Syi’ir sebagai salah satu jenis karya sastra terbentuk dua struktur penting.
Struktur yang pertama adalah struktur fisik atau struktur yang membangunnya
dari luar. J. Waluyo (1991: 71) menerangkan bahwa unsur-unsur bentuk atau bisa
disebut struktur fisik puisi dapat diuraikan dalam metode puisi, yakni unsur estetik
diuraikan pada bab I, dapat diketahui bahwa terdapat enam unsur yang
membangun struktur fisik puisi. Unsur-unsur itu adalah diksi, pengimajian atau
khayal, kata konkret, bahasa figuratif atau majas, rima atau ritma, dan tata wajah
atau tipografi. Berikut ini adalah uraian struktur fisik yang membangun syair
dasar dalam agama Islam, mengandung pesan tentang ilmu ketauhidan, keimanan,
dan sejarah Nabi Muhammad SAW baik yang tersirat maupun tersurat. Dalam hal
ini, maka perlu diketahui adanya struktur fisik yang meliputi pemilihan diksi atau
pemilihan kata yang digunakan oleh Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki dalam syir
mudah dipahami. Dalam hal ini, diksi-diksi yang digunakan dalam syair ‘Aqīdah
berbeda dari penyairnya. Denotatif menurut Tarigan (1995: 56) adalah kata-kata
Berdasarkan kutipan bait di atas, bait ke-5 menggunakan diksi ُِع ْشـ ِريْ َن ِص َفة
untuk menjelaskan sifat wajib Allah. Diksi ini secara langsung memiliki makna
bahwa sifat wajib Allah ada 20. Bait ini semakin diperjelas dengan disebutkannya
keseluruhan sifat-sifat Allah tersebut. Dalam hal ini, makna denotatif disebabkan
karena kata yang dipilih memiliki makna yang sesuai dengan kenyataan atau fakta
yang ada. Hal ini sesuai dengan pengertian kata bermakna denotatif yaitu
keseluruhan unsur makna apa adanya atau makna berdasarkan sebenarnya dalam
Sementara itu pada bait ke-11 dalam syi’r ‘Aqīdah Al-‘Awwām, hal serupa
juga ditemukan. Bait ke-11 merupakan bait yang mengawali bait-bait setelahnya
yang berisi tentang sifat wajib, mustahil, dan jaiz Rasulullah. Sama seperti bait
ke-5, pada bait ini penyair mengunakan diksi yang bermakna denotatif dan mudah
dimengerti untuk menyebutkan sifat-sifat Nabi yang telah diutus Allah SWT.
Berbeda dengan bait ke-11 yang menyebutkan jumlah sifat Allah terlebih dahulu,
pada bait ini Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki langsung menyebutkan sifat-sifat
terdapat dalam syi’r ini. Hal tersebut dapat dilihat pada bait ke-25 dan 26 syi’r
۲۵) َزبُ ْـو ُر َد ُاو َد َواِجْنِ ْـي ُـل َعلَى # َـسى َوفُ ْـرقَا ُن َعلَى خَرْيِ الْ َمال ِ
َ عْي
[Zabūru dāwuda wa injīlu ‘alā] [‘Īsā wafurqānu’alā khairil malā]
Zabur (bagi) Nabi Dawud dan Nabi Isa dan Al-Qur’an bagi
Injil (Bagi) sebaik-baik kaum (Nabi
Muhammad SAW)
menjelaskan tentang kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada pada Nabi yang
telah diutusNya. Bait ke-25 menjelaskan bahwa kitab Zabur diturunkan kepada
Nabi Daud, kitab Injil kepada Nabi Isa sedangkan al-Qur’an kepada Nabi
“Furqān” yang merupakan nama lain dari al-Qur’an. Al-Qur’an memiliki nama
“Furqān” karena ia membedakan antara yang hak dan yang batil (Qaradawi,
1999: 358). Selain itu, bait ini juga menyebutkan bahwa al-Qur’an diturunkan
kepada Nabi Muhammad yang dalam syair digunakan diksi “Khairil Malā” untuk
menyebut Nabi Ibrahim dan al-Kalīm untuk menyebutkan Nabi Musa. Dalam hal
ini, kata al-Khalīl tidak lagi bermakna apa adanya. al-Khalīl pada hakikatnya
Nabi Ibrahim yang cinta dan pengabdiannya kepada Allah sangatlah tulus
melebihi cinta kepada anaknya (Fikri, 2014: 115). Sama dengan al-Khalīl, al-
Kalīm juga merupakan julukan Allah untuk nabi Musa (Jauzi, 2016: 131). Makna
yang dimaksud penyair bukan lagi orang yang diajak bicara, melainkan Nabi
Musa. Alih-alih menuliskan secara langsung nama Nabi Ibrahim dan Nabi Musa,
penyair justru menuliskan julukannya. Dalam hal ini penyair menggunakan diksi
bermakna konotatif.
terbentuk dari diksi bermakna denotatif dan konotatif dalam menyampaikan isi
2. Pengimajian
dalam mimpi, syair yang ditulis oleh Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki bukanlah
imajinasi belaka melainkan sebuah fakta ilmu dalam agama Islam. Penjelasannya
Pengimajian atau yang dalam bahasa Arab disebut khayal sebagai struktur
pengarang. Dalam hal ini, Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki berusaha membuat
penyair.
Adapun pengimajian yang diciptakan oleh penyair dapat dilihat pada bait
Pada bait ke-21 di atas, dapat diketahui bahwa dalam syair yang
malaikat sebagai makhluk Allah SWT yang tidak makan, minum, maupun tidur.
Melalui hal ini, pembaca akan mendapatkan imaji bahwa malaikat berbeda
dengan manusia. Adapun manusia masih harus makan untuk memenuhi rasa
lapar, minum untuk memenuhi rasa haus, begitu pula dengan kebutuhan tidur.
Dengan pengimajian ini, maka pembaca seolah dapat melihat malaikat sebagai
makhluk yang berbeda dengan manusia meski pada kenyataannya tidak pernah
Unsur imaji juga dapat memacu perasaan pembaca sehingga timbul daya
bayang dalam pikiran. Unsur imaji ini memainkan perasaan pembaca dalam
memahami peristiwa hari kiamat yang terdapat dalam syair. Berikut kutipan bait
ِ ِ ِ ِإ ِ ِِ
ْ يْ َـمـانُنَا ب َـي ْوم آخ ٍر َو َج
۲۸) ب # ب
ْ َو ُك ِّل َمـا َكا َن بـه م َن الْ َع َج
[Īmānunā biyaumi ākhirin [Wakulli mā kāna bihi minal
wajab] ‘ajab]
Keimanan kita kepada Hari Dan segala perkara yang dahsyat
Akhir hukumnya wajib pada Hari Akhir
Berdasarkan kutipan bait di atas, maka dapat diketahui bahwa penyair
dahsyat atau secara harfiah artinya suatu keterkejutan. Melalui kata ini, maka
kiamat yang dahsyat dan hanya berisi perasaan terkejut dan takjub dari manusia.
Selain memicu perasaan, imaji yang diciptakan oleh penyair juga memicu
peristiwa yang dideskripsikan penyair. Berikut ini kutipan bait yang menunjukkan
imaji tersebut :
(٤٦ َو َقْب َـل ِه ْج َـر ِة النَّـيِب ِّ اِْإل ْسَرا # ِم ْـن َم َّـكةَ لَْيالً لُِق ْد ٍس يُ ْد َرى
[Wa qabla hijroti an-Nabiyyil [Min makkata lailan liqudsin
isrā] yudrā]
Dan sebelum Nabi hijrah (ke Dari Makkah pada malam hari
Madinah) terjadi peristiwa Isra’ menuju Baitul Maqdis yang
dapat dilihat
Pada bait ke-46 di atas, penyair melibatkan imaji visual melalui kata ًلَْيال
atau ‘malam’ yang mendeskripsikan waktu terjadinya peristiwa Isra’ yang dilalui
Nabi Muhammad SAW. Kata ًلَْيال merupakan suatu ungkapan yang digunakan
penyair untuk memacu imajinasi pembaca sehingga muncul daya bayang dalam
pikiran. Melalui kata yang artinya malam tersebut, pembaca dapat memahami
bahwa peristiwa Isra’ dilakukan dalam keadaan sekitar yang tenang karena malam
adalah waktu yang biasa digunakan manusia biasa beristirahat. Dengan demikian,
pembaca seolah-olah dapat melihat langsung maupun membayangkan keadaan
yang menunjukkan gerak. Kata yang digunakan penyair seolah dapat dibayangkan
atau dilihat oleh pembaca. Imaji ini dapat dilihat pada bait ke-47 yang
tersebut :
deskripsi tentang gerakan yang ditandai oleh عُـ ـ ُـر ْو ٌج atau ‘naik’ untuk
SAW. Kata عُ ـ ُـر ْو ٌج ini menjelaskan sebuah gerakan berpindahnya Nabi
agama juga menggunakan unsur imaji di dalamnya. Hal ini digunakan agar
3. Kata Konkret
Setelah melihat keseluruhan isi syair, unsur kata konkret tidak terdapat
dalam syair ‘Aqīdah Al-‘Awwām. Adapun imaji yang terdapat dalam syair bukan
merupakan hasil dari adanya kata konkret namun kenyataan yang tetap dapat
bahasa adalah sesuatu yang nyata, benar-benar ada artinya berwujud, dapat lihat,
diraba, dan lain sebagainya (Depdiknas, 2008: 748). Sementara itu, dalam ilmu
sastra, kata konkret sebagaimana menurut Siswanto (2008: 119) adalah kata-kata
yang ditangkap oleh panca indera dan berkaitan dengan munculnya imaji. Kata-
peristiwa atau keadaan yang dilukiskan oleh penyair (Waluyo, 1987: 81).
kata konkret sebagai unsur fisik puisi atau syair adalah usaha penyair untuk
membangun imaji pembaca melalui kata-kata yang berwujud dan dapat diterima
Al-‘Awwām tidak terdiri dari unsur kata konkret di dalamnya. Hal ini bermanfaat
agar tidak terjadinya penafsiran berbeda dari selain yang dimaksud penyair.
Sebuah syair atau puisi dibangun oleh salah satu unsur yang berhubungan
dengan gaya bahasa kiasan atau bahasa figuratif. Bahasa figuratif adalah bahasa
yang digunakan penyair untuk menyampaikan maksud dengan cara yang tidak
biasa yakni menggunakan kata yang bermakna kias atau lambang (waluyo, 1987:
83). Dalam hal ini, Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki menggunakan bahasa
Adapun penyair banyak menggunakan julukan ataupun gelar yang secara bahasa
Penyair menggunakan majas pada beberapa bait dalam syair. Salah satu
Sementara itu, “mushthafā” merupakan nama lain Nabi Muhammad SAW. Nama
musthafa adalah nama yang biasa disematkan bersama dengan nama Nabi
Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul yang telah dipilih Allah SWT. Dengan
demikian, maka dapat diketahui bahwa kata “mushthafā” yang digunakan penyair
SAW. Menggunakan kata untuk makna yang tidak sebenarnya di dalam syair
dalam kajian balaghah disebut juga idengan majaz. Majaz yang digunakan
penyair dapat digolongkan ke dalam majaz isti’arah jika mengacu pada pengertian
sebagaimana menurut Hilmi (2016: 42) Majaz Isti’arah adalah majaz yang
menggunakan lafadz yang bukan semestinya tetapi terdapat sisi persamaan yang
makna yang sebenarnya dalam sastra Indonesia termasuk ke dalam jenis majas
yang merupakan salah satu unsur fisik pembangun syair. Majas yang
menggunakan julukan atau nama lain maupun sifat termasuk ke dalam majas
antonomasia. Sebagaimana menurut Hilmi (2016: 45) antonomasia menggunakan
Penggunaan nama lain Nabi Muhammad juga terdapat pada bait yang
mendeskripsikan tentang nama-nama Nabi dan Rasul. Berikut kutipan data yang
۱۹) ِ
س َز َكريـَّا حَيْىَي
ْ ُـاس يُ ْون
ُ َإلْي # ِعْي َسـى َوطَـهَ َخامِتٌ َد ْع َغـيَّا
[Ilyāsu yūnusu zakariyyā [‘Īsā wa thaha khātimun da’
yahyā] ghayya]
Ilyas, Yunus, Zakariya, Yahya Isa dan Thaha (Muhammad)
sebagai
penutup, maka tinggalkanlah
jalan
yang menyimpang dari
kebenaran
Sama seperti nama “mushthafā”, kata “Thaha” juga merupakan nama lain
yang biasa digunakan untuk menyebut Nabi Muhammad SAW. Pada bait di atas,
nama lain Nabi Muhammad ini sesuai dengan as-Sahbuny (2016: 943) adapun
ulama tafsir Abu Hanifah pernah mengemukakan hadist yang mengatakan bahwa
menunjukkan makna yang lain. Berikut ini adalah bait yang menunjukkan majas
dalam deskripsi identitas penyair yang mendapat pesan dari Rasulullah melalui
perantara mimpi :
arti yang sesungguhnya yaitu orang yang benar dan dibenarkan. Sedangkan hal ini
sesuai dengan sifat nabi Muhammad SAW yang benar atau jujur beserta ajaran
agama paling benar yang dibawanya. Adapun kata “shādiqil mashduqi” sebagai
salah satu sifat nabi ini sebelumnya telah disebutkan oleh Abu Abdurrahman
Abdullah bin Mas’ud dalam pengantar hadis Rasulullah SAW tentang penciptaan
yang diungkapkan Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki dalam syairnya terdiri dari
unsur bahasa figuratif atau yang biasa disebut majas. Hal ini dilakukan untuk
menambah keindahan dalam gaya bahasa sekaligus memperluas pengetahuan
5. Rima/Ritma
Salah satu unsur dari struktur fisik yang membangun sebuah puisi atau
syair adalah rima. Rima adalah struktur fisik yang berkaitan erat dengan bunyi
dan irama. Menurut Sayuti (2008: 104) rima adalah dua kata atau lebih yang
memiliki kesamaan atau kemiripan baik posisinya di akhir kata, ataupun bunyi-
bunyi yang disusun pada jarak atau rentangan tertentu secara teratur dan berulang.
Dalam penelitian syair atau puisi Arab, rima akhir dari sebuah bait puisi inilah
yang disebut juga dengan qafiyah. Qafiyah terdapat pada huruf-huruf yang berada
pada ujung bait syi’ir yang terdiri dari huruf akhir yang mati di ujung bait sampai
klasik atau tradisional, syair ini terikat dengan gaya bahasa lama, berupa ‘arūdh
pembahasan berikut ini. Berdasarkan 57 bait yang terdapat pada syair, diketahui
bahwa qafiyah yang terdapat dalam syair tidak hanya terdapat satu jenis qafiyah
(dalam Khalilah, 2020: 626) qafiyah beragam jenisnya, ia bisa berada pada satu
Pola rima atau qafiyah dalam syair ‘Aqīdah Al-‘Awwām berbeda-beda tiap
baitnya. Hal ini dapat diketahui dengan mengidentifikasi pada beberapa bait syair.
Berikut analisis terhadap beberapa bait syair dengan memperhatikan ketentuan-
ketentuan lainnya dalam ilmu Arudl yang juga berlaku seperti wazn, bahr, dan
taf’ilah :
ُم ْسَت ْفعِلُ ْنُ /مَت ْفعِلُ ْن ُ /مَت ْفعِلُ ْن # /م ْسَت ْفعِلُ ْن ِ ِ
ُمَت ْفعلُ ْن ُ /مَت ْفعلُ ْن ُ
ـحبِ ِه َو َم ْـن تَـبِ ْـع (٤ ِِ َسـبِْي َل ِديْ ِن احْلَ ِّق َغْيَر ُم ْـبـتَ ِد ْع
صْ َوآله َو َ #
ص ْحبِ ِه َ /و َمْنتتَبِ ْع ِِ َسبِْي َل ِد ْي /نِْل َح ْق ِق َغ ْي َ /ر ُمْبتَ ِد ْع
َواَاْله َ /و َ #
0//0//0//0//0//0// # //0//0/0/0//0//0//0
ُمَت ْفعِلُ ْن ُمَت ْفعِلُن ُمَت ْفعِلُ ْن # ُمَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُمَت ْفعِلُ ْن
اعلَم بِوجو ِ
ب الْ َم ْع ِرفَـةُ )۵ ِهلل ِع ْشـ ِريْ َن ِص َفةُ
ـب ِ ِم ْن و ِاج ٍ
َو َب ْع ُد فَ ْ ْ ُ ُ ْ # َ
َو َب ْع ُد فَاْ ْ /علَ ْم بُِو ُج ْو /بِْل َم ْع ِرفَة ش ِ /ريْ َن ِص َفة ِ ِ ِ ِ ِ
# م ْن َواْجنِب ْ /ل ْلاَل ْه ع ْ
0//0/0/0///0/0//0// # /0/0//0/0/0//0/0///0
ُمَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن # ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُم ْستَعِلُ ْن
Berdasarkan hasil analisis data di atas, dapat kita ketahui qafiyah dari tiap
masing-masing bait. Pada bait ke-3, qafiyah terdapat pada kata َ yang terdapatو َّح َدا
pada satu kata. Jenis qafiyah ini termasuk ke dalam qafiyah mutadarik. Qafiyah
mutadarik adalah qafiyah yang di antara dua huruf matinya terhalang dua huruf
hidup (dalam Khalilah, 2020: 626). Sementara itu qafiyah terdiri dari huruf wawu,
cha’, dal, dan alif dengan rawi muqayyad alif. Dimana rawi muqayyad adalah
rawi atau huruf terakhir dari sebuah qafiyah yang terdiri dari huruf mati. Hal ini
sesuai dengan keberadaan harakat sukun pada qafiyah ini yang terletak pada huruf
Adapun pada bait ke-4, pola qafiyah terdapat pada kata ُم ْـب ــتَ ِد ْعyang juga
terdapat pada satu kata. Jenis qafiyah ini juga termasuk ke dalam qafiyah
mutadarik seperti bait ke-3. Sementara itu, qafiyah terdiri dari huruf mim, ba’, ta’,
dal, ‘ain dengan rawi muqayyad ‘ain dimana harakat sukun terletak pada ba’ dan
‘ain.
Sementara itu, pada bait ke-5 pola qafiyah terdapat pada kata ُِع ْش ـ ِريْ َن ِصـ َفة
yang artinya qafiyah terdapat pada dua kata. Adapun jenis qafiyah termasuk ke
dalam qafiyah mutarakib yaitu adanya dua huruf mati terhalang tiga huruf hidup.
Sementara itu, qafiyah terdiri dari huruf nun, shad, fa’, ta’ sedangkan harakat
sukun terdapat pada huruf ya’ dan ta’ dengan rawi mutlak fa’. Berbeda dengan
rawi muqayyad, rawi mutlak adalah rawi yang terdiri dari huruf hidup. Karena
huruf ta’ marbutah tidak termasuk rawi, maka huruf sebelumnya menjadi huruf
rawi, yaitu huruf fa’. Dengan demikian, qafiyah yang terdapat pada ketiga kutipan
bait memiliki unsur yang berbeda-beda. Rawi atau huruf akhir pada ketiga qafiyah
dengan irama. Adapun irama yang tetap menurut pola tertentu, jumlah suku
katanya, tekanannya, dan alun suara naik turunnya tetap disebut dengan metrum
(Pradopo, 2002: 40; Jabrohim, 2003: 54). Jika rima dalam ilmu sastra Arab
disebut sebagai qafiyah, maka metrum inilah yang dikenal dengan istilah bachr.
Bachr yang digunakan dalam syair berdasarkan analisis di atas termasuk ke dalam
ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن# ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن
Akan tetapi, wazan atau pola dari bachr tersebut mengalami perubahan
bentuk dari aslinya. Sesuai dengan pendapat Imam Khalil (dalam Arifuddin, 2018:
100) bahwa bachr rajaz merupakan bachr yang bersifat fluktuatif karena
Menurut Arifuddin (2018: 38,43) zihaf adalah perubahan yang terjadi pada satu
tempat dari satu taf’ilah, sedangkan illah adalah perubahan yang terjadi pada
sabab dan watad dari taf’ilah ‘arūdh dan taf’ilah dharab. Dengan demikian,
Pada bait ke-3 pada satar pertama terdapat perubahan taf’ilah yakni zihaf mufrad
berupa khabn. Khabn adalah membuang huruf kedua yang mati (Kholilah, 2020:
taf’ilah dalam bait. Pada bait ke empat ini, terjadi zihaf yang mufrad yang sama
seperti pada bait ke-3 yakni zihaf mufrad khabn. Taf’ilah ُم ْسـ ـَت ْفعِلُ ْنpada satar
pertama sebanyak 3 taf’ilah berubah menjadi ُمَت ْفعِلُ ْن. Sementara pada satar kedua,
sebanyak 2 taf’ilah ُم ْس ـَت ْفعِلُ ْنkarena mengalami zihaf sehingga berubah menjadi
Berbeda dengan bair ke-3 dan 4, pada bait ke-5 terdapat 2 jenis zihaf
dalam satu baitnya. Zihaf pertama merupakan zihaf murfrad khabn yang terjadi
pada satar pertama. Dengan membuang huruf kedua, maka taf’ilah ُم ْسـ ـ ـَت ْفعِلُ ْن
membuang huruf keempat yang mati. Hal ini mengubah taf’ilah ُم ْسَت ْفعِلُ ْنmenjadi ُم
ستَعِلُ ْن.
ْ Pada bait ini ini, zihaf thayy berjumlah 2 dari 6 taf’ilah yang ada.
Dengan demikian dapat dietahui bahwa rima maupun pola irama yang
di atas. Hal ini menunjukkan bahwa penyair lebih mengutamakan makna dari
syair yang berisi tentang ajaran dalam agama Islam yang banyak dipelajari oleh
Sebuah puisi atau syair dibangun oleh unsur pembentuk visual yang bisa
memberi makna tambahan pada puisi yang disebut tipografi atau tata wajah puisi
(Rokhmansyah, 2014: 26). Dalam hal ini, tipografi meliputi penempatan kata,
baris atau larik, dan bait yang merupakan salah satu struktur fisik syair. Ditinjau
dari aspek bentuk, syair ‘Aqīdah Al-‘Awwām yang terdiri atas 57 bait panjang
dimana setiap bait terdiri atas dua bagian kanan dan kiri yang sejajar atau sama
merupakan gaya penulisan syair Arab klasik atau tradisional pada umumnya yang
disebut sebagai hemistich (Subkhan, 2020: 16). Dalam ilmu prosodi puisi Arab
(‘arud), setengah bait yang pertama pada bait disebut shadar, sedangkan setengah
bait kedua disebut ‘ajz. Ilmu prosodi Arab atau ‘Arud menurut Al-Hasyimi
Berikut ini adalah gambaran syair dalam buku ‘Aqīdah Al-‘Awwām karya
adalah dua kolom. Selain itu, dari keseluruhan jumlah bait yang telah disebutkan,
klasik Arab terdiri dari muqaddimah yang panjang di awal. Di dalamnya terdapat
ungkapan pembuka dan rasa syukur serta memperkenalkan secara umum maksud
Hal ini terdapat pada bait pertama yang diungkapkan penyair melalui kalimat
berikut :
dengan pujian terhadap Allah SWT dalam kalimat basmallah yaitu menggunakan
kata ال َّـر ِحـيـ ِم ِ دائـِِم اإلحـس. Sementara itu, maksud atau
, ال َّـر ْح َـم ِن, dan ان َ tujuan umum
َ ْ
dari syair tidak dijelaskan pada bab muqaddimah melainkan pada bab penutup
۵۱) ُصَرة ِ ِِ
َ ََو َهـذه َعقْي َـدةٌ خُمْـت # َُولِْل َـع َـو ِام َس ْـهـلَةٌ ُميَ َّسَرة
[Wa hadihi ‘aqidatun [Wa lil’awāmili sahlatun
mukhtasharah] muyassarah]
Inilah keterangan Aqidah secara Bagi orang-orang awam yang
ringkas mudah dan gampang
Adapun rincian keseluruhan bait yang dibagi berdasarkan tema
bait, (2) Sifat-sifat wajib dan Jaiz Allah dengan 6 bait (3) sifat wajib, mustahil,
dan jaiz Rasulullah dengan 4 bait (4) Para Nabi dan Rasul dengan 6 bait, (5)
(7) sejarah Nabi Muhammad SAW dengan 4 bait (8) Putra dan putri Rasulullah
SAW dengan 9 bait (9) Istri-istri Rasulullah dengan 3 bait (10) Paman dan bibi
Rasulullah SAW dengan 1 bait (11) Peristiwa Isra’ Mi’raj dengan 5 bait (12)
Dengan demikian, unsur tipografi sebagai salah satu unsur fisik syair