Anda di halaman 1dari 10

analisis kasus cineplex 21 dan omega film

Latar Belakang Masalah

Grup cineplex 21 merupakan salah satu perusahaan penyediaan jasa


hiburan dalam bidang film di Indonesia. Bioskop 21 (Cineplex 21 Group) adalah
sebuah jaringan bioskop di Indonesia, dan merupakan pelopor jaringan cineplex
di Indonesia (wikipedia:2013). Saat ini jaringan bioskop grup ini sudah tersebar
dibeberapa kota besar di seluruh Indonesia, dimana sebagian besar di
antaranya terletak di dalam pusat perbelanjaan, dengan film-film holywood dan
Indonesia sebagai menu utama. Seiring dengan tuntutan perkembangan
zaman. Pada saat ini Cineplex 21 Group telah melakukan sejumlah
pembaharuan dengan membentuk jaringan bioskop terpisah, yakni Cinema
21, Cinema XXI, The Premiere, dan IMAX untuk target pasar berbeda. Ditengah
kesuksesannya, grup cineplex 21 dihadapkan oleh permasalahan tidak
masuknya impor film hollywood ke Indonesia. hal ini terjadi dikarenakan
adanya kebijakan dari direktorat jenderal bea cukai untuk menerapkan bea
masuk atas hak distribusi film impor yang ditentang oleh Motion Picture
Association of America (MPAA) dan Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia
(Ikapifi) (tempo.co:2013). Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik
mengatakan, pajak impor film di Indonesia akan naik hampir seratus persen.
Menurutnya, kebijakan kenaikan pajak impor film itu diambil pemerintah agar
film di Indonesia semakin banyak, baik, dan variatif
(bisnis.news.viva.co.id:2013).

Disisi lain, dua perusahaan impor film terbesar, PT Camila Internusa Film
dan PT Satrya Perkasa Estetik memiliki tunggakan pajak yang belum
dibayarkan. Hal ini tentu mengakibatkan adanya kesulitan bagi perusahaan
impor untuk mengimpor film hollywood. Sementara bagi importir yang sudah
membayar tunggakan pajak maka dapat kembali impor film
Hollywood. Ketidakhadiran film hollywood menyebabkan terjadinya penurunan
benefit yang disebabkan oleh sepinya pengunjung bioskop, yang tentu saja
berdampak negatif pada grup cineplex 21. Sampai suatu ketika, film hollywood
kembali dimunculkan oleh distribusi dari perusahaan impor film baru, bernama
omega film. Kemunculan film ini menimbulkan banyak tudingan terhadap grup
cineplex 21. Masyarakat berasumsi bahwa untuk terbebas dari jerat
kebangkrutan, grup cineplex 21 akhirnya membuat perusahaan impor, yaitu
omega film. PT Omega Film adalah perusahaan baru yang didirikan 17 Januari
2011 di depan notaris Ilmiawan Dekrit S.H. dengan lingkup usaha perfilman dan
perekaman video. Perusahaan ini marak disebut-sebut oleh sejumlah
pengusaha perbioskopan sebagai perusahaan topeng di balik terjeratnya
importir film milik kelompok usaha 21 Cineplex, Camila Internusa Film dan PT
Satrya Perkasa Esthetika Film (bisnis.kepri.com:2013).

Sementara itu Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N)


mengingatkan pelaku usaha perfilman secara tegas dilarang memiliki usaha
perfilman yang dapat mengakibatkan hubungan langsung maupun tidak
langsung untuk menghindari praktik monopoli. Ketentuan larangan tersebut
secara jelas diatur dalam UU No.33 Tahun 2009 tentang Perfilman yang salah
satu pasalnya menyebutkan pelaku usaha perfilman, diantaranya mencakup
pelaku usaha pertunjukan film (bioskop) maupun pelaku usaha impor film.
Meskipun diduga kuat melanggar UU tersebut, grup cineplex 21 tidak terjerat
hukum sama sekali, meski pada akhirnya omega film, perusahaan yang
disangkal oleh cineplex 21 sebagai miliknya itu diblokir oleh pemerintah.

BAB I Analisa
Berhentinya film hollywood tayang di bioskop Indonesia tampaknya
berpengaruh besar terhadap perusahaan penyedia jasa bioskop serta publik
yang senang menonton film hollywood. Omega film seolah-olah menjadi
pahlawan publik serta bioskop 21. Namun keberadaannya mengundang
tudingan negatif terhadap grup cineplex 21. Jika dilihat dari PR’s pillars maka,
analisisnya adalah sebagai berikut:
- Non-maleficence(to do no harm)
Berdasarkan analisis penulis, terlepas dari benar atau tidaknya terdapat
monopoli pasca terhambatnya film hollywood masuk ke Indonesia oleh cineplex
21, maka, sebenarnya hadirnya film bioskop 21 justru membuat publik puas,
apalagi kembali hadirnya film hollywood diawali oleh film seri terakhir Harry
Potter, Harry Potter and the Deathly Hallows: Part 2 - disusul Trasformers: Dark
of the Moon yang ditunggu kehadirannya oleh penggemar film hollywood.
Kasus dugaan monopoli grup cineplex 21 sebenarnya menyakiti sejumlah
pengusaha perbioskopan lain di Indonesia. meskipun memang grup cineplex
mendominasi film hollywood tetap saja, pengusaha perbioskopan lain merasa
dirugikan jika memang omega film adalah kepunyaan grup cineplex. Hal ini
disebabkan oleh adanya persaingan yang tidak sehat diantara mereka. David
Hilman, Presiden Direktur PT Graha Layar Prima (Blitzmegaplex) mengatakan,
terafiliasinya Omega dengan Grup 21 Cineplex membuat bisnis film tidak sehat.
“Pemainnya itu-itu saja. Harusnya lebih fair dan tidak memonopoli,”
keluhnya.(industri.kontan.co.id:2013).

- Beneficence (to do good)


Grup cineplex 21 melakukan sesuatu yang baik, karena akhirnya mereka
menemukan jalan untuk menayangkan film hollywood kembali. Kita memang
tidak bisa menampik kenyataan bahwa film hollywood memegang peranan
sangat penting dalam mengundang pengunjung bioskop. Namun, disisi lain, jika
omega film merupakan perusahaan buatan grup cineplex 21 untuk
menyelamatkan mereka dari kebangkrutan, maka ini berarti grup cineplex 21
telah melakukan hal buruk, yaitu memonopoli, yang tentu saja merugikan
perusahaan perbioskopan lain.
- Confidentiality (to respect privacy)
Berdasarkan pengamatan penulis, kasus grup cineplex 21, tidak mengganggu
privasi siapapun, mulai dari pesaingnya, pemerintah, perusahaan pengimpor
film serta masyarakat penikmat film.
- Fairness(to be fair and socially responsible)
Kasus dugaan adanya monopoli oleh cineplex 21 jelas menimbulkan
ketidakadilan, terutama untuk pengusaha pebioskop lain di Indonesia.
sebenarnya kesenjangan dan monopoli sudah mulai terlihat dari betapa kuatnya
hegemoni cineplex 21 di Indonesia. hal ini dilihat dari jumlahnya sendiri, cinema
21 memang mendominasi, dari 172 unit bioskop di Indonesia, perusahaan
cineplex 21 menguasai 130 diantaranya (finance.detik.com:2013). belum
adanya perusahaan yang sebanding dengannya membuat grup cineplex 21
dianggap memonopoli, apalagi ditambah dengan adanya kasus ini, tentu saja,
hal ini menambah ketidakadilan pada pihak pebioskop Indonesia lain. mereka
semakin kesulitan dalam mengembangkan usahanya. Bisnis persaingan film
yang tidak sehat tentu saja sangat tidak adil
a) Veracity (to tell the truth)
Didalam salah satu artikel di tempo.co, penulis menemukan bahwa Omega
didirikan tak lama setelah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melayangkan
tagihan pada 12 Januari lalu kepada tiga perusahaan importir Grup 21, yakni PT
Camila Internusa Film, PT Satrya Perkasa Esthetika Film, dan PT Amero Mitra
Film. Hasil audit Bea dan Cukai menemukan bahwa ketiganya kurang
membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor periode 2008-2010. Nilai
piutang plus dendanya mencapai lebih dari Rp 310 miliar. terkait dengan
kemunculan omega yang tiba-tiba itu, perusahaan cineplex dituduh membuat
perusahaan tersebut. Namun ketika media meminta konfirmasi, pihak cineplex
21 justru diam. Setelah beberapa saat barulah akhirnya pihak 21 Cineplex
memberikan penjelasan hubungan antara 21 dengan Omega Film. "Kami dalam
kepemilikan saham berbeda, tapi kami erat dalam operasionalnya dalam
menjalankan edar film, pihak Omega mensuplai film, dan kami pihak 21
memainkan filmnya," (m.viva.news.co.id:2013). Dan kemudian direktur Grup
21 mengungkapkan bahwa mereka memang tidak punya saham di Omega.
Namun, memang pemilik Omega ada hubungan saudara dengan pemegang
saham 21. Menurutnya, hal itu tidak melanggar aturan di Indonesia sebab Grup
21 tak akan melakukan monopoli (industri.kontan.co.id). Berdasarkan artikel
tersebut penulis menganalisis bahwa perusahaan cineplex mendapat serangan
yang dahsyat dari media, namun karena tidak ditanggapi dengan cepat, PT
cineplex 21 akhirnya publik menganggap tuduhan itu memang benar adanya,
sehingga dapat dikatakan grup cineplex 21 tidak mengatakan yang sebenarnya.
Analysis of values:
a. Stakeholder value
Stakeholder dari cineplex 21 diantaranya, pemerintah, perusahaan
pengimpor film, masyarakat, perusahaan saingan, karyawan. Didalam kasus ini,
penulis akan membahas stakeholder value yang berhubungan langsung dengan
perusahaan cineplex 21, diantaranya: memaksimalkan interest dari stakeholder
- Pemerintah
Pemerintah merupakan stakeholder yang mengatur perizinan akan film yang
akan ditayangkan, pada kasus ini pemerintah memiliki andil yang besar didalam
terhambatnya film hollywood masuk ke Indonesia. seperti yang sudah dibahas
sebelumnya, pemerintah sendiri menganggap bahwa telah terjadi persaingan
tidak sehat pada perusahaan perbioskopan di Indonesia. Oleh
karenanya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) akhirnya mencoba
menyelidiki keterkaitan perusahaan cineplex 21 dengan perusahaan omega
film. Berdasarkan berita, Dirjen Bea Cukai Agung Kuswandono mengungkapkan
“Bisa, secara prosedural dia sudah memenuhi, tapi di belakang kita masih
periksa mengenai keberadaannya, auditibility-nya, eksitensinya. Makanya kita
cek apakah dia harus membuat suatu pernyataan bahwa dia tidak terkait
dengan yang 3 itu kalau iya kita belum berikan kesempatan untuk
mengimpor,"(ctjemas.beacukai.go.id:2013)
Dari komentar tersebut, penulis menilai ternyata dari sisi pemerintahpun
menganggap grup cineplex 21 telah melanggar etika dan hukum yang berlaku,
sehingga akhirnya mereka melakukan penyelidikan terhadap kedua perusahaan.
- Perusahaan pengimpor film
Camila Internusa Film dan PT Satrya Perkasa Esthetika Filmmerupakan
pengimpor utama film hollywood untuk grup cineplex 21. Film hollywood
sempat terhambat masuk ke bioskop 21 disebabkan oleh adanya masalah yang
dibuat oleh kedua perusahaan ini dengan pihak bea cukai. Secara tidak
langsung, permasalahan kedua perusahaan berimbas kepada grup cineplex 21.
Adapun pandangan dan komentar dari kedua perusahaan ini tidak penulis
temukan di website berita online. Penulis berasumsi bahwa bahwa kepekaan
tanggung jawab kedua perusahaan kepada stakeholdernya kurang, sehingga
pada akhirnya didalam kasus cineplex 21 pun kedua perusahaan lebih memilih
bungkam.
- Perusahaan pesaing
Perusahaan pesaing grup cineplex 21 adalah perusahaan,Blitzmegaplex. Dari
sisi perusahaan ini, perusahaan menilai bahwa telah terjadi pelanggaran etika,
yaitu deontological ethics. Mereka menganggap bahwa perusahaan tidak
melakukan kewajiban untuk melakukan hal yang benar, perusahaan cineplex
dipandang sebagai perusahaan yang bersaing secara tidak sehat dan
memonopoli.
- Masyarakat
Dari sisi masyarakat, tampaknya sebagian besar masyarakat tidak begitu peduli
dengan adanya monopoli atau tidak, mereka menganggap hal tersebut etis saja
karena sudah memenuhi utilitarianism ethics, dimana cineplex 21 telah
memaksimalkan kebaikannya sebagai penyedia jasa film hollywood sehingga
masyarakat banyak dapat menonton film hollywood lagi.
b. Professional value
Selain dari sisi stakeholder, penulis menganalisa bahwa ternyata juga terdapat
profesional value yang dilanggar oleh public relation dari cineplex 21.
Berdasarkan komentar dari direktur cineplex sendiri,Grup 21 tidak punya saham
di Omega, dia menegaskan, Omega bukanlah importir bermasalah. Namun,
memang pemilik Omega ada hubungan saudara dengan pemegang saham 21.
Menurutnya, hal itu tidak melanggar aturan di Indonesia sebab Grup 21 tak
akan melakukan monopoli (industri.kontan.co.id). Berdasarkan pengamatan
penulis, peran public relation terwakili oleh pernyataan dari direktur omega
cineplex 21.
Adapun public relation perusahaan cineplex 21, menurut penulis telah
melanggar kode etik public relation, pasal tiga ayat satu, dimana public relation
menjalankan kegiatan profesi kehumasan dengan memperhatikan kepentingan
masyarakat serta harga diri anggota masyarakat. Penulis menilai public relation
perusahaan cineplex 21 dalam menjalankan tugasnya kurang memperhatikan
aspek kepentingan masyarakat. Dimana dengan monopoli yang dilakukan oleh
cineplex 21, berdampak negatif terhadap bisnis bioskop masyarakat Indonesia
yang lain. Akibat hegemoni grup cineplex 21, masyarakat yang ingin berbisnis
dibidang itu menjadi kehilangan kesempatan untuk berkarya.
Selain itu, public relation perusahaan cineplex juga melanggar kode etik PR
pasal tiga ayat dua, dimana public relation tidak menyebarluaskan informasi
yang tidak benar atau yang menyesatkan sehingga dapat menodai profesi
kehumasan.Menurut analisa penulis, public relation telah menyebarluaskan
informasi yang tidak benar, dimana saat itu direktur menyatakan bahwa omega
film dan perusahaan cineplex 21 tidak memiliki hubungan. Namun setelah itu
mereka mengklarifikasi bahwa ternyata mereka memang tidak memiliki
hubungan bisnis namun diantara pemilik omega dan kedua perusahaan terdapat
hubungan saudara.
c. Personal value
Dari sisi personal value public relation, penulis menilai public relation dari
perusahaan cineplex 21 tidak memiliki personal value yang baik. Hal ini
dikarenakan public relation lebih mengutamakan kepentingan perusahaan dan
mengabaikan kepentingan stakeholder dari perusahaan disertai dengan
kebohongan publik. penulis melihat hal ini dari berbagai pernyataan direktur
cineplex 21 sendiri, seperti yang tertera sebelumnya. Penulis menilai, public
relation dari cineplex 21 kurang mengambil peran yang sesuai kode etik dalam
menanggapi kasus yang menimpa cineplex 21.
d. Corporate value
Dari sisi corporate value, penulis melihat bahwa kasus yang menimpa mereka
dan tindakan mereka didalam menyelesaikan kasus itu merupakan tindakan
yang etis. Disini penulis melihat bahwa perusahaan cineplex sendiri tidak
merasa bersalah terhadap pihak manapun. Hal ini dituturkan langsung oleh
direkturnya sendiri,dia sendirimempersilahkan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) untuk melakukan pemeriksaan. Baik untuk memonitor dan
memeriksa kegiatan usaha 21 Cineplex, jika memang ada kecurangan.
(live.viva.co.id:2013).
Disini, permasalahan monopoli sendiri, setelah mulanya bungkam, akhirnya
direktur cineplex 21 angkat bicara, mereka masih menyangkal adanya
hubungan antara perusahaan cineplex 21 secara bisnis, meskipun pada
kenyataannya diantara kedua perusahaan memiliki hubungan saudara. Disisi
lain, kerja sama antara cineplex 21 dan omega film justru sangat diapresiasi
oleh masyarakat Indonesia yang sudah lama menanti kehadiran film hollywood.
Disini penulis menilai bahwa perusahaan cineplex 21 memandang perusahaan
mereka sebagai perusahaan beretika melalui virtue etics, dimana perusahaan
cineplex 21 menilai karakter perusahaannya terkait dengan nilai yang mereka
anut, yaitu mengutamakan profit dan kepuasan masyarakat. Menurut mereka,
mereka tidak melakukan monopoli, untuk menyangkal tuduhan monopoli itu,
direktur cineplex 21 mengungkapkan bahwa mereka sendiri juga tidak hanya
memasok film melalui omega film saja, tapi mereka memilih pemasok yang
pantas.
Bab II Ethical Problem Definition
Pada kasus cineplex 21, penulis melihat adanya permasalahan etika. Dari
sisi utilitarianism, perusahaan memenuhi etikanya dimana, perusahaan cineplex
21 memaksimalkan semampunya untuk berbuat kebaikan terhadap semua
orang. Pada saat terjadinya pemblokiran film hollywood, masyarakat tampak
banyak yang kecewa, apalagi pemblokiran itu bertepatan dengan akan hadirnya
film terakhir Harry Potter. Tentu saja, kerjasama yang dilakukan oleh cineplex
21 telah menguntungkan masyarakat, penonton setia film hollywood.
Namun, jika dilihat dari deontological ethics, penulis melihat bahwa
perusahaan tidak melakukan hal yang benar serta melakukan hal yang tidak
benar. berdasarkan analisis penulis dari berbagai sumber, usai kasus itu
mencuat di media, pihak cineplex 21 justru bungkam, sehingga menimbulkan
tanda tanya pada publik (tempo.co:2013). Disisi lain, usai naiknya berita bahwa
omega film merupakan buatan perusahaan cineplex sendiri, barulah perusahaan
angkat bicara dan menyangkal semua itu. menurutnya, perusahaan sama sekali
tidak bersalah dan mereka tidak punya hubungan dengan perusahaan omega
film. Namun belakangan direktur cineplex mengungkapkan bahwa direktur
memiliki hubungan saudara dengan pemilik omega film. Berdasarkan
pengamatan penulis, langkah-langkah yang diambil oleh perusahaan cineplex
21 menunjukkan bahwa mereka telah melakukan hal yang tidak benar, yaitu
membohongi publik.
Jika dilihat dari virtue ethics, penulis melihat bahwa perusahaan menganggap
diri mereka benar dan mereka telah melakukan tindakan yang etis saja dan
tidak melanggar hukum. Hal ini, menurut penulis karena perusahaan cineplex
21 memiliki nilai-nilai perusahaan yang lebih mengarahkan diri pada profit.
Sementara berdasarkan ethics relativism, penulis melihat bahwa perusahaan
beretika, jika dipandang dari nilai-nilai yang mereka anut, yaitu profit dan
kepuasan penonton, namun perusahaan menjadi tidak beretika jika dilihat dari
monopoli film yang terjadi di dunia industri film di Indonesia.

BAB III Antisipasi

Permasalahan monopoli yang disertai tudingan akan pemalsuan perusahaan


pengimpor film oleh cineplex, pada akhirnya berakhir begitu saja. Adapun kabar
terakhir dari permasalahan ini adalah KPPU yang akan mengadakan
penyelidikan terkait kedua perusaahaan. Namun mengenai hasil penyelidikan
sama sekali tidak penulis temukan di media berita online resmi. Hal ini
menunjukkan bahwa usai tudingan keras dari berbagai pihak, perusahaan
cineplex 21 berhasil lolos tanpa sorotan kuat dari media. adapun, disini penulis
ingin memberikan langkah-langkah antisipasi masalah untuk Public Relation
cineplex 21, diantaranya:
a. Public relation harus aktif dan reaktif terhadap keputusan managemen
perusahaan. contoh: jika perusahaan memutuskan untuk mengadakan
perusahaan buatan untuk mengatasi masalahnya, maka PR harus aktif dengan
berbagi pemikiran dengan pihak managemen akan dampak kedepannya dari
keputusan untuk membohongi publik. PR harus mengingatkan managemen
untuk melihat sisi lain dari keputusan yang akan diambil, sehingga managemen
tidak hanya tertuju pada pemikiran mereka untuk mencari keuntungan.
b. Apabila perusahaan tetap menjalankan keputusan yang PR nilai tidak sesuai
kode etik, maka PR harus membuat perencanaan mengenai kemungkinan
dampak dari pengambilan keputusan, dan merancang solusi yang tepat. Jangan
sampai, kejadian lalu, yaitu bungkamnya pihak cineplex 21 untuk beberapa saat
membuat media menyebarkan hal negatif semakin cepat. dengan adanya
perencanaan, maka jika konflik antar kepentingan terjadi maka, PR dapat
menyarankan pada direktur untuk segera menjawab tudingan di media.
c. PR harus mulai memikirkan untuk menjalin media relation. Penulis
menganalisa bahwa hampir sebagian besar media berita online memojokkan
perusahaan cineplex 21 didalam pemberitaannya. Untuk itu, PR dapat
menyusun program CSR unik dan bernilai sehingga wartawan dapat meliput
acara tersebut.
d. PR mulai membangun government relation, dimana perusahaan mencoba
untuk membantu pemerintah untuk menyelesaikan masalah bisnis perbioskopan
indonesia yang semakin meredup. Disini PR harus menunjukkan bahwa
perusahaan cineplex 21 menerima dengan terbuka adanya pengusaha bioskop
lain di Indonesia. Sebelumnya PR harus mendiskusikan dulu pada pihak
managemen dan meyakinkan managemen bahwa brand cineplex 21 sudah
sangat terkenal dan mendominasi, sehingga jikalau ada bioskop baru, tidak
akan berpengaruh besar terhadap profit dari cineplex 21.
e. Sementara dengan perusahaan pesaing yang menilai bahwa mereka telah
dirugikan oleh persaingan tidak sehat, maka PR harus meyakinkan
perusahaannya bahwa perusahaan pesaing yang hanya memiliki bioskop yang
jumlahnya jauh lebih sedikit itu tidak akan mengganggu perusahaan dalam
memperoleh profit, disini, PR harus melengkapi pernyataannya dengan hasil
riset dan data-data yang lengkap dan meyakinkan sehingga pihak managemen
menyetujuinya. Barulah setelah itu, PR mengadakan sebuah acara yang
mengundang perusahaan pesaing dengan tak lupa mengundang media. Didalam
acara itu, PR harus menekankan secara halus bahwa perusahaan cineplex 21
menghargai persaingan sehat dan terbuka.

Daftar Pustaka
Anonim, (2011) bioskop 21, retrivied januari 20, 2013
fromhttp://id.wikipedia.org/wiki/Bioskop_21
Fahillah, arif (2011) produser sesalkan hengkangnya film hollywood, retrivied
januari 20, 2013
fromhttp://www.tempo.co/read/news/2011/02/21/111314892/Produser-
Sesalkan-Hengkangnya-Film-Hollywood
Kusumadewi, anggi (2011) pajak impor film naik 100 persen retrivied januari
20, 2013 fromhttp://bisnis.news.viva.co.id/news/read/226132-pajak-impor-
film-naik-100-persen
Anonim, (2011) cineplex bantah lakukan monopoli, retrivied januari 20, 2013
from http://www.bisnis-kepri.com/index.php/2011/08/21-cineplex-bantah-
lakukan-monopoli/
Rosita, maria (2011) omega film jamin terpisah dari grup 21 cineplex, retrivied
januari 20, 2013 fromhttp://industri.kontan.co.id/news/omega-jamin-terpisah-
dari-grup-21-cineplex
Nia, (2011) omega film tetap kantongi izin impor film, retrivied januari 20,
2013 fromhttp://bctjemas.beacukai.go.id/index.php/media-center/customs-on-
media/27-omega-film-tetap-kantongi-izin-impor-film
Junianto, benu (2011) 21 cineplex tanggapi isu keterlibatan ibas, retrivied
januari 20, 2013 fromhttp://m.news.viva.co.id/news/read/239656-21-cineplex-
tanggapi-isu-keterlibatan-ibas

Anda mungkin juga menyukai