Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

AGAMA DAN PERKEMBANGAN PADA MASA KANAK-KANAK DAN REMAJA


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Agama
Dosen Pengampu:
Rillianda Arindra Putama, S.Psi., M.Si.

Disusun Oleh:
Kelompok 7
Anggi Putri Riski Masmawati (126308211009)
Bintan Bahrilia Ilma (126308211016)
Mitha Salsa Bil Nazhifah (126308211046)
Mokhammad Shofiyudin (126308211048)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
MEI 2023
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puja dan puji syukur atas kehadirat Allah swt, yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, serta hidayahya, sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan
tugas makalah dengan judul “Agama dan Perkembangan pada Masa Kanak-kanak dan
Remaja” dalam keadaan sehat wal’afiat tanpa kurang suatu apapun. Sholawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW, sehingga kita dapat
terselamatkan dari lembah kesesatan. Selesainya makalah ini tidak lepas dari bantuan pihak-
pihak lain. Oleh karena itu, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dra. Maftukhin, M.Ag selaku rektor UIN SATU Tulungagung yang telah
memberikan kesempatan kepada kita untuk menimba ilmu di UIN SATU
Tulungagung.
2. Ibu Rillianda Arindra Putama, S.Psi., M. Si., selaku dosen pembimbing mata kuliah
Psikologi Agama yang telah memberikan arahan kepada kami sehingga terwujudnya
makalah ini.
3. Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.

Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan agar
kedepannya menjadi lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi teman-teman
dan seluruh mahasiswa di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.

Tulungagung, 29 April 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN..............................................................................................1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................1
1.3 Tujuan Makalah.....................................................................................................2

BAB II : PEMBAHASAN...............................................................................................3

2.1 God Image and Representation.............................................................................3


a. Gender of God Image......................................................................................3
b. Pengembangan God Image..............................................................................4
c. Dimensi dari God Image..................................................................................6
d. Dampak dari God Image..................................................................................7
2.2 Pengembangan Identitas, Gender, dan Agama......................................................9
a. New Conceptions Pengembangan Identitas.....................................................9
b. Agama dan Pengembangan Identitas.............................................................10
c. Agama dan Efek Prososial pada Remaja.......................................................11
d. Gender, Identitas, dan Agama.......................................................................13

BAB III : KESIMPULAN.............................................................................................15

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................15
3.2 Saran....................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Agama memainkan peran penting dalam kehidupan anak-anak dan remaja, di mana
agama dapat membantu membentuk keyakinan, nilai, dan perilaku mereka. Selama
bertahun-tahun, agama telah menjadi elemen kunci dalam perkembangan manusia dan
berkontribusi dalam membentuk masyarakat. Agama dapat menjadi sumber kenyamanan,
bimbingan, dan dukungan bagi anak-anak dan remaja. Hubungan antara agama dan hasil
perkembangan bersifat kompleks dan beragam. Beberapa studi telah menemukan bahwa
keterlibatan agama berhubungan dengan hasil perkembangan yang positif, seperti
kesejahteraan yang lebih besar, ketahanan, dan sikap positif terhadap orang lain.
Keyakinan, nilai, dan sikap anak-anak terhadap dunia seringkali dibentuk oleh orang
tua, anggota keluarga, dan pemimpin agama mereka. Anak-anak belajar tentang agama
melalui praktik keagamaan seperti doa, ibadah, dan pendidikan agama. Pengalaman-
pengalaman seperti ini dapat membantu dalam membentuk kesadaran diri seorang anak,
pemahaman tentang moralitas, dan sosialisasi mereka di dalam komunitas-komunitas
religius. Ketika menginjak masa remaja, anak-anak mungkin mulai mempertanyakan
kepercayaan serta nilai-nilai orang tua mereka dan figur otoritas lainnya. Agama dapat
memainkan peran penting dalam membantu remaja menghadapi tantangan masa remaja,
serta memberikan makna, tujuan, dan arah hidup mereka. Namun disisi lain, agama juga
dapat menjadi sumber konflik bagi sebagian remaja, terutama jika keyakinan mereka
bertentangan dengan keyakinan orang tua atau teman sebayanya. Beberapa studi lain juga
menemukan bahwa keterlibatan agama berhubungan dengan hasil yang negatif seperti
kecemasan yang lebih besar, rasa bersalah, dan konflik dengan orang tua.Oleh karena itu,
kami sebagai pemakalah ingin menjelaskan tentang agama dan perkembangan pada masa
kanak-kanak dan remaja, sehingga pembaca dapat lebih memahami tentang bagaimana
agama dapat mempengaruhi perkembangan pada masa kanak-kanak dan remaja.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana gender dari God image?
2. Bagaimana pengembangan God image?
3. Apa dimensi dari God image?
4. Apa dampak dari God image?

1
5. Bagaimana new conceptions pengembangan identitas?
6. Bagaimana hubungan antara agama dan pengembangan identitas?
7. Bagaimana hubungan antara agama dan efek prososial pada remaja?
8. Bagaimana hubungan antara gender, identitas, dan agama?

1.3 Tujuan Makalah


1. Menjelaskan tentang gender dari God image.
2. Menjelaskan tentang pengembangan God image.
3. Menjelaskan tentang dimensi dari God image.
4. Menjelaskan dampak dari God image.
5. Menjelaskan tentang new conceptions pengembangan identitas.
6. Menjelaskan hubungan antara agama dan pengembangan identitas.
7. Menjelaskan hubungan antara agama dan efek prososial pada remaja.
8. Menjelaskan hubungan antara gender, identitas, dan agama.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 God Image and Representation


a. Gender of God images
Dalam agama-agama monoteistik, representasi Tuhan cenderung dibangun di
sekitar figur laki-laki dan orang tua. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah citra
Tuhan secara psikologis juga memiliki karakteristik gender. Menurut Vergote (dalam
Nelson, 2009), jawaban atas pertanyaan itu tampak rumit, karena kualitas gender
dalam gambar-gambar ini didasarkan pada pengalaman individu dengan orang tuanya,
pandangan sosial budaya tentang seperti apa ibu dan ayah itu, dan ajaran agama
tentang kemungkinan karakteristik khusus gender dari Tuhan.
Kajian lintas budaya telah menemukan bahwa citra ibu dan ayah biasanya
digambarkan dalam hal ketersediaan dan kualitas otoriter atau legalistik, dengan yang
pertama lebih utama dalam deskripsi ibu dan yang terakhir dalam yang paternal.
Faktor-faktor yang sama ini muncul sebagai aspek penting dari deskripsi citra Tuhan
yang ditemukan, baik dalam kelompok agama Kristen maupun non-Kristen.
Menggunakan sampel Eropa, pada tahun 1981 Vercruysse dan de Neuter menemukan
bahwa citra keibuan lebih dominan tetapi kualitas lain termasuk sifat kebapakan juga
disertakan. Di Amerika Serikat, penelitian menunjukkan bahwa hal ini berubah
seiring bertambahnya usia, dengan deskripsi gambar lebih seperti ayah di masa kanak-
kanak dan lebih seperti kedua orang tua atau ibu di masa kanak-kanak tengah.
Karakteristik gambar denga kecenderungan ke arah ibu atau bi-gender juga telah
ditemukan dalam penelitian lain pada anak-anak dan remaja yang lebih tua (misalnya,
Meier & Meier, 2004; Dickie et al., 1997; Ladd, McIntosh, & Spilka, 1998)
menunjukkan bahwa periode kehidupan ini adalah waktu aktif untuk mendefinisikan
ulang citra tuhan kita.
Faktor-faktor lain juga tampaknya mempengaruhi karakteristik gender dari
citra Tuhan. Vergote (dalam Nelson, 2009) menemukan bahwa penganut agama
cenderung memiliki citra Tuhan yang menekankan ketersediaan, sementara orang
yang ragu melihat hukum sebagai karakteristik utama dan dengan demikian lebih
cenderung memandang Tuhan sebagai ancaman terhadap otonomi mereka. Studi yang
dilakukan oleh Vergote pada tahun 1969 dengan melibatkan remaja-remaja Eropa

3
tampaknya mengkonfirmasi gambaran ini, karena remaja dengan sikap spiritual dan
religius terendah memiliki nilai takut akan Tuhan tertinggi.

b. Pengembangan God Image


Kecenderungan dalam penelitian ilmiah telah beralih dari pandangan Piaget
bahwa anak-anak memiliki pemahaman yang terbatas dan primitif tentang Tuhan
menuju pandangan bahwa anak-anak itu imajinatif dan mampu memberikan
kecanggihan yang mengejutkan dalam pemahaman mereka. Barrett dan Richert
(dalam Nelson, 2009) mengajukan hipotesis kesiapsiagaan alternatif yang
menyatakan:
1. Anak-anak mampu membentuk konsep agen yang disengaja yang tidak
terbatas pada manusia.
2. Asumsi supranatural adalah posisi default untuk anak-anak daripada
penyimpangan yang diterapkan kepada Tuhan.
3. Anak-anak muda usia 3 atau 4 tahun sangat mampu membedakan antara
aktivitas ilahi dan manusia.
Secara umum, psikolog psikodinamik, seperti Meissner, memandang citra
Tuhan berakar pada pengalaman dan aktivitas kreatif sejak awal tahun pertama
kehidupan. Gambar-gambar ini dengan demikian bersifat pra-linguistik dan sangat
afektif. peristiwa awal seperti pengalaman kepercayaan dan pencelupan
mengembangkan nada emosional dan sumber daya interpersonal yang kemudian
dapat mempengaruhi pengalaman mistis atau religius dan citra tuhan, serta memberi
mereka kualitas numinous. Dalam pandangan ini, diri memulai dan membentuk
gambaran-gambaran dalam dialektika antara motif-motif yang mendasari secara
biologis dan pengasuh yang tersedia secara emosional. Sejak usia 3 tahun, interaksi
ini membangun inti afektif prerepresentasional yang mendukung pengaturan diri,
empati, serta diri moral yang memiliki aturan dan sinyal emosional yang dapat
memandu perilaku. Menurut Emde, Biringen, Clyman, dan Oppenheim (dalam
Nelson, 2009), anak-anak pada titik ini dapat mengartikulasikan cerita dengan
komponen moral. Setelah tahap awal ini, muncullah diferensiasi diri yang melibatkan
ketegangan antara otonomi dan pengadopsian struktur dan nilai-nilai keagamaan
keluarga. Individu membentuk citra Tuhan yang memiliki kualitas numinous karena
penggabungan proses kognitif dan afektif. Agama pada tahap-tahap awal ini
seringkali memiliki fungsi defensif untuk melindungi dari kecemasan. Seiring

4
bertambahnya usia, anak menjadi lebih sadar akan kualitas kepercayaan bersama dan
komunal serta perbedaan antara fakta dan khayalan, masalah paradoks agama, serta
masalah moral yang menyertai perkembangan superego dan hati nurani. Secara
bertahap anak beralih dari penilaian berdasarkan otoritas ke tanggung jawab pribadi
untuk memilah-milah masalah ini, dengan bantuan dukungan institusional. Ketika
individu mencapai kedewasaan, agama tidak perlu lagi memainkan peran defensif,
karena individu diharapkan menemukan cara lain untuk mengatasi kecemasan.
Sebaliknya, ketegangan yang diterima, ditegaskan, dan diselesaikan, menghasilkan
harmoni batin yang menggabungkan hubungan objek yang bermakna dengan kualitas
pengalaman mistis dan numinous. Kisah-kisah Freud berurusan dengan jenis-jenis
awal dari pengalaman religius ini, sedangkan pengalaman religius orang dewasa lebih
tipikal di tingkat-tingkat selanjutnya yang menghasilkan keharmonisan batin dan
menggabungkan hubungan objek yang bermakna dengan kualitas pengalaman mistis
dan numinous.
Shafranske (dalam Nelson, 2009), berpendapat bahwa citra Tuhan
mengandung materi, tidak hanya tentang orang tua kita, tetapi hal tersebut adalah
pernyataan pribadi tentang hubungan kita dengan sumber keberbedaan dan semua
keberadaan, serta kekuatan transformasional yang dimiliki atau dapat dimiliki dalam
diri kita. Dengan demikian, objek Tuhan adalah objek transformasional dan juga
objek transisional. Kehadirannya menunjukkan bahwa perubahan itu mungkin, dan
pandangan tentang Tuhan dan perubahan yang terkandung di dalam objek membantu
menentukan jenis perubahan apa yang menurut kita mungkin dan diinginkan.
Banschick (dalam Nelson, 2009) menyebut bahwa Tuhan tidak ditinggalkan setelah
masa kanak-kanak dan masih dapat memainkan peran fungsional yang berkelanjutan
dalam kehidupan dewasa berkembang. Citra Tuhan memiliki potensi untuk tumbuh
dan berubah sepanjang masa dewasa. Dari perspektif teologis, Lonsdale (dalam
Nelson, 2009) menyatakan bahwa hal ini tidak mengherankan, karena citra apa pun
tidak memenuhi realitas Ketuhanan dan dengan demikian memiliki potensi untuk
berubah.
Beberapa penelitian empiris menunjukkan bahwa sosialisasi agama dari kedua
orang tua dan gereja berpengaruh dalam menawarkan sumber daya untuk membangun
citra Tuhan. Seperti halnya keterikatan, data mendukung korespondensi dan hubungan
kompensasi antara pengaruh ini dan citra Tuhan. Menurut Dickie et al (dalam Nelson,
2009), korespondensi didukung oleh bukti bahwa ketika orang tua dianggap

5
mengasuh (terutama ayah) dan kuat (terutama ibu), Tuhan juga terlihat seperti itu.
Selain itu, beberapa penelitian menemukan bahwa citra Tuhan yang terbentuk di
lingkungan negatif seringkali negatif, atau jika positif mereka akan dikesampingkan
dan Tuhan tidak akan dianggap dekat.

c. Dimensi dari God Image


Penelitian empiris menunjukkan bahwa citra Tuhan teistik bersifat
multidimensi dan mencakup beberapa karakteristik yang relatif independen. Gorsuch
telah mengidentifikasi sejumlah kemungkinan jenis kualitas citra Tuhan yang terbagi
dalam tiga pengelompokan faktor yang memberikan tipologi gambar Tuhan, yaitu:
1. Karakteristik yang menggambarkan Tuhan yang aktif, baik hati, membimbing,
dan stabil dengan karakteristik mahatahu dan mahahadir yang mirip dengan
konsepsi Kristen tradisional.
2. Karakteristik dari Tuhan yang kejam, murka, dan menghukum. Deskipsi ini
tidak berkorelasi dengan faktor Tuhan Kristen tingkat tinggi
3. Karakteristik yang menggambarkan Tuhan yang jauh atau tidak peduli, seperti
deistik, impersonal, tidak dapat diakses, tidak relevan, dan pasif.
Kategorisasi ini serupa dengan yang dikembangkan oleh Vergote (dalam
Nelson, 2009) yang membagi deskriptor menjadi atribut objektif, moral, dan afektif
seperti kebesaran (objektif), kebaikan (moral), dan kekuatan (afektif). Sebagian besar
peserta dari beberapa penelitian dalam sampel mahasiswa memiliki citra Tuhan yang
serupa dengan Kristen, dan keberadaan citra semacam ini berhubungan dengan
tingkat partisipasi religius dan kepentingan spiritual yang lebih tinggi, serta hubungan
yang kompleks dengan kesejahteraan dan gaya koping. Skor pada faktor Tuhan yang
baik hati dan aktif paling kuat berhubungan dengan orientasi religius intrinsik, yang
pada gilirannya terkait dengan tingkat kehadiran yang lebih tinggi dan perasaan
bahwa Tuhan memegang kendali.
Menurut Krause (dalam Nelson, 2009), kehadiran agama tampaknya
membantu menjaga perasaan kontrol Tuhan. Penelitian lain (misalnya Hall &
Edwards, 1996, 2002), melihat aspek yang lebih relasional daripada konseptual dari
citra Tuhan telah menghubungkan motivasi intrinsik dengan skor yang lebih baik
pada ukuran kesadaran dan kualitas relasional. Deskriptor konsep Tuhan sebagian
besar tidak terkait dengan motivasi pencarian, menunjukkan bahwa pencarian dapat
terjadi dalam konteks salah satu dari konsep Tuhan ini. Sementara berbagai jenis

6
deskriptor Tuhan dapat dipisahkan satu sama lain secara konseptual dan statistik,
dalam praktiknya mereka saling tumpang tindih.
Potvin (dalam Nelson, 2009) menemukan bahwa di kalangan remaja AS yang
paling umum adalah Tuhan yang pengasih dan menghukum (45%) diikuti dengan
pengasih dan tidak menghukum (19%), sedangkan kombinasi menghukum dan tidak
mencintai jarang terjadi (2%). Pola spesifik deskriptor citra Tuhan terkait dengan jenis
kontrol dan pendidikan orang tua, mendukung gagasan bahwa sosialisasi dan proyeksi
citra orang tua terkait dengan pengembangan citra Tuhan. Noffke dan McFadden
(dalam Nelson, 2009), menyebut bahwa interaksi dalam jenis deskriptor tampak
bervariasi pada kelompok agama yang berbeda, dengan Umat Protestan Evangelis
lebih tinggi dalam pendeskripsian pendendam, tegas, dan kuat daripada Protestan atau
Katolik garis-utama, dan anggota gereja garis-utama melihat Tuhan lebih jauh dan
kurang baik daripada persepsi Evangelis.

d. Dampak dari God Image


Sejumlah penelitian telah menemukan hubungan antara citra Tuhan dari
individu dan variabel psikologis yang penting. Misalnya, citra kita tentang Tuhan
terkait dengan arti-penting dan partisipasi keagamaan, serta jenis atribusi yang ingin
kita buat sehubungan dengan Tuhan-apakah itu karena kehendak Tuhan, tanggapan
Tuhan kepada kita, atau hanya keberuntungan biasa. Menurut Gall, Basque,
Damasceno-Scott, & Vardy (dalam Nelson, 2009), citra Tuhan yang baik hati dapat
membantu dalam membantu mengatasi trauma kehidupan seperti pelecehan seksual.
Dampak besar lainnya dari citra Tuhan adalah pada status hubungan objek kita.
Todd Hall (dalam Nelson, 2009) berpendapat bahwa pencarian yang sakral,
khususnya dalam konteks teistik Kristen, benar-benar bersifat relasional, dan citra
Tuhan bukan sekadar kepercayaan tetapi memiliki kualitas dan implikasi relasional.
Dalam pandangannya, kematangan spiritual bersifat relasional, masalah
ketergantungan atau interdependensi yang matang, dan kualitas ini dapat dikaitkan
dengan aspek relasional dari citra Tuhan. Hal ini telah dikonfirmasi dalam penelitian
dengan anggota gereja Kristen, yang menemukan korelasi kuat antara kesejahteraan
spiritual, keterlibatan religius atau kedewasaan spiritual, hubungan objek yang positif,
kualitas hubungan yang dirasakan dengan Tuhan, dan kualitas gambar Tuhan yang
positif seperti kebajikan dan keabadian. Tidak mengherankan, kualitas relasional

7
positif ini terkait dengan efektivitas dan toleransi stres yang lebih besar dalam situasi
pelayanan.
Sejumlah studi yang pernah dilakukan telah menemukan hubungan antara citra
Tuhan yang positif dan hubungan interpersonal yang baik, harga diri yang lebih
tinggi, dan tingkat kecemasan yang lebih rendah. Sementara itu, menurut Wilson,
Larson, dan Meier (dalam Nelson, 2009), pandangan yang keras dan menghukum
tentang Tuhan lebih umum terjadi pada keluarga dengan disfungsi psikologis. Tisdale
et al. (dalam Nelson, 2009), menyebut bahwa perawatan psikologis yang membahas
masalah spiritual dan agama telah ditemukan secara positif mengubah citra Tuhan
menjadi kualitas yang lebih baik, penuh kasih, dan suportif.
LaMothe (dalam Nelson, 2009), memberi sebuah kritik terhadap teori dan
penelitian citra Tuhan adalah bahwa itu tidak cukup relasional karena berkonsentrasi
pada representasi kita tentang Yang Ilahi dan bukan hubungan kita dengan Tuhan.
Selain itu, McDargh (dalam Nelson, 2009), melihat imajinasi religious memiliki
organisasi relasional. Dengan demikian, tipologi objek Tuhan harus
mempertimbangkan jenis ikatan relasional yang mungkin, seperti keterikatan, afiliasi
atau komunitas, aliansi dan komitmen untuk kesejahteraan orang lain, kolaborasi,
pengasuhan, serta menerima bantuan atau bimbingan. Dalam pandangan ini, Hill dan
Hall (dalam Nelson, 2009) berpendapat bahwa persepsi tentang Tuhan terkait dengan
jenis dan sifat dari ikatan ini. Meissner (dalam Nelson, 2009) menambahkan bahwa
hubungan dengan Tuhan yang nyata inilah yang berhubungan dan bertindak yang
menempatkan cinta Tuhan dalam istilah yang dapat dipercaya, bermakna, dan relevan
dengan pengalaman individu.
Konsep citra Tuhan juga telah dinilai sebagai sesuatu yang statis dan tidak
perlu. Shafranske (dalam Nelson, 2009) berpendapat bahwa itu adalah proses
transformasi yang kuat atau pengalaman proses yang diwakili dalam objek awal, dan
bahwa jejak objek transformasional awal ini dapat ditemukan dalam representasi
objek selanjutnya yang memiliki kekuatan transformasional. Teori citra Tuhan belum
dikembangkan untuk membantu memahami bagaimana kaitannya dengan
transformasi, aspek-aspek lain dari pengalaman dan kepercayaan religius, atau
masalah hubungan perkembangan dan objek lainnya. Piedmont (dalam Nelson, 2009),
menyebut bahwa enelitian tentang citra Tuhan juga hampir seluruhnya bergantung
pada pengukuran laporan diri, batasan yang dimiliki area ini dengan proyek penelitian
lain berdasarkan model hubungan objek.

8
2.2 Pengembangan Identitas, Gender, dan Agama
a. New Conceptions Pengembangan Identitas
Proses perkembangan identitas dinilai sebagai penghubung antara perubahan
spiritualitas remaja dengan aspek lain dalam perkembangan psikologi pada masa ini.
Perkembangan identitas adalah proses kompleks dan berkembang yang telah menjadi
subjek penelitian ekstensif dalam psikologi. Perkembangan identitas berakar pada
teori perkembangan psikososial Erikson, khususnya pada pentingnya penampilan
identitas yang aman pada masa remaja vs. bahaya kebingungan peran. Secara
tradisional, pengembangan identitas dipandang sebagai kualitas manusia yang
diperlukan dengan melibatkan kesinambungan dari waktu ke waktu dan rasa
kesamaan sejarah. Pengembangan identitas dalam konsep ini didasarkan pada karya
Erik Erikson, yang percaya bahwa setiap orang perlu membuat komitmen yang kuat
terhadap identitas, ideologi, dan kelompok tertentu pada akhir masa remaja. Dengan
kata lain, konsep ini memandang identitas sebagai pilihan yang dibuat oleh seorang
individu atas faktor sosial dan budaya.
Berbeda dengan konsep tradisional, karya terbaru tentang identitas
memandang pembentukan identitas sebagai proses panjang yang dipengaruhi oleh
faktor kontekstual dan individu. Perkembangan yang optimal muncul untuk mencapai
keseimbangan diferensiasi dan integrasi, bukan untuk mencapai keadaan akhir yang
ideal. Berdasarkan pandangan ini, Cady (dalam Nelson, 2009), menyebut bahwa
identitas adalah sesuatu yang terus dicapai, bukan sesuatu yang diperoleh dan
kemudian tidak pernah berubah. Karya kontemporer tentang pengembangan identitas
juga menunjukkan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang berada dalam ruang hampa
dan terpisah dari lingkungan. Identitas lebih bersifat relasional dan dapat dijelaskan
dalam hubungan individu dengan keluarga, agama, komunitas, dan budaya. Dengan
kata lain, identitas individu dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai, norma, dan harapan
yang dipegang oleh kelompok atau komunitas tempat mereka berada. Misalnya,
identitas agama seseorang akan dipengaruhi oleh agama yang dianut dan lingkungan
agama sekeliling individu. Pengembangan identitas melibatkan hubungan
interpersonal individu dengan orang lain. Proses pengembangan identitas dilakukan
melalui interaksi dengan lingkungan dan pengalaman hidup. Identitas individu
dipandang sebagai sesuatu yang dinamis dan berubah seiring waktu, serta berinteraksi
dengan lingkungan.

9
Secara keseluruhan, Konsep baru berbeda dengan teori Erikson yang lebih
menekankan pada proses pencarian identitas sebagai pencapaian dalam tahap
perkembangan individu. Konsep baru memandang identitas individu sebagai produk
dari hubungan interpersonal, bukan fondasi atau komitmen yang dibawa individu
sejak lahir. Hubungan interpersonal merupakan hal penting dalam pengembangan
identitas individu. Identitas pribadi yang unik dan identitas kolektif yang melibatkan
anggota kelompok sosial atau budaya tidak hanya dipengaruhi oleh pengalaman
individu, tetapi juga dipengaruhi oleh hubungan interpersonal dan interaksi dengan
lingkungan sosial dan budaya. Selain itu, konsep ini juga menolak padangan konsep
tradisional yang menyatakan bahwa pembentukan identitas harus melibatkan
perjuangan dan penolakan terhadap harapan keluarga dan komunitas. Ide yang
menyatakan bahwa individu harus menentang harapan keluarga dan komunitas
sebagai bagian dari pencarian identitas dinilai lebih berhubungan dengan budaya
Barat dan bukanlah suatu keharusan manusia secara universal.

b. Agama dan Pengembangan Identitas


Agama dan pengembangan identitas memiliki hubungan dua arah yang
kompleks dan masing-masing saling mempengaruhi satu sama lain. Konsep status
identitas relevan dengan studi agama dan dapat membantu kita memahami
perkembangan agama, terutama pada masa remaja. Begitupun sebaliknya, agama
dapat memberikan kontribusi dalam membangun identitas yang aman dengan
membantu menjelaskan masalah eksistensial, memberikan rasa memiliki, dan
menawarkan kesempatan bagi individu untuk berkomitmen pada pandangan dunia
yang religius secara formal melalui ritual, doa, atau tindakan lainnya. Dengan kata
lain, agama dapat membantu individu dalam proses pengembangan identitas dengan
memberikan pedoman atau panduan untuk memahami makna perilaku dan tindakan,
serta membantu individu dalam mencari identitas dan keamanan dalam hidup.
Elkind (dalam Nelson, 2009) berpendapat bahwa keyakinan agama yang kuat
yang dimiliki oleh suatu komunitas yang terkait erat, seperti fundamentalisme, dapat
memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam proses pengembangan identitas.
Menurut Mattis et al. (dalam Nelson, 2009), upacara keagamaan, seperti pembaptisan
atau pengukuhan dapat berperan penting sebagai penanda proses perkembangan
identitas. Beberapa penelitian telah menyelidiki bagaimana motivasi keagamaan dapat
mempengaruhi status identitas, dan menemukan bahwa motivasi intrinsik

10
berhubungan dengan pencapaian status identitas, dimana motivasi intrinsik rendah
dan motivasi ekstrinsik tinggi berhubungan dengan penyitaan identitas atau komitmen
tanpa eksplorasi. Selain itu, Meissner (dalam Nelson, 2009) berpendapat bahwa
terdapat keterkaitan yang erat antara perkembangan spiritual atau pemahaman yang
lebih dalam mengenai identitas spiritual seseorang, dengan penginternalisasian sistem
nilai-nilai agama dalam kepribadian dan pengalaman hidup. Menurutnya, pada tahap
tertinggi dari ekspresi dan perkembangan identitas spiritual, terdapat keberadaan cinta
yang tulus dan tidak mengharapkan imbalan apapun.
Identitas seseorang dan pengembangan identitasnya terkait erat dengan cara
mereka berinteraksi dengan orang lain dan melakukan tindakan. Penelitian yang
dilakukan oleh James Youniss dan rekannya pada tahun 1999, menunjukkan bahwa
remaja yang beragama cenderung lebih aktif dalam kegiatan amal, dan melalui
kegiatan tersebut mereka memperkuat identitas keagamaan mereka dengan
mengadopsi alasan-alasan keagamaan sebagai makna dari apa yang mereka lakukan.
Dalam konteks ini, kegiatan amal yang disponsori oleh tempat ibadah dapat menjadi
sarana bagi seseorang untuk mengembangkan dan memperkuat identitas keagamaan
remaja. Selain itu, remaja yang telah dididik dalam suasana agama sepanjang masa
kanak-kanak, di mana rekan-rekan dan komunitas sekitarnya juga bersemangat
tentang ibadah, lebih cenderung untuk percaya dan mengikuti ajaran agama. Dalam
kasus seperti itu, pendidikan agama dalam lingkungan beragama memiliki pengaruh
besar pada pengembangan identitas diri remaja, karena mereka akan percaya dan
mengikuti ajaran agama berdasarkan lingkungan yang mereka saksikan. Jika
lingkungan remaja kaya akan nilai-nilai spiritual, maka identitas remaja juga akan
mengalami spiritualitas, sebaliknya, jika lingkungan pendidikan tidak memiliki nilai-
nilai spirititual, maka identitas diri non spiritual dapat muncul.

c. Agama dan Efek Prososial pada Masa Remaja


Keterkaitan antara identitas keagamaan dan pelayanan merupakan bagian dari
literatur luas yang melandasi bahwa religiusitas remaja behubungan dengan sejumlah
efek positif pada kesehatan dan perilaku prososial. Orang tua sering mengajarkan
agama kepada anak-anak dan remaja dengan harapan sebagai pendidikan etis mereka,
kemudian memberikan gambaran awal dari agama dan kebiasaan atau keterampilan
pengaturan yang akan menjauhkan dari perilaku menyimpang. Sejumlah penelitian
dengan remaja mengemukakan bahwa religiusitas yang tinggi memang memiliki

11
berbagai efek positif, yakni dapat mempromosikan perilaku positif dan bertindak
sebagai faktor pelindung terhadap perilaku berisiko dan kenakalan. Sedangkan
mereka yang religiusitasnya rendah memiliki tingkat masalah yang lebih tinggi seperti
alkohol dan penggunaan narkoba.
Dalam literatur kesehatan mental, studi tentang efek perlindungan berfokus
pada bunuh diri, penyalahgunaan zat, dan seksualitas, dengan masalah yang jauh lebih
sedikit dilaporkan oleh remaja yang aktif secara religius, terutama dalam kelompok
dengan tingkat keterlibatan religius tradisional yang tinggi seperti orang Afrika-
Amerika. Studi dengan remaja kuliah menemukan bahwa religiusitas memiliki efek
jera yang moderat terhadap kejahatan, terutama kejahatan kecil atau tanpa kekerasan
seperti penggunaan alkohol di bawah umur. Efek jera ini disebabkan oleh
berkurangnya penggunaan alkohol dan narkoba, terutama oleh mereka yang
melakukan praktik keagamaan pribadi seperti berdoa dan mempelajari kitab suci.
Beberapa efek positif dari agama mungkin bersifat tidak langsung, seperti ketika
agama mendorong individu untuk tidak bergaul dengan pengguna narkoba, sehingga
menurunkan risiko penggunaan narkoba. Efek tidak langsung semacam ini tampaknya
sangat penting dalam melindungi dari perilaku seksual dini.
Pandangan teoretis yang lebih kuat adalah model aset perkembangan, yang
berpengaruh dalam karya terbaru tentang remaja dan agama. Model ini didasarkan
pada pandangan ekologi pembangunan sebagai interaksi timbal balik yang semakin
kompleks antara orang dan lingkungan. Dalam interaksi ini, seorang individu secara
aktif bekerja memperoleh aset pengembangan eksternal dan internal dari kontak
dengan komunitas yang kohesif dan orang dewasa yang memberikan pesan yang
berulang dan konsisten yang mempromosikan nilai dan standar. Aset ini dianggap
lebih efektif daripada program pencegahan dalam mencegah perilaku bermasalah,
karena lebih mungkin menghasilkan perubahan yang berkelanjutan. Aset eksternal
termasuk dukungan sosial dari keluarga besar, mentor, dan masyarakat. Aset ini
mengarah pada perilaku dan nilai positif, serta pemberdayaan melalui peran yang
bermakna, peluang untuk penggunaan waktu yang konstruktif, dan batasan atau
harapan yang jelas. Aset internal termasuk kompetensi sosial dan persepsi diri,
komitmen untuk belajar, nilai-nilai positif, dan identitas positif atau pandangan diri.
Dalam model ini, agama memiliki kemungkinan menghasilkan efek positif dalam
berbagai cara dengan menyediakan akses ke sejumlah aset eksternal dan mendukung
pengembangan aset internal.

12
d. Gender, Identitas, dan Agama
Salah satu temuan yang paling konsisten dalam kajian ilmu sosial tentang
agama adalah bahwa perempuan tampak lebih religius daripada laki-laki dalam
berbagai ukuran. Secara umum, para peneliti telah menolak gagasan bahwa ada
perbedaan jenis kelamin yang melekat antara laki-laki dan perempuan sehubungan
dengan religiusitas. Sebaliknya, penjelasan telah berfokus pada isu gender, dimana
peran laki-laki dan perempuan yang dibangun secara sosial melibatkan norma sosial
yang berbeda dan ekspektasi budaya untuk kedua jenis kelamin. Dalam budaya Barat,
identitas gender perempuan cenderung memiliki penekanan relasional, sedangkan
untuk laki-laki lebih didefinisikan dalam hal prestasi dan kompetisi.
Pengaruh gender sering dikaitkan dengan budaya dan etnis, baik ketika budaya
dengan peran gendernya memengaruhi praktik keagamaan, atau ketika identitas
agama mendukung pembentukan peran gender yang lebih tradisional, seperti pada
remaja perempuan Muslim Amerika. Interaksi ini semakin memperumit upaya untuk
mempelajari gender sebagai variabel. Pada remaja, kesempatan untuk pengalaman
religius tampak agak berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. Anak perempuan
melaporkan penguatan pengalaman religius lebih sering ketika sendirian, cemas, atau
ketakutan, sedangkan anak laki-laki lebih sering melakukannya dalam doa atau ketika
terlibat dalam situasi etis.
Teori identitas gender telah didukung oleh penelitian empiris, yang
menunjukkan bahwa perbedaan gender dalam religiusitas menghilang ketika peran
seks atau orientasi gender diperkenalkan sebagai variabel penjelas. Thompson dan
Remmes (dalam Nelson, 2009) telah memperluas model dengan menggambarkan
pembedaan yang membantu antara orientasi gender maskulin dan ideologi gender atau
pengesahan gagasan maskulin tradisional tentang ketangguhan dan mencari status.
Dalam sebuah studi terhadap orang dewasa yang lebih tua, mereka menemukan
bahwa motivasi intrinsik serta tingkat kehadiran yang lebih tinggi dan aktivitas
keagamaan pribadi terkait dengan orientasi gender feminin, sedangkan motivasi
ekstrinsik terkait dengan penerimaan ideologi ketangguhan maskulin. Motivasi
pencarian lebih terkait dengan orientasi gender maskulin. Feminisme telah
mempengaruhi dialog antara psikologi dan agama dalam beberapa cara. Hal ini terkait
dengan peralihan ke arah relasionalitas dalam bidang teologi dan psikologi agama,
dan pemahaman tentang bagaimana perubahan sosial bagi perempuan terkait dengan
pekerjaan dan keluarga telah mempengaruhi perempuan secara berbeda dari laki-laki.

13
Perubahan ini mungkin berdampak pada kemampuan mereka untuk berpartisipasi
dalam komunitas dan kegiatan keagamaan, dengan demikian mempengaruhi institusi
secara keseluruhan. Jonte-Pace (dalam Nelson, 2009) berpendapat bahwa pengaruh
feminis dalam psikologi agama telah menghasilkan tiga proyek, yaitu proyek kritis,
yang melihat bagaimana dan mengapa perempuan dikecualikan; proyek inklusif, yang
membawa pengalaman dan isu-isu perempuan; dan proyek analitik, yang mempelajari
bagaimana gender memengaruhi pengalaman dan sebaliknya. Pertimbangan faktor
pribadi dan sosial yang mengecualikan perempuan dan memperluas pandangan
pengalaman menjadi lebih inklusif dari perspektif mereka telah mempengaruhi terapi
dan bagaimana hal itu dapat diterapkan pada masalah agama.
Akhirnya, feminisme telah mempengaruhi praktik keagamaan. Beberapa
gerakan keagamaan baru tumbuh dari upaya feminis untuk mendefinisikan
spiritualitas perempuan di luar agama tradisional sebagai alternatif dari sistem yang
dianggap patriarki dan represif. Alternatif-alternatif ini sering mengacu pada
kepercayaan atau praktik Zaman Baru dan telah mendorong kebangkitan
neopaganisme, pemujaan Dewi, dan bahkan ilmu sihir. Retret ke spiritualitas masa
lalu ini terkadang terkait dengan keyakinan bahwa masyarakat sebelumnya adalah
matriarkal dan menyembah dewa perempuan daripada laki-laki.
Pertimbangan gender dan pengaruhnya terhadap agama sangat penting, tetapi
masih banyak yang harus dilakukan. Salah satu bahayanya adalah berasumsi bahwa
"perempuan" atau "feminin" entah bagaimana merupakan kategori kesatuan, ketika
pemikiran feminis modern berpendapat bahwa tidak ada pengalaman tunggal tentang
perempuan.

14
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
1. Gender dalam citra Tuhan agama-agama monoteistik dipengaruhi oleh pengalaman
individu dengan orang tua, pandangan sosial budaya tentang ibu dan ayah, serta
ajaran agama tentang kemungkinan karakteristik gender dari Tuhan. Citra Tuhan
biasanya digambarkan dengan kualitas keibuan dan kebapakan, dan periode
kehidupan tertentu dapat mempengaruhi penggambaran citra Tuhan. Faktor lain
seperti sikap spiritual dan religius juga dapat mempengaruhi karakteristik gender
citra Tuhan yang dipercayai oleh seorang individu.
2. Pengalaman awal anak-anak, seperti kepercayaan dan ikatan, mengembangkan nada
emosional dan sumber daya interpersonal yang nantinya dapat memengaruhi
pengalaman mistis atau religius dan citra Tuhan. Saat anak-anak menjadi dewasa,
mereka menjadi lebih sadar akan kepercayaan bersama dan kualitas komunal, serta
paradoks dan masalah moral yang menyertai perkembangan superego dan hati
nurani. Kehadiran Tuhan menunjukkan bahwa perubahan itu mungkin, dan jenis
perubahan yang diinginkan ditentukan oleh pandangan tentang Tuhan dan perubahan
yang mungkin terjadi. Dengan demikian, citra Tuhan dapat terus memainkan peran
fungsional sepanjang kehidupan dewasa dan memiliki potensi untuk tumbuh dan
berubah seiring waktu.
3. Penelitian empiris menunjukkan bahwa citra Tuhan teistik bersifat multidimensi dan
mencakup beberapa karakteristik yang relatif independen serta dibagi menjadi tiga
pengelompokan faktor yang memberikan tipologi gambar Tuhan, yaitu Tuhan yang
aktif, baik hati, membimbing, dan stabil, Tuhan yang kejam, murka, dan
menghukum, serta Tuhan yang jauh atau tidak peduli. Citra Tuhan juga terkait
dengan sosialisasi dan proyeksi citra orang tua, serta bervariasi pada kelompok
agama yang berbeda.
4. Citra Tuhan memiliki dampak psikologis yang signifikan pada individu, termasuk
hubungan interpersonal yang baik, harga diri yang lebih tinggi, dan tingkat
kecemasan yang lebih rendah. Citra Tuhan yang positif juga berhubungan dengan
kesejahteraan spiritual, keterlibatan religius atau kedewasaan spiritual, hubungan
objek yang positif, kualitas hubungan yang dirasakan dengan Tuhan, dan kualitas
figur Tuhan yang positif seperti kebajikan dan keabadian.

15
5. Perkembangan identitas merupakan proses kompleks dan terus berkembang yang
dipengaruhi oleh faktor kontekstual dan individu. Konsep baru pengembangan
identitas menolak pandangan tradisional yang menyatakan bahwa pembentukan
identitas harus melibatkan perjuangan dan penolakan terhadap harapan keluarga dan
komunitas. Identitas tidak hanya dipengaruhi oleh pengalaman individu, tetapi juga
dipengaruhi oleh hubungan interpersonal dan interaksi dengan lingkungan sosial dan
budaya.
6. Agama dan pengembangan identitas saling mempengaruhi satu sama lain. Agama
dapat membantu individu dalam proses pengembangan identitas dengan memberikan
pedoman atau panduan untuk memahami makna perilaku dan tindakan, serta
membantu individu dalam mencari identitas dan keamanan dalam hidup. Keyakinan
agama yang kuat dapat memberikan pengaruh signifikan dalam proses
pengembangan identitas.
7. Agama dapat memberikan efek prososial pada masa remaja. Religiusitas yang tinggi
pada remaja memiliki efek positif terhadap kesehatan mental dan perilaku prososial,
serta dapat bertindak sebagai faktor pelindung terhadap perilaku berisiko dan
kenakalan. Studi menunjukkan bahwa praktik keagamaan pribadi seperti berdoa dan
mempelajari kitab suci dapat mengurangi penggunaan alkohol dan narkoba. Model
aset perkembangan mengemukakan bahwa agama dapat menyediakan akses ke aset
eksternal dan mendukung pengembangan aset internal remaja.
8. Gender memainkan peran penting dalam praktik keagamaan, di mana perempuan
umumnya lebih religius daripada laki-laki karena ekspektasi sosial dan budaya. Teori
identitas gender menjelaskan bahwa perbedaan religiusitas hilang ketika peran dan
orientasi gender diperhitungkan. Feminisme telah memengaruhi studi psikologi dan
agama, yang mengarah pada proyek-proyek kritis, inklusif, dan analitis yang
mengeksplorasi dampak gender pada pengalaman keagamaan. Feminisme juga
menyebabkan tumbuhnya gerakan keagamaan baru yang mendefinisikan kembali
spiritualitas di luar agama tradisional. Namun demikian, perempuan atau feminitas
bukanlah kategori yang menyatu, karena pemikiran feminis modern berpendapat
bahwa tidak ada pengalaman tunggal menjadi perempuan.

3.2 Saran
Demikian makalah yang telah kami tulis. Semoga dapat menambah wawasan terkait
pengaruh sosial kepada pembaca. Kami, selaku penulis menyarankan agar pembaca dapat

16
lebih memahami tentang peran agama dalam perkembangan di masa kanak-kanak dan
remaja, sehingga dapat lebih memahami bagaimana agama dapat mempengaruhi
perkembangan anak-anak dan remaja, serta membantu mereka dalam menghadai
tantangan dan konflik yang terkait dengan agama.. Selain itu, kami juga menyadari bahwa
dalam makalah ini masih ditemukan banyak kekurangan, baik dari susunan kalimat
maupun kosakata yang mungkin masih sulit dipahami oleh pembaca. Oleh karena itu,
kami menyarankan agar pembaca mengulas kembali materi terkait pengaruh sosial dengan
literatur yang telah kami sediakan di dalam daftar pustaka, serta membuka KBBI untuk
mencari makna dari kosakata yang masih sulit dipahami.

17
DAFTAR PUSTAKA

Hood, Jr., R. W., Hill, P. C., & Spilka, B. (2009). The Psychology of Religion (4th ed.). The
Guilford Press. https://doi.org/10.1037/h0067109
Nelson, J. M. (2009). Psychology, Religion, and Spirituality. Springer Science + Business
Media, LLC.
Sejati, S. (2019). Implikasi Egosentris dan Spiritual Remaja dalam Mencapai Perkembangan
Identitas Diri. Jurnal Ilmiah Syi’ar, 19(1), 103. https://doi.org/10.29300/syr.v19i1.2269

18

Anda mungkin juga menyukai