Anda di halaman 1dari 2

Ada kedekatan makna antara istilah ‘modern’ dan ‘kontemporer’.

Apabila istilah ‘modern’ sejatinya


berarti ‘baru saja’ (modo), istilah ‘kontemporer’ sebetulnya bermakna ‘sezaman’ atau mengacu pada
sesuatu yang tengah berlangsung. Bagian ini akan membahas riwayat estetika di era kontemporer yang
utamanya mengacu pada estetika abad ke-20. Namun dalam banyak cabang seni, umpamanya seni rupa,
abad ke-20 disebut sebagai masa Modern. Karenanya, lukisan Picasso di awal abad ke-20 disebut
sebagai ‘karya seni Modern’. Tidak demikian halnya ketika kita sedang membicarakan estetika. Sebagai
suatu ranah kajian filsafat, estetika mengikuti kaidah pembabakan dalam sejarah filsafat yang
menempatkan abad ke-20 sebagai era kontemporer alih-alih Modern. Sebabnya era Modern sudah
terlanjur secara konvensional diartikan sebagai suatu era pemikiran yang merentang sejak abad ke-17
hingga akhir abad ke-19.

Namun pembabakan dan kategori semacam ‘era kontemporer’ merupakan hasil konvensi semata.
Pembabakan dan kategorisasi itu selalu dapat diretas manakala dirasa perlu. Demikian pula dalam
bagian ini, kita akan membahas estetika kontemporer tidak dengan mengawalinya di permulaan abad
ke-20, melainkan di sekitar pertengahan abad ke-19. Pelonggaran kategori semacam ini perlu dilakukan
agar kita dapat mensituasikan wacana estetika kontemporer dalam konteks historisnya yang sesuai.

Dalam bagian sebelumnya, penulis sudah membahas perkembangan estetika sejak abad ke-17 hingga
akhirnya memuncak pada anak-anak zaman Romantik di akhir abad ke-19, yakni tentang bagaimana
romantisisme beranak-pinak ke dalam ekspresivisme, estetisisme dan formalisme. Ada sebuah
pendekatan estetika yang juga berpengaruh yang belum sempat dikupas di sana. Apa yang belum
dibedah di sana tak lain ialah saudara kandung romantisisme sendiri, yakni realisme.

Realisme dan romantisisme, apabila kita periksa dalam sejarah pemikiran yang melahirkannya, dapat
dilihat sebagai sepasang saudara kandung yang tak pernah akur. Keduanya sama-sama terlahir dari
perdebatan tua dalam sejarah estetika berkenaan dengan hubungan antara karya seni dan kenyataan.
Dengan kata lain, di balik pembelahan antara kedua kubu estetik itu terletak problem kuno estetika:
perkara mimēsis.

Estetika Yunani Klasik mewariskan pada kita anggapan umum bahwa setiap karya seni adalah tiruan atas
kenyataan. Makanya, seni merupakan perkara teknik mereproduksi kenyataan yang melibatkan ilmu
pengetahuan (berciri rasional) dan memiliki kegunaan bagi masyarakat (berciri fungsional). Anggapan ini
mulai digugat sejak masa Renaisans. Pemilahan antara kenyataan objektif dan subjektif oleh Galileo
Galilei menjadi benih bagi perpecahan estetika Klasik dan Romantik. Apabila sains nyatanya lebih
mampu mereproduksi kenyataan objektif, maka apa yang bisa disumbangkan seni?
Kaum Romantik menjawabnya dengan membuang pakem estetika Klasik dan membuat seni menjadi
perkara subjektif (non-rasional, non-fungsional). Para estetikawan pasca-Romantik seperti kaum
estetisis dan formalis meradikalkan jawaban itu lebih jauh: seni mesti otonom dari kegunaan dan nilai-
nilai (dan karenanya, otonom dari masyarakat). Namun para estetikawan Klasik di era Modern
menyimpan jawaban lain. Merekalah yang mewujud ke dalam gerakan realisme seni dan
mempertahankan pengertian mimetik, fungsional dan rasional seni. Hanya saja, kaum realis ini
mengartikan ulang kenyataan objektif sebagai kenyataan sosio-historis. Inilah yang dilakukan
estetikawan realis seperti Hippolyte Taine, John Ruskin dan N.G. Chernyshevsky.

Pendekatan realis dalam estetika inilah yang nantinya mengemuka ke dalam tradisi besar estetika
Marxis yang amat berpengaruh di abad ke-20. Sebagian besar dari para estetikawan Marxis awal
menunjukkan bahwa seni bertugas mencerminkan kenyataan sosial dan memberikan sumbangan pada
perbaikan kondisi sosial. Mereka kemudian menganalisis kerja seni sebagai bagian dari penjelasan
tentang pembagian kerja dalam masyarakat. Dengan itu, mereka menolak konsepsi tentang seniman
sebagai individu jenius yang diyakini oleh kaum Romantik. Estetika Marxis dan tradisi realis yang
dikandungnya, oleh karena itu, merupakan reinkarnasi kontemporer dari estetika Klasik.

Demikianlah, abad ke-20 dibuka dengan pertarungan antara tradisi Klasik yang diwakili oleh estetikawan
realis dan Marxis melawan tradisi Romantik yang diwakili oleh estetikawan formalis, estetisis dan
ekspresivis. Tradisi Romantik itulah yang kemudian mewujud kembali dalam pendekatan fenomenologis
dan pasca-modernis. Namun dalam interaksi kultural yang kian campur-baur, kita pun menemukan
percampuran antara tradisi Klasik yang menubuh dalam estetika Marxis dan tradisi Romantik yang
menubuh dalam estetika fenomenologis dan pasca-modernis. Karenanya, kita akan menemukan
sebagian estetika Marxis kontemporer yang dekat dengan tradisi Romantik, begitu juga dengan sebagian
estetika pasca-modernis yang dekat dengan tradisi Klasik. Percampuran inilah yang menjadi fakta
historis perdebatan estetika dewasa ini. Hampir tak ada seorang estetikawan pun di awal abad ke-21 ini
yang dapat mengklaim dirinya seorang Klasisis atau Romantik dalam pengertian yang mutlak dan murni.
Percampuran inilah yang juga kita temukan dalam pendekatan estetika feminis dan Analitik.

Namun terlepas dari percampuran seperti itu, kita tetap memperoleh peta besarnya. Panorama estetika
kontemporer tetaplah dikondisikan oleh pembelahan utama antara pakem estetika Klasik dan Romantik.
Apa yang akan menjadi fokus dalam bagian ini adalah penjernihan genealogi konseptual dari beragam
posisi estetika kontemporer. Tujuannya tak pelak lagi adalah agar kita memperoleh gambaran tentang
kenyataan diskursus estetika hari ini dalam tautan historisnya dengan sejarah estetika sejak era Yunani.
Mengetahui masa kini dan tempat kita berpijak di hari ini mensyaratkan pemahaman tentang hubungan
antara masa kini dan masa lalu. Dengan kata lain, ciri ‘kontemporer’ dari estetika kontemporer adalah
sesuatu yang dimungkinkan sekaligus dibatasi oleh sejarahnya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai