Anda di halaman 1dari 10

SEBUAH ASA

Eni Kusuma Nafiah

Di ujung gang sempit menuju stasiun kota baru


Malang, Ameera berjalan seorang diri menuju stasiun
yang akan membawanya melewati lembah Bengawan
Solo di salah satu wilayah Jawa bagian tengah yang
berbatasan langsung dengan kabupaten Magetan. Ia
duduk seorang diri di kursi tunggu stasiun, menunggu
20 menit lagi keberangkatan. Namun, anehnya di jam
siang seperti ini yang harusnya banyak lalu lalang orang
di stasiun terasa sepi lengang seolah tak ada
kehidupan.
Beberapa menit setelahnya, kereta menuju kota
kecil di sebelah ibukota provinsi Jawa Tengah sudah
datang. Ameera pun bersiap menaiki gerbong 2 yang
menjadi tempatnya menuju kota tujuan. Namun, lagi-
lagi Ameera merasakan keanehan di dalam gerbong.
Mengapa hanya aku yang naik gerbong ini, tanya
Ameera dalam hati.
Keanehan selanjutnya pun terjadi. Orang-orang di
dalam gerbong yang sudah lebih dulu masuk sampai di
stasiun kota baru hanya diam tak ada suara. Padahal,
mereka tidak sedang tertidur.
Duar…Duar…Duar…Duar…
Tiba-tiba terdengar suara tembakan berkali-kali di
pojok gerbong menghadap tempat Ameera berdiri.
Ameera terdiam kaku. Di depan matanya, seorang pria
dengan seragam loreng berusaha menyelamatkan diri
dari orang-orang berpakaian hitam serta bertopeng
menyeramkan. Mereka saling menembak, tak peduli
pria dengan seragam loreng hanya seorang diri sedang
mereka berjumlah 10 orang.
“Apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa
mereka saling menyerang?” ujar Ameera ketakutan.
Ameera masih terpaku dengan wajah ketakukan
memandangi kejadian di depannya. Hingga ledakan
hebat pun terjadi di gerbong kereta, dan Ameera pun
hilang di telan asap-asap sisa bom di gerbong.
***
Pagi hari yang cerah, harusnya mulai terdengar
suara kokok ayam jago, tetapi pagi ini yang terdengar
adalah teriakan ketakukan dari sebuah kamar bercat
biru.
“Tolong, tolong, tolong …. Aku takut,” teriak Ameera
dengan suara yang nyaring.
“Tolong, pembunuh ... aku takut, tolong aku,” rintih
Ameera dengan tangisan yang kian menyayat.
Dengan tergopoh-gopoh ibu Ameera pun berlari
mendatangi kamar Ameera.
“Ameera, kamu kenapa, Nak? Bangun, Sayang,” ujar
ibu dengan cemas serta menggoyang-goyangkan tubuh
Ameera agar lekas sadar.
Ameera pun akhirnya tersadar dengan nafas
terengah-engah serta raut wajah ketakutan. Hingga
Ameera langsung memeluk ibunya sembari menangis.
“I-i-bu, Ameera takut, Bu. Ameera tidak mau pergi bu,
aku takut naik kereta bu,” ujar Ameera dengan suara
terbata serta tangis yang tak kunjung reda.
“Ada apa, Ameera?” tanya ibunya pelan.
“Ceritakan pada ibu, Nak, jangan takut,” ujar ibunya
lagi.
Akhirnya, dengan suara pelan serta diiringi tangis
yang mulai reda, Ameera menceritakan mimpi
mengerikan yang dialaminya. Ibu pun terdiam cukup
lama. Hingga suara Ameera selanjutnya
mengagetkannya.
“Ibu, kenapa diam?” tanya Ameera pelan.
“Tidak, Nak. Ameera sayang, pasti semalam tidak
baca doa sebelum tidurkan?”
Melihat kepala Ameera yang menggelengkan kepala,
ibu pun menarik nafas dalam kemudian tersenyum.
“Makanya, Ameera kalau mau tidur harus berdoa
dulu ya, Nak,” nasihat ibu.
“Sudah, tidak usah takut dan dipikirkan, ya. Itu hanya
mimpi, Nak. Mimpi buruk itu datangnya dari syetan,
karena kamu tidak berdoa,” nasihat ibu lagi, sembari
membelai kepala Ameera perlahan.
***
Esok sorenya, Ameera berjalan sendiri di sudut jalan
menuju rumah sang kakek yang tak jauh dari rumahnya.
Ia berjalan sembari termenung.
“Aku sebentar lagi akan pergi jauh, meninggalkan
kota kelahiran menuju kota di cekungan kecil gunung
merbabu, tapi aku naik kereta seorang diri” pikir Ameera
dengan wajah cemas serta ketakutan.
“Aku takut mimpi jadi nyata dan apa aku sanggup
hidup jauh dari ibu, ayah, kakek, dan nenek?” tanya
Ameera lagi dalam hati.
“Hey, apa yang kau pikirkan Ameera? Itu hanya
mimpi dan kau pasti bisa, kau kan pergi ke sana untuk
melanjutkan pendidikan serta belajar mandiri.” Sisi positif
Ameera berusaha memotivasi diri sendiri.
Tak terasa, karena sibuk dengan pikiran-pikiran
tersebut akhirnya Ameera sampai juga di rumah
kakeknya. Kakek Wariyo namanya atau biasa dipanggil
kakek War oleh tetangganya, merupakan orang yang
cukup berpengaruh di daerah tersebut. Orang yang
dituakan, karena ilmu agamanya yang cukup tinggi.
Hari ini Ameera datang seorang diri ke sana. Ia
disambut dengan raut wajah sumringah kakek War.
Kakek War pun langsung mengajak Ameera ke balai
belakang, tempat biasa beliau bersantai. Dengan
senyum senang Ameera mengikuti kakeknya, sembari
melihat-lihat sekeliling jalan menuju balai. Mulai dari
taman bunga, tanaman sayur, pohon-pohon buah, serta
kolam-kolam ikan membuat Ameera betah ketika berada
di rumah kakeknya.
Ditemani sepiring ubi goreng yang dibawa oleh
neneknya, mereka pun bersenda gurau sore itu.
Kemudian, dengan wajah sedikit takut, Ameera
menceritakan perihal mimpi yang dialaminya tadi kepada
sang kakek dan nenek. Kakek War dan nenek War
hanya diam menunggu Ameera usai bercerita. Hingga
beberapa menit kemudian kakek War tersenyum melihat
ketakutan dan kecemasan Ameera perihal mimpi dan
keberangkatannya menuju kota yang jauh.
“Ameera, cucuku, jangan takut, Nak. Setiap
keputusan, setiap impian pasti mempunyai cobaannya,”
ucap kakek War dengan pelan sembari menatap
Ameera.
“Keinginanmu untuk menuntut ilmu di kota yang jauh
dari kami keluargamu pasti ada rintangannya, Nak. Tidak
ada mimpi yang mudah untuk dicapai Ameera.”
“Di mana pun kita, sebaik apa pun kita tak jarang
orang-orang tak berperasaan ada disekitar kita. Yang
harus Ameera ingat, boleh berteman dengan siapa pun,
tapi ingat jangan sampai kamu mengikuti hal-hal buruk
orang tersebut. Jangan mendengarkan orang yang ingin
menjatuhkan kita, tapi buktikan dengan hasil bahwa
kamu mampu mempertanggungjawabkan segala hal
yang kamu pilih dengan baik serta pencapaian yang
mencengangkan, dan untuk mimpi yang Ameera
ceritakan carilah sendiri jawabannya dari perjalanan dan
pengalaman kamu Ameera,” imbuh Kakek War panjang
lebar.
Ameera pun, terdiam cukup lama memikirkan ucapan
sang kakek.
“Terima kasih, Kek. Aku akan berusaha
menghilangkan ketakutanku dan akan berusaha menjadi
yang terbaik untuk versi Ameera sendiri kek.” Ujar
Ameera dengan wajah lega serta senyum tenang, meski
masih ada beberapa keraguan yang tergambar jelas di
wajah Ameera.
***
Dua bulan kemudian…
Hari keberangkatan Ameera pun tiba. Setelah
berusaha keras menenangkan hatinya dari keraguan
selama dua bulan ini, Ameera dengan langkah pasti
berangkat seorang diri menuju stasiun kota baru. Hari
menunjukkan pukul 11.30 waktunya Ameera berangkat
serta kereta pun sudah datang. Dengan senyum penuh
keyakinan, Ameera menaiki gerbong 3 secara bergantian
dengan penumpang yang lain. Suasana gerbong pun
tampak ramai, tak sesuai dengan pikiran ketakutannya
beberapa bulan lalu.
Kereta pun melaju dengan membawa gemuruh di
dada. Sudah saatnya Ameera berjalan untuk mencari jati
dirinya. Tak ada lagi sosok yang akan membangunkan
Ameera kala kesiangan. Sudah waktunya sosok kecil
yang selalu mengikuti ibunya kini belajar mencari jalan
hidupnya sendiri.
***
Sebuah bangunan kosong, tampak megah menjadi
pemandangan pertama Ameera kala cahaya putih
menyilaukan mulai menghilang. Ameera yang penasaran
dengan bangunan kosong itu pun mencoba mendekat,
dengan langkah pelan. Hingga suara teriakan serta tawa
khas anak kecil pun terdengar di telinganya kala satu
langkah kakinya berjalan. Matanya pun mengikuti asal
suara tersebut. Hingga terpampanglah sebuah taman
anak yang ramai dengan anak kecil di dalamnya.
Papan bertuliskan “Panti Asuhan Cinta” pun tampak
jelas berdiri di bangunan yang tadinya kosong. Ameera
pun, terdiam sesaat dengan hal tersebut.
“Apa ini?” pikir Ameera bingung.
“Mengapa tiba-tiba menjadi ramai?” tanya Ameera
dalam hati
“Mengapa aku ada di sini?” tanya Ameera lagi.
Pertanyaan demi pertanyaan pun hinggap di kepala
Ameera. Namun, ada satu sudut yang menghipnotis
mata Ameera. Seorang anak kecil yang nampak sibuk
menyuapi seorang pria tua yang duduk di kursi roda.
Matanya yang polos menggetarkan hati Ameera, yang
tak nampak iri dengan teman-temannya yang sedang
bermain. Lama memandang si anak tersebut, Ameera
akhirnya berjalan mendekat untuk melihat dekat si anak
berbaju merah tadi.
Hingga kilasan, kejadian sebuah pembunuhan
sebuah keluarga pun nampak jelas di mata Ameera.
Ternyata anak dengan mata menghinoptis itu adalah
seorang anak yang diselamatkan sang kakek dari
kejadian mengerikan yang Ameera lihat tadi. Badan
Ameera pun mulai menggigil melihat bagaimana para
pembunuh itu membunuh dengan cara yang sadis serta
menguburnya dengan sangat tidak layak.
“Mengapa anak sekecil itu mengalami kejadian
demikian?” pikir Ameera dengan hati pilu melihat mata
menghinoptis itu terlihat kosong tak ada harapan
kehidupan.
“Kamu masih bersedih, Nak, dengan kejadian tiga
tahun lalu?” tanya pria tua kepada si anak.
Anak berbaju merah itu hanya diam dengan mata
terpejam serta kepala yang menghadap langit. Air mata
anak itu pun jatuh mengingat ia kini seorang diri. Tak ada
orang tua, tak ada saudara ataupun teman. Mereka yang
sedang bermain pun nampak enggan mengajak anak
berbaju merah itu bermain. Anak itu pun akhirnya
tersenyum memandang pria tua di depannya, karena
hanya satu orang inilah yang mau menerimanya.
Sebuah cahaya hijau menyilaukan pun menembak
tepat di mata Ameera, hingga semua gelap.
***
Suara obrolan orang-orang di dalam gerbong
membangunkan tidur pulas Ameera. Menengok kanan-
kiri, kemudian memandang pemandangan di luar yang
tampak asyik bercengkrama dengan angin. Termenung
hingga tak sadar air matanya pun jatuh, mengingat
potongan mimpi yang terasa nyata dilaluinya.
“Mengapa aku melihat kejadian itu? Apa maksudnya,
Ya Allah?” rintih Ameera dalam hati sembari
menangkupkan tangan ke wajahnya.
Isak tangis Ameera yang tak kunjung usai, meski
telah memasuki wilayah tengah pulau Jawa. Lama
termenung dengan berbagai pertanyaan yang
menghampiri pikirannya, Ameera pun merasa lapar dan
haus. Ameera pun akhirnya makan dengan pikiran yang
masih melayang entah ke mana. Hingga matanya tak
sengaja menemukan sebuah kertas berwarna hijau
dengan bentuk apel di bawah kakinya.

Aku pernah mencintaimu dengan begitu dalam


Hingga rasanya aku mampu terbangun tiap malam
Menunggu kehadiranmu tak kunjung datang
Mencari jawaban tiap pertanyaan dalam pikiranku
Berkeliling mata mencari setiap lubang
Yang kupikir adalah kamu…

Kamu… ya kamu… impianku…

tulisan tangan yang tampak kusam itu menggetarkan


hati Ameera di setiap baitnya. Mengalirkan kehangatan
dalam diri Ameera. Bait-bait indah yang seolah
mengantarkan pesan tersembunyi di balik kata demi
kata. Tapi, Ameera pun tak tahu artinya apa. Mimpi
pembunuhan dalam gerbong yang mampu menghadirkan
rasa takut dalam diri Ameera untuk menaiki kereta
hingga tak ingin meneruskan mimpinya, mimpi anak kecil
dengan kehidupan menyedihkan, serta sebuah bait-bait
indah yang tak tahu artinya apa membuat Ameera
terdiam pilu.
Tak lama kemudian sampailah Ameera di sebuah
kota yang akan menjadi tempatnya mencari jati diri serta
menggapai mimpinya. Membuat Ameera tersadar dari
keterdiamannya. Namun, Ameera teringat kata sang
kakek, membuatnya tak sadar menarik senyum manis di
wajahnya.
Langkah pasti pun diambil Ameera, melangkah
keluar gerbong menuju kota yang tak tahu apakah ramah
ataupun kejam untuk dirinya. Kota yang tak ada satu pun
orang yang dikenalnya ketika pertama kali menginjak
tanahnya. Serta, kota dengan sejuta misteri di dalamnya.

Anda mungkin juga menyukai