TUGAS AKHIR
Oleh:
FATIMAH AZZAHRAH
1722010021
i
iii
iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tugas Akhir ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
Fatimah Azzahrah
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur bagi Allah Subhanahu Wata’ala. yang telah memberikan
kesehatan dan atas izin Nyalah penulis dapat menyusun dan menyelesaikan tugas
akhir ini. Tidak lupa pula penulis mengirimkan shalawat dan salam kepada
junjungan Nabi besar Muhammad Shallallahu’alaihi Wassallam. Ucapan terima
kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang turut mendukung dalam
penyelesaian penyusunan tugas akhir ini ini antara lain kepada :
1. Ibu Nur Rahmawaty Arma, S.Pi., M.Sc., Ph.D. selaku Pembimbing I, ibu
Mulyati, S.Pi., M.Si. selaku Pembimbing II yang telah memberikan motivasi,
arahan dan bimbingan hingga penyususnsn proposal ini selesai,
2. Ketua Jurusan Teknologi Budidaya Perikanan Bapak Ardiansyah, S.Pi,
M.Biotec.St., Ph.D., dan Ketua Program Studi Budidaya Perikanan Ibu Dr.
Andriani, S.Pi., M.Si.,
3. Bapak Dr. Ir. Darmawan, M.P selaku Direktur Politeknik Pertanian Negeri
Pangkep,
4. Rekan-rekan seangkatan di Jurusan Teknologi Budidaya Perikanan atas
bantuanya dalam menyelesaikan tugas akhir ini
Akhirnya dengan tulus penulis mengucapkan banyak terimah kasi kepada
kedua orangtua yang senantiasa memberikan dukungan baik berupa moril maupun
materil serta beliau senantiasa mengiringi doa hingga penulis dapat menyususn tugas
akhir ini dengan baik.
Fatimah Azzahrah
v
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL........................................................................................... ix
vi
2.8 Kebutuhan Unsur Organik .................................................. 10
2.9 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan...... 12
vii
5.2 Populasi Thalassiosira sp. pada Berbagai Skala Kultur .... 37
5.3 Jumlah Pupuk pada Berbagai Skala Kultur Thalassiosira
Sp. ...................................................................................... 41
5.4 Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Udang Vanamaen ..... 44
5.5 Kualitas Air Media Kultur Thalassiosira sp. ..................... 45
6.1 Kesimpulan…....................................................................... 48
6.2 Saran………. ........................................................................ 49
LAMPIRAN…….. .......................................................................................... 52
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Alat yang Digunakan untuk Kultur Thalassiosira sp. .................. 14
Tabel 3.2 Bahan yang digunakan untuk Kultur Thalassiosira sp. ............... 16
Tabel 5.1 Dosis pupuk untuk kultur Thalassiosira sp. pada skala
Laboratorium ................................................................................. 41
Tabel 5.2 Dosis Pupuk untuk Kultur Thalassiosira sp. pada Skala
Intermediet dan Skala Massal ...................................................... 42
Tabel 5.3 Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Udang Vaname ................... 44
Tabel 5.4 Hasil Pengukuran Kualitas Air pada Kultur Thalassiosira sp. .... 45
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
x
Cawan Petri (d) Bibit Telah di Masukkan ke Erlenmeyer
(e) Bibit Telah Dihomogenkan (f) ............................................ 25
Gambar 3.7 Memasukkan Bibit ke dalam Toples 5 Liter (a) Topkes Yang
telah Diisi Bibit (b) ................................................................... 26
Gambar 3.8 Pemasangan Aerasi (a) Pemberian Natrium Thiosulfate (b)
Pengecekan Menggunakan Chlorin Test (c) Pemberian
Pupuk (d) Pemberian Bibit (e) Toples Yang telah Diisi Bibit
(f) .............................................................................................. 27
Gambar 3.9 Pengisian air (a) Pengecekan Salinitas (b) Pengambilan pupuk
(c) Pemberian Pupuk (d) Pemberian Bibit (e) .......................... 28
Gambar 3.10 Pengisian Air (a) Pengecekan Salinitas (b) Penambilan pupuk
(c) Pemberian Pupuk (d) Pengisian Bibit (e)............................ 28
Gambar 3.11 Pemanenan Thalassiosira sp. (a) Pipa Transfer Thalassiosira
sp. (b) Thalassiosira sp. Yang Dimasukkan ke Dalam bak
Pemeliharaan Larva (c)............................................................. 29
Gambar 4.1 Struktur Organisasi dan Tenaga Kerja PT. KKKP.................... 34
Gambar 5.1 Grafik Tahapan fase Pertumbuhan Thalassiosira sp. ............... 35
Gambar 5.2 Grafik Jumlah Pertumbuhan Populasi Thalassiosira sp.
Kultur I (17 Feb 2020) .............................................................. 37
Gambar 5.3 Grafik Jumlah Pertumbuhan Populasi Thalassiosira sp. Kultur
II (8 Mar 2020) ......................................................................... 38
Gambar 5.4 Grafik Jumlah Pertumbuhan Populasi Thalassiosira sp. Kultur
III (9 Mar 2020) ........................................................................ 38
Gambar 5.5 Kontaminasi Amoeba proteus pada Media Kultur
Thalassiosira sp. ...................................................................... 39
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
xii
RINGKASAN
Kegiatan pembenihan udang tidak dapat terlepas dari kebutuhan pakan alami
seperti Thalassiosira sp. diantaranya sebagai pakan alami larva udang vaname
(Litopenaeus vannamei). Masalah teknis terbesar yang dihadapi oleh petani dalam
menghasilkan benih yang berkualitas adalah ketidaksesuaian pakan alami yang
digunakan dalam pemeliharaan larva. Oleh karena itu pengetahuan tentang teknik
kultur pakan alami perlu dipelajari agar dapat diketahui teknik-teknik dalam
mengkultur pakan alami.
Tugas akhir ini disusun bertujuan untuk meningkatkan penguasaan teknis
tentang teknik kultur Thalassiosira sp. sebagai pakan alami larva udang vaname
pada kegiatan pembenihan udang vaname.
Metode pengumpulan data dilakukan melalui observasi, partisipasi aktif,
wawancara dan studi literatur kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan grafik, lalu
dianalisa secara deskriptif. Parameter yang diamati meliputi tahapan fase
pertumbuhan Thalassiosira sp, kepadatan populasi Thalassiosira sp. pada berbagai
skala kultur, jumlah pupuk yang digunakan pada kultur skala indoor dan outdoor,
tingkat kelangsungan hidup larva, dan parameter kualitas air meliputi suhu, salinitas
dan pH.
Thalassiosira sp memiliki lima fase yaitu fase adaptasi pada hari pertama, fase
logaritmik pada hari ke dua, tiga, empat dan lima, fase penurunan laju pertumbuhan
pada hari ke enam dan tujuh, fase stasioner pada hari ke delapan, sembilan, sepuluh
dan sebelas dan fase kematian pada hari ke dua belas, tiga belas dan empat belas;
Thalassiosira sp. pada berbagai skala kultur menunjukkan pertumbuhan populasi
yang berbeda dan waktu panen yang berbeda, mulai dari 22 hari sampai 33 hari;
Salinitas yang tinggi melewati batas optimum dan kontaminasi Amoeba proteus dapat
menyebabkan kematian populasi Thalassiosira sp; Parameter kualitas air pada media
pemeliharaan Thalassiosira sp sesuai SOP masih dalam kisaran yang optimum yaitu
pada suhu skala indoor suhu 16–24 0C, salinitas 28 ppt, dan pH 7,2–8,1, sedangkan
pada skala outdoor suhu 29–32 0C, salinitas 28–32 ppt dan pH 8,1–8,4; Jenis pupuk
yang digunakan dalam kultur Thalassiosira sp adalah NaNO3, Na2HPO4, silikat,
FeCl3, EDTA, ZnSO4, MnCl2, CuSO4, NaM0O4, dan CoCl2, dan untuk skala outdor
pupuk yang digunakan yaitu NaNO3, Na2HPO4, silikat, FeCl3 , EDTA dan
Urea.Tingkat kelangsungan hidup larva udang vaname pemberian pakan alami
Thalassiosira sp pada stadia Zoea berkisar 94–100%, Mysis berkisar 80–89 % dan
PL 78%.
xiii
BAB I. PENDAHULUAN
Pakan alami merupakan salah satu faktor utama dalam menunjang keberhasilan
suatu usaha pembenihan udang vaname (Litopenaeus vannamei). Pakan alami yang
biasa digunakan ada dua jenis yaitu pakan alami fitoplankton dan zooplankton. Salah
satu jenis fitoplankton yang digunakan sebagai pakan alami larva udang vaname yaitu
jenis diatom. Diatom adalah mikroalga uniseluler fotosintetik yang memiliki dinding
khas terbuat dari silika. Thalassiosira sp. adalah diatom yang digunakan sebagai
karbohidrat 26,1% dan kandungan lemak sekitar 11,8% dari berat keringnya. Jenis
fitoplakton ini adalah salah satu jenis pakan alami yang direkomendasikan untuk
diberikan sebagai pakan alami karena mempunyai beberapa keunggulan antara lain
adalah nilai nutrisi yang dikandungnya memenuhi syarat bagi pertumbuhan larva
Masalah teknis terbesar yang dihadapi oleh petani dalam menghasilkan benih
pemeliharaan larva. Oleh karena itu pengetahuan tentang teknik kultur pakan alami
perlu dipelajari agar dapat diketahui metode yang tepat dalam mengkultur pakan
alami.
2
Perusahaan ini memiliki visi menjadi unit pembenihan udang putih berkualitas
dengan memenuhi standar nasional agar dapat memenuhi kebutuhan dan turut serta
memajukan industri udang Indonesia. Oleh karena itu perusahaan ini diyakini
keterampilan dan mengumpulkan data dan informasi untuk penulisan tugas akhir
yang berkaitan dengan teknik kultur Thalassiosira sp. sebagai pakan alami larva
udang vaname.
Tujuan penulisan tugas akhir ini adalah memperkuat penguasaan teknik kultur
Thalassiosira sp. sebagai pakan alami untuk larva udang vaname di PT. Kawan Kita
kultur pakan alami Thalassiosira sp. untuk penyediaan pakan bagi larva udang
vaname.
3
hewan yang hidup melayang maupun terappung secara pasif di permukaan perairan,
dan pergerakan serta penyebarannya di pengaruhi oleh gerakan arus walaupun sangat
Pakan alami umunya diberikan kepada organisme budidaya yang masih stadia
larva karena ukurannya cocok dengan bukaan mulut larva. Pakan alami memiliki
beberapa kelebihan dibanding dengan pakan buatan yaitu nilai gizinya sangat
meningkatkan daya tahan tubuh benih terhadap penyakit dan perubahan kualitas air,
mudah ditangkap oleh larva karena pergerakannya tidak begitu aktif dan berukuran
kecil sesuai dengan bukaan mulut larva (Furgoninspired, 2012 dalam Ridawati,
2015).
pembenihan udang vaname, salah satunya yaitu fitoplankton jenis diatom. Diatom
(Crysophyta) adalah kelompok alga yang memiliki dinding sel yang terbentuk dari
fitoplankton yang memiliki flagella. Organisme ini biasa digunakan sebagai pakan
dalam budidaya seperti Thalassiosira sp., Chaetocheros sp., dan Skeletonema sp,.
mendeterminasi tingkat pertumbuhan dan kualitas sel alga. Alga dapat menyerap
nutrient dari seluruh lapisan perairan, karena bisa mengabsorpsi langsung melalui
membrane sel. Salah satu tujuan kultur alga adalah untuk mendapatkan kelimpahan
sel yang tertinggi dalam periode waktu yang singkat. Apabila pemanfaatan air
dengan zat penyubur yang terbatas akan menghasilkan kelimpahan sel yang kurang
baik. Kondisi perairan alami, seperti Fosfor terbatas keberdaannya diperairan tawar
dan nitrat terbatas di perairan laut (Faricha, 2009 dalam Ridawati, 2015).
Thalassiosira sp. adalah salah satu spesies diatom. Thalassiosira sp. seperti
halnya diatom lain merupakan alga yang bersifat uniseluler, eukaryotik, dan
fotosintesis yang ditemukan diseluruh perairan laut dan tawar di dunia dan
dasar pembentuk yang mendukung perikanan pantai skala besar. Fotosintesis oleh
diatom laut seperti halnya Thalassiosira sp. menghasilkan 40% dari 45-50 milyar
metric ton karbon organik yang diproduksi di dalam laut seperti silika pada dinding
selnya. Kalium dan silika merupakan nutrient yang banyak dimanfaatkan oleh
diatom sebagai salah satu sumber elemen untuk membentuk komposisi frustala pada
lapisan sellnya pada proses asimilasi. Thalassiosira sp. memilliki bagian tubuh yang
Thalassiosira sp. tidak tenggelam dan selnya selalu mengapung di perairan. Ciri-ciri
dari Thalassiosira sp. adalah permukaan katup datar, terdapat fultoportulae di cekat
5
pusat katup, memiliki dua katup yang dibatasi oleh duru-duri dan pada bagian tepi
Divisi : Eukaryota
Phylum : Bacillariopita
Kelas : Bacillariophyceae
Ordo : Thalassiosirales
Subordo : Thalassiosiraceae
Genus : Thalassiosira
diantaranya:
6
c. Thallus disebut frustule yang terdiri dari valvei (atas) dan gridle (bawah)
d. Reproduksi aseksual dengan pembelahan dan seksual dengan oogami dan isogami.
2.3 Keunggulan
cepat dicerna karna hanya memiliki satu inti sel dan tidak berantai di bandingkan
sintasan yang lebih tinggi, memiliki kandungan nutrisi yang lebih tinggi
2.4 Habitat
ditemukan di banyak tempat yaitu perairan laut mulai dari belahan bumi utara
Antartika sampai belahan bumi selatan Cape Town, oleh karena itu banyak sekali
spesies Thalassiosira sp. yang sudah dikenal hingga saat ini, spesies-spesies tersebut
Rentang suhu hidup Thalassiosira sp. dari 8,4oC – 17,2oC. Spesies lain dari
Thalassiosira sp. ditemukan mampu hidup pada suhu yang lebih rendah, yaitu 1,77 oC
– 3,49oC. Rentan salinitas untuk Thalassiosira adalah 32,61 – 34,64 ppt. salah satu
besar arus kutub dan distribusinya sejajar dengan arah aliran arus tersebut. Hal ini
seperti yang terjadi pada arus Greenland Timur, yang berhubungan dan menyambung
dengan laut Labrador. Pada beberapa daerah pantai di iklim dingin, sebagai contoh
Skeletonema costatum tumbuh pada akhir musim dingin atau bahkan awal musim
semi, tumbuhnya S. costatum ini menggantikan atau disukesi oleh Thalassiosira spp.
dan pada gilirannya nanti akan dgantikan oleh Chaetocheros spp. Dan begitu
seterusnya.
dalam tiga tahap, yaitu laboratorium, semi massal dan lapangan. Tahap laboratorium
dikenal dengan skala kecil dan tahap lapangan (outdor) dikenal dengan skala massal.
Pada skala laboratorium dilakukan kultur murni fitoplankton yang bertujuan untuk
menjaga kemurnian dan kelestarian alga. Budidaya skala laboratorium ini pada
umumnya dilakukan dalam ruangan tertutup dan kondisi lingkungan terkontrol pada
setiap wadah budidayanya. Thalassiosira sp. dapat dikultur dalam skala laboratorium
didalamnya yang meliputi 100 µM nitrat, 383 µM fosfat. Metode kultur selanjutnya
yaitu kultur skala intermediate dan kulltur skala massal. Kultur skala intermediate
dan kultur skala massal dilakukan di ruangan yang terbuka dan diberi atap yang
kandungan lemak sekitar 11,8% dari berat keringnya. Jenis fitoplakton ini adalah
salah satu jenis pakan alami yang direkomendasikan untuk diberikan sebagai pakan
alami karena mempunyai beberapa keunggulan antara lain adalah nilai nutrisi yang
dikandungnya memenuhi syarat bagi pertumbuhan larva udang vaname dan jenis
crustacea lainnya.
lainnya (yang berada di hipoteka) menjadi frustul diatom baru (sel baru) dan kelak sel
baru tersebut membelah lagi seperti cara diatas, sehingga makin lama terbentuklah
individu-individu yang lebih kecil, sampai batas tertentu sehingga sel terkecil tadi
tidak mampu membelah lagi (secara alami). Fase pembelahan terakhir (frustul
terkecil) sel Thalassiosira sp. tidak lagi melakukan pembelahan seperti cara diatas,
Demikan pula dengan frustul terkecil lainnya juga membentuk auxospora. Dua
auxospora dapat menyatu (bergabung menjadi satu) dan mereka membesarkan diri
9
sampai sebesar induknya terdahulu dan akhirnya terbentuk frustul baru (individu
baru) yang bentuk, besar, dan sifat (karakternya) sama dengan sel indukannya dahulu
(Amalia, 2019).
Thalassiosira sp. sebagai salah satu jenis plankton memiliki fase pertumbuhan.
Fase pertumbuhan ini pada saat budidaya secara visual ditandai dengan adanya
perubahan warna air dari awalnya bening menjadi berwarna coklat muda dan
kemudian menjadi coklat dan seterusnya, perubahan ini disertai dengan menurunya
dan bertambah banyaknya jumlah sel yang secara langsung akan berpengaruh
pada sistem kulitnya terbagi menjadi 5 tahap dan dapat dilihat pada Gambar 2.
a. Fase lag
Pada fase lag belum mengalami perubahan. Pada fase ini pertumbuhan
fitoplankton, seperti peningkatan kadar enzim dan metabolit yang terlibat dalam
Pertumbuhan sel mulai melambat ketika nutrient, cahaya, pH, CO 2, atau faktor
d. Fase stasioner
Pada fase keempat faktor pembatas dan tingkat pertumbuhan seimbang. Laju
e. Fase kematian
Pada fase kematian, kualitas air memburuk dan nutrient habis hingga ke level
cepat karena laju kematian fitoplankton lebih tinggi dari pada laju pertumbuhan
nutrient maupun mikro nutrient. Unsur makro nutrient terdiri dari N, P, K, C, Si, S
11
dan Ca serta unsur mikro nutrient terdiri dari Fe, Zn, Cu, Mg, Mo, Co, B, dan lain –
Unsur N merupakan komponen utama dari protein sel yang merupakan bagian
dasar kehidupan organisme. Nitrogen yang dibutuhkan untuk media kultur terdiri
dari beberapa subtansi berikut : KNO3; NaNO3; NH4C; (NH2)CO (urea) dan lain-lain.
Unsur P sangat di butuhkan dalam proses protoplasma dan inti sel. Fosfor juga
Dengan demikian fosfor sangat dibutuhkan pada kultur mikroalga dapat di peroleh
penting dalam kegiatan metabolisme dan aktifitas lainnya. Karbon juga diperlukan
sebagian besar bersifat anorganik dalam bentuk CO2 dan bicarbonate. Silika
Bacillarophyceae (diatom) dalam proses asimilasi. Sulfur juga merupakan salah satu
elemen penting yang dibutuhkan dalam pembentukan protein. Sulfur untuk media
kultur alga dapat diperoleh dari NH4SO4 (ZA); CuSO4 dan lain-lain. Unsur CA
pH dalam sel. Ca antara lain adalah CaCl2 dan Ca(NO3)2 (Kurniastuty dan
Julianasary, 1995 dalam Sylvester et al., 2002; Edhy et al., 2003; Cahyaningsih,
2009).
esensial dalam proses oksidasi. Unsur besi juga merupakan bahan dasar sitokrom dan
12
heme atau nonheme protein, kofaktor untuk beberapa enzim. Pada kultur alga dapat
diperoleh dari FeCL3, FeSO4 dan FeCaH5O7. Unsur Zn juga dibutuhkan oleh
mikroalga yang berasal dari sumber mineral ZnCl 2 dan ZnSO4. Unsur Cuprun yang
unsur Magnesium merupakan kation sel yang utama dan bahan dasar klorofil. Kation
sel utama, kofaktor anorganik untuk banyak reaksi enzimatik berfungsi di dalam
penyatuan substrat dan enzim. Unsur molibdenum dibutuhkan oleh mikroalga dapat
diperoleh dari CoCl2. Unsur boron dibutuhkan mikroalga dalam bentuk H3BO3
dengan ketersediaan hara makro dan mikro serta dipengaruhi oleh kondisi
terhadap pertumbuhan mikroalga antara lain cahaya, suhu, pH, kandungan CO2 bebas
cahaya mutlak diperlukan sebagai sumber energi (Sylvester et al., 2002). Laju
fotosintesis akan tinggi bila intensitas cahaya tinggi dan menurun bila intensitas
dengan sinar lampu TL dengan intesitas cahaya 5.000 – 10.000 lux. Intensitas cahaya
13
adalah jumlah cahaya yang mengenai satu satuan permukaan. Satuannya adalah
laboratorium, perubahan suhu air dipengaruhi oleh temperatur ruangan dan intensitas
cahaya. Pada kultivasi mikroalga skala massal yang dilakukan di luar ruangan, suhu
cairan yang menjadi media hidupnya. Batas pH untuk pertumbuhan jasad merupakan
suatu gambaran dari batas pH bagi kegiatan enzim. Jika suatu enzim menunjukkan
kegiatan enzim itu berubah. pH optimum untuk kultivasi diatom adalah kisaran 7 – 8
Sebagai salah satu organisme yang hidup di dalam air, salinitas merupakan
dalam sel mikroalga. Salinitas yang terlampaui tinggi atau rendah dapat
dalam sel. Umumnya mikroalga air laut hidup normal pada salinitas optimum 25 –
35 ppt (Sylvester et al., 2002). Salinitas optimum untuk diatom adalah 28 – 32 ppt
(Cahyaningsih, 2009).
14
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam kegiatan ini dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut ini.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut
ini.
16
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam tugas akhir ini yaitu
observasi, partisipasi aktif, wawancara, dan studi literatur untuk mengumpulkan data
Data Primer adalah data yang dikumpulkan pada saat melakukan kegiatan
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari berbagai sumber seperti data
yang diperoleh dari laporan tahunan, buku-buku penunjang dan hasil wawancara
seperti cawan petri, erlenmeyer, toples 5 liter, toples 16 liter, aerasi, selang aerasi dan
digosok/disikat menggunakan scooring pad kemudian dibilas dengan air tawar yang
mengalir sampai bersih lalu dikeringkan. Cawan petri yang sudah kering di bungkus
dengan plastik dan diikat dengan karet, Erlenmeyer yang sudah kering di isi air laut
yang sudah di saring di tutup menggunakan aluminium foil dan plastik kemudian
diikat menggunakan karet, batu aerasi yang sudah kering di bungkus menggunakan
plastik lalu diikat menggunakan karet dan selang aerasi yang sudah kering
dimasukkan ke dalam autoclave untuk disterilkan pada suhu 138 0C selama 15 menit.
Persiapan wadah kultur skala intermediate dan skala massal dilakukan dengan
cara bak disemprot dengan air tawar untuk membersihkan kotoran yang menempel
pada dinding dan lantai dasar bak. Bak yang telah disemprot dengan air tawar
18
kemudian digosok dengan scooring pad yang telah dicelupkan ke dalam larutan
deterjen hingga kotoran yang menempel pada dinding dan lantai dasar bak hilang.
Selain itu, pipa aerasi dan batu aerasi yang digunakan juga digosok. Selanjutnya bak
tersebut dibilas dengan menyemprotkan kembali air tawar ke dalam bak hingga sisa-
sisa detergen hilang. Setelah proses tersebut selesai, maka bak dikeringkan selama 1
malam untuk dipakai keesokan harinya. Dapat dilihat pada Gambar 3.1
Gambar 3.1 Pencucian Wadah skala Laboratorium (a) Autovclove Wadah Skala
Laboratorim (b) Pencucian Tangki skala Intermediet (c) Pencucian Bak
Skala Massal (d)
Air yang digunakan untuk kultur Thalassiosira sp. berasal dari laut. Air laut
inci dengan power 10 HP. Air tersebut kemudian dialirkan dengan filter grafitasi dan
di saring kembali pada bak filter grafitasi kedua, selanjutnya air dialirkan ke dalam
bak treatment yang berkapasitas 100 ton. Air laut di treatment pada bak treatment
dengan menggunakan kaporit sebanyak 15–20 ppm dan diaerasi selama 6 jam
kemudian di pindah kan ke bak tandon pertama dan disterilkan dengan Natrium
Tiosulfat sebanyak 2–3 ppm dan diaerasi selama 8 jam sebelum kemudian di
menggunakan chlorin test sebanyak 5 tetes setelah itu air siap di alirkan. Air dari bak
tandon kedua tersebut dialirkan melalui pipa paralon ke tank volume 500 L
penampungan air untuk kultur laboratorium dan ditambahkan air tawar hingga
dengan dosis 5 ppm setelah itu, air dilewatkan melalui saringan lalu dimasukkan ke
dalam wadah kultur menggunakan gelas ukur (toples 5 liter dan toples 16 liter)
kemudian di beri Nathrium thiosulfate sebanyak 3–4 ml lalu di aerasi selama 1 jam
sebelum digunakan air di cek menggunakan chlorin test apa bila air sudah netral air
siap digunakan.
Sedangkan air yang digunakan untuk skala intermediate dan skala massal
berasal dari bak treatment yang dialirkan melalui pipa dan langsung dimasukkan ke
dalam bak kultur menggunakan filter bag. Salinitas yang digunakan untuk kultur
skala intermediate dan skala massal yaitu salinitas 28–30 ppt. Bak di isi dengan air
kemudian di treatment kembali dengan menggunakan kaporit untuk tank 5 ppm dan
untuk bak beton diberi kaporit 10 ppm/ton dan diaerasi selama satu malam dan pada
keesokan harinya tank tersebut di netralkan dengan nathrium thiosulfate 3 ppm dan
untuk bak beton di netralkan dengan nathrium thiosulfate 5 ppm di aersai selama 1
jam setelah itu di cek menggunakan chlorin test sudah netral atau belum, apabila
sudah netral air siap digunakan. Dapat dilihat pada Gambar 3.2
Gambar 3.2 Pipa Air Laut (a) Popma Air laut (b) Filter Grafitasi Pertama (c) Filter
Gravitasi Kedua (d) Pemberian Kaporit (e) Bak Tandon Pertama (f) bak
Tandon Kedua (g) Pipa Penyaluran Air Laut (h) Saklar On/Of
Penyaluran Air Tawar (i) Pengisian Air Skala Laboratorium (j)
Pengisian air Skala Intermediet (k) Pengisian Air Skala massal (l)
Kaporit (m) Nathrium Thiosulfate yang sudah Dilarutkan (n) Chlorin
Test (o)
Adapun langka yang dilakukan dalam persiapan pupuk skala indoor yaitu
aquades lalu dihomogenkan. Menimbang pupuk FeCL3 1,5 gram lalu ditambahkan
EDTA 2,18 gram dan stok tracemetals masing masing 5 ml kemudian dimasukkan ke
dalam botol dengan volume 1 L dan dilarutkan dengan aquades lalu di homogenkan.
Menimbang 76 gram pupuk silikat lalu dimasukkan ke dalam botol dengan volume 1
0,22 gram ditimbang kemudian di masukkan ke dalam wadah dan dilarutkan dengan
kemudian dimasukkan ke dalam wadah dan dilarutkan dengan aquades 100 ml lalu
NaM0O4 0,63 gram ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam wadah dan dilarutkan
dengan aquades 100 ml lalu dihomogenkan dan CoCl2 1 gram ditimbang lalu di
dihomogenkan.
Untuk pupuk outdoor, persiapan pupuk yang dilakukan dengan cara pupuk
NaNO3 6000 gram dan Na2PO4 500 gram di timbang kemudian di masukkan ke
dalam ember dengan volume 20 L lalu di larutkan dengan air tawar kemudian di
aduk, pupuk EDTA2Na 200 gram dan FeCl3 150 gram ditimbang kemudian
dimasukkan ke dalam ember dengan volume 20 L lalu dilarutkan dengan air tawar
dalam ember dengan volume 20 liter dan dilarutkan dengan air tawar kemudian di
aduk, dan pupuk urea 1000 gram ditimbang kemudian di masukkan ke dalam ember
dengan volume 20 L dan dilarutkan dengan air tawar kemudian diaduk. Dapat dilihat
Gambar 3.3 NaNO3 (a) Na2PO4 (b) Botol Stok I (c) FeCL3 (d) EDTA (e) ZnSO4 (f)
CoCl2 (g) NaM0O4 (h) CuSO4 (i) MnCl2 (j) Botol Stok II (k) Silikat (l)
Botol Stok III (m) Aquades (n)
Gambar 3.4 NaNO3 (a) Na2PO4 (b) Wadah Stok I (c) FeCL3 (d) EDTA2Na (e) Wadah
Stok II (f) Silikat (g) Wadah Stok III (h) Urea (i) Wadah Stok IV (j)
3.4.4 Pemeliharaan
volume bertingkat.
Kultur Murni skala cawan petri dikerjakan di dalam laboratorium pakan alami.
Sebelum melakukan kultur, meja dengan tangan terlebih dahulu disemprot dengan
alkohol 70 % dan alasi dengan tisu kemudian bunsen dinyalakan. Cawan petri yang
telah diautoclave di simpan di atas meja dan di alasi dengan tisu. Selanjutnya bibit
dituang ke dalam masing – masing cawan petri yang telah diisi dengan media agar
sebanyak 0,2 ml dan 0,4 ml (6 cawan petri yang berukuran 9 cm dan 15 cm). Cawan
petri direkatkan dengan parafilm lalu pinggir cawan petri dipanaskan di bunsen
kemudian media cawan petri disimpan di lemari kultur dan diberi label dengan sinar
lampu neon 220 – 240 watt. Alga dipelihara selama 7 hari pada suhu 16 0C.
Untuk pembuatan media agar yaitu menimbang bacto agar sebanyak 0,8 gram
kemudian dimasukkan kedalam Erlenmeyer volume 100 ml yang berisi air laut yang
24
telah di saring dengan volume air 50 ml setelah itu dipanaskan selama 15 menit
menggunakan hot plate. Kemudian didinginkan dan di beri pupuk NaNO3 dan FeCl3
sebanyak 1 ml, lalu silikat sebanyak 0,8 ml dan dihomogenkan, setelah itu dibagi 6
dituang kedalam cawan petri yang telah disiapkan. Dapat dilihat pada Gambar 3.5
Gambar 3.5 Menimbang Bacto Agar (a) Memanaskan Bacto Agar Menggunakan Hot
Plate (b) Media Agar Didinginkan (c) Pengambilan Pupuk (d) Pemberian
Pupuk (e) Penuangan Media Agar ke Cawan Petri (f) Memasukkan Bibit
Menggunakan Mikro Pipet (g) Bibit Thalassiosira sp. (h)
kemudian di beri natrium tioshulfate 2 ml kemudian diaerasi selama 1 jam lalu dites
menggunakan clorin test 2 tetes. Setelah netral diberi pupuk silikat 5 ml, FeCl 3 5 ml
dan NaNO3 5 ml dan diaerasi 5 menit sampai homogen. Kemudian air dialirkan ke
25
toples kosong volume 5 liter yang telah di pasangi saringan dan corong dan ditunggu
Kultur skala 250 ml dan 500 ml dikerjakan di dalam laboratorium pakan alami.
Sebelum melakukan kultur, meja dan tangan terlebih dahulu disemprot dengan
Erlenmeyer yang telah diisi dengan air media yang telah disterilkan sebanyak 100 –
150 ml dan 200 – 300 ml dan di autclove. Selanjutnya bibit dimasukkan ke dalam
erlenmeyer menggunakan jarum ose sebanyak 3 cawan petri ukuran 9 cm dan yang
ditutup dengan aluminium foil lalu mulut erlenmeyer dipanaskan di bunsen kemudian
di tambahkan plastik lalu diikat dengan karet lalu dipanaskan kembali dengan bunsen
setelah itu media erlenmeyer disimpan di lemari kultur. Alga dipelihara selama 5 hari
disimpan kembali ke dalam lemari kultur dengan sinar lampu neon 220 – 240 watt
Gambar 3.6 Menyaring Air Media Kultur (a) Memasukkan Air Media Kultur Ke
dalam Erlenmeyer (b) Erlemyer yang Telah Diisi Air Media Kultur (c)
Mengambil Bibit dari Cawan Petri (d) Bibit Telah di Masukkan ke
Erlenmeyer (e) Bibit Telah Dihomogenkan (f)
26
Air yang digunakan untuk kultur pada wadah toples terlebih dahulu disterilkan.
Air dialirkan dari tangki penampungan yang telah diberi kaporit 5 ppm lalu
dimasukkan ke dalam toples volume 5 liter sebanyak 3 liter menggunakan gelas ukur.
Air diberi natrium tioshulfate 3 ml lalu di aerasi selama 1 jam kemudian di tes
menggunakan clorin test 2 tetes. Setelah netral air diberi pupuk silikat 5 ml, FeCl 3 5
ml dan NaNO3 5 ml lalu diaerasi selama 5 menit sampai homogen. Air diberi bibit
sebanyak 500 ml lalu media toples diberi label kemudian ditutup dan diaerasi lalu di
simpan di rak kultur dan diberi sinar lampu neon 220 – 240 watt. Bibit dipelihara
selama 3 hari pada suhu 16 0C. dapat dilihat pada Gambar 3.7
(a) (b)
Gambar 3.7 Memasukkan Bibit ke dalam Toples 5 Liter (a) Toples Yang telah Diisi
Bibit (b)
Kultur skala 16 liter menggunakan wadah toples dan dikultur setelah bibit
selesai dikultur di toples skala 5 liter. Lalu mengisi toples dengan air laut yang
dialirkan dari tangki penampungan sebanyak 7 liter menggunakan gelas ukur yang
telah diberi kaporit 5 ppm lalu disimpan di dalam rak kultur dan diberi aerasi dengan
penutup toples. Air diberi natrium tioshulfate 5 ml dan diaerasi selama 1 jam
27
kemudian di cek menggunakan clorin test sebanyak 2 tetes. Setelah netral diberi
sebanyak 10 ml ke dalam toples dan di aerasi selama 5 menit agar homogen. Pada
rak kultur dipasangi lampu sebanyak 3 susun dan pipa aerasi. Media toples diberi
aerasi dan pelihara selama 3 hari pada suhu ruangan 16 0C. Kemudian dibagi menjadi
2 toples dan di pelihara selama 3 hari, lalu dibagi 5 toples dan dipelihara selama 2
hari, kemudian dibagi lagi menjadi 14 toples dan dipelihara selama 2 hari lalu di
Tangki yang akan digunakan untuk kultur diisi dengan air laut sebanyak 400
liter dan air tawar 50 liter agar memiliki salinitas 28 ppt. Setelah itu, dilakukan
pemberian kaporit 5 ppm/tank kemudian dibiarkan selama 24 jam dan diaerasi. Air
diberi natrium thiosulfate dengan dosis 3 ppm setelah itu diaerasi selama 1 jam dan di
cek menggunakan clorin test 2 tetes. Air diberi pupuk silikat 100 ml, FeCl 3 100 ml,
dimasukkan ke dalam tangki kultur sebanyak 3 toples atau 28,5 liter bibit
Thalassiosira sp. dan dipelihara selama 24 jam. Dapat dilihat pada Gambar 3.9
Gambar 3.9 Pengsian Air (a) Pengecekan salinitas (b) Pengambilan Pupuk (c)
Pemberian Pupuk (d) Pemberian Bibit (e)
Kultur skala massal dilakukan dengan cara mengisi bak beton dengan air yang
dialirkan langsung dari bak treatment sebanyak 7 ton air laut dan 1 ton air tawar
kemudian diberi kaporit 10 ppm/ton dan diaerasi selama 24 jam. Air diberi natrium
thiosulfate dengan dosis 5 ppm dan diaerasi selama 1 jam pengecekan menggunakan
chlorin test 2 tetes. setelah itu dilakukan pemberian pupuk silikat 200 ml/ton, FeCl3
200 ml/ton, NaNO3 200 ml/ton dan urea 100 ml/ton. Selanjutnya bibit ditransfer dari
bak intermedit ke bak massal sebanyak 1,5 ton. Pemeliharaan dilakukan selama 2
Gambar 3.10 Pengsisian Air (a) Pengecekan Salinitas (b) Pengambilan Pupuk (c)
Pemberian Pupuk (d) Pengsian Bibit (e)
29
Parameter kualitas air media kultur Thalassiosira sp. diukur menggunakan alat
yang telah ditentukan. Untuk pengukuran suhu menggunakan alat ukur thermometer
populasi yaitu pada hari ke 2 dengan cara menyambung pipa transfer dengan selang
dan pompa lalu membuka kran pada ujung pipa setelah itu pompa dinyalakan. Dapat
Gambar 3.11 Pemanenan Thalassiosira sp. (a) Pipa Transfer Thalassiosira sp. (b)
Thalassiosira sp. Yang Dimasukkan ke dalam Bak Pemeliharaan
Larva
Thalassiosira sp. pada kultur skala indor dan kultur skala outdor dapat dilihat pada
Persada Situbondo Jawa Timur, rumus yang digunakan untuk menghitung kepadatan
Tingkat kelangsungan hidup larva atau Survival Rate (SR) dapat dihitung
Keterangan:
Parameter kualitas air yang diamati terdiri dari suhu, salinitas dan pH.
31
kemudian disajikan dalam bentuk tabel atau grafik, dan selanjutnya dianalisa secara
deskriptif.
32
PT. Kawan Kita Kultur Perasada (KKKP) Situbondo, Jawa Timur merupakan
Perusahaan ini dibangun pada tanggal 14 April 1988 di Situbondo dan diresmikan
PT. Kawan Kita Kultur Persada (KKKP) terletak di Jalan Pantura RT.03
Jawa Timur. KKKP secara geografis terletak 1130 30’ – 1140 42 BT dan 70 35’ – 70
44’ LS. KKKP Situbondo memiliki batas wilayah sebelah barat berbatasan dengan
dan Kabupaten Banyuwangi, sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali dan sebelah
utara berbatasan dengan Selat Madura. Lokasi wilayah PT. KKKP Situbondo
memiliki luas lahan 800 m2 terdiri dari perkantoran, mes karyawan, unit pembenihan,
laboratorium, lapangan olahraga, tambak budidaya udang dan bak kultur pakan alami.
Kondisi Topografi wilayah PT. KKKP Situbondo adalah pantai dengan perairan
berakrang, pasir landai, berbatu dan tanah liat dengan ketinggian 0 – 500 m diatas
permukaan air laut dan berjarak 10 m dari tepi pantai Selat Madura dengan suhu pada
33
malam hari berkisar 30 – 310C, sedangkan pada siang hari berkisar antara 31 – 320C
dan salinitas 26 – 350C. Daerah Situbondo serta sekitar Situbondo memiliki iklim
tropis dengan musim kemarau Juli – Oktober, musim pancaroba sekitar April – Juni,
Visi dari dari PT. KKKP Situbondo adalah untuk menjadi unit pembenihan
benih udang putih berkualitas dengan memenuhi standar nasional agar dapat
Sedangkan misi dari PT. KKKP Situbondo adalah bergerak bersama berbagai
PT. KKKP Situbondo berupaya pada penyediaan bibit udang yang berkualitas
global, memberikan keuntungan lebih kepada para petambak udang Indonesia dan
sebagai bagian dari komitmen untuk secara terus menerus mendukung petambak serta
nasional.
struktur organisasi dan Tenaga Kerja di PT. KKKP Situbondo dapat dilihat pada
Gambar 4.1
DIREKTUR
Oetje Prasetyo Oetomo
KEPALA HATCHERY
Ede Suherlan Zaelani
MANAGER
PENGENDALIAN MUTU
Fitoplankton merupakan pakan alami yang baik bagi larva udang dan krustasea
lainnya pada fase awal pengenalan makanan karena mempunyai kandungan gizi yang
lengkap dan sesuai dengan bukaan mulut. Salah satu jenis fitoplankton yang
dibudidayakan yaitu Thalassiosira sp. yang merupakan pakan alami bagi larva udang
vaname. Pertumbuhan Thalassiosira sp. pada saat dilakukan kultur akan mengalami
500
450
kepadatan Thalassiosira sp.
400
perhari(...x 103) sel/ml
350
300
250
200
150
100
50
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Hari ke-
Sumber : Data PKPM PT. Kawan Kita Kultur Persada Situbondo, Jawa Timur 2020
terdiri dari fase adapatsi (lag phase), fase logaritmik (logarithmic phase), fase
36
(stationary phase) dan kematian (death phase) (Panggabean, 2006; 2009; Fauziah &
Hatta, 2015).
Gambar 5.1 menunjukkan pola pertumbuhan sel Thalassiosira sp. yang terdiri
dari Fase Lag atau Fase Adaptasi yaitu terjadi pada hari pertama (hari ke-1) yang
mana pada fase ini pertumbuhan fitoplankton dikaitkan dengan adaptasi fisiologis
salah satu faktor yang menentukan lamanya fase adaptasi adalah umur kultur yang
digunakan sebagai inokulan. Fase adaptasi akan menjadi lebih singkat atau bahkan
tidak terlihat jika sel-sel yang diinokulasikan berasal dari kultur yang berada dalam
fase eksponensial. Fase adaptasi juga dapat berlangsung singkat jika sel-sel yang
diinokulasikan cepat beradaptasi terhadap media kultur yang baru, mampu tumbuh
Pada hari ke-2 sampai hari ke-5 mengalami Fase Logaritmik yang merupakan
maksimal. Pada hari ke-6 dan ke-7 mengalami Fase Transisional yaitu fase
penurunan laju pertumbuhan dimana pada fase ini penambahan jumlah sel-sel
mengalami penurunan atau pertumbuhan berkurang. Pada hari ke-8 sampai hari ke-
11 mengalami Fase Stasioner dimana pada fase ini tidak ada penambahan jumlah
populasi mikroalga. Pada hari ke-12 sampai hari ke-14 terjadi Fase Kematian dimana
pada fase ini mengalami penurunan jumlah populasi mikroalga. Hal ini disebabkan
karena kualitas air memburuk dan nutrient habis sehingga tidak mampu menyokong
37
kehidupan Thalassiosira sp.. Jika alga masih tetap akan dipelihara maka biasanya
alga dipindahkan pada wadah kultur yang baru dengan volume yang lebih besar.
Hasil pengamatan populasi Thalassiosira sp. pada berbagai media kultur mulai
dari kultur skala laboratorium (indoor) sampai skala massal (outdoor) yang dilakukan
pada tiga kali kegiatan kultur, yaitu yang dimulai pada tanggal 17 Februari 2020
(Kultur I), tanggal 8 Maret 2020 (Kultur II) dan tanggal 9 Maret 2020 (Kultur III)
disajikan pada Gambar 5.2, 5.3, dan 5.4. sedangkan rincian data populasinya
480
430
Kepadatan Thalassiosira sp.
380
Perhari (...X103) sel/ml
330
280
230
180
130
80
30
-20
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Hari Ke-
Sumber : Data PKPM PT. Kawan Kita Kultur Persada Situbondo, Jawa Timur 2020
Gambar 5.2 Populasi Thalassiosira sp. pada Kultur I (17 Februari 2020)
38
870
770
Sumber : Data PKPM PT. Kawan Kita Kultur Persada Situbondo, Jawa Timur 2020
750
650
Kepadatan Thalassiosira sp.
550
Perhari (...X103) sel/ml
450
350
250
150
50
-50 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Hari Ke-
Sumber : Data PKPM PT. Kawan Kita Kultur Persada Situbondo, Jawa Timur 2020
Gambar 5.4 Populasi Thalassiosira sp. pada Kultur III (9 Maret 2020)
Pada Gambar 5.2, 5.3, dan 5.4. diatas menunjukkan bahwa ketiga kultur
populasi yang paling bagus terdapat pada kegiatan Kultur II (Gambar 5.3) karena
hanya memerlukan waktu 22 hari sudah bisa dipanen, sedangkan pada kegiatan
33 hari baru bisa dipanen. Pada kegiatan Kultur III (Gambar 5.4) terlihat bahwa pada
awal pertumbuhan cukup baik tetapi pada saat hari ke 20 mengalami penurunan dan
cepat dari pada Kultur I dan Kultur II. Kematian yang terjadi pada Kultur III
disebabkan oleh salinitas media kultur pada hari ke-20 (Toples 16 L/2) mencapai 30
ppt dan juga terdapat kontaminasi dari mikroorganisme lain yang tumbuh yaitu
Gambar 5.5 Kontaminasi Amoeba proteus pada Media Kultur Thalassiosira sp.
Ruliaty et al. (2018) menyatakan bahwa lamanya waktu kultur tergantung dari
jenis fitoplankton yang dikultur dan kondisi lingkungan media kultur. Jenis
Thalassiosira sp. memerlukan waktu 3-4 hari untuk bertumbuh dan mencapai puncak
40
pertumbuhan fitoplankton adalah cahaya, suhu, salinitas dan pH. Oleh karena itu,
diatur kondisi lingkungan dan sumber nutrient harus tersedia dalam jumlah yang
(1995) pertumbuhan mikroalga erat kaitannya dengan ketersediaan hara makro dan
Menurut Becker (1994) fase kematian terjadi ketika sel mikroalga mulai mati,
ditandai dengan menurunnya kepadatan populasi sel. Kematian sel mikroalga dapat
terjadi karena adanya perubahan kualitas air ke arah yang buruk, kondisi lingkungan
tidak lagi menguntungkan, unsur kultivasi terlalu lama dan terjadi penurunan
kandungan nutrisi dalam media kultivasi dan keterbatasan cahaya atau dapat
disebabkan oleh tumbuhnya mikroorganisme lain. Hal ini sesuai dengan hasil
pengamatan dikarenakan dengan faktor kualitas air salinitasnya terlalu tinggi ini
sesuai dengan pendapat Sylvester et al., ( 2002), bahwa salinitas yang terlampau
tinggi atau rendah dapat menyebabkan tekanan osmosis di dalam sel menjadi lebih
rendah, sehingga aktifitas sel terganggu. Hal ini mempengaruhi protoplasma sel dan
menurunkan kegiatan enzim di dalam sel. Selain itu ada mikroorganisme lain yang
kasus kontaminasi tersebut terjadi karena kesalahan dalam melakukan sterilisasi alat
Dosis pupuk yang digunakan, baik untuk skala indoor maupun outdor sesuai
dengan SOP perusahaan dapat dilihat pada Tabel 5.1 dan 5.2 di bawah ini.
Tabel 5.1 Jumlah pupuk untuk kultur Thalassiosira sp. pada skala laboratorium
Jenis Jumlah Pupuk (Dosis)
Pupuk Cawan Petri Erlenmeyer Toples Toples
(500 ml) (5 L) (16 L)
NaNO3 0,7500 1,8750 1,8750 12,0000
Na2HPO4 0,0500 0,1250 0,1250 0,8000
Silikat 0,7600 1,9000 1,9000 1,2160
FeCl3 0,0150 0,0375 0,0375 0,2400
EDTA 0,0218 0,0545 0,0545 0,3488
ZnSO4 0,0022 0,0055 0,0055 0,0352
MnCl2 0,0100 0,0250 0,0250 0,1600
CuSO4 0,0098 0,0245 0,0245 0,1568
NaM0O4 0,0063 0,0157 0,0157 0,1008
CoCl2 0,0100 0,0250 0,0250 0,1600
Sumber : Data PKPM PT. Kawan Kita Kultur Persada Situbondo, Jawa Timur 2020
Keterangan: Untuk Erlenmeyer 500 ml sama dosisnya dengan toples 5 liter karena
sebelum dimasukkan ke Erlenmeyer 500 ml di masukkan terlebih
dahulu ke dalam toples 5 liter untuk diberi pupuk dan disaring kemudian
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 500 ml.
42
Tabel 5.2 Jumlah pupuk untuk kultur Thalassiosira sp. pada skala intermediet dan
skala massal
Pada Tabel 5.1 dan 5.2 menunjukkan dosis yang digunakan untuk skala
indoor dan outdoor untuk kultur Thalassiosira sp. membutuhkan berbagai macam
unsur anorganik, baik sebagai makro nutrient maupun mikro nutrient. Unsur makro
nutrient terdiri dari N, P, K, C, Si, S dan Ca serta unsur mikro nutrient terdiri dari Fe,
Zn, Cu, Mg, Mo, Co, B (Sylvester et al., 2002; Edhy et al., 2003; Cahyaningsih,
2009).
Fungsi dan kegunaan dari pupuk ini yaitu Unsur N merupakan komponen
utama dari protein sel yang merupakan bagian dasar kehidupan organisme. Nitrogen
yang dibutuhkan untuk media kultur terdiri dari beberapa subtansi berikut : KNO 3;
NaNO3; NH4C; (NH2)CO (urea) dan lain-lain. Unsur P sangat di butuhkan dalam
proses protoplasma dan inti sel. Fosfor juga merupakan dasar pembentukan asam
nuklet, fosfolipid, enzim, dan vitamin. Dengan demikian fosfor sangat yang
dibutuhkan pada kultur mikroalga dapat di peroleh dari KH 2PO4; NaH2PO; Ca3PO4;
(TSP) dan lain-lain (Sylvester et al., 2002; Edhy et al., 2003; Cahyaningsih, 2009).
43
penting dalam kegiatan metabolisme dan aktifitas lainnya. Karbon juga diperlukan
sebagian besar bersifat anorganik dalam bentuk CO2 dan bicarbonate. Silika
(diatom) dalam proses asimilasi. Sulfur juga merupakan salah satu elemen penting
yang dibutuhkan dalam pembentukan protein. Sulfur untuk media kultur alga dapat
diperoleh dari NH4SO4 (ZA); CuSO4 dan lain-lain. Unsur CA berperan dalam
anatara lain adalah CaCl2 dan Ca(NO3)2 (Kurniastuty dan Julianasary, 1995 dalam
esensial dalam proses oksidasi. Unsur besi juga merupakan bahan dasar sitokrom dan
heme atau nonheme protein, kofaktor untuk beberapa enzim. Pada kultur alga dapat
diperoleh dari FeCL3, FeSO4 dan FeCaH5O7. Unsur Zn juga dibutuhkan oleh
mikroalga yang berasal dari sumber mineral ZnCl 2 dan ZnSO4. Unsur Cuprun yang
dibutuhkan oleh mikroalga biasanya bersumber dari mineral yaitu CuSO 45H2O.
unsur Magnesium merupakan kation sel yang utama dan bahan dasar klorofil. Kation
sel utama, kofaktor anorganik untuk banyak reaksi enzimatik berfungsi di dalam
penyatuan substrat dan enzim. Unsur molibdenum dibutuhkan oleh mikroalga dapat
diperoleh dari CoCl2. Unsur boron dibutuhkan mikroalga dalam bentuk H3BO3
Pada Tabel 5.3 di atas menunjukkan tingkat kelangsungan hidup larva pada
setiap stadia tergolong tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Iskandar dan Khairul
(2008) yang mengemukakan bahwa survival rate yang dihasilkan larva dengan rata –
rata 30%.
sifat saling memangsa atau biasa disebut dengan sifat kanibalisme. Larva udang
vaname yang sehat cenderung menyerang udang yang lemah terutama pada saat
moulting (ganti kulit). Pergantian kulit ditandai dengan seringnya udang muncul pada
45
Pemberian pakan alami Thalassiosira sp. ini dilakukan dua kali sehari yaitu
pada jam 08.00 dan 14.00 dengan cara Thalassiosira sp. di transfer ke bak
pemeliharaan menggunkan pompa 2 hp dan melewati pipa 1,5 inci. Pada stadia Zoea
kuning telur larva atau cadangan makananya sudah habis maka pelu dilakukan
pemberian pakan alami yaitu Thalassiosira sp. dengan standar SOP PT. Kawan Kita
Kultur Persada pemberian sel/ml setiap stadia berbeda-beda pada stadia Zoea 1 yaitu
20.000 sel/ml, Zoea 1 – Zoea 2 yaitu 25.000 sel/ml, Zoea 2 yaitu 35.000 sel/ml, zoea
3 yaitu 40.000 sel/ml. Memasuki Zoea Mysis yaitu 40.000 sel/ml, Mysis 1 yaitu
35.000 sel/ml, Mysis 2 yaitu 30.000 sel/ml, Mysis 3 yaitu 20.000 sel/ml. Memasuki
stadia Mysis Post Larva yaitu 15.000 sel/ml dan stadia Post Larva yaitu 10.000
sel/ml. Pakan alami jenis Thalassiosira sp. ini memiliki kandungan nutrisi yaitu
protein 20%, karbohidrat 17%, lemak 10% dan mineral 38%. (Purba, 2008).
Hasil pemantauan secara umum kualitas air pada media kultur Thalassiosira sp.
skala indoor dan skala outdoor dapat dilihat pada Tabel 5.4 dan Lampiran 5.
Tabel 5.4 Hasil pengukuran kualitas air pada kultur Thalassiosira sp.
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa hasil pengukuran kualitas air pada kultur
Thalassiosira sp. antara kultur skala indoor dan outdoor terdapat perbedaan kisaran
kualitas air. Adanya perbedaan ini diduga disebabkan oleh tempat yang berbeda
dimana pada kultur skala indoor dilakukan di dalam ruang yang tertutup sedangkan
untuk skala outdoor dilakukan di tempat yang terbuka. Kondisi media kultur,
cahaya, pH, salinitas, aerasi, dan suhu sangat mendukung terjadinya pembelahan sel
Thalassiosira sp..
Suhu yang rendah pada kultur skala indoor bertujuan untuk menghasilkan bibit
alga yang memiliki umur yang panjang dibandingkan dengan suhu yang tinggi.
suhu diatas 35 0C mampu mematikan beberapa spesies algae. Untuk menjaga suhu
temperature ruangan dan intensitas cahaya. Pada kultivasi mikroalga skala massal
yang dilakukan di luar ruangan, suhu sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca.
menggunakan cahaya matahari yang selain berfungsi sebagai sumber cahaya untuk
2015 dalam Ridawati 2015). Hal ini sesuai dengan pendapat Kurniawan (2009)
dalam Ridawati (2015) bahwa fungsi cahaya untuk kultur algae yaitu untuk proses
47
Semakin tinggi kepadatan dan kedalaman kultur, intensitas cahaya yang dibutuhkan
Meskipun terdapat perbedaan salinitas media kultur antara indoor dan outdoor,
tetapi perbedaan tersebut masih berada pada kisaran yang dapat ditolerin oleh alga.
Hal ini sesuai dengan pendapat Sylvester et al. (2002) bahwa salinitas yang optimum
Kisaran pH saat kultur Thalassiosira sp. skala indoor dan outdoor berada pada
kisaran yang optimum. Untuk mempertahankan pH maka pada wadah kultur diberi
aerasi. Adapun fungsi dari pemberian aerasi yaitu untuk mengaduk alga agar tidak
nutrien, mengurangi terjadinya pelapisan suhu, serta menambah pertukaran gas antara
media dan udara. Batas pH untuk pertumbuhan jasad merupakan suatau gambaran
dari batas pH bagi kegiatan enzim. Jika suatu enzim menunjukkan kegiatannya pada
berubah. pH optimum untuk kultivasi diatom adalah kisara 7–8 (Sylvester et al.,
6.1 Kesimpulan
a. Thalassiosira sp. memiliki lima fase yaitu fase adaptasi pada hari pertama, fase
logaritmik pada hari ke dua, tiga, empat dan lima, fase penurunan laju
pertumbuhan pada hari ke enam dan tujuh, fase stasioner pada hari ke delapan,
sembilan, sepuluh dan sebelas dan fase kematian pada hari ke dua belas, tiga belas
yang berbeda dan waktu panen yang berbeda, mulai dari 22 hari sampai 33 hari;
c. Salinitas yang tinggi melewati batas optimum dan kontaminasi Amoeba proteus
d. Parameter kualitas air pada media pemeliharaan Thalassiosira sp. sesuai SOP
masih dalam kisaran yang optimum yaitu pada suhu skala indoor suhu 16–24 0C,
salinitas 28 ppt, dan pH 7,2–8,1, sedangkan pada skala outdoor suhu 29–32 0C,
e. Jenis pupuk yang digunakan dalam kultur Thalassiosira sp. adalah NaNO3,
Na2HPO4, silikat, FeCl3, EDTA, ZnSO4, MnCl2, CuSO4, NaM0O4, dan CoCl2, dan
untuk skala outdor pupuk yang digunakan yaitu NaNO3, Na2HPO4, silikat, FeCl3,
Thalassiosira sp. pada stadia Zoea berkisar 94–100%, Mysis berkisar 80–89 %
dan PL 78%.
6.2 Saran
pemberian nutrisi yang cukup dan menjaga lingkungan agar tidak terjadi kelambatan
DAFTAR PUSTAKA
Bold, H.C & Wynne, M. J., 1985. Introduction to the algae. New Jersey. Prentice
Hall Inc., 720 p.
Bonen, L. & DOOlitle, W. F., 1975. On the prokaryotic nature of red algal
chloroplasts. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United
States of America, 72(6): 2310-2314, ISSN:0027-8424,
DOI:10.1073/pnas.72.6.2310.
Boyer, J. N.; Kelble, C, R.; Ortner, P.B. & Rudnick, D. T,. 2009. Phytoplankton
blomm status: Chlorophyll a biomass as an indicators, of water quality
condition in the southern wstuaries of florida, USA. Ecological Intodicators, 9
(6 SUUPL.): 56 – 67, ISSN: 1470160X, DOI: 10.1016/j.ecolind.2008.11.013.
Edhy, W.A,. 2003. Plankton di lingkungan PT. Central Pertiwi Bahari. PT. Central
Pertiwi Bahari. Tulang Bawang.
Fauziah, F & Hatta, M., 2015. Pengaruh Pemberian Kascing (bekas cacing) dengan
dosis yang berbeda dalam kultur skelemtonema costatum. Acta Aquatic:
Aquatic Sciences Journal, 2 (1), ISSN: 2406-9825, DOI:
10,29103/AA.V211.346.
Prihantini, N.B. 2005. Pertumbuhan Chlorella spp. Dalam medium ekstrak tauge
(MET) dengan variasi pH awal: Makara, Sains. Vol 9 (1): 1-6.
Ridawati. (2015). Teknik Kultur Thalassiosira sp untuk pakan alami larva udang
vaname Litopenaeus vannamei (Bonne) PT. Central Pertiwi Bahari Takalar
Sulawesi Selatan. Tugas Akhir, 1-9.
ITIS Report, 2008. Thalassiosira Pseudonana hales & heim TSN 2509. ITIS Report.
Sylvester, B., D.D Nelvy, dan Sudjiharno. 2002. Persyaratan Budidaya Fitoplankton.
Budidaya Fitoplankton dan zooplankton. (Prosiding) Proyek Pengembangan
Perekayasaan Teknologi Balai Budidadaya Laut Lampung Tahun 2002. Hal 24-
36
52
LAMPIRAN
53
= 10.000 sel/ml
Bila kepadatan selnya terlalu tinggi, perhitungannya menggunakan rumus:
Kepadatan Thalassiosira sp. = jumlah sel 1 kotak 𝑥 10.000 𝑠𝑒𝑙/𝑚𝑙
= 89 x 10.000 sel/ml
= 890.000 sel/ml
57
RIWAYAT HIDUP