Anda di halaman 1dari 3

NAMA : AJENG SRI HANDAYANI

NPM : 19110111

KELAS : BK2C

MATA KULIAH : PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI


A. DUNIA
Bidang psikologi pendidikan didirikan oleh beberapa perintis pada akhir abad ke-19 dan
memasuki abad ke-20, yang dipelopori oleh tiga tokoh yaitu William James, John Dewey, E.L
Thorndike.
William James (11 Januari 1842-26 Agustus 910) adalah filsuf dan psikolog Amerika, dan
pendidik pertama pendidik pertama yang menawarkan kursus psikologi di Amerika Serikat.
Sesaat setelah meluncurkan buku pertama, James secara serius memberi kuliah Talks to
Teachers dalam upaya mengimplementasikan psikologi bagi pendidikan anak-anak. James
berpendapat bahwa percobaan psikologi yang dilakukan di laboratorium seringkali tidak
dapat menjelakan kepada kita bagaimana mengajar anak-anak secara efektif. la
menekankan pentingnya pengamatan belajar mengajar di ruang kelas bagi peningkatan
kualitas pembelajaran (Santrock, 2017).
John Dewey (1859-1952) Bagi Dewey, belajar terutama merupakan kegiatan yang muncul
dari pengalaman pribadi bergulat dengan masalah. Dewey berpendapat, sekolah-sekolah
tidak memberikan pengalaman belajar yang sebenarnya tetapi hanya kumpulan fakta yang
tak ada habisnya, yang diberikan kepada siswa, yang memberi mereka melupakannya
(Talebi, 2015). Dalam pembelajaran, siswa harus dipandang sebagai pribadi aktif dalam
belajar (child as an active learner). Sebelumnya berkembang pandangan bahwa anak adalah
pribadi yang pasif, anak hanya duduk dan mendengar apa yang disampaikan oleh guru.
Dewey berpendapat secara tegas bahwa belajar yang terbaik adalah "learn best by doing".
Siswa juga harus dipandang sebagai pribadi utuh (whole child) dan menekankan makna
penyesuaian anak terhadap lingkungannya. Pelaksanaan pembelajaran, guru harus
mendorong anak untuk belajar bagaimana menjadi pribadi yang mampu memecahkan
masalah (Surna & Pandeirot, 2014).
E.L. Thorndike (1874-1949) adalah tokoh ketiga yang mempelopori perkembangan
psikologi. Perhatiannya adalah pada asesmen, pengukuran, dan penegakan prinsip ilmiah
terhadap hakikat belajar. Thorndike (dalam Surna & Pandeirot, 2014) berpendapat bahwa
pendidikan sekolah memiliki tugas yang amat penting, yaitu mampu mendorong anak untuk
mengembangkan keterampilan berpikir rasional serta berupaya menjadikan kajian ilmiah
tentang kegiatan belajar mengajar. Psikologi pendidikan harus didasarkan pada kajian
ilmiah, yang terutama berfokus pada penggunaan dan pengembangan pengukuran.
Dia juga berpikir bahwa motivasi adalah faktor penting dalam belajar. The Lauw of Effect
memperkenalkan hubungan antara reinforcers dan punishers. Meskipun deskripsi
Thorndike tentang hubungan antara reinforcers dan punishers tidak lengkap, karyanya di
area ini nantinya akan menjadi katalis dalam penelitian lebih lanjut, seperti yang dilakukan
oleh B.F. Skinner. Kontribusi Thorndike terhadap Masyarakat Psikologi Perilaku dilihat
melalui pengaruhnya di kelas, dengan fokus khusus pada perilaku memuji dan
mengabaikan. Pujian digunakan di kelas untuk mendorong dan mendukung terjadinya
perilaku yang diinginkan. Ketika digunakan di kelas, pujian telah terbukti meningkatkan
respons yang benar dan perilaku yang tepat. Pengabaian terencana digunakan untuk
menurunkan, melemahkan, atau menghilangkan terjadinya perilaku target. Misalnya. ketika
guru tidak memperhatikan perilaku "merengek" seorang siswa, itu memungkinkan siswa
untuk menyadari bahwa merengek tidak akan berhasil dalam mendapatkan perhatian guru.
B. INDONESIA
Indonesia memiliki seorang tokoh pendidik dan peletak dasar kajian psikologi pendidikan di
Indonesia, yaitu Ki Hadjar Dewantara. Mengutip tulisan di Buku "Ki Hadjar Dewantara:
Pemikiran dan Perjuangannya" yang ditulis oleh Wiryopranoto, dkk (2017), Beliau lahir pada
2 Mei 1889 di Yogyakarta dengan nama RM Soewardi Soerjaningrat, putra GPH
Soerjaningrat, atau cucu Sri Paku Alam III. Saat genap berusia 40 tahun menurut kalender
Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara dan menanggalkan gelar
kebangsawanan di depan namanya.
Pada 3 Juli 1922, dengan mengikuti panggilan jiwanya sebagai pendidik beliau mendirikan
Perguruan Nasional Taman Siswa guna mendidik masyarakat bumiputra. Menurut Ki Hadjar
Dewantara, pendidikan adalah alat mobilisasi politik dan sekaligus sebagai penyejahtera
umat. Dari pendidikan akan dihasilkan kepemimpinan anak bangsa yang akan memimpin
rakyar dan mengajaknya memperoleh pendidikan yang merata, pendidikan yangbisa
dinikmati seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan pengamatan dan pengalamannya, Ki Hadjar Dewantara mencetuskan
pemikiran bahwa pendidikan yang mengena kepada bangsa Timur adalah pendidikan yang
humanis, kerakyatan dan kebangsaan. Tiga hal inilah dasar jiwa Ki Hadjar Dewantarn untuk
mendidik bangsa dan mengarahkannya kepada politik pembebasan atau kemerdekaan.
Pengalaman yang diperoleh dalam mendalami pendidikan yang humanis ini dengan
menggabungkan model sekolah Maria Montessori (Italia) dan Rabindranath Tagore (India).
Menurut Ki Hadjar Dewantara dua sistem pendidikan yang dilakukan dua tokoh pendidik ini
sangat cocok untuk sistem pendidikan bumiputra. Lalu dari mengadaptasi dua sistim
pendidikan itu, Ki Hadjar Dewantara menemukan istilah dan menjadi karakter, yaitu Patrap
Guru, atau tingkah laku yang menjadi panutan murid-murid dan masyarakat. Patrap Guru
berisi falsafah "Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa. Tut Wuri Handayani",
yang artinya di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat dan cita-cita, di
belakang mengikuti sertamendukungnya. Patrap Guru ini menjadi pegangan dan pedoman
guru dalam berperilaku dan berinteraksi bersama para siswa, yang selanjutnya menjadi
hakikat dan nilai pendidikan Indonesia.
Surna & Pandeirot (2014) memperinci makna falsafah pendidikan Ki Hajar Dewantara,
yakni:
1. Peserta didik dipandang sebagai subjek yang memiliki potensi dan memiliki posisi
sentral dalam proses pembelajaran. Peserta didik tidak pasif, dengan guru berfungsi
menciptakan kondisi lingkungan belajar yangkondusif sehingga peserta didik memiliki
motivasi, kemandirian, dan bertanggung jawab penuh aras proses pembelajaran yang
dilaksanakannya.
2. Pendekatan manusiawi menjadi perhatian utama dalam melaksanakan proses
pembelajaran, dan di sinilah Ki Hajar Dewantara mengaplikasikan pendekatan psikologi
humanistik. Manusia-dalam hal ini peserta didik-tidak dijadikan objek pendidikan sesuai
kehendak guru. Justru, peserta didik diletakkan sebagai pribadi yang mampu
menentukan pilihan dan bertanggung jawab atas pilihannya, dengan guru berfungsi
memfasilitasi lingkungan pendidikan yang dijadikan acuan bagi pengembangan diri
sesuai norma dan nilai yang dianut dalam budayanya.
3. Ki Hajar Dewantara menempatkan peserta didik dalam kerangka pengembangan
kedewasaan berpikir dan berperilaku dalam konteks kehidupan budaya dan
bermasyarakat secara luas, sehingga peserta didik mampu mengedepankan nilai-nilai
kemanusiaan yang memiliki nilai peradaban sebagai umat manusia secara universal.
4. Penghargaan nilai-nilai budaya ternyata mendapat tempat secara proporsional dalam
pengembangan nilai didik, dan ini tampaknya dapat dijadikan acuan dalam konteks nilai
moral secara universal.
5. Peserta didik dalam konteks implementasi psikologi pendidikan mendapat tempar
secara benar, dimana peserta didik dihargai baik dari aspek latar belakang, potensi,
harga diri, dorongan untuk percaya diri, kemandirian, dan tanggung jawab dalam
mengambil keputusan. Ini memberi kontribusi terhadap pengembangan potensi peserta
didik secara optimal.

Anda mungkin juga menyukai