Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

STRUMA NODUSA NON TOKSIK

OLEH :

Widya Astuti

BT2001058

3B

CI LAHAN CI
INSTITUSI

AKADEMI KEPERAWATAN BATARI TOJ


I. KONSEP MEDIS

A. DEFINISI

Struma merupakan pembesaran pada kelenjar tiroid akibat dari


pertambahan ukuran sel atau jaringan yang menghasilkan hormon tiroid
dalam jumlah besar, Struma terjadi karena folikel-folikel terisi koloid
secara berlebihan. Folikel akan tumbuh semakin besar dengan membentuk
kista dan kelenjar tersebut akan menjadi noduler setelah bertahun-tahun.
(Assegaf, 2020).

Struma Nodusa Non Toksik merupakan suatu kondisi yang ditandai


dengan adanya pembesaran kelenjar tiroid yang biasanya dianggap
membesar bila ukuran kelenjar tiroid melebihi dua kali ukuran normalnya
yang disebabkan karena adanya kerusakan atau kelainan fungsi hormonal.
Penyebab yang sering menimbulkan struma karena kurangnya zat yodium
di dalam tubuh. Kekurangan yodium memicu sel-sel folikel bekerja lebih
keras untuk memenuhi kebutuhan hormon tubuh. Ternyata penyakit
struma tidak hanya disebabkan oleh kekurangan yodium. Tumor jinak dan
kista juga bisa menyebabkan Struma Nodusa Non Toksik. (Tarwoto,
2019).
Struma nodusa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang
secara klinik teraba nodul satu/ lebih tanpa disertai tanda-tanda
hypertiroidisme (Assegaf, 2020)
B. ETIOLOGI
Menurut (Amin Huda, Nurarif dan Hardi Kusuma, 2019), Adanya
disfungsi pembentukan hormon tiroid merupakan salah satu faktor
penyebab terjadinya penyakit struma, diantaranya:
a. Kekurangan Yodium
Kekurangan yodium dapat mencegah kelenjar memproduksi hormon
tiroid Hal ini memungkinkan kelenjar pituitari untuk mengeluarkan
kelebihan hormon perangsang tiroid (TSH). TSH menyebabkan sel-sel
tiroid mensekresi triglobulin dalam jumlah besar ke dalam folikel dan
membuat ukuran kelenjar membesar.
b. Gangguan metabolisme kongenital yang menghambat sintesa hormon
tiroid adalah zat kimia (dari kubis, lobak, dan kedelai) yang
menghambat sintesa hormon 0leh obat-obatan (triocarbamide,
sulfonylurea dan litium) menghambat sintesis hormon.
c. Penyebab lain struma adalah cacat genetik yang mengganggu
metabolisme yodium, kerusakan hormon tiroid, serta riwayat radiasi
pada kepala dan leher selama masa kanak-kanak yang mengarah ke
nodul jinak dan ganas.
C. PATOFISIOLOGI
Yodium merupakan komponen utama yang dibutuhkan oleh tubuh
manusia untuk pembentukan hormon tiroid. Zat yang mengandung yodium
diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak
oleh kelanjar tiroid. Di dalam kelenjar, yodium dioksida mengambil
bentuk yang aktif dan distimulasikan oleh Tiroid Stimulating Hormon
(TSH) kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang muncul di fase
sel koloid. Senyawa terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk
tiroksin (T4) dan triiodotiroksin (T3). Tiroksin (T4) menampilkan
pengaturan umpan balik negatif dari sekresi TSH dan bertindak langsung
pada tirotropihypofisis, sedangkan dari T3 hormon metabolik tidak aktif.
Karena kekurangan yodium pembentukan T4 dan T3 tidak terjadi
penambahan pembentukan, serta ukuran folikel menjadi lebih besar dan
kelenjar tiroid bisa bertambah beratnya sekitar 300-500 gram. Sebagian
Obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan
metabolisme tiroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4), dan
meningkatkan pelepasan TSH dari hipofisis melalui stimulasi umpan balik
negatif. Kondisi ini bisa memperbesar ukuran kelenjar tiroid. Biasanya
kelenjar tiroid mulai membesar di usia muda dan berkembang menjadi
bentuk multi nodular di masa dewasa. karena pertumbuhannya yang
bertahap, struma bisa membesar tanpa gejala apa pun kecuali ada benjolan
di leher. Kebanyakan penderita struma nodular dapat hidup dengan struma
nya tanpa ada keluhan. Meskipun beberapa struma menonjol ke depan dan
tidak mengganggu pernapasan, jika membesar secara bilateral dapat
mempersempit trakea (Sudoyo & dkk, 2018).
D. Manifesasi klinis
Menurut (Damayanti & Setiawan, 2017), Sebagian penderita
dengan Struma Nodusa Non Toksik tidak memiliki tanda dan gejala sama
sekali. Namun, bila ukuran struma cukup besar, akan mengakibatkan area
trakea dan esofagus tertekan sehingga menyebabkan gangguan pernafasan
dan kesulitan menelan. Peningkatan seperti ini memnbuat jantung
berdebar, gelisah, berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, dan kelelahan.
Beberapa diantaranya mengeluh adanya kesulitan menelan, kesulitan
bernafas, rasa tidak nyaman di area leher, suara yang serak, serta
penurunan berat badan yang berkelanjutan yang dapat berlangsung selama
berhari-hari, berminggu-minggu dan bahkan berbulan-bulan.bertahap,
struma bisa membesar tanpa gejala apa pun kecuali ada benjolan di leher.
Kebanyakan penderita struma nodular dapat hidup dengan struma nya
tanpa ada keluhan. Meskipun beberapa struma menonjol ke depan dan
tidak mengganggu pernapasan, jika membesar secara bilateral dapat
mempersempit trakea (Sudoyo & dkk, 2018).
E. KOMPLIKASI
1. Gangguan menelan atau bernafas.
2. Gangguan jantung baik berupa gangguan irama hingga pnyakit jantung
kongestif ( jantung tidak mampu memompa darah keseluruh tubuh).
3. Osteoporosis, terjadi peningkatan proses penyerapan tulang sehingga
tulang menjadi rapuh, keropos dan mudah patah
F. pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk struma nodusa antara lain (Tonacchera,
dkk, 2022):
a. Pemeriksaan laboratorium.
1) Pemeriksaan tes fungsi hormon : T4 atau T3, dan TSH.
b. Pemeriksaan radiologi.
1) Foto rontgen dapat memastikan adanya deviasi trakea, yang secara klinis
dapat diprediksi.
2) Pemeriksaan ultrasonografi (USG). Pemeriksaan USG dilakukan untuk
mengetahui ukuran struma dan melihat apakah ada benjolan lain yang
tidak bisa diraba atau dilihat dari luar.
c. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration Biopsy). Biopsi
dilakukan dengan mengambil sampel jaringan atau cairan dari kelenjar
tiroid, untuk diperiksa di laboratorium. Biopsi ini dilakukan terutama jika di
duga terdapat tumor ganas.
G. Penatalaksanaan Medis
Menurut (Sudoyo& dkk, 2018), penatalaksanaan medis pada Struma
dapat dilakukan menjadi dua, yaitu :
a. Penatalaksanaan Konservatif
1) Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid.
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, diyakini bahwa
pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu
untuk menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4)
untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi
pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang
digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU) dan
metimasol/karbimasol.
2) Terapi Yodium Radioaktif
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada
kelenjar tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Klien yang tidak
mau dioperasi maka pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi
gondok sekitar 50 %. Terapi ini tidak meningkatkan resiko kanker,
leukimia, atau kelainan genetik. Yodium radioaktif diberikan dalam
bentuk kapsul atau cairan yang harus diminum di rumah sakit, biasanya
diberikan empat minggu setelah operasi, sebelum pemberian obat
tiroksin.
b. Penatalaksanaan Pembedahan (Tiroidektomi)
Tindakan pembedahan dilakukan untuk mengangkat seluruh atau
sebagian kelenjar tiroid. Pembedahan diperlukan jika ukuran struma
besar dan menyebabkan kesulitan bernafas dan kesulitan menelan
Pembedahan juga terkadang digunakan untuk menghilangkan nodul.
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian menurut (Nuraif & Kusuma, 2013), yaitu:
1. Pengkajian
a. Identitas
b. Keluhan utama biasanya terdapat mssa di payudara,
riwayat penyakit (perjalanan penyakit, pengobatan yang
sudah diberikan), faktor resiko.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya klien masuk ke rumah sakit karena merasakan
adanya benjolan yang menekan mammae, adanya ulkus,
kulit berwarna merah dan mengeras, bengkak dan nyeri.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat tumor mammae sebelumnya atau ada
kelainan pada mammae, kebiasaan makan tinggi lemak,
pernah mengalami sakit pada bagian dada sehingga
pernah mendapatkan penyinaran pada bagian dada,
ataupun mengidap penyakit kanker lainnya, seperti
kanker ovarium atau kanker serviks.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga yang mengalami ca mammae ataupun keluarga
klien pernah mengidap penyakit kanker lainnya, seperti
kanker ovarium atau kanker serviks.
f. Pemeriksaan fisik
1) Kepala: normal, kepala tegak lurus, tulang kepala
umumnya bulat dengan tonjolan frontal dibagian
anterior dan oksipital digagian posterior.
2) Rambut: biasanya tersebar merata, tidak terlalu
kering, tidak terlalu berminyak.
3) Mata: biasanya tidak ada gangguan bentuk dan fungsi
mata, mata anemis, tidak ikterik, tidak ada nyeri tekan
4) Telinga: normalnya bentuk dan posisi simetris. Tidak
ada tanda-tanda infeksi dan tidak ada gangguan
fungsi pendengaran.
5) Hidung: bentuk dan fungsi normal, tidak ada infeksi
dan nyeri tekan.
6) Mulut: mukosa bibir kering, tidak ada gangguan perasa.
7) Leher: biasanya terjadi pembesaran KGB.
8) Dada: adanya kelainan kulit berupa peau d’orange,
dumpling, ulserasi atau tanda-tada radang.
9) Hepar: biasanya tidak adanya pembesaran hepar
10) Ekstermitas: biasanya tidak ada gangguan pada
ekstermita.
g. Konsep diri pada sebagian besar pasien akan mengalami
perubahan.
h. Pemeriksaan klinis
Sebaiknya pemeriksaan dilakukan saat setelah
menstruasi kurang lebih seminggu di akhir waktu.
Pasien duduk dengan posisi tangan ke samping lalu
pemeriksa berdiri didepan, posisi sejajar.
i. Inspeksi
Biasanya simetris payudara kanan dan kiri, terdapat
kelainan dari payudara normal seperti kelainan kulit
tanda radang, dimpling, ulserasi dan lain sebagainya.
j. Palpasi
1) Cek konsistensi, banyaknya benjolan, lokasi,
infiltrasi, ukurannya.
2) Lakukan pemeriksaan kelenjar getah bening pada
aksila (kelenjar aksila).
k. Pemeriksaan
penunjang
Pemeriksaann
ya yaitu:
1) Pemeriksaan radiologis
2) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan sitologis/ patologis

B. Diagnosis Keperawatan
Masalah keperawatan atau diagnosa keperawatan
merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon klien
terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial.
Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi
respons klien individu, keluarga dan komunitas terhadap
situasi yang berkaitan dengan kesehatan (Tim pokja SDKI
DPP, 2018 ).Berdasarkan hal tersebut peneliti dalam kasus
asuhan keperawatan pada klien dengan TU Mammae
menegakkan masalah keperawatan berdasarkan dari
pengkajian yang didapatkan.Menurut (Nurarif &
Kusuma,2019) ada beberapa diagnosa keperawatan yaitu :
PPNI DPP SDKI Pokja Tim, (2018):
1. Ansietas berhubungan dengan kekhawatiran mengalami
kegagalan
a. Gejala dan tanda mayor
1) Subjektif
a) Merasa bingung
b) Merasa khawatir dengan akibat dari
kondisi yang dihadapi
c) Sulit berkonsentrasi
2) Objektif
a) Tampak gelisah
b) Tampak tegang
c) Sulit tidur
b. Gejala dan tanda minor
1) Subjektif
a) Mengeluh pusing
b) Anoreksia
c) Palpitasi
d) Merasa tidak berdaya
2) Objektif
a) Frekuensi napas meningkat
b) Frekuensi nadi meningkat
c) Tekanan darah meningkat
d) Diaforesis
e) Tremor
f) Muka tampak pucat
g) Suara bergetar
h) Kontak mata buruk
i) Sering berkemih
j) Berorientasi pada masa lalu
2. Risiko cedera
a. Faktor risiko eksternal cedera
1) Terpapar patogen
2) Terpapar zat kimia toksik
3) Terpapar agen nosokomial
4) Ketidak matransportasi
b. Faktor risiko internal
cedera
1) Ketidaknormalan profil darah
2) Perubahan orientasi afektif
3) Perubahan sensasi
4) Disfungsi autoimun
5) Disfungsi biokimia
6) Hipoksia jaringan
7) Kegagalan mekanisme pertahanan tubuh
8) Malnutrisi
9) Perubahan fungsi psikomotor
10) Perubahan fungsi kognitif
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
a. Gejala dan tanda mayor
1) Subjektif
(tidak tersedia)
2) Objektif
a) Tampak meringis
b) Bersikap protektif (mis. waspada, posisi
menghindari nyeri)
c) Gelisah
d) Frekuensi nadi meningkat
e) Sulit tidur
b. Gejala dan tanda minor
1) Subjektif
(tidak tersedia)

2) Objektif
a) Tekanan darah meningkat
b) pola napas berubah
c) nafsu makan berubah
d) proses berpikir terganggu
e) Menarik diri
f) Berfokus pada diri sendiri
g) Diaforesis
4. Risiko defisit nutrisi dibuktikan dengan
faktor risiko ketidakmampuan menelan makanan.
1) Penyakit kronis (mis: diabetes melitus)
2) Efek prosedur invasif
3) Malnutrisi
4) Peningkatan paparan organisme patogen
lingkungan
5) Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer
(gangguan peristaltik; kerusakan integritas kulit;
perubahan sekresi pH; penurunan kerja siliaris;
ketuban pecah lama; ketuban pecah sebelum
waktunya; merokok; statis cairan tubuh)
6) Ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder
(penurunan hemoglobin; imunosupresi;
leukopenia; supresi respon inflamasi; vaksinasi
tidak adekuat

C. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah segala pengobatan yang
dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan
dan 25 penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome)
yang diharapkan (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018 dan Tim
Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).

1. Ansietas Setelah Terapi relaksasi


berhubung Observasi:
an dengan dilakukan 1. Identifikasi
kurang tindakan penurunan
terpapar keperawatan tingkat energi,
informasi diharapkan ketidakmampuan
tingkat berkonsentrasi,
ansitas atau gejala
lain yang
menurun mengganggu
dengan kemampuan
kognitif
kriteria hasil: 2. Identifikasi
1. Perila teknik relaksasi
ku yang pernah
gelisa efektif
h digunakan
menu 3. Identifikasi
run kesedihan,
2. Perila kemampuan,
ku dan penggunaan
tegan teknik
g sebelumnya
menu 4. Periksa
run ketegangan otot,
Pola tidur frekuensi nadi,
membaik tekanan darah,
Konsentrasi dan suhu
membaik sebelum dan
sesudah latian
5. Monitor
respons
Terhadap terapi
relaksasi
Terapeutik:
1. Ciptakan
lingkungan
tenang dan tanpa
gangguan
dengan
pencahayaan
dan suhu
ruangan nyaman,
jika
memungkinkan
2. Berikan
informasi tertulis
tentang
persiapan
dan
Prosedur teknik
relaksasi
3. Gunakan
pakaian longgar
4. Gunakan nada
suara yang
lembut dengan
irama lambat
dan berirama
5. Gunakan
relaksasi sebagai
strategi
penunjang
dengan
analgetik atau
tindakan medis
lain, jika sesuai.
Edukasi:
1.Jelaskan tujuan
manfaat, batasan
dan
jenis,relaksasi
yang
tersedia (mis: misic,
medikasi,napas
dalam, relaksasi
otot progresif)
2. jelaskan secara
rinci intervensi
relaksasi yang
terpilih
3. anjurkan
mengambil
posisi nyaman
4. anjurkan rileks
dan merasakan
sensasi relaksasi
5. anjurkan
sering
mengulang
atau melatih
teknik yang
dipilih
demonstrasikan
dan latih teknik
relaksasi
(mis. Napas dalam)
2 Resiko Setelah Pencegahan cedera
. cedera Observasi:
dilakukan 1. Identifikasi
area
tindakan
Lingkungan
keperawatan
yang berpotensi
dengan waktu
menyebabkan
yang telah
cedera
2. Identifikasi obat
ditentukan maka
yang berpotensi
menyebabkan
diharapkan
tingkat cedera
cedera 3. Identifikasi
menurun kesesuaian alas
kaki atau
dengan kriteria stoking
hasil: elastis
1. Luka atau pada extremitas
lecet cukup bawah
menurun Terapeutik:
2. Perdarahan 1. Sediakan
menurun
pencahayaan
yang
memadai
2. Gunakan
lampu tidur
3. Sosialisasika
n pasien
dan keluarga
dengan
lingkungan
ruangan
rawat (mis.
Penggunaan
telpon,
tempat tidur,
peneangan
ringan dan
lokasi kamar
mandi
4. Gunakan alat
lantai jika
berisiko
mengalami
cedera serius
5. Sediakan
alas kaki anti
selip
6. Sediakan
pispot atau
urinal untuk
eliminasidi
tempat tidur,
jika perlu
7. Pertahankan
posisi tempat
tidur
diposisi
terendah
saat
digunakan
8. Pastikan
roda tempat
tidur atau
kursi roda
dalam
kondisi
terkunci
9. Gunakan
pengaman
tempat tidur
sesuai
dengan
kebijakan
fasilitas
pelayanan
kesehatan
10. Tingkatkan
frekuensi
observasi dan
pengawasan
pasien,sesuai
kebutuhan
Edukasi:
1. Jelaskan alasan
intervensi
pencegahan
jatuh ke pasien
dan keluarga
2. Anjurkan
berganti posisi
secara posisi
secara perlahan
dan duduk
selma
beberapa menit
sebelum berdiri
3. Setelah manajemen nyeri
dilakukan Observasi:
1. Identifikasi
tindakan
lokal, karasteristik,
keperawatan
durasi,
dengan waktu
Frekuensi
yang
intensitas nyeri
telah di tentukan,
1. Identifikasi
maka tingkat
nyeri menurun skala nyeri
dengan kriteria 2. Identifikasi
hasil: respon nyeri
1. Keluhan nonverbal
tidak 3. Identifikasi
nyaman faktor yang
menurun memperberat
Gelisah danmemperingan
nyeri
Terapeutik:
1. Berikan
teknik
nonfarmakologis
untuk

mengurangi rasa
nyeri
2. Fasilitasi

istirahat tidur
3. Pertimbangkan
jenis dan sumber
nyeri dalam
pemilihan
strategi
meredakan nyeri
Edukasi:
1. Anju
rka
n
menggunakan
analgetik secara
tepat
Anjurkan
teknik
nonfarmakologis
untuk
mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi:
2. 1. Kolaborasi
pemberian
analgetik jika
perlu
4. Resiko Setelah Pencegahan
infeksi infeksi
dilakukan Tindakan:
tindakan Observasi
keperawatan 1) monitor tanda
dengan waktu dan gejala
yang telah infeksi lokal
ditentukan maka dan sistemik
diharapkan Terapeutik
tingkatinfeksi 1. atasi
menurun dengan jumlah
kriteria hasil: pengunjung
1. Dema berikan perawatan
m kulit pada
menu area edema
rn 2. cuci tangan
2. Nyeri sebelum dan
menurun
sesudah kontak
Bengkak
dengan pasien
menurun
dan lingkungan
pasien
3. pertahankan
teknik aseptik
pada pasien
beresiko tinggi
Edukasi
1. Jelaskan danda
dan gejala
infeksi
2. Anjurkan cara
mencuci tangan
dengan benar
3. ajarkan etika
batuk
4. ajarkan cara
memeriksa
kondisi
5. luka atau luka
operasi anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi
6. anjurkan
meningkatkan
asupan cairan
Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian
imunisasi,
jika perlu
C. Implementasi
Implementasi merupakan pengelolaan dari rencana keperawatan yang
telah disusun pada tahap perencanaan. Pada tahap ini, perawat
memberikan intervensi keperawatan langsung dan tidak langsung
terhadap klien untuk membantu melakukan atau mengarahkan kinerja
aktifitas kehidupan sehari-hari, memberikan arahan keperawatan untuk
mencapai tujuan yang berpusat kepada klien.

D. Evaluasi
Evaluasi atau tahap penilaian merupakan suatu perbandingan

yang sistematis dan terencana mengenai kesehatan klien dengan

tujuan yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya,

dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan

klien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. (LeMone, Priscilla

dkk. 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Amin huda Nurarif, H. A & Kusuma, H. (2019). Asuhan


Keperawatan Praktis Berdasarkan Penerapan Diagnosa
Nanda, Nic, Noc dalam berbagai kasus. Jogjakarta:
medication.

Assegaf K Syaugi, Dkk. (2020). Gambaran Eutiroid Pada


Pasien Struma Nodusa Non-Toksik Di Bagian Bedah RSUP
Prof. Dr. R .D Kandou Manado. Volume 3.

Sudoyo, Aru W, dkk. (2018). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.


Jilid I Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing

Damayanti, N. L. A., & Setiawan, I. G. B. (2017). Endemik


Goiter. Jurnal Goiter.jogjakarta

Tonacchera, M., Pinchera, A., & Vitty, P. (2022). Assesment of


nodular goiter. Journal of best practice & research clinical
endocrinology and metabolism. Pisa: Elsevier.

Tarwoto. (2019). Kebutuhan Dasar Manusia dan


Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Tim Pokja SDKI PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia Definisi Dan Indikator Diagnosis. Jakarta
Selatan: DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan
IndonesiaDefinisi Dan Tindakan Keperawatan. Jakarta
Selatan: DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan
Indonesia Definisi Dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta
Selatan: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai