Anda di halaman 1dari 13

lain penghargaan sepakatan.

Dengan kata lain, kos atas dasar penghargaan sepakatan


lebih akurat (accurate) daripada atas dasar yang lain. Hal ini dapat dilukiskan dalam Gambar
6.3 berikut.
Gambar 6.3
Katerandalan Kos Atas Dasar Penghargaan Sepakatan

Mean atau rata-rata dari berbagai penghargaan sepakatan atau subjektif yang telah
terjadi dapat dianggap sebagai estimator dari nilai sebenarnya (true value). Seandainya rata-
rata tersebut sama dengan nilai sebenarnya, penghargaan sepakatan 1 yang muncul dalam
Panel A lebih terandalkan karena lebih mendekati nilai sebenarnya dibandingkan dengan
penghargaan subjektif 1 dalam Panel B1. Pengukuran selain atas dasar penghargaan
sepakatan kemungkinan dapat meng- hasilkan rata-rata yang menyimpang dari nilai
sebenarnya sebagaimana dilukiskan dalam distribusi B2. Perbedaan rata-rata yang terjadi
disebut bias. Panel B2 dalam gambar tersebut menunjukkan adanya bias ke arah penghargaan
yang lebih tinggi (over-valuation). Hal ini terjadi misalnya kalau seseorang mempunyai
barang yang tidak ingin dijualnya tetapi ada orang yang tertarik sekali dengan barang tersebut
dan bersedia membeli dengan harga mahal. Sebaliknya, dalam keadaan butuh uang atau di
bawah tekanan, orang terpaksa menerima penghargaan rendah atas barang yang dijualnya.

Penghargaan Sepakatan Sebagai Bukti


Transaksi pertukaran (jual-beli) dapat dijadikan landasan untuk menentukan kos yang
terandalkan karena penghargaan sepakatannya didasarkan atas mekanisma pasar yang bebas
sehingga bisa menjadi bukti validitas pengukuran kos lebih-lebih dalam mekanisma pasar
sempurna (perfect market). Telah disinggung di atas bahwa mekanisma pasar bebas
menjamin dan menghendaki agar:
(a) Pihak bertransaksi sama-sama berkehendak dan bebas tanpa tekanan atau ancaman.
(b) Pihak bertransaksi sama-sama berkemampuan memperoleh informasi secara bebas.
(c) Barang yang dipertukarkan cukup standar (umum) dan tersedia cukup banyak di pasar
bebas. Dengan kata lain, cukup banyak penjual dan pembeli sehingga tak seorangpun
cukup kuat untuk mempengaruhi harga.

Kondisi (a) menghindari adanya transaksi sepihak. Transaksi-transaksi seperti merger,


likuidasi, dan akuisisi internal sering dilakukan secara sepihak atas kehendak pihak yang
lebih berkuasa. Demikian juga, gaji staf yang ditentukan oleh perusahaan yang dikuasai dan
dimiliki oleh staf itu sendiri mungkin tidak mencerminkan harga pasar yang berlaku untuk
jasa tenaga kerja. Kos yang terlibat dalam suatu transaksi perlu diragukan validitasnya
bilamana faktor emosional dan nonmekanisma pasar lebih dominan menentukan kos.
Kondisi (b) menjamin bahwa penghargaan sepakatan benar-benar merefleksi nilai
wajar atau nilai sebenarnya yaitu nilai yang paling objektif. Bila pihak yang bertransaksi
tidak mempunyai pengetahuan dan informasi sama (terjadi asimetri informasi), penghargaan
sepakatan mungkin tidak lagi merefleksi nilai wajar. Sebagai contoh, harga yang disepakati
dalam jual-beli mobil bekas tidak menggambarkan nilai wajar kalau pembeli tidak tahu benar
kondisi mobil yang sesungguhnya karena sengaja disembunyikan oleh penjual. Tidak
samanya kemampuan dan informasi antara pembeli dan penjual ini menjadikan jual-beli
tersebut sebagai transaksi sepihak.
Kondisi (c) dimaksudkan untuk meyakinkan keobjektifan kos atas dasar penghargaan
sepakatan karena harga yang disepakati dalam tawar-menawar antara dua pihak yang bebas
biasanya menunjukkan nilai wajar yang berlaku pada saat transaksi. Hal ini benar khususnya
untuk barang atau jasa yang bersifat standar dan relatif mudah diperoleh. Barang atau objek
yang bersifat sangat khusus dengan pemasaran yang sangat terbatas seperti misalnya
adibusana, hak pengelolaan hutan, hak patent, harga transfer pemain sepakbola, atau
perusahaan yang sudah berdiri lama mempunyai nilai tunai yang acapkali hanyalah
merupakan hasil pertimbangan Gudgment) dan taksiran para pihak yang melakukan transakai
atas dasar analisis dan pertimbangan subjektif terhadap kondisi yang ada pada saat transaksi
karena tiadanya pasar bebas.
Jadi, bila kondisi-kondisi di atas tidak dipenuhi, penghargaan sepakatan yang terjadi
tidak dapat diterima begitu saja sebagai pengukur kos yang objektif. Walaupun demikian,
berdasarkan konsep dasar relativitas bukti (verifiable objective evidence) dapat dianggap
bahwa penghargaan yang akhirnya dicapai merupakan bukti yang terbaik diperoleh (best
obtainable) sebagai dasar penentuan kos.

Pengukuran Kos
Dalam praktiknya, pemerolehan aset merupakan proses yang tidak terjadi begitu saja selesai
dalam satu kegiatan tetapi terdiri atas serangkaian kegiatan misalnya, menempatkan order,
menerima barang, meneliti kecocokan, mengangkut barang, mencoba barang, menyimpan
atau menempatkan barang, dan akhirnya menggunakan barang tersebut. Tiap kegiatan
biasanya melibatkan pengorbanan sumber ekonomik. Oleh karena itu, besar kecilnya kos
yang harus dicatat pertama-kali sebagai pengukur suatu aset pada saat pemerolehan
ditentukan oleh dua hal yaitu: (1) batas kegiatan yang disebut pemerolehan dan (2) jenis
penghargaan.

Batas Kegiatan
Batas kegiatan berkaitan dengan masalah unsur pengorbanan sumber ekonomik (kegiatan)
apa saja yang membentuk kos suatu aset. Secara teoretis dan sebagai ketentuan umum, batas
akhir kegiatan untuk memasukan unsur kos sebagai bagian dari kos aset adalah saat
dimulainya penggunaan aset. Dengan kata lain, secara konseptual pembentuk kos suatu aset
(baik berwujud atau tidak) adalah semua pengeluaran (pengorbanan sumber ekonomik) yang
terjadi atau yang diperlukan akibat kegiatan pemerolehan suatu aset sampai bisa ditempatkan
dalam kondisi siap dipakai atau berfungsi sesuai dengan tujuan pemerolehannya
Misalnya, jumlah rupiah pengeluaran untuk balik nama pembelian sebidang tanah dan
jumlah rupiah pengeluaran untuk mempersiapkan tanah tersebut harus dimasukkan sebagai
kos total tanah tersebut. Bila sebuah gedung dibangun sendiri dengan menggunakan fasilitas
yang dimiliki perusahaan sendiri maka hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa semua
jumlah rupiah yang terjadi yang cukup beralasan untuk dikaitkan dengan pembangunan
gedung tersebut, seperti misalnya jasa arsitek dan pengeluaran tak langsung (overhead)
lainnya, harus dimasukkan sebagai kos bangunan tersebut. Jumlah rupiah pengeluaran untuk
menyimpan dan mengasuransikan barang dagangan selama dalam perioda persiapan untuk
dijual adalah bagian dari kos barang dagangan tersebut. Pajak dan pengeluaran tambahan
lainnya yang wajar yang berkaitan dengan pembangunan sebuah kawasan pemukiman atau
estat real (real estate) selama perioda pengorganisasian (pengembangan) dan pembangunan
sampai siap dipakai atau dijual adalah jumlah rupiah pengeluaran yang sah dan wajar untuk
dilekatkan pada kos estat real tersebut.
Walaupun demikian, secara teknis pembukuan unsur-unsur kos tersebut tidak harus
dicatat dalam satu akun untuk keperluan analisis internal. Berbagai pengeluaran untuk
mendapatkan sediaan barang, misalnya, tidak harus dicatat dalam satu akun Sediaan Barang
tetapi dicatat dalam akun pembantu seperti Pembelian, Asuransi Pembelian Barang, dan Kos
Pengangkutan Pembelian. Pemisahan semacam ini merupakan praktik yang sehat karena akan
menghindari pengaburan antara kos utama dan kos tambahan. Kos utama merupakan unsur
kos yang merepresentasi penghargaan sepakatan waktu suatu aset diperloleh atau pada saat
pertukaran. Pada umumnya pertukaran merupakan kegiatan utama dalam serangkaian
kegiatan pemerolehan suatu aset sampai aset siap digunakan.

Jenis Penghargaan
Masalah ini berkaitan dengan penentuan kos utama yang harus dicatat. Dalam
transaksi pertukaran, penghargaan sepakatan dapat dinyatakan dalam berbagai bentuk sumber
ekonomik atau instrumen yang diserahkan oleh pemeroleh aset Instrumen tersebut dapat
berupa misalnya uang tunai atau barang atau lainnya (misalnya saham atau obligazi). Bentuk
instrumen mempengaruhi dasar penentuan kos utama. Pemerolehan aset dapat terjadi dari
transaksi atau kejadian yang melibatkan kas atau nonkas.
Agar penghargaan yang telah disetujui dapat dicatat dalam sistem akuntansi,
penghargaan tersebut harus dinyatakan dalam satuan uang. Persyaratan ini akan mudah
dilakukan kalau penghargaan tersebut berwujud uang tunai (kas). Seluruh jumlah rupiah yang
disepakati sebagai penghargaan pada saat transaksi akan membentuk kos yang paling objektif
karena tidak lagi melibatkan interpretasi atau pertimbangan penilaian. Bila transaksi terjadi
dalam mekanisma pasar bebas antara pihak independen, kos tunnai (cash cost) adalah
pengukur aset yang paling valid dan objektif.
Kalau sumber ekonomik nonkas merupakan penghargaan yang digunakan dalam
transaksi, pengukur yang ideal untuk menentukan kos aset yang diperoleh adalah jumlah
rupiah uang tunai yang akan diperoleh seandainya sumber ekonomik tersebut dijual dulu
secara tunai kepada umum. Kos barang atau jasa yang diperoleh secara tunai adalah jelas
merupakan jumlah rupiah uang yang dibayarkan sedangkan kos barang atau jasa yang
diperoleh melalui pertukaran dengan barang atau jasa lain adalah jumlah rupiah tunai yang
secara implisit me- lekat pada nilai jual barang atau jasa yang diserahkan dalam pertukaran
tersebut. Jumlah rupiah melekat ini disebut jumlah setara tunai (money or cash equivalent)
atau kos tunai terkandung atau implisit (implied cash cost) dari wujud penghargaan yang
diserahkan oleh pemeroleh aset .
Bila aset diperoleh tanpa penghargaan (misalnya hadiah), kos aset ditentukan atas
dasar setara tunai atau kos tunai terkandung aset yang diterima pada saat transaksi atau
kejadian. Berikut ini dibahas berbagai dasar pengukuran kos untuk transaksi atau kejadian
pemerolehan aset dengan instrumen selain kas dan konsep atau teori yang melandasinya.
Kos Dalam Barter. Barter atau pertukaran aset adalah pemerolehan aset (biasaanya
aset berwujud atau nonmoneter) dengan penghargaan berupa aset berwu jud atau nonmoneter
lainnya. Bila hal ini terjadi, pengukuran aset yang diperoleh bergantung pada apakah aset
yang dipertukarkan sejenis (similar) atau taksejenis (dissimilar). Aset sejenis artinya aset
yang fungsinya sama dan tidak harus aset yang identik. Misalnya, truk dan pick-up dianggap
sejenis kalau fungsinya sama- sama untuk pengiriman barang.
Bila suatu kesatuan usaha menukarkan aset sejenis, secara konseptual diang gap
bahwa perusahaan tersebut melakukan pemeliharaan atau pemertahanan kapital (daya
produksi) dan bukan melakukan penjualan sehingga penerimaan aset dan penyerahan aset
dianggap sebagai transaksi pemeliharaan bukan tran saksi penjualan. Dengan demikian,
fungsi aset dalam memberi kontribusi untuk pembentukan pendapatan belum berhenti atau
habis. Jadi, proses pembentukan pendapatan (earning process) oleh fungsi aset tersebut belum
selesai. Oleh karena itu, kalau terjadi untung (gain), tidak selayaknyalah untung tersebut
diakui karena secara konseptual untung (atau pendapatan) tidak dapat timbul dari transaks
pemeliharaan atau pembelian; untung hanya timbul dari transaksi penjualan. Un tung yang
timbul harus diperlakukan sebagai pengurang kos aset yang masuk. Ini berarti bahwa untung
dianggap schagai penghematan kos (cost saving). Akan teta pi, kalau terjadi rugi, tia dapat
segera diakui karena alasan konservatisma.
Bila kesatuan usaha menukarkan aset tidak sejenis, secara konseptual dianggap
transaksi tersebut melibatkan dua transaksi yaitu penjualan dan pembelian. Dalam hal ini
dianggap bahwa kesatuan usaha menjual aset yang diserahkan secara tunai kemudian seketika
itu pula menggunakan seluruh kas yang diterima untuk membeli aset yang diterima (baru).
Dengan dijualnya aset, kontribusi aset dalam pembentukan pendapatan telah selesai atau
berhenti sehingga bila dalam penjualan aset terlibat untung, tidak dapat diakui sebagai untung
penjualan aset dan masuk dalam statemen laba-rugi.
Dalam barter, dapat pula terlibat kas sebagai tambok (boot) baik dari pihak kesatuan
usaha atau dari lawan barter. Bila dalam barter aset sejenis tombok diberikan oleh lawan
barter, maka barter tersebut tidak murni sejenis tetapi campuran. Artinya, aset yang
diserahkan sebagian ditukar dengan aset sejenis dan sebagian dengan kas. Bagian yang
ditukar dengan kas dianggap sebagai barter tak sejenis sehingga dianggap melibatkan
penjualan tunai. Oleh karena itu, bagian untung yang timbul dari penjualan tunai dapat diakui
sebagai untung yang masuk dalam statemen laba-rugi. Untung yang dapat diakui adalah
proporsional antara tombok dan harga pasar aset yang diterima kesatuan usaha.

Atas dasar penalaran atau teori di atas, berikut ini disarikan prinsip-prinsip penentuan
kos aset yang diterima dalam barter atau pertukaran.
1. Pertukaran tahsejenis, tanpa pembayaran tombok:
Aset yang diterima dicatat sebesar nilai wajar/pasar aset yang diserahkan atau nilai
wajar aset yang diterima, mana yang lebih mudah atau jelas ditentukan. Untung atau
rugi yang timbul diakui pada saat pertukaran.

2. Pertukaran taksejenis, dengan pembayaran tombok:


Aset yang diterima dicatat sebesar nilai pasar aset yang diserahkan ditam bah tembok
atau nilai wajar/pasar aset yang diterima. Dalam hal ini, nilai pasar aset yang
diserahkan menunjukkan kas yang akan diterima seandainya aset tersebut dijual.
Untung atau rugi yang timbul diakui pada saat pertukaran.

3. Pertukaran sejenis, tanpa pembayaran tombol:


Aset yang diterima dicatat sebesar nilai buku atau nilai pasar aset yang diserahkan,
mana yang lebih rendah. Ini berarti bahwa kalau terjadi untung maka untung tidak
diakui dan sebaliknya kalau terjadi rugi, rugi tersebut diakui pada saat transaksi.

4. Pertukaran sejenis, dengan pembayaran tombok:


Aset yang diterima dicatat sebesar nilai buku aset yang diserahkan ditambah tombok
atau nilai pasar aset yang diserahkan ditambah tombok, mana yang lebih rendah. Ini
juga berarti bahwa kalau terjadi untung maka untung tidak diakui dan sebaliknya
kalau terjadi rugi, rugi tersebut diakui pada saat transaksi.

5. Pertukaran sejenis, dengan penerimaan tombok:


Bila terjadi rugi: Aset yang diterima dicatat sebesar harga pasar aset yang diserahkan
dikurangi kas yang diterima. Ini berarti rugi yang terjadi diakui semua pada saat
terjadinya transaksi. Bila terjadi untung: Aset yang diterima dicatat sebesar nilai buku
aset yang diserahkan dikurangi porsi nilai buku aset yang diserahkan yang dianggap
dijual (ditukar dengan kas). Atau, nilai pasar/wajar aset yang diterima dikurangi
untung tangguhan (deferred gain)."
Pertukaran sejenis dengan penerimaan tombok sebenarnya merupakan transaksi
campuran yaitu aset yang diserahkan sebagian ditukar dengan aset sejenis dan sebagian yang

lain ditukar dengan aset taksejenis (kas). Oleh karena itu, hila terjadi untung, hanya untung
yang berasal dari pertukaran taksejenis (kas) yang dapat diakui dan sisa untung diperlakukan
sebagai untung tangguhan yang melekat pada (mengurangi kos) aset yang diterima. Untung
yang dapat diakui besarnya proporsional dengan perbandingan antara penerimaan tombok
dan nilai pasar aset yang diterima. Dapat juga dipandang bahwa nilai buku aset yang
diserahkan dipecah secara proporsional menjadi porsi nilai buku yang ditukarkan dengan aset
sejenis dan taksejenis. Pemecahan didasarkan atas perbandingan antara tombok dan nilai
pasar aset yang diterima. Berikut ini adalah formula unsur-unsur untuk menentukan kos aset
yang diterima:
Contoh Aplikasi
PT Elang sehun perusahaan taksi, menukarkan salah satu mobil armadanya dengan
mobil sejenis yang lain. Kos mobil lama (Ford) adalah Rp150 juta dan telah didepresiasi
sebesar Rp74 juta yang pada saat ditukarkan mempunyai harga pasar Rp95 juta Muhil lama
ditukar dengan mobil tangan kedua (Toyota) yang bernilai pasar Rp1 juta ditambah kas Rp14
juta. Dengan kos berapa mobil Toyota harus dicatat?
Karena mobil lama dengan nilai buku Rp76 juta dihargai Rp95 juta, terjadi untung
sebesar Rp19 juta Perhitungan kumponen-komponen berikut menentu kan kos aset yang
diterima:
Saham Sebagai Penghargaan. Saham sebagai penghargaan merupakan salah satu bentuk
pemerolehan aset dengan harter. Dalam beberapa kasus transaksi yang menggunakan saham
perusahaan sebagai penghargaan untuk barang dan jasa yang diperoleh, nilai nominal ataupun
nilai nyataan (stated value) untuk tiap saham tidak dapat merepresentasi kua yang sebenarnya
(true value) pada saat transaksi." Pengukur yang tepat untuk menentukan kos dalam situasi
semacam.
itu adalah jumlah rupiah uang tunai yang akan diterima oleh perusahaan sean- dainya
perusahaan menerbitkan saham-saham yang digunakan penghar- Dalam beberapa hal, jumlah
setara tunai saham dapat dicari dengan mem- gaan di atas.

bandingkan harga tunai jenis saham yang sama untuk memperoleh dana tunai (kas) yang
diterbitkan kira-kira bersamaan dengan penyerahan saham untuk memperoleh aset
bersangkutan. Acapkali, kurs saham yang tercatat di bursa pada tanggal transaksi merupakan
petunjuk yang bermanfaat menentukan nilai tunai saham. Mungkin juga terjadi dalam banyak
hal bahwa penghargaan yang di- dasarkan pada nilai tunai saham tidak menemukan jumlah
yang meyakinkan karena harga saham tidak dapat ditentukan dengan memuaskan.
Pendekatan praktis untuk memecahkan masalah ini adalah penentuan kos yang didasarkan
atas taksiran harga pasar aset yang diperoleh. Perbedaan antara nilai nominal sa- ham yang
diserahkan dengan nilai setara tunai aset tersebut diperlakukan sebagai premium (agio) atau
diskun (disagio) saham.

Kos Dalam Reorganisasi. Bila suatu perusahaan sudah berjalan atau beroperasi cukup lama
kemudian mengalami reorganisasi, perusahaan tersebut biasanya tidak mempunyai data kos
yang memadai untuk menentukan kos aset yang dikua sainya. Karena tujuan reorganisasi
biasanya adalah menentukan nilai perusahaan pada saat tersebut, diperlukanlah taksiran nilai
yang wajar seluruh aset peruss- haan dengan mempertimbangkan kondisi aset dan keadaan
pasar pada waktu itu Dalam keadaan semacam itu, pengukuran kos harus didasarkan atas
keadaan se akan-akan perusahaan "baru berdiri" (fresh start). Jadi, dianggap bahwa aset per-
usahaan merupakan suatu kesatuan berbagai aset yang haru saja dibeli.

Hadiah atau Hibah. Masalah khusus timbul bilamana barang atau jasa yang jelas-jelas
mempunyai manfaat ekonomik yang besar diperoleh perusahaan tanpa kos yang berarti atau
dengan kos yang tidak sebanding dengan nilai ekonomik barang yang diperoleh. Gedung dan
tanahnya yang diperoleh perusahaan melalui sumbangan atau hibah adalah contoh
pemerolehan aset tanpa kos. Walaupun demikian, ada alasan yang kuat untuk tetap mencatat
kekayaan tersebut atas dasar kos tunai implisitnya. Alasannya adalah bahwa setiap fasilitas
atau faktor ekonomik yang digunakan dalam operasi perusahaan, tanpa memandang asalnya,
harus diperlakukan dengan saksama sebagai potensi jasa. Oleh karena itu, peng akuan kos
yang wajar diperlukan untuk menentukan secara tepat kemampuan pe rusahaan dalam
menghasilkan laba (earning power) yang biasanya ditunjukkan oleh tingkat kembalian
investasi (rate of return on investment).
Temuan. Kadangkala terjadi bahwa suatu sumber alan atau sarana ditemukan atau
dikembangkan dan mempunyai nilai ekonomik yang jauh melebihi pengelu aran yang
sebenarnya untuk memperolehnya. Di bidang eksploitasi sumber alam misalnya, tambang
minyak yang sangat berharga ditemukan dengan pekerjaan eksplorasi dengan kos nominal
(cukup rendah dibandingkan dengan hasilnya). Demikian juga, suatu peralatan atau teknik
pemrosesan yang mempunyai harga pasar yang cukup tinggi mungkin dikembangkan dan
didaftarkan hak patennya tanpa suatu pengeluaran yang sebanding dengan nilai pasar temuan
tersebut. Dalam kondisi yang khusus seperti ini, diperlukanlah suatu pengukur baru kos atas
dasar jumlah tunai implisit. Jumlah ini adalah jumlah rupiah uang tunai (kas) yang pasti
diperlukan untuk memperoleh sumber alam atau teknik pemro- sesan tersebut seandainya
keduanya sudah dalam keadaan siap pakai atau dalam status siap dipasarkan atau
dikomersialkan. Akan tetapi, perlu ditegaskan bahwa hal yang serupa tidak semestinya
dilakukan begitu saja semata-mata untuk menaikkan nilai aset atas dasar harapan dan
peramalan atau untuk memulai ca- tutan dengan saldo yang baru. Jadi, harus ada alasan yang
kuat atau kondisi yang khusus untuk dapat melakukan pengukuran seperti di atas.
Pomerolehan aset melalui sumbangan ataupun temuan akan menimbulkan tambahan modal
pe- megang saham

Kos Dalam Pembelian Kredit. Dengan sistem kredit, nilai waktu uang menjadi faktor yang
sangat penting dalam mengukur kos yang sebenarnya (true cost). Kos yang sebenarnya dalam
transaksi kredit bukanlah berapa nilai kontrak yang harus dilunasi dalam beberapa kali
angsuran tetapi berapa kos yang sebenarnya pada saat transaksi. Kekeliruan sering terjadi
karena anggapan bahwa nilai nomi- nal atau nilai jatuh tempo utang menunjukkan kos barang
atau jasa yang dibeli dan memang dalam beberapa kasus hal ini cukup beralasan karena
kepraktisan dan materialitas Meskipun demikian, kalau barang atau jasa dibeli secara kredit,
maka kos yang sebenarnya adalah harga tunai implisit. Harga tunui implisit terse but
ditentukan atas dasar jumlah rupiah yang diperlukan seandainya utang terse but dilunasi pada
saat transaksi. Dalam hal pembayaran dilakukan dengan surat wesel, surat obligasi, atau surat
tanda utang lainnya maka jumlah rupiah tunal implisit diukur dengan jumlah rupiah uang
tunai yang akan diterima seandainya surat berharga tersebut diterbitkan atau dijual secara
umum pada saat memper oleh aset.

Dalam transaksi kontrak pembelian dengan harga kontrak tertentu, harga kontrak yang
disepakati mungkin melebihi harga pembelian tunai. Misalnya, har- ga kontrak pembelian
sebuah mesin adalah Rp1.600.000 dan dibayar dalam dela- pan kali angsuran tiap akhir
triwulan sebesar Rp200.000 tanpa menyebutkan adanya bunga secara eksplisit. Dalam kasus
ini, sebenarnya harga nominal (kontrak) tersebut ini lebih kos yang sebenarnya yaitu jumlah
rupiah uang yang diper lukan seandainya pembelian dilakukan tunai. Kalau mesin tersebut
dapat diperoleh juga dari toko yang sama dengan harga tunai Rp1.465.000 maka jumlah
rupiah ini dapat dianggap sebagai dasar pencatatan kos berdasarkan jumlah se Lara tunai
sedangkan selisisih antara jumlah ini dengan nilai kontrak yaitu sebesar Rp135.000 adalah
setara dengan bunga dan harus dibebankan ke pendapatan (sebagai biaya) selama jangka
waktu kontrak Pada umumnya, perusahaan tidak berusaha untuk menentukan harga tunai
efektif baik dengan cara menanyakan langsung ke toko penjual barang ataupun dengan cara
mendiskun nilai kontrak dengan tarip bunga yang berlaku. Kalau ini tarjadi maka akibatnya
adalah bahwa kos tercatat terlalu tinggi. Walaupun demikian, kalau jangka waktu kontrak
adalah pendek (short-terms) maka jumlah kelebihan kos adalah kecil dan tidak cukup berarti
sehingga nilai kontrak dapat dianggap sebagai jumlah rupiah tunai sebagai dasar untuk
mencatat kos
Potongan Tunai dan Keringanan. Kos akan tercatat terlalu tinggi kalau po- tongan tunai (cash
discount) dan keringanan-keringanan (allowances) lain tidak dikurangkan terhadap harga
kesepakatan." Secara taknis pembukuan, memang dimungkinkan untuk sementara mendebit
harga faktur bruto ke dalam akun aset yang bersangkutan dan nantinya harus dilakukan
penyesuaian untuk mengurangi jumlah yang tercatat tersebut menjadi jumlah setara tunainya.
Potongan yang di- manfaatkan oleh pembeli sering dianggap sebagai laba. Hal ini tidak
sejalan de ngan konsep yang mendasarinya yaitu bahwa laba tidak diperoleh melalui proses
pembelian atau pemerolehan potensi jasa. Pembelian semata-mata merupakan langkah
pertama dalam upaya (effort) untuk menghasilkan pendapatan (laba)

Potongan dan keringanan lainnya sudah menjadi kebiasaan yang umum dalam setiap kegiatan
usaha dan pada umumnya akan selalu dimanfaatkan oleh perusahaan yang dikelola dengan
baik (well-managed) Dalam perusahaan yang dikelola dengan baik, melewatkan potongan
merupakan suatu kesalahan yang mengakibatkan rugi. Rugi bukan sumber ekonomik dan
karenanya tidak sela- yaknya kalau dicatat sebagai aset. Oleh karena itu, sebenarnya setiap
perusahaan sudah tahu pasti berapa harga yang sesungguhnya harus dibayar dalain suatu
transaksi. Dengan begitu, harga yang sesungguhnya mestinya adalah harga tunai neto (net
cash price). Pencatatan kos atas dasar harga tunai neto sering tidak di- lakukan karena
kebiasaan mencatat transaksi dalam jumlah rupiah yang tercan tum dalam faktur.

Rugi Dalam Pemerolehan Aset


Sebelum pendapatan terjadi yang ditimbulkan oleh upaya yang direpresentasi oleh
biaya, kos semata-mata mengalami penghimpunan, penggabungan dan reklasifikasi. Kos
yang terhimpun tersebut tetap merepresentasi aset kalau aset tersebut belum dikeluarkan
sebagai biaya. Akan tetapi, dapat terjadi bahwa karena sesuatu hal (atau keadaan yang tidak
normal) potensi jasa tertentu menjadi tidak mempunyai lagi kemampuan atau daya dalam
menghasilkan pendapatan pada waktu mendatang. Dalam keadaan semacam itu, dapat
dikatakan bahwa manfaat ekonomik telah hangus atau menguap dan merupakan rugi.
Sebelum kos potensi jasa dinyatakan hangus maka sebenarnya dapat dikatakan bahwa kos
tersebut statusnya adalah menunggu perlakuan berikutnya (in suspense). Rugi dapat saja
terjadi sebelum penjualan dilakukan atau sebelum perusahaan mulai berproduksi.
Pengikatan atau kontrak yang tidak bijaksana, kecurangan pihak lain atau sekadar
musibah belaka tidak jarang mengakibatkan hangusnya (dissipation) manfaat ekonomik
dalam perioda pendirian badan usaha atau pembangunan pabrik. Pemogokan yang
berkepanjangan, kebakaran besar, banjir bandang atau bencana lainnya adalah contoh
keadaan khusus atau tidak normal yang dapat mengakibatkan rugi besar. Kalau keadaan
memang menunjukkan dengan jelas bahwa rugi telah diderita, satu-satunya perlakuan yang
tepat adalah pemisahan jumlah rupiah rugi tersebut sebagai defisit atau dalam keadaan
tertentu penghapusan jumlah rupiah rugi tersebut dengan pengurangan modal. Jadi, rugi
hendaknya tidak dikapitalisasi atau diasetkan karena kriteria manfaat ekonomik masa datang
tidak dipenuhi lagi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa, kecuali karena hal-hal yang tidak normal yang
mengharuskan kos yang terjadi segera diakui sebagai rugi yang dapat terjadi pada tahapan
kegiatan usaha manapun, semua kos yang terjadi merupakan aset atau merupakan bagian dari
jumlah rupiah total aset perusahaan paling tidak dalam beberapa saat. Berbagai kos tersebut
dapat merepresentasi objek fisis maupun nonfisis. Tiap aset yang direpresentasi dengan kos
tersebut berbeda dalam hal kecepatannya untuk diserap habis sebagai pengurang atau beban
pendapatan.

Penilaian
Pengukuran (measurement) adalah penentuan angka satuan pengukur terhadap suatu
objek untuk menunjukkan makna tertentu objek tersebut. Objek dapat berupa barang, jasa,
binatang, tubuh manusia, dan banda atau konstruk lainnya. Makna (attribute) dapat berupa
nilai, luas, berat, volume, tinggi, umur, indeks prestasi, dan sebagainya. Kalau unit moneter
dijadikan satuan pengukur untuk menunjukkan makna ekonomik suatu objek maka
pengukuran disebut dengan penilaian. Jadi, penilaian adalah proses penentuan jumlah rupiah
suatu objek untuk menentukan makna ekonomiknya di masa lalu, sekarang, atau mendatang.
Di dalam akuntansi, istilah pengukuran dan penilaian sering tidak dibedakan karena
adanya asumsi bahwa akuntansi menggunakan unit moneter untuk mengukur makna
ekonomik suatu objek, pos, atau elemen. Pengukuran biasanya digunakan dalam akuntansi
untuk menunjuk proses penentuan jumlah rupiah yang harus dicatat untuk objek pada saat
pemerolehan. Penilaian biasanya digunakan untuk menunjuk proses penentuan jumlah rupiah
yang harus dilekatkan pada tiap elemen atau pos statemen keuangan pada saat penyajian.
Dalam penilaian suatu pos untuk tujuan penyajian, akuntansi dapat menggunakan
berbagai dasar penilaian (bases for valuation) bergantung pada makna yang ingin
direpresentasi melalui pos statemen keuangan. Penilaian pos aset dimaksudkan untuk
menentukan berapa jumlah rupiah yang harus dilekatkan pada tiap pos aset dan apa dasar
penilaiannya. Ada berbagai dasar penilaian yang dapat digunakan untuk tujuan pelaporan aset
dalam rangka menyediakan informasi yang dapat membantu para pemakai untuk
mengevaluasi posisi keuangan dan untuk memprediksi aliran kas di masa mendatang
Konsep dasar kontinuitas usaha menempatkan aset sebagai sisa potensi jasa yang akan
menjadi upaya dalam menghasilkan pendapatan sehingga dasar penilaian yang paling
menggambarkan makna tersebut adalah kos historis. Akan tetapi, dalam praktiknya pos-pos
aset tidak hanya memiliki atribut sebagai sisa potensi jasa tetapi atribut yang lain. Investasi
jangka pendek, misalnya, mempunyai manfaat ekonomik karena daya tukar menjadi kas atau
keterpasaran (marketability). Demikian juga, aset moneter lainnya mempunyai tujuan
pelaporan dan atribut yang berbeda. Karena adanya berbagai atribut yang disandang oleh pos
pos aset, berbagai dasar penilaian harus digunakan dalam penyajian agar informasi semantik
yang dikandung berpaut (relevan) bagi pemakai statemen keuangan.
Tujuan Penilaian Aset
Karena aset merupakan elemen pembentuk posisi keuangan sebagai informasi semantik bagi
investor dan kreditor, tujuan penilaian aset harus berpaut dengan tujuan pelaporan keuangan.
Tujuan pelaporan keuangan adalah menyediakan informasi yang dapat membantu investor
dan kreditor dalam menilai jumlah, saat, dan ketidakpastian aliran kas bersih ke badan usaha.
Oleh karena itu, dasar penilaian aset akan relevan kalau penilaian tersebut dikaitkan dengan
aliran kas ke badan usaha. Aliran kas bersih ke badan usaha dapat diprediksi melalui
informasi semantik berupa: posisi keuangan, profitabilitas, likuiditas, dan solvensi yang pe
nentuannya melibatkan penilaian aset. Jadi, tujuan penilaian aset adalah merepresentasi
atribut pos-pos aset yang berpaut dengan tujuan pelaporan keuangan dengan menggunakan
basis penilaian yang sesuai.

Konsep dan Basis Penilaian


Hendriksen dan Van Breda (1992) membahas konsep dan dasar penilaian aset untuk tujuan
pelaporan keuangan dari dua dimensi yaitu arah aliran aset dan waktu. Karena aset
merupakan komponen penentu posisi keuangan pada saat tertentu, basis pengukuran untuk
menilai aset pada saat tersebut yang paling valid adalah harga atau nilai pertukaran (exchange
prices atau values). Hal ini sejalan dengan konsep dasar penghargaan sepakatan yang
sebenarnya sama dengan harga/nilai pertukaran. Nilai pertukaran dijadikan basis karena
dianggap objektif sehingga memenuhi kualitas keterandalan (reliability) informasi.
Pertukaran melibatkan sumber ekonomik masuk dan sumber ekonomik keluar kesatuan
usaha. Oleh karena itu, bila suatu aset telah ada dalam atau dikuasai oleh kesatuan usaha,
pada saat menyajikan masalah penilaiannya adalah dengan dasar apa aset tersebut harus
dilekati nilai pertukaran untuk merepresentasi makna atau atribut secara tepat. Nilai
pertukaran itu sendiri dapat dipandang dari dua sisi yaitu pertukaran dalam pemerolehan dan
pertukaran dalam pemanfaatan aset (dikonsumsi atau dijual). Nilai yang diperoleh atas dasar
pertukaran pemerolehan disebut dengan nilai masukan (input/entry values atau exchange
input values) sedangkan yang diperoleh dari pertukaran pemanfaatan disebut nilai keluaran
(output/exit values atau exchange output values).
Walaupun penyajian aset adalah untuk saat tertentu yang dalam dimensi waktu dapat
diletakkan sebagai titik sekarang (current), nilai pertukaran yang dapat dijadikan basis
penilaian dapat nilai pertukaran masa lalu (post) atau masa mendatang (future). Dimensi
waktu dan arah (pemerolehan atau pemakaian) menghasilkan enam basis pengukuran
sebagaimana dikemukakan Hendriksen dan Van Breda (1992, him. 489) yaitu: kos historis
(historical costs), kos pengganti (replacement costs), kas harapan (expected costs), harga jual
masa lalu (past selling prices), harga jual sekarang (current selling prices), dan nilai
terealisasi harapan (expected realizable values). Gambar 6.4 berikut menyarikan hubungan
antara berbagai dasar pengukuran tersebut."
Dasar di atas lebih diarahkan untuk mencapai keterandalan penilaian atas dasar nilai
pertukaran. Pos-pos tertentu lebih objektif atau terandalkan penilaiannya kalau didasarkan
atas nilai masukan sedangkan pos-pos lainnya lebih terandalkan kalau didasarkan atas nilai
keluaran.
Karena pemakai dianggap berkepentingan dengan aliran kas bersih, penilaian aset
harus berpaut atau relevan dengan kepentingan tersebut. Bila aliran kas menjadi basis
pengukuran, aliran kas tersebut harus cukup pasti atau jelas melekat pada pos aset yang
diukur. Pada umumnya, pos-pos aset moneter dapat ditukarkan dengan atau berubah menjadi
kas dengan cukup pasti sehingga penilaiannya dapat didasarkan pada nilai keluaran (nilai
aliran kas bila pos tersebut keluar atau dijual). Sementara itu, pos-pos aset yang lain dapat
ditentukan dengan cukup pasti aliran kas keluarnya sehingga dapat diukur atas dasar nilai
masukan (nilai aliran kas bila aset masuk atau diperoleh). Oleh karena itu, gambar di atas
dapat dilukiskan kembali secara diagramatis dalam konteks objektivitas penilaian dan
relevansi aliran kas dalam Gambar 6.5 di bawah ini. Pemilihan nilai masukan atau keluaran
untuk penilaian pos aset harus dipertimbangkan ber- samaan dengan kualitas ketepatan
penyimbolan (representational faithfulness) atribut pos bersangkutan.
Jadi, konsep nilai masukan dan keluaran sebenarnya berkaitan dengan konsep
kesatuan usaha yang dianggap menguasai sumber ekonomik (aset) dan harus
mempertanggungjelaskan aset tersebut. Oleh karena itu, yang dimaksud masukan tidak lain
adalah transaksi pertukaran (exchange) dalam rangka memperoleh suatu aset sedangkan
keluaran adalah transaksi pertukaran dalam rangka "menjual" suatu pos aset atau objek jasa
tertentu. Dasar penilaian yang akan dipilih sebenarnya menggambarkan nilai pertukaran
tersebut.

Nilai Masukan
Nilai masukan didasarkan atas jumlah rupiah yang harus dikeluarkan atau dikorbankan untuk
memperoleh aset atau objek jasa tertentu yang masuk dalam unit usaha. Kalau tujuan
menyajikan makna aset ini adalah untuk menunjukkan aliran kas yang akan keluar dari unit
usaha (seandainya unit usaha harus memperoleh objek jasa yang sama) maka nilai masukan
merupakan alternatif nilai keluaran untuk objek jasa bila memang tidak ada pasar objek
tersebut sehingga

Anda mungkin juga menyukai