Anda di halaman 1dari 51

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan Pariwisata dunia berdasarkan data yang dikeluarkan oleh

UNWTO, World Tourism barometer pada tahun 2014 bahwa wilayah Asia Pasifik

merupakan daerah yang mengalami pertumbuhan pariwisata paling tinggi

dibandingkan dengan negara di bagian Afrika dan Eropa yaitu mengalami

kenaikan lebih dari 6%, negara bagian afrika 6%, dan negara bagian eropa sebesar

5%. Pada wilayah Asia Pasifik yang mendominasi pertumbuhan tertinggi di

bidang pariwisata adalah negara bagian Asia Tenggara yang mengalami kenaikan

sebesar 10% dimana pada pada wilayah tersebut terdapat Negara Indonesia yang

menjadi salah satu tujuan wisata di mata dunia. Menurut data The Travel and

Tourism Competitiveness Index yang dilansir World Economic Forum (WEF)

2021, Negara Indonesia menonjol di kategori budaya, warisan sejarah, kekayaan

dan keindahan alam. Salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia adalah Kota

Bengkulu, selain keindahan alam kota Bengkulu yang sangat menarik, makanan

tardisional kota Bengkulu juga banyak diminati oleh para wisatawan, baik

wisatawan lokal maupun wisatawan asing.

Masukan data kunjungan turis Mancanegara

Menurut (Pramintasari & Fatmawati, 2017) pada era modern saat ini,

konsumen menjadi lebih peduli terhadap apa yang mereka makan. Cooper,

Christopher, Hall (2008) berargumen bahwa dalam food tourism terdapat

perbedaan di antara beberapa macam perilaku konsumen dalam melakukan

perjalanan; konsumen yang menjadikan kuliner sebagai bagian dari perjalanan,

1
2

dan konsumen yang mencari destinasi sesuai dengan selera makanan yang disukai.

Didukung oleh pendapat Torres, R. and J. Momsen (2011) bahwa beberapa

konsumen yang berwisata ke suatu tempat lebih memilih untuk membeli makanan

yang serupa dengan makanan yang ada di daerah asalnya. Terlebih adanya rasa

kekeluargaan dengan masyarakat lokal, lingkungan setempat, serta makanan yang

sesuai selera telah menjadi motivasi utama dalam melakukan sebuah perjalanan

(Sengel et al., 2015).

Kuliner Bengkulu menjadi daya tarik wisata daerah Bengkulu. Bermacam

kuliner khas daerah ini harus dikembangkan karena sangat mendukung pariwisata.

Kuliner khas daerah ini bisa menjadi daya tarik sendiri. Pariwisata saat ini harus

didukung dengan adanya kuliner-kuliner yang sangat menarik, sehingga selain

menjual potensi alam, kuliner yang sangat menarik dan nikmat akan mengundang

wisata untuk datang ke Bengkulu.

Makanan khas Bengkulu yang banyak digemari oleh masyarakat dan

wisatawan seperti pendap, pendap adalah makanan khas Bengkulu yang terbuat

dari bahan dasar ikan kemudian dibumbui dengan bumbu rempah seperti bawang

putih, kencur, cabai, garam, hingga kelapa muda parut, ikan yang sudah berbalur

bumbu akan dibungkus dengan daun talas dan direbus hingga matang. Bagar hiu,

bagar hiu menggunakan daging ikan hiu, lebih tepatnya lagi adalah jenis hiu

tanduk. Daging ikan hiu yang sudah dibersihkan kemudian dibumbui dengan

bumbu cabai dan rempah lalu dimasak hingga matang. Rebung asam undak liling

adalah makanan khas Bengkulu yang dibuat dari campuran dua bahan dasar, yakni

keong hitam dan rebung. Lemang tapai juga menjadi makanan khas kota

Bengkulu, Lemang tapai dibuat dari bahan dasar beras ketan dan santan. Untuk
3

cara membuatnya, beras ketan yang sudah dicuci bersih lalu direndam semalaman.

Setelah itu dicampur dengan santan dan dimasak dengan cara dibakar dalam

seruas bambu hingga matang.

Makanan khas Bengkulu yang sangat terkenal adalah tempoyak yaitu buah

durian yang difermentasikan, tempoyak biasanya digunakan untuk mencampur

makanan seperti gulai udang tempoyak, gulai ikan tempoyak dan lain-lain. Selain

itu masih banyak makanan etnis Bengkulu yang sangat disukai seperti perut punai,

kue baytat, manisan terong dan lain-lain. Kuliner khas Bengkulu ini harus di

promosikan sehingga menjadi daya tarik baik di tingkat nasional maupun

intenasional.

Repurchase Intention merupakan suatu penilaian individu tentang pembelian

ulang dari layanan suatu perusahaan yang sama, dengan membandingkan situasi

sekarang dan nanti (Kaveh, 2012). (Hellier et al., 2003) menyatakan bahwa

Repurchase Intention terjadi ketika konsumen melakukan kegiatan pembelian

kembali untuk kedua kali atau lebih, dimana alasan pembelian kembali terutama

dipicu oleh pengalaman konsumen terhadap produk atau jasa.

Repurchase intention pelanggan mempunyai manfaat yang banyak bagi

perusahaan. Repurchase intention yang positif juga mempunyai manfaat untuk

dapat membuat konsumen menjadi loyal terhadap produk atau jasa yang

digunakan. Menurut Fornell (1992), menjelaskan bahwa konsumen yang puas

akan melakukan kunjungan ulang di lain waktu dan menginformasikan kepada

orang lain atas jasa yang dirasakan. Maka dengan demikian penting bagi

konsumen untuk membangun repurchase intention pelanggan (Satria, 2019).


4

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi repurchase intention seperti experential

marketing, relationship marketing dan experiential value.

Experiential Marketing merupakan sebuah pendekatan modern dalam

pemasaran dimana pendekatan ini menggunakan emosional konsumen. Konsumen

dapat membedakan suatu produk atau jasa karena telah merasakan pengalaman

yang dirasakan secara langsung dan juga merupakan konsep pemasaran yang

menekankan kinerja produk atau jasa dalam memberikan pengalaman emosi

hingga menyentuh hati dan perasaan konsumen (Schmitt, 1999).

Pendekatan ini dinilai sangat efektif karena sejalan dengan perkembangan

jaman karena lebih menekankan pada pemberian pengalaman atas merk produk

atau jasa menjadi nilai tambah bagi pengusaha kuliner agar konsumen dapat

membedakan restoran yang satu dengan yang lainnya. (Yang, 2009) menyatakan

penting untuk melakukan analisis pengalaman yang dirasakan oleh konsumen

dalam kegiatan konsumsi, memahami dengan benar bagaimana perubahan

konsumen setelah mengalami kegiatan konsumsi, dan melihat bagaimana perilaku

konsumen, khususnya minat konsumen, setelah melakukan pembelian ulang

tersebut. Experiential Marketing dan Experiential Value merupakan konsep yang

tidak dapat dipisahkan dan memiliki hubungan yang positif (Schmitt, 1999).

Menurut (Mathwick et al., 2001), pengalaman konsumsi dapat memperkaya suatu

nilai. (Nigam, 2012) mendefinisi Experiential Marketing sebagai peristiwa yang

memberikan target konsumen untuk menjelajah suatu produk dan pengalamannya

untuk selanjutnya dapat menciptakan pembelian.

Banyak peneliti telah berfokus untuk memahami hal tersebut agar dapat

menciptakan minat untuk mengkonsumsi kembali dengan melibatkan sisi


5

pengalaman emosional yang diperoleh konsumen ((Kusuma, 2013); (Nigam,

2012). (Helena & Saifi, 2018) menemukan bahwa analisis dari Experiential

Value memiliki dampak pada pembelian. (Kusuma, 2013) juga menemukan

bahwa experiental marketing berpengaruh signifikan dan positif terhadap

Repurchase Intention melalui experiental value sebagai konstruk pemediasi pada

konsumen Garuda Indonesia di Surabaya. Hal ini berarti experiental marketing

dapat meningkatkan sikap konsumen terhadap experiental value, yang pada

akhirnya juga akan meningkatkan Repurchase Intention konsumen.

Relationship Marketing penting untuk kesuksesan sebuah bisnis, terutama

hubungan antara perusahaan dan konsumen. Definisi Relationship Marketing oleh

Berry (1983) dalam (Hunt & Morgan, 1994) adalah proses menarik,

mempertahankan dan meningkatkan hubungan dengan konsumen. Menurut (Ben-

Rechav, 2000) Relationship Marketing tidak hanya mengenai hubungan jangka

panjang dengan konsumen, tetapi juga dengan calon mitra dalam proses

pemasaran seperti pemasok, aliansi, pesaing, distributor dan karyawan. Penelitian

terdahulu yang dilakukan oleh (Utami, 2019) menemukan adanya pengaruh dari

relationship marketing terhadap purchase intention.

Penelitian ini merupakan replika dari penelitian terdahulu yang dilakukan

oleh (Astari et al., 2016) yang menemukan bahwa bahwa experiential marketing

berpengaruh positif dan signifikan terhadap experiential value dan repurchase

intention. Selain itu, experiential value mampu memediasi pengaruh experiential

marketing terhadap repurchase intention secara signifikan. Adapun perbedaan

dengan penelitian sekarang adalah adanya penambahan variabel pada variabel

independen yaitu relationship marketing.


6

Pada penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah semua UMKM

yang ada di kota Bengkulu yang menjual makanan etnis Bengkulu seperti

tempoyak, pendap, lempuk durian dan lain-lain. Makanan khas Bengkulu ini

dapat menarik perhatian dari masyarakat terutama para wisatawan yang

berkunjung ke kota Bengkulu untuk dijadikan oleh-oleh, selain wisatawan

masyarakat Bengkulu juga banyak yang berminat untuk mengkonsumsi makanan

etnis Bengkulu ini. Untuk itu perlu dilakukan promosi atau pemasaran yang baik

agar setiap konsumen yang telah melakukan pembelian makanan etis Bengkulu

berniat untuk melakuakan pembelian kembali.

Berdasarkan aspek manajerial dan teoritis, penelitian ini berfokus pada

pendekatan Experiential Marketing dan Relationship Marketing yang diterapkan

oleh penjual makanan khas Bengkulu, sehingga dapat menciptakan Repurchase

Intention melalui Experiential Value sebagai pemediasi di kalangan konsumen

yang hedonis. Sehingga penelitian ini diberi judul “Peran Experiential Value

Dalam Memediasi Pengaruh Experiential Marketing Dan Relationship Marketing

Terhadap Repurchase Intention Makanan Etnis Kota Bengkulu”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan bahwa masalah

dalam penelitian ini antara lain:

1. Apakah Experiential Marketing berpengaruh secara langsung terhadap

repurchase intention?

2. Apakah Relationship Marketing berpengaruh secara langsung terhadap

repurchase intention?

3. Apakah Experiential Marketing berpengaruh terhadap experiential value?


7

4. Apakah Relationship Marketing berpengaruh terhadap terhadap experiential

value?

5. Apakah Experiential Value berpengaruh terhadap repurchase intention?

6. Bagaimanakah peran mediasi Experiential Value dalam hubungan antara

Experiential Marketing dan Repurchase Intention ?

7. Bagaimanakah peran mediasi Experiential Value dalam hubungan antara

relationship mareketing dan Repurchase Intention ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, adapun tujuan penelitian ini secara khusus

adalah:

1. Mengetahui pengaruh Experiential Marketing secara langsung terhadap

repurchase intention.

2. Mengetahui pengaruh Relationship Marketing secara langsung terhadap

repurchase intention.

3. Mengetahui pengaruh Experiential Marketing terhadap experiential value.

4. Mengetahui pengaruh Relationship Marketing terhadap terhadap experiential

value.

5. Mengetahui pengaruh Experiential Value terhadap repurchase intention.

6. Mengetaui peran mediasi Experiential Value dalam hubungan antara

Experiential Marketing dan repurchase intention

7. Peran mediasi Experiential Value dalam hubungan antara relationship

mareketing dan repurchase intention.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian terbagi menjadi 2 (dua) yaitu:


8

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber pengetahuan dan referensi dalam

menambah wawasan ilmu pengetahuan penulisan karya ilmiah.

b. Manfaat Praktis

a) Penjual Makanan Etnis Bengkulu

Sebagai rujukan pemberian informasi untuk evaluasi manajemen

operasional dalam pemasaran untuk kedapannya agar lebih baik lagi.

b) Institusi pendidikan

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah dan bermanfaat

bagi mahasiswa serta dapat dijadikan bahan referensi.

c) Peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat berguna sebagai masukan atau informasi bagi

peneliti lain dalam mengembangkan penelitian dengan variable-variabel

yang lain.
9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1 Repurchase Intention

Purchase intention dapat diartikan sebagai ke-mungkinan bahwa

konsumen akan melakukan pembelian produk tertentu. Selain itu, dapat diartikan

juga sebagai rencana dari konsumen untuk melakukan upaya dalam membeli.

Kesediaan pelanggan untuk membeli memiliki probabilitas yang lebih tinggi,

meskipun pelanggan belum tentu benar-benar mem-belinya.Niat beli ditentukan

oleh manfaat dan nilai yang dirasakan oleh konsumen (Wang & Tsai, 2014).

Niat beli juga dapat diartikan sebagai konsumen lebih memilih untuk

membeli produk atau layanan karena merasa bahwa membutuhkan produk atau

jasa tersebut (Madahi & Sukati, 2012). (Wijaya & Sugiharto, 2015)menjelaskan

bahwa niat beli adalah pengguna-an alat yang efektif dalam memprediksi proses

pem-belian. Setelah konsumen memutuskan untuk membeli produk di toko

tertentu didasarkan pada dorongan karena niat yang dimilikinya

Minat beli ulang adalah tindakan dari konsumen untuk mau membeli atau

tidak terhadap produk (Kotler, 2005). Minat beli atau minat pembelian ulang

konsumen sangat berhubungan dengan motif yang dimiliki konsumen untuk

melakukan pembelian atau mengkonsumsi suatu produk tertentu (Kotler, 2005).

Motif pembelian tersebut berbeda-beda pada setiap konsumen. Jika produk

memiliki atribut, menarik dan keunikan yang sesuai dengan tingkat kebutuhannya,
10

maka produk tersebut akan dibeli oleh konsumen. Pembelian ulang (repurchase)

dapat terjadi ketika melakukan pembelian yang dilakukan lebih dari satu kali.

Minat pembelian kembali secara online adalah situasi ketika seorang pelanggan

bersedia dan berminat untuk terlibat dalam transaksi di masa mendatang (Ling

et al., 2010).

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa minat pembelian ulang

adalah suatu kegiatan seorang pelanggan saat melakukan pembelian pertama kali

dan mempunyai sikap positif, sehingga akan mengalami pembelian secara

berulang pada masa mendatang.

Minat pembelian ulang terjadi setelah konsumen melakukan transaksi

pembelian dan mengkonsumsi produk sehingga berminat membeli lagi Sutantio

(2004) mendeskripsikan minat pembelian ulang sebagai kemungkinan pembeli

berminat untuk membeli suatu produk. Sutantio pun mengartikan intention to buy

sebagai pernyataan yang berkaitan dengan batin yang mencerminkan rencana dari

pembeli untuk membeli suatu merek tertentu dalam suatu periode waktu tertentu.

Ferdinand (2002) menyatakan bahwa indikator minat pembelian ulang

diantaranya adalah:

a. Minat Transaksional, yaitu kecenderungan seseorang untuk membeli produk.

c. Minat Referensial, yaitu kecenderungan seseorang untuk mereferensikan

produk kepada orang lain.

d. Minat preferensial, yaitu minat yang menggambarkan perilaku seseorang

yang memiliki preferensi utama pada produk tersebut, preferensi ini dapat

berubah bila terjadi sesuatu dengan produk preferensinya.


11

e. Minat Eksploratif, minat ini menggambarkan perilaku seseorang yang selalu

mencari informasi mengenai produk yang diminatinya dan mencari informasi

untuk mendukung sifat-sifat positif dari produk tersebut.

2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Repurchase Intention

Menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (2001) faktor yang mempengaruhi

repurchase intention adalah sebagai berikut:

1. Minat Beli Ulang (Experiential Marketing)

Suatu konsep pemasaranyangtidak hanya sekedar memberikan informasi dan

peluang pada pelanggan untuk memperolehpengalaman atas keuntungan yang

didapat tetapi juga membangkitkan emosi danperasaanyang berdampak

terhadap pemasaran, khususnya penjualan

2. Loyalitas (Loyalty)

Komitmen yang tinggi untuk pembelian ulang produk atau jasa yang disukai

di masa mendatang

3. Perpindahan (Switch)

Strategi penerapan biaya yang dilakukan produsen agar konsumen tidak

berpaling.

4. Nilai pengalaman (experential value)

Persepsi dan interaksi yang melibatkan penggunaan langsung atau

penghargaan terhadap barang dan jasa

Menurut Chang dan Wildt (1996) ada beberapa faktor yang mempengaruhi

repurchase intention adalah sebagai berikut:

1. Intensitas Promosi
12

Promosi adalah bentuk persuasi langsung melalui penggunaan berbagai

insentif yang dapat diukur untuk merangsang pembelian produk dengan

daya Tarik.

2. Relationship marketing

Suatu proses untuk menciptakan, mempertahankan dan meningkatkan

hubunganhubungan yang kuat dengan para pelanggan dan stakeholder

lainnya.

3. Harga Yang Dirasakan (Perceived Price)

Harga merupakan faktor yang diyakini para peneliti mempengaruhi

kepuasan pelanggan

2.1.3 Experiential Marketing

Experiential Marketing merupakan sebuah pendekatan dalam pemasaran

yang sebenarnya telah dilakukan sejak jaman dulu hingga sekarang oleh para

pemasar. Pendekatan ini dinilai sangat efektif karena sejalan dengan

perkembangan jaman dan teknologi, para pemasar lebih menekankan diferensiasi

produk untuk membedakan produknya dengan produk kompetitor. Dengan adanya

Experiential Marketing, pelanggan akan mampu membedakan produk dan jasa

yang satu dengan lainnya karena mereka dapat merasakan dan memperoleh

pengalaman secara langsung melalui lima pendekatan (sense, feel, think, act,

relate), baik sebelum maupun ketika mereka mengkonsumsi sebuah produk atau

jasa (Schmitt, 1999).

Experiential Marketing merujuk pada pengalaman nyata pelanggan

terhadap brand/product/service untuk meningkatkan penjualan/sales dan brand


13

image/awareness. Experiential Marketing adalah lebih dari sekedar memberikan

informasi dan peluang pada pelanggan untuk memperoleh pengalaman atas

keuntungan yang didapat dari produk atau jasa itu sendiri tetapi juga

membangkitkan emosi dan perasaan yang berdampak terhadap pemasaran,

khususnya penjualan (Andreani, 2007).

Pengertian Experiential Marketing menurut (Schmitt, 1999)adalah suatu

usaha yang digunakan oleh perusahaan atau pemasar untuk mengemas produk

sehingga mampu menawarkan pengalaman emosi hingga menyentuh hati dan

perasaan konsumen. Kartajaya (2004) mengatakan bahwa di dunia yang lebih

emosional dan interaktif produk dan jasa harus memberikan suatu pengalaman

(product and service shouled be an experience), seperti :

a. Pengalaman fisikal

Pengalaman yang diperoleh dari interaksi fisik manusia dengan lingkungan

sekitar yang dapat merangsang seluruh panca indera manusia. Seperti

menghabiskan malam panjang di Hard Rock Cafe, seluruh panca indera akan

dibuai oleh atmosfer kejayaan musik rock tahun 1970-an, foto-foto dan alat

musik bintang rock legendaris.

b. Pengalaman emosional

Pengalaman yang timbul karena adanya interaksi yang membangkitkan

emosi, baik emosi yang meningkatkan prestige maupun emosi yang

memperlihatkan identitas dan ekspresi manusia. Misalnya para wanita,

membaca Cosmopolitan adalah identitas dan ekspresi sebagai wanita modern,

independent dan tak tunduk pada determinasi laki laki, Confident dan menjadi

diri sendiri, berani dan sebagainya.


14

c. Pengalaman intelektual

Pengalaman karena adanya kemampuan untuk menggali potensi dan

aktualisasi diri. Misalnya mengikuti executive education workshop.

d. Pengalaman spiritual

Pengalaman yang diperoleh manusia melalui sisi religius manusia, seperti

mengikuti ceramah dan pengajian sehingga memperoleh kedamaian dunia

dan akherat.

Pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa erat kaitanya

dengan konsep Experiential Marketing. Experiential Marketing dapat sangat

berguna untuk sebuah perusahaan yang ingin meningkatkan merek yang berada

pada tahap penurunan, membedakan produk mereka dari produk pesaing,

menciptakan sebuah citra dan identitas untuk sebuah perusahaan, meningkatkan

inovasi dan membujuk pelanggan untuk mencoba dan membeli produk. Hal yang

terpenting adalah menciptakan pelanggan yang loyal, pelanggan mencari

perusahaan dan merek–merek tertentu untuk dijadikan bagian dari hidup mereka.

Pelanggan juga ingin perusahaan-perusahaan dan merek-merek tersebut

dapat berhubungan dengan hidup mereka, mengerti mereka, menyesuaikan

dengan kebutuhan mereka dan membuat hidup mereka lebih terpenuhi. Dalam era

informasi, teknologi, perubahan dan pilihan, setiap perusahaan perlu lebih selaras

dengan para pelanggan dan pengalaman yang diberikan produk atau jasa mereka

(Rini, 2009). Tahap awal dari sebuah Experiential Marketing yaitu terfokus pada

tiga kunci pokok yaitu :


15

a. Pengalaman pelanggan

Pengalaman pelanggan melibatkan panca indera, hati, pikiran yang dapat

menempatkan pembelian produk atau jasa di antara konteks yang lebih besar

dalam kehidupan.

b. Pola konsumsi

Analisis pola konsumsi dapat menimbulkan hubungan untuk menciptakan

sinergi yang lebih besar. Produk dan jasa tidak lagi dievaluasi secara terpisah,

tetapi dapat dievaluasi sebagai bagian dari keseluruhan pola penggunaan yang

sesuai dengan kehidupan konsumen. Hal yang terpenting, pengalaman setelah

pembelian diukur melalui kepuasan dan loyalitas.

c. Keputusan rasional dan emosional

Pengalaman dalam hidup sering digunakan untuk memenuhi fantasi, perasaan

dan kesenangan. Banyak keputusan dibuat dengan menuruti kata hati dan

tidak rasional. Experiential Marketing bertujuan membuat pelanggan merasa

senang dengan keputusan pembelian yang telah dibuat.

Dari definisi-definisi tersebut dapat dikatakan Experiential Marketing

merujuk pada pengalaman nyata pelanggan terhadap brand/product/service untuk

meningkatkan penjualan dan brand image/awareness. Experiential Marketing

adalah lebih dari sekedar memberikan informasi dan peluang pada pelanggan

untuk memperoleh pengalaman atas keuntungan yang didapat dari produk atau

jasa itu sendiri tetapi juga membangkitkan emosi dan perasaan yang berdampak

terhadap pemasaran, khususnya penjualan.


16

Experiential Marketing dapat dimanfaatkan secara efektif apabila

diterapkan pada beberapa situasi tertentu. (Schmitt, 1999) berpendapat ada

beberapa manfaat yang dapat diterima dan dirasakan apabila badan usaha

menerapkan Experiential Marketing. Manfaat tersebut yaitu untuk

membangkitkan kembali merek yang sudah merosot, untuk menciptakan dan

membuat perbedaan dengan produk pesaing, untuk menciptakan citra dan

identitas perusahaan, untuk mempromosikan inovasi, untuk membujuk percobaan,

pembelian, dan yang paling penting adalah konsumsi loyal. Menurut (Nigam,

2012) Experiential Marketing meliputi lima indokator sebagai berikut :

a. Sense

Sense berkaitan dengan gaya (styles) dan simbol-simbol verbal dan visual

yang mampu menciptakan keutuhan sebuah kesan. Untuk menciptakan kesan

yang kuat, baik melalui iklan, packaging ataupun website, seorang pemasar

perlu memilih warna yang tepat sejalan dengan company profile. Pilihan

warna ini harus menarik untuk membangkitkan perhatian pelanggannya

b. Feel

Feel atau perasaan sangatlah berbeda dengan kesan sensorik karena hal ini

berkaitan dengan suasana hati dan emosi jiwa seseorang. Ini bukan sekedar

menyangkut keindahan, tetapi suasana hati dan emosi jiwa yang mampu

membangkitkan kebahagiaan atau bahkan kesedihan. Iklan yang bersifat feel

good biasanya digunakan untuk membuat hubungan dengan pelanggan,

menghubungkan pengalaman emosional mereka dengan produk atau jasa, dan

menantang pelanggan untuk bereaksi terhadap pesan feel campaign sering

digunakan untuk membangun emosi pelanggan secara perlahan. Ketika


17

pelanggan merasa senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan,

pelanggan akan menyukai produk dan perusahaan. Sebaliknya, ketika

pelanggan merasa tidak senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan,

maka konsumen akan meninggalkan produk tersebut dan beralih kepada

produk lain. Jika sebuah strategi pemasaran dapat menciptakan perasaan yang

baik secara konsisten bagi pelanggan, maka perusahaan dapat menciptakan

loyalitas merek yang kuat dan bertahan lama.

c. Think

Berpikir (think) dapat merangsang kemampuan intelektual dan kreativitas

seseorang”. Melalui aspek think perusahaan berusaha untuk menantang

konsumen, dengan cara memberikan problem-solving experiences, dan

mendorong pelanggan untuk berinteraksi secara kognitif atau secara kreatif

dengan perusahaan atau produk. Iklan pikiran biasanya lebih bersifat

tradisional, menggunakan lebih banyak informasi tekstual, dan memberikan

pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawabkan, cara yang baik untuk membuat

think campaign berhasil adalah:

1) Menciptakan sebuah kejutan yang dihadirkan baik dalam bentuk visual,

verbal ataupun konseptual.

2) Berusaha untuk memikat pelanggan.

3) Memberikan sedikit provokasi

d. Act

Act atau tindakan yang berhubungan dengan keseluruhan individu (pikiran

dan tubuh) untuk meningkatkan hidup dan gaya hidupnya. Pesan-pesan yang

memotivasi, menginspirasi dan bersifat spontan dapat menyebabkan


18

pelanggan untuk berbuat hal-hal dengan cara yang berbeda, mencoba dengan

cara yang baru merubah hidup mereka lebih baik

e. Relate

Relate berkaitan dengan budaya seseorang dan kelompok referensinya yang

dapat menciptakan identitas sosial. Seorang pemasar harus mampu

menciptakan identitas sosial (generasi, kebangsaan, etnis) bagi pelanggannya

dengan produk atau jasa yang ditawarkan. Pemasar dapat menggunakan

simbol budaya dalam kampanye iklan dan desain web yang mampu

mengidentifikasikan kelompok pelanggan tertentu. Relate menghubungkan

pelanggan secara individu dengan masyarakat, atau budaya. Relate menjadi

daya tarik keinginan yang paling dalam bagi pelanggan untuk pembentukan

self- improvement, status socio-economic, dan image. Relate campaign

menunjukkan sekelompok orang yang merupakan target pelanggan dimana

seorang pelanggan dapat berinteraksi, berhubungan, dan berbagi kesenangan

yang sama. Kelima tipe dari experience ini disampaikan kepada konsumen

melalui experience provider. Agen–agen yang bisa menghantarkan

experience ini adalah :

a. Komunikasi meliputi iklan, komunikasi perusahaan baik internal maupun

eksternal, dan public relation.

b. Identitas dan tanda baik visual maupun verbal, meliputi nama, logo,

warna, dan lain-lain.

c. Tampilan produk, baik desain, kemasan, maupun penampakan.

d. Co-branding, meliputi even–even pemasaran, sponsorship, aliansi dan

rekanan kerja, lisensi, penempatan produk dalam film, dan sebagainya.


19

e. Lingkungan spatial, termasuk desain kantor, baik interior maupun

eksterior, outlet penjualan, ekshibisi penjualan, dan lain-lain.

f. Web sites

g. Orang, meliputi penjual, representasi perusahaan, customer service dan

operator call centre.

2.1.4 Relationship Marketing

Relationship Marketing yang benar membutuhkan perubahan sikap yang

mendasar, memandang pelanggan sebagai mitra (partner) dan modal harus diatur

sedemikian rupa untuk menghasilkan keuntungan jangka panjang bagi badan

usaha. Penjualan bukanlah akhir dari proses pemasaran, sebaliknya merupakan

awal hubungan dengan pelanggan. Fokusnya terletak pada hubungan bukan pada

penjualan individu.

Zeithml dan Bitner (1999) mendefinisikan Relationship Marketing

orientasi strategis, yang memfokuskan pada mempertahankan dan

mengembangkan pelanggan yang ada, lebih daripada menarik pelanggan baru.

(Rizan et al., 2014) mendefinisikan Relationship Marketing sebagai pengenalan

setiap pelanggan secara lebih dekat dengan menciptakan komunikasi dua arah

dengan mengelola suatu hubungan yang saling menguntungkan antara pelanggan

dan perusahaan. Pendapat tersebut mengemukakan bahwa pemasaran relasional

bertujuan untuk membangun hubungan yang saling memuaskan antara konsumen,

pemasok, distributor untuk memelihara bisnis dan preferensi mereka dalam jangka

panjang.
20

Sehingga dapat disimpulkan bahwa Relationship Marketing merupakan

suatu proses penciptaan hubungan yang baik dengan semua pihak yang

berhubungan dengan kelangsungan hidup perusahaan dengan cara memberikan

tingkat kepuasan yang tinggi kepada pendengar, ataupun pihak lain, sehingga

terjalin kerjasama yang baik yang dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang

panjang dan akan memperpanjang umur perusahaan. Konsumen menyusun nilai,

keinginan dan kebutuhan didasarkan pada opini, word of mouth references dan

pengalaman yang lalu tentang produk dan jasa (Halimi et al., 2011).

Relationship Marketing bertujuan untuk menjalin komunikasi atau

hubungan antara perusahaan dengan konsumennya untuk merangsang transaksi

dan kepuasan konsumen dalam jangka panjang dan juga untuk menciptakan

loyalitas konsumen. Perusahaan tidak lagi hanya sekedar membuat atau

menawarkan produk, melainkan perusahaan harus mencari tahu apa yang

sesungguhnya menjadi kebutuhan dan keinginan dari konsumen. Perusahaan yang

ingin terus berkembang haruslah memuaskan konsumennya.

(Winer, 2001) Customer Relationship Marketing sebagai strategi untuk

membangun hubungan yang baik dengan pelanggan dalam jangka panjang dengan

mengkombinasikan kemampuan untuk merespon secara langsung dan untuk

melayani pelanggan dengan interaksi yang tinggi. Menurut (Ndubisi et al., 2008)

terdapat empat indikator Relationship Marketing yang mempengaruhi loyalitas

nasabah, yaitu :

a. Kepercayaan

Kepercayaan secara umum dipandang sebagai unsur mendasar bagi

keberhasilan relationship marketing. Tanpa adanya kepercayaan suatu


21

hubungan tidak akan bertahan dalam jangka panjang. Kepercayaan

merupakan faktor terbentuknya komitmen karena komitmen mencakup

faktor–faktor kepercayaan dan pengorbanan. Komitmen tidak akan terbentuk

tanpa adanya kepercayaan. Kepercayaan dapat dibangun dengan cara

menepati janji terhadap pelanggan, memberikan keamanan pada setiap

transaksi yang dilakukan, memberikan pelayanan yang berkualitas,

menunjukan sikap peduli terhadap pelanggan, dan memberikan rasa aman.

Kepercayaan merupakan variabel kunci dalam pengembangan keinginan yang

kuat untuk mempertahankan sebuah hubungan jangka panjang. Untuk dapat

mempertahankan loyalitas pelanggan perusahaan tidak hanya mengandalkan

pada kepuasan yang dirasakan oleh pelanggan, tetapi lebih dari itu bahwa

kepercayaan merupakan perantara kunci dalam membangun keberhasilan

pertukaran hubungan untuk membangun loyalitas pelanggan yang tinggi.

b. Komitmen

Komitmen perusahaan merupakan inti dari relationship marketing. Komitmen

perusahaan dapat diperoleh dengan cara perusahaan menjadikan pelanggan

sebagai prioritas utama, berjangka panjang, dan berdasarkan pada hubungan

yang saling menguntungkan. Komitmen perusahaan juga dapat diartikan

sebagai janji atau ikrar perusahaan untuk memelihara hubungan yang telah

terjalin dengan baik, karena hubungan tersebut memiliki arti penting.

Komitmen perusahaan dapat ditujukan dengan terus menerus melakukan

pembelajaran untuk menyediakan kebutuhan pelanggan dan kualitas layanan

akan meningkatkan kepuasan pelanggan, yang pada akhirnya akan membawa

perusahaan pada terciptanya hubungan yang erat dengan pelanggannya.


22

c. Komunikasi

Perusahaan harus mengelola komunikasi dengan baik karena komunikasi

yang gagal kemungkinan dapat menyebabkan hal yang merugikan seperti

kesalah pahaman atau kebingungan. Keefektifan komunikasi merupakan

kemudahan mendapatkan informasi yang benar dan tepat sehingga pelanggan

yang ingin melakukan transaksi dapat secara langsung mengambil keputusan

untuk memilih sesuai dengan kebutuhannya. Komunikasi merupakan sarana

yang sangat penting ketika ingin membangun hubungan dengan seseorang.

Komunikasi merupakan alat perekat hubungan antara perusahaan dengan

pelanggannya, sehingga komunikasi mempunyai peran vital dalam membina

hubungan. Melalui komunikasi, pelanggan juga dapat mengemukakan

ketidakpuasannya sehingga dapat dijadikan acuan bagi perusahaan untuk

memperbaiki kinerjanya.

d. Penanganan Keluhan

Kemampuan penanganan keluhan mengacu pada kemampuan perusahaan

untuk mencegah atau meminimalkan dampak dari hal-hal yang potensial

dapat menimbulkan konflik, dan kemampuan menyelesaikan konflik nyata

yang sudah terjadi. Penanganan keluhan merupakan tindakan khusus pada

saat melakukan interaksi dengan pelanggan. Kemampuan pihak perusahaan

dalam menangani keluhan dengan baik akan memberikan kepuasan pada

pelanggan dan menyebabkan pelanggan menjadi loyal.

2.1.5 Experiential Value


23

Experiential Value telah didefinisikan sebagai persepsi dan interaksi yang

melibatkan penggunaan langsung atau penghargaan terhadap barang dan jasa.

Interaksi ini menyediakan dasar untuk preferensi relativistik yang diadakan oleh

individu yang terlibat(Mathwick et al., 2001). Experiential Value menawarkan

manfaat ekstrinsik dan intrinsik. Ini memperluas konseptualisasi tradisional

ekstrinsik-intrinsik dari Experiential Value termasuk dimensi aktivitas. Nilai

reaktif atau pasif berasal dari pemahaman penghargaan konsumen untuk objek

atau pengalaman konsumsi. Nilai aktif atau partisipatif, di sisi lain, menunjukkan

sebuah kolaborasi yang tinggi antara konsumen dan entitas pemasaran.

Experiential Value relevan untuk memperoleh stimulasi sosial, yang

meningkatkan pengalaman belanja konsumen (Keng & Ting, 2009) Experiential

Value mungkin interaktif, relatif, disukai, pribadi, dan mungkin berubah secara

dinamis sebagai pengalaman menumpuk. Dua dimensi nilai pengalaman telah

diusulkan oleh Holbrook (1994). Dimensi pertama adalah nilai ekstrinsik-intrinsik

dari pengalaman. Nilai ekstrinsik adalah utilitas dari pertukaran dan berkaitan erat

dengan penyelesaian tugas: nilai intrinsik, dalam menanggapi pengalaman

konsumsi, berasal dari perasaan, seperti main-main, menyenangkan, dan

penghargaan Batra dan Ahtola (1991). Dimensi kedua adalah aktivitas, yang dapat

dibagi kedalam kategori aktif dan reaktif. Nilai aktif merupakan kerjasama erat

pelanggan dengan entitas pemasaran, sedangkan nilai reaktif adalah apresiasi

pelanggan untuk, pemahaman, atau tanggapan terhadap pengalaman konsumsi

Holbrook (1994).

(Mathwick et al., 2001) mengatakan empat indikator dari Experiential

Value yaitu:
24

1. Consumer return on investment (CROI), sumber aktif nilai ekstrinsik;

2. Service excellence, sumber reaktif dari nilai ekstrinsik;

3. Service scape, sumber reaktif dari nilai intrinsik; dan

4. Playfulness, sumber aktif nilai intrinsik

2.2 Kerangka Analisis

Menurut (Uma, 2008) kerangka berpikir merupakan model konseptual

tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah

diidentifikasi sebagai hal yang penting. Kerangka berpikir adalah sebuah

pemahaman yang melandasi pemahaman-pemahaman yang lainnya sebuah

pemahaman yang paling mendasar dan menjadi pondasi bagi setiap pemikiran

atau bentuk proses dari keseluruhan dari penelitian yang akan dilakukan. Adapun

kerangka pemikiran dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

Experiential Marketing
(X1) H1
H3
H6

Experiential Value H5 Repurchase Intention


(M) (Y)
H7 H4

Relationship Marketing H2
(X2)

Gambar 2.1 Kerangka Analisis


25

Keterangan

1. Variabel independen

Menurut (Sugiyono, 2017) independen adalah suatu variabel tidak terikat dan

kebenarannya tidak dipengaruhi oleh variabel lain. Dalam penelitian ini

variabel independen dalam penelitian ini yakni Experiential Marketing (X1),

Relationship Marketing (X2)

2. Variabel Dependen

Variabel dependen merupakan variabel yang menjadi pusat perhatian peneliti

karena variabel ini mencerminkan masalah yang terikat, maka peneliti mungkin

dapat menemukan jawaban atau solusi atas masalah (Sugiyono, 2017).

Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini yakni Repurchase

Intention (Y).

3. Variabel Mediasi

Variabel mediasi yang lebih dikenal sebagai variabel intervening (intervening

variable) adalah salah satu yang muncul antara waktu variabel independen

mulai beroperasi untuk mempengaruhi variabel dependen dan waktu

dampaknya ada di dalamnya (Sugiyono, 2017). Variabel mediasi yang

digunakan dalam penelitian ini yakni Experiential Value (M).

2.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian merupakan suatu dugaan awal/kesimpulan sementara

dari hubungan pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen

sebelum dilakukan penelitian dan harus dibuktikan melalui penelitian. Ada dua

jenis hipotesis yang biasanya digunakan dalam penelitian, yakni Hipotesis nol
26

(null hypotheses) disingkat Ho dan Hipotesis alternatif (alternative hypotheses)

disingka Ha. Ho menunjukkan tidak ada pengaruh atau hubungan, sedangkan Ha

menunjukkan ada pengaruh atau ada hubungan (Uma, 2008). Ada dua jenis

hipotesis yang biasanya digunakan dalam penelitian, yakni Hipotesis nol (null

hypotheses) disingkat Ho dan Hipotesis alternatif (alternative hypotheses)

disingka Ha. Ho menunjukkan tidak ada pengaruh atau hubungan, sedangkan Ha

menunjukkan ada pengaruh atau ada hubungan. Hipotesis-hipotesia alternative

(Ha) yang dirumuskan pada penelitian ini dipaparkan sebagai berikut:

2.4.1 Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Repurchase Intention

Menurut (Schmitt, 1999), Experiential Marketing tidak hanya memberikan

informasi dan peluang pada pelanggan untuk memperoleh pengalaman atas

keuntungan yang didapat dari produk atau jasa itu sendiri, tetapi juga

membangkitkan emosi dan perasaan yang berdampak terhadap keputusan

pembelian konsumen. Di berbagai jenis industri, perusahaan harus beralih dari

pemasaran tradisional (fokus pada fungsi dan manfaat) menuju pada bagaimana

menciptakan pengalaman bagi konsumen. Sebagian besar perusahaan global di

seluruh dunia menyadari bahwa keputusan pembelian konsumen lebih

dipengaruhi oleh sisi emosional yang dihasilkan, bukan dari pikiran rasional yang

diturunkan (Chattalas & Shukla, 2015).

Pelanggan yang sudah merasakan Experiential Marketing akan merasakan

sensasi yang sesuai bahkan di luar harapannya, yaitu rasa puas yang akan

membuat pelanggan kembali, bahkan merekomendasikan tempat kepada orang

lain (Kusuma, 2013). (Nigam, 2012) mendefinisi Experiential Marketing sebagai

peristiwa yang memberikan target konsumen untuk menjelajah suatu produk dan
27

pengalamannya untuk selanjutnya dapat menciptakan pembelian. (Kusuma, 2013)

yang melakukan penelitian pada konsumen Garuda Indonesia menemukan bahwa

Experiential Marketing mampu berpengaruh positif terhadap repurchase intention.

(Hendarsono, 2013) dalam penelitiannya terhadap orang konsumen Café Buntos

99 Sidoarjo juga memperoleh hasil yang senada dengan itu. Selain itu, dalam

penelitian yang pernah dilakukan oleh (Olii et al., 2016) diperoleh temuan bahwa

konstruk Experiential Marketing berpengaruh signifikan terhadap konstruk

repurchase intention.

H1 : Experiential Marketing Berpengaruh Terhadap Repurchase Intention

2.4.2 Pengaruh Relationship Marketing Terhadap Repurchase Intention

Relationship marketing penting untuk kesuksesan sebuah bisnis, terutama

hubungan antara perusahaan dan konsumen. Definisi relationship marketing oleh

Berry (1983) dalam (Hunt & Morgan, 1994) adalah proses menarik,

mempertahankan dan meningkatkan hubungan dengan konsumen. Menurut (Ben-

Rechav, 2000) relationship marketing tidak hanya mengenai hubungan jangka

panjang dengan konsumen, tetapi juga dengan calon mitra dalam proses

pemasaran seperti pemasok, aliansi, pesaing, distributor dan karyawan.

Hasil penelitian (Peterson, 1995) mengatakan bahwa motivasi pelanggan

mempengaruhi perilaku menggunakan, dimana pelanggan yang puas cenderung

menjadi pelanggan yang loyal, namun pelanggan yang loyal tidak perlu puas.

Keputusan pembelian pelanggan berarti kemampuan perusahaan memposisikan

jasanya di benak pelanggan, dimana perusahaan berusaha memposisikan

pelanggan sebagai mitranya dengan cara memantapkan keyakinan pelanggan,

selalu berinteraksi, bila perlu mengembangkan demi kemajuan bersama. Selain


28

itu, hasil ini konsisten dengan penelitian (Utami, 2019) dimana relationship

marketing berpengaruh terhadap purchase intention.

H2 : Relationship Marketing Berpengaruh Terhadap Repurchase Intention

2.4.3 Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Experiential Value

Experiential Marketing merupakan elemen dasar untuk mengantarkan

dan menciptakan suatu nilai bagi konsumen melalui pendekatan pemasaran

(Kusuma, 2013). Dalam era baru experience economy, tujuan pemasaran saat ini

adalah dapat menciptakan pengalaman holistik yang bernilai, dan konsep

Experiential Marketing yang digagas oleh Schmitt (1999) telah menjadi tren di

seluruh dunia. Experiential Marketing dan Experiential Value merupakan konsep

yang tidak dapat dipisahkan dan memiliki hubungan yang positif (Schmitt, 1999).

Gentile et al. (2007) dalam (Maghnati et al., 2012)menyatakan bahwa

Experiential Value dapat diciptakan melalui sebuah pengalaman konsumsi. Hasil

studi empiris yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya menunjukkan bahwa

Experiential Marketing mampu membangun Experiential Value melalui

penciptaan pengalaman holistik dengan melibatkan konsumen dalam pemenuhan

sisi emosional mereka.

(Kusuma, 2013) menemukan bahwa Experiential Marketing berpengaruh

positif pada experiential value. Senada dengan itu, (Gowinda & Suprapti, 2014) di

dalam penelitiannya pada konsumen smartphone juga memperoleh temuan adanya

pengaruh Experiential Marketing terhadap Experiential Value secara positif dan

signifikan. (Maghnati et al., 2012) dalam penelitiannya juga menemukan

hubungan yang positif antara Experiential Marketing dan Experiential Value pada

industri smartphone. Selain itu, menemukan adanya hubungan positif antara


29

Experiential Marketing dan Experiential Value dalam studi kasus di Nanny’s

Pavillion Terrace – Central Park Mall.

H3 : Experiential Marketing Berpengaruh Terhadap Experiential Value

2.4.4 Pengaruh Relationship Marketing Terhadap Experiential Value

(Priluck, 2003) Relationship adalah prinsip pemasaran yang menekankan

dan berusaha untuk menarik dan menjaga hubungan yang baik dalam jangka

panjang dengan konsumen, pemasok maupun distributor. Implikasi dari

relationship marketing dapat menciptakan hubungan yang saling menguntungkan

dengan menawarkan pelayanan yang baik dan harga yang sesuai dan relationship

ini lebih disukai konsumen karena dengan relationship, proses pembelian dan

memperoleh informasi dapat lebih mudah, resiko dapat dikurangi serta konsumen

akan memperoleh kenyamanan psikologis. Dengan adanya relationship marketing

ini konsumen akan melakukan pembelian pertama dan kemudian berkeinginan

untuk melakukan pembelian berikutnya berulang-ulang.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Agustian, 2016)mengenai

Pengaruh relationship marketing terhadap experiential value. Menunjukkan

bahwa variabel relationship marketing sebagian besar mempunyai pengaruh yang

signifikan terhadap experiential value.

H4 : Relationship Marketing Berpengaruh Terhadap Experiential Value

2.4.5 Pengaruh Experiential Value Terhadap Repurchase Intention

Pengalaman aktual yang diperoleh konsumen hanya bersifat sesaat dan

hanya dapat dirasakan pada saat konsumsi, sedangkan Experiential Value yang

dimiliki konsumen akan melekat dalam memori mereka (Larasati & Suprapto,

2013). Menurut Mathwick et al. (2001) pengalaman konsumsi dapat memperkaya


30

suatu nilai. Berdasarkan pemikiran rasional, hal itu berarti Experiential Value

membantu pemasar untuk menanamkan nilai positif suatu produk ke dalam benak

konsumen melalui penciptaan pengalaman yang melibatkan sisi emosional

konsumen.

Pengalaman aktual bersifat sementara dan hanya dapat dirasakan pada

saat konsumsi, namun Experiential Value yang diperoleh konsumen akan melekat

dalam benak mereka (Larasati & Suprapto, 2013). Pada dasarnya, minat

merupakan suatu sikap yang dapat membuat seseorang merasa senang terhadap

obyek situasi ataupun ide-ide tertentu yang biasanya diikuti oleh perasaan senang

dan kecenderungan untuk mencari obyek yang disenangi tersebut karena adanya

ikatan emosioanl (Hendarsono & Sugiharto, 2013). (Kusuma, 2013) memperoleh

hasil analisis dari Experiential Value memiliki dampak setidaknya pada

pembelian. (Nigam, 2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa Experiential

Value berpengaruh positif terhadap repurchase intention. Selain itu, hasil

penelitian yang dilakukan oleh (Nigam, 2012) terhadap konsumen Garuda

Indonesia di Surabaya juga menemukan adanya hubungan positif antara

Experiential Value dengan repurchase intention.

H5. Experiential Value Berpengaruh Terhadap Repurchase Intention

2.4.6 Peran Mediasi Experiential Value terhadap Regresi Experiential

Marketing dan Repurchase Intention

Sebagian besar konsumen tidak lagi menjadikan harga sebagai tolok

ukur keputusan pembelian, melainkan cenderung lebih memilih produk yang telah

memiliki ikatan emosional sebagai bentuk aktualisasi diri dan penunjang gaya

hidup. Ketika konsumen telah merasakan nilai dari suatu produk atau perusahaan
31

yang telah diperoleh dari pengalaman konsumsi sebelumnya, maka akan timbul

perasaan senang dan puas. Hal tersebut akan membuat konsumen berminat untuk

mencoba kembali karena adanya ikatan emosional dari pengalaman yang

diperolehnya.

Noegroho et al. (2013) mempertegas bahwa pelanggan yang sudah

merasakan Experiential Marketing akan merasakan sensasi yang sesuai, bahkan di

luar harapannya, yaitu rasa puas yang akan membuat pelanggan kembali, bahkan

merekomendasi kepada orang lain. Hal ini berarti experiental marketing dapat

meningkatkan sikap konsumen terhadap experiental value, yang pada akhirnya

juga akan meningkatkan Repurchase Intention konsumen. Nigam (2012)

menemukan adanya peran Experiential Value dalam memediasi konstruk

Experiential Marketing terhadap purchase intention pada restoran cepat saji di

India. Experiential Value dapat menjadi mediator bagi hubungan Experiential

Marketing terhadap Repurchase Intention pada konsumen Garuda Indonesia di

Surabaya (Kusuma, 2013).

H6: Experiential Value berperan dalam memediasi hubungan antara

Experiential Marketing dan repurchase intention

2.4.7 Peran Mediasi Experiential Value terhadap Regresi Relationship

Marketing dan Repurchase Intention

Sebagian besar konsumen tidak lagi menjadikan harga sebagai tolok ukur

keputusan pembelian, melainkan cenderung lebih memilih produk yang telah

memiliki ikatan emosional sebagai bentuk aktualisasi diri dan penunjang gaya

hidup. Ketika konsumen telah merasakan nilai dari suatu produk atau perusahaan

yang telah diperoleh dari pengalaman konsumsi sebelumnya, maka akan timbul
32

perasaan senang dan puas. Hal tersebut akan membuat konsumen berminat untuk

mencoba kembali karena adanya ikatan emosional dari pengalaman yang

diperolehnya. Noegroho et al. (2013) mempertegas bahwa pelanggan yang sudah

merasakan experiential marketing akan merasakan sensasi yang sesuai, bahkan di

luar harapannya, yaitu rasa puas yang akan membuat pelanggan kembali,

H7: Experiential Value berperan dalam memediasi hubungan antara

Relationship Marketing dan repurchase intention

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yaitu proses

pengumpulan data berupa angka yang akuntabel berdasarkan kenyataan yang ada

di wilayah penelitian (Umar, 2009). Penelitian Kuantitatif ini berusaha untuk

dapat menganalisis secara lengkap mengenai Peran Experiential Value Dalam

Memediasi Pengaruh Experiential Marketing Dan Relationship Marketing

Terhadap Repurchase Intention Makan Etnis Kota Bengkulu.

3.2. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan pada suatu

variabel dengan memberi arti atau menspesifikasikan kegiatan atau membenarkan

suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variabel tersebut. Variabel


33

penelitian adalah suatu atribut atau sifat / nilai dari orang objek atau kegiatan yang

mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh penelitian untuk dipelajari dan

ditarik kesimpulan. (Umar, 2009).

Variabel penelitian ini terdiri dari tiga macam variabel, yaitu variabel terikat

(dependent variable) atau variabel yang tergantung pada variabel lainnya, variabel

bebas (independent variable) dan variable mediasi (Intervening Variabel).

Tabel 3.1.
Definisi Operasional Penelitian
N Variabel Dimensi Indikator Sumber Skala
o
1. Variabel Repurchase 1. Minat Transaksional (Bahar & Ordin
Dependen Intention (Y) 2. Minat Referensial Sjahruddin al
3. Minat preferensial , 2017)
4. Minat Eksploratif

2. Variabel Experiential 1. Consumer return on (Mathwick Ordin


Mediasi Value (M) investment (CROI) et al., al
2. Service excellence 2001)
3. Service scape
4. Playfulness

3. Variabel Experiential 1. Sense (Nigam, Ordin


Independen Marketing (X1) 2. Feel 2012) al
3. Think
4. Act
5. Relate

2. Relationship 1. Kepercayaan (Ndubisi et Ordin


Marketing (X2) 2. Komitmen al., 2008) al
3. Komunikasi
4. Penanganan Keluhan
34

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

a. Populasi

Populasi adalah gabungan dari seluruh elemen yang berbentuk peristiwa,

hal atau orang yang memiliki karakteristik yang serupa yang menjadi

pusat perhatian seorang peneliti, karena itu dipandang sebagai sebuah

objek penelitian (Sugiyono, 2017) . Dalam penelitian ini populasinya

adalah seluruh konsumen yang melakukan pembelian makanan khas kota

Bengkulu.

b. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi, terdiri dari beberapa anggota

populasi. Sebagian ini diambil karena dalam banyak kasus tidak mungkin

meneliti seluruh anggota populasi, oleh karena itu harus membentuk

sebuah perwakilan populasi yang disebut sampel (Sugiyono, 2017).

Pada penelitian ini, populasi yang diambil berukuran besar dan

jumlahnya tidak diketahui. Penentuan jumlah sampel menurut (Hair Jr,

Joseph F, Rolp E Anderson, 1995) yang menyatakan bahwa suatu

penelitian yang menggunakan teknik multivariat dilakukan dalam

penelitian ini mengharuskan bahwa sampel yang dianggap representif

untuk digunakan adalah 5 atau 10 kali jumlah indikator. Diketahui dalam

penelitian ini peneliti menggunakan 17 indikator dikalikan 10 hingga

diperoleh hasil minimal sampel 170 orang. Oleh karena itu, sampel yang

diambil dalam penelitian ini direncanakan sekitar 200 orang responden.

3.4 Metode Pengambilan Sampel


35

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode non probability sampling dengan menggunakan jenis Purposive sampling.

Menurut (Sugiyono, 2017) purposive sampling adalah teknik penentuan sampel

dengan pertimbangan/kriteria tertentu. Sampel yang diambil dalam penelitian ini

memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut:

a) Konsumen yang telah melakukan pembelian ulang makanan etnis

Bengkulu dan telah melakukan pembelian lebih dari 2 kali

b) Konsumen yang membeli makanan etnis Bengkulu di kota Bengkulu

3.5 Metode Pengumpulan Data

Dalam usaha memperoleh data yang dibutuhkan, metode pengumpulan

data yang digunakan adalah kuesioner. Kuesioner adalah suatu cara pengumpulan

data dengan memberikan daftar pertanyaan kepada responden dengan harapan

responden akan memberi respon atas pertanyaan tersebut. Dalam penelitian ini

kuesioner menggunakan pertanyaan tertutup dan terbuka. Pengukuran variabel

dilakukan dengan skala Likert yang menggunakan metode scoring. Kuesioner ini

menggunakan sistem tertutup, yaitu bentuk pertanyaan yang disertai alternatif

jawaban dan responden tinggal memilih salah satu dari alternatif jawaban tersebut.

3.6 Skala Pengukuran

Penelitian yang dilakukan nantinya akan menggunakan alat bantu berupa

kuesioner, yang mana jawaban-jawaban responden tersebut akan diukur dengan

menggunakan skala Likert. Dengan skala Likert, maka variabel yang akan diukur

dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan


36

sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa

pertanyaan atau pernyataan. Jawaban setiap instrumen yang menggunakan skala

Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif, yang

dapatberupa kata-kata dan untuk keperluan analisis kuantitatif, maka jawaban itu

dapat diberi skor.

Skala Likert 1-5 dengan keterangan sebagai berikut :

1. Skor 5 untuk jawaban Sangat Setuju (SS)

2. Skor 4 untuk jawaban Setuju (S)

3. Skor 3 untuk jawaban Netral (N)

4. Skor 2 untuk jawaban Tidak Setuju (TS)

5. Skor 1 untuk jawaban Sangat Tidak Setuju (STS)

Untuk menentukan kelas jawaban responden terhadap variabel penelitian

digunakan skor sebagai berikut:

- Nilai terendah dari kelas adalah 1 x 1 = 1

- Nilai tertinggi dari kelas adalah 1 x 5 = 5

- Interval kelas adalah (5-1) : 5 = 0,8

Adapun standar penilaian jawaban responden akan di kelompokkan menjadi:

- 1,0 sampai dengan 1,80 = Sangat Rendah

- 1,81 sampai dengan 2,60 = Rendah

- 2,61 sampai dengan 3,40 = Sedang

- 3,41 sampai dengan 4,20 = Tinggi

- 4,21 sampai dengan 5,00 = SangatTinggi

3.7 Metode Analisis Data


37

3.7.1 Analisis Deskriptif

Dalam penelitian ini, analisis kuantitatif yang digunakan adalah

kuantitatif sederhana yakni analisis frekuensi, rata-rata dan persentase.

Tujuannya untuk mengetahui persepsi rata-rata jawaban terhadap penelitian.

Kemudian angka-angka tersebut diuraikan dengan penjelasan untuk masing-

masing variabel dengan menggunakan rumus:

x=
∑ xs
n

Keterangan:

x = rata-rata (Mean)

∑ x = Frekwensi jawaban responden


s = Skor Jawaban responden

n = Jumlah Responden

3.7.2 Analisis Kuantitatif

Analisis data kuantitatif adalah bentuk analisa yang berdasarkan dari

data yang dinyatakan dalam bentuk uraian. Data kualitatif ini merupakan

data yang hanya dapat diukur secara langsung (Hadi, 2001).

Proses analisis kuantitatif ini dilakukan dalmam tahapan sebagai berikut :

a. Pengeditan (Editing)

Pengeditan adalah memilih atau mengambil data yang perlu dan

membuang data yang dianggap tidak perlu, untuk memudahkan

perhitungan dalam pengujian hipotesis.

b. Pemberian Kode (Coding)


38

Proses pemberian kode tertentu tehadap macam dari kuesioner untuk

kelompok ke dalam kategori yang sama.

c. Pemberian Skor (Scoring)

Mengubah data yang bersifat kualitatif ke dalam bentuk kuantitatif.

Dalam penelitian ini urutan pemberian skor menggunakan skala Likert.

d. Pengelompokan (Tabulating)

Pengelompokkan data atas jawaban dengan benar dan teliti, kemudian

dihitung dan dijumlahkan sampai berwujud dalam bentuk yang

berguna. Berdasarkan hasil tabel tersebut akan disepakati untuk

membuat data tabel agar mendapatkan hubungan atau pengaruh antar

variabel yang ada.

3.7.3 Metode Analisis Data Kuantitatif

Analisis data kuantitatif adalah bentuk analisa yang menggunakan

angka-angka dan perhitungan dengan metode statistik untuk menguji

kebenaran hipotesis penelitian yang telah diajukan sebelumnya.

3.7.3.1 Analisis Uji Validitas dan Reliabilitas

Teknik analisis yang digunakan adalah analisis Structural Equation

Model (SEM) dengan uji validitas dan reliabilitas sebagai berikut:

a) Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu

instrument. Dalam hal ini adalah suatu kuesioner juga dikatakan valid jika

pertanyaan dan kuesioner mampu untuk mengungkap sesuatu yang akan

diukur oleh kuesioner tersebut. Loading factor sudah memenuhi convergent

validity yaitu apabila > 0,5 (Ferdinand, 2002). Analisis faktor konfirmatori
39

berfungsi untuk menggambarkan hubungan antara variabel yang terukur

(observed variable) dengan variabel latennya. Dalam hal ini, CFA

menunjukkan kontribusi variabel terukur terhadap variabel laten yang

dinyatakan dengan loading factor. Variabel laten yang diuji dalam analisis ini

adalah variabel promosi, harga, citra merek, kualitas produk, kepuasan

konsumen dan loyalitas pelanggan.

Dalam penelitian ini, sebelum instrumen disebar kepada 150 respondne,

instrumen terlebih dahulu diuji cobakan terhadap 50 responden. Hasil

pengisian kuesioner oleh sebanyak 50 responden ini selanjutnya akan diuji

dengan menggunakan uji validitas dan reliabilitas instrumen untuk menguji

tingkat validitas dan reliabilitas instrumen dalam mengukur variabel

penelitian.

b) Uji reliabilitas konstruk

Reliabilitas adalah ukuran mengenai konsistensi internal dari indikator-

indikator sebuah konstruk yang menunjukan derajat sampai dimana masing-

masing indikator itu mengidentifikasikan sebuah konstruk/ faktor laten yang

umum. Dengan kata lain bagaimana hal-hal yang spesifik saling

membantu dalam menjelaskan fenomena yang umum. Pada dasarnya uji

reliabilitas menunjukan sejauh mana suatu alat untuk dapat memeberikan

hasil yang relatif sama bila dilakukan pengukuran kembali pada subyek yang

sama. Tingkat pendekatan yang digunakan adalah menilai besar composite

reliability serta variance construct extrated dari masing-masing konstruk.

Nilai batas yang digunakan untuk menilai sebuah tingkat reliabilitas yang

dapat diterima adalah > 0,70 (Malhotra dalam Solimun, 2002).


40

Uji reliabilitas dalam SEM diperoleh melalui rumus :

CR= [∑λi]2
[∑λi]2+ [∑εi]

[∑λi]2 = jumlah standar loading

[∑εi]2 = jumlah kesalahan pengukuran

Keterangan :

1. Standard loading diperoleh dari standardrized loading untuk tiap-tiap

indikator yang didapat dari hasil perhitungan.

2. ∑εi adalah measurement error dari tiap indikator.

3. Measurement error didapat dari 1- realibilitas indikator.

4. Tingkat reliabilitas yang diterima adalah 0,7.

3.7.3.2 Uji model

Menurut (Hair Jr, Joseph F, Rolp E Anderson, 1995) mangajukan

tahapan pemodelan dan analisis persamaan struktural menjadi 7 langkah

yaitu:

1. Pengembangan Model Berbasis Teori

Model persamaan struktural didasarkan pada hubungan kausalitas, dimana

sebuah perubahan variabel diasumsikan akan berakibat kepada perubahan

pada variabel lainnya. Kuatnya hubungan kausalitas antara dua variabel

yang diasumsikan oleh peneliti bukan terletak pada metode analisis yang

dia pilih, tetapi terletak pada justifikasi (pembenaran) secara teoritis untuk

mendukung analisis.

2. Menyusun Diagram Jalur (Path Diagram)


41

Langkah berikutnya adalah menyusun hubungan kausalitas dengan

diagram jalur. Diagram jalur akan mempermudah peneliti melihat

hubungan-hubungan kausalitas yang diuji. Hubungan-hubungan kausal

biasanya dinyatakan dalam bentuk persamaan, tetapi dalam SEM

hubungan kausalitas tersebut cukup digambarkan dalam sebuah path

diagram dan selanjutnya bahasa program akan mengkonversi gambar

menjadi persamaan dan persamaan menjadi estimasi.

3. Menyusun Persamaan Struktural

Setelah menyusun diagram jalur selanjutnya adalah menyusun persamaan

strukturalnya. Ada dua hal yang perlu dilakukan yaitu menyusun model

struktural, yaitu menghubungkan antar konstruk laten baik endogen

maupun eksogen dan menyusun measurement model yaitu

menghubungkan konstruk laten endogen atau eksogen dengan variabel

indikator atau manifest.

4. Memilih Jenis Input Matrik dan Estimasi Model yang Diusulkan

Perbedaan SEM dengan teknik-teknik multivariant lainnya adalah dalam

input data yang di gunakan input matrik varian/kovarian untuk menguji

teori. Namun demikian jika peneliti hanya ingin melihat pola hubungan

dan tidak melihat total penjelasan yang diperlukan dalam uji teori, maka

pengguna matrik korelasi dapat diterima.

5. Menilai Masalah Identifikasi

Problem identifikasi adalah ketidak mampuan proposed model untuk

menghasilkan unique estimate. Cara melihat ada tidaknya problem

identifikasi adalah dengan melihat hasil estimasi yang meliputi:


42

a. Adanya nilai standard error yang besar untuk satu atau lebih koefisien

b. Ketidak mampuan program untuk invert information matrix

c. Nilai estimasi yang tidak mungkin misalkan error variance yang negatif

d. Adanya nilai korelasi yang tinggi (> 0.90) antar koefisien estimasi

6. Evaluasi Kriteria Goodness Of Fit

Langkah pertama dalam model yang sudah dihasilkan dalam analysis SEM

adalah memperhatikan terpenuhinya asumsi asumsi dalam SEM, yaitu:

a. Ukuran Sampel

Dimana ukuran sampel yang harus dipenuhi adalah minimum

berjumlah 100 sampel.

b. Normalisasi dan Linearitas

Dimana normalisasi diuji dengan melihat gambar histogram data dan

diuji dengan metode statistic. Sedangkan uji linearitas dapat dilakukan

dengan mengamati scatterplots dari data serta dilihat pola

penyebarannya.

c. Outliers

Adalah observasi yang muncul dengan nilai ekstrim yaitu yang

muncul karena kombinasi karakteristik yang unik dan terlihat sangat

berbeda dengan observasi yang lain.

d. Multicollinearity dan Singularity

Adanya multikolinearitas dapat dilihat dari determinan matriks

kovarian yang sangat kecil dengan melihat data kombinasi linear dari

variabel yang dianalisis.

Keterangan Goodness of Fit Index (Ghozali, 2008:66-68) :


43

a. X2 Chi Square statistik merupakan ukuran fundamental dari overall

fit. Ukuran fundamental dari overall fit adalah likehood-ratio chi-

square (χ2). Model yang diuji dipandang baik atau memuaskan

apabila nilai chi Suarenya rendah, semakin kecil χ2 semakin baik

model itu tingkat signifikannya (α) dan diterima berdasarkan

probabilitas (p).

b. CMIN/DF adalah The Minimum Sample Discrepancy Function adalah

nilai chi-square yang dibagi dengan degree of freedom. Nilai ratio 5

atau < 5 termasuk ukuran yang reasonable. Kemudian dikembangkan

lagi nilai ratio < 2 termasuk ukuran yang fit.

c. GFI (Goodness of Fit Index ) adalah ukuran non-statistik yang

nilainya berkisar anatara 0 sampai 1. Semakin tinggi nilainya

menunjukkan fit yang lebih baik. Nilai GFI > 0,90 mengisyaratkan

model yang diuji memiliki kesesuaian yang baik.

d. RMSEA (The Root Mean Square Error of Approximation) merupakan

ukuran yang mencoba memperbaiki kecenderungan statistik chi

square menolak model dengan jumlah sampel yang besar. Nilai

RMSEA antara 0,05 dan 0,08 mengindikasikan indeks yang baik

untuk menerima kesesuaian sebuah model.

e. AGFI (Adjusted Goodness Of Fit Index) merupakan pengembangan

dari Goodness of Fit Index (GFI) yang telah disesuaikan dengan ratio

degree of freedom. Analog dengan R2 pada regresi berganda. Nilai

yang direkomendasikan adalah AFGI ≥ 0,90. Semakin besar nilai

AFGI maka semakin baik kesesuaian yang dimiliki model.


44

f. TLI (Turker Lewis Index) merupakan incremental index yang

membandingkan sebuah model yang diuji terhadap sebuah baseline

model, dimana nilai yang direkomendasikan sebagai acuan untuk

diterimanya sebuah model adalah ≥ 0,90 dan nilai yang mendekati 1

menunjukkan a very good fit.

g. NFI (Normed Fit Index), merupakan ukuran perbandingan antara

porposed model dan null model. Nilai NFI berkisar antara 0 sampai 1

dan nilai yang direkomendasikan sebesar ≥ 0,90.

7. Interpretasi dan Modifikasi Model

Langkah terakhir adalah menginterpretasikan model dan bagi

model yang tidak memenuhi syarat pengujian dilakukan modifikasi. Pada

tahap ini model diinterpretasikan dan dimodifikasi, bagi model-model yang

tidak memenuhi syarat pengujian yang dilakukan.

Hair et.al., (1995; dalam Ferdinand, 2006) memberikan pedoman

untuk mempertimbangkan perlu tidaknya memodifikasi sebuah model

dengan melihat jumlah residual yang dihasilkan oleh model. Batas keamanan

untuk jumlah residual yang dihasilkan oleh model, maka sebuah modifikasi

mulai perlu dipertimbangkan. Nilai residual yang lebih besar atau sama

dengan 1,96 (kurang lebih) diinterpretasikan sebagai signifikan secara

statistik pada tingkat 5%. melakukan interpretasi bila model yang dihasilkan

sudah diterima. Sedangkan modifikasi model diperlukan karena tidak fit nya

hasil yang diperoleh pada tahap keenam. Namun segala modifikasi harus

memperhatikan atau berdasarkan teori yang mendukung.

3.7.3.3 Metode Analisis SEM (Structural Equation Model)


45

Suatu penelitian selalu memerlukan interpretasi dan analisis data, yang

diharapkan pada akhirnya memberikan solusi pada research question yang

menjadi dasar penelitian tersebut. Metode analisis yang dipilih untuk

menganalisis data adalah sebagai berikut: SEM (Structural Equation Model).

Pengujian hipotesis 1 hingga hipotesis 9 menggunakan alat analisis data

Structural Equation Modeling dari paket statistik AMOS 21. Sebagai sebuah

model persamaan struktur, AMOS sering digunakan dalam penelitian-

penelitian pemasaran dan manajemen strategik (Ferdinand, 2006).

Penelitian ini bertujuan menguji dan menganalisis hubungan kausal

antara variabel independen dan dependen, sekaligus memeriksa validitas dan

reliabilitas instrumen penelitian secara keseluruhan. Oleh karena itu

digunakan teknik analisis Structural Equation Modeling (SEM) dengan

menggunakan program AMOS (Analysis of Moment Structure). SEM

merupakan sekumpulan teknik-teknik yang memungkinkan pengujian

beberapa variabel dependen dengan beberapa variabel independen secara

simultan Ghozali (2003). Penggunaan SEM memungkinkan untuk menguji

hubungan antar variabel yang kompleks, untuk memperolaeh gambaran

menyeluruh mengenai keseluruhan model. SEM juga dapat menguji secara

bersama-sama (Ghozali, 2003):

1.Model struktural hubungan antara konstruk independen dan dependen.

2.Model measurement hubungan (nilai loading) antara indikator dengan

konstruk

3.8. Pengujian hipotesis


46

Uji hipotesis dilakukan untuk mengetahui hubungan adanya pengaruh atau

tidak antar variabel penelitian. Pengujian ini dengan cara menganalisis nilai

Regression Weight, yaitu nilai Critical Ratio (CR_dan Probability (P). Batasan

yang disyaratkan yaitu ≥ 1,96 untuk nilai CR dan ≤ 0,05 untuk nilai P. Apabia

hasil olah data menunjukkan nilai yang memenuhi syarat tersebut, maka hipotesis

penelitian yang diajukan dapat diterima.

3.9. Pengujian Efek Mediasi

Peran mediasi variabel kepuasan pelanggan (M) dapat diketahui dari

kondisi-kondisi sebagai berikut:

1. Pada persamaan tahap pertama, variabel independen (X) memiliki pengaruh

terhadap variabel dependen (Y).

2. Pada persamaan tahap kedua, variabel independen (X) memiliki pengaruh

terhadap variabel mediasi (M).

3. Pada persamaam ketiga, variabel mediasi (M) memiliki pengaruh terhadap

variabel dependen (Y).

Di dalam penelitian ini terdapat variabel intervening (M) yaitu kepuasan

konsumen. Menurut Baron dan Kenny (1986) suatu variabel disebut variabel

intervening jika variabel tersebut ikut mempengaruhi hubungan antara variabel

prediktor (independen) dan variabel kriterion (dependen).

Pengujian efek mediasi menggunakan teori yang dikembangkan oleh

Baron dan Kenny (1986). Berikut ini merupakan proses penentuan jenis variabel

mediasi penggunaan Model Persamaan II menurut Baron dan Kenny (1986)

seperti terlihat pada gambar berikut:

Variabel
Mediasi
Path A Path C
47

Path B
Variabel Variabel
Independen Dependen

Gambar 3.1 Hubungan antara Variabel Independen, Mediator, dan


Dependen
Sumber : Baron dan Kenny (1986)

Untuk menguji mediasi, terdapat beberapa langkah dan kriteria untuk

menentukan ada tidaknya pengaruh variabel mediasi dalam suatu hubungan

menurut Baron dan Kenny (1986) yaitu :

Langkah :

1. Meregresikan variabel independen terhadap variabel mediasi.

2. Meregresikan variabel independen terhadap variabel dependen.

3. Meregresikan variabel independen dan variabel mediasi terhadap variabel

dependen.

Kriteria :

1. Pada Path A, variabel independen harus berpengaruh secara signifikan pada

variabel mediator. Variabel Independen Variabel Dependen Path A Path B

Path C Variabel Mediasi

2. Pada Path C, variabel independen harus berpengaruh secara signifikan pada

variabel dependen tanpa melalui variabel mediasi.

3. Pada Path B, variabel mediator harus berpengaruh secara signifikan pada

variabel dependen.
48

4. Jika semua kondisi pada poin 1, 2, dan 3 telah terpenuhi, pengaruh variabel

independen terhadap variabel dependen tanpa melalui variabel mediator harus

lebih tinggi dibandingkan dengan pengaruh variabel independen terhadap

variabel dependen yang melalui variabel mediator.

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, M. N. (2016). Pengaruh Relationship Marketing Terhadap Kepuasan


Pelanggan Dan Loyalitas Pelanggan Pada Jasa Servis Pt. Nasmoco Bantul
Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Manajemen dan Bisnis. Universitas
Muhammadiyah. Yogyakarta.

Astari, F. W., Pramudana, & Komang, S. A. (2016). Peran experiental value


dalam memediasi pengaruh experiental marketing terhadap repurchase
intention. Jurnal Manajemen, Strategi Bisnis Dan Kewirausahaan, 10(1),
16–30.

Bahar, A., & Sjahruddin, H. (2017). Pengaruh Kualitas Produk Dan Kualitas
Pelayanan Terhadap Kepuasan Konsumen Dan Minat Beli Ulang.

Ben-Rechav, G. G. (2000). Relationship selling and trust: Antecedents and


outcomes. Portland State University.

Chattalas, M., & Shukla, P. (2015). Impact of value perceptions on luxury


purchase intentions: a developed market comparison. Luxury Research
49

Journal, 1(1), 40–57.

Gowinda, D. H., & Suprapti, W. S. (2014). Pengaruh Experiential Marketing


Terhadap Experiential Value Pada Pengguna Smartphone. Udayana
University.

Hair Jr, Joseph F, Rolp E Anderson, R. L. T. and W. C. B. (1995). Multivariate


Data Analysis with Readings,.

Halimi, A. B., Chavosh, A., & Choshalyc, S. H. (2011). The influence of


relationship marketing tactics on customer’s loyalty in B2C relationship–the
role of communication and personalization. European Journal of Economics,
Finance and Administrative Science, 31, 49–56.

Helena, S., & Saifi, M. (2018). Pengaruh Corporate Governance Terhadap


Financial Distress (Studi Pada Perusahaan Transportasi Yang Terdaftar Di
Bursa Efek Indonesia Periode 2013-2016). Jurnal Administrasi Bisnis (JAB),
60 (02)(2), 143–152.

Hellier, P. K., Geursen, G. M., Carr, R. A., & Rickard, J. A. (2003). Customer
repurchase intention: A general structural equation model. European Journal
of Marketing.

Hendarsono, G. (2013). Analisa pengaruh Experiential marketing terhadap minat


beli ulang konsumen cafe buntos 99 Sidoarjo. Jurnal Strategi Pemasaran,
1(2), 1–8.

Hunt, S. D., & Morgan, R. M. (1994). Relationship marketing in the era of


network competition. Marketing Management, 3(1), 18.

Kandampully, J., & Duddy, R. (1999). Relationship marketing: a concept beyond


the primary relationship. Marketing Intelligence & Planning.

Kaveh, M. (2012). Role of trust in explaining repurchase intention. African


Journal of Business Management, 6(14), 5014–5025.

Keng, C., & Ting, H. (2009). The acceptance of blogs: using a customer
experiential value perspective. Internet Research.

Kotler, P. (2005). The role played by the broadening of marketing movement in


the history of marketing thought. Journal of Public Policy & Marketing,
24(1), 114–116.

Kuntjara, K. (2007). ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


MINAT BELI ULANG KONSUMEN (Studi kasus di PT Wijaya Karya Beton
Wilayah IV; Jateng, DIY, Kalsel dan Kalteng). PROGRAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO.

Kusuma, A. A. (2013). Pengaruh Experiental Marketing terhadap Repurchase


Intention melalui Experiental Value pada Maskapai Penerbangan Garuda di
50

Indonesia. Kajian Ilmiah Mahasiswa Manajemen, 2(3).

Ling, K. C., Chai, L. T., & Piew, T. H. (2010). The effects of shopping
orientations, online trust and prior online purchase experience toward
customers’ online purchase intention. International Business Research, 3(3),
63.

Madahi, A., & Sukati, I. (2012). The effect of external factors on purchase
intention amongst young generation in Malaysia. International Business
Research, 5(8), 153.

Maghnati, F., Ling, K. C., & Nasermoadeli, A. (2012). Exploring the relationship
between experiential marketing and experiential value in the smartphone
industry. International Business Research, 5(11), 169.

Mathwick, C., Malhotra, N., & Rigdon, E. (2001). Experiential value:


conceptualization, measurement and application in the catalog and Internet
shopping environment☆. Journal of Retailing, 77(1), 39–56.

Ndubisi, N. O., Malhotra, N. K., & Wah, C. K. (2008). Relationship marketing,


customer satisfaction and loyalty: a theoretical and empirical analysis from
an Asian perspective. Journal of International Consumer Marketing, 21(1),
5–16.

Nigam, D. A. (2012). Modeling relationship between experiential marketing,


experiential value and purchase intensions in organized quick service chain
restaurants shoppers using structural equation modeling approach. Paradigm,
16(1), 70–79.

Olii, R., Reno, K., & Nurcaya, I. N. (2016). Peran Kepuasan Pelanggan Dalam
Memediasi Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Pembelian Ulang
Tiket Pesawat Pada PT Jasa Nusa Wisata Denpasar. Udayana University.

Peterson, R. A. (1995). Relationship marketing and the consumer. Journal of the


Academy of Marketing Science, 23(4), 278–281.

Pramintasari, T. R., & Fatmawati, I. (2017). Pengaruh Keyakinan Religius, Peran


Sertifikasi Halal, Paparan Informasi, dan Alasan Kesehatan Terhadap
Kesadaran Masyarakat Pada Produk Makanan Halal. Jurnal Manajemen
Bisnis, 8(1), 1–33.

Priluck, R. (2003). Relationship marketing can mitigate product and service


failures. Journal of Services Marketing.

Rini, E. S. (2009). Menciptakan pengalaman konsumen dengan experiential


marketing. Jurnal Manajemen Bisnis, 2(1), 15–20.

Rizan, M., Warokka, A., & Listyawati, D. (2014). Relationship marketing and
customer loyalty: do customer satisfaction and customer trust really serve as
intervening variables? Journal of Marketing Research & Case Studies, 2014,
51

1.

Schmitt, B. (1999a). Experiential marketing. Journal of Marketing Management,


15(1–3), 53–67.

Schmitt, B. (1999b). Experiential Marketing. Journal of Marketing Management,


15(1–3), 53–67. https://doi.org/10.1362/026725799784870496

Sengel, T., Karagoz, A., Cetin, G., Dincer, F. I., Ertugral, S. M., & Balık, M.
(2015). Tourists’ approach to local food. Procedia-Social and Behavioral
Sciences, 195, 429–437.

Sugiyono. (2017). Statistik Untuk Penelitian. Alfabeta.

Uma, S. (2008). Research Methods For Business.

UTAMI, A. D. E. A. (2019). Pengaruh Brand Image Dan Relationship Marketing


Terhadap Loyalitas Nasabah Dengan Kepuasan Nasabah Sebagai Variabel
Intervening. IAIN SALATIGA.

Wang, Y.-H., & Tsai, C.-F. (2014). The relationship between brand image and
purchase intention: Evidence from award winning mutual funds. The
International Journal of Business and Finance Research, 8(2), 27–40.

Wijaya, F. A., & Sugiharto, S. (2015). Pengaruh Celebrity Endorsementterhadap


Purchase Intention Denganbrand Image Sebagai Variabel Intervening (Studi
Kasus Iklan Produk Perawatan Kecantikan Pond’s). Jurnal Manajemen
Pemasaran, 9(1), 16–22.

Winer, R. S. (2001). A framework for customer relationship management.


California Management Review, 43(4), 89–105.

Yang, C.-Y. (2009). The Study Of Repurchase Intentions In Experiential


Marketing-An Empirical Study Of The Franchise Restaurant. International
Journal of Organizational Innovation, 2(2).

Anda mungkin juga menyukai