taf’ilah‫سـَت ْفعِلُ ْن‬


ْ ‫ ُم‬berubah menjadi ‫ ُمَت ْفعِلُ ْن‬. Zihaf ini dalam bait

ke-3 terjadi sebanyak 4 perubahan dari 6 taf’ilah yang ada.


Kemudian pada bait ke-4 juga terjadi perbuahan atau zihaf pada taf’ilah-

taf’ilah dalam bait. Pada bait ke empat ini, terjadi zihaf yang mufrad yang sama

seperti pada bait ke-3 yakni zihaf mufrad khabn. Taf’ilah ‫ ُم ْسـ ـَت ْفعِلُ ْن‬pada satar

pertama sebanyak 3 taf’ilah berubah menjadi ‫ ُمَت ْفعِلُ ْن‬. Sementara pada satar kedua,

sebanyak 2 taf’ilah ‫ ُم ْس ـَت ْفعِلُ ْن‬karena mengalami zihaf sehingga berubah menjadi

‫ ُمَت ْفعِلُ ْن‬.

Berbeda dengan bair ke-3 dan 4, pada bait ke-5 terdapat 2 jenis zihaf

dalam satu baitnya. Zihaf pertama merupakan zihaf murfrad khabn yang terjadi

pada satar pertama. Dengan membuang huruf kedua, maka taf’ilah ‫ُم ْسـ ـ ـَت ْفعِلُ ْن‬

berubah menjadi ‫مَت ْفعِلُ ْن‬.


ُ Sedangkan zihaf lain jugaterjadi dalam satu bait ini, yaitu
zihaf thayy. Zihaf thayy (dalam khalilah, 2020: 625) adalah zihaf mufrad yang

membuang huruf keempat yang mati. Hal ini mengubah taf’ilah ‫ ُم ْسَت ْفعِلُ ْن‬menjadi ‫ُم‬

‫ستَعِلُ ْن‬.
ْ Pada bait ini ini, zihaf thayy berjumlah 2 dari 6 taf’ilah yang ada.

Dengan demikian dapat dietahui bahwa rima maupun pola irama yang

membangun syair ‘Aqīdah Al-‘Awwām berubah-ubah sebagaimana hasil analisis

di atas. Hal ini menunjukkan bahwa penyair lebih mengutamakan makna dari

syair yang berisi tentang ajaran dalam agama Islam yang banyak dipelajari oleh

umat muslim dengan menyertakan irama-irama yang berbeda daripada gaya

bahasa kiasan maupun imajinasi dalam syair.


6. Tata Wajah (Tipografi)

Sebuah puisi atau syair dibangun oleh unsur pembentuk visual yang bisa

memberi makna tambahan pada puisi yang disebut tipografi atau tata wajah puisi

(Rokhmansyah, 2014: 26). Dalam hal ini, tipografi meliputi penempatan kata,

baris atau larik, dan bait yang merupakan salah satu struktur fisik syair. Ditinjau

dari aspek bentuk, syair ‘Aqīdah Al-‘Awwām yang terdiri atas 57 bait panjang

dimana setiap bait terdiri atas dua bagian kanan dan kiri yang sejajar atau sama

panjangnya dan dipisahkan oleh jeda di tengah-tengahnya. Bentuk syair ini

merupakan gaya penulisan syair Arab klasik atau tradisional pada umumnya yang

disebut sebagai hemistich (Subkhan, 2020: 16). Dalam ilmu prosodi puisi Arab

(‘arud), setengah bait yang pertama pada bait disebut shadar, sedangkan setengah

bait kedua disebut ‘ajz. Ilmu prosodi Arab atau ‘Arud menurut Al-Hasyimi

(dalam Arifuddin, 2018: 8) adalah ilmu yang mempelajari tentangwazan (pola)

syair Arab dan perubahan-perubahannya,

Berikut ini adalah gambaran syair dalam buku ‘Aqīdah Al-‘Awwām karya

Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki.


Berdasarkan gambar di atas, dapat diketahui bahwa tipografi pada syair ini

adalah dua kolom. Selain itu, dari keseluruhan jumlah bait yang telah disebutkan,

bait-bait dibagi menjadi 12 bagian berdasarkan tema atau pembahasan tertentu.

Adapun jumlah bait perbagian tersebut berbeda-beda. Pembagian bait berdasarkan


pada pembahasan atau inti ajaran agama Islam. Gaya penulisan syair ini sama

dengan kitab-kitab klasik Arab. Sebagaimana diketahui, gaya penulisan kitab

klasik Arab terdiri dari muqaddimah yang panjang di awal. Di dalamnya terdapat

ungkapan pembuka dan rasa syukur serta memperkenalkan secara umum maksud

yang hendak disampaikan melalui tulisannya tersebut (Suryaningsih, 2018: 371).

Hal ini terdapat pada bait pertama yang diungkapkan penyair melalui kalimat

berikut :

ِ ‫وبِـال َّـر ِحـيـ ِم دائـِِم اإلحـس‬


ْ ِ‫أبـْ َـدُأ ب‬
۱) ‫ـاس ِم الل ِهوال َّـر ْح َـم ِن‬ # ‫ان‬ َ ْ َ َ
[Abdau bismillāhi war-rachmani] [Wa bir-rachīmi dāimil ichsāni]

Saya (penyair) memulai dengan Dan Maha penyayang yang selalu


nama Allah yang Maha pengasih menganugerahkan kebaikan

Berdasarkan kutipan bait pertama atau muqaddimah dari syair ‘Aqīdah

Al-‘Awwām di atas, dapat diketahui ungkapan pembuka penyair yang disetai

dengan pujian terhadap Allah SWT dalam kalimat basmallah yaitu menggunakan

kata ‫ال َّـر ِحـيـ ِم‬ ِ ‫دائـِِم اإلحـس‬. Sementara itu, maksud atau
,‫ ال َّـر ْح َـم ِن‬, dan ‫ان‬ َ tujuan umum
َ ْ
dari syair tidak dijelaskan pada bab muqaddimah melainkan pada bab penutup

atau Khātimatdengan ungkapan berikut ini:

۵۱) ُ‫صَرة‬ ِ ِِ
َ َ‫َو َهـذه َعقْي َـدةٌ خُمْـت‬ # ُ‫َولِْل َـع َـو ِام َس ْـهـلَةٌ ُميَ َّسَرة‬
[Wa hadihi ‘aqidatun [Wa lil’awāmili sahlatun
mukhtasharah] muyassarah]
Inilah keterangan Aqidah secara Bagi orang-orang awam yang
ringkas mudah dan gampang
Adapun rincian keseluruhan bait yang dibagi berdasarkan tema

pembahasan adalah sebagai berikut : (1) pembukaan atau muqaddimah dengan 4

bait, (2) Sifat-sifat wajib dan Jaiz Allah dengan 6 bait (3) sifat wajib, mustahil,

dan jaiz Rasulullah dengan 4 bait (4) Para Nabi dan Rasul dengan 6 bait, (5)

malaikat-malaikat dengan 3 bait (6) kitab-kitab dan kedudukannya dengan 5 bait

(7) sejarah Nabi Muhammad SAW dengan 4 bait (8) Putra dan putri Rasulullah

SAW dengan 9 bait (9) Istri-istri Rasulullah dengan 3 bait (10) Paman dan bibi

Rasulullah SAW dengan 1 bait (11) Peristiwa Isra’ Mi’raj dengan 5 bait (12)

penutup dengan 7 bait.

Dengan demikian, unsur tipografi sebagai salah satu unsur fisik syair

‘Aqīdah Al-‘Awwām memiliki keserupaan dengan syair-syair tradisional lainnya

sebagaimana kriteria syair-syair jenis tersebut dalam hal susunan bait.

Anda mungkin juga menyukai