Anda di halaman 1dari 119

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/356376401

Perpajakan

Article · November 2021

CITATIONS READS

0 188

2 authors, including:

Dandi Bahtiar
Universitas Putra Indonesia Cianjur
12 PUBLICATIONS   3 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Magang MBKM View project

Performance of Bank View project

All content following this page was uploaded by Dandi Bahtiar on 19 November 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PERPAJAKAN

Penulis:
Irfan Sophan Himawan, Dandi Bahtiar

i
PERPAJAKAN

Penulis:
Irfan Sophan Himawan, Dandi Bahtiar

ISBN : 978-623-96808-0-0

Editor :
Azizuddin Mustopa

Desain sampul dan Tata letak


Misbeck Design

Penerbit :
Yamisa Press

Redaksi :
Jl. Raya Soreang Ciwidey No. 134 Desa Pamekaran
Kec. Soreang – Bandung
Hp +6281316559322
www.yamisapress.id

Cetakan Pertama, April 2021


http://yamisapress.id/2021/04/20/perpajakan/

Hak Cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit

ii
PERPAJAKAN

Kata Pengantar
Alhamdulillah, kami bisa menyelesaikan proses penyusunan Buku Perpajakan ini.
Buku ini hadir untuk memperkaya literatur di bidang Perpajakan, dan terinspirasi
juga dari kajian-kajian penelitian pajak di Indonesia.

Dalam perkembangannya, memang masih sedikit penelitian pajak yang disajikan


dalam berbagai Simposium maupun Seminar Nasional tentang Perpajakan. Dan
partisipasi praktisi pajak pun dalam penelitian perpajakan dinilai juga masih rencah.
Hasil studi (Nurul Herawati dan Bandi, 2019), Rasio prosentase penelitian
perpajakan berdasarkan topik, ditemukan angka sebagai berikut, 52,4% penelitian
pajak terkait dengan topik perencanaan pajak, 24,1% terkait dengan topik kepatuhan
pajak, dan 23,4% terkait dengan kebijakan pajak. Ditemukan juga bahwa 48,1%
penelitian pajak terkait dengan topik pengambilan keputusan perusahaan, 33,3%
terkait dengan topik penghindaran pajak, 16,7% terkait dengan peran informasi pajak
penghasilan, informasi keuangan untuk topik akuntansi keuangan, dan 1,9% terkait
dengan pajak dan aset topik penetapan harga. Metode penelitian yang mendominasi
penelitian pajak adalah metode arsip (59%), metode survei (28%) dan metode
eksperimental (4%). Temuan penelitian ini menunjukkan perlunya penelitian lebih
lanjut dalam bidang perpajakan, khususnya penggunaan metode berbasis kualitatif
dan keterlibatan praktisi pajak sebagai peneliti dalam penelitian pajak.

Kemudian, dalam penyajiannya, buku ini menyesuaikan dengan Regulasi Perpajakan


terbaru, baik Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP), Peraturan Menteri
Keuangan maupun Peraturan Dirjen Pajak, dan diselaraskan dengan capaian
pembelajaran Mata Kuliah Perpajakan untuk Strata 1 dan bisa dipakai untuk jenjang
Diploma 3. Semoga Buku ini dapat memperkaya khasanah literatur bidang
perpajakan Indonesia.

Akhir kata kami sampaikan terimakasih dan saran terbuka untuk kritik dan masukan
membangun sangat diharapkan untuk penyempuraan Buku ini kedepan.

Hormat kami,

Penulis

i
PERPAJAKAN

DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................................................. ii
Capaian Pembelajaran Mata Kuliah Perpajakan – Cpmk ................................................... iii
Sub Capaian Pembelajaran Mata Kuliah Perpajakan (Sub Cpmk) ..................................... iv
BAB 1 | Filsafat Pajak, Berkarir sebagai Konsultan Pajak ................................................. 1
BAB 2 | Pengertian dan Ruang Lingkup Perpajakan ......................................................... 6
BAB 3 | Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan.......................................................... 12
BAB 4 | Pajak Penghasilan Umum .................................................................................... 29
BAB 5 | Pajak Penghasilan Pasal 21/26.............................................................................. 45
BAB 6 | Kumpulan Soal – Soal PPh 21 .............................................................................. 56
BAB 7 | Pajak Penghasilan Pasal 22 ................................................................................... 63
BAB 8 | Pajak Penghasilan Pasal 23 ................................................................................... 68
BAB 9 | Pajak Penghasilan Pasal 24 ................................................................................... 73
BAB 10 | Pajak Penghasilan Pasal 25 ................................................................................. 76
BAB 11 | Pajak Penghasilan Pasal 26 ................................................................................. 78
BAB 12 | Pajak Pertambahan Nilai ..................................................................................... 81
BAB 13 | PPnBM ................................................................................................................ 87
BAB 14 | PBB ..................................................................................................................... 94
BAB 15 | Bea Materai ......................................................................................................... 101
BAB 16 | Pajak Daerah ....................................................................................................... 105
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 109

ii
PERPAJAKAN

I. CAPAIAN PEMBELAJARAN MATA KULIAH PERPAJAKAN - CPMK


(Berdasarkan Permenristekdikti_Nomor_44_Tahun_2015_Standar Nasional
Perguruan Tinggi)
1) (M1) – Mengetahui praktek-praktek penerapan aturan perpajakan;
2) (M2) – Memahami konsep dasar perpajakan yang diterapkan dalam pelaksanaan
hak dan kewajiban perpajakan;
3) (M3) – Mampu mempraktekkan konsep dan aturan perpajakan PPh, PPN &
PPnBM, PBB, Bea Materai;
4) (M4) – Mampu menganalisa hubungan praktek perpajakan dengan
perekonomina

II. SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN MATA KULIAH PERPAJAKAN


(SUB CPMK)

L1 Menjelaskan Filsafat Pajak, Berkarir sebagai Konsultan Pajak M2


L2 Menjelaskan Pengertian dan Ruang Lingkup Perpajakan M2
L3 Menjelaskan Ketentuan umum dan tatacara perpajakan M2
L4 Menjelaskan Pajak Penghasilan Umum M2
L5 Menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 M3
L6 Memecahkan Soal-soal dan Permasalahan Pada PPh 21 M3
L7 Menelaah Undang – Undang Perpajakan M3
L8 Menghitung Pajak Penghasilan Pasal 22 M3
L9 Menghitung Penghasilan Pasal 23 M3
L10 Menghitung Penghasilan Pasal 24 M3
L11 Menghitung Penghasilan Pasal 25 M3
L12 Menghitung Penghasilan Pasal 26 M3
L13 Menguraikan Pajak Pertambahan Nilai M4
L14 Menghitung dan menguraikan PPnBM M4
L15 Menghitung dan menguraikan PBB M4
L16 Menghitung dan menguraikan Bea Materai M4

iii
PERPAJAKAN

BAB 1
FILSAFAT PERPAJAKAN DAN
BERKARIR DI DUNIA PERPAJAKAN

A. Filsafat Pajak
Pajak merupakan sumber penerimaan negara terbesar bagi Indonesia. Penerimaan
perpajakan mencapai 75% dari total penerimaan APBN.
Vito Tanzi (Harvard University) menegaskan bahwa di abad ke-21 pajak akan
menjadi andalan negara seiring dengan meningkatnya peran negara dalam tata
ekonomi politik dunia. Mengingat pentingnya pajak bagi keberlangsungan negara dan
pemerintahan, merancang kebijakan pajak yang baik menjadi keniscayaan.
Keberhasilan pembangunan sangat ditentukan tingkat penerimaan pajak. Atau
dengan kata lain, membangun sistem perpajakan yang baik merupakan prasyarat bagi
keberhasilan pencapaian target penerimaan. Kebijakan pajak merupakan pandu
yang akan menentukan arah dan tujuan sistem perpajakan, apakah selaras dengan
cita-cita atau ideal atau justru menyimpang.
Sehingga di simpulkan, apabila penerimaan pajak tinggi maka Pendapatan
APBN Negara juga tinggi / besar. Apabila Pendapatan APBN besar, maka akan
mampu membiayai Belanja-Belanja Pemerintah, baik belanja pembangunan
maupun belanja untuk kesejahteraan rakyat.

Mengapa Kita Membayar Pajak


Adalah Joseph A. Schumpeter – ekonom masyhur dari Austria– yang secara
meyakinkan menulis “Spirit sebuah bangsa, tingkat budaya, struktur sosial, dan
pelaksanaan kebijakannya – semuanya ini tertulis dalam sejarah perpajakannya. Ia yang
paham bagaimana mendengar pesan ini akan mampu menemukan guntur peradaban
yang lebih nyaring daripada di tempat mana pun.”
Mesir kuno boleh jadi merupakan bayang-bayang bagi administrasi pajak modern.
Rostovtzeff—ahli sejarah Mesir- menilai kemunduran Mesir dikarenakan perilaku
birokrasi pajak yang memungut pajak terlalu tinggi dan korup sehingga memicu
penghindaran pajak. Di aras lain sejarah Israel kuno juga mencatat kisah agung. Istilah
‘tithe’ sebagai asal usul istilah ‘tax’ muncul pertama kali. Tithe adalah pajak bagi imam
di rumah ibadah dan kaum miskin. Dalam “tithe” ini, dimensi vertikal-horisontal,
habluminallah-habluminannas, sakral-profan – memperoleh makna hakiki untuk
pertama kalinya. Israel juga merayakan pesta keagamaan Hanukkah sebagai kenangan
pemberontakan pajak terhadap penguasa Mesir.
Sejarah mencatat kecerdasan Yunani membangun sistem perpajakan. Para pemikir
Yunani kuno mencoba keluar dari sistem tiran dengan mencipatakan sistem pajak yang
adil. Penghargaan pada hak milik pribadi sebagai basis kebebasan adalah prestasi
Yunani—demikian sejarawan Gustav Gotz menulis. Pajak tidak dikenakan secara

1
PERPAJAKAN

langsung kepada individu tetapi pada transaksi perdagangan. Ini adalah cikal bakal
mazhab pajak tak langsung – yang kelak dikembangkan Jean-Baptiste Colbert di era
Raja Louis XIV di Prancis.
Yunani memungut pajak tanpa birokrasi, melainkan melalui mekanisme religius
yang disebut liturgy. Kebutuhan akan fasilitas publik dibicarakan bersama dan beban
ditanggung secara proporsional. Pengemplang pajak didenda hingga sepuluh kali.
Plutarchus dalam The Life of Aristides mencatat Aristides sebagai Bapak Keadilan
Pajak. Ia tidak saja menetapkan pajak dengan penuh integritas dan adil tetapi juga
melalui cara yang membuat senang semua pihak.
Hingga akhirnya Perang Peloponnesia mengakhiri kejayaan sistem perpajakan
Yunani. Kebutuhan uang untuk perang mendorong pemungutan pajak yang masif.
Publicani—istilah untuk petugas pajak zaman itu, tak terhindarkan melakukan
pemerasan terhadap warga
Babak akhir sejarah perpajakan kuno dicatat Romawi. Fase awal Romawi ditandai
pemungutan cukai untuk membiayai perang. Romawi menemukan klasifikasi tarif
pajak: progresif, proporsional, dan regresif. Pilar pemungutan pajak adalah publicani,
yang secara khusus ditujukan ke wilayah jajahan. Sejarah mencatat Augustus adalah ahli
strategi pajak terbaik sepanjang masa. Ia mengambil alih kontrol terhadap manajemen
uang pajak, melakukan desentralisasi kewenangan pemungutan, dan pembagian yang
lebih adil. Hingga akhirnya Romawi runtuh karena terpaksa menaikkan pajak. Walter
Goffart dalam Caput and Colonate (1974) berpendapat kejatuhan Imperium Romawi
akibat penghindaran pajak yang masif. Romawi adalah pengulangan paripurna Mesir
dan Yunani.
Kehadiran Islam juga meramaikan perebutan wilayah di kawasan Asia Kecil dan
Eropa, dan menorehkan sejarah pajak. Berbeda dengan bias yang selama ini dipahami,
kehadiran Islam di wilayah Romawi disambut hangat sebagai bentuk pembebasan rakyat
dari penindasan pajak. Pemimpin Islam pandai mengambil hati rakyat dengan
mengurangi jenis pajak, menurunkan tarif dan membebaskan yang tak mampu.
Pencapaian brilian Islam - terutama terutama di era Khalifah Ummayah - adalah
menggunakan kebijakan pajak sebagai sarana konversi. Sistem pajak Islam yang lebih
adil mendorong non-Muslim untuk berpindah memeluk Islam tanpa paksaan. Ini
sekaligus merehabilitasi tuduhan bahwa Islam melebarkan pengaruh dengan pedang dan
ancaman. Kisah Khalifah Ummayah ini sekali lagi menabalkan betapa vitalnya pajak
dalam sejarah peradaban.
Di dalam islam pada masa kenabian, diberlakukan juga istilah pajak. Namun
perlakuannya hanya diberlakukan bagi non muslim, sedangkan muslim diwajibkan
membayar zakat.
Kesimpulan dari uraian diatas adalah : Pajak pada dasarnya diperbolehkan
dengan tujuan untuk kepentingan umat. Pajak menjadi keharusan pada kondisi
keuangan Negara sedang kosong atau tidak cukup untuk membiayai pembangunan.

2
PERPAJAKAN

Pajak dan zakat bisa saling bersinergi yang akan mengurangi kemiskinan dan
kesenjangan social.

B. Karir Dalam Dunia Perpajakan

Pernahkah kalian berpikir, apa karir didalam dunia pajak?

Didalam dunia perpajakan selain fiskus, wajib pajak, juga ada yang dikenal sebagai
profesi konsultan pajak (Tax Adviser). Didalam dunia konsultasi dikenal beberapa profesi
antara lain : Konsultan Keuangan, Akuntan Publik, Pengacara juga ada yang disebut
dengan Konsultan pajak.
Pengertian Konsultan pajak didalam PMK NOMOR 111/PMK.03/2014 pasal 1, ayat
1, adalah orang yang memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak dalam
rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Persyaratan untuk menjadi konsultan pajak adalah :
a. Warga Negara Indonesia;
b. bertempat tinggal di Indonesia;
c. tidak terikat dengan pekerjaan atau jabatan pada Pemerintah/Negara dan/atau
Badan Usaha Milik Negara/Daerah;
d. berkelakuan baik yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi yang
berwenang;
e. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
f. menjadi anggota pada satu Asosiasi Konsultan Pajak yang terdaftar di Direktorat
Jenderal Pajak; dan
g. memiliki Sertifikat Konsultan Pajak.
Sebagai syarat menjadi konsultan pajak salah satunya harus menjadi asosiasi
konsultan pajak. Konsultan pajak di Indonesia, berada di bawah bimbingan Direktoran
Jenderal Pajak. Adapun syarat menjadi konsultan pajak di Indonesia adalah :

a. berbentuk badan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan;


b. memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
c. mempunyai susunan pengurus yang telah disahkan oleh rapat anggota;
d. memiliki program pengembangan profesional berkelanjutan;
e. memiliki kode etik dan standar profesi Konsultan Pajak; dan
f. memiliki Dewan Kehormatan yang berfungsi untuk mengawasi, memeriksa dan
menyelesaikan dugaan pelanggaran kode etik dan standar profesi Konsultan
Pajak oleh anggota asosiasi.

3
PERPAJAKAN

Sampai dengan saat ini baru 2 asosiasi yang terdaftar di Dirjen Pajak, yaitu Ikatan
Konsultan Pajak Indonesia (www.ikpi.or.id) dan Asosiasi Konsultan Pajak Publik
Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita bisa memperoleh sertiifkat konsultan
Pajak. Sertifikat ini bisa diperoleh melalui serangkaian ujian. Sertifikat Konsultan Pajak
terdiri dari 3 level yaitu :
1) Sertifikat Konsultan Pajak tingkat A, yaitu Sertifikat Konsultan Pajak yang
menunjukkan tingkat keahlian untuk memberikan jasa di bidang perpajakan
kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam melaksanakan hak dan memenuhi
kewajiban perpajakannya, kecuali Wajib Pajak yang berdomisili di negara yang
mempunyai persetujuan penghindaran pajak berganda dengan Indonesia;
2) Sertifikat Konsultan Pajak tingkat B, yaitu Sertifikat Konsultan Pajak yang
menunjukkan tingkat keahlian untuk memberikan jasa di bidang perpajakan
kepada Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan dalam melaksanakan
hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya, kecuali kepada Wajib Pajak
penanaman modal asing, Bentuk Usaha Tetap, dan Wajib Pajak yang berdomisili
di negara yang mempunyai persetujuan penghindaran pajak berganda dengan
Indonesia; dan
3) Sertifikat Konsultan Pajak tingkat C, yaitu Sertifikat Konsultan Pajak yang
menunjukkan tingkat keahlian untuk memberikan jasa di bidang perpajakan
kepada Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan dalam melaksanakan
hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.
Untuk memperoleh sertifikat konsultan pajak, pendaftar harus lulus ujian yang
diselenggarakan oleh Komite Pelaksana Panitia Penyelenggara Sertifikat Konsultan
Pajak atau disingkat KP3SKP (https://kp3skp.or.id/). Adapun persyaratan mengikuti
ujian tersebut adalah mempunyai pendidikan D3 Perpajakan atau Akuntansi, atau telah
lulus S1 dari perguruan tinggi yang telah terakreditasi.
Apabila kita bertanya bagaimana peluang usaha di dunia konsultan pajak, maka data
beriktu ini akan menjadi pertimbangan,
1) Dari data dirjen pajak, total wajib pajak di Indonesia adalah 38,7 juta an wajib
pajak pribadi dan 3,3 juta an wajib pajak badan.
2) Jumlah konsultan pajak di Indonesia tidak lebih dari 4.000 an.
3) Kisaran biaya konsultasi untuk 1 orang klien konsultan pajak adalah diangka 5
juta s/d 50 juta, tergantung tingkat penghasilan dan kesulitan.
4) Kisaran biaya konsultasi untuk 1 wajib pajak badan adalah di angka 10 juta s/d
250 juta
5) Kisaran biaya asistensi untuk kasus-kasus perpajakan adalah 10 juta s/d 250 juta

4
PERPAJAKAN

Dari data tersebut, maka peluang menjadi konsultan pajak di Indonesia sangat
terbuka lebar dan prosfek yang menjanjikan.

URUTAN PERUNDANGAN PERPAJAKAN


UUD 1945
(bahwa Negara Berdasarkan Hukum)
UNDANG UNDANG (UU)
PERATURAN PEMERINTAH (PP)
PERATURAN MENTERI KEUANGAN (PMK)
PERATURAN DIREKTORAT JENDERAL PAJAK (PER.DJ)

5
PERPAJAKAN

BAB 2
TEORI DAN KONSEP DASAR PAJAK
1) Cici-ciri yang melekat pada pengertian pajak
Menurut Undang ndang Nomor 28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga UU
Nomor 6 tahun 1983 yakni Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diyatakan
bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh Orang Pribadi
atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang dengan tidak
mendapatkan imbalan langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa pajak mempunyai ciri-
ciri :
1. Dipungut oleh Negara (Pemerintah Pusat dan Daerah), sebagai iuran berupa uang
yang dipungut disebabkan suatu keadaan kejadian dan perbuatan yang
memberikan manfaat tertentu bagi seseorang.
2. Dipungut/dipotong berdasarkan dengan ketentuan Undang Undang serta
aturan pelaksanaanya.
3. Diperuntukan bagi pengeluaran pembayaran pemerintah yang bermanfaat bagi
kemakmuran rakyat.

Selain pungutan pajak ada juga pungutan diluar pajak antara lain :
1. Retribusi adalah iuran kepada pemerintah daerah yang dapat dipaksakan dan
memperoleh jasa timbal balik secara langsung dan dapat ditunjuk. Contoh tiket
masuk objek wisata.
2. Sumbangan ialah iuran kepada pemerintah yang tidak dapat dipaksakan yang
ditujukan kepada golongan tertentu dan dimanfaatkan untuk golongan tertentu
pula contoh: sumbangan bencana alam
3. Bea adalah pungutan yang dikenakan atas suatu kejadian atau perbuatan yang
berupa lalu lintas barang dan perbuatan lainnya berdasarkan peraturan
perundangundangan. Contoh: bea masuk, bea keluar dan bea balik nama.
4. Cukai adalah pungutan yang dikenakan atas barang-barang tertentu yang
mempunyai sifat sebagaimana ditetapkan dalam Undang Undang dan hanya pada
golongan tertentu dan yang membayar tidak mendapatkan prestasi imbal balik
secara langsung. Contoh: cukai tembakau (sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau
iris), cukai etil alkohol/etanol dan cukai minuman mengandung alcohol.

6
PERPAJAKAN

2) Fungsi Pajak

1. Fungsi penerimaan (budgetair) yaitu pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah
untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2. Fungsi pengatur (regulerend) yaitu pajak sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

3) Syarat Pemungutan Pajak

1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)


2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang Undang ( Syarat Yuridis)
3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)
4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansial)
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana.

4) Hukum Pajak Material dan Hukum Pajak Formal


Hukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiskus) selaku
pemungut pajak dengan rakyat sebagai wajib pajak.
Hukum pajak material yakni memuat norma-norma yang menerangkan
tentang keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa
yang dikenakan pajak (subjek pajak), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif pajak),
segala sesuatu yang timbul dan hapusnya utang pajak, serta hubungan hukum antara
pemerintah dan wajib pajak. Contoh Undang Undang Pajak Penghasilan.
Hukum pajak formal yakni memuat tentang bentuk/cara untuk mewujudkan
hukum material menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak material).
Hukum ini memuat :
a. Tata cara penyelenggaraan (presedur) penetapan suatu utang pajak,
b. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak
mengenai keadaan, perbuatan, dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
c. Kewajiban wajib pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan dan
hak-hak wajib pajak misalnya mengajukan keberatan/banding. Contoh: Ketentuan
Umum dan tata cara Perpajakan

7
PERPAJAKAN

5) Pengelompokan Pajak
Pengelompokan pajak dibagi 3 :
1. Menurut golongannya
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak
dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh:
Pajak Penghasilan.
b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan
atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai
2. Menurut sifatnya
a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau bersandarkan pada
subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: Pajak
Penghasilan.
b. Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. Menurut pemungut dan pengelolanya
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak
Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea
Meterai. Mulai tahun 2012 PBB dikelola oleh daerah.
b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh pajak daerah :
1) Pajak Daerah Tingkat I :pajak kendaaan bermotor dan
kendaraan di atas air, bea balik nama kendaaan bermotor dan
kendaraan di atas air, pajak pengambilan dan pemanfaatan air
tanah dan air permukaan.
2) Pajak Daerah Tingkat II: pajak hotel dan restoran, pajak
reklame, pajak hiburan, pajak penerangan jalan.

6) Cara Pemungutan Pajak


1. Stelsel nyata (riil stelsel) Pemungutan pajak didasarkan pada objek (penghasilan
yang nyata), sehingga pemungutan yang baru dapat dilakukan pada akhir tahun
pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata
memiliki kelebihan atau kebaikan, dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah
pajak yang dikenakan lebih realistis, sedangkan kelemahanya pajak baru dapat
dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui), artinya si wajib
pajak harus menyiapkan uang yang mungkin saja sudah terpakai, dan si wajib
pajak terkesan akan terburu-buru didalam pengerjaan administrasi pajak
dikarenakan bertepatan dengan penutupan periode laporan bulanan perusahaan

8
PERPAJAKAN

dan juga dikejar deadline penyelesaian administrasi pajak yang harus segera
dilaporkan.
2. Stelsel anggapan (fictive stelsel) Pengenaan pajak yang didasarkan pada suatu
aggapan yang diatur oleh suatu Undang Undang. Misalnya, penghasilan suatu
tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak
sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.
Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan tanpa harus
menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar
tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya
3. Stelsel Campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan
stelsel anggapan. Yakni pada awal tahun besarnya pajak dihitung berdasarkan
suatu anggapan kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan
keadaan yang sebenarnya. Apabila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar
daripada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah.
Sebaliknya jika besarnya pajak menurut kenyataan lebih kecil daripada pajak
menurut anggapan, maka wajib pajak dapat minta kembali kelebihannya
(direstitusi) dapat juga dikompensasi. Dalam kasus wajib pajak ternyata
kelebihan bayar, maka akan di kompensasikan pada pajak berikutnya.

7) Azas Pemungutan Pajak


1. Azas Domisili (azas tempat tinggal) Yaitu negara berhak mengenakan pajak atas
seluruh penghasilan wajib pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik
penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Azas ini berlaku
bagi wajib pajak dalam negeri.
2. Azas Sumber Yaitu negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang
bersumber dari wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.
3. Azas Kebangsaan Yaitu pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu
negara. Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang
yang bukan berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Azas
ini berlaku untuk wajib pajak luar negeri.

8) Sistem Pemungutan Pajak


1. Official Assessment System, adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang oleh wajib pajak. Adapun ciri-ciri sistem ini adalah:
a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus,
b) Wajib pajak bersifat pasif,
c) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh
fiskus.

9
PERPAJAKAN

2. Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang


memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan besarnya pajak
terutang. Adapun ciri-ciri sistem ini adalah :
a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib
pajak yang terutang,
b) Fiskus tidak ikut campur tetapi hanya mengawasi.
3. With Holding Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberikan wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib
pajak) untuk menentukan besarnya pajak terutang. Adapun ciri-ciri sistem ini
adalah wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada
pihak ketiga selain fiskus dan wajib pajak.

9) Timbul dan Hapusnya Utang Pajak


Ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak:
1. Ajaran formal, yaitu utang pajak timbul karena dikeluarkannya Surat
Ketetapan Pajak oleh fiskus. Ajaran ini diterapkan pada Official Assessment
System.
2. Ajaran material, yaitu utang pajak timbul karena berlakunya Undang Undang.
Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan atau suatu perbuatan. Ajaran
ini diterapkan pada Self Assessment System.
Hapusnya utang pajak dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: pembayaran,
kompensasi, daluwarsa, bembebasan, dan penghapusan.
1. Pembayaran yaitu utang pajak yang melekat pada Wajib pajak akan hapus
jika sudah dilakukan pembayaran kepada kas negara.
2. Kompensasi yaitu apabila wajib pajak mempunyai kelebihan dalam
pembayaran pajak, maka kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan
pajak yang masih harus dibayar.
3. Daluwarsa/lewat waktu yaitu terlampauinya waktu dalam melakukan
penagihan utang pajak selama lima tahun sejak terjadi utang pajak.
4. Pembebasan yaitu pemberian pembebasan atas sanksi admistrasi pajak
(berupa bunga atau denda) yang harus dibayar oleh wajib pajak.
5. Penghapusan yaitu pemberian pembebasan atas sanksi admistrasi pajak
(berupa bunga atau denda) yang harus dibayar oleh wajib pajak dikarenakan
keadaan keuangan wajib pajak.

10
PERPAJAKAN

10) Hambatan Pemungutan Pajak


Adanya hambatan dalam pungutan pajak, yaitu perlawanan pasif, dan perlawanan
aktif :
1. Perlawanan pasif yaitu masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, hal ini
disebabkan oleh:
a) Perkembangan intelektual dan moral masyarakat,
b) Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit difahami masyarakat.
c) Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.
2. Perlawanan aktif, yakni semua usaha dan perbuatan yang secara langsung
ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Ada dua
cara/bentuk perlawanan katif, yaitu Tax Avoidance, dan Tax Evasion :
a) Tax Avoidance adalah usaha meringankan beban pajak dengan tidak
melanggar Undang Undang.
b) Tax Evasion adalah usaha meringankan beban pajak dengan cara yang
melanggar Undang Undang (menggelapkan pajak).

11
PERPAJAKAN

BAB 3
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
A. Beberapa Istilah Perpajakan
1) Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong
pajak dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2) Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun,firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
3) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak
sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang digunakan sebagai tanda
pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya.
4) Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan
objek pajak dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan peraturan perundang
undangan perpajakan.
5) Surat Pemberitahuan (SPT) Masa adalah surat pemberitahuan untuk suatu masa pajak
(satu bulan atau tiga bulan).
6) Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan adalah surat pemberitahuan untuk suatu tahun
pajak atau bagian tahun pajak
7) Surat Setoran Pajak (SSP) adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah
dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke
kas negara melalui tempat pembayaran yang telah ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
8) Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT), Surat Katetapan Pajak Nihil (SKPN) atau Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar (SKPLB).
9) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak, kredit pajak, jumlah kekurangan
pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah pajak yang masih
harus dibayar.
10) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

12
PERPAJAKAN

11) Surat Katetapan Pajak Nihil (SKPN) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah pokok pajak sama dengan besarnya kredit pajak atau pajak tidak terutang dan
tidak ada kredit pajak.
12) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih
besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
13) Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau
sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
14) Kredit pajak untuk pajak penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh wajib
pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak (STP)
karena pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar, ditambah
dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan
yang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak yang dikurangkan dari pajak yang teurtang.
15) Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah pjak masukan yang dapat
dikreditkan setelah dikurangi dengan mengembalikan pendahuluan kelebihan pajak
atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan yang dikurangkan
dari pajak terutang.
16) Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang
mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang
tidak terikat oleh suatu hubungan kerja. Contoh Pekerjaan Bebas : praktek dokter,
notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, arsitek, penilai, aktuaris, artis, model, bintang
iklan, olahragawan, agen asuransi, multi level marketing, peneliti, pengarang,
pengajar, penasehat, penyuluh dsb.

B. Pendaftaran NPWP dan NPPKP


Di dalam ketentuan umum dan tata cara perpajakan dinyatakan bahwa yang dimaksud
dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada wajib
pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda
pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakan. Setiap wajib pajak yang sudah memenuhi syarat objektif dan syarat subjektif
wajib mendaftarkan diri pada kantor Dirjen Pajak untuk medapatkan NPWP
NPWP diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah usaha wajib pajak dijalankan.
Adapun fungsi NPWP adalah :
a) sebagai tanda pengenal atau identitas wajib pajak dan sebagai sarana administrasi
perpajakan sehingga wajib pajak hanya diberi satu NPWP,
b) sebagai sarana menjaga ketertiban dan pengawasan administrasi perpajakan
sehingga wajib pajak mencantumkan NPWP pada setiap dokumen perpajakan.

13
PERPAJAKAN

C. Syarat Penghapusan NPWP

Adapun syarat Penghapusan NPWP adalah :


• diajukan permohonan penghapusan NPWP oleh wajib pajak dan/atau ahli warisnya
apabila wajib pajak sudah tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan/atau
objektif sesuai ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan.
• wajib pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha.
• wajib pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT) menghentikan kegiatan usahanya di
Indonesia atau
• dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapus NPWP dari wajib
pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan.

Direktorat Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan


keputusan atas permohonan penghapusan NPWP dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
untuk WP-OP atau 12 19 (dua belas) bulan untuk WP-Badan sejak tanggal permohonan
diterima secara lengkap. Dengan penghapusan NPWP ini bukan berarti menghilangkan
kewajiban perpajakan yang harus dilakukan.

D. Pendaftaran NPPKP (Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak)

Setiap wajib pajak sebagai pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang
Undang nomor 6 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan perubahannya
yang kedua nomor 18 tahun 2000 maka wajib melaporkan usahanya pada Kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak (PKP). Apabila wajib pajak melakukan pendaftaran (NPWP)
sekaligus pengukuhan, maka surat keterangan terdaftar dan Surat Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak (NPPKP) diterbitkan bersamaan paling lama 3 (tiga) hari kerja berikutnya
setelah permohonan pendaftaran dan pelaporan beserta persyaratannya diterima secara
lengkap.
Fungsi Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak adalah,
a. sebagai identitas Pengusaha Kena Pajak.
b. sarana untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).
c. alat pengawasan administrasi perpajakan.

E. Pencabutan NPPKP
Direktorat Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan
keputusan atas permohonan pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.

14
PERPAJAKAN

F. Sanksi tidak mempunyai NPWP atau NPPKP


Dalam KUP (Ketentuan Umum dan tata cara Perpajakan) dinyatakan bahwa bagi
wajib pajak dengan sengaja tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau
menggunakan hak tanpa NPWP, pengukuhan PKP sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara diancam dengan pidana penjara paling singkat enam
bulan dan paling lama enam tahun dan denda paling sedikit dua kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang bayar.
Berikut ini contoh NPWP dan NPPKP

15
PERPAJAKAN

G. Kewajiban Pencatatan dan Pembukuan

1. Pencatatan
Pencatatan adalah pengumpulan data secara teratur tentang peredaran bruto atau
penjualan bruto dari usahanya dan penerimaan penghasilan lainnya dari luar usaha
dengan tujuan mempermudah perhitungan Penghasilan Kena Pajak serta
mempermudah perhitungan PPN dan PPnBM. Apabila wajib pajak dalam
memperhitungkan pajak penghasilan dengan menggunakan pencatatan, maka
penghasilan neto ditentukan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto. Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah persentase tertentu dari
peredaran atau penghasilan bruto usaha atau pekerjaan bebas yang merupakan
standar umum besarnya pengasilan neto yang dianggap normal atau wajar yang
dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.

Dalam Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan pasal
14 (2) dinyatakan bahwa yang diperkenankan untuk menggunakan pencatatan adalah
Wajib Pajak Orang Pribadi (WP-OP) yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan syarat
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

2. Pembukuan
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau
jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan
laba rugi untuk periode tahun pajak tersebut.
Pembukuan ini wajib dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan wajib pajak badan di Indonesia. Wajib pajak
yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib
melakukan pencatatan adalah:
a. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
b. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas.

16
PERPAJAKAN

c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan wajib pajak yang wajib


menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa
neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk
menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Laporan Keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) adalah laporan keuangan dari masing-masing wajib pajak.
Dalam hal laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan
pada Surat Pemberitahuan (SPT), Surat Pemberitahuan dianggap tidak lengkap
dan tidak jelas, sehingga Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan

H. Penyelenggaraan Pencatatan atau Pembukuan


Ada beberapa syarat dalam penyelenggaraan pencatatan atau pembukuan yaitu:
1. Harus dilakukan dengan itikat baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha
yang sebenarnya.
2. Harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab,
satuan mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing yang
diizinkan oleh Menteri Keuangan.
3. Diselenggarakan dengan prinsip taat azas dengan stelsel acrual atau stelsel kas.
4. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat
persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
5. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain rupiah dapat
diselenggarakan oleh wajib pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.

I. Formulir Perpajakan

1. Surat Setoran Pajak (SSP)


Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang
telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain
ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk menteri keuangan. Jenis SSP
menurut fungsi atau sifat pembayaran adalah:
a. SSP Umum, terdiri atas 4 (empat) lembar digunakan untuk PPh pasal 21, 23,25
dan 26, Fiskal Luar Negeri, PPN- PKP (untuk PPN yang bisa dikreditkan/tidak
final, kecuali PPh 26).
b. SSP Khusus, terdiri atas 5 (lima) lembar, digunakan untuk membayar PPh pasal
22 dan PPN-PPn BM yang dilakukan bendaharawan.
c. SSP Final, terdiri atas 5 (lima) lembar, digunakan untuk membayar pajak bersifat
final seperti PPh atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).
(Catatan : Pajak Final : pajak yang dikenakan langsung saat wajib pajak (WP)
menerima penghasilan dengan dasar pengenaan pajak (DPP) dan tarif tertentu
berdasarkan penghasilan yang diterima wajib pajak selama tahun berjalan.

17
PERPAJAKAN

Karena sifat pungutannya yang seketika, PPh final tidak lagi diperhitungkan
dalam pelaporan SPT tahunan meskipun nantinya tetap harus dilaporkan.
Sedangkan Pph Tidak Final : pajak yang dikenakan terhadap WP dengan tarif
umum progresif seperti yang tercantum dalam pasal 17 UU Pph dan dihitung dari
penghasilan netto).
Tabel 1:
Batas waktu pembayaran atau penyetoran pajak diatur sebagai berikut:
No. Jenis Pajak Batas Waktu Pembayaran
1. PPh Pasal 21, 23 dan 26 tanggal 10 bulan berikutnya
2. PPh 22-Impor Saat penyelesaiaan dokumen impor
3. PPh 22 Ditjen Bea Cukai 1 hari setelah pemungutan pajak
dilakukan
4. PPh 22 Bendaharawan Pada hari yang sama dengan pelaksanaan
Pemerintah pembayaran
5. PPh 22 penyerahan oleh Dilunasi sendiri oleh WP sebelum Surat
pertamina Perintah Pengeluaran Barang ditebus
6. PPh 22 dipungut Badan tanggal 10 bulan berikutnya
tertentu
7. PPh 25, PPN dan PPn BM tanggal 15 bulan berikutnya
8. PPN dan PPnBM-Impor Dilunasi sendiri oleh WP bersamaan
dengan saat Bea Masuk, jika dibebaskan
atau ditunda Bea Masuknya, harus
dilunasi saat penyelesaian dokumen impor
9. PPN dan PPnBM-DJBC 1 hari setelah pemungutan pajak
dilakukan
10. PPN dan PPnBM Tanggal 7 bulan berikutnya
Bendaharawan

Dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor 326/KMK/03/2003 tanggal 11


Juli 2003 dinyatakan:
a. Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran bertepatan dengan
hari libur, maka pembayaran atau penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya
b. Pengertian hari libur adalah hari libur nasional atau hari cuti bersama yang
ditetapkan oleh pemerintah.
c. Jika terjadi keterlambatan pembayaran dikenai bunga 2% per bulan untuk
seluruh masa yang dihitung sejak saat jatuh tempo.

18
PERPAJAKAN

2. Surat Pemberitahuan (SPT)


Sistem pemungutan pajak dengan Self Assesment Systems, maka wajib pajak
harus mengambil sendiri formulir-formulir perpajakan termasuk Surat
Pemberitahuan (SPT) beserta kelengkapannya.
Fungsi SPT bagi Pengusaha Kena Pajak adalah sebagai sarana
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan
tentang:
a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran
b. Pembayaran dan pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh PKP
dan/atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan
Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi SPT adalah sebagi alat untuk
melaporkan pajak-pajak yang menjadi tanggungan wajib pajak baik yang sudah
dipotong/dipungut pihak lain maupun yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak.
Adapun hal-hal yang tercantum dalan SPT antara lain:
1) Jumlah pajak yang sebenarnya terutang.
2) Jumlah pembayaran/pelunasan yang dibayar sendiri maupun melalui pihak lain
(pemotong/pemungut)
3) Jumlah pajak yang masih harus dibayar atas kekurangannya dan/atau jumlah
pajak yang lebih dibayar.
Beberapa syarat dalam pengisian SPT adalah,
a. Benar, dalam arti
1) Benar seluruh objek pajak yang dimilki.
2) Benar dalam perhitungan
3) Benar dalam pengisian kolom pada setiap lampiran formulir SPT.
4) Benar dalam pengkreditan pajak yang telah dibayar/dipotong/dipungut
melalui pihak lain
b. Jelas, dalam arti tidak menimbulkan penafsiran lain bagi fiskus/peneliti.
c. Lengkap, dalam arti seluruh lampiran yang telah ditentukan maupun yang
diperlukan harus dilampirkan serta dilengkapi pula dengan
penandatanganan SPT. Hal ini dikarenakan bahwa SPT yang terlajur
disampaikan tetapi belum ditandatangani berarti tidak lengkap dan
dianggap belum memasukkan SPT.
1) Kelengkapan SPT
(a) SPT Masa, meliputi:
(1) PPh pasal 21, 22, 23, 26 kelengkapannya berupa: SSP,
bukti pemotongan/pemungutan dan daftar bukti
pemotongan/pemungutan.

19
PERPAJAKAN

(2) PPh pasal 25 untuk WP Baru (belum mengisi SPT)


kelengkapannya berupa SSP atau bukti pembayaran
sedang untuk WP lama (sudah mengisi SPT)
kelengkapannya berupa; SSP atau bukti pembayaran
sebagai SPT-masa
(3) SPT Masa PPn/PPn BM berupa SSP bukti
pembayaran/pelunasan dan faktur pajak masukan.
(b) SPT Tahunan PPh kelengkapannya meliputi :
(1) Daftar neraca dan laporan laba rugi (bagi WP yang
menggunakan pembukuan lengkap)
(2) Ringkasan peredaran bruto (bagi WP yang menggunakan
pencatatan)
(3) SSP atas bukti pembayaran setoran atas setoran akhir (PPh
pasal 29)
(4) Permohonan menggunakan Norma Perhitungan untuk
tahun pajak berikutnya (bagi WP yang menggunakan
pencatatan).
(c) Kelengkapan lain yang dianggap perlu yaitu :
(1) Fotokopi/salinan bukti potong/pungut PPh melalui pihak
lain
(2) Fotokopi KTP dan/atau KK
(3) Surat Kuasa (apabila SPT tidak ditandatangani WP
sendiri)
(4) Fotokopi surat kematian (bila WP meninggal dunia
sebelum akhir tahun pajak dan penandatanganan SPT
selanjutnya dilakukan oleh ahli waris.

2) Batas Waktu Penyampaian SPT


Dalam pasal 3 ayat (3) Undang Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dinyatakan bahwa batas
waktu penyampaian SPT diatur sebagai berikut:
(a) SPT-Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa
Pajak
(b) SPT-Tahunan PPh Wajib pajak orang Pribadi paling lama 3 (tiga)
bulan setelah akhir Tahun Pajak, atau
(c) SPT-Tahunan Wajib pajak Badan paling lama 4 (empat) bulan
setelah akhir Tahun Pajak

20
PERPAJAKAN

Berikut ini adalah tabel batas waktu penyampaian SPT masa dan SPT
tahunan:
Tabel 2
Batas waktu penyampaian SPT-Masa
No. Jenis Pajak Yang menyampaikan SPT Batas Waktu
Penyampaian
1. PPh 21 Pemotong PPh 21 20 hari setelah Masa Pajak
2. PPh 22 -Impor Bea Cuka 14 hari setelah Masa Pajak
3. PPh 22 Bendaharawan Pemerintah 14 hari setelah Masa Pajak
4. PPh 22-DJBC Pemungut Pajak (DJBC) Secara mingguan paling
lambat 7 hari setelah batas
waktu penyerahan pajak
berakhir
5. PPh 22 Pihak yang menyerahkan 20 hari setelah Masa Pajak
6. PPh 22 Badan Pihak yang menyerahkan 20 hari setelah Masa Pajak
tertentu
7. PPh 23 Pemotong PPh 23 20 hari setelah Masa Pajak
8. PPh 25 WP yang mempunyai NPWP 20 hari setelah Masa Pajak
9. PPh 26 Pemotong PPh 26 20 hari setelah Masa Pajak
10. PPN dan PPn BM Pengusaha Kena Pajak 20 hari setelah Masa Pajak
11. PPN dan PPn BM- Bea Cukai Secara mingguan paling
DJBC lambat 7 hari setelah batas
waktu penyerahan pajak
berakhir
12. PPN & PPnBM Pemungut Pajak selain 20 hari setelah Masa Pajak
Bendaharawan
Keterangan : - DJBC (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai)
- Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta
berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di
bidang lain.

Tabel 3
Batas waktu penyampaian SPT SPT-Tahunan
No. Jenis Pajak Yang Batas Waktu
menyampaikan Penyampaian
SPT
1. SPT Tahunan PPh Orang WP yang mempunyai Selambatnya 3 bulan setelah
Pribadi (1770) NPWP Tahun Pajak berakhir
2. SPT Tahunan PPh Orang WP yang mempunyai Selambatnya 3 bulan setelah
Pribadi (1770S) yang tidak NPWP Tahun Pajak berakhir

21
PERPAJAKAN

melakukan usaha atau


pekerjaan bebas
3. SPT Tahunan PPh Badan WP yang mempunyai Selambatnya 4 bulan setelah
(1771) NPWP Tahun Pajak berakhir
4. SPT Tahunan PPh 21 Pemotong PPh 21 Selambatnya 3 bulan setelah
(1721) Tahun Pajak berakhir

3. Sanksi Tidak Menyampaikan SPT atau Menyampaikan SPT Tidak Sesuai


dengan Waktu yang Ditentukan.
Apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu yang sudah
ditentukan atau batas baktu perpanjangan SPT maka dikenakan sanksi
administrasi berupa denda sebagai berikut:

Tabel 4
Sanksi administrasi keterlambatan atau tidak menyampaikan SPT
No. Jenis SPT Besarnya Denda
1. SPT-Masa PPN Rp500.000,00
2. SPT-Masa lainnya Rp100.000,00
3. SPT-Tahunan PPh WP-Badan Rp1.000.000,00
4. SPT-Tahunan PPh WP-OP Rp100.000,00

Sanksi Administrasi atau Sanksi Pidana juga dikenakan atas kejadian


berikut:
(b) Pasal 38 setiap orang yang karena kealpaannya: (1). tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau (2). menyampaikan Surat
Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan
tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali
didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan
paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
(c) Pasal 39 (1) Dikenakan sanksi dengan pidana penjara paling singkat 6
(enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit
2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan
paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar atau pidana ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua)
kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di
bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak

22
PERPAJAKAN

selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. Apabila dengan


sengaja :
(1) tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib
pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP),
(2) menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok
Wajib pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak,
(3) tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; d. menyampaikan
Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar
atau tidak lengkap,
(4) menolak untuk dilakukan pemeriksaan,
(5) memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang
palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak
menggambarkan keadaan yang sebenarnya,
(6) tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di
Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku,
catatan, atau dokumen lain,
(7) tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi
dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk
hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara
elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di
Indonesia atau
(8) tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara
(9) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak
pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor
Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak atau
menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang
isinya tidak benar atau tidak lengkap, dalam rangka mengajukan
permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau
pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan
dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan
paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan
dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

(d) Sanksi pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali
jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6

23
PERPAJAKAN

(enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak,
bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.jika orang yang
dengan sengaja:
(1) menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti
pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran
pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
(2) menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.

4. Pembetulan SPT
Apabila SPT yang sudah dilaporkan ke KPP masih terdapat
kekeliruan/ketidakbenaran maka SPT yang keliru (tidak benar) tersebut dapat
dibetulkan dengan syarat sebagaimana dinyatakan pada pasal 8 berikut :
(1) Menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak
belum melakukan tindakan pemeriksaan.
(2) Pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua)
tahun sebelum daluwarsa penetapan.
(3) Pembetulan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang
pajak menjadi lebih besar, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar
2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung
sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(4) Pembetulan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang
pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan (bagian dari bulan dihitung penuh
ssatunbulan) atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh
tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1(satu) bulan.
(5) Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan
tindakan penyidikan terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib pajak tersebut
tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib pajak dengan kemauan
sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan
disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya
terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima
puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
(6) Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan
syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak,
wajib pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan
tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
(a) pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;

24
PERPAJAKAN

(b) rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
(c) jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
(d) jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil dan proses pemeriksaan
tetap dilanjutkan.
(7) Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan beserta sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang
dibayar, harus dilunasi oleh Wajib pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud
disampaikan.
(8) Wajib pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah
disampaikan, dalam hal wajib pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun
Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi
fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang
akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima
surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan
syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.

Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak, Direktur Jenderal
Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar apabila :
a. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak
atau kurang dibayar,
b. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktunya dan setelah
ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana
ditentukan dalam Surat Teguran,
c. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak
seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai
tarif 0% (nol persen),
d. kewajiban melakukan pembukuan atau pencatatan tidak dipenuhi sehingga
tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau
e. kepada Wajib pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib pajak dan/atau
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.

25
PERPAJAKAN

J. Pemeriksaan, Penelitian, dan Penyidikan


1. Pemeriksaan
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional
berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pemeriksaan dilakukan oleh
petugas pemeriksa dan harus memiliki tanda pengenal pemeriksa, dilengkapi dengan
Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib pajak. Adapun
tujuan pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ada tiga kewajiban wajib pajak yang diperiksa, yaitu :
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang
menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan
yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib pajak, atau objek yang
terutang pajak;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang
perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
c. memberikan keterangan lain yang diperlukan, diantaranya:
a. Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi,dan keterangan lain wajib
dipenuhi oleh Wajib pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan
disampaikan
b. Dalam hal wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas tidak memenuhi syarat sehingga tidak dapat dihitung
besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajak tersebut dapat
dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan perpajakan
c. Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta
keterangan yang diminta, wajib pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk
merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh
permintaan untuk keperluan pemeriksaan.Terhadap wajib pajak badan yang
pernyataan pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan efektif oleh badan
pengawas pasar modal dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan
dilampiri Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan
pendapat Wajar Tanpa Pengecualian yang:
i. Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib pajak menyatakan lebih bayar
ii. terpilih untuk diperiksa berdasarkan analisis risiko dapat dilakukan
pemeriksaan melalui Pemeriksaan Kantor

26
PERPAJAKAN

2. Penelitian
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai
kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk
penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.

3. Penyidikan
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan
yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta
menemukan tersangkanya.
Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Wewenang penyidik adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau
laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau
badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak
pidana di bidang perpajakan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di
bidang perpajakan;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
mencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti
tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangkapelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana dibidang perpajakan;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau
tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas
orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundangundangan

Kewajiban penyidik memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan


hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik Pejabat Polisi Negara

27
PERPAJAKAN

Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalamUndang-Undang Hukum


Acara Pidana.
Penghentian Penyidikan jika: (1) untuk kepentingan penerimaan negara, atas
permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak
tanggal surat permintaan. (2) penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib pajak melunasi
utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan
ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak
yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

28
PERPAJAKAN

BAB 4
PEMBAHASAN PAJAK PENGHASILAN SECARA UMUM

Undang Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1
Januari 1984 telah diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 dan telah a berubah
berikutnya menjadi Undang Undang No. 17 Tahun 2000 mulai berlaku 1 Januari 2001 dan
terakhir menjadi Undang Undang No. 36 Tahun 2008 mulai berlaku 1 Januari 2009. Dalam
Undang Undang tersebut berisi tentang :
A. Subjek Pajak Penghasilan
a. 1. orang pribadi;
2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
b. badan;
adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
c. bentuk usaha tetap.
adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak
bebas;

29
PERPAJAKAN

o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa,
atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan
kegiatan usaha melalui internet.

• Subjek Pajak Dalam Negeri


Subjek Pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang
dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia; Kewajiban pajak subjektif orang pribadi dimulai pada saat orang
pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan
berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari
badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah; dan
4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara;

Kewajiban pajak subyektif badan dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi
bertempat kedudukan di Indonesia.
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. Kewajiban
pajak subyektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat timbulnya warisan yang
belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.

• Subjek Pajak Luar Negeri


Subjek Pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;

30
PERPAJAKAN

Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan dimulai pada saat orang pribadi atau
badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dan berakhir pada saat tidak
lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap.
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan dimulai pada saat orang pribadi atau
badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada
saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.

• Tidak termasuk subjek pajak


Tidak termasuk subjek pajak adalah:
a. kantor perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara
asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia
dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan diluar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan
2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota;
Organisasi Internasional adalah organisasi/badan/ lembaga/asosiasi/ perhimpunan/forum
antar pemerintah atau non-pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama
internasional dan dibentuk dengan aturan tertentu atau kesepakatan bersama. Contoh :
World Bank, ADB, IMF, ILO, UNICEF, WHO dll
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
Pejabat perwakilan organisasi internasional adalah pejabat yang diangkat atau ditunjuk
langsung oleh induk organisasi internasional yang bersangkutan untuk menjalankan
tugas atau jabatan pada kantor perwakilan organisasi internasional tersebut di Indonesia.

31
PERPAJAKAN

B. Objek Pajak
Objek Pajak Penghasilan
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi,
uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam
bentuk apa pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan; Dalam hal terjadi pengalihan harta perusahaan
kepada pegawainya, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar harta
tersebut dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi perusahaan.
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

32
PERPAJAKAN

i. yaitu atau imbalan atas penggunaan hak; i. sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi
pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat
dibebankan sebagai biaya. Namun, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan
bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga
Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR),
kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan
jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing; Keuntungan yang diperoleh karena
fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut
dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang
berlaku di Indonesia.
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi, termasuk premi reasuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah; Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki
landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional.
Namun, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis
syariah tersebut tetap merupakan objek pajak.
r. imbalan bunga; dan
s. surplus Bank Indonesia. Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak
Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan audit setelah
dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang Pajak
Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia.

C. Penghasilan yang Dikenai PPh Final


Pajak Final merupakan pajak yang dikenakan dengan tarif dan dasar pengenaan pajak
tertentu atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama tahun berjalan. PPh Final
yang dipotong pihak lain maupun yang disetor sendiri bukan merupakan pembayaran di
muka atas PPh terutang, melainkan merupakan pelunasan PPh terutang atas penghasilan
tersebut, sehingga Wajib Pajak dianggap telah melakukan pelunasan terhadap kewajiban
pajaknya.
Penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak akan dihitung lagi di SPT Tahunan
untuk dikenakan tarif umum bersama dengan penghasilan lainnya. PPh yang sudah

33
PERPAJAKAN

dipotong atau dibayarkan tersebut juga bukan merupakan kredit pajak di SPT Tahunan.
Secara sederhana, perbedaan PPh Final dan Tidak Final adalah PPh Final berarti pajak
yang sudah selesai, sedangkan PPh yang bersifat Tidak Final berarti kebalikan dari PPh
Final, yakni pajak yang belum selesai. (Klikpajak.id)

Pajak final atau PPh final merupakan pajak yang dikenakan langsung saat wajib pajak
(WP) menerima penghasilan. Pajak final biasanya langsung disetorkan oleh WP.
Setidaknya ada dua pertimbangan yang menjadi dasar penerapan pajak final, yaitu :
(www.online-pajak.com)
1. Penyederhanaan pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha.
2. Memudahkan serta mengurangi beban administrasi bagi wajib pajak.

Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:


a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi; (Penghasilan dari bunga deposito, tabungan, Obligasi)
b. penghasilan berupa hadiah undian;
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
e. Penghasilan dari perusahaan pelayaran Indonesia
f. Penghasilan dari wajib pajak luar negeri yang memiliki kantor perwakilan di
Indonesia
g. Penghasilan neto fiscal, (penghasilan neto fiskal adalah penghasilan neto komersial,
ditambah dengan koreksi fiskal positif, lalu dikurangi koreksi fiskal negatif.
Sedangkan penghasilan neto komersial adalah laba bersih basis akrual yang disajikan
dalam laporan keuangan yang disusun menurut standar akuntansi keuangan. Contoh
pada halaman berikutnya)
h. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.

D. Dikecualikan dari Objek Pajak


Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
a. Poin a terdiri dari :
1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh

34
PERPAJAKAN

lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang
dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit);
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha
milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan
dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun, dalam bidang-bidang
tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
j. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan
dalam sektorsektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan; dan

35
PERPAJAKAN

2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;


k. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
l. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan,
dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
m. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
n. hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada semua
pembeli atau konsumen akhir tanpa diundii dan hadiah tersebut diterima langsung
oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa.

E. Penghitungan Penghasilan Neto dan Pajak Terutang

1. Penghasilan Neto Fiskal dan Penghasilan Neto Komersial

Penghasilan neto fiskal adalah penghasilan neto komersial, ditambah dengan


koreksi fiskal positif, lalu dikurangi koreksi fiskal negatif. Sedangkan penghasilan
neto komersial adalah laba bersih basis akrual yang disajikan dalam laporan
keuangan yang disusun menurut standar akuntansi keuangan. Secara sederhana,
cara menghitung penghasilan neto fiskal berdasarkan penghasilan neto komersial
adalah seperti contoh berikut:

1. Penghasilan neto komersial Rp6.000.000.000


2. Rekonsiliasi fiskal:
A. (+) koreksi fiskal positif Rp500.000.000
B. (-) koreksi fiskal negatif (Rp400.000.000)
3. Penghasilan neto fiskal Rp6.100.000.000

Metode untuk menghitung keuntungan atau penghasilan neto dalam rangka


perhitungan PPh terutang, terdapat beberapa cara yang telah diatur dalam Undang-
undang PPh 1984:

1. Penghasilan neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang bisa dibagi lagi menjadi
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas dan orang
pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas. Bagi wajib
pajak yang melakukan usaha/pekerjaan bebas maka penghasilan neto yang
diterima dari kegiatan usahanya dapat dihitung menggunakan metode norma

36
PERPAJAKAN

penghitungan penghasilan neto. Atau bisa juga dilakukan dengan cara


menghitung laba neto secara akuntansi yang disesuaikan secara fiskal.
Sedangkan untuk wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan
usaha, penghasilan neto dihitung sesuai dengan selisih antara penghasilan bruto
dengan biaya yang diperkenankan secara diskal untuk menjadi faktor
pengurang.
2. Penghasilan neto bagi Wajib Pajak Badan, dihitung sesuai dengan prinsip
pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi yang telah direkonsiliasi menurut
ketentuan fiskal. Yaitu berupa laporan laba rugi dan telah direkonsiliasi secara
fiskal.

2. Norma Penghitungan Penghasilan Neto Fiskal

Wajib pajak orang pribadi dengan peredaran bruto kurang dari


Rp4.800.000.000 dari penghasilan yang tidak dikenai PPh final wajib melakukan
pencatatan. Dalam sistem perpajakan di Indonesia, yang dimaksud pencatatan
adalah pencatatan peredaran bruto yang dilakukan secara tertib atau rapi. Sebagai
contoh, seorang dokter harus mencatat penghasilan yang diterimanya di setiap
bulan. Pencatatan tersebut bisa digunakan sebagai alternatif dari pembukuan untuk
menghitung penghasilan neto fiskal. Cara menghitung penghasilan neto fiskal
dengan dasar pencatatan adalah sebagai berikut ini:

Penghasilan neto = Norma penghitungan (%) × Peredaran bruto

Contoh:

Dr. Martha menerima peredaran bruto sejumlah Rp250.000.000 dari praktik


dokter umum yang dilakukannya. Berdasarkan PER-17/PJ/2015, norma
penghitungan untuk praktik dokter umum adalah 50%. Maka Berapa penghasilan
neto fiskal dr. Martha?

Cara perhitungannya :

Penghasilan neto dokter 50% XRp250.000.000,00 =Rp 125.000.000,00

Jadi Perhitungan Penghasilan neto dr Martha adalah sebesar Rp. 125.000.000.


Penghasilan inilah yang nanti dipakai dasar perhitungan pengenaan pajak
penghasilan.

Catatan

• Diperbolehkannya penggunaan pencatatan dan norma penghitungan


penghasilan neto fiskal seperti contoh di atas dimaksudkan untuk memudahkan

37
PERPAJAKAN

wajib pajak pribadi, khususnya yang menerima atau memperoleh penghasilan


yang tidak dikenai PPh Final, dalam memenuhi kewajiban perpajakan.

3. Penghitungan Penghasilan Neto dengan Pembukuan


Bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT besarnya Penghasilan Kena Pajak
(menggunakan pembukuan), ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi
biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain:
1. biaya pembelian bahan;
2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang;
3. bunga, sewa, dan royalti;
4. biaya perjalanan;
5. biaya pengolahan limbah;
6. premi asuransi;
7. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
8. biaya administrasi; dan
9. pajak kecuali Pajak Penghasilan;

b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan


amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan;
e. kerugian selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2. wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan
dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur
bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;

38
PERPAJAKAN

4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk


penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k; yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang


ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah; dan
m. sumbangan dalam rangka pembinaan olah raga yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
n. pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk
dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau
amortisasi

4. Pengurangan yang Tidak Diperkenankan

a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota;
c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1) Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain
yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
2) Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang
dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3) Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
4) Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
5) Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
6) Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan
limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan
dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;

d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi


dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib pajak orang
pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung
sebagai penghasilan bagi Wajib pajak yang bersangkutan;

39
PERPAJAKAN

e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang


diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan
dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
MenteriKeuangan;
f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan kecuali
sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai
dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;
i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib
pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di
bidang perpajakan

5. Kompensasi Kerugian
Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan tersebut ternyata didapat
kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai
tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

6. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)


Bagi Wajib pajak Orang Pribadi dalam negeri, besarnya Penghasilan Kena Pajak
(PKP) dihitung dengan cara penghasilan neto dikurangi dengan Penghasilan Tidak
Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar: (101 /PMK.010/2016)
a. Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang
pribadi;
b. Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib
Pajak yang kawin;
c. Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) tambahan untuk seorang
isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suam1 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan

40
PERPAJAKAN

d. Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah clan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus
serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3
(tiga) orang untuk setiap keluarga.

7. Tarif Pajak

Besarnya pajak terutang dihitung dengan menerapkan tarif PPh pasal 17 terhadap
Penghasilan Kena Pajak (PKP), untuk keperluan penerapan tarif pajak
sebagaimana jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan
rupiah penuh. Adapun tarif pajak menurut UU No 36 Tahun 2008 adalah :
a. Wajib pajak orang pribadi dalam negeri
Tabel 5 : Tarip Pajak orang pribadi
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
(NPWP) (Non NPWP)
sampai dengan Rp50.000.000,00 5% 6%
di atas Rp50.000.000,00 s.d Rp250.000.000 15% 18%
di atas Rp250.000.000,00 s.d Rp500.000.000,00 25% 30%
di atas Rp500.000.000,00 30% 36%

b. Wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28%
(dua puluh delapan persen).
c. Wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling
sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu
lainnya, dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah
daripada tarif sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b yang diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
d. Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada
Wajib pajak orang pribadi dalam negeri paling tinggi sebesar 10% (sepuluh
persen) dan bersifat final.

8. Depresiasi dan Amortisasi


Depresiasi/penyusutan adalah alokasi biaya dari aktiva berwujud yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun selama masa manfaat aktiva
tersebut. Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan,
perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik,
hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama
besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.

41
PERPAJAKAN

Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang
menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif
penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku
disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk
harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan
Wajib pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta
tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan
Apabila Wajib pajak melakukan penilaian kembali aktiva, maka dasar
penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva
tersebut. Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta
berwujud ditetapkan sebagai berikut :
Tabel 6: Tarif Depresiasi Harta Berwujud
Kelompok Harta Masa Manfaat Tarif Penyusutan
berwujud Garis Lurus Saldo Menurun
Bukan Bangunan
Kelompok 1 4 Tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 Tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 Tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 Tahun 5% 10%
Bangunan
Permanen 20 Tahun 5% -
Tidak Permanen 10 Tahun 10% -
Catatan : Pengelompkan Harta bisa di baca di PMK 96/PMK.03/2009

Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan


pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna
usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau
dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan
cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku
dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan
secara taat asas.

Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk


bidang usaha tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan. Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi
ditetapkan sebagai berikut:

42
PERPAJAKAN

Kelompok Harta Masa Manfaat Tarif Penyusutan


berwujud Garis Lurus Saldo Menurun
Bukan Bangunan
Kelompok 1 4 Tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 Tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 Tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 Tahun 5% 10%
Bangunan
Permanen 20 Tahun 5% -
Tidak Permanen 10 Tahun 10% -
I. Biaya Pendirian - sama dengan di atas
Biaya Perluasan Modal
II. Penambangan minyak dan gas - metode satuan produksi
bumi
III. Hak penambangan Hak - metode satuan produksi setinggi-
pengusahaan hutan, Hak tingginya 20% setahun.
pengusahaan sumber & hasil
alam lainnya
IV. Pengeluaran yang dilakukan - sama dengan di atas
sebelum operasi komersial yang
mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun
Sumber : Per- 17/Pj/2015 Tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto
9. Kredit Pajak
Pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan merupakan angsuran pajak yang
dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak (dikreditkan) terhadap Pajak
Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan. Kredit pajak
hanya boleh diperhitungkan untuk Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final.
Menurut KUP Pasal 1 ayat 22 dinyatakan bahwa Kredit Pajak untuk Pajak
Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib pajak ditambah dengan
pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan
dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang
dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar
atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan di antaranya adalah:
1. Pajak Penghasilan pasal 21 (PPh 21)
Pajak Penghasilan pasal 21 adalah pajak penghasilan yang dipotong (serta
disetor dan dilaporkan) sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa atau
kegiatan yang diterima atau diperoleh hanya oleh Wajib pajak Orang Pribadi
dalam negeri.

2. Pajak Penghasilan pasal 22

43
PERPAJAKAN

Pajak Penghasilan pasal 22 adalah pajak penghasilan yang dipungut oleh


bendaharawan atau badan lain yang ditunjuk sehubungan dengan pembayaran
atas penyerahan barang, melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan
usaha di bidang tertentu.

3. Pajak Penghasilan pasal 23


Pajak Penghasilan pasal 23 adalah pajak penghasilan yang dipotong (serta
disetor dan dilaporkan) sehubungan dengan penghasilan yang diterima atau
diperoleh atas menggunaan modal (Capital Income) dan penghasilan
sehubungan dengan jasa yang diterima oleh Wajib pajak Badan dan BUT.

4. Pajak Penghasilan pasal 24


Pajak pengahsilan pasal 24 adalah pajak yang dibayar atau terutang di luar
negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh oleh
Wajib pajak dalam negeri.

5. Pajak Penghasilan pasal 25


Pajak pengahsilan pasal 25 adalah angsuran pajak tahun berjalan yang harus
dibayar sendiri oleh Wajib pajak untuk setiap bulannya. Dalam hal ini
termasuk pajak yang dibayar atas Wajib pajak Orang Pribadi yang bertolak ke
luar negeri.

44
PERPAJAKAN

BAB 5
PAJAK PENGHASILAN 21/26

1. Pengertian
Dasar hukum Pajak Penghasilan pasal 21 adalah UU no. 36 Tahun 2008, yang
dimaksud dengan PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah
honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib pajak orang pribadi
dalam negeri.
Pajak penghasilan pasal 26 adalah pajak atas penghasilan, dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada
Wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia
Tarip pajak penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak
yang wajib membayarkan: dividen;. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 26 Undang Undang No. 10 Tahun 1994,
Undang Undang No. 17 Tahun 2000 dan terakhir Undang Undang No. 36 Tahun 2008.
Jumlah PPh pasal 21 yang dipotong adalah tidak bersifat final, maka merupakan
kredit pajak dan dapat diperhitungkan sebagai angsuran pajak bagi penerima penghasilan
yang dikenakan pemotongan untuk tahun pajak yang bersangkutan. Apabila PPh pasal
21 yang dipotong adalah bersifat final, maka tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit
pajak.
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, meliputi:
a. pemberi kerja yang terdiri dari:
1) orang pribadi dan badan;
2) cabang, perwakilan, atau unit, dalam hal yang melakukan sebagian atau seluruh
administrasi yang terkait dengan pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan,
dan pembayaran lain adalah cabang, perwakilan, atau unit tersebut.
b. bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas
pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi
atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar
Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan
dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan;
c. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan social tenaga kerja, dan badan-badan
lain yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan
hari tua; contoh : PT. Taspen Persero, PT. Jamsostek.

45
PERPAJAKAN

d. orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang
membayar :
1) honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak
dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan
bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama
persekutuannya;
2) honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar
negeri;
3) honorarium, komisi, fee, atau imbalan lain kepada peserta pendidikan dan
pelatihan, serta pegawai magang;
e. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat
nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang
menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan
dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu
kegiatan. (Yayasan, Kepanitiaan, BUMN, BUMD, Lembaga Internasional)

2. Subjek PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26


Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah orang
pribadi yang merupakan :
a. pegawai;
b. penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua,
atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
c. bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pemberian jasa, meliputi:
1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/ peragawati,
pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial serta
pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
7. agen iklan;
8. pengawas atau pengelola proyek;
9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi
perantara;

46
PERPAJAKAN

10. petugas penjaja barang dagangan;


11. petugas dinas luar asuransi;
12. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan
sejenis lainnya;

d. anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai
Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
e. mantan pegawai;
f. peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain:
1. peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga,
seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
2. peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
3. peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan
tertentu;
4. peserta pendidikan dan pelatihan;
5. peserta kegiatan lainnya.

3. Bukan Subjek PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26


Tidak termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 adalah:
a. pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan
orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di
Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatan atau
pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan
timbal balik;
b. pejabat perwakilan organisasi internasional, yang telah ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan
usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia.

4. Objek PPh Pasal 21


Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh pasal 26 adalah:
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik berupa Penghasilan
yang Bersifat Teratur maupun Tidak Teratur;
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa
uang pensiun atau penghasilan sejenisnya
c. penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati jangka
waktu 2 (dua) tahun sejak pegawai berhenti bekerja;

47
PERPAJAKAN

d. penghasilan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, berupa upah harian,
upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara
bulanan;
e. imbalan kepada Bukan Pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan
sehubungan jasa yang dilakukan;
f. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi,
uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk
apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun;
g. penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang
diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak
merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
h. penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang
bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau
i. penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang
masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan.

Termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura (penghasilan bukan dalam bentuk
uang) dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diberikan oleh :
a. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak penghasilan yang bersifat final; atau
b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit).
(Catatan : didasarkan pada harga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar
atas pemberian kenikmatan yang diberikan)

5. Bukan Objek PPh Pasal 21


Tidak Termasuk dalam Pengertian Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 adalah
:
1. pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna,
dan asuransi beasiswa;
2. penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun
(bukan berbentuk uang) yang diberikan oleh Wajib Pajak atau pemerintah,
kecuali yang diberikan oleh bukan wajib pajak;
3. iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari
tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara
jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja;

48
PERPAJAKAN

4. zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima
oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
5. beasiswa, yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

6. Ketentuan Lain
1. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan penerima penghasilan yang
Dipotong PPh Pasal 21 wajib mendaftarkan diri ke kantor pelayanan pajak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
2. Pegawai, penerima pensiun berkala, serta bukan pegawai wajib membuat surat
pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada awal tahun kalender atau
pada saat mulai menjadi Subjek Pajak dalam negeri sebagai dasar penentuan
PTKP dan wajib menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/ atau PPh
pasal 26 pada saat mulai bekerja atau mulai pensiun.
3. Dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga bagi pegawai, penerima pensiun
berkala dan bukan pegawai wajib membuat surat pernyataan baru dan
menyerahkannya kepada pemotong PPh Pasal 21 dan/ atau PPh Pasal 26 paling
lama sebelum mulai tahun kalender berikutnya.
4. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh pasal 26 wajib menghitung, memotong,
menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh pasal 26 yang terutang
untuk setiap bulan kalender, dan membuat Bukti Pemotongan PPh Pasal 21.
5. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib membuat catatan atau kertas
kerja perhitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk masing-masing
penerima penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh
pasal 26 yang terutang untuk setiap masa pajak dan wajib menyimpan catatan atau
kertas kerja perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
6. Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap bulan kalender tetap berlaku, dalam hal jumlah
pajak yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil.
7. Dalam hal dalam suatu bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak atas PPh pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang oleh pemotong PPh pasal 21 dan/atau PPh
pasal 26, kelebihan penyetoran tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal
21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan berikutnya melalui Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh pasal 26.
8. Bagi wajib pajak yang tidak memiliki NPWP dikenakan tarif 20% lebih tinggi

49
PERPAJAKAN

7. Tarif Pajak
Tarif yang dipakai adalah tarif Pasal 17 ayat (1) Undangundang Pajak Penghasilan,
yaitu:
Tabel 5 : Tarip Pajak orang pribadi
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
(NPWP) (Non NPWP)
sampai dengan Rp50.000.000,00 5% 6%
di atas Rp50.000.000,00 s.d Rp250.000.000 15% 18%
di atas Rp250.000.000,00 s.d Rp500.000.000,00 25% 30%
di atas Rp500.000.000,00 30% 36%

8. Dasar Pengenaan Pajak


Tarif pajak dikenakan terhadap Dasar Pengenaan Pajak sebagai berikut:
Yang dipotong Dasar pengenaan Pajak
Pegawai tetap Penghasilan Kena Pajak = jumlah seluruh penghasilan bruto
setelah dikurangi dengan:
a. biaya jabatan, sebesar 5% dari penghasilan bruto, setinggi-
tingginya Rp 500.000,00 sebulan atau Rp 6.000.000,00
setahun;
b. iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai
kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara
tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang
dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
c. Dikurangi PTKP

Penerima Pensiun Penghasilan Kena Pajak = seluruh jumlah penghasilan bruto


Berkala dikurangi dengan biaya pensiun, sebesar 5% dari penghasilan
bruto, setinggi-tingginya Rp 200.000,00 sebulan atau Rp
2.400.000,00 setahun. Dikurangi PTKP (dicari aturan terbaru!!)

Pegawai tidak tetap Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan bruto Dikurangi PTKP
yang penghasilannya
dibayar secara bulanan
atau jumlah kumulatif
penghasilan yang
diterima dalam 1 bulan
kalender telah
melebihi Rp.
4.500.000

50
PERPAJAKAN

Bukan pegawai yang Penghasilan Kena Pajak = 50% dari jumlah penghasilan bruto
menerima imbalan Dikurangi PTKP perbulan
yang bersifat
berkesinambungan.

Bukan pegawai yang 50% dari jumlah penghasilan bruto. (Contoh honor tutor UT)
menerima imbalan
yang tidak bersifat
berkesinambungan

Selain di atas Jumlah penghasilan bruto

8.1. Keterangan Lain Mengenai Penerapan Tarif Pajak Penghasilan


1. Atas Penghasilan Kena Pajak
Tarif berdasarkan Pasal 17 diterapkan atas penghasilan kena pajak dari;
a. Pegawai tetap, termasuk pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota ABRI
dan pejabat Negara lainnya, Pegawai BUMN dan BUMD, dan anggota dewan
komisaris dan dewan pengawas yang merangkap pegawai tetap pada perusahaan
yang sama.
b. Penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan
c. Pegawai tidak tetap pemagang dan calon pegawai.

2. Atas Penghasilan Bruto


Tarif berdasarkan pasal 17 diterapkan atas penghasilan bruto berupa :
a. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam
bentuk apapun, komisi, beasiswa dan pembayaran lain dengan nama apapun
sebagai imbalan atas jasa atau kegiatan yang jumlah dihitung tidak atas dasar
banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan yang
diberikan.
b. Honorarium yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan
pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang
sama.
c. Jasa produksi, bonus, THR yang diterima atau diperoleh mantan pegawai.

3. Tarif 15% Final


a. Hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
b. Penghasilan yang berupa honorarium dan imbalan lain selain gaji, pensiun dan
tunjangan lain yang terkait dengan gaji, yang dibayarkan kepada pejabat negara,
PNS, anggota ABRI, Pensiunan PNS dan pensiunan ABRI, yang sumber
dananya berasal dari keuangan negara atau daerah.

51
PERPAJAKAN

4. Tarif 20%
a. Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan
pada penghasilan bruto yang diterima atau yang diperoleh sebagai imbalan atas
pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status
wajib pajak luar negeri.
b. PPh Pasal 26 di atas tidak bersifat final dalam hal orang pribadi yang sebagai
wajib pajak luar negeri tersebut berubah status menjadi wajib pajak dalam
negeri.

5. Kewajiban Pemotong Pajak


1. Penghitungan yaitu:
a. Setelah tahun takwim berakhir (tahun kalender), pemotong pajak
berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh pasal 21 yang terutang oleh
pegawai tetap selama setahun takwim menurut tarif PPh pasal 17 Undang
Undang Nomor 36 Tahun 2008.
b. Apabila jumlah pajak yang terutang selama setahun lebih besar dari jumlah
pajak yang telah dipotong, kekurangannya dipotongkan dari pembayaran
gaji pegawai yang bersangkutan untuk bulan pada waktu dilakukannya
penghitungan kembali.
c. Apabila jumlah pajak terutang selama satu tahun lebih kecil dari jumlah
pajak yang telah dipotong, kelebihannya diperhitungkan dengan pajak
yang terutang atas gaji untuk bulan pada waktu dilakukan penghitungan
kembali.

2. Penyetoran dan pelaporan


a. Setiap pemotong pajak wajib mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan
PPh pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong pajak terdaftar
atau kantor penyuluhan pajak setempat
b. Jika jumlah PPh pasal 21 dan PPh pasal 26 yang terutang dalam satu tahun
takwim lebih besar daripada PPh pasal 21/26 yang telah disetor, maka
kekurangannya harus disetor sebelum penyampaian SPT Tahunan PPh
Pasal 21.
c. Jika jumlah PPh pasal 21 dan PPh pasal 26 yang terutang dalam satu tahun
takwim lebih kecil daripada PPh pasal 21/26 yang telah disetor maka
kelebihannya tersebut diperhitungkan dengan PPh pasal 21 yang terutang
untuk bulan pada waktu dilakukannya penghitungan tahunan. Dan jika
masih ada sisa kelebihan, maka diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya
dalam tahun berikutnya.

52
PERPAJAKAN

9. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)


PTKP adalah salah satu komponen penting dalam penghitungan Pajak Penghasilan
(PPh), pada saat menghitung pajak, PTKP digunakan sebagai komponen pengurang atas
penghasilan bruto (penghasilan kotor) yang diperoleh wajib pajak. PTKP ditentukan
oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.

Tabel 7: Penghasilan Tidak kena Pajak Terbaru sesuai 101 /PMK.010/2016


Keadaan Wajib pajak PTKP Setahun
*1 WP Rp. 54.000.000,00
*1 orang tanggungan Rp. 4.500.000,00
Tidak kawin tanpa tanggungan Rp. 54.000.000,00
*Kawin dengan pisah harta
Kawin tanpa anak atau tanggungan Rp. 58.500.000,00
Kawin dengan 1 (satu) anak/tanggungan Rp. 63.000.000,00
Kawin dengan 2 (dua) anak/tanggungan Rp. 67.500.000,00
Kawin dengan 3 (tiga) anak/tanggungan Rp. 72.000.000,00
Karyawati Rp. 54.000.000,00
*Kawin dengan harta di gabung
Kawin tanpa anak atau tanggungan Rp. 112.500.000,00
Kawin dengan 1 (satu) anak/tanggungan Rp. 117.000.000,00
Kawin dengan 2 (dua) anak/tanggungan Rp. 121.500.000,00
Kawin dengan 3 (tiga) anak/tanggungan Rp. 126.000.000,00

Catatan : Tanggungan, yaitu:


1. Yang dimaksud dengan “anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya”
adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya
hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.
2. Anak angkat termasuk penambah nilai PTKP. Pengertian anak angkat dalam
perundang-undangan pajak adalah seseorang yang belum dewasa, bukan anggota
keluarga sedarah atau semenda (hubungan kekeluargaan karena ikatan perkawinan)
dalam garis lurus dan menjadi tanggungan sepenuhnya dari wajib pajak yang
bersangkutan.
3. Contoh Hubungan keluarga sedarah dan semenda :
a. Sedarah lurus : Ayah, ibu, anak kandung
b. Sedarah ke samping : Saudara kandung
c. Semenda lurus : Mertua, anak tiri
d. Semenda ke samping : Saudara Ipar
(selain yang di atas tidak dapat dimasukkan ke dalam tanggungan)

53
PERPAJAKAN

Status Wajib Pajak, terdiri dari:


Tabel 8 : Status Wajib Pajak
TK/… Tidak Kawin, ditambah dengan banyaknya tanggungan anggota keluarga;
K/… Kawin, ditambah dengan banyaknya tanggungan anggota keluarga;
K/I/… Kawin, tambahan untuk isteri (hanya seorang) yang penghasilannya
digabung dengan penghasilan suami, ditambah dengan banyaknya
tanggungan anggota keluarga;
PH Wajib pajak kawin yang secara tertulis melakukan perjanjian pemisahan
harta dan penghasilan. PTKP nya tetap seperti PTKP untuk WP kawin yang
penghasilan suami istri digabungan (K/I/....)
HB/… Wajib pajak kawin yang telah hidup berpisah ditambah banyaknya
tanggungan anggota keluarga. PTKP bagi Wajib Pajak masing-masing suami
isteri yang telah hidup berpisah untuk diri masing-masing Wajib Pajak
diperlakukan seperti Wajib Pajak Tidak Kawin sedangkan tanggungan sesuai
dengan kenyataan sebenarnya yang diperkenankan.(sesuai dengan Pasal 7
UU PPh)

PTKP Karyawati, adalah:


1. Karyawati kawin: sebesar PTKP untuk dirinya sendiri;
2. Karyawati tidak kawin: sebesar PTKP untuk dirinya sendiri + PTKP untuk keluarga
yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
3. Karyawati kawin yang mempunyai surat keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah
setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan suaminya tidak
menerima/ memperoleh penghasilan: besanya PTKP adalah PTKP untuk dirinya
sendiri + PTKP status kawin + PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan
sepenuhnya. (atau sama dengan status Kawin dengan harta di gabung)

10. Honorarium bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI
Atas penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang
menjadi beban APBN atau APBD yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 21 bersifat
final dengan tarif:
Tabel 9 : Tarif bagi bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI
Uraian Tarif
PNS Golongan I dan Golongan II, sebesar 0% dari jumlah bruto honorarium
Anggota TNI dan Anggota POLRI atau imbalan lain
Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara,
dan Pensiunannya

PNS Golongan III, Anggota TNI dan sebesar 5% dari jumlah bruto honorarium
Anggota POLRI Golongan Pangkat atau imbalan lain
Perwira Pertama, dan pensiunannya

54
PERPAJAKAN

Pejabat Negara, PNS Golongan IV, sebesar 15% dari jumlah bruto
Anggota TNI dan Anggota POLRI honorarium atau imbalan lain
Golongan Pangkat Perwira Menengah
dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya

Sumber : PMK : 262/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan


Pasal 21 Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, Dan Pensiunannya
Atas Penghasilan Yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Atau
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah.
Contoh Soal ada di lampiran PMK ini, dengan catatan PTKP disesuaikan dengan
aturan terbaru PMK:101_PMK.010_2016

11. Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari
Tua yang Dibayarkan Sekaligus
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan
sekaligus, dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan
sebagai berikut: (PMK : 16/Pmk.03/2010 Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan
Hari Tua, Dan Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus)
Tabel 10 : Tarif bagi Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua,
dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif
sampai dengan Rp.50.000.000 0%
di atas Rp. 50.000.000 sampai dengan Rp. 100.000.000 5%
di atas Rp.100.000.000 sampai dengan Rp. 500.000.000 15%
di atas Rp.500.000.000 25%
*) Diterapkan atas jumlah kumulatif Uang Pesangon yang dibayarkan sebagian atau
seluruhnya dalam jangka waktu paling lama 2 tahun kalender.

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat


Pensiun,Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:*
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif
sampai dengan Rp.50.000.000,00 0%
di atas Rp. 50.000.000,00 5%
*) Diberlakukan atas jumlah kumulatif Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua,
atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sebagian atau seluruhnya dalam jangka waktu
paling lama 2 tahun kalender.

55
PERPAJAKAN

BAB 6
KUMPULAN SOAL SOAL PPh 21

A. PPh 21 atas Pegawai Tetap


1. PPh Pasal 21 Bulanan
Pada setiap awal tahun, pemotong pajak menghitung PPh pasal 21 bulanan
dari pegawai tetap dengan cara sebagai berikut:
a. Pertama tama dihitung penghasilan bruto teratur sebulan yang diterima oleh
pegawai tetap.
b. Hitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara penghasilan bruto
dikurangi dengan :
1. Biaya Jabatan yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan. Biaya jabatan besarnya 5% (lima persen) dari penghasilan
bruto, setinggi tingginya Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun atau
Rp500.000 tiap bulan
2. Iuran yang terikat pada gaji yang dibayar oleh pegawai yang berupa :
a) Iuran dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri
Keuangan (maksimal perbulan Rp.200.000)
b) Iuran Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua (THT) kepada
badan penyelenggara Taspen dan Jamsostek.
c) Kecuali iuran THT yang dibayarkan oleh pensiunan PNS kepada PT.
Taspen dan pensiunan ABRI kepada PT. Asabri

3. Tentukan penghasilan neto setahun, yaitu penghasilan neto sebulan


dikalikan 12.
4. Kemudian dihitung penghasilan kena pajak (PKP) dari seorang pegawai.
PKP dihitung dengan cara penghasilan neto setahun dikurangi dengan
penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
5. PPh Pasal 21 setahun dihitung dengan cara PKP dikalikan dengan tarif
PPh pasal 17, untuk keperluan penerapan tarif, penghasilan kena pajak
dibulatkan ke bawah hingga angka ribuan penuh.
6. PPh pasal 21 untuk sebulan dihitung dengan cara PPh 21 setahun dibagi
dengan 12.

Contoh 1:
Tn. Candra status kawin memiliki 2 anak, ia bekerja pada PT “Sembada” sebagai
pegawai tetap. Sebagai informasi Istri Tn Candra tidak bekerja (Dalam soal, bila tidak
disebutkan istri sebagai karyati atau mempunyai penghasilan, maka di anggap istri
tidak bekerja/IRT). Berikut ini penghasilan dari Tn Candra sebagai berikut:
Gaji bulan Januari 2019
Gaji pokok Rp45.00.000,00

56
PERPAJAKAN

Tunjangan keluarga Rp 5.000.000,00 +


Rp50.000.000,00

Informasi lain mengenai penghasilan sebulan adalah :


1. Perusahaan mengikutkan semua pegawainya pada program pensiun. Iuran
pensiun disetor ke dana pensiun (yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keungan) atas nama Tn. Candra sebesar Rp2.700.000,00 per tahun, dengan
rincian :
a. Rp2.400.000,00 ditanggung oleh pegawai (dipotongkan dari gaji)
b. Rp300.000,00 ditanggung oleh perusahaan

2. Perusahaan juga mengikuti program Jamsostek. Iuran Tunjangan Hari Tua


(THT) untuk Tn. Candra dibayarkan kepada penyelenggara Jamsostek sebesar
6% dari total gaji dan tunjangan dengan rincian sebagai berikut :
a. 0% ditanggung oleh pegawai (dipotongkan dari gaji)
b. 6% ditanggung perusahaan

Diminta : Hitunglah PPh Pasal 21 yang terutang setahun dan tiap bulan atas
penghasilan tersebut!

Pembahasan :1
a. Pada awal tahun dibuat penghitungan sebagai berikut :
Penghasilan bruto teratur untuk satu bulan :
Gaji pokok Rp45.00.000,00
Tunjangan keluarga Rp 5.000.000,00 +
Penghasilan Bruto satu bulan Rp 50.000.000,00
Dikurangi
* Biaya jabatan 5% x bruto (sudah Max) Rp 500.000,00
* Iuran pensiun potong gaji Rp 200.000,00
* Iuran THT potong gaji Rp +(0%x Rp. 50.000.000,00)
Rp. 700.00,00 -
Penghasilan neto satu bulan Rp 49.300.000,00
Penghasilan neto 1 tahun (12 bulan) = Rp 591.600.000,00

Dikurangi PTKP :
Diri WP Rp54.000.000,00
WP Kawin Rp. 4.500.000,00
Tangg. Max 3 Rp 9.000.000,00
Total PTKP Rp 67.500.000,00 –
PKP Rp524.100.000,00

57
PERPAJAKAN

Dalam penghitungan PPh 21, PKP terlebih dahulu dibulatkan ke bawah dalam
angka ribuan penuh
Tarif PPh pasal 17
PPh 21 untuk 1 tahun = 5% x Rp50.000.000,00 =Rp 2.500.000,00
15%x Rp 200.000.000 =Rp 30.000.000,00
25% x Rp. 250.000.000 = Rp62.500.000,00
30% x Rp. 24.100.000 (PKP- (50.000.000+200.000.000+250.000.000)
= Rp. 7.230.000,00+
PPh 21 untuk 1 tahun = Rp102.230.000,00

PPh 21 untuk satu bulan = Rp102.230.000,00: 12 =Rp 8.519.167


Angsuran PPh 21 per bulan dibulatkan ke atas Rp. 8.520.000,00-

b. Perhitungan kembali
Setelah tahun takwim berakhir, pemotong pajak berkewajiban menghitung
kembali jumlah PPh pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap menurut tarif PPh
Pasal 17 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008, adapun cara penghitungan kembali
untuk akhir tahun tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pertama-tama dihitung penghasilan bruto teratur sebulan yang telah diterima
oleh pegawai tetap. Kemudian dari penghasilan bruto sebulan dihitung
penghasilan bruto setahun yang benar-benar telah diterima oleh pegawai.
Apabila dalam setahun, jumlah penghasilan yang diterima setiap bulannya
adalah selalu tetap, maka penghasilan bruto setahun dapat dihitung dengan
cara penghasilan neto sebulan dikalikan 12.
2. Dari penghasilan bruto setahun kemudian dihitung penghasilan neto setahun
yang telah diterima pegawai.
3. Kemudian dihitung PKP dengan cara Penghasilan neto setahun dikurangi
dengan PTKP.
4. Dihitung PPh pasal 21 yang terhutang selama setahun takwim, dengan cara
PKP dikalikan dengan tarif PPh pasal 17.
5. Kemudian dihitung PPh pasal 21 yang telah dipotong selama setahun
takwim. Apabila dalam setahun, jumlah PPh pasal 21 yang dipotong setiap
bulannya selalu tetap, maka PPh Pasal 21 setahun dapat dihitung dengan
cara yaitu PPh 21 yang dipotongkan sebulan dikalikan 12
6. PPh Pasal 21 yang telah dipotong selama setahun (pada angaka 5 di atas)
dibandingkan dengan PPh pasal 21 yang terhutang (pada angka 4 di atas)
sbb :
i. apabila jumlah pajak yang terutang (pada huruf 4 di atas ) lebih besar
dari jumlah pajak yang telah di potong (pada angka 5) maka
kekurangannya dipotongkan dari pembayaran gaji pegawai yang

58
PERPAJAKAN

bersangkutan untuk bulan pada waktu dilakukannya penghitungan


kembali.
ii. Apabila jumlah pajak terutang (pada angaka 4 diatas) lebih kecil dari
jumlah pajak yang telah dipotong (pada angka 5), maka kelebihannya
diperhitungkan dengan pajak yang terutang atas gaji untuk bulan pada
waktu dilakukan penghitungan kembali.
Sehingga, dari contoh diatas, bahwa Tn. Candra sebagai pegawai tetap, selama tahun
2019 penghasilan yang diterimanya tidak berubah (tidak mengalami kenaikan atau
pengurangan gaji). Setelah tahun takwim 2019 maka perusahaan melakukan penghitungan
kembali megenai PPh pasal 21 terutang untuk takwim 2019 sebagai berikut :
Penghasilan bruto teratur untuk satu tahun :
Penghasilan Bruto satu bulan Rp50.000.000,00 x 12 = Rp600.000.000,00
Dikurangi
* Biaya jabatan 5% x bruto (Maks) Rp 6.000.000,00
* Iuran pensiun potong gaji Rp 2.400.000,00
* Iuran THT potong gaji Rp 0
=Rp 8.400.000,00 -
Penghasilan Neto satu tahun =Rp591.600.000,00
PTKP = K/2 =Rp 67.500.000,00 -
PKP =Rp524.100.000,00
Tarif PPh pasal 17
PPh 21 untuk 1 tahun = 5% x Rp50.000.000,00 =Rp 2.500.000,00
15%x Rp 200.000.000 =Rp30.000.000,00
25% x Rp. 250.000.000 = Rp62.500.000,00
30% x Rp. 14.500.5000 (PKP- (50.000.000+200.000.000+250.000.000)
= Rp. 7.230.000,00+
PPh 21 untuk 1 tahun = Rp102.230.000,00
PPh 21 telah dipotong satu tahun Rp 8.279.166,67 x 12 = Rp 102.230.000,00 –
PPh 21 yang lebih/kurang dipotong oleh Perusahaan NIHIL

B. PPh 21 Atas Penghasilan tidak teratur


Kepada pegawai tetap adakalanya diberikan penghasilan tidak teratur seperti bonus,
jasa produksi, Tunjangan Hari Raya (THR), dan atau penghasilan lain sejenis, yang
sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan hanya sekali setahun. PPh Pasal 21 atas
penghasilan tidak teratur dihitung dan dipotong dengan cara sebagai berikut
(Penghitungan dilakukan pada saat penyerahan penghasilan tidak teratur) :
1. Dihitung penghasilan bruto total selama setahun yang terdiri dari :
a. Penghasilan bruto teratur selama setahun, ditambah dengan

59
PERPAJAKAN

b. Penghasilan tidak teratur misalnya bonus, jasa produksi atau THR

2. Kemudian dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan bruto total selama setahun (pada
nomor 1) tersebut di atas,
3. Dihitung PPh pasal 21 atas penghasilan tidak teratur berupa bonus, jasa produksi
atau THR. Dengan menghitung selisih antara :
a. PPh pasal 21 atas penghasilan bruto total selama setahun (pada huruf b di atas)
dengan
b. PPh pasal 21 atas penghasilan bruto teratur selama setahun (pada angka 3 di
atas)

Contoh :
Sebagaimana contoh sebelumnya bahwa Tn. Candra sebagai pegawai tetap, ia memiliki
prestasi kerja yang memuaskan, sehingga pada bulan September 2019 perusahaan
memberikan bonus atas prestasinya berupa uang sebesar Rp 100.000.000,00 sebesar 2
kali gaji pokok. Sampai dengan bulan September penghasilan teratur yang diterima Tn.
Candra tidak mengalami perubahan.
Diminta: Menghitung PPh pasal 21 atas bonus yang diterima Tn. Candra

Pembahasan :

Penghasilan bruto teratur untuk satu bulan :


Gaji pokok Rp45.00.000,00
Tunjangan keluarga Rp 5.000.000,00 +
Penghasilan Bruto satu bulan Rp 50.000.000,00
Dikurangi
* Biaya jabatan 5% x bruto (sudah Max) Rp 500.000,00
* Iuran pensiun potong gaji Rp 200.000,00
* Iuran THT potong gaji Rp +
Rp. 700.00,00 -
Penghasilan neto satu bulan Rp 49.300.000,00
Penghasilan neto 1 tahun (12 bulan) = Rp 591.600.000,00

Dikurangi PTKP : (K/2) Rp 67.500.000,00 –


PKP Rp624.100.000,00

Tarif PPh pasal 17


PPh 21 untuk 1 tahun = 5% x Rp50.000.000,00 =Rp 2.500.000,00
15%x Rp 200.000.000 =Rp30.000.000,00
25% x Rp. 250.000.000 = Rp62.500.000,00
30% x Rp. 14.500.5000 (PKP- (50.000.000+200.000.000+250.000.000)

60
PERPAJAKAN

= Rp. 7.230.000,00+
PPh 21 untuk 1 tahun = Rp102.230.000,00

PPh 21 untuk satu bulan = Rp102.230.000,00 : 12 =Rp 8.519.166,67

Penghitungan saat menerima bonus:


Penghasilan bruto total selama 1 tahun :
Penghasilan teratur = (12 x Rp 50.000.000) Rp 600.000.000,00
Bonus yang diterima bulan September Rp 100.000.000,00 +
penghasilan bruto total selama 1 Tahun Rp 700.000.000,00

Dikurangi
* Biaya jabatan 5% x bruto (Maks) Rp 6.000.000,00
* Iuran pensiun potong gaji Rp 2.400.000,00
* Iuran THT potong gaji Rp 0,00
=Rp 8.400.000,00 -
Penghasilan Neto satu tahun =Rp691.600.000,00
PTKP = K/2 =Rp 67.500.000,00 -
PKP =Rp624.100.000,00

PPh Pasal 21 termasuk bonus


PPh 21 untuk 1 tahun = 5% x Rp50.000.000,00 =Rp 2.500.000,00
15%x Rp 200.000.000 =Rp30.000.000,00
25% x Rp. 250.000.000 = Rp62.500.000,00
30% x Rp. 14.500.5000 (PKP- (50.000.000+200.000.000+250.000.000)
= Rp.37.230.000,00+
PPh 21 untuk 1 tahun = Rp 132.230,00 PPh Pasal 21
tanpa bonus =Rp 102.230.000,00 -
PPh Pasal 21 atas bonus =Rp 30.000.000,00

C. Contoh Soal PPh 21 dengan norma penghitungan :

Dr. Martha menerima peredaran bruto sejumlah Rp250.000.000 dari praktik dokter
umum yang dilakukannya. Berdasarkan PER-17/PJ/2015, norma penghitungan untuk
praktik dokter umum adalah 50%. Status Martha adalah TK/0. Maka penghasilan
neto fiskal dr. Martha adalah Rp125.000.000.

Cara perhitungannya :

61
PERPAJAKAN

Penghasilan neto dokter 50% XRp250.000.000,00 =Rp 125.000.000,00

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk wajib pajak pribadi tidak kawin adalah
Rp54.000.000. Maka penghasilan kena pajak dr. Martha untuk diterapkan atas tarif
PPh pasal 17 adalah Rp125.000.000 – Rp54.000.000 = Rp71.000.000.

Besarnya PPh terutang Dr. Martha adalah Rp5.650.000, dihitung dari


(Rp50.000.000 x 5%) + (Rp21.000.000 x 15%)

Adapun Pembahasan secara rinci sebagai berikut :

Penghasilan bruto untuk satu tahun :


Gaji pokok Rp250.00.000,00
Norma Penghitungan 50% Rp 125.000.000,00 +
Penghasilan Neto satu bulan Rp 125.000.000,00

Tidak ada pengurang biaya jabatan karena menggunakan norma penghitungan

Dikurangi PTKP : (TK/0) Rp 54.000.000,00 –


PKP Rp 71.000.000,00

Tarif PPh pasal 17


PPh 21 untuk 1 tahun = 5% x Rp50.000.000,00 =Rp 2.500.000,00
15%x Rp 21.000.000 =Rp 3.150.000,00 +
PPh 21 untuk 1 tahun = Rp 5.650.000,00

62
PERPAJAKAN

BAB 7
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22

A. Cakupan Pajak Penghasilan Pasal 22


Pajak penghasilan pasal 22 ini merupakan pajak penghasilan yang dikenakan atas :
1. Impor barang
2. Penjualan atau penyerahan barang kepada instansi pemerintah, BUMN atau
BUMD. Apabila pembayaran atas pembelian barang tersebut berasal dari belanja
negara dan atau belanja daerah
3. Hasil produk atau penyerahan barang tertentu.
B. Pemungut Pajak
Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 ini adalah (PMK 34/PMK. 010/2017):
1. Bank Devisa dan Direktorat J enderal Bea dan Cukai atas:
i. impor barang; dan
ii. ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan
logam yang dilakukan oleh eksportir, kecuali yang dilakukan oleh Wajib
Pajak yang terikat dalam perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan
dan Kontrak Karya.
2. bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut
pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah
dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang;
3. bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang
dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP = uang kas yang ada di tangan
bendahara pengeluaran);
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar
yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KP A), berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan
mekanisme pembayaran langsung (LS : mekanisme pembayaran dari Bendahara
Umum Negara (KPPN)/Negara kepada rekanan atau pihak ketiga);
5. badan usaha tertentu meliputi:
1. Badan Usaha Milik Negara, yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung
yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan;
2. badan usaha dan Badan Usaha Milik Negara yang merupakan basil dari
restrukturisasi yang dilakukan oleb Pemerintah, dan restrukturisasi tersebut
dilakukan melalui pengalihan saham milik negara kepada Badan Usaha
Milik Negara lainnya; dan
3. badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik
Negara, meliputi PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT

63
PERPAJAKAN

Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, PT


Telekomunikasi Selular, PT Indonesia Power, PT Pembangkitan Jawa-Bali,
PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, PT Elnusa Tbk, PT Krakatau
Wajatama, PT Rajawali Nusindo, PT Wijaya Karya Beton Tbk, PT Kimia
Farma Apotek, PT Kimia Farma Trading & Distribution, PT Badak Natural
Gas Liquefaction, PT Tambang Timah, PT Terminal Petikemas Surabaya,
PT Indonesia Comnets Plus, PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank
BRISyariah, dan PT Bank BNI Syariah, berkenaan dengan pembayaran atas
pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya;
6. badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil
produksinya kepada distributor di dalam negeri;
7. badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan basil
produksinya kepada distributor di dalam negeri;
8. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan
importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam
negeri;
9. produsen atau importir bahan bakar . minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
10. badan usaha industri atau eksportir yang rnelakukan pembelian bahan-bahan berupa
hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belurn
rnelalui proses industri manufaktur, untuk keperluan industrinya atau ekspomya;
11. badan usaha yang rnelakukan pernbelian komoditas tambang batubara, mineral
logam, dan mineral bukan logarn, dart badan atau orang pribadi pernegang izin usaha
pertambangan; atau
12. badan usaha yang melakukan penjualan emas batangan di dalarn negeri.

C. Tarif Pajak PPh 22


1. Atas impor:
a. yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor;
b. non-API = 7,5% x nilai impor;
c. yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.
2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB (Direktorat Jenderal
Perbendaharaan), Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD = 1,5% x harga
pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final.)
3. Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak, yaitu:
a. Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
b. Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
c. Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
d. Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)

64
PERPAJAKAN

4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir
bahan bakar minyak, gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
a. Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain
penyalur/agen bersifat tidak final
5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari
pedagang pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN)
6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang
menggunakan API = 0,5% x nilai impor.
7. Atas penjualan
a. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,-
b. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000,-
c. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih
dari Rp 10.000.000.000,- dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
d. Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau
pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan/atau luas bangunan lebih
dari 400 m2.
e. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang
berupa sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv),
minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,-
(lima miliar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.
Sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM.
8. Untuk yang tidak memiliki NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh
Pasal 22.
9. Jenis-Jenis barang yang dipotong berdasarkan tariff yang berbeda terlampir pada
lampiran PMK 34/PMK. 010/2017 Tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang Dan Kegiatan Di Bidang
Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain

D. Dikecualikan dari Pemungutan PPh 22


Berikut ini adalah daftar pengecualian terhadap pemungutan PPh Pasal 22:

1. Impor barang-barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan


ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh. Pengecualian
tersebut, harus dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
2. Impor barang-barang yang dibebaskan dari bea masuk:
o yang dilakukan ke dalam Kawasan Berikat (kawasan tanpa bea masuk hingga
barang tersebut dikeluarkan untuk impor, ekspor atau re-impor) dan Entrepot
Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE), yaitu tempat penimbunan barang
dagangan karena pengimpornya tidak membayar bea masuk sebagaimana
mestinya;
o sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 PP Nomor 6 Tahun 1969
tentang Pembebanan atas Impor sebagaimana diubah dan ditambah terakhir

65
PERPAJAKAN

dengan PP Nomor 26 tahun 1988 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun


1973;
o berupa kiriman hadiah;
o untuk tujuan keilmuan.
3. Pembayaran atas penyerahan barang yang dibebankan kepada belanja
negara/daerah yang meliputi jumlah kurang dari Rp 2.000.000,- (bukan merupakan
jumlah yang dipecah-pecah).
4. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air
minum/PDAM, benda-benda pos, dan telepon.

E. Surat Terutang dan Dilunasi


Dalam pajak penghasilan pasal 22 telah ditentukan tentang waktu diperhitungkannya
dan saat pelunasannya, yaitu:
1. Atas impor bersamaan dengan saat pembayaran bea masuk 82
2. Apabila pembayaran bea masuk ditunda atau dibebaskan, maka terhutang dan
dilunasi pada saat penyelesaian dokumen PIUD (Pemberitahuan Impor Untuk
Dipakai).
3. Atas pembelian barang oleh bendaharawan terhutang dan dipungut pada saat
dilakukan pembayaran.
4. Atas penjualan hasil produksi dipungut pada saat penjualan
5. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh pertamina atau BULOG,
dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang (DO/delivery
order)

F. Pembayaran PPh Pasal 22


• PPh Pasal 22 adalah cicilan PPh pada tahun berjalan.
• Pada akhir tahun, cicilan ini akan diperhitungkan menjadi kredit pajak PPh badan
atau PPh orang pribadi.
• PPh Pasal 22 yang berbentuk SSE (Surat Setoran Elektronik), artinya PPh Pasal 22
tersebut dibayar langsung ke bank persepsi oleh wajib pajak yang bersangkutan pada
saat transaksi.
• Transaksi yang wajib dibayar langsung adalah transaksi yang berkaitan dengan
impor dan bendahara.

G. Kewajiban Membuat Bukti Pungut


1. Pemungut PPh Pasal 22 selain wajib membuat bukti pungut juga wajib menyetor
PPh yang dipungut dengan kode pajak 411122-900 ke bank persepsi (Bank yang
ditunjuk untuk melakukan pembayaran terkait transaksi- transaksi keuangan
pemerintah), kemudian melaporkannya dalam SPT Masa PPh Pasal 22.
2. Sedangkan pihak yang dipungut mendapat bukti pungut dan dapat dikreditkan pada
akhir tahun di SPT Tahunan.

66
PERPAJAKAN

3. Penjualan bahan bakar minyak dan gas ke agen atau penyalur dikenakan atas PPh
bersifat final. Artinya, wajib pajak yang hanya memiliki usaha tersebut, maka hanya
wajib lapor SPT Tahunan yang dilampiri bukti potong.

H. e-Filing PPh Pasal 22


PPh Pasal 22 dilaporkan paling lambat tanggal 20 setiap bulannya. Melalui e-Filing di
OnlinePajak, caranya mudah dan cepat, serta tak perlu antre lagi. Cukup
impor file CSV SPT Masa PPh Pasal 22 dari software e-SPT ke OnlinePajak. Lalu
lapor dan dapatkan bukti lapornya dalam 1 klik saja!

I. Kesimpulan
1. PPh Pasal 22 adalah pajak yang dikenakan pada bendahara atau badan-badan
tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan
perdagangan ekspor, impor dan re-impor. Sekarang dengan adanya Peraturan
Menteri Keuangan No. 90/PMK.03/2015, pemerintah melebarkan badan-badan yang
berhak memungut PPh Pasal 22 yaitu menjadi wajib pajak badan yang melakukan
penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
2. PPh Pasal 22 dikenakan terhadap perdagangan barang yang dianggap
‘menguntungkan’, karena itu PPh Pasal 22 dapat dikenakan baik saat penjualan
maupun pembelian.
3. Tarif PPh Pasal 22 bervariasi tergantung dari objek pajaknya, yaitu berkisar antara
0,25%-1,5%.

67
PERPAJAKAN

BAB 8
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23

A. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 23


Pajak penghasilan pasal 23 merupakan pajak penghasilan yang dipotong atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha
Tetap, yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain
yang telah dipotong PPh pasal 21. Sebagian besar tariff pajak penghasilan pasal 23
dikenakan pada objek pajak yang bersifat tidak final atau bisa diangsur.
Tarif PPh 23 dikenakan atas nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau jumlah bruto
dari penghasilan. Ada dua jenis tarif yang dikenakan pada penghasilan yaitu 15% dan
2%, tergantung dari objek PPh pasal 23 tersebut. Berikut ini adalah daftar tarif dan objek
PPh Pasal 23 :
1. Tarif 15% dari jumlah bruto atas :
• Dividen, kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final,
bunga dan royalti;
• Hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh pasal 21

2. Tarif 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain yang berkaitan dengan
penggunaan harta kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
3. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi dan jasa konsultan.
4. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya adalah yang diuraikan dalam
Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.03/2015 dan efektif mulai berlaku pada
tanggal 24 Agustus 2015.
5. Bagi Wajib Pajak yang tidak ber-NPWP akan dipotong 100% lebih tinggi dari tarif
PPh Pasal 23.
6. Jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk
dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek
pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap, tidak termasuk:
• Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak
penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan,
berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
• Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material (dibuktikan
dengan faktur pembelian);

68
PERPAJAKAN

• Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya


dibayarkan kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan pihak
ketiga disertai dengan perjanjian tertulis);
• Pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian
pembayaran sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak
kedua kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan atau bukti
pembayaran yang telah dibayarkan kepada pihak ketiga).

Jumlah bruto tersebut tidak berlaku atas:


• Penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering;
• Penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa, telah dikenakan
pajak yang bersifat final;
• Pembayaran gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain yang
merupakan imbalan atas pekerjaan yang dilakukan wajib pajak penyedia
tenaga kerja kepada tenaga kerja. Hal ini harus dibuktikan oleh kontrak kerja
dengan pengguna jasa dan daftar pembayaran gaji, tunjangan, upah, atau
honorarium;
• Pembayaran kepada penyedia jasa yang merupakan hasil pengadaan barang
atau material terkait jasa yang diberikan. Hal ini harus dibuktikan oleh faktur
pembelian atas pengadaan barang atau material;
• Pembayaran melalui penyedia jasa kepada pihak ketiga. Hal ini harus
dibuktikan oleh faktur tagihan dari pihak ketiga dan disertai dengan
perjanjian tertulis;
• Pembayaran kepada penyedia jasa yang berupa penggantian
atau reimbursement. Ini berlaku untuk biaya yang telah dibayarkan oleh
penyedia jasa kepada pihak ketiga. Hal ini harus dibuktikan oleh faktur
tagihan dan bukti pembayaran.

B. Jenis Objek PPh 23


Objek PPh Pasal 23 telah ditambahkan oleh pemerintah hingga menjadi 62 jenis jasa
lainnya seperti yang tercantum dalam PMK No. 141/PMK.03/2015. Berikut ini
adalah daftar objek pph 23 jasa lainnya tersebut :
1. Penilai (appraisal);
2. Aktuaris;
3. Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
4. Hukum;
5. Arsitektur;
6. Perencanaan kota dan arsitektur landscape;
7. Perancang (design);
8. Pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas) kecuali
yang dilakukan oleh Badan Usaha Tetap (BUT);
9. Penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi
(migas);

69
PERPAJAKAN

10. Penambangan dan jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan
minyak dan gas bumi (migas);
11. Penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
12. Penebangan hutan;
13. Pengolahan limbah;
14. Penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services);
15. Perantara dan/atau keagenan;
16. Bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan Bursa Efek,
Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia
(KPEI);
17. Kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
18. Pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
19. Mixing film;
20. Pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, foto, slide, klise, banner, pamphlet,
baliho dan folder;
21. Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer, termasuk
perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.
22. Pembuatan dan/atau pengelolaan website;
23. Internet termasuk sambungannya;
24. Penyimpanan, pengolahan dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau program;
25. Instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC dan/atau TV
Kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang
konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
26. Perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC
dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya
di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi;
27. Perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat.
28. Maklon;
29. Penyelidikan dan keamanan;
30. Penyelenggara kegiatan atau event organizer;
31. Penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media
lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan;
32. Pembasmian hama;
33. Kebersihan atau cleaning service;
34. Sedot septic tank;
35. Pemeliharaan kolam;
36. Katering atau tata boga;
37. Freight forwarding;
38. Logistik;
39. Pengurusan dokumen;
40. Pengepakan;
41. Loading dan unloading;
42. Laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau institusi
pendidikan dalam rangka penelitian akademis;

70
PERPAJAKAN

43. Pengelolaan parkir;


44. Penyondiran tanah;
45. Penyiapan dan/atau pengolahan lahan;
46. Pembibitan dan/atau penanaman bibit;
47. Pemeliharaan tanaman;
48. Permanenan;
49. Pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan/atau perhutanan;
50. Dekorasi;
51. Pencetakan/penerbitan;
52. Penerjemahan;
53. Pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang
Pajak Penghasilan;
54. Pelayanan pelabuhan;
55. Pengangkutan melalui jalur pipa;
56. Pengelolaan penitipan anak;
57. Pelatihan dan/atau kursus;
58. Pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
59. Sertifikasi;
60. Survey;
61. Tester;
62. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada APBN
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah).

C. Pelaporan PPh Pasal 23


Pelaporan dilakukan oleh pihak pemotong dengan cara mengisi SPT Masa PPh Pasal 23.
Jatuh tempo pelaporan adalah tanggal 20, sebulan setelah bulan terutang pajak
penghasilan 23.

D. Pembayaran PPh Pasal 23


Pembayaran dilakukan oleh pihak pemotong yang kemudian menyetorkannya melalui
Bank Persepsi (ATM, teller bank, fitur bayar pajak online di OnlinePajak, dll) yang
telah disetujui oleh Kementerian Keuangan.

Ingat! Jatuh tempo pembayaran adalah tanggal 10, sebulan setelah bulan terutang pajak
penghasilan 23.

Namun, agar dapat melakukan pembayaran pajak, Anda harus membuat ID Billing
terlebih dahulu. Tautan di bawah ini akan memandu Anda membuat ID Billing.

71
PERPAJAKAN

E. Pemotong Pajak PPH 23

Pemotong PPh pasal 23 menurut Undang Undang No 36 Tahun 2008 adalah :

1. Badan pemerintah
2. Subjek pajak badan
3. Penyelenggaraan kegiatan
4. Bentuk usaha tetap
5. Perakitan perusahaan luar lainnya
6. Orang pribadi yang ditunjuk oleh kepala KPP sebagai pemotong PPh pasal 21

F. Contoh Perhitungan PPH 23

• PT Tenaga Power merupakan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. PT Tenaga


Power- mendapat kontrak dari PT Bank Untung Terus untuk menyediakan petugas
customer service sebanyak 20 orang dengan mendapat imbalan jasa sebesar
Rp20.000.000,00. Petugas customer service tersebut selanjutnya menjadi pegawai
PT Bank Untung Terus. Atas pembayaran yang dilakukan PT Bank Untung Terus
kepada PT Tenaga Power dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Bank Untung Terus
sebesar: 2% x Rp20.000.000,00 = Rp400.000,00.

72
PERPAJAKAN

BAB 9
PAJAK PENGHASILAN PASAL 24

A. Penjelasan PPh 24
PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24) adalah peraturan yang mengatur hak wajib
pajak untuk memanfaatkan kredit pajak mereka di luar negeri, untuk mengurangi nilai
pajak terhutang yang dimiliki di Indonesia, artinya PPh 24 tidak bersifat final dan dapat
dikreditkan atau menjadi pengurang pajak terutang.
Sehingga, jumlah pajak yang harus dibayar di Indonesia dapat dikurangi dengan
jumlah pajak yang telah mereka bayar di luar negeri, asalkan nilai kredit pajak di luar
negeri tidak melebihi hutang pajak yang ingin dibayar di Indonesia. Pemanfaatan kredit
pajak di luar negeri ini dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena pajak ganda.
Ada beberapa situasi dimana seorang wajib pajak memiliki kewajiban untuk
membayar pajak, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Oleh karena itu,
jenis pajak ini, yaitu PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24), mungkin dapat berlaku
untuk Anda.
Sumber penghasilan kena pajak yang dapat digunakan untuk memotong hutang pajak
Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Pendapatan dari saham dan surat berharga lainnya, serta keuntungan dari pengalihan
saham dan surat berharga lainnya.
2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan penggunaan
harta-benda bergerak.
3. Penghasilan berupa sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda tidak
bergerak.
4. Penghasilan berupa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
5. Pendapatan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) di luar negeri.
6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda
keikutsertaan dalam pembiayaan atau pemanfaatan di sebuah perusahaan
pertambangan.
7. Keuntungan dari pengalihan aset tetap.
8. Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari suatu bentuk usaha
tetap (BUT).

Jika nilai pajak di luar negeri yang telah Anda gunakan sebagai kredit pajak di
Indonesia, telah berkurang atau dikembalikan kepada Anda, sehingga nilai kredit Anda
kurang untuk menutup pajak terhutang Anda di sini, maka Anda harus membayar jumlah
terhutang tersebut ke kantor pelayanan pajak Indonesia.
Apabila penghasilan luar negeri mengalami perubahan, maka wajib pajak diharuskan
melakukan pembetulan SPT tahun pajak yang bersangkutan.

73
PERPAJAKAN

B. Koreksi PPh Pasal 24


Adanya koreksi di luar negeri, yang menyebabkan pajak atas penghasilan terutang di
luar negeri dilaporkan lebih besar dalam SPT Tahunan, dan menyebabkan pajak di luar
negeri tertera kurang bayar, maka akan berakibat kemungkinan PPh yang di Indonesia
menjadi kurang bayar.

Nah, untuk yang satu ini, wajib pajak bisa melakukan koreksi sendiri dengan
melakukan pembetulan atas SPT. Jika pembetulan sudah dilakukan, maka bunga
terutang atas pajak yang kurang dibayar tidak akan ditagih.

Jika koreksi yang terjadi menyebabkan penghasilan terutang luar negeri lebih kecil
daripada yang dilaporkan dalam SPT, maka akan menyebabkan laporan pajak luar
negeri lebih bayar.

Adanya koreksi ini mengakibatkan PPh terutang di Indonesia juga menjadi lebih
kecil. Akibatnya PPh kelebihan bayar. Kelebihan ini bisa dikembalikan setelah
dilakukan perhitungan dengan utang pajak yang lain.

C. Mekanisme Penghitungan PPh Pasal 24


Berikut sedikit ilustrasi penghitungan PPh Pasal 24 (Lampiran 192/PMK.03/2018) :

Katakanlah PT ABC (bukan Perusahaan Terbuka) tahun 2017 memperoleh pendapatan


neto di dalam negeri sebesar Rp 25.000.000.000 dan dari luar negeri sebesar Rp
10.000.000.000. Asumsi pajak di luar negeri sebesar 20%.

Total penghasilan yang tercatat adalah sebesar Rp 35.000.000.000 (Penghasilan dalam


negeri + penghasilan luar negeri)

Total PPh Terutang (Sesuai tariff Pasal 17 ayat 2a, dimana tariff PPH bisa
diturunkan paling rendah 25%) :

25% × Rp 35.000.000.000=Rp 8.750.000.000

(PPh Maksimum yang dapat dikreditkan):

(Penghasilan Luar Negeri/Total Penghasilan) ×Total PPh Terutang


(Rp 10.000.000.000/Rp 35.000.000.000) × Rp 8.750.000.000=Rp 2.500.000.000

Jadi, PPh terutang yang sudah dibayarkan di luar negeri adalah sebesar Rp
2.500.000.000. Nah, nominal ini yang akhirnya digunakan sebagai pengurang pajak
dalam negeri.

74
PERPAJAKAN

Namun ingat, apabila wajib pajak hendak mengkreditkan PPh terutang yang sudah
dibayarkan pada pajak dalam negeri, terlebih dahulu Anda harus melapor kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan melaporkannya pada saat melapor SPT Tahunan.

Pelaporannya dilengkapi dengan tax return yang dilaporkan di luar negeri dan dokumen-
dokumen pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak di luar negeri

Catatan :

Untuk perhitungan WP OP tetap diperhitungkan PTKP dan Tarif sesuai pasal 17.

75
PERPAJAKAN

BAB 10
PAJAK PENGHASILAN PASAL 25

A. Cakupan PPh 25

Dalam rangka meringankan wajib pajak untuk memenuhi kewajiban membayar


pajak, maka sistem pembayaran pajak di Indonesia mengatur secara khusus tentang cara
pembayaran pajak dengan angsuran pajak hal ini diatur dalam pasal 25 UU No. 36 tahun
2008 tentang pajak penghasilan.
Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25) adalah pajak yang dibayar secara
angsuran. Tujuannya adalah untuk meringankan beban wajib pajak, mengingat pajak
yang terutang harus dilunasi dalam waktu satu tahun. Pembayaran ini harus dilakukan
sendiri dan tidak bisa diwakilkan.
Wajib Pajak (WP), baik berupa Orang Pribadi atau pun Badan yang melakukan suatu
kegiatan usaha dikenai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 berupa angsuran PPh tiap
bulannya.
Keterlambatan, baik dalam menyetor maupun melapor, dapat dikenai sanksi sesuai
ketentuan dan peraturan yang berlaku.

B. Perhitungan PPh 25
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan (tahun pajak berikutnya setelah
tahun yang dilaporkan di SPT tahunan PPh) dihitung sebesar PPh yang terutang
pajak tahun lalu, yang dikurangi dengan:
• Pajak penghasilan yang dipotong sesuai Pasal 21 (yaitu sesuai tarif pasal 17 ayat
(1) bagi pemilik NPWP dan tambahan 20% bagi yang tidak memiliki NPWP) dan
Pasal 23 (15% berdasarkan dividen, bunga, royalti, dan hadiah – serta 2%
berdasarkan sewa dan penghasilan lain serta imbalan jasa) – serta pajak penghasilan
yang dipungut sesuai pasal 22 (pungutan 100% bagi yang tidak memiliki NPWP);
• Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sesuai pasal 24; lalu dibagi 12 atau total bulan dalam pajak masa setahun.

Terdapat dua (2) jenis pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25)
untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP), yaitu:
• Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP – OPPT), yaitu yang
melakukan usaha penjualan barang, baik grosir maupun eceran, serta jasa – dengan
satu atau lebih tempat usaha. PPh 25 bagi OPPT = 0.75% x omzet bulanan tiap
masing-masing tempat usaha.
• Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (WP – OPSPT), yaitu
pekerja bebas atau karyawan, yang tidak memiliki usaha sendiri. PPh 25 bagi OPSPT
= Penghasilan Kena Pajak (PKP) x Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh (12 bulan).
• Pembayaran angsuran PPh 25 untuk wajib pajak badan yaitu = Penghasilan Kena
Pajak (PKP) x 25% (Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh).

76
PERPAJAKAN

C. Batas Waktu Pembayaran PPh Pasal 25


Misalnya: untuk bulan Februari 2014, angsuran PPh 25 harus dibayar paling lambat
15 Maret 2014. Jika batas waktu penyetoran jatuh pada hari libur (termasuk Sabtu,
Minggu, hari libur nasional, dan Pemilihan Umum), maka pembayaran masih dapat
dilakukan pada hari berikutnya – sesuai Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan
No.184/PMK.03/2007, yang kemudian diubah lagi sesuai Peraturan Menteri Keuangan
No. 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak.
Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 pada 21 Mei 2008,
pembayaran harus dilakukan dengan membawa Surat Setoran Pajak (SSP) atau
dokumen sejenisnya.
Apabila wajib pajak terlambat membayar, maka WP akan dikenai bunga sebesar
2% per bulan, dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran. Misalnya:
untuk bulan Februari 2014, WP terlambat dan baru membayarnya pada 16 Maret. Sesuai
Pasal 9 ayat (2a) UU KUP, WP dikenai bunga 2%.

77
PERPAJAKAN

BAB 11
PAJAK PENGHASILAN PASAL 26

A. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26)


Menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, PPh Pasal 26 adalah pajak
penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri dari
Indonesia selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.

Hal yang menentukan seorang individu atau perusahaan dikategorikan sebagai wajib
pajak luar negeri adalah:

• seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang


tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan
perusahaan yang tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang mengoperasikan
usahanya melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
• seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang
tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan
perusahaan yang tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang dapat menerima
atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak melalui menjalankan usaha
melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.
Semua badan usaha yang melakukan transaksi pembayaran (gaji, bunga, dividen,
royalti dan sejenisnya) kepada Wajib Pajak Luar Negeri, diwajibkan untuk memotong
Pajak Penghasilan Pasal 26 atas transaksi tersebut.

Berdasarkan PMK RI Nomor 9/PMK.03/2018 tentang SPT, pelaporan SPT PPh pasal
26 wajib e-Filing sejak 1 April 2018. (e-Filing adalah lapor pajak online adalah
penyampaian SPT (Surat Pemberitahuan) melalui saluran pelaporan pajak elektronik
atau online yang telah ditetapkan oleh DJP (Direktorat Jenderal Pajak) pada Peraturan
Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2015)

Tarif umum untuk PPh pasal 26 adalah 20%. Namun jika mengikuti tax
treaty/Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), maka tarif dapat berubah.

B. Tarif untuk Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26)


Tarif 20% (final) atas jumlah bruto yang dikenakan atas:

1. Dividen
2. Bunga, termasuk premium, diskonto, insentif yang terkait dengan jaminan
pembayaran pinjaman
3. Royalti, sewa, dan pendapatan lain yang terkait dengan penggunaan aset
4. Insentif yang berkaitan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
5. Hadiah dan penghargaan
6. Pensiun dan pembayaran berkala
7. Premi swap dan transaksi lindung lainnya

78
PERPAJAKAN

8. Perolehan keuntungan dari penghapusan utang

Tarif 20% (final) dari laba bersih yang diharapkan dari:

1. Pendapatan dari penjualan aset di Indonesia.


2. Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui
pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.

Tarif 20% (final) dari laba bersih yang diharapkan selama penjualan atau pengalihan
saham perusahaan antara perusahaan media atau perusahaan tujuan khusus yang
didirikan atau bertempat di negara yang memberikan perlindungan pajak yang memiliki
hubungan khusus untuk suatu entitas atau bentuk usaha tetap (BUT) didirikan di
Indonesia.

Tarif 20% yang dipungut dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi dengan pajak,
suatu bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia.

Tingkat berdasarkan tax treaty (perjanjian pajak) yang dikenal sebagai JGI
Penghindaran Pajak berganda (P3B) antara Indonesia dan negara-negara lain yang
berada dalam perjanjian, mungkin berbeda satu sama lain. Tarif mereka biasanya
mengurangi tingkat dari tarif biasa 20%, dan beberapa mungkin memiliki tarif 0%.
(Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty adalah pengenaan
pajak lebih dari satu kali oleh dua negara atau lebih atas suatu penghasilan yang sama)

Tahukah Anda, terhitung 1 September 2020, wajib pajak PKP dan non PKP wajib
menggunakan e-Bupot untuk PPh 23 dan/atau PPh 26. Hal ini sejalan dengan SK DJP
No. KEP-368/PJ/2020 yang ditetapkan pada 10 Agustus 2020 lalu. (e-Bupot adalah
bukti pemotongan adalah formulir yang digunakan pihak pemotong atau pemungut
pajak sebagai bukti telah melakukan pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26.
Formulir ini juga dapat menjadi bentuk pertanggungjawaban atas pemotongan PPh Pasal
23 dan 26 yang telah dilakukan)

C. Contoh Simulasi Perhitungan

Tsubaza (kapten sepakbola dari Jepang) status kawin belum punya anak, diundang ke
Indonesia untuk melatih tim PSS Sleman selama tiga bulan dengan honorarium
US$7.000/bulan. Dengan kurs pasar US$1=Rp10,000 dan kurs SK Menkeu
US$1=9.600.

Diminta: Hitunglah PPh 26 tiap bulan! Berapa yang diterima Tsubaza?

Pembahasan:

79
PERPAJAKAN

PPh 26 atas hororarium : 20% x (7.000 X Rp9.600,00) = Rp13.440.000/bulan

Stubaza menerima (7000 X Rp9.600) – Rp13.440.000,00 =Rp53.760.000/bulan

D. Kesimpulan

• PPh pasal 26 adalah pajak penghasilan yang dipotong dari badan usaha apa pun
di Indonesia yang melakukan transaksi pembayaran (gaji, bunga, dividen, royalti
dan sejenisnya) kepada Wajib Pajak Luar Negeri.
• WP harus melakukan e-Filing PPh pasal 26
• Mulai 1 Agustus 2020, wajib melakukan e-Bupot untuk PPh 23 dan/atau 26.

80
PERPAJAKAN

BAB 12
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

A. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


Pajak Pertambaban Nilai (PPN) merupakan salah satu cara pemugutan pajak atas
konsumsi masyarakat. Masa berlaku PPN mulai tanggal 1 April 1985 dengan berlakunya
Undang Undang No 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas barang dan jasa
serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah. PPN tersebut menggantikan Pajak Penjualan.
PPN yang berlaku saat ini berdasarkan UU No 42 Tahun 2009 merupakan perubahan
UU No. 12 Tahun 2000 juga merupakan perubahan atas UU No 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah yang
mulai diberlakukan per 1 April 2010.
Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi
jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan
yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Jadi, yang berkewajiban memungut,
menyetor dan melaporkan PPN adalah para Pedagang/Penjual. Namun, pihak yang
berkewajiban membayar PPN adalah Konsumen Akhir.
PPN atau Pajak Pertambahan Nilai dikenakan dan disetorkan oleh pengusaha atau
perusahaan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Namun beban
PPN tersebut ditanggung oleh konsumen akhir. Sejak 1 Juli 2016, PKP se-Indonesia
wajib membuat faktur pajak elektronik atau e-Faktur untuk menghindari penerbitan
faktur pajak fiktif untuk pengenaan PPN kepada lawan transaksinya.
Berikut ini terminology dalam Undang Undang PPn :
1. Daerah Pabean,
Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat,
perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi
Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang
mengatur mengenai kepabeanan.
2. Barang,
Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa
barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
3. Barang Kena Pajak,
Barang kena pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan UndangUndang
ini
4. Penyerahan Barang Kena Pajak,
Penyerahan barang kena pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena
Pajak
5. Jasa

81
PERPAJAKAN

Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak
tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang
karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
6. Jasa Kena Pajak
Jasa kena pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
7. Penyerahan Jasa Kena Pajak,
Penyerahan jasa kena pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
Pemanfaatan jasa kena pajak adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
9. Impor,
Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam
Daerah Pabean.
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean,
Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud di luar daerah pabean adalah setiap
kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean
di dalam Daerah Pabean.
11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud,
Ekspor barang kena pajak berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang
Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
12. Perdagangan,
Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar-
menukar barang, tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya.
13. Badan,
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan
lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
14. Pengusaha,
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor
jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
15. Pengusaha Kena Pajak,

82
PERPAJAKAN

Pengusaha kena pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang ini
16. Menghasilkan,
Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau
sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya
guna baru atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang
pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
17. Dasar Pengenaan Pajak,
Dasar pengenaan pajak adalah jumlah Harga Jual,Penggantian, Nilai Impor, Nilai
Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang
terutang.
18. Harga Jual,
Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
19. Penggantian,
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa
Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan
harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar
atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean
20. Nilai Impor
Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundangundangan
yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak,
tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yang dipungut menurut Undang-Undang ini.
21. Pembeli,
Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima
penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar
harga Barang Kena Pajak tersebut.
22. Penerima Jasa,
Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya
menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya
membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.

83
PERPAJAKAN

23. Faktur Pajak,


Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak
24. Pajak Masukan,
Pajak masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh
Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa
Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar
Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
dan/atau impor Barang Kena Pajak.
25. Pajak Keluaran
Pajak keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan
Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
26. Nilai Ekspor,
Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai,
Pemungut pajak pertambahan nilai adalah bendahara pemerintah, badan, atau
instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada
bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.
28. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud,
Ekspor barang kena pajak tidak berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah
Pabean.
29. Ekspor Jasa Kena Pajak
Ekspor jasa kena pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar
Daerah Pabean.

B. Objek PPN (Pajak Pertambahan Nilai)


Yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau biasa disebut dengan Objek PPN adalah:

• Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam
Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
• Impor Barang Kena Pajak
• Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean
• Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean

84
PERPAJAKAN

• Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan Ekspor Jasa Kena
Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)

C. Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai)


Tarif PPN menurut ketentuan Undang-Undang No.42 tahun 2009 pasal 7 :

1. Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah 10% (sepuluh persen).


2. Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
o Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
o Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
o Ekspor Jasa Kena Pajak
3. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berubah menjadi paling
rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi sebesar 15% (lima belas persen)
sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah.

D. Pengusaha Kena Pajak Sebagai Pihak yang Menyetor dan Melaporkan PPN
Tarif PPN menurut ketentuan Undang-Undang No.42 tahun 2009 pasal 7 :

1. Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah 10% (sepuluh persen).


2. Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
o Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
o Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
o Ekspor Jasa Kena Pajak
3. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berubah menjadi paling
rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi sebesar 15% (lima belas persen)
sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah.

E. e-Faktur
e-Faktur adalah aplikasi untuk membuat Faktur Pajak Elektronik atau bukti pungutan
PPN secara elektronik. e-Faktur bukan faktur pajak fisik karena pengisiannya dilakukan
secara elektronik melalui aplikasi atau website. Aplikasi e-Faktur ditentukan dan/atau
disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan/atau penyedia jasa aplikasi pajak
resmi yang ditunjuk oleh DJP.

eFaktur Client Desktop dan e-Faktur pajak.go.id adalah contoh aplikasi resmi untuk
membuat, menerbitkan dan melaporkan Faktur Pajak. Berikut ulasan mengenai e-Faktur
Client Desktop.

Menurut pasal 11 Peraturan Direktur Jenderal Pajak (DJP) No. PER-16/PJ/2014,


Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib membuat dan melaporkan faktur pajak dengan cara
diunggah dan memperoleh persetujuan dari DJP.

85
PERPAJAKAN

Aplikasi eFaktur pajak.go.id adalah sebuah software yang disediakan oleh DJP untuk
membuat, menerbitkan dan melaporkan faktur pajak dan laporan SPT Masa PPN 1111
dengan cara diunggah dan memperoleh persetujuan dari DJP.

Persetujuan (approval) di sini maksudnya DJP telah menyalin semua detail data
faktur pajak, mencocokkan informasi faktur dengan aturan yang berlaku, kemudian
memberikan persetujuan berupa QR code pada lembaran faktur pajak. Wajib pajak
hanya dapat mencetak faktur setelah memperoleh status approval.

Saat mengunggah informasi e-faktur pajak, bisa saja sistem DJP menolak (reject)
faktur pajak Anda. Alasannya bisa jadi karena ada kesalahan informasi dalam faktur
pajak. Status reject ini akan disertai dengan keterangan tentang kekeliruannya. Untuk
itu,wajib pajak perlu memperbaiki informasi sesuai keterangan dan mengunggah data
kembali. Setelah memperoleh persetujuan, barulah faktur pajak dapat disampaikan ke
lawan transaksi. Kegunaan aplikasi e-faktur ini, di sisi lawan transaksi, faktur pajak
keluaran lebih terjamin validitas datanya, sehingga relatif lebih aman ketika dikreditkan.

Sebelum ada aplikasi dari DJP, PKP harus menerbitkan faktur pajak secara manual
terlebih dahulu, kemudian membuat SPT Masa PPN di aplikasi e-SPT PPN
1111. Setelah adanya aplikasi eFaktur DJP, kedua proses tersebut disatukan dalam satu
aplikasi.

F. Kesimpulan
• PPN atau Pajak Pertambahan Nilai adalah jenis pajak yang disetor dan dilaporkan
pihak penjual yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
• Batas waktu penyetoran dan pelaporan PPN adalah setiap akhir bulan.
• Sejak tanggal 1 Juli 2016, PKP se-Indonesia wajib membuat e-Faktur atau faktur
pajak elektronik sebagai prasyarat pelaporan SPT Masa PPN.
• Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya.
• Pajak masukan ialah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh maupun
membuat produknya.

86
PERPAJAKAN

BAB XIII
PAJAK PENJUALAN BARANG MEWAH (PPn.BM)
A. Pengertian Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ( PPnBM )
PPnBm atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan pada barang-barang
yang tergolong mewah. Pajak ini dilaporkan dengan menggunakan SPT Masa PPN
1111. Berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia, Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan pada barang yang tergolong
mewah yang dilakukan oleh produsen (pengusaha) untuk menghasilkan atau mengimpor
barang tersebut dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.

B. Prinsip dan Pertimbangan Pemungutan PPnBM / Pajak Penjualan Atas Barang


Mewah
Berikut beberapa pertimbangan mengapa pemerintah Indonesia menganggap bahwa
PPnBM sangatlah penting untuk diterapkan:

• Agar tercipta keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang


berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi
• Untuk mengendalikan pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah
• Perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional
• Mengamankan penerimanaan negara

Prinsip Pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ialah hanya 1 (satu) kali saja,
yaitu pada saat:

• Penyerahan oleh pabrikan atau produsen Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah
• Impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
Pemungutan pajak barang mewah ini sama sekali tidak memperhatikan siapa yang
mengimpor maupun seberapa sering produsen atau pengusaha melakukan impor
tersebut (lebih dari sekali atau hanya sekali saja)

C. Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah


Barang-barang yang tergolong mewah dan harus dikenai PPnBM ialah:

• Barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok


• Barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
• Barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
• Barang yang dikonsumsi hanya untuk menunjukkan status atau kelas social

87
PERPAJAKAN

D. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah


Menurut Pasal 8 Undang-Undang No. 42 Tahun 2009, tarif pajak penjualan atas
barang mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi sebesar
200% (dua ratus persen). Jika pengusaha melakukan ekspor Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah maka akan dikenai pajak dengan tarif sebesar 0% (nol persen).
Daftar barang yang termasuk mewah khususnya kendaraan bermotor dan tarifnya
sesuai dengan PMK 64/PMK .011/2014 ada dalam lampiran setelah bab ini.

E. Perhitungan dan Pelaporan PPnBM


Pajak Penjualan atas Barang Mewah dihitung dengan cara mengalikan persentase
tarif PpnBM dengan nilai Dasar Pengenaan Pajak (harga barang sebelum dikenakan
pajak, termasuk PPN). Sedangkan, untuk membuat laporannya harus menggunakan
formulir SPT Masa PPN 1111. Selama masih berada dalam satu periode pajak yang
sama, Pajak Penjualan atas Barang Mewah tersebut dapat dilaporkan bersama dengan
PPN dan PPN Impor. Pelaporan pajak barang mewah ini harus segera dilakukan
paling lama pada akhir bulan berikutnya setelah tanggal faktur dibuat.

F. Lampiran

88
PERPAJAKAN

89
PERPAJAKAN

90
PERPAJAKAN

91
PERPAJAKAN

92
PERPAJAKAN

93
PERPAJAKAN

BAB 14
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB)
A. Pengertian PBB
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pungutan atas tanah dan bangunan yang muncul
karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi bagi seseorang atau
badan yang memiliki suatu hak atasnya, atau memperoleh manfaat dari padanya.

Jika dilihat dari sifatnya, Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang bersifat
kebendaan. Artinya, besaran pajak terutang ditentukan dari keadaan objek yaitu bumi
dan/atau bangunan. Sedangkan keadaan subjeknya tidak ikut menentukan besarnya
barang.

Contoh objek bumi:

• Sawah.
• Ladang.
• Kebun.
• Tanah.
• Pekarangan.
• Tambang.

Contoh objek bangunan:

• Rumah tinggal.
• Bangunan usaha.
• Gedung bertingkat.
• Pusat perbelanjaan.
• Pagar mewah.
• Kolam renang.
• Jalan tol.

Berikut ini Terminologi dari Undang Undang Tentang Pajak Bumi dan Bangunan :
1. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya;
2. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada
tanah dan/atau perairan;
3. Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata
yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak
terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan
objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
4. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan.
5. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh
orang pribadi atau Badan.

94
PERPAJAKAN

6. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan,
beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di
bidang pertanahan dan bangunan.
7. Surat Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat SPOP, adalah surat
yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.
8. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah surat
yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.

B. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan


Subjek PBB adalah orang pribadi dan badan yang secara nyata memiliki hal-hal berikut
ini:

• Mempunyai hak atas bumi.


• Memperoleh manfaat atas bumi.
• Memiliki bangunan.
• Menguasai bangunan.
• Memperoleh manfaat atas bangunan.

C. Tidak Termasuk Objek Pajak Bumi dan Bangunan


Ternyata, tidak semua objek bumi bangunan bisa dikenakan PBB. Terdapat juga objek
pajak yang tidak dapat dikenakan PBB. Namun, objek pajak tersebut harus memiliki
kriteria tertentu yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang
Pajak Bumi dan Bangunan. Berikut ini daftar kriteria tersebut:

• Objek pajak tersebut digunakan semata-mata untuk kepentingan umum dibidang


ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak
dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
• Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan hal
tersebut.
• Objek pajak merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman
nasional, tanah penggemkbalaan yang dikuasai suatu desa, dan tanah negara
yang belum dibebani suatu hak.
• Objek pajak digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsultan berdasarkan asas
perlakuan timbal balik.
• Objek pajak digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang
ditentukan oleh menteri keuangan.

95
PERPAJAKAN

D. Undang-Undang yang Mengatur Pajak Bumi dan Bangunan


Pungutan atas PBB didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan.

Kemudian, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak


dan Retribusi Daerah, maka kewenangan dalam pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan
Sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) telah diserahkan ke pemerintah
kabupaten/kota. Sedangkan, untuk PBB sektor Pertambangan, Perhutanan, dan
Perkebunan (PBB P3) masih di bawah wewenang pemerintah pusat melalui Direktorat
Jenderal Pajak (DJP).

E. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan


Tarif pajak bumi dan bangunan yang berlaku sejak dahulu hingga saat ini masih sama,
yakni sebesar 0,5%.

F. Cara Mendaftarkan Objek Pajak Bumi dan Bangunan


Bagi Anda yang ingin mendaftarkan objek PBB, baik untuk orang pribadi maupun
badan, Anda harus mendaftarkan Objek Pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor
Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi letak
objek pajak yang akan Anda daftarkan.

Sesampainya di sana, Anda perlu meminta formulir Surat Pemberitahuan Objek


Pajak (SPOP) yang sudah tersedia secara gratis di KPP dan KP2KP setempat. Agar
prosesnya berjalan dengan lancar, maka Anda juga perlu memahami hak dan kewajiban
Anda sebagai pendaftar objek pajak bumi dan bangunan Anda.

G. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak dalam Mendaftarkan Objek Pajak


Berikut ini hak-hak Anda ketika mengurus atau mendaftarkan Objek Pajak Anda ke KPP
dan KP2KP:

1. Anda dapat memperoleh formulir SPOP secara GRATIS pada KPP, KP2KP,
atau tempat lain yang sudah ditunjuk oleh pemerintah.
2. Anda berhak mendapatkan penjelasan, keterangan tentang tata cara pengisian
maupun penyampaian kembali SPOP pada KPP atau KP2KP setempat.
3. Anda berhak mendapatkan tanda terima pengembalian SPOP dari KPP atau
KP2KP setempat.
4. Anda boleh memperbaiki atau mengisi ulang SPOP jika terdapat kesalahan
dalam pengisian. Namun, perbaikan ini juga harus disertai dengan fotokopi bukti
sah sertifikat tanah, akta jual beli tanah, dan lain sebagainya.
5. Anda juga berhak menunjuk pihak lain selain pegawai DJP dengan syarat
melampirkan surat kuasa khusus yang disertai meterai, sebagai tanda atas kuasa
wajib pajak untuk mengisi serta menandatangani SPOP.

96
PERPAJAKAN

6. Anda berhak mengajukan permohonan secara tertulis soal penundaan


penyampaian SPOP asalkan tidak melampaui batas waktu dan menyebutkan
alasan-alasan yang sah.

Sedangkan kewajiban Anda sebagai wajib pajak dalam mendaftarkan objek pajak Anda
melalui KPP atau KP2KP adalah:

1. Kewajiban Anda sebagai wajib pajak yang memiliki objek pajak bumi dan
bangunan adalah mendaftarkan objek pajak dengan mengisi SPOP.
2. Ketika mengisi SPOP harus jelas, benar, dan lengkap. Artinya, data dapat dibaca
sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya, dan data terisi seluruhnya, kemudian ditandatangani, serta
melampirkan surat kuasa khusus jika proses pengisian/pengurusan SPOP
dikuasakan.
3. Memberikan atau menyampaikan kembali SPOP yang telah Anda isi ke KPP
Pratama atau KP2KP setempat paling lambat 30 hari setelah formulir SPOP
diterima.
4. Jika ada perubahan data, Anda wajib melaporkan perubahan atas data objek
pajak ke KPP Pratama atau KP2KP setempat dengan mengisi kembali SPOP
sebagai perbaikan SPOP yang salah sebelumnya dengan melampirkan beberapa
dokumen pendukung seperti, Fotokopi sertifikat tanah, akta jual beli tanah, dan
lain sebagainya.

H. Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan


Setelah mengetahui pengertian PBB, dasar hukumnya, subjek dan objek PBB, tarif, serta
cara mendaftarkan obejk pajak, kini Anda juga perlu tahu dasar PBB. Dasar pengenaan
pajak bumi dan bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

NJOP merupakan harga rata-rata atau harga pasar pada transaksi jual beli tanah. Dalam
hal ini, objek pajaknya adalah bumi dan bangunan. Setiap tahun, biasanya Menteri
Keuangan dengan mendengarkan pertimbangan bupati/walikota menetapkan NJOP.
Penetapan tersebut didasarkan atas sejumlah hal seperti:

1. Dasar penetapan NJOP bumi:


o Letak.
o Pemanfaatan.
o Peruntukan.
o Kondisi Lingkungan.
2. Dasar penetapan NJOP bangunan:
o Bahan yang digunakan dalam bangunan.
o Rekayasa.
o Letak.
o Kondisi lingkungan.

97
PERPAJAKAN

Selain itu, terdapat juga dasar penetapan NJOP saat tidak ada transaksi jual beli. Nah,
penjelasannya akan dijabarkan di bawah ini.

1. Perbandingan Harga dengan Objek Lainnya: objek lain yang dimaksud


merupakan objek yang masih sejenis, lokasinya berdekatan, memiliki fungsi
yang sama dengan objek lain yang sudah diketahui nilai jualnya. Penggunaan
objek lain yang memiliki kriteria tersebut sebagai gambaran yang kurang lebih
bisa mendekati nilai objek yang dibandingkan. Sehingga NJOP yang ditetapkan
pun memiliki hitungan yang benar.
2. Nilai Perolehan Baru: penetapan NJOP dengan nilai perolehan baru yang
dimaksud adalah dengan menghitung biaya yang sudah dikeluarkan untuk
memperoleh objek pajak. Penilaian tersebut nantinya akan dikurangi dengan
penyusutan yang terjadi, seperti penyusutan yang terjadi pada kondisi fisik objek
pajak.
3. Nilai Jual Pengganti: nilai jual pengganti yang dimaksud adalah penetapan
NJOP berdasarkan pada hasil produk onjek pajak. Jadi, nilai jualnya didasarkan
pada keluaran yang dihasilkan oleh objek pajak itu sendiri.

I. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak


NJOPTKP merupakan batas Nilai Jual Objek Pajak atas bumi dan bangunan yang tidak
kena pajak. Besarnya NJOPTKP di masing-masing wilayah memang berbeda-beda.
Namun, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 201/KMK.04/2000
ditetapkan, NJOPTKP untuk setiap daerah di kabupaten/kota setinggi-tingginya senilai
Rp12.000.000 dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:

1. Setiap wajib pajak memperoleh pengurangan NJOPTKP sebanyak 1 kali dalam


1 Tahun Pajak.
2. Jika wajib pajak memiliki lebih dari 1 objek pajak, maka yang bisa atau
mendapat pengurangan NJOPTKP hanya 1 objek pajak yang nilainya paling
besar dan tidak bisa digabungkan dengan objek pajak lainnya yang wajib pajak
miliki.

J. Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)


Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) merupakan dasar penghitungan PBB. NJKP juga dikenal
sebagai assessment value atau nilai jual objek yang akan dimasukan dalam perhitungan
pajak terutang. Artinya, NJKP merupakan bagian dari NJOP.

Dalam KMK Nomor 201/KMK.04/2000, terdapat ketentuan persentase NJKP sudah


ditetapkan oleh pemerintah. Berikut ini rinciannya:

• Objek pajak perkebunan sebesar 40%.


• Objek pajak pertambangan sebesar 40%.
• Objek pajak kehutanan sebesar 40%.

98
PERPAJAKAN

• Objek pajak lainnya seperti Pedesaan dan Perkotaan dilihat dari nilai NJOP-
nya, yakni:
o Jika NJOP-nya > Rp1.000.000.000,00, persentase NJKP sebesar
40%.
o Sedangkan, jika NJOP-nya < Rp1.000.000.000,00, persentase NJKP
sebesar 20%.

K. Contoh Soal
Berikut ini soal untuk WP Badan
PT Hasta Prawira memiliki lahan di daerah Sukaarta dengan memiliki area tanah seluas
1.000 meter persegi dengan luas bangunan 800 meter persegi. Diketahui NJOP tanah per
meter di daerah tersebut adalah Rp 5.000.000,00 dan harga bangunan per meter Rp
1.000.000,00.
Hitunglah : Pajak PBB PT Hasta Prawira
Pembahasan :
1. Menghitung NJOP Bumi dan Bangunan
• Bumi = 1.000 x Rp 5.000.000,00 = Rp 5.000.000.000,00
• Bangunan = 800 x Rp 1.000.000,00 = Rp 800.000.000,00
• NJOP Bumi dan Bangunan = Rp 5.800.000.000,00 +

2.Menghitung NJKP, Dikarenakan NJOP > 1.000.000.000, maka :


• NJKP = 40% x (Rp 5.800.000.000,00 – Rp 12.000.000,00) = Rp 2.315.200.000,00

3. Menghitung PBB
• PPB = 0,5% x Rp 2.315.200.000,00 = Rp 11.576.000,00
• Maka setiap tahunnya PT Hasta Prawira harus membayar PBB sebesar Rp
11.576.000,00

Berikut ini contoh perhitungan PBB untuk WP OP:


Pak Amin memiliki rumah seluas 50 meter persegi yang berdiri di atas sebidang tanah seluas
100 meter persegi. Diketahui harga bangunan tersebut adalah Rp500.000, sedangkan harga
tanah tersebut adalah Rp1.000.000. Jadi berapakah PBB yang harus dibayarkan oleh Pak
Amin?

Begini tahapannya:

1. Hitung terlebih dahulu nilai bangunan dan tanahnya:

99
PERPAJAKAN

Bangunan= 50 x Rp500.000 = Rp25.000.000


Tanah= 100 x Rp 1.000.000 = Rp100.000.000

2. Hitung NJOP-nya dengan menjumlahkan nilai bangunan dan tanah:


Nilai Bangunan: Rp25.000.000
Nilai Tanah: Rp100.000.000
--------------------------------------- +
Rp 125.000.000

3. Setelah diketahui NJOP-nya, kita bisa langsung menghitung PBB-nya:

Dikarenakan NJOP < 1.000.000.000, maka :

NJKP= 20% x Rp125.000.000 = Rp25.000.000


PBB= 0,5% x Rp 25.000.000 = Rp125.000

Jadi Pajak Bumi dan Bangunan yang harus dibayar pa Amin setiap tahunya adalah Rp.
125.000,-

100
PERPAJAKAN

BAB 15
BEA METERAI
A. Ruang Lingkup Bea Meterai
Dasar hukum pengenaan bea materai adalah Undang Undang Nomor 13 tahun 1985
atau disebut juga Undang Undang Bea Materai 1985, Undang Undang ini berlaku sejak
tanggal satu Januari 1986, selain itu untuk mengatur pelaksanaannya, telah dikelurkan
peraturan pemerintah No. 7 tahun 1995 tetang perubahan tarip bea materai yang berlaku
sejak tanggal 16 Mei 1995 dan terahkir PP No. 24 Tahun 2000 mulai berlaku 1 Mei
2000.

B. Prinsip Umum Pemungutan atau Pengenaan Bea Meterai


1. Bea materai dikenakan atas dokumen (merupakan pajak atas
dokumem)
2. Satu dokumen hanya teruntang satu bea materai
3. Rangkap atau tindasan (yang ikut di tanda tangani) tentang bea
materai sama dengan aslinya
C. Terminologi dalam Peraturan Bea Materai
1. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud
tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak yang
berkepentingan
2. Benda materai adalah materai tempel dan kertas materai yang dikeluarkan oleh
pemerintah Republik Indonesia.
3. Tanda tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk
pula paraf, teraan, atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai
pengganti tanda tangan.
4. Pemetereian Kemudian adalah suatu cara pelunasan bea materai yang dilakukan oleh
pejabat pos atas permintaan pemegang dokumen yang bea materainya belum dilunasi
sebagaimana mestinya.
5. Pejabat Pos adalah Pejabat Perusahaan Umum Pos dan Giro yang diserahi tugas
melayani permintaan materaian kemudian.

D. Tarif Bea Meterai Rp6.000,00 Dikenakan atas Dokumen :


1. Surat perjanjian dan surat surat lainnya (antara lain: surat kuasa, surat hibah dan
surat pemyataan).
a. Dibuat dengan tujuan digunakan sebagai alat pembuktian
b. Mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan
c. bersifat perdata
2. Akta-akta notaris termasuk salinannya
3. Akta yang dibuat oleh pejabat akta tanah (PPAT) termasuk rangkap-rangkapnya.
4. Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 1.000.000,00

101
PERPAJAKAN

a. Yang menyebutkan penerimaan uang


b. yang menyatakan pembukuan atau penyimpanan uang dalam rekening bank.
c. yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
d. yang berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian atau seluruhnya telah
dilunasi atau diperhitungkan.
5. Surat surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep yang harga nominalnya lebih
dari Rp1.000.000,00
6. Efek dengan nama dan dalam atau bentuk: apapun sepanjang harga nominalnya
lebih dari Rp1.000.000.00
7. Dokument-dokumen yang akan digunakan untuk bukti pengadilan.
a. Surat surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan.
b. Surat surat yang semula tidak dikenakan bea materai berdasarkan tujuannya
jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan untuk orang lain selain dari
maksud semula.

E. Tarif meterai Rp 3.000,00 Dikenakan Atas Dokumen


1. Surat yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih
dari Rp1.000.000,00 dengan kriteria:
2. Surat surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep yang harga nominalnya lebih
dari Rp250.000,00 tapi tidak lebih dari Rp1.000.000,00
3. Efek dengan nama dan dalam atau bentuk apapun sepanjang harga nominalnya lebih
dari Rp250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00
4. Cek dan Bilyet giro dengan harga nominal berapapun. Apabila dokumen (kecuali
cek dan bilyet giro) mempunyai nominal tidak lebih dari Rp250.000,00 tidak
terutang bea materai.

F. Yang Tidak Dikenakan Bea Meterai


1. Dokumen yang berupa:
2. Segala bentuk ijasah, Surat Tanda Tamat Belajar (STTB), Tanda lulus, Surat
Keterangan Telah Mengikuti Suatu Pendidikan, Latihan Kursus, dan Penataran
termasuk pula surat-surat yang bersifat hukum publik misalnya Akta Kelahiran dan
Surat Nikah
3. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya
yang ada kaitannya dengan hubungan kerja, serta surat-surat yang diserahkan untuk
mendapatkan pembayaran.
4. Tanda bukti penerimaan uang negara dari Kas Negara, Kas Pemda dan Bank
5. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi
6. Kuitansi untuk semua jenis pajak.
7. Surat gadai yang diberikan oleh PT. Pegadaian (Persero)
8. Kupon atau tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek dengan nama dan
dalam bentuk apapun.

102
PERPAJAKAN

G. Pihak Yang Terutang Bea Meterai


Pihak yang terutang bea materai adalah pihak yang menerima atau yang memperoleh
manfaat dari dokumen, kecuali ditentukan lain oleh pihak-pihak yang bersangkutan

H. Cara Pelunasan Bea Meterai


1. Dengan menggunakan benda materai, yaitu: a. Materai tempel b. Kertas Meterai
2. Dengan cara lain yang ditetapkan oleh Menten Keuangan

I. Cara Menggunakan Benda Meterai


1. Materai Tempel.
a. Direkatkan seluruhnya , utuh dan tidak rusak.
b. Direkatkan di tempat di mana tanda tangan akan dibubuhkan.
c. Pembubuhan Tanda Tangan :
1) Disertai tanggal, bulan dan tahun
2) Dengan tinta atau yang sejenisnya Pelanggaran ketentuan-ketentuan diatas
dianggap tidak bermaterai
2. Kertas materai yang sudah digunakan tidak boleh digunakan lagi

J. Sanksi-Sanksi
1. Sanksi Administrasi (Bayar bea materai 2 kali lipat)
2. Sanksi pidana, antara lain:
a. Pemalsuan atau peniruan materai tempel, kertas materai dan tanda tangan
b. Dengan sengaja menyimpan bahan-bahan/perkakas yang diketahui untuk
meniru dan memalsukan benda meterai.
Sanksi : Sesuai dengan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kepastian
hukum, mungkin kurungan atau penjara sesuai dengan pasal 252 Kitab Undang
Undang Hukum Pidana (KUHP) apabila dengan sengaja menggunakan cara
lain untuk pelunasan bea meterai (pasal 7(2) b) yang tidak seijin Menteri
Keuangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 7 tahun
Penanggung jawab sanksi adalah:
1) Untuk sanksi administrasi : pemegang dokumen
2) Untuk sanksi pidana : sesuai keputusan pengadilan

K. Daluwarsa
Daluwarsa dari kewajiban memenuhi bea meterai ditetapkan lima tahun, terhitung sejak
tanggal dokumen dibuat, dengan demikian sudah ada kepastian hukum, jadi apabila ada
dokumen yang kurang/tidak bermeterai yang dibuat sudah lebih dari lima tahun (sudah
daluwarsa ), dan dipakai sebagai alat pembuktian maka tidak perlu pemeteraian

103
PERPAJAKAN

kemudian atau dimeteraikan kembali, karena sudah sah menurut hukum, dan ini berlaku
untuk seluruh dokumen termasuk kwitansi.

L. Pemeteraian Kemudian
Pemeteraian Kemudian dilakukan atas:
a. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan;
b. Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya;
dan/atau
c. Dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia.

104
PERPAJAKAN

BAB 16
PAJAK DAERAH
A. Ruang Lingkup Pajak Daerah
Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengertian tersebut termuat di dalam Undang-
undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Nomor 28 Tahun 2009.

Pajak atau kontribusi wajib yang diberikan oleh penduduk suatu daerah kepada
pemerintah daerah ini akan digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan kepentingan
umum suatu daerah.Contohnya seperti pembangunan jalan, jembatan, pembukaan
lapangan kerja baru, dan kepentingan pembangunan serta pemerintahan lainnya.

Selain untuk pembangunan suatu daerah, penerimaan pajak daerah merupakan salah
satu sumber Anggaran Pendapatan Daerah (APBD) yang digunakan pemerintah untuk
menjalankan program-program kerjanya.

B. Ciri-Ciri Pajak Daerah


Berikut ini ciri-ciri pajak daerah yang membedakannya dengan pajak pusat:

1. Pajak daerah bisa berasal dari pajak asli daerah atau pajak pusat yang diserahkan
ke daerah sebagai pajak daerah.
2. Pajak daerah hanya dipungut di wilayah administrasi yang dikuasainya.
3. Pajak daerah digunakan untuk membiayai urusan/pengeluaran untuk
pembangunan dan pemerintahan daerah.
4. Pajak daerah dipungut berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) dan Undang-
undang sehingga pajaknya dapat dipaksakan kepada subjek pajaknya.
Unsur-unsur yang ada dalam pajak daerah pada dasarnya sama seperti unsur pajak
lainnya yakni subjek pajak daerah, objek pajak daerah, dan tarif pajak daerah.

C. Jenis-jenis dan Tarif Pajak Daerah


Sama seperti pajak pusat, pajak daerah pun banyak jenisnya. Pajak daerah dibedakan
menjadi dua bagian yaitu Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Masing-masing
bagian tersebut memiliki jenisnya masing-masing.

Berikut ini jenis-jenis pajak daerah beserta penjelasannya yang perlu Anda ketahui.

i. Pajak Provinsi
1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
Pajak Kendaraan Bermotor merupakan pajak terhadap seluruh kendaraan beroda
yang digunakan di semua jenis jalan baik darat maupun air. Pajak ini dibayar di
muka dan dikenakan kembali untuk masa 12 bulan atau 1 tahun.

105
PERPAJAKAN

Tarif yang yang dikenakan untuk kendaraan bermotor beragam, berikut ini
rinciannya:

• Bagi kepemilikan kendaraan motor pertama sebesar 2%, kemudian untuk


kendaraan bermotor kedua sebesar 2,5% dan akan meningkat untuk
kepemilikan setiap kendaraan bermotor seterusnya sebesar 0,5%.
• Bagi kepemilikan kendaraan bermotor oleh badan, tarif pajaknya sebesar
2%.
• Bagi kepemilikan kendaraan bermotor oleh pemerintah pusat dan daerah
sebesar 0,50%.
• Bagi kepemilikan kendaraan bermotor alat berat sebesar 0,20%.

2. Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)


Menurut Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2010 tentang Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor (BBNKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah
pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua
pihak atau pembuatan sepihak atau keadaan terjadi karena jual beli, tukar
menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.

Berikut ini tarif BBNKB :

o Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan masing-masing sebagai


berikut:
▪ Penyerahan pertama sebesar 10%.
▪ Penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1%.
o Khusus kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang tidak
menggunakan jalan umum, tarif pajak ditetapkan masing-masing sebagai
berikut:
▪ Penyerahan pertama sebesar 0,75%.
▪ Penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 0,075%.

3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB)

Bahan bakar kendaraan bermotor yang dimaksud adalah semua jenis bahan bakar
baik yang cair maupun gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor.

Pajak PBB-KB ini dipungut atas bahan bakar kendaraan bermotor yang disediakan
atau dianggap berguna untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang
digunakan untuk kendaraan yang beroperasi di atas air.

Pajak PBB-KB diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

Tarif PBB-KB:

106
PERPAJAKAN

• Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor titetapkan sebesar 5%


• Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebagaimana yang dimaksud
pada poin sebelumnya, dapat diubah oleh Pemerintah dengan Peraturan
Presiden, dalam hal:

a) Terjadi kenaikan harga minyak dunia melebihi 130% dari asumsi harga
minyak dunia yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan
b) Diperlukan stabilitas harga bahan bakar minyak untuk jangka waktu paling
lama 3 tahun sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 28 tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
• Dalam hal harga minyak dunia sebagaimana dimaksud pada poin kedua huruf a
sudah kembali normal, Peraturan Presiden dicabut dalam jangka waktu paling
lama 2 bulan.

4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah

Pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah merupakan setiap kegiatan


pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang dilakukan dengan cara penggalian,
pengeboran atau dengan membuat bangunan untuk dimanfaatkan airnya dan/atau
tujuan lainnya.

Pajak Air Tanah didapat dengan melakukan pencatatan terhadap alat pencatatan debit
untuk mengetahui volume air yang diambil dalam rangka pengendalian air tanah dan
penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah.

Tarif Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah

• Dasar pengenaan pajak adalah nilai perolehan air tanah


• Nilai perolehan air tanah dinyatakan dalam satuan rupiah yang dihitung
berdasarkan faktor-faktor berikut:
o Jenis sumber air.
o Lokasi/zona pengambilan sumber air.
o Tujuan pengambilan atau pemanfaatan air.
o Volume air yang diambil atau dimanfaatkan.
o Kualitas air.
o Tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan atau
pemanfaatan air.
• Penghitungan Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana yang dimaksud pada ayat
(2) dengan cara mengalikan volume air yang diambil dengan harga dasar air.
• Penghitungan Harga Dasar Air sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3)
dengan cara mengalikan faktor nilai air dengan Harga Air Baku.
• Nilai Perolehan Air Tanah dan Harga Air Baku sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan ayat (4)ditetapkan dengan Peraturan Walikota

107
PERPAJAKAN

• Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan sebesar 20%.


• Besaran pokok Pajak Air Tanah yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif dengan dasar pengenaan pajak.

5. Pajak Rokok

Pajak Rokok merupakan pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah
pusat. Objek pajak dari Pajak Rokok adalah jenis rokok yang meliputi sigaret,
cerutu, dan rokok daun. Konsumen rokok telah otomatis membayar pajak rokok
karena WP membayar Pajak Rokok bersamaan dengan pembelian pita cukai.

Wajib pajak yang bertanggung jawab membayar pajak adalah pengusaha pabrik
rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok
Pengusaha kena Cukai. Subjek pajak dari Pajak Rokok ini adalah konsumen rokok.

Tarif pajak rokok sebesar 10% dari cukai rokok dipungut oleh instansi pemerintah
yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.

ii. Pajak Kabupaten / Kota


A. Pajak Hotel
B. Pajak Restoran
C. Pajak Hiburan
D. Pajak Reklame
E. Pajak Penerangan Jalan
F. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
G. Pajak Parkir
H. Pajak Air Tanah
I. Pajak Sarang Burung Walet
J. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
K. Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

Penjelasan atas pajak kabupaten / Kota terdapat didalam peraturan daerah


masing – masing pemerintahan kabupaten / kota.

108
PERPAJAKAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1 - 3
Bayu Jati Jatmika, 2008, Kajian Filsafat Ilmu : Perpajakan di Indonesia, Tinjauan dari Syariat
Islam dan Hukum Pajak. Universitas Tanjungpura : Pontianak
Isroah, 2013, Perpajakan, Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.
Herawati, Nurul dan Bandi, 2019, Telaah Riset Perpajakan di Indonesia: Sebuah Studi
Bibliografi
Yustinus Prastowo, 2016, Sejarah Pajak dan Peradaban Pendasaran Filosofis bagi Paradigma
Baru Kebijakan Pajak, CITA : Center for Indonesia Taxation Analysis
http://www.kabarpajak.com/2016/02/contoh-pekerjaan-bebas.html

BAB 4
Kementerian Keuangan Republik Indonesa, 2013, PPh Pajak Penghasilan, Direktorat
Jenderal Pajak : Jakarta.
https://www.pajakonline.com/organisasi-internasional/
https://klikpajak.id/blog/pajak-bisnis/pph-final-dan-tidak-final/
http://www.mengenalpajak.com/2018/03/memahami-tentang-pengertian-pph-final.html
https://pajak.warsidi.com/pph-pasal-
21/#:~:text=Dasar%20pengenaan%20dan%20pemotongan%20PPh%20Pasal%2021
%20bagi,bukan%20pegawai%20yang%20menerima%20imbalan%20yang%20bersif
at%20berkesinambungan.
Peraturan Menteri Keuangan, Nomor : 96/Pmk.03/2009 Tentang : Jenis-Jenis Harta Yang
Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan
Penyusutan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 101 /PMK.010/2016, Tentang Penyesuaian Besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 250/PMK.03/2008 Tentang
Besarnya Biaya Jabatan Atau Biaya Pensiun Yang Dapat Dikurangkan Dari
Penghasilan Bruto Pegawai Tetap Atau Pensiunan
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 16/Pmk.03/2010 Tata Cara
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon,

109
PERPAJAKAN

Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Dan Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan
Sekaligus
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 262/Pmk.03/2010 Tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
Bagi Pejabat Negara, Pns, Anggota Tni, Anggota Polri, Dan Pensiunannya Atas
Penghasilan Yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Atau
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : Per - 31/Pj/2012 Tentangpedoman Teknis Tata
Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporanpajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau
Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang
Pribadi
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per- 17/Pj/2015 Tentang Norma Penghitungan
Penghasilan Neto

BAB PPh 22
https://catatan-hendrawantetro.blogspot.com/2012/05/ls-dan-up.html
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 34/PMK. 010/2017 Tentang
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas
Penyerahan Barang Dan Kegiatan Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang
Lain
https://www.online-pajak.com/tentang-pajak-pribadi/pph-pajak-penghasilan-pasal-
22#:~:text=PPh%20Pasal%2022%20dikenakan%20terhadap%20perdagangan%20bar
ang%20yang,objek%20pajaknya%2C%20yaitu%20berkisar%20antara%200%2C25
%25-1%2C5%25.%20PPh%2022.

BAB VIII PPh 23


Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 141/PMK.03/2015 Tentang Jenis
Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf C Angka 2 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah
Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008

BAB IX PPh 24
https://www.online-pajak.com/tentang-pph-final/pph-pajak-penghasilan-pasal-
24#:~:text=Pengertian%20PPh%20Pasal%2024%20%28Pajak%20Penghasilan%20P

110
PERPAJAKAN

asal%2024%29,dibayar%20di%20Indonesia%20dapat%20dikurangi%20dengan%20j
umlah%20
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 192/PMK.03/2018 Tentang :
Pelaksanaan Pengkreditan Pajak Atas Penghasilan Dari Luar Negeri

BAB X PPh 25
https://www.online-pajak.com/tentang-pajak-pribadi/pph-pajak-penghasilan-pasal-
25#:~:text=Pajak%20Penghasilan%20Pasal%2025%20(PPh%20Pasal%2025)%20ad
alah%20pajak%20yang,sendiri%20dan%20tidak%20bisa%20diwakilkan.

BAB XII PPh 26


https://www.online-pajak.com/tentang-bukti-potong/pph-pajak-penghasilan-pasal-
26#:~:text=Pengertian%20Pajak%20Penghasilan%20Pasal%2026,tetap%20(BUT)%
20di%20Indonesia.

BAB PPN
https://www.online-pajak.com/seputar-efaktur-ppn/aplikasi-e-faktur-pajak-efaktur-pajak-
go-id-onlinepajak
https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-efaktur/pajak-pertambahan-nilai-
ppn#:~:text=Pengertian%20Pajak%20Pertambahan%20Nilai%20(PPN)&text=Pajak
%20Pertambahan%20Nilai%20atau%20PPN,Pengusaha%20Kena%20Pajak%20(PK
P).

BAB PPNBM
https://www.online-pajak.com/seputar-efaktur-ppn/pajak-penjualan-atas-barang-mewah-
ppnbm
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 64/PMK .011/2014 Tentang Jenis
Kendaraan Bermotor Yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Dan Tata
Cara Pemberian Pembebasan Dari Pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

111
PERPAJAKAN

BAB PBB
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi Dan
Bangunan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 201/KMK.04/2000 Tentang
Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar
Penghitungan Pajak Bumi Dan Bangunan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan
Retribusi Daerah
https://www.online-pajak.com/pajak-bumi-dan-
bangunan#:~:text=Pengertian%20Pajak%20Bumi%20dan%20Bangunan,atau%20me
mperoleh%20manfaat%20dari%20padanya.
https://klikpajak.id/blog/perhitungan/cara-menghitung-pajak-bumi-dan-bangunan-
perusahaan/
https://www.cermati.com/artikel/pajak-bumi-dan-bangunan-dan-cara-menghitungnya

BAB BEA METERAI


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 70/Pmk.03/2014 Tentang Tata
Cara Pemeteraian Kemudian
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif
Bea Meterai Dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea
Meterai

BAB PAJAK DAERAH


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan
Retribusi Daerah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2016 Tentang Ketentuan Umum
Dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah

112

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai