Syi’ir sebagai salah satu jenis karya sastra terbentuk dua struktur penting.
Struktur yang pertama adalah struktur fisik atau struktur yang membangunnya
dari luar. Waluyo (1991: 71) menerangkan bahwa unsur-unsur bentuk atau bisa
disebut struktur fisik puisi dapat diuraikan dalam metode puisi, yakni unsur estetik
diuraikan pada bab I, dapat diketahui bahwa terdapat enam unsur yang
membangun struktur fisik puisi. Unsur-unsur itu adalah diksi, pengimajian atau
khayal, kata konkret, bahasa figuratif atau majas, rima atau ritma, dan tata wajah
atau tipografi. Berikut ini adalah uraian struktur fisik yang membangun syair
dasar dalam agama Islam, mengandung banyak sekali pesan tentang ilmu
ketauhidan, keimanan, dan sejarah Nabi Muhammad SAW baik yang tersirat
maupun tersurat. Dalam hal ini, maka perlu diketahui adanya struktur fisik yang
meliputi pemilihan diksi atau pemilihan kata yang digunakan oleh Syekh Ahmad
mudah dipahami. Dalam hal ini, diksi-diksi yang digunakan dalam syair ‘Aqīdah
berbeda dari penyairnya. Denotatif menurut Tarigan (1995: 56) adalah kata-kata
Berdasarkan kutipan bait di atas, bait ke-5 menggunakan diksi ُِع ْشـ ِريْ َن ِص َفة
untuk menjelaskan sifat wajib Allah. Diksi ini secara langsung memiliki makna
bahwa sifat wajib Allah ada 20. Bait ini semakin diperjelas dengan disebutkannya
keseluruhan sifat-sifat Allah tersebut. Dalam hal ini, makna denotatif disebabkan
karena kata yang dipilih memiliki makna yang sesuai dengan kenyataan atau fakta
yang ada. Hal ini sesuai dengan pengertian kata bermakna denotatif yaitu
keseluruhan unsur makna apa adanya atau makna berdasarkan sebenarnya dalam
Sementara itu pada bait ke-11 dalam syi’r ‘Aqīdah Al-‘Awwām, hal serupa
juga ditemukan. Bait ke-11 merupakan bait yang mengawali bait-bait setelahnya
yang berisi tentang sifat wajib, mustahil, dan jaiz Rasulullah. Sama seperti bait
ke-5, pada bait ini penyair mengunakan diksi yang bermakna denotatif dan mudah
dimengerti untuk menyebutkan sifat-sifat Nabi yang telah diutus Allah SWT.
Berbeda dengan bait ke-11 yang menyebutkan jumlah sifat Allah terlebih dahulu,
pada bait ini Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki langsung menyebutkan sifat-sifat
terdapat dalam syi’r ini. Hal tersebut dapat dilihat pada bait ke-25 dan 26 syi’r
۲۵) َزبُ ْـو ُر َد ُاو َد َواِجْنِ ْـي ُـل َعلَى # َـسى َوفُ ْـرقَا ُن َعلَى خَرْيِ الْ َمال ِ
َ عْي
[Zabūru dāwuda wa injīlu ‘alā] [‘Īsā wafurqānu’alā khairil malā]
Zabur (bagi) Nabi Dawud dan Nabi Isa dan Al-Qur’an bagi
Injil (Bagi) sebaik-baik kaum (Nabi
Muhammad SAW)
menjelaskan tentang kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada pada Nabi yang
telah diutusNya. Bait ke-25 menjelaskan bahwa kitab Zabur diturunkan kepada
Nabi Daud, kitab Injil kepada Nabi Isa sedangkan al-Qur’an kepada Nabi
“Furqān” yang merupakan nama lain dari al-Qur’an. Al-Qur’an memiliki nama
“Furqān” karena ia membedakan antara yang hak dan yang batil (Qaradawi,
1999: 358). Selain itu, bait ini juga menyebutkan bahwa al-Qur’an diturunkan
kepada Nabi Muhammad yang dalam syair digunakan diksi “Khairil Malā” untuk
menyebut Nabi Ibrahim dan al-Kalīm untuk menyebutkan Nabi Musa. Dalam hal
ini, kata al-Khalīl tidak lagi bermakna apa adanya. al-Khalīl pada hakikatnya
Nabi Ibrahim yang cinta dan pengabdiannya kepada Allah sangatlah tulus
melebihi cinta kepada anaknya (Fikri, 2014: 115). Sama dengan al-Khalīl, al-
Kalīm juga merupakan julukan Allah untuk nabi Musa (Jauzi, 2016: 131). Makna
yang dimaksud penyair bukan lagi orang yang diajak bicara, melainkan Nabi
Musa. Alih-alih menuliskan secara langsung nama Nabi Ibrahim dan Nabi Musa,
penyair justru menuliskan julukannya. Dalam hal ini penyair menggunakan diksi
bermakna konotatif.
terbentuk dari diksi bermakna denotatif dan konotatif dalam menyampaikan isi
2. Pengimajian
dalam mimpi, syair yang ditulis oleh Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki bukanlah
imajinasi belaka melainkan sebuah fakta ilmu dalam agama Islam. Penjelasannya
Pengimajian atau yang dalam bahasa Arab disebut khayal sebagai struktur
pengarang. Dalam hal ini, Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki berusaha membuat
penyair.
Adapun pengimajian yang diciptakan oleh penyair dapat dilihat pada bait
Pada bait ke-21 di atas, dapat diketahui bahwa dalam syair yang
malaikat sebagai makhluk Allah SWT yang tidak makan, minum, maupun tidur.
Melalui hal ini, pembaca akan mendapatkan imaji bahwa malaikat berbeda
dengan manusia. Adapun manusia masih harus makan untuk memenuhi rasa
lapar, minum untuk memenuhi rasa haus, begitu pula dengan kebutuhan tidur.
Dengan pengimajian ini, maka pembaca seolah dapat melihat malaikat sebagai
makhluk yang berbeda dengan manusia meski pada kenyataannya tidak pernah
Unsur imaji juga dapat memacu perasaan pembaca sehingga timbul daya
bayang dalam pikiran. Unsur imaji ini memainkan perasaan pembaca dalam
memahami peristiwa hari kiamat yang terdapat dalam syair. Berikut kutipan bait
ِ ِ ِ ِإ ِ ِِ
ْ يْ َـمـانُنَا ب َـي ْوم آخ ٍر َو َج
۲۸) ب # ب
ْ َو ُك ِّل َمـا َكا َن بـه م َن الْ َع َج
[Īmānunā biyaumi ākhirin [Wakulli mā kāna bihi minal
wajab] ‘ajab]
Keimanan kita kepada Hari Dan segala perkara yang dahsyat
Akhir hukumnya wajib pada Hari Akhir
Berdasarkan kutipan bait di atas, maka dapat diketahui bahwa penyair
dahsyat atau secara harfiah artinya suatu keterkejutan. Melalui kata ini, maka
kiamat yang dahsyat dan hanya berisi perasaan terkejut dan takjub dari manusia.
Selain memicu perasaan, imaji yang diciptakan oleh penyair juga memicu
peristiwa yang dideskripsikan penyair. Berikut ini kutipan bait yang menunjukkan
imaji tersebut :
(٤٦ َو َقْب َـل ِه ْج َـر ِة النَّـيِب ِّ اِْإل ْسَرا # ِم ْـن َم َّـكةَ لَْيالً لُِق ْد ٍس يُ ْد َرى
[Wa qabla hijroti an-Nabiyyil [Min makkata lailan liqudsin
isrā] yudrā]
Dan sebelum Nabi hijrah (ke Dari Makkah pada malam hari
Madinah) terjadi peristiwa Isra’ menuju Baitul Maqdis yang
dapat dilihat
Pada bait ke-46 di atas, penyair melibatkan imaji visual melalui kata ًلَْيال
atau ‘malam’ yang mendeskripsikan waktu terjadinya peristiwa Isra’ yang dilalui
Nabi Muhammad SAW. Kata ًلَْيال merupakan suatu ungkapan yang digunakan
penyair untuk memacu imajinasi pembaca sehingga muncul daya bayang dalam
pikiran. Melalui kata yang artinya malam tersebut, pembaca dapat memahami
bahwa peristiwa Isra’ dilakukan dalam keadaan sekitar yang tenang karena malam
adalah waktu yang biasa digunakan manusia biasa beristirahat. Dengan demikian,
pembaca seolah-olah dapat melihat langsung maupun membayangkan keadaan
yang menunjukkan gerak. Kata yang digunakan penyair seolah dapat dibayangkan
atau dilihat oleh pembaca. Imaji ini dapat dilihat pada bait ke-47 yang
tersebut :
deskripsi tentang gerakan yang ditandai oleh عُـ ـ ُـر ْو ٌج atau ‘naik’ untuk
SAW. Kata عُ ـ ُـر ْو ٌج ini menjelaskan sebuah gerakan berpindahnya Nabi
agama juga menggunakan unsur imaji di dalamnya. Hal ini digunakan agar
3. Kata Konkret
Setelah melihat keseluruhan isi syair, unsur kata konkret tidak terdapat
dalam syair ‘Aqīdah Al-‘Awwām. Adapun imaji yang terdapat dalam syair bukan
merupakan hasil dari adanya kata konkret namun kenyataan yang tetap dapat
bahasa adalah sesuatu yang nyata, benar-benar ada artinya berwujud, dapat lihat,
diraba, dan lain sebagainya (Depdiknas, 2008: 748). Sementara itu, dalam ilmu
sastra, kata konkret sebagaimana menurut Siswanto (2008: 119) adalah kata-kata
yang ditangkap oleh panca indera dan berkaitan dengan munculnya imaji. Kata-
peristiwa atau keadaan yang dilukiskan oleh penyair (Waluyo, 1987: 81).
kata konkret sebagai unsur fisik puisi atau syair adalah usaha penyair untuk
membangun imaji pembaca melalui kata-kata yang berwujud dan dapat diterima
Al-‘Awwām tidak terdiri dari unsur kata konkret di dalamnya. Hal ini bermanfaat
agar tidak terjadinya penafsiran berbeda dari selain yang dimaksud penyair.
Sebuah syair atau puisi dibangun oleh salah satu unsur yang berhubungan
dengan gaya bahasa kiasan atau bahasa figuratif. Bahasa figuratif adalah bahasa
yang digunakan penyair untuk menyampaikan maksud dengan cara yang tidak
biasa yakni menggunakan kata yang bermakna kias atau lambang (waluyo, 1987:
83). Dalam hal ini, Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki menggunakan bahasa
Adapun penyair banyak menggunakan julukan ataupun gelar yang secara bahasa
Penyair menggunakan majas pada beberapa bait dalam syair. Salah satu
Sementara itu, “mushthafā” merupakan nama lain Nabi Muhammad SAW. Nama
musthafa adalah nama yang biasa disematkan bersama dengan nama Nabi
Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul yang telah dipilih Allah SWT. Dengan
demikian, maka dapat diketahui bahwa kata “mushthafā” yang digunakan penyair
SAW. Menggunakan kata untuk makna yang tidak sebenarnya di dalam syair
dalam kajian balaghah disebut juga idengan majaz. Majaz yang digunakan
penyair dapat digolongkan ke dalam majaz isti’arah jika mengacu pada pengertian
sebagaimana menurut Hilmi (2016: 42) Majaz Isti’arah adalah majaz yang
menggunakan lafadz yang bukan semestinya tetapi terdapat sisi persamaan yang
makna yang sebenarnya dalam sastra Indonesia termasuk ke dalam jenis majas
yang merupakan salah satu unsur fisik pembangun syair. Majas yang
menggunakan julukan atau nama lain maupun sifat termasuk ke dalam majas
antonomasia. Sebagaimana menurut Hilmi (2016: 45) antonomasia menggunakan
Penggunaan nama lain Nabi Muhammad juga terdapat pada bait yang
mendeskripsikan tentang nama-nama Nabi dan Rasul. Berikut kutipan data yang
۱۹) ِ
س َز َكريـَّا حَيْىَي
ْ ُـاس يُ ْون
ُ َإلْي # ِعْي َسـى َوطَـهَ َخامِتٌ َد ْع َغـيَّا
[Ilyāsu yūnusu zakariyyā [‘Īsā wa thaha khātimun da’
yahyā] ghayya]
Ilyas, Yunus, Zakariya, Yahya Isa dan Thaha (Muhammad)
sebagai
penutup, maka tinggalkanlah
jalan
yang menyimpang dari
kebenaran
Sama seperti nama “mushthafā”, kata “Thaha” juga merupakan nama lain
yang biasa digunakan untuk menyebut Nabi Muhammad SAW. Pada bait di atas,
nama lain Nabi Muhammad ini sesuai dengan as-Sahbuny (2016: 943) adapun
ulama tafsir Abu Hanifah pernah mengemukakan hadist yang mengatakan bahwa
menunjukkan makna yang lain. Berikut ini adalah bait yang menunjukkan majas
dalam deskripsi identitas penyair yang mendapat pesan dari Rasulullah melalui
perantara mimpi :
arti yang sesungguhnya yaitu orang yang benar dan dibenarkan. Sedangkan hal ini
sesuai dengan sifat nabi Muhammad SAW yang benar atau jujur beserta ajaran
agama paling benar yang dibawanya. Adapun kata “shādiqil mashduqi” sebagai
salah satu sifat nabi ini sebelumnya telah disebutkan oleh Abu Abdurrahman
Abdullah bin Mas’ud dalam pengantar hadis Rasulullah SAW tentang penciptaan
yang diungkapkan Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki dalam syairnya terdiri dari
unsur bahasa figuratif atau yang biasa disebut majas. Hal ini dilakukan untuk
Salah satu unsur dari struktur fisik yang membangun sebuah puisi atau
syair adalah rima. Rima adalah struktur fisik yang berkaitan erat dengan bunyi
dan irama. Menurut Sayuti (2008: 104) rima adalah dua kata atau lebih yang
memiliki kesamaan atau kemiripan baik posisinya di akhir kata, ataupun bunyi-
bunyi yang disusun pada jarak atau rentangan tertentu secara teratur dan berulang.
Dalam penelitian syair atau puisi Arab, rima akhir dari sebuah bait puisi inilah
yang disebut juga dengan qafiyah. Qafiyah terdapat pada huruf-huruf yang berada
pada ujung bait syi’ir yang terdiri dari huruf akhir yang mati di ujung bait sampai
klasik atau tradisional, syair ini terikat dengan gaya bahasa lama, berupa ‘arūdh
pembahasan berikut ini. Berdasarkan 57 bait yang terdapat pada syair, diketahui
bahwa qafiyah yang terdapat dalam syair tidak hanya terdapat satu jenis qafiyah
(dalam Khalilah, 2020: 626) qafiyah beragam jenisnya, ia bisa berada pada satu
Pola rima atau qafiyah dalam syair ‘Aqīdah Al-‘Awwām berbeda-beda tiap
baitnya. Hal ini dapat diketahui dengan mengidentifikasi pada beberapa bait syair.
taf’ilah:
ُم ْسَت ْفعِلُ ْنُ /مَت ْفعِلُ ْن ُ /مَت ْفعِلُ ْن # /م ْسَت ْفعِلُ ْن ِ ِ
ُمَت ْفعلُ ْن ُ /مَت ْفعلُ ْن ُ
ـحبِ ِه َو َم ْـن تَـبِ ْـع (٤ ِِ َسـبِْي َل ِديْ ِن احْلَ ِّق َغْيَر ُم ْـبـتَ ِد ْع
صْ َوآله َو َ #
ص ْحبِ ِه َ /و َمْنتتَبِ ْع ِِ َسبِْي َل ِد ْي /نِْل َح ْق ِق َغ ْي َ /ر ُمْبتَ ِد ْع
َواَاْله َ /و َ #
0//0//0//0//0//0// # //0//0/0/0//0//0//0
ُمَت ْفعِلُ ْن ُمَت ْفعِلُن ُمَت ْفعِلُ ْن # ُمَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُمَت ْفعِلُ ْن
اعلَم بِوجو ِ
ب الْ َم ْع ِرفَـةُ )۵ ِهلل ِع ْشـ ِريْ َن ِص َفةُ
ـب ِ ِم ْن و ِاج ٍ
َو َب ْع ُد فَ ْ ْ ُ ُ ْ # َ
َو َب ْع ُد فَاْ ْ /علَ ْم بُِو ُج ْو /بِْل َم ْع ِرفَة ِ ِ ِ ِ ِ ِ
# م ْن َواْجنِب ْ /ل ْلاَل ْه ع ْ
ش ِ /ريْ َن ص َفة
0//0/0/0///0/0//0// # /0/0//0/0/0//0/0///0
ُمَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن # ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُم ْستَعِلُ ْن
Berdasarkan hasil analisis data di atas, dapat kita ketahui qafiyah dari tiap
masing-masing bait. Pada bait ke-3, qafiyah terdapat pada kata َ yang terdapatو َّح َدا
pada satu kata. Jenis qafiyah ini termasuk ke dalam qafiyah mutadarik. Qafiyah
mutadarik adalah qafiyah yang di antara dua huruf matinya terhalang dua huruf
hidup (dalam Khalilah, 2020: 626). Sementara itu qafiyah terdiri dari huruf wawu,
cha’, dal, dan alif dengan rawi muqayyad alif. Dimana rawi muqayyad adalah
rawi atau huruf terakhir dari sebuah qafiyah yang terdiri dari huruf mati. Hal ini
sesuai dengan keberadaan harakat sukun pada qafiyah ini yang terletak pada huruf
Adapun pada bait ke-4, pola qafiyah terdapat pada kata ُم ْـب ــتَ ِد ْعyang juga
terdapat pada satu kata. Jenis qafiyah ini juga termasuk ke dalam qafiyah
mutadarik seperti bait ke-3. Sementara itu, qafiyah terdiri dari huruf mim, ba’, ta’,
dal, ‘ain dengan rawi muqayyad ‘ain dimana harakat sukun terletak pada ba’ dan
‘ain.
Sementara itu, pada bait ke-5 pola qafiyah terdapat pada kata ُِع ْش ـ ِريْ َن ِصـ َفة
yang artinya qafiyah terdapat pada dua kata. Adapun jenis qafiyah termasuk ke
dalam qafiyah mutarakib yaitu adanya dua huruf mati terhalang tiga huruf hidup.
Sementara itu, qafiyah terdiri dari huruf nun, shad, fa’, ta’ sedangkan harakat
sukun terdapat pada huruf ya’ dan ta’ dengan rawi mutlak fa’. Berbeda dengan
rawi muqayyad, rawi mutlak adalah rawi yang terdiri dari huruf hidup. Karena
huruf ta’ marbutah tidak termasuk rawi, maka huruf sebelumnya menjadi huruf
rawi, yaitu huruf fa’. Dengan demikian, qafiyah yang terdapat pada ketiga kutipan
bait memiliki unsur yang berbeda-beda. Rawi atau huruf akhir pada ketiga qafiyah
dengan irama. Adapun irama yang tetap menurut pola tertentu, jumlah suku
katanya, tekanannya, dan alun suara naik turunnya tetap disebut dengan metrum
(Pradopo, 2002: 40; Jabrohim, 2003: 54). Jika rima dalam ilmu sastra Arab
disebut sebagai qafiyah, maka metrum inilah yang dikenal dengan istilah bachr.
Bachr yang digunakan dalam syair berdasarkan analisis di atas termasuk ke dalam
ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن# ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن ُم ْسَت ْفعِلُ ْن
Akan tetapi, wazan atau pola dari bachr tersebut mengalami perubahan
bentuk dari aslinya. Sesuai dengan pendapat Imam Khalil (dalam Arifuddin, 2018:
100) bahwa bachr rajaz merupakan bachr yang bersifat fluktuatif karena
Menurut Arifuddin (2018: 38,43) zihaf adalah perubahan yang terjadi pada satu
tempat dari satu taf’ilah, sedangkan illah adalah perubahan yang terjadi pada
sabab dan watad dari taf’ilah ‘arūdh dan taf’ilah dharab. Dengan demikian,
Perubahan tersebut terlihat pada ketiga kutipan bait, yaitu bait ke-3,4,dan
5. Pada bait ke-3 pada satar pertama terdapat perubahan taf’ilah yakni zihaf
mufrad berupa khabn. Khabn adalah membuang huruf kedua yang mati (Kholilah,
Kemudian pada bait ke-4 juga terjadi perbuahan atau zihaf pada taf’ilah-
taf’ilah dalam bait. Pada bait ke empat ini, terjadi zihaf yang mufrad yang sama
seperti pada bait ke-3 yakni zihaf mufrad khabn. Taf’ilah ُم ْسـ ـَت ْفعِلُ ْنpada satar
pertama sebanyak 3 taf’ilah berubah menjadi ُمَت ْفعِلُ ْن. Sementara pada satar kedua,
sebanyak 2 taf’ilah ُم ْس ـَت ْفعِلُ ْنkarena mengalami zihaf sehingga berubah menjadi
Berbeda dengan bair ke-3 dan 4, pada bait ke-5 terdapat 2 jenis zihaf
dalam satu baitnya. Zihaf pertama merupakan zihaf murfrad khabn yang terjadi
pada satar pertama. Dengan membuang huruf kedua, maka taf’ilah ُم ْس ـ ـَت ْفعِلُ ْن
membuang huruf keempat yang mati. Hal ini mengubah taf’ilah سَت ْفعِلُ ْن
ْ ُمmenjadi ُم
ستَعِلُ ْن.
ْ Pada bait ini ini, zihaf thayy berjumlah 2 dari 6 taf’ilah yang ada.
Dengan demikian dapat dietahui bahwa rima maupun pola irama yang
di atas. Hal ini menunjukkan bahwa penyair lebih mengutamakan makna dari
syair yang berisi tentang ajaran dalam agama Islam yang banyak dipelajari oleh
memberi makna tambahan pada puisi yang disebut tipografi atau tata wajah puisi
(Rokhmansyah, 2014: 26). Dalam hal ini, tipografi meliputi penempatan kata,
baris atau larik, dan bait yang merupakan salah satu struktur fisik syair. Ditinjau
dari aspek bentuk, syair ‘Aqīdah Al-‘Awwām yang terdiri atas 57 bait panjang
dimana setiap bait terdiri atas dua bagian kanan dan kiri yang sejajar atau sama
merupakan gaya penulisan syair Arab klasik atau tradisional pada umumnya yang
disebut sebagai hemistich (Subkhan, 2020: 16). Dalam ilmu prosodi puisi Arab
(‘arud), setengah bait yang pertama pada bait disebut shadar, sedangkan setengah
bait kedua disebut ‘ajz. Ilmu prosodi Arab atau ‘Arud menurut Al-Hasyimi
Berikut ini adalah gambaran syair dalam buku ‘Aqīdah Al-‘Awwām karya
adalah dua kolom. Selain itu, dari keseluruhan jumlah bait yang telah disebutkan,
klasik Arab terdiri dari muqaddimah yang panjang di awal. Di dalamnya terdapat
ungkapan pembuka dan rasa syukur serta memperkenalkan secara umum maksud
Hal ini terdapat pada bait pertama yang diungkapkan penyair melalui kalimat
berikut :
dengan pujian terhadap Allah SWT dalam kalimat basmallah yaitu menggunakan
kata ال َّـر ِحـيـ ِم ِ دائـِِم اإلحـس. Sementara itu, maksud atau
, ال َّـر ْح َـم ِن, dan ان َ tujuan umum
َ ْ
dari syair tidak dijelaskan pada bab muqaddimah melainkan pada bab penutup
۵۱) ُصَرة ِ ِِ
َ ََو َهـذه َعقْي َـدةٌ خُمْـت # َُولِْل َـع َـو ِام َس ْـهـلَةٌ ُميَ َّسَرة
[Wa hadihi ‘aqidatun [Wa lil’awāmili sahlatun
mukhtasharah] muyassarah]
Inilah keterangan Aqidah secara Bagi orang-orang awam yang
ringkas mudah dan gampang
Adapun rincian keseluruhan bait yang dibagi berdasarkan tema
bait, (2) Sifat-sifat wajib dan Jaiz Allah dengan 6 bait (3) sifat wajib, mustahil,
dan jaiz Rasulullah dengan 4 bait (4) Para Nabi dan Rasul dengan 6 bait, (5)
(7) sejarah Nabi Muhammad SAW dengan 4 bait (8) Putra dan putri Rasulullah
SAW dengan 9 bait (9) Istri-istri Rasulullah dengan 3 bait (10) Paman dan bibi
Rasulullah SAW dengan 1 bait (11) Peristiwa Isra’ Mi’raj dengan 5 bait (12)
Dengan demikian, unsur tipografi sebagai salah satu unsur fisik syair
sebagaimana yang telah diuraikan pada rumusan masalah yang pertama, maka
perlu diketahui juga struktur syir yang kedua adalah struktur batin atau struktur
yang membangunnya dari dalam. Struktur batin dalam syir mengungkapkan apa
yang hendak dikemukakan oleh penyair dengan perasaan dan suasana jiwanya. J.
Waluyo (1991: 102) menerangkan bahwa stuktur batin puisi mengungkapkan apa
yang hendak dikemukakan oleh sang penyair dengan perasaan dan suasana
diketahui bahwa terdapat empat unsur yang membangun struktur batin puisi.
Unsur-unsur itu adalah tema, perasaan, nada dan suasana lalu amanat. Berikut ini
adalah uraian struktur batin yang membangun syir ‘Aqīdah Al-‘Awwām karya
1. Tema
pendidikan tinggi. Tema yang hendak diangkat oleh penyair di dalam syir ‘Aqīdah
atas pengalaman hidup penyair tersebut secara konkret. Jika penyair bukan
seorang religius yang khusyuk dalam hal religi, maka akan sulit diharapkan ia
ketauhidan. Tema ketuhanan adalah salah satu tema yang sering digunakan oleh
penyair klasik dengan tujuan menyebarkan agama islam. Meskipun demikian, syir
‘Aqīdah Al-‘Awwām tergolong karya syair yang muncul pada masa modern. Masa
modern atau al-‘ashr al-hadīs adalah masa munculnya karya-karya yang yang
timbul akibat nasionalisme bangsa Arab di abad modern setelah tahun 1220 H
atau permulaan abad ke 13 H (Yunus, 2015: 2). Sementara itu, syir ‘Aqīdah
Al-‘Awwām muncul sekitar tahun 1258 H. Adapun pada masa modern ini terdapat
para tradisionalis yang ingin tetap menjaga tradisi klasik, yaitu adanya monoritme
dalam puisi Arab dan tema puisi ketuhanan atau religius yang masih tetap
Tema Ketuhanan dalam syir ‘Aqīdah Al-‘Awwām ini dapat dilihat melalui
kata-kata atau diksi bernuansa islami atau yang istilah-istilah berkaitan dengan
Tuhan atau Allah SWT. Pertama, judul syair yaitu ‘Aqīdah Al-‘Awwām yang
artinya akidah bagi orang-orang awam. Adapun pengertian akidah adalah suatu
yang dipercaya atau yang diyakini dalam hal agama (Depdiknas, 2008: 28).
Sementara itu, akidah yang dimaksud syair adalah akidah yang benar dalam
agama Islam.
Adapun ‘Aqīdah Al-‘Awwām digunakan sebagai judul untuk
Nya dengan mengesakan Allah SWT, mengimani apa yang diwajibkan baginya
isi syair ‘Aqīdah Al-‘Awwām adalah ajaran dalam agama Islam bagi umat Islam
ketuhanan dan menunjukkan keimanan penyair terhadap Allah SWT. Hal ini dapat
dilihat pada tiap-tiap bait yang berisi dasar-dasar dalam agama Islam. Berikut ini
contoh bait yang mengandung diksi bernuansa islami atau ketuhanan tersebut :
menggunakan kalimat ِ أب ـ َـدُأ بِــاس ِمyang mengandung lafadz Allah SWT untuk
اهلل ْ ْ
mengawali bait-bait selanjutnya yang juga berisi lafadz Allah. Sehingga secara
syir ‘Aqīdah Al-‘Awwām, karena kita tahu bahwa Allah SWT sebagai Tuhan yang
diyakini oleh umat Islam. Diksi lain yang menjadi penanda syair bertemakan
ketuhanan yaitu diksi-diksi yang bernuansa Islam dan biasa digunakan dalam
ilmu-ilmu agama atau tercantum dalam ayat al-Qur’an maupun hadist yang
menunjukkan bahwa penyair sedang menyampaikan ketauhidannya terhadap
Allah SWT.
Selain lafadz-lafadz Allah SWT yang banyak disebut dalam syair, adapun
Allah, juga sejarah hidup Nabi Muhammad SAW yang terdapat dalam syair
sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadist. Berikut ini adalah
contoh kata-kata bernuansa Islami berupa nama-nama Nabi dan Rasul dalam syir
‘Aqīdah Al-‘Awwām :
(۱٦ س نُ ْو ٌح ُه ْـو ُد َم ْع ِ ِ َ ُه ْم صالِ ْـح َوِإْبَر ِاه ْـي ُـم ُكلٌّ ُمـتَّبَ ْع
ُ ْآد ٌم ا ْدري # َ
[Hum ādamun idrīsun [Shālih wa ibrāhīmu kullu muttaba’]
nūchun hūdu ma’]
Mereka adalah Nabi Adam, Shaleh, Ibrahim (yang masing-
Idris, Nuh, Hud serta masing diikuti berikutnya)
ُ اعْي ُل اِ ْس َح
۱۷) اق َك َذا ِ لُو ٌط واِسـم
َْ َ ْ # احتَ َذى
ْ بُ ـف َوَأيُّ ْو
ُ وس
ُ ُوب ي
ُ َي ْع ُق
[Lūthun wa ismā’īlu [Ya’qūbu yūsufu wa ayyūbuchtadzā]
ischāqu kadzā]
Luth, Ismail dan Ishaq Ya'qub, Yusuf dan Ayyub dan
demikian pula selanjutnya
۱۹) ِ
س َز َكريـَّا حَيْىَي
ْ ُـاس يُ ْون
ُ َإلْي # ِعْي َسـى َوطَـهَ َخامِتٌ َد ْع َغـيَّا
[Ilyāsu yūnusu zakariyyā [‘Īsā wa thaha khātimun da’
yahyā] ghayya]
Ilyas, Yunus, Zakariya, Isa dan Thaha (Muhammad) sebagai
Yahya penutup, maka tinggalkanlah jalan
yang menyimpang dari kebenaran
menguraikan nama 25 Nabi untuk diketahui oleh umat muslim. Hal ini
۲۵) َزبُ ْـو ُر َد ُاو َد َواِجْنِ ْـي ُـل َعلَى # َـسى َوفُ ْـرقَا ُن َعلَى خَرْيِ الْ َمال ِ
َ عْي
[Zabūru dāwuda wa injīlu [‘Īsā wafurqānu’alā khairil malā]
‘alā]
Zabur (bagi) Nabi Dawud dan Nabi Isa dan Al-Qur’an bagi
Injil (Bagi) sebaik-baik kaum (Nabi
Muhammad SAW)
۲۷) َو ُك ُّـل َما َأتَى بِِه ال َّـر ُس ْـو ُل # َّسـلِ ْـي ُم َوالْ َقُب ْو ُل
ْ فَ َح ُّـقـهُ الت
[Wakullumā atā bihi ar- [Fachaqquhu at-taslīmu wal
Rasulu] qubūlu]
Dan segala apa-apa yang Maka harus diyakini benar dan
disampaikan oleh Rasulullah terkabul
ِ ِ ِ ِإ ِ ِِ
ْ يْ َـمـانُنَا ب َـي ْوم آخ ٍر َو َج
۲۸) ب # ب
ْ َو ُك ِّل َمـا َكا َن بـه م َن الْ َع َج
[Īmānunā biyaumi ākhirin [Wakulli mā kāna bihi minal
wajab] ‘ajab]
Keimanan kita kepada Hari Dan segala perkara yang dahsyat
Akhir hukumnya wajib pada Hari Akhir
(Abdullah, t.t: 7)
nama-nama kitab Allah yang wajib diimani umat muslim secara keseluruhan.
Diksi-diksi yang digunakan pada bait-bait tersebut adalah diksi-diksi yang umum
digunakan dalam ilmu agama Islam dan juga tercantum di dalam al-Qur’an.
Adapun tema Ketuhanan yang terdapat dalam syir juga diketahui dengan
adanya unsur madah atau pujian di dalam syair. Menurut Yunus (2015: 3), madah
adalah jenis puisi yang digunakan untuk memuji seseorang dengan segala sifat
dan kebesaran yang dimilikinya. Dengan kata lain, madah adalah bentuk pujian.
Bentuk pujian dalam syair ditunjukkan melalui shalawat yang disematkan penyair
baik di awal bait maupun di akhir. Berikut ini kutipan bait yang menunjukkan
mengungkapkan pujian kepada Allah SWT dan shalawat kepada Nabi sebagai
dalam syair menunjukkan bukti bahwa penyair sedang menunjukkan cara untuk
mengesakan Allah SWT sehingga syair ini diketahui bertemakan ketuhanan atau
ketauhidan.
ditimbulkan, dan amanat yang hendak disampaikan oleh penyair. Uraian tentang
tema ini sengaja dibuat panjang lebar dengan contoh yang cukup banyak karena
akan dijadikan titik tolak uraian perasaan, nada dan amanat yang hendak
disampaikan.
Dengan demikian syir ‘Aqīdah Al-‘Awwām terdiri atas unsur batin berupa
tema yaitu tentang Ketuhanan yang berisi tentang pujian-pujian dan istilah-istilah
dalam agama Islam dengan maksud penyebaran agama atau keyakinan Islam bagi
umat manusia.
2. Perasaan
dapat dapat dihayati oleh pembaca. Adapun Syir ‘Aqīdah Al-‘Awwām dibangun
oleh unsur perasaan atau rasa dari Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki sebagai
mengimani apa-apa yang diperintahkan oleh-Nya. Hal ini dapat diketahui dari
ajaran agama Islam yang merupakan isi pokok syair sehingga umat Islam secara
Rasulullah SAW sebagai utusan Allah yang menuntun umatnya dari kesesatan
menuju kebenaran. Rasa cinta kepada Rasulullah ini dapat diketahui dari
dituangkan dalam bentuk ungkapan pujian, syukur, dan permohonan doa kepada-
Nya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan syir berikut ini:
Pada bait syir pertama, penyair menggambarkan seseorang yang taat dan
cinta kepada Allah SWT. Dengan kata lain, dalam memulai suatu kebaikan
hendaknya selalu mengingat dan menyebut nama Allah SWT yang Maha
Qadim (Maha Dahulu), al-Awwal (Maha Awal), al-Akhir (Maha Akhir), dan al-
Pada bait ke-55 penyair berdoa atau memohon kepada Allah SWT dengan
ungkapan kata-kata pujian kepada-Nya terlebih dahulu bahwa Allah SWT adalah
Maha Pemurah, lalu penyair memohon kepada Allah SWT untuk memberikan
SWT, lalu penyair mengungkapkan perasaan cintanya kepada utusan Allah SWT
ungkapan pujian dan doa kepadanya beserta keluarga dan para sahabatnya. Hal
(٤ ـحبِ ِه َو َم ْـن تَـبِ ْـع ِِ َسـبِْي َل ِديْ ِن احْلَ ِّق َغْيَر ُم ْـبـتَ ِد ْع
ْص َ َوآله َو #
[Wa ālihi washachbihi [Sabīladīnil chaqqi ghaira mubtadi’]
waman tabi’]
Dan keluarganya, para Jalan agama yang benar bukan orang-
sahabatnya, dan orang-orang orang yang berbuat bid’ah
yang mengikuti
(Abdullah,t.t: 5)
Pada kedua bait diatas, menggambarkan penyair yang begitu mencintai
Nabi Muhammad SAW dengan membaca shalawat dan salam serta memuji beliau
termasuk orang-orang yang baik yang berada di sekeliling nabi Muhammad SAW.
terbangun oleh unsur perasaan cinta yang mendalam dari penyair kepada
lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Sikap penyair tersebut disebut
dengan nada dan suasana. Nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca, dan
syir tersebut terhadap pembaca. J. Waluyo (1991: 125) berpendapat bahwa nada
oeleh unsur nada dan suasana. Adapun dalam syir ‘Aqīdah Al-‘Awwām, pengarang
(٤ ـحبِ ِه َو َم ْـن تَـبِ ْـع ِِ َسـبِْي َل ِديْ ِن احْلَ ِّق َغْيَر ُم ْـبـتَ ِد ْع
ْص َ َوآله َو #
[Wa ālihi washachbihi waman [Sabīladīnil chaqqi ghaira
tabi’] mubtadi’]
Dan keluarganya, para Jalan agama yang benar bukan
sahabatnya, dan orang-orang orang-orang yang berbuat bid’ah
yang mengikuti
(Abdullah,t.t: 5)
kekasihNya dengan memulai pembukaan syir dengan nama Allah SWT dan
dengan pembaca yaitu bernada sebuah ajakan terhadap pembaca agar pembaca
menyadari bahwa sebagai umat muslim yang beriman hanya dapat bergantung
Dengan demikian akan tercipta suasana atau perasaan cinta yang sama
dialami oleh pembaca setelah membaca syair tersebut, baik kepada Allah SWT
maupun utusanNya yaitu Nabi Muhammad SAW. Unsur nada dan suasana ini
turut membangun kelengkapan syair sehingga dapat diterima pembacanya dengan
sebaik mungkin.
4. Amanat
Amanat adalah sesuatu yang ingin disampaikan oleh penyair kepada pembaca.
maka amanat dalam syir ‘Aqīdah Al-‘Awwām adalah pesan yang berusaha
disampaikan penyair terkait ajakan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan atau
memperkuat keimanan dan hal-hal kebaikan lainnya sesuai ajaran agama yang
Dalam hal ini, Syekh Ahmad Marzuki Al-Maliki yang memiliki sikap
religius dan kecintaan yang besar terhadap Allah SWT dan agama Islam sehingga
mengajak pembaca untuk mengambil amanat atau pesan yang terdapat dalam
syair. Amanat atau pesan yang terdapat dalam syair dapat diketahui secara
eksplisit maupun implisit. Amanat secara eksplisit atau tersurat terdapat dalam
beberapa bait syair yang isinya secara langsung berbentuk ajakan pengarang
kepada pembaca. Berikut ini bait yang menunjukkan amanat secara tersurat dalam
syair:
muslim untuk mengetahui nama-nama Nabi dan Rasul serta meyakini atau
orang yang telah baligh dan berakal sehingga memiliki beban untuk mengerjakan
ajakannya tersebut, pernyair dalam hal ini juga menjelaskan bahwa ajaran yang
Allah SWT ini juga mencakup ajakan untuk mempercayai sejarah kehidupan Nabi
Muhammad SAW dan peristiwa isra’ mi’raj yang dijelaskan pada bab terakhir
syair.
Adapun mengimani Rasul merupakan bagian dari Rukun Iman, yakni Rukun Iman
ketiga. Sebagaimana yang juga diungkapkan oleh Hasanah (2012: 16) Iman
kepada para rasul Allah SWT adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah SWT
pada bait lain tentang ajakan untuk mengimani hari kiamat sebagai kewajiban
seorang muslim yang beriman. Berikut ini bait yang berisi amanat untuk
ِ ِ ِ ِإ ِ ِِ
ْ يْ َـمـانُنَا ب َـي ْوم آخ ٍر َو َج
۲۸) ب # ب
ْ َو ُك ِّل َمـا َكا َن بـه م َن الْ َع َج
[Īmānunā biyaumi ākhirin [Wakulli mā kāna bihi minal
wajab] ‘ajab]
Keimanan kita kepada Hari Dan segala perkara yang dahsyat
Akhir hukumnya wajib pada Hari Akhir
mengimani hari akhir atau hari kiamat sebagai kejadian dahsyat yang akan terjadi
sesuai dengan perintah Allah SWT dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
Adapun keimanan kepada hari akhir adalah Rukun Iman ke-5. Mengimaninya
merupakan kewajiban bagi seorang muslim karena adanya hari akhir atau hari
kiamat direncanakan oleh Allah SWT. Iman kepada hari akhir ini yang
diungkapkan penyair ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat al-Hajj
adalah syir yang berisi tentang dasar-dasar ajaran agama Islam bagi umat muslim
antaranya perintah untuk mengimani hal-hal wajib dalam Rukun Iman. Selain itu,
penyair juga menyampaikan amanat dalam syair secara implisit atau tersirat pada
bait yang dapat diketahui setelah membaca keseluruhan syair. Bait-bait tersebut
berisi ajakan untuk membiasakan kebiasaan-kebiasaan yang hendaknya dilakukan
seorang muslim. Berikut ini adalah bait yang secara implisit berisi amanat dalam
syair:
untuk mengawali uraian bait setelahnya. Bait ini secara tidak langsung mengajak
sebelum melakukan suatu perbuatan yang ditujukan untuk Allah SWT. Amanat
tidak langsung yang diterima oleh pembaca ini sesuai dengan yang terdapat dalam
agama Islam sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hadistnya berikut ini :
sebelum melakukan suatu perbuatan sangatlah penting bagi umat muslim karena
menjadi bagian dari niat sebelum melakukan perbuatan yang ditujukan kepada
Allah SWT agar pekerjaan yang dilakukan mendapatkan berkah dan tetap
dalam bentuk pujian terhadap Nabi Muhammad SAW. Adapun bait yang secara
Kutipan bait di atas diungkapkan penyair pada akhir bab tentang nama-
nama 25 Nabi yang diutus oleh Allah SWT. Adapun shalawat di atas bertujuan
bershalawat atau menghormati utusan Allah SWT ini sesuai dengan ajaran agama
Islam sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat al-Ahzab ayat 56 berikut :
muslim, amanat lain yang ditemukan secara tidak langsung pada syir ‘Aqīdah
membiasakan diri untuk selalu melakukan perbuatan baik karena Allah SWT
mengawasi kehidupan hamba-Nya di dunia. Hal ini dapat diketahui dari bait yang
۸) ِ س ِـمـيع اْلب
ص ْـيُر َوالْ ُمتَ َكلِّ ُـم َ ٌْ َ # ات َس ْـب َعـةٌ تَـْنـتَ ِظ ُم
ٌ لَهُ ِصـ َف
[Samī’un al-bashīru wal- [Lahu shifātun sab’atun
mutakallimu] tantadhimu]
Maha mendengar, Maha melihat, Bagi-Nya (Allah) mempunyai
dan Maha berbicara 7 sifat yang teratur
ِ
۹) َ ََف ُقـ ْد َرةٌ ِإَر َادةٌ سـَ ْم ٌـع بـ
ص ْر # اسـتَ َم ْر
ْ َحـيَـاةٌ الْع ْل ُـم َكالَ ٌم
[Faqudratun irādatun sam’un [Chayātunil‘ilmu kalāmu
bashar] nistamar]
Yaitu berkuasa, menghendaki, Hidup, berilmu, berbicara
mendengar, melihat secara berlangsung
Maha Melihat yang artinya selalu mengetahui perbuatan yang dilakukan hamba-
nya di dunia. Oleh karena itu, dengan usaha penyair menyebutkan sifat-sifat Allah
tersebut, maka pembaca dapat menangkap pesan untuk menaati perintah Allah
SWT dan menjauhi laranganNya di mana pun berada. Adapun hal tersebut juga
karena Allah SWT memiliki sifat berkuasa sebagaimana yang terdapat pada bait
Melakukan perbuatan baik atau bertakwa kepada Allah SWT di mana pun ia
berada. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW dalam hadistnya sebagai
berikut :
Dari Abu Dzar Jundub bin Junâdah dan Abu Abdirrahman Mu’âdz
bin Jabal Radhiyallahu anhuma , dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda, “Betakwalah kepada Allah di mana pun
engkau berada. Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya
kebaikan itu akan menghapusnya. Dan pergaulilah sesama manusia
dengan akhlak mulia.” (HR. At-Tirmidzi)
struktur batin yang membangun syir ‘Aqīdah Al-‘Awwām adalah ajakan utuk
mengesakan Allah SWT serta mengimaninya dan hal-hal lain yang tercantum
dalam Rukun Iman dan telah diuraikan pada keseluruhan bait syair. Selain itu juga
ajakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik bagi umat Islam sesuai yang
terdapat dalam al-Qur’an dan hadist agar pembaca dapat menjadi hamba Allah
yang taat.