Anda di halaman 1dari 24

METODOLOGI SUMBER HUKUM

ABU HANIFAH, IMAM MALIK,


IMAM SYAFII, AHMAD BIN
HANBAL, SYIAH DAN KHAWARIJ
IMAM ABU
HANIFAH
1. Al-Kitab (Al-Qur’an)

Suatu hal yang menjadi permasalahan Al-Kitab dalam pandangan Madzhab Hanafi adalah
apakah yang dinamakan Al-Qur’an itu hanya makna lafaznya saja atau kedua-duanya.

Menurut As-Sarkhasi, Al-Quran dalam pandangan Hanafi hanya maknanya saja, bukan lafaz
dan makna.
Adapun menurut Al-Badzdzawi, Abu Hanifah menetapkan Al-Quran adalah lafaz dan
maknanya. Jika diambil pendapat As-Sarkhasi, Abu Hanifah membolehkan kita solat dengan
membaca terjemahan Al-Fatihah dan dapat dipandang bahwa terjemahan Al-Quran sama
dengan Al-Quran itu sendiri. Perbezaan pendapat itu disebabkan oleh tidak adanya pendapat
yang jelas dari Abu Hanifah.

Akan tetapi, menurut sebuah riwayat, Abu Hanifah pernah berkata, “Ia membolehkan
membaca terjemahan Al-Quran dalam solat, baik kita dapat membaca ataupun tidak.
Pendapat tersebut dibantah Abu Yusuf dan Muhammad Al-Hasan, yang tidak membolehkan
hal tersebut, kecuali apabila tidak sanggup membaca Al-Quran dengan lafaz arabnya. Ulama
Madzhab Hanafi berpandangan bahwa pesan Al-Quran tidak semuanya qath’i ad-dalalah. Ada
beberapa hal yang memerlukan interpretasi terhadap hukum yang di tunjukan oleh Al-Quran
tersebut, terutama ayat-ayat yang menerangkan muamalah umum antara manusia.
Dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan muamalah tersebut, nisbah penggunaan akal
dalam mencari hukum suatu mashlahah lebih besar. Hal itu telah dibuktikan, baik oleh
Imam Hanafi maupun oleh murid-muridnya, dan kerana ini juga Madzhab Hanafi dikenali
sebagai madzhab yang paling Umari, dan madzhab liberalis, dan rasionalis. Dalam
memahami Al-Quran, ulama Madzhab Hanafi tidak hanya melakukan interpretasi terhadap
ayat-ayat yang masih mujmal, tetapi mereka juga melakukan penelaahan terhadap ‘aam dan
khas ayat Al-Quran tersebut. Dan inilah yang tampaknya menjadi ciri khas ulama-ulama
Irak yang dipelopori oleh Imam Hanafi dan ulama-ulama Hijaz yang semadzhab dengan
mereka.
Ayat-ayat Al-Quran yang berpautan dengan hukum, selain diteliti dari segi amm dan khas-
nya, juga harus ada usaha bayan, karena sifatnya mujmal atau agak tersembunyi
maknanya, memerlukan tafsir, takwil, atau sifat-sifatnya muthlaq memerlukan taqyid.
Oleh Karena itu ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Assunnah boleh menjadi bayan bagi
Al-Quran. Bayan Al-Quran menurut hanafi terbagi tiga bahagian:
1. Bayan taqrir, seperti sabda Nabi, “Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan
berbukalah kamu sesudah melihatnya”
2. Bayan tafsir, seperti hadits yang menerangkan kaifiyat shalat, kaifiyat haji, zakat, cara
memotong tangan pencuri dan menerangkan hukum-hukum yang berkenaan dengan
riba.
3. Bayan tabdin atau yang disebut juga bayan nasakh. Al-Quran boleh dinasahkan dengan
As-sunnah dengan syarat bahwa As-sunnah tersebut adalah mutawatir atau masyhurah
dan mustafidhah.
2. As-Sunah
Dasar yang digunakan oleh Mazhab Hanafi adalah As-Sunnah. Martabat AsSunnah terletak
dibawah Al-Quran. Imam Abu Yusuf berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang yang
lebih alim tentang menafsirkan hadis daripada Abu Hanifah. Ia adalah seorang yang
mengerti tentang penyakit-penyakit hadis dan men-ta’dil dan men-tarjib hadis.”

Tentang dasar yang kedua ini, Mazhab Hanafi sepakat mengamalkan AsSunnah yang
mutawatir, masyhur, dan sohih. Hanya saja, Imam Hanafi sebagaimana ulama Hanafiyah,
agak ketat menetapkan syarat-syarat yang dipergunakan untuk menerima hadis ahad.

Abu Hanifah menolak hadis ahad apabila berlawanan dengan ma’na Al-Quran, baik makna
yang diambil dari nash, atau yang diambil dari illat hukum. Ali Hasan Abd. Al-Qadir
mengatakan, “Musuh-musuh Abu Hanifah (orang yang tidak senang dengan Abu Hanifah)
menuduhnya tidak memberikan perhatian yang besar terhadap hadis. Ia mementingkan
ra’yu. Abu Shalih Al-Fura menuturkan, “Aku mendengar Ibn Asbath berkata, “Abu Hanifah
menolak 400 atau lebih hadis.” Abu Hanifah menerima hadis ahad, jika tidak berlawanan
dengan qiyas. Tetapi jika berlawanan hadis ahad dengan qiyas yang illatnya mustanbath
dari suatu ashal yang zonni, walaupun dari ashal yang qath’i, atau diistanbathkan dari ashal
yang qath’i, tetapi penetapannya kepada furu adalah dhanni, maka hadis ahad didahulukan
atas qiyas.
3. Fatwa Sohabi
Imam Abu Hanifah sangat menghargai pendapat para sahabat. Dia
menerima, mengambil, serta mengharuskan umat Islam mengikutinya.
Jika ada pada suatu masalah beberapa pendapat sahabat, maka ia
mengambil salah satunya. Dan jika tidak ada pendapat-pendapat
sahabat pada suatu masalah, ia berijtihad dan tidak mengikuti pendapat
tabiin.

Menurut Abu Hanifah, ijma sahabat ialah: “Kesepakatan para mujtahidin


dari umat Islam di suatu masa sesudah Nabi, atas suatu urusan.” Ta’rif
itulah yang disepakati ulama Ahlu Al-Ushul. Ulama Hanafiyah
menetapkan bahwa ijma itu dijadikan sebagai hujjah. Mereka menerima
ijma qauli dan ijma sukuti. Mereka menetapkan bahwa tidak boleh ada
hukum baru terhadap suatu urusan yang telah disepakati oleh para
ulama, kerana membuat hukum baru adalah menyalahi ijma.
Paling tidak, ada tiga alasan yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah
dalam menerima ijma’ sebagai hujjah:
a. Para sahabat berijtihad dalam menghadapi masalah yang timbul.
Umar al-Khatab dalam menghadapi suatu masalah, sering memanggil
para sahabat untuk diajak bermusyawarah dan bertukar pikiran. Apabila
dalam musyawarah tersebut diambil kesepakatan, Umar pun
melaksanakannya.
b. Para Imam salalu menyesuaikan pahamnya dengan paham yang telah
diambil oleh ulama-ulama di negerinya, agar tidak dipandang ganjil, dan
tidak dipandang menyalahi umum. Dan Abu Hanifah tidak mau
menyalahi sesuatu yang telah difatwakan oleh ulama-ulama Kufah.
c. Hadis-hadis yang menunjukkan keharusan menghargai ijma seperti:
Dengan demikian, jelaslah bahwa ulama Hanafiyah menetapkan bahwa
ijma merupakan salah sartu hujjah dalam agama, yang merupakan
hujjah qath’iyyah. Mereka tidak membezakan antara macam-macam
ijma. Oleh karena itu, apapun bentuknya kesepakatan yang datangnya
dari kesepakatan para ulama/masyarakat, itu berhak atas penetapan
suatu hukum dan sekaligus menjadi hujjah hukum
4. Qiyas
Qiyas adalah penjelasan dan penetapan suatu hukum tertentu yang tidak ada nasnya dengan
melihat masalah lain yang jelas hukumnya dalam Kitabullah atau As-Sunnah atau ijma’ karena
kesamaan illahnya.
Yang menjadi pokok pegangan dalam menjalankan qjyas adalah bahwa segalanya hukum syara’
ditetapkan untuk menghasilkan kemashlahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Hukum-
hukum itu mengandungi pengertian-pengertian dan hikmah-hikmah yang menghasilkan
kemaslahatan, baik yang diperintahkan mahupun yang dilarang, atau yang dibolehkan maupun
yang dimakruhkan. Semuanya demi, kemashlahatan umat.

Walaupun demikian, tidak bererti bahwa semua masalah yang baru timbul dan tidak ada hukumnya
dalam Al-Quran dan As- Sunnah serta ijma’, boleh diqiaskan begitu saja, atas dalil kemaslahatan
umum. Ada beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi tatkala hendak mengqiaskan suatu
permasalahan kepada hukum lama.
Di antara rukun yang harus dipenuhi dalam qias adalah:
1). ashal, iaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi tempat mengqiaskan, dalam istilah
ushul fiqh disebut al-ashlu atau al-musyabbah bihi;
2) cabang (al-far’u), iaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya. Dalam istilah ushul fiqh disebut
al-far’u almaqis atau al-musyabbah;
3) hukum ashal, yaitu hukum yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum
pada cabang;
4) illat hukum, yaitu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan atau yang munasabah dengan ada
dan tidak adanya hukum. Dan illat inilah yang akan menjadi titik tolak serta pijakan dalam
melaksanakan qiyas.
Tentang illah hukum yang ada dalam nas, tidak semua nash itu dapat
diselami illatnya oleh akal pikiran. Oleh karena itu Hanafiyah membagi nash
itu pada dua bagian:

1. Nushus ta’abbudiyah, yaitu nash-nash yang berkenaan dengan masalah-


masalah ibadah, seperti masalah tayamum, ibadah haji dan lainnya. Pada
nash ini tidak dilakukan qiyas. Karena hukumnya telah disyariatkan Allah,
serta ada kaidah yang mengatakan “tidak ada qias dalam masalah ibadah”.

2. nash-nash yang dibahas illatnya dan ditetapkan hukum berdasarkan


illatnya itu. Nash inilah yang disebut nash mu’allal, nash-nash yang diteliti
illatnya, maksudnya, sebab, dan ghayah- ghayahnya, dan pada nash ini
berlaku qias.
5. Istihsan
Istihsan yang ditakrifkan sebagai "pembinaan yang
menguntungkan", atau juga sering dikatakan sebagai pilihan
hukum (keutamaan perundangan) dijadikan hujjah oleh mazhab
Hanafi (Abdullah Ahmed An-Naim, 1994: 50).

Daripada menggunakan dan mengikuti qiyas secara tegar,


seorang fuqaha Hanafi lebih suka memilih (yabtasin) jalan keluar
lain, iaitu meninggalkan qiyas tersembunyi atau halus (qiyas
khafi), perbezaan qiyas (jali) yang jelas dan berada di luar model
membuat keputusan. dalam diri yang terkondisi.
6. Al-‘urf
Urf (adat kebiasaan), dalam batas-batas tertentu diterima sebagai sumber
syariah oleh madzhab Hanafi. Menurut madzhab Hanafi, ‘urf dapat
melampaui qias, namun tidak dapat melampaui nash Al-Quran dan As-
Sunnah. Sahal ibn Muzahim berkata, “Pendirian Abu Hanifah adalah
mengambil yang tepercaya dan lari dari keburukan serta memerhatikan
muamalah manusia dan apa yang mendatangkan mashlahat bagi mereka. Ia
melakukan segala urusan atas qiyas. Apabila tidak baik dilakukan qiyas, ia
melakukannya atas istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak
dapat dilakukan istihsan, kembalilah ia kepada ‘urf manusia. (Abdullah
Ahmed An-Naim, 1994: 53).
1. al- Quran
2. As-Sunnah
3. ljma
4. Qiyas,
5. Amal penduduk Madinah

IMAM MALIK 6. Istihsan


7. Sadd adZ-Zara’i,
8. Al-mashalih al-mursalah,
9. Qaul ash-shahabi, [jika sanadnya sahih, ia
bagian yang diterima] (
10. Mura’ah al-khilaf, [jika dalil ikhtilafnya kuat],
11.Al-istishhab
12.Syaru’ man qablana.
g. Adz-Dzara’i

Sadz Adz-Dzara’i, dasar istinbath yang sering dipakai oleh Imam Malik. Maknanya
adalah menyumbat jalan. Wasilahnya haram, haram, wasilahnya hahd, hakd. Demikian
pula dalam mashlahat yang harus dicari. Wasilah kepada keinunkaran haram dan harus
dicegah. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Imam Malik ibn Anas dalam berfatwa,
pertama, Al-Quran, As-Sunnah terutama As Sunnah orang-orang Madinah yang
setingliat dengan As-Sunnah mutawatirah. Pen, ijma, dan qiyas. Demikian pula, Asy-
Syatibi menyederhanakan dasar-dasar Imam Malik adalah Al-Quran, Sunnah, ijma dan
ra’yu

Penyederhanaan tersebut tampaknya beralasan; sebab qaul sahabat dan tradisi orang
Madinah dalam pandangan Malik adalah sebahagian dari Sunnah, sedangkan ra’yu
meliputi maslahat mursalat, sadd dzaraie, urf, istihsan, dan istishab. Dari berbagai
uraian di atas dapat difahami bahwa Imam Malik adalah seorang yang berpikiran
tradisional. Hanya karena kedalaman ilmunya, ia dapat mengimbangi berbagai
perkembangan yang terjadi saat itu.
Pertama, Imam Malik mendahulukan amalan orang-orang Madinah sebelum qiyas, suatu metode
yang tidak dipergunakan fuqaha lainnya.

Amalan orang-orang Madinah dalam pandangan Imam Malik, termasuk kategori As-Sunnah
mutawatirah, kerana pewarisannya melalui generasi ke generasi yang dilakukan secara serentak
sehingga menutup kemungkinan terjadinya penyimpangan dari As-Sunnah.
Hal itu terbukti kerana orang-orang Madinah [para sahabat] bergaul langsung dengan Nabi dan
mengembangkan tradisi hidup Nabi yang dikemudian hari diwariskan kepada tabi’in dengan cara yang
sama.

Pola ini diikuti pula tabi at-tabiin. “Tradisi orang Madinah” lebih jelas diterima oleh Imam Malik dalam
penerimaan hadis ahad. Menurutnya, suatu hadis ahad dapat diterima sepanjang tidak bertentangan
dengan tradisi orang-orang Madinah.

Kedua, qaul sahabat sebagai dalil syar’i yang didahulukan daripada qiyas. Pendapat ini ditanggapi
keras oleh Imam Syafi’i, dengan alasan bahwa dalil hanya dapat diperoleh dari orang-orang ma’sum.

Ketiga, Imam Malik menggunakan mashlahat al-mursalah. Hal ini menunjukkan bahwa Imam Malik
menggunakan rasional ketika tidak ada penjelasan Al-Quran dan Al-Hads tentang masalah-masalah
tertentu.
IMAM ASY-SYAFIE
Pertama, Imam Asy-Syafii mendasari Al-Quran, As-Sunnah, ijma, dan qiyas. Itulah unsur-unsur
dasar yang saling terkait dan disebutkannya dalam kitab yang ditulisnya. Keterkaitan unsur-unsur
tersebut merupakan hal yang baru dalam pemahaman para Ahlu fiqih pada umumnya. Karena salah
seorang Ahlu fiqh, Al.-Karabisi, menyatakan, “Sebelumnya kami tidak pernah tahu apa yang
dimaksud kitabullah, As-Sunnah dan ijma, hingga datang Syafi’I yang memaparkannya secara
terinci”. Sementara itu, Abu Tsur, seorang Ahlu fiqh lainnya menyatakan bahwa ia memahami
adanya nash yang umum, tetapi bermakna khusus, dan sebaliknya nash yang khusus, tetapi
bermakna umum, setelah mendapat penjelasan dari Syafi’i. Sebelumnya, kami tidak memahami
adanya nash-nash seperti itu, demikan pengakuannya.

Kedua, fiqh Syafi’i merupakan campuran antara fiqh Ahlu Ar- Ra’yi dengan fiqh Ahlu Al-Hadis.
Kedua metode tersebut memilki cara tersendiri dalam mengambil istinbath. Ahlu Ar-Ra’yi adalah para
cendekiawan yang memiliki pandangan yang luas. Akan tetapi, kemampuan mereka untuk menerima
atsar dan As-Sunnah sangat terbatas. Sementara itu, Ahlu Al-Hadis sangat gigih mengumpulkan
hadis, atsar dan beberapa hal lainnya yang berkaitan dengan perbuatan para sahabat. Namun,
mereka bukan Ahlu munaqasyah dan istinbath. jadi, Ahlu fiqh hendaknya menggunakan ra’yi dan
hadis sekaligus. Dan Syafi’i adalah. seorang ahli dalam metode tersebut.
Kecerdasannya yang sangat tinggi menjadikannya seorang yang ahlu dalam ra’yi dan munaqasyah.
Pada saat yang sama, ia juga seorang yang ahli dalam ilmu hadis yang mampu membangkitkan para
ahlul hadis lainnya sehingga oleh para uhuna lainnya ia dijuluki “penolong, As-Sunnah”. Lebih dari
itu, ia tidak sekadar ahli dalam kedua pendekatan tersebut, tetapi juga mampu untuk menyatukan
keduanya dan membangun fiqih di atasnya serta mencetuskan ilmu ushul fiqih yang merupakan salah
satu unsure pokok dalam madzhabnya. Dalam kaitan ini, fakhru Ar-Razi mengatakan, “keterakaitan
ilmu ushul fiqih adalah sebagaimana keterkaitan Aristoteles dengan ilmu kalam, dan Khlalil Ibn
Ahmad dengan ilmu “Arudh. Mereka yang membaca karya-karyanya akan mendapat kejelasan tentang
kemampuannya dalam menentukan urutan-urutan dalam penetapan dalil.

Ketiga, dalam pandangan syafi’i, pendekatan Ahlu Al-Hadits lebih jelas dalam masalah ushul. Oleh
karena itu, ia menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber hukum dan pokok-pokok syariat. Setelah itu, ia
merujuk kepada hadis. Jika dalam penggunaan hadis telah dianggap cukup dalam menetapkan
hukum, ia tidak menggunakan ra’yi. Prinsip yang digunakannya adalah seperti yang diucapkannya,
“Apa pun pendapat yang telah aku kemukakan, bila kemudian ada hadis yang berlawanan dengan
pendapatku itu, pernyataan Rasulullah itulah pendapatku.”

Keempat, fiqh Syafi’i menggunakan ijma’ sebagai dasar ketetapan hukum. Hal itu karena kenyataan
secara syar’i untuk menjadikannya sebagai hujjah yang wajib diamalkan Lalu, ia membuat rumusan
untuk pengaturan Syafi’i menempatkan ijma’ pada urutan tiga setelah Al-Quran dan As-Sunnagh
(sekalipun berupa hadis ahad atau satu sanad)
Kelima, Syafi’i juga mengukuhkan qiyas sebagai dasar madzhab. Dapat dikatakan bahwa Syafi’i
adalah orang pertama yang masalah qiyas secara terinci. Pada waktu itu para Ahlu belum membuat
pembatasan antara ra’yu yang sahih dan rayu yang tidak sahih. Syafi’i kemudian memaparkan
kaidah ra’yu yang dianggapnya sahih dan istinbath yang tidak sahih. Ia jelaskan pula perbedaan
besar antara bermacam-macam istinbath dan qiyas, menurut kadar yang ditentukannya dalam
kaidah itu.

Keenam, Syafi’i menolak penggunaan kaidah istihsan, sebagaimana dinyatakan dalam kitabnya,
ibthalul istihsan, metode ini adalah metode yang biasa digunakan Abu Hanifah. Menurut syafi’I
dalam penerapan metode ini, seorang Ahlu Fiqh setelah merujuk kepada Al-Quran, As-Sunnah, Ijma,
Qiyas, ia menetapkan hukum yang dipandangnya baik, bukan hanya berpegang pada dalil Al-Quran
dan As-Sunnah. Lebih lanjut, Imam Syafi’I menyatakan, “Bila Ijtihad digunakan dengan metode
istihsan, tanpa sepenuhnya bersandar pada pokok syariat atau nash dan As-Sunah, ijtihad tersebut
batil. Dengan demikian seluruh hasil ijtihad yang menggunakan metode ini batil pula hukumnya.”
IMAM HANBALI
Melihat dasar-dasar Imam Hanbali, nampak bahwa penggunaan akal disempitkan sampai batas
tertentu. Bahkan, dalam banyak hal, pemikiran Imam Hanbali dirujukkan pada fatwa-fatwa
sahabat tanpa membezakan apakah fatwa itu berdasarkan As-Sunnah, atsar atau ijtihad.
Meskipun fatwa itu merupakan rujukan kedua setelah As-Sunnah.

Berbeza dengan Asy-Syafi’i bila terjadi taarud antara hadis dan fatwa sahabat, mengambil hadis.
Apalagi Imam Hanafi tidak mengagunakan fatwa sahabat, kecuali setelah diketahui melalui qiyas.

Terkenal sebagai imam tradisional tampaknya “tepat” bagi Imam Ahmad di samping faktor
multialiran dan pemahaman pada saat yang memengaruhi pemikiran tradisionalisnya.

Julukan imam tradisionalis kepada Imam Ahmad tampaknya tidak kaku dan mati. Sebab, dalam.
beberapa hal, Imam Hanbali menggunakan mashlahat mursalahat. Sebagaimana dikatakan, oleh
Abu Zahrah, bahwa, “Imam Hanbal. menggunakan mashlahat mursalah sebagai bahagian dari
qiyas. Kerana mashlahat mursalah adalah qiyas terhadap kemashlahatan umum yang memberikan
manfaat yang didasarkan kepada sekumpulan nash Al-Quran dan nubuwwah sebagaimana Imam
Maliki menggunakannya”.

Beberapa contoh fiqh Imam Ahmad, sebagai berikut: Dalam bidang pemerintahan, sebagaimana
dikatakan oleh Abu Zahrah, “Pemikiran Ahmad Ibn Hanbal tentang kepemimpinan mengikuti
manhaj salaf [dari kalangan Quraisy], sedangkan ketaatan kepada khalifah adalah mutlak.
Jawab Soalan Berikut
1. Jelaskan metodologi istinbat hukum madzhab Maliki

2. Jelaskan metodologi istinbat hukum madzhab Syafii


3. Apakah madzhab Hanafi menggunakan ‘amal ahli
TUGASAN Madinah dalam pengambilan hukum? Jelaskan.
4. Kenapa mazhab Maliki menggunakan al-adat dalam
istinbath hukum?

5. Apakah faktor perbezaan metodologi istinbat hukum


antara imam-imam mazhab ini?

Anda mungkin juga menyukai