Oleh
Kelompok 3
1. Laelatul Badriya 20.01.0022
Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga
penyusunan makalah dengan judul “Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam
(Konsep Islam Tentang Fitrah), Lingkungan (Bi’ah), dan Pendidikan Seumur
Hidup” dapat terselesaikan tepat waktu.
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu
Pendidikan Islam Sebagai ungkapan rasa syukur terselesaikannya penyusunan
makalah ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih Kepada:
1. Bapak Drs.H.Sulaiman Hasan, M.A., Selaku ketua program studi PAI;
2. Bapak Agus Maksum, M.M, M.Pd, Selaku dosen mata kuliah ‘Ilmu Pendidikan
Islam’ Semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang
membaca makalah ini. Kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan untuk perbaikan makalah ini.
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
M. Nashir Ali, Dasar-Dasar Ilmu Mendidik (Jakarta: Mutiara, 1982), 93.
2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta : Syamil Cipta Media, 2015), 275.
3
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 170.
3
“Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membawa fitrah (kecenderungan
untuk percaya kepada Allah), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak
tersebut beragama Yahudi, Nasrani, Majusi” (HR. Muslim)4
Menurut hadits ini manusia lahir membawa kemampuan-kemampuan,
kemampuan itulah yang disebut pembawaan, Fitrah yang disebut di dalam hadis
itu adalah potensi. Potensi adalah kemampuan jadi fitrah yang dimaksud disini
adalah pembawaan. Ayah dan ibu dalam hadis ini adalah lingkungan sebagaimana
yang dimaksud oleh para ahli pendidikan. Kedua-duanya itulah menurut hadis ini,
yang menentukan perkembangan seseorang5.
Manusia mempunyai banyak kecenderungan, ini disebabkan oleh banyak
potensi yang dibawanya. Dalam garis besarnya, kecenderungan itu dapat dibagi
dua, yaitu kecenderungan menjadi orang yang baik dan kecenderungan menjadi
orang yang jahat. Kecenderungan beragama termasuk ke dalam kecenderungan
menjadi baik6.
Firman Allah dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat :30 :
ق هَّللا ِ َذلِكَ ال~دِّينُ ْالقَيِّ ُم
ِ اس َعلَ ْيهَا اَل تَ ْب ِدي َل لِ َخ ْل
َ َّط َرةَ هَّللا ِ الَّتِي فَطَ َر النْ ِِّين َحنِيفًا ف َ َفََأقِ ْم َوجْ ه
ِ ك لِلد
ِ ََّولَ ِك َّن َأ ْكثَ َر الن
َاس اَل يَ ْعلَ ُمون
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (islam sesuai)
fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada
perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum: 30)7
Dari ayat dan hadits tersebut jelaslah bahwa pada dasarnya anak itu telah
membawa fitrah beragama, dan kemudian bergantung kepada para pendidiknya
dalam mengembangkan fitrah itu sendiri sesuai dengan usia anak dalam
pertumbuhannya. Dasar-dasar pendidikan agama ini harus sudah ditanamkan sejak
peserta didik itu masih usia muda, karena kalau tidak demikian kemungkinan
mengalami kesulitan kelak untuk mencapai tujuan pendidikan Islam yang
diberikan pada masa dewasa. Dengan demikian, agar pendidikan Islam dapat
berhasil dengan sebaik-baiknya haruslah menempuh jalan pendidikan yang sesuai
dengan perkembangan peserta didik.
4
Shahih Bukhari, 1358:23.
5
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung : PT. Remaja Rosda
Karya, 2008),35.
6
Ibid.,35.
7
Departemen Agama RI, Al-Qur’an, 407.
4
Fitrah berarti potensi dasar manusia. Maksudnya potensi dasar manusia ini
sebagai alat untuk mengabdi dan ma’rifatullah. Para filosof yang beraliran
empirisme memandang aktivitas fitrah sebagai tolak ukur pemaknaannya.
2.1.2 Karakteristik Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam
Beberapa hal yang perlu dipahami mengenai karakteristik peserta didik adalah:
1) Peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan
kebutuhan itu semaksimal mungkin. Kebutuhan individu, menurut
Abraham Maslow, terdapat lima hierarki kebutuhan yang
dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan
tahap dasar (basic needs) yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan
terjamin, cinta dan ikut memiliki (sosial), dan harga diri; dan (2)
metakebutuhan-metakebutuhan (meta needs), meliputi apa saja yang
terkandung dalam aktualisasi diri, seperti keadilan, kebaikan,
keindahan, keteraturan, kesatuan, dan lain sebagainya. Sekalipun
demikian, masih ada kebutuhan lan yang tidak terjangkau kelima
hierarki kebutuhan itu, yaitu kebutuhan akan transendensi kepada
Tuhan. Individu yang melakukan ibadah sesungguhnya tidak dapat
dijelaskan dengan kelima hierarki kebutuhan tersebut, sebab akhir dari
aktivitasnya hanyalah keikhlasan dan ridha dari Allah SWT.
2) Peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang
lain, baik perbedaan yang disebabkan dari factor endogen (fitrah)
maupun eksogen (lingkungan) yang meliputi segi jasmani, intelegensi,
sosial, bakat, minat, dan lingkungan yang mempengaruhinya. Peserta
didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia. Sesuai dengan
hakikat manusia, peserta didik sebagai makhluk monopluralis, maka
pribadi peserta didik walaupun terdiri dari banyak segi, merupakan satu
kesatuan jiwa raga (cipta, rasa dan karsa)
3) Peserta didik merupakan subjek dan objek sekaligus dalam pendidikan
yang dimungkinkan dapat aktif, kreatif, serta produktif. Setiap peserta
didik memiliki aktivitas sendiri (swadaya) dan kreatifitas sendiri (daya
cipta), sehingga dalam pendidikan tidak hanya memandang anak
sebagai objek pasif yang bisanya hanya menerima, mendengarkan
5
saja.Sebagai makhluk, anak didik mempunyai akal dan kecerdasan yang
merupakan potensi dan kelebihan dibanding dengan makhluk-makhluk
lain8. Dengan sifatnya yang dinamis, aktif, kreatif dan dengan
kecerdasannya, seorang anak didik memiliki bekal untuk menghadapi
dan memecahkan masalah. Sehubungan dengan hal ini, usaha untuk
meningkatkan kecerdasan merupakan tugas utama dalam arena
pendidikan.9 Anak didik harus dipandang tidak hanya sebagai kesatuan
antara jasmani dan rohani saja, namun juga manifestasinya sebagai
tingkah laku dan perbuatannya yang berada dalam pengalamannya
tersebut. Terutama pada kecerdasannya, sangat perlu untuk difungsikan
dalam diri anak didik yang aktif dan bermanfaat sepenuhnya dalam
lingkungan. Anak didik sangat perlu mendapatkan kesempatan yang
sangat cukup dan sangat bebas juga sebanyak-banyaknya untuk
mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang terdapat disekitarnya.
Terutama kejadian yang berhubungan dengan kejadian pada
kebudayaan. Anak didik perlu memperluas pengetahuannya, karena
pada masa anak-anak otak mereka masih mampu untuk merekam segala
yang mereka lihat maupun dengar atau mereka lakukan, atau pada masa
sekarang disebut dengan masa keemasan.
4) Peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dalam
pola perkembangan serta tempo dan iramanya. Implikasi dalam
pendidikan adalah bagaimana proses pendidikan itu dapat disesuaikan
dengan pola dan tempo, serta irama perkembangan peseta didik. Kadar
kemampuan peserta didik sangat ditentukan oleh usia dan priode
perkembangannya, karena usia itu bisa menentukan tingkat
pengetahuan, intelektual, emosi, bakat, minat peserta didik, baik dilihat
dari dimensi biologis, psikologis, maupun dedaktis10.
2.1.3 Sifat-Sifat dan Kode Etik Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
8
Moch Tolchah, Penelitian konsepsi anak didik menurut progressivisme dalam perspektif
pendidikan Islam (Surabaya : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2015), 65.
9
Imam Barnadib, Dasar-dasar Kependidikan: Memahami Makna Dan Perspektif Beberapa Teori
Pendidikan (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1996), 35.
10
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta : Kencana, 2008), 105-106.
6
Sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakannya dalam proses belajar mengajar, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Al-Ghazali, yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman,
merumuskan sebelas pokok kode etik peserta didik, yaitu:
1) Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk
menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela
(takhalli) dan mengisi dengan akhlak yang tepuji (tahalli) sebagaimana
Firman Allah SWT. QS. Al-Dzariyat: 56).
)١٦٢( َي َو َم َماتِي هَّلِل ِ َربِّ ْال َعالَ ِمين َ قُلْ ِإ َّن
َ صالتِي َونُ ُس ِكي َو َمحْ يَا
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam”.11 (QS. Al-An’am: 162)
َ ت ْال ِج َّن َواإل ْن
)٥٦( س ِإال لِيَ ْعبُدُو ِن ُ َو َما خَ لَ ْق
“Dan Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah
kepada-Ku”.12 (QS. Adz-Dzariyat: 56)
2) Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi,
sebagaimana Firman Allah SWT.
)٤( ك ِمنَ األولَى
َ ََولَآل ِخ َرةُ خَ ْي ٌر ل
“dan Sungguh, Akhirat itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan (dunia)”
(QS. Adl-Dluha: 4).13
Maksud ayat diatas ialah bahwa akhir perjuangan Nabi Muhammad S.A.W.
itu akan menjumpai kemenangan-kemenangan, sedang permulaannya penuh
dengan kesulitan-kesulitan. Ada pula sebagian ahli tafsir yang mengartikan lafadz
al-akhirat dengan kehidupan akhirat beserta segala kesenangannya dan al-ula
dengan arti kehidupan dunia. Artinya, belajar tak semata-mata untuk
mendapatkan pekerjaan, tapi juga belajar ingin berjihad melawan kebodohan
demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik di hadapan manusia dan
Allah SWT.
7
dalam menggunakan kecerdasan itu pada pendidikanya, termasuk juga bijak
kepada teman-temannya yang IQ-nya lebih rendah.
4) Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran, sehingga
ia terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam
dalam belajar.
5) Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah), baik untuk ukhrawi
maupun untuk duniawi, serta meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela
(madzmumah). Ilmu terpuji dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT,
sementara ilmu tercela akan menjauhkan dari-Nya dan mendatangkan
permusuhan antar sesamanya.
6) Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang
mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu yang
fardlu ‘ain menuju ilmu yang fardlu kifayah sebagaimana Firman Allah
SWT.
)١٩( ق َ لَتَرْ َكب َُّن طَبَقًا ع َْن
ٍ َطب
“Sesungguhnya kamu benar-benar akan menjalani tingkat demi tingkat (dalam
kehidupan)” (QS. Al-Insyiqaq: 19).14
7) Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya,
sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara
mendalam. Dalam konteks ini, spesialisasi jurusan diperlukan agar peserta
didik memiliki keahlian dan kompetensi khusus.
8) Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari, sehingga
mendatangkan objektivitas dalam memandang suatu masalah.
9) Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai
makhluk Allah SWT., sebelum memasuki ilmu duniawi.
10) Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan yaitu ilmu
yang bermanfaat dapat membahagiakan, menyejahterakan, serta memberi
keselamatan hidup dunia akhirat.
11) Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik sebagaimana tunduknya
orang sakit terhadap dokternya, mengikuti segala prosedur dan metode
14
Departemen Agama RI, Al-Qur’an, 589.
8
madzab yang diajarkan oleh pendidik-pendidik pada umumnya, serta
diperkenankan bagi peserta didik untuk mengikuti kesenian yang baik15.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra. memberikan syarat bagi peserta didik
dengan enam macam, yang merupakan kompetensi mutlak yang dibutuhkan
tercapainya tujuan pendidikan. Adapun syarat-syarat tersebut, yaitu16:
1. Memiliki kecerdasan (dzaka’); yaitu penalaran, imajinasi, wawasan (insight),
pertimbangan dan daya penyesuaian sebagai proses mental yang dilakukan secara
cepat dan tepat. Kecerdasan kemudian berkembang dalam tiga definisi, yaitu:
kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru
secara cepat dan efektif;
kemampuan menggunakan konsep abstrak secara efektif, yang meliputi
empat unsur, seperti memahami, berpendapat, mengontrol, dan
mengkritik; dan
kemampuan memahami pertalian-pertalian dan belajar dengan cepat
sekali17.
Jenis-jenis kecerdasan meliputi;
kecerdasan intelektual yang menggunakan otak kiri dalam berpikir linear;
kecerdasan emosional, yang menggunakan otak kanan/intuisi dalam
berpikir asosiatif;
kecerdasan moral, yang menggunakan tolak ukur baik buruk dalam
bertindak;
kecerdasan spiritual, yang mampu memaknai terhadap apa yang dialami
dengan mengguanakan otak unitif;
kecerdasan qalbiyah atau ruhaniyah yang puncaknya pada ketaqwaan diri
kepada Allah SWT.
2. Memiliki hasrat (hirsah), yaitu kemauan, gairah, moril dan motivasi yang tinggi
dalam mencari ilmu, serta tidak merasa puas terhadap ilmu yang diperolehnya.
Hasrat ini menjadi penting sebagai persyaratan dalam pendidikan, sebab persoalan
manusia tidak sekedar mampu (qudrah) tetapi juga mau (iradah). Simbiotis antara
15
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta : Kencana, 2008), 113-114.
16
Burhan Ilham al-Zarnuzi dalam Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta : Kencana, 2008),
115.
17
J. P Chaplin, dalam Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta : Kencana, 2008), 116.
9
mampu (yang diwakili kecerdasan) dan mau (yang diwakili hasrat) akan
menghasilkan kompetensi dan kualifikasi pendidikan yang maksimal. Motivasi
belajar dalam Islam adalah agar seseorang dapat mengenal (ma’rifah) pada Allah
SWT., karena Dia hanya mengangkat derajat bagi mereka yang beriman dan
berilmu. Sebagaimana Firman Allah SWT. (QS. Al-Mujadalah: 11. Az-Zumar: 9)
ح هَّللا ُ لَ ُك ْم َوِإ َذا قِي َل ا ْن ُش ُزوا
ِ س فَا ْف َسحُوا يَ ْف َس ِ ِيَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإ َذا قِي َل لَ ُك ْم تَفَ َّسحُوا فِي ْال َم َجال
)١١( ت َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ خَ بِي ٌر ٍ فَا ْن ُش ُزوا يَرْ فَ ِع هَّللا ُ الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوالَّ ِذينَ ُأوتُوا ْال ِع ْل َم َد َر َجا
“(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang
beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada
(azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.19
3. Bersabar dan tabah (isthibar) serta tidak mudah putus asa dalam belajar,
walaupun banyak rintangan dan hambatan, baik hambatan ekonomi, psikologis,
sosiologis, politik, bahkan administatif. Sabar adalah menahan (al-habs) diri, atau
lebih tepatnya mengendalikan diri, yaitu menhindarkan seseorang dari perasaan
resah, cemas, marah, dan kekacauan terutama dalam proses belajar. Sabar juga
meliputi menghindari maksiat, melaksanakan perintah, dan menerima cobaan
dalam proses pendidikan. Allah SWT. Berfirman: (QS. Ali Imran: 200).
َ يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اصْ بِرُوا َو
)٢٠٠( َصابِرُوا َو َرابِطُوا َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون
18
Departemen Agama RI, Al-Qur’an, 543.
19
Ibid., 459.
10
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu
dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada
Allah, supaya kamu beruntung”.20
Menurut Al-Ghazali, sabar terkait dengan dua aspek, yaitu: Pertama, fisik
(badanî), yaitu menahan diri dari kesulitan dan kelelahan badan dalam belajar.
Dalam kesabaran ini sering kali mendatangkan rasa sakit, luka dan memikul
beban yang berat; kedua, psikis (nafsi), yaitu menahan diri dari tuntutan hawa
nafsu yang mengarahkan seseorang meninggalkan pertimbangan rasional dalam
mencari ilmu.
4. Mempunyai seperangkat modal dan sarana (bulghah) yang memadai dalam
belajar. Dalam hal ini, biaya dan dana pendidikan menjadi penting, yang
digunakan untuk kepentingan honor pendidik, membeli buku dan peralatan
sekolah, dan biaya pengembangan pendidikan secara luas. Secara spiritual, inilah
investasi yang hakiki dan abadi yang dapat dinikmati untuk jangka panjang dan
masa depan di akhirat
5. Adanya petunjuk pendidik (irsyad ustadz), sehingga tidak terjadi salah
pengertian (misunderstanding) terhadap apa yang dipelajari. Dalam belajar,
seseorang dapat melakukan metode autodidak, yaitu belajar secara mandiri tanpa
bantuan siapa pun. Sekalipun demikian, pendidikan masih tetap berperan pada
peserta didik dalam menunjukkan bagaimana metode belajar yang efektif
berdasarkan pengalaman sebagai seorang dewasa, serta yang terpenting, pendidik
sebagai sosok yang perilakunya sebagai suri tauladan bagi peserta didik. Dalam
banyak hal, interaksi pendidikan tidak dapat digantikan dengan membaca, melihat
dan mendengar jarak jauh, tetapi dibutuhkan face to face antara kedua belah pihak
yang didasarkan atas suasana psikologis penuh empati, simpati, atensi,
kehangatan, dan kewibawaan.
6. Masa yang panjang (thuwl al-zaman), yaitu belajar tiada henti dalam mencari
ilmu (no limits to study) sampai pada akhir hayat, min mahdi ila lahdi (dari buaian
sampai liang lahat). Syarat ini berimplikasikan bahwa belajar tidak hanya di
bangku kelas atau kuliah, tetapi semua tempat yang menyediakan informasi
20
Ibid., 76.
11
tentang pengembangan kepribadian, pengetahuan, dan keterampilan adalah
termasuk juga lembaga pendidikan.
2.2 LINGKUNGAN (BI’AH)
Lingkungan merupakan sesuatu yang berada diluar diri anak dan mempengaruhi
perkembangannya. lingkungan ditinjau dari perspektif pendidikan Islam adalah
sesuatu yang ada disekeliling tempat anak melakukan adaptasi, meliputi:
a. Lingkungan yang acuh tak acuh terhadap agama. Lingkungan semacam ini
adakalanya berkeberatan terhadap pendidikan agama, dan adakalanya pula agar
sedikit tahu tentang hal itu.
c. Lingkungan yang memiliki tradisi agama dengan sadar dan dalam kehidupan
agama. Lingkungan ini memberikan motivasi yang kuat kepada anak untuk
memeluk dan mengikuti pendidikan yang ada. Apabila lingkungan ini diitunjang
dengan pimpinan yang baik dan kesempatan yang memadai, maka kemungkinan
besar hasilnya pun baik pula.
Dari uraian tersebut, lingkungan pendidikan dapat dibedakan mejadi tiga macam :
12
1) Pengaruh lingkungan positif, yaitu lingkungan yang memberikan dorongan atau
motivasi dan rangsangan kepada anak untuk menerima, memahami, meyakini
serta mengamalkan ajaran Islam.
a. Keluarga, yaitu pendidikan primer untuk fase bayi dan fase kanak-kanak sampai
usia sekolah. Pendidiknya orangtua, sanak kerabat, famili, saudara-saudara, teman
sepermainan, dan kenalan pergaulan.
b. Sekolah, yaitu pendidik sekunder yang mendidik anak mulai dari usia masuk
sekolah sampai ia keluar dari sekolah tersebut. Pendidiknya adalah guru
profesional.
1) Keluarga
13
Pada tahun-tahun pertama, orangtua memegang peranan utama dan memikul
tanggung jawab pendidikan anak. Kasih sayang orangtua yang tumbuh akibat dari
hubungan darah, mempunyai arti yang sangat penting bagi pertumbuhannya.
Kekurangan kasih sayang orangtua menyebabkan anak keras kepala, sulit diatur
dan mudah memberontak. Dan jika kasih sayang dari orangtua berlebihan dapat
menjadikan anak manja, penakut dan sulit untuk hidup mandiri. Oleh karena itu,
orangtua harus pandai dan tepat memberikan kasih sayang kepada anaknya,
jangan kurang dan jangan pula lebih. Allah berfirman :
يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا قُوا َأنفُ َس ُك ْم َوَأ ْهلِي ُك ْم نَارًا
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api
neraka”. (Qs. Ar-Tahrim:6).
Keluarga yang ideal adalah keluarga yang mau memberikan dorongan yang kuat
kepada anaknya untuk mendapatkan pendidikan agama. Adapun keluarga yang
acuh dan tidak taat menjalankan agama, tidak akan memberikan dorongan kepada
anaknya untuk mempelajari agama bahkan melarang anaknya mempelajari agama.
2) Sekolah (Madrasah)
14
berlangsung di sekolah bersifat sistematis, berjenjang, dan dibagi dalam waktu-
waktu tertentu yang berlansung dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi[.
Telah diakui berbagai pihak bahwa peran sekolah bagi pembentukan kepribadian
anak sangat besar. Sekolah telah membina anak tentang kecerdasan, sikap, minat
dan lain sebagainya.
Sedangkan lingkungan sekolah yang netral dan kurang menumbuhkan jiwa anak
untuk gemar beramal, justru menjadikan anak jumud, picik dan berwawasan
sempit sehingga menghambat pertumbuhan anak.
3) Tempat Ibadah
Yang dimaksud tempat ibadah yaitu seperti musholla, masjid dan sebagainya.
Oleh umat islam, tempat ini biasanya dalam bentuk madrasah diniyah. Dan juga
sering diadakan pengajian-peengajian umum seperti untuk peringatan hari-hari
besar Islam, tabligh akbar, diskusi, dan seminar[6].
4) Masyarakat
Masyarakat adalah kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan
negara, kebudayaan dan agama setiap masyarakat. Masyarakat merupakan
lembaga kedua setelah keluarga dan sekolah. Pendidikan ini telah dimulai sejak
anak-anak.
15
TPQ adalah lembaga pendidikan islam tingkat dasar diluar sekolah. Pesertanya
secara umum ditujukan pada anak-anak usia taman kanak-kanak atau TK, tetapi
pada prakteknya sering ditemui anak-anak usia SD atau SLTP bahkan terkadang
SLTA yang ingin lancar membaca Al-Quran.
b) Majelis Ta’lim
Majlis Ta’lim adalah salah satu sarana pendidikan dalam islam. Majelis Ta’lim
lebih kita kenal dengan istilah pengajian-pengajian. Umumnya berisi ceramah
atau khotbah-khotbah keagamaan islam, juga sering digunakan sebagai wahana
diskusi ilmiah, sosiologis, politik, hukum dan sebagainya.
a. Tugas Keluarga
16
4) Membersihkan pikiran dan jiwa peserta didik dari pengaruh subjektivitas
(emosi) karena pengaruh zaman dewasa ini lebih mengarah kepada penyimpangan
fitrah manusiawi,
5) Memberikan wawasan nilai dan moral serta peradaban manusia agar pemikiran
peserta didik menjadi berkembang,
Tugas Masjid
Pada masa permulaan Islam, masjid memiliki fungsi yang sangat agung. Namun,
pada masa sekarang sebagian besar fungsi tersebut diabaikan oleh kaum
muslimin. Dahulu, masjid berfungsi sebagai pangkalan angkatan perang ,
pembebasan umat dari penyembahan terhadap manusia, berhala-berhala dan
thagut, agar mereka hanya beribadah kepada Allah. Di samping itu, masjid juga
berfungsi sebagai markas pendidikan. Di situlah manusia dididik supaya
memegang teguh keutamaan, cinta kepada ilmu pengetahuan, mempunyai
kesadaran sosial, serta menyadari hal dan kewajiban mereka dalam negara Islam.
Di samping itu, masjid juga merupakan sumber pancaran moral karena di situlah
kaum muslimin menikmati akhlak-akhlak yang mulia.
Tugas Pesantren
17
2.3 PENDIDIKAN SEUMUR HIDUP DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Masa al-jauin, tingkat anak yang berada dalam kandungan dan adanya kehidupan
setelah adanya ruh dari Allah swt. Pada usia 4 bulan, pendidikan dapat diterapkan
dengan istilah “pranatal”. Karena itu, seorang ibu ketika mengandung anaknya,
hendaklah mempersiapkan kondisi fisik maupun psikisnya, sebab sangat
berpengaruh terhadap proses kelahiran dan perkembangan anak kelak.
Pada tahap ini, orang belum memiliki kesadaran dan daya intelektual, ia hanya
mampu menerima rangsangan yang bersifat biologis dan psikologis melalui air
susu ibunya. Karenanya, dalam fase ini belum dapat diterapkan interaksi edukatif
secara langsung. Proses edukasi dapat dilakukan menurut Islam adalah
membacakan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri ketika baru lahir,
memberi nama yang baik ketika diaqiqah. Dengan demikian, di hari pertama dan
minggu pertama kelahirannya, sudah diperkenalkan kalimat tauhid, selanjutnya
diberi nama yang baik sesuai tuntunan agama.
18
Pada fase ini, seseorang mulai memiliki potensi-potensi biologis, paedagogis.
Oleh karena itu, mulai diperlukan pembinaan, pelatihan, bimbingan, pengajaran
dan pendidikan yang sesuai dengan bakat dan minat atau fitrahnya. Ketika telah
mencapai usia enam tahun hendaklah dipisahkan tempat tidurnya dan
diperintahkan untuk shalat ketika berumur tujuh tahun. Proses pembinaan dan
pelatihan lebih efektif lagi bila dalam usia tujuh tahun disekolahkan pada Sekolah
Dasar. Hal tersebut karena pada fase ini, seseorang mulai aktif dan mampu
memfungsikan potensi-potensi indranya walaupun masih pada taraf pemula.
Pada tahap ini, seseorang mengalami perubahan biologis yang drastis, postur
tubuh hampir menyamai orang dewasa walaupun taraf kematangan jiwanya belum
mengimbanginya. Pada tahap ini, seseorang mengalami masa transisi, masa yang
menuntut seseorang untuk hidup dalam kebimbangan, antara norma masyarakat
yang telah melembaga yang mungkin tidak cocok dengan pergaulan hidupnya
sehari-hari, sehingga ia ingin melepaskan diri dari belenggu norma dan susila
masyarakat untuk mencari jati dirinya, ia ingin hidup sebagai orang dewasa,
diakui, dan dihargai, tetapi aktivitas yang dilakukan masih bersifat kekanak-
kanakan. Seringkali orang tua masih membatasi kehidupannya agar nantinya
dapat mewarisi dan mengembangkan usaha yang dicapai orang tuanya. Proses
edukasi fase puber ini, hendaknya di didik mental dan jasmaninya, misalnya
mendidik dalam bidang olahraga dan memberikan suatu model, mode dan modus
yang Islami, sehingga ia mampu melewati masa remaja di tengah-tengah
masyarakat tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam.
Pada tahap ini, seseorang telah beranjak dalam proses kedewasaan, mereka sudah
mempunyai kematangan dalam bertindak, bersikap, dan mengambil keputusan
untuk menentukan masa depannya sendiri. Proses edukasi yang dapat dilakukan
adalah memberi pertimbangan dalam menentukan masa depannya agar tidak
melakukan langkah-langkah yang keliru.
19
Pada tahap ini, seseorang telah berasimilasi dalam dunia kedewasaan dan telah
menemukan jati dirinya, sehingga tindakannya penuh dengan kebijaksanaan yang
mampu memberi naungan dan perlindungan bagi orang lain. Proses edukasi dapat
dilakukan dengan cara mengingatkan agar mereka lebih memperbanyak amal
shalih, serta mengingatkan bahwa harta yang dimiliki agar dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan agama, negara dan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
20
sistem manusia. (e) peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan,
(f) peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dalam
mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya.
4. Sifat-sifat dan kode etik peserta didik dalam pendidikan Islam
yaitu; (1) belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah
SWT (2) mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah
ukhrawi (3) bersikap tawadlu’ (rendah hati) (4) menjaga pikiran dan
pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.(5) mempelajari ilmu-ilmu
yang terpuji (mahmudah) (6) belajar dengan bertahap (7) belajar ilmu
sampai tuntas. (8) mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang
dipelajari. (9) memprioritaskan ilmu diniyah. (10) mengenal nilai-nilai
pragmatis (11) peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik
Lingkungan merupakan sesuatu yang berada diluar diri anak dan mempengaruhi
perkembangannya. lingkungan ditinjau dari perspektif pendidikan Islam adalah
sesuatu yang ada disekeliling tempat anak melakukan adaptasi, meliputi:
21
DAFTAR PUSTAKA
22
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Syamil Cipta Media,
2015.
23