IPS
Sejarah – Aprizal, S. Pd
Materi ke 3
Kita dapat menarik berbagai nilai-nilai sosial, budaya, dan tradisi dari kehidupan pada masa
praaksara. Bahkan, sebetulnya nilai-nilai budaya dan tradisi ini masih terlihat dalam kehidupan
masyarakat Indonesia sekarang. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
Budaya :
Dalam bidang budaya, makin meluasnya pengaruh kehidupan Barat dalam lingkungan
kehidupan tradisional. Tata kehidupan Barat seperti cara bergaul, gaya hidup, cara
berpakaian dan pendidikan mulai dikenal di kalangan atas atau istana.
Sementara itu, beberapa tradisi di lingkungan istana mulai luntur. Tradisi keagamaan
rakyat pun mulai terancam pula. Di kalangan penguasa timbul kekhawatiran bahwa
pengaruh kehidupan Barat mulai merusak nilai-nilai kehidupan tradisional. Tantangan
yang kuat terutama dari kalangan pimpinan agama yang memandang kehidupan Barat
bertentangan dengan norma-norma ajaran agama Islam.
Sosial :
Pendidikan :
Teknologi :
Perubahan lain yang dirasakan masyarakat Indonesia adalah semakin banyaknya
fasilitas transportasi dan komunikasi. Pembangunan jalan-jalan raya serta rel-rel kereta
api menjadikan daerah-daerah yang jauh lebih mudah dan cepat untuk dicapai.
Ekonomi :
Dalam bidang ekonomi, penghasilan penguasa pribumi makin berkurang. Sudah pasti
keadaan ini akan menimbulkan kegoncangan dalam kehidupan para penguasa pribumi.
Di pihak rakyat, khususnya para petani dibebani kewajiban untuk mengolah sebagian
tanahnya untuk ditanami dengan tanaman-tanaman eskpor dan masih harus
menyumbangkan tenaganya secara paksa kepada pemerintah kolonial. Hal inilah yang
mengakibatkan runtuhnya perekonomian rakyat.
Bangsa Eropa datang ke Nusantara pada abad ke-16. Awalnya bertujuan untuk
berdagang rempah-rempah. Namun, lama-kelamaan tujuan bergeser menjadi penerapan
kolonialisme dan imperialisme. Pada abad ke-19, masyarakat Indonesia berupaya keras
untuk melakukan perlawanan. Tujuan utamanya untuk mengusir penjajahan dari
Nusantara.
Namun sifat perlawanan lokal dari para raja atau sultan dan rakyat terhadap VOC masih
sangat lokal. Beberapa perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme dan
imperialisme, yaitu:
Takhta Kesultanan Demak kemudian diteruskan oleh tokoh yang bergelar Sultan
Trenggana yang merupakan putra lain dari Raden Patah. Dalam rangka memperluas
ekspansinya ke daerah barat, Sultan Trenggono mengirim Fatahillah yang didampingi
Maulana Hasanuddin putra Sunan Gunung Jati untuk menggagalkan rencana kerja sama
antara Portugis dan Pajajaran. Pada tahun 1527, Fatahillah-Maulana Hasanuddin
menyerang kedudukan Portugis di Sunda Kelapa. Serangan tersebut berhasil mengusir
Portugis dari Sunda Kelapa. Selanjutnya pada 22 Juni 1527 nama Sunda Kelapa diganti
menjadi Jayakarta atau Jakarta yang berarti kemenangan yang sempurna. Fatahillah
diangkat oleh Sultan Trenggana sebagai wakil Sultan Demak yang memerintah di
Jayakarta, pasangan Maulana Hasanuddin memerintah di Banten.
Namun, semua serangan berhasil dipatahkan. Portugis tidak menyerah dan terus
berusaha mencari cara untuk melemahkan kedudukan Aceh. Sehingga, kapal-kapal
Portugis terus mengganggu kapal-kapal dagang Aceh. Tindakan semena-mena Portugis
menimbulkan perlawanan pihak Aceh. Sebagai persiapan untuk menyerang Portugis,
Sultan Alaudin Riayat Syah (1537-1568) mulai mempersenjatai kapal-kapal dagangnya
dengan meriam dan prajurit terlatih, membeli persenjataan dari Calicut (India) dan Jepara,
menyewa tentara bayaran, dan mendatangkan ahli-ahli perang dari Turki pada tahun 1567.
Setelah semua persiapan selesai, Aceh melakukan serangan terhadap Portugis di Malaka,
yang bersekutu dengan Johor. Namun Portugis berhasil selamat dan melakukan serangan
balik pada 1569. Serangan balik tersebut dapat dipatahkan pasukan Aceh. Sultan
Iskandar Muda (1607-1636) tercatat sebagai penguasa terbesar Kesultanan Aceh. Di
bawah kepemimpinannya, Aceh melakukan serangan terhadap kedudukan Portugis
sebanyak dua kali. Serangan pertama terjadi pada tahun 1615, sedangkan serangan
kedua terjadi tahun 1629. Pada serangan kedua, armada laut Aceh mengalami kekalahan
besar di Pelabuhan Malaka.
KERAJAAN MAKASSAR
Sultan Hasanuddin melawan VOC Peperangan pertama antara VOC dan Kerajaan
Makassar dipicu oleh Peristiwa Enkhuizen. Peristiwa itu diawali ketika Kerajaan Makassar
menolak permintaan monopoli oleh VOC. Akibatnya, VOC menawan beberapa bangsawan
Makassar di Kapal Enkhuizen. Walaupun kemudian para bang sawan tersebut dilepaskan.
Mulai saat itu bibit permusuhan muncul di kalangan bangsawan dan rakyat Makassar.
Buktinya pada tanggal 10 Desember 1616 ketika kapal VOC De Eendracht merapat di
Pelabuhan Somba Opu, awak kapalnya dibunuh oleh orang-orang Makassar. Konflik
sempat mereda, tetapi akhirnya membesar di kala Makassar dipimpin oleh Sultan
Hasanuddin. Perang besar VOC melawan Kerajaan Makassar dikenal sebagai "Perang
Makassar" yang berlangsung pada kurun waktu 1660-1669. Sultan Hasanuddin
memimpin pasukan Makassar dengan daya juang yang tinggi. Bahkan orang orang VOC
menyebutnya De Haantjes van Het Oosten atau "Ayam Jantan dari Timur".
VOC dengan dibantu Aru Palaka petinggi Kerajaan Bone dan beberapa petinggi Kerajaan
Makassar yang berkhianat, akhirnya berhasil mengalahkan pasukan Sultan Hasanuddin.
Akibat kekalahan tersebut, Sultan Hasanuddin harus menandatangani Perjanjian Bongaya
pada tahun 1667.
Berbagai kejadian dari dalam negeri atau sering disebut faktor internal yang melatarbelakangi
pergerakan nasional, adalah:
perluasan pendidikan,
kegagalan perjuangan di berbagai daerah,
rasa senasib sepenanggungan, dan
perkembangan berbagai organisasi etnik kedaerahan.
Sementara itu berbagai hal dari luar negeri (faktor eksternal) yang melatarbelakangi terjadinya
pergerakan nasional, antara lain munculnya paham-paham baru di dunia seperti:
pan-Islamisme,
nasionalisme,
sosialisme,
liberalisme, dan
demokrasi.
Berikut adalah pemaparan dari masing-masing latar belakang munculnya rasa nasionalisme
Indonesia menurut Tim Kemdikbud (2017, hlm. 234).
1. Perluasan Pendidikan
Politik kolonial liberal yang memeras rakyat Indonesia menimbulkan keprihatinan sebagian
masyarakat Belanda. C. Theodore van Deventer menuangkan kritiknya mengenai perlakuan
Belanda selama itu dalam sebuah majalah de Gids berjudul Een Eereschuld yang berarti “Hutang
Budi/Hutang Kehormatan”.
Van Deventer mengusulkan agar Belanda melakukan balas budi untuk bangsa Indonesia. Balas
budi yang diusulkan adalah dengan melakukan educatie, emigratie, dan irrigatie (pendidikan,
emigrasi/perpindahan penduduk, dan irigasi/pengairan).
Akhirnya Belanda menerapkan Politik Etis pada tahun 1901, yang meliputi tiga bidang usulan
Van Deventer tersebut, yakni irigasi, emigrasi/transmigrasi, dan pendidikan. Tiga kebijakan
tersebut sebenarnya bertujuan memperbaiki kondisi masyarakat Indonesia yang semakin
terpuruk. Namun sayangnya pelaksanaan kebijakan politik Etis tetap lebih berpihak kepada
penjajah.
Dalam pelaksanaan kebijakan Politik Etis, terdapat banyak penyelewengan yang terjadi,
seperti:
Emigrasi/transmigrasi hanya untuk mengirim orang-orang Jawa ke luar Jawa guna dijadikan
buruh perkebunan dengan upah murah.
Pendidikan hanya sampai tingkat rendah, yang bertujuan memenuhi pegawai rendahan,
sementara pendidikan tinggi hanya diberikan untuk orang Belanda dan sebagian anak pejabat.
Meskipun begitu, sisi positif yang paling dirasakan bangsa Indonesia adalah pendidikan. Hal
itu karena mulai cukup banyak orang Indonesia berpendidikan modern, yang akhirnya mampu
memelopori berbagai pergerakan pendidikan, sosial, dan politik.
Pengaruh pendidikan ini pula yang melahirkan para tokoh pemimpin pergerakan nasional di
Indonesia. Pendidikan sangat berpengaruh besar dalam menumbuhkan nasionalisme
Indonesia, karena menyebabkan terjadinya transformasi ide dan pemikiran yang mendorong
semangat pembaharuan pada masyarakat Indonesia.
Bangsa Indonesia menyadari salah satu penyebab utama kegagalan perjuangan kemerdekaan
pada masa lalu, yakni perlawanan yang bersifat kedaerahan. Indonesia mulai sadar bahwa
sesungguhnya jika pada masa lalu para tokoh kemerdekaan seperti Imam Bonjol, Pangeran
Diponegoro, Pattimura, Sultan Hasanuddin, dan para tokoh lainnya bersatu, Belanda akan
mudah ditaklukkan.
Memasuki abad 20, corak perjuangan bangsa Indonesia berubah dari bersifat kedaerahan,
menuju perjuangan yang bersifat nasional. Paham kebangsaan atau nasionalisme telah tumbuh
dan menjelma menjadi sarana perjuangan yang sangat kuat. Corak perjuangan nasional bangsa
Indonesia ditandai dengan momentum penting, yaitu diikrarkannya Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928.
Perluasan kekuasaan Barat di Indonesia telah memengaruhi perubahan politik, ekonomi, dan
sosial bangsa Indonesia. Tekanan pemerintah Hindia Belanda pada bangsa Indonesia telah
memunculkan perasaan kebersamaan rakyat nusantara sebagai bangsa terjajah.
Hal itu kemudian mendorong tekad bersama untuk menghimpun kebersamaan dalam
pergerakan kebangsaan Indonesia. Rasa senasib sepenanggungan tumbuh di nusantara dan
menjadi tonggak utama untuk bersatu dan berjuang bersama agar dapat keluar dari
keterpurukan penjajahan.
Organisasi pergerakan nasional tidak muncul begitu saja. Awalnya, organisasi yang berdiri di
Indonesia adalah organisasi etnis, kedaerahan, dan keagamaan. Berbagai organisasi tersebut
sering melakukan pertemuan hingga akhirnya muncul ide untuk mengikatkan diri dalam
organisasi yang bersifat nasional.
Organisasi etnis banyak didirikan para pelajar daerah yang merantau di kota-kota besar. Mereka
membentuk perkumpulan berdasarkan latar belakang etnis. Beberapa contohnya antara lain:
Serikat Pasundan serta Perkumpulan Kaum Betawi yang dipelopori oleh M Husni Thamrin.
Selain organisasi etnis, muncul juga beberapa organisasi kedaerahan, seperti Trikoro Dharmo
(1915), Jong Java (1915), dan Jong Sumatranen Bond (1917).
Berbagai organisasi keagamaan yang muncul pada awal abad 20 juga sangat memengaruhi
perkembangan rasa kebangsaan Indonesia. Beberapa organisasi keagamaan yang muncul pada
masa awal abad 20 antara lain Jong Islamiten Bond, Muda Kristen Jawi, Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama, PERSIS (Persatuan Umat Islam), dan Al-Jamiatul Washiyah.
Kaum wanita juga aktif berperan dalam berbagai organisasi baik organisasi sosial maupun
politik. Peran serta perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan telah ada sejak dahulu.
Beberapa tokoh pejuang wanita zaman dulu adalah RA Kartini, Dewi Sartika, dan Maria Walanda
Maramis.
RA Kartini adalah putri Bupati Jepara Jawa Tengah yang memperjuangkan emansipasi
(persamaan derajat) antara laki-laki dan perempuan. Salah satu bentuknya adalah beliau
mendirikan sekolah khusus untuk perempuan agar dapat bersaing dengan laki-laki di masa itu.
Berbagai peristiwa di luar negeri atau faktor eksternal yang ikut menjadi pendorong pergerakan
nasionalisme dan kebangsaan Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Budi Utomo
Pada awal abad 20 di Indonesia sudah mulai banyak mahasiswa di kota-kota besar, terutama di
Pulau Jawa. Mahasiswa mulai banyak berogranisasi dengan mendirikan suatu perkumpulan.
Salah satunya adalah para mahasiswa Sekolah kedokteran bernama STOVIA (School tot
Opleideing van Inlandsche Artsen) yang berlokasi di Batavia (Jakarta).
Para tokoh mahasiswa kedokteran itu sepakat untuk memperjuangkan nasib rakyat Indonesia
dengan memajukan pendidikan rakyat dengan cara mendirikan organisasi Budi Utomo (BU)
pada tanggal 20 Mei 1908 dan memilih dr. Sutomo sebagai ketuanya. Tokoh lain pendiri Budi
Utomo adalah Gunawan, Cipto Mangunkusumo, dan RT Ario Tirtokusumo.
Pada masa penjajahan, terdapat Pasar Klewer di Solo atau Surakarta yang diramaikan oleh para
pedagang Indonesia, Arab, dan Tiongkok. Akibat persaingan yang tidak sehat antara pedagang
pribumi dan pedagang Tiongkok, pada tahun 1911 didirikan Serikat Dagang Islam (SDI) oleh KH
Samanhudi dan RM Tirtoadisuryo di Solo.
Awalnya tujuan serikat itu adalah untuk melindungi kepentingan pedagang pribumi dari
ancaman pedagang Tiongkok. Saat itu, para pedagang Tiongkok menguasai perdagangan di
pasar, menggeser para pedagang lokal yang kurang pendidikan dan pengalaman.
Dalam Kongres di Surabaya tanggal 30 September 1912, SDI berubah menjadi Sarekat Islam
(SI). Perubahan nama dimaksudkan agar kegiatan organisasi lebih terbuka ke bidang-bidang
lain, tidak hanya perdagangan.
Pada tahun 1913, SI dipimpin oleh Haji Umar Said Cokroaminoto. Perjuangan SI sangat menarik
rakyat karena kegiatannya yang membela rakyat. Pada tahun 1915, jumlah anggota SI mencapai
800.000. Pada tahun 1923, SI berubah nama menjadi Partai Sarekat Islam (SI) yang bersifat
nonkooperatif terhadap Belanda.
Indische Partij (IP) adalah partai politik pertama di Indonesia. IP didirikan oleh tiga serangkai,
yakni E.F.E. Douwes Dekker (Danudirjo Setiabudi), R.M. Suwardi Suryaningrat, dan dr Cipto
Mangunkusumo. Indische Partij dideklarasikan tanggal 25 Desember 1912.
Tujuan Indische Partij sangat jelas, yakni mengembangkan semangat nasionalisme bangsa
Indonesia. Keanggotaannya pun terbuka bagi semua golongan tanpa memandang suku, agama,
dan ras.
Semula bernama Indische Vereeniging, Perhimpunan Indonesia (PI) didirikan oleh orang-orang
Indonesia di Belanda pada tahun 1908. Pada tahun 1922, Indische Vereeniging berubah nama
menjadi Indonesische Vereeniging dengan kegiatan utama politik. Pada tahun 1925 berubah
menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Nama majalahnya Hindia Putra, yang kemudian berubah
menjadi Indonesia Merdeka.
Pada tahun 1925, PI secara tegas mengeluarkan manifesto arah perjuangan, yaitu:
Indonesia bersatu, menyingkirkan perbedaan, dapat mematahkan kekuasaan penjajah.
Diperlukan aksi massa yang percaya pada kekuatan sendiri untuk mencapai Indonesia Merdeka.
Melibatkan seluruh lapisan masyarakat merupakan sarat mutlak untuk perjuangan
kemerdekaan.
Penjajahan telah merusak dan demoralisasi jiwa dan fisik bangsa, sehingga normalisasi jiwa
dan materi perlu dilakukan secara sungguh-sungguh.
Manifesto 1925 sangat menggugah kesadaran bangsa Indonesia, serta sangat memengaruhi
pola pergerakan nasional bangsa Indonesia. Gagasan manifesto 1925 terealisasi saat Sumpah
Pemuda diikrarkan pada 28 Oktober 1928.
Kongres Pemuda I dilaksanakan tanggal 30 April-2 Mei 1926 di Jakarta, dihadiri berbagai
organisasi pemuda. Kongres ini berhasil membentuk jaringan yang lebih kokoh untuk
mempersatukan diri, yang kemudian dilanjutkan dalam Kongres Pemuda II tahun 1928.
Pada Kongres III di Yogyakarta tahun 1938, tujuan kemerdekaan nusa dan bangsa diganti
dengan menjunjung tinggi martabat nusa dan bangsa.
Partai Nasional Indonesia (PNI) didirikan tanggal 4 Juli 1927 di Bandung, dipimpin Ir Soekarno.
Tujuan PNI adalah Indonesia merdeka, dengan ideologi nasionalisme. PNI mengadakan
kegiatan konkret baik politik, sosial, maupun ekonomi.
Organisasi ini terbuka dan revolusioner, sehingga PNI cepat meraih anggota yang banyak.
Pengaruh Soekarno sangat meresap dalam lapisan masyarakat. Keikutsertaan Hatta dalam
kegiatan politik Soekarno semakin membuat PNI sangat kuat.
Kegiatan politik PNI dianggap mengancam pemerintah Belanda, sehingga para tokoh PNI
ditangkap dan diadili tahun 1929. Soekarno, Maskoen, Gatot Mangkupraja, dan Supriadinata
diadili Belanda. Pembelaan Soekarno di hadapan pengadilan diberi judul “Indonesia
Menggugat”. Sukarno dan kawan-kawan dihukum penjara.
Tahun 1931, PNI dibubarkan. Selanjutnya Sartono membentuk Partindo. Adapun Mohammad
Hatta dan Sutan Syahrir mendirikan organisasi Pendidikan Nasional Indonesia. Para tokoh
partai tersebut kemudian ditangkap Belanda dan diasingkan ke Boven Digul, Papua.
Selain dijajah oleh Belanda, Indonesia juga sempat jatuh ke tangan kekuasaan Jepang.
Romusha atau kerja paksa “ala Jepang” merupakan salah satu bukti penderitaan rakyat
Indonesia pada masa pendudukan Jepang. Kapan dan bagaimana Jepang menguasai
Indonesia? Bagaimana kondisi bangsa Indonesia pada masa penjajahan Jepang? Berikut
adalah pemaparannya.
Awal mula tujuan Jepang menguasai Indonesia ialah untuk kepentingan ekonomi dan politik.
Jepang merupakan negara industri yang sangat maju dan sangat besar. Jepang sangat
menginginkan bahan baku industri yang tersedia banyak di Indonesia untuk kepentingan
ekonominya.
Untuk menyamakan jalur pelayaran bagi bahan-bahan mentah dan bahan baku dari ancaman
Sekutu serta memuluskan ambisinya menguasai wilayah-wilayah baru, Jepang menggalang
kekuatan pasukannya serta mencari dukungan dari bangsa-bangsa Asia.
Pada tanggal 8 Desember 1941, Jepang melakukan penyerangan terhadap pangkalan militer AS
di Pearl Harbour. Setelah memborbardir Pearl Harbour, Jepang masuk ke negara-negara Asia
dari berbagai pintu.
Pada tanggal 11 Januari 1942, Jepang mendaratkan pasukannya di Tarakan, Kalimantan Timur.
Jepang menduduki kota minyak Balikpapan pada tanggal 24 Januari. Selanjutnya, Jepang
menduduki kota-kota lainnya di Kalimantan.
Jepang berhasil menguasai Palembang pada tanggal 16 Februari 1942. Setelah menguasai
Palembang, Jepang menyerang Pulau Jawa. Pulau Jawa merupakan pusat pemerintahan
Belanda.
Batavia (Jakarta) sebagai pusat perkembangan Pulau Jawa berhasil dikuasai Jepang pada
tanggal 1 Maret 1942. Setelah melakukan berbagai pertempuran, Belanda akhirnya menyerah
tanpa syarat kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 di Kalijati, Subang-Jawa Barat.
Surat perjanjian serah terima kedua belah pihak ditandatangani oleh Letnan Jenderal Ter
Poorten (Panglima Angkatan Perang Belanda) dan diserahkan kepada Letnan Jenderal
Imamura (pimpinan pasukan Jepang). Sejak saat itulah seluruh Indonesia berada di bawah
kekuasan Jepang.
Jepang melakukan propaganda dengan semboyan “Tiga A” (Jepang Pemimpin Asia, Jepang
Pelindung Asia, Jepang Cahaya Asia) untuk menarik simpati rakyat Indonesia. Selain itu, Jepang
menjanjikan kemudahan bagi bangsa Indonesia dalam melakukan ibadah, mengibarkan
bendera merah putih yang berdampingan dengan bendera Jepang, menggunakan bahasa
Indonesia, dan menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” bersama lagu kebangsaan
Jepang “Kimigayo”.
Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh Jepang hanyalah janji manis saja. Sebagai
penjajah, Jepang justru lebih kejam dalam menjajah bangsa Indonesia. Jepang melakukan
beberapa kebijakan terhadap negara jajahan Indonesia. Program yang paling mendesak bagi
Jepang adalah mengerahkan seluruh sumber daya yang ada di Indonesia untuk tujuan perang.
Pengerahan Romusha
Jepang melakukan rekruitmen anggota romusha dengan tujuan mencari bantuan tenaga yang
lebih besar untuk membantu perang dan melancarkan aktivitas Jepang. Anggota-anggota
romusha dikerahkan oleh Jepang untuk membangun jalan, kubu pertahanan, rel kereta api,
jembatan, dan sebagainya.
Jumlah Romusha paling besar berasal dari Jawa, yang dikirim ke luar Jawa, bahkan sampai ke
Malaya, Myanmar, dan Thailand. Sebagian besar romusha adalah penduduk yang tidak
berpendidikan. Mereka terpaksa melakukan kerja rodi karena takut kepada Jepang.
Pada saat mereka bekerja sebagai romusha, makanan yang mereka dapat tidak terjamin,
kesehatan sangat minim, sementara pekerjaan sangat berat. Ribuan rakyat Indonesia
meninggal akibat romusha.
Mendengar nasib romusha yang sangat menyedihkan, banyak pemuda Indonesia meninggalkan
kampungnya. Mereka takut akan dijadikan romusha. Akhirnya, sebagian besar desa hanya
didiami oleh kaum perempuan, orang tua, dan anak-anak.
Jepang tidak hanya menguras tenaga rakyat Indonesia. Pengerukan kekayaan alam dan harta
benda yang dimiliki bangsa Indonesia jauh lebih kejam daripada pengerukan yang dilakukan
oleh Belanda. Semua usaha yang dilakukan di Indonesia harus menunjang semua keperluan
perang Jepang.
Jepang mengambil alih seluruh aset ekonomi Belanda dan mengawasi secara langsung seluruh
usahanya. Usaha perkebunan dan industri harus mendukung untuk keperluan perang, seperti
tanaman jarak untuk minyak pelumas.
Pada masa panen, rakyat wajib melakukan setor padi sedemikian rupa sehingga mereka hanya
membawa pulang padi sekitar 20% dari panen yang dilakukannya. Kondisi ini mengakibatkan
musibah kelaparan dan penyakit busung lapar di Indonesia.
SIKAP KAUM PERGERAKAN MENGHADAPI JEPANG
Propaganda Jepang sama sekali tidak memengaruhi para tokoh perjuangan untuk percaya
begitu saja. Bagaimanapun, mereka sadar bahwa Jepang adalah penjajah. Bahkan, mereka
sengaja memanfaatkan organisasi-organisasi pendirian Jepang sebagai ‘batu loncatan’ untuk
meraih Indonesia merdeka.
Kelompok ini sering disebut kolaborator karena mau bekerja sama dengan penjajah.
Sebenarnya, cara ini bentuk perjuangan diplomasi. Tokoh-tokohnya adalah para pemimpin
Putera, seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur.
Mereka memanfaatkan Putera sebagai sarana komunikasi dengan rakyat.
Akhirnya, Putera justru dijadikan para pemuda Indonesia sebagai ajang kampanye
nasionalisme. Pemerintah Jepang menyadari hal tersebut dan akhirnya membubarkan
Putera dan digantikan Barisan Pelopor. Sama seperti Putera, Barisan Pelopor yang dipimpin
Sukarno ini pun selalu mengampanyekan perjuangan kemerdekaan.
Larangan berdirinya partai politik pada zaman Jepang mengakibatkan sebagian tokoh
perjuangan melakukan gerakan bawah tanah. Gerakan bawah tanah merupakan perjuangan
melalui kegiatan-kegiatan tidak resmi, tanpa sepengetahuan Jepang (gerakan sembunyi-
sembunyi).
Tokoh-tokoh yang masuk dalam garis pergerakan bawah tanah adalah Sutan Sjahrir,
Achmad Subarjo, Sukarni, A. Maramis, Wikana, Chairul Saleh, dan Amir Syarifuddin. Mereka
terus memantau Perang Pasifik melalui radio-radio bawah tanah. Kelompok bawah tanah
inilah yang sering disebut golongan radikal/ keras karena mereka tidak mengenal
kompromi dengan Jepang.
3. PERLAWANAN BERSENJATA
Perluasan lahan
Pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda, banyak perusahaan asing yang
menanamkan investasi di Indonesia. Berhektare-hektare hutan dibuka untuk pembukaan
lahan perkebunan.
Penemuan tambang-tambang
Pembukaan lahan pada masa kolonial Barat juga dilakukan untuk mencari dan
membuka pertambangan minyak bumi, batu bara, dan logam.
Mengenal uang
Pada masa kekuasaan kolonial Barat, uang mulai dikenalkan sebagai alat pembayaran
jasa tenaga kerja. Keberadaan uang sebagai barang baru dalam kehidupan masyarakat
menjadi daya tarik tersendiri karena dianggap lebih mudah untuk digunakan.
Pada saat menjajah Indonesia, Jepang juga memiliki misi penting lainnya, yaitu memenangkan
Perang Dunia II.
Karena itulah Indonesia dijadikan sebagai salah satu aset Jepang dalam menghadapi tentara
sekutu di Perang Dunia II.
Pada saat itu Jepang meminta rakyat Indonesia untuk menanam tanaman jarak.
Tanaman jarak bisa menghasilkan minyak yang akan dipakai Jepang untuk menjalankan mesin
perang.
Kesengsaraan pada masa pendudukan Jepang menyebabkan besarnya angka kematian pada
masa pendudukan Jepang.
Untuk mendukung Jepang yang sedang berperang, banyak rakyat Indonesia yang melakukan
migrasi,
Bahkan tak sedikit rakyat Indonesia yang terpaksa berperang di beberapa negara Asia Tenggara
untuk membantu Jepang. Sebagian dari mereka tidak kembali atau tidak diketahui nasibnya.
Kegiatan pendidikan dan pengajaran menurun. Sebagai contoh, gedung sekolah dasar menurun
dari 21.500 menjadi 13.500.
Kemudian gedung sekolah lanjutan menurun dari 850 menjadi 20 buah. Kegiatan perguruan
tinggi juga sempat terhenti.
Sementara itu, pengenalan budaya Jepang dilakukan di berbagai sekolah di Indonesia. Bahasa
Indonesia bisa menjadi bahasa pengantar di berbagai sekolah di Indonesia.
Adapun bahasa Jepang menjadi bahasa utama di sekolah-sekolah.
Tradisi budaya Jepang dikenalkan di sekolah-sekolah mulai dari tingkat rendah.
Para siswa harus digembleng agar bersemangat Jepang (Nippon Seishin). Para pelajar juga
harus menyanyikan lagu Kimigayo (lagu kebangsaan Jepang), dan lagu-lagu lain, menghormati
bendera Hinomaru, serta melakukan gerak badan (taiso) dan seikerei.
Hal ini menimbulkan beragam tanggapan dari para tokoh pergerakan nasional.
Kelompok pertama adalah kelompok yang masih mau bekerja sama dengan Jepang, tetapi
tetap menggelorakan pergerakan nasional. Para tokoh ini adalah mereka yang muncul dalam
berbagai organisasi bentukan Jepang.
Kelompok kedua adalah mereka yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah Jepang
dan melakukan gerakan bawah tanah. Pada masa akhir pendudukan Jepang, terjadi revolusi
politik di Indonesia, yakni kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan telah membawa perubahan
masyarakat dalam segala bidang.
Pengaruh budaya ini menimbulkan perlawanan di berbagai daerah. Salah satu penyebab
perlawanan adalah penolakan terhadap kebiasaan menghormat matahari.
Perkembangan Bahasa Indonesia pada masa pendudukan Jepang mengalami kemajuan.
Pada tanggal 20 Oktober 1943, atas desakkan dari beberapa tokoh Indonesia, didirikanlah
Komisi (Penyempurnaan) Bahasa Indonesia.
Tugas Komisi adalah menentukan istilah-istilah modern dan menyusun suatu tata bahasa
normatif serta menentukan kata-kata yang umum bagi bahasa Indonesia.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, seluruh negara jajahan Jepang di Asia Tenggara
diambil alih oleh pasukan sekutu, yaitu AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies ). Tugas
AFNEI adalah menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang, membebaskan tentara
Sekutu yang ditahan Jepang, melucuti serta mengumpulkan orang-orang Jepang untuk
dipulangkan ke negerinya.
Kedatangan tentara sekutu ternyata juga disertai dengan kedatangan NICA (Netherland Indies
Civil Administration) yang bertujuan ingin kembali menegakkan kekuasaan Belanda di
Indonesia. Tentara AFNEI bersama NICA sampai ke Indonesia pertama kali pada tanggal 16
September 1945 di Tanjung Priok. Kemudian, Indonesia melakukan berbagai upaya untuk
mempertahankan kemerdekaan, salah satunya dengan melalui perjuangan bersenjata.
Pertempuran arek-arek Surabaya dengan pihak Sekutu bersama NICA diawali oleh insiden
bendera di Hotel Yamato, Surabaya, tanggal 19 September 1945. Salah seorang tentara Belanda
menurunkan bendera merah putih lalu menggantinya dengan bendera Belanda. Hal ini
menimbulkan kemarahan rakyat Surabaya. Arek-arek Surabaya menurunkan bendera Belanda
dan merobek warna biru agar menjadi warna bendera Indonesia.
Selain peristiwa perobekan bendera, kedatangan pasukan Sekutu ke Surabaya pada tanggal 25
Oktober 1945 yang dipimpin oleh Brigjen A.W.S. Mallaby memicu kemarahan arek-arek
Surabaya. Hal ini terjadi karena tentara Sekutu membebaskan tahanan di penjara di Kalisosok,
menduduki Pangkalan Udara Tanjung Perak, dan Gedung Internatio. Para pemuda pun melawan
dan menimbulkan pertempuran bersenjata yang menewaskan Brigjen A.W.S. Mallaby.
Peristiwa ini kemudian membuat hubungan Inggris dan Indonesia merenggang, sehingga
Inggris mengeluarkan ultimatum agar para pemuda menyerah paling lambat 10 November 1945
pukul 06.00. Namun, para pemuda Surabaya tetap bertempur membela tanah kelahirannya.
Tokoh yang sangat berperan dalam membakar semangat pada pemuda saat itu adalah Bung
Tomo. Hampir tiga minggu para pemuda mempertahankan Surabaya hingga banyak korban
jatuh akibat pertempuran ini. Untuk mengenang peristiwa ini kemudian setiap tanggal 10
November diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Pertempuran Ambarawa disebabkan karena adanya penindasan dan teror terhadap penduduk
Magelang yang menimbulkan perlawanan dari TKR. Perlawanan ini terjadi sejak 23 November
1945 hingga 12 Desember 1945, dengan dipimpin oleh Imam Adrongi dan Letkol M.
Sarbini. Pertempuran Ambarawa berhasil memukul mundur pasukan Sekutu dan NICA ke
Ambarawa, lho! Letkol Isdiman, Mayor Suharto, dan Kolonel Sudirman juga ikut terlibat dalam
pertempuran Ambarawa. Pasukan Sekutu dan NICA yang terdesak pada tanggal 15 Desember
1945 akhirnya meninggalkan daerah Ambarawa dan menandai berakhirnya pertempuran
Ambarawa. Untuk mengenang peristiwa ini setiap tanggal 15 Desember diperingati sebagai Hari
Infanteri.
Pada bulan Oktober 1945, pasukan Sekutu dan NICA mulai datang serta melakukan
pendudukan terhadap kota Bandung. Pasukan Sekutu dan NICA segera mengeluarkan
ultimatum kepada rakyat Bandung untuk menyerahkan senjata milik mereka, sehingga memicu
kemarahan. Pertempuran bersenjata kemudian berlangsung selama kurun waktu November
1945-Maret 1946.
Puncak pertempuran terjadi ketika tanggal 23 Maret 1946, pihak Sekutu dan NICA
mengeluarkan ultimatum untuk mengosongkan kota Bandung. Komandan Divisi III Siliwangi
A.H. Nasution bersama pemuda mengambil inisiatif untuk mengosongkan kota Bandung dan
membakar seluruh kota beserta infrastruktur penting pemerintahan ataupun militer pada
tanggal 24 Maret 1946. Salah satu tokoh yang berperan dalam pertempuran ini adalah Moh.
Toha yang harus gugur ketika berupaya meledakkan gudang mesiu milik NICA di Bandung
Selatan. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Peristiwa Bandung Lautan Api.
Pertempuran Medan Area terjadi karena beberapa peristiwa. Pertama adalah insiden yang
dilakukan oleh salah satu penghuni hotel di Jalan Bali, Medan tanggal 13 Oktober 1945, yang
menginjak lencana merah putih. Para pemuda Indonesia yang marah kemudian menyerang
hotel tersebut sehingga timbul banyak korban.
Kedua adalah adanya ultimatum dari pimpinan tentara Sekutu di Sumatera Utara, yaitu T.E.D.
Kelly tanggal 18 Oktober kepada rakyat Indonesia untuk menyerahkan senjatanya kepada
Sekutu. Hal ini memicu perlawanan antara rakyat Medan dengan sekutu. Terlebih pada tanggal
1 Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries
Medan Area di berbagai sudut pinggiran kota Medan.
Peristiwa ini menimbulkan pertempuran yang lebih besar antara rakyat Medan melawan Sekutu.
Sekutu bersama NICA melancarkan aksi besar-besaran sejak 10 Desember 1945, serta
mengusir dan menindas rakyat Indonesia. Rakyat Medan merespon pada tanggal 10 Agustus
1946 dengan membentuk Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area untuk melanjutkan
perlawanan terhadap Sekutu dan NICA. Pertempuran Medan Area berakhir tanggal 1 Desember
1946 setelah pihak NICA mengajukan gencatan senjata kepada pihak Republik.
Sejak Maret 1946, Belanda berhasil menduduki beberapa daerah di Bali. Perlawanan muncul
dibawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai dibantu oleh TRI-Laut Kapten Markadi. Pada masa itu,
Indonesia telah menyepakati perjanjian Linggarjati dimana secara de facto wilayah Indonesia
hanya terdiri dari Sumatera, Jawa dan Madura. Ngurah Rai tetap berusaha mengusir Belanda
dari Bali dengan melakukan long march dan bergerilya melawan musuh.
Puncak serangan pasukan Belanda terjadi tanggal 20 November 1946. Pasukan Belanda
mengepung desa Marga tempat I Gusti Ngurah Rai bersembunyi. Walaupun terdapat
ketidakseimbangan kekuatan antara tentara Indonesia dan Belanda, I Gusti Ngurah Rai tetap
bertempur hingga titik darah penghabisan. Pada 29 November 1946, Ngurah Rai gugur dalam
pertempuran melawan Belanda. Pertempuran sengit antara Belanda dan tentara Indonesia di
Bali dikenal dengan Perang Puputan (pertempuran habis-habisan).
Indonesia sebagai negara demokrasi mulai melaksanakan Pemilihan Umum pada tahun 1955.
Pemilu I tahun 1955 yang didambakan rakyat dapat meperbaiki keadaan ternyata hasilnya tidak
memenuhi harapan rakyat. Krisis politik yang berkepanjangan akhirnya Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959. Sejak itulah kehidupan bangsa Indonesia di
bawah kekuasaan Demokrasi Terpimpin. Peristiwa-peristiwa politik dan ekonomi Indonesia
pasca Pengakuan Kedaulatan tersebut akan kita pelajari dalam bab ini.
Seperti telah kalian pelajari pada bab II bahwa dengan melalui perjuangan bersenjata dan
diplomasi akhirnya bangsa Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan dari Belanda.
Penandatanganan pengakuan kedaulatan tersebut dilaksanakan pada tanggal 27 Desember
1949. Dengan diakuinya kedaulatan Indonesia ini maka bentuk negara Indonesia adalah
menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Sedangkan Undang –
Undang Dasar atau Konstitusi yang digunakan adalah Undang- Undang Dasar RIS. Tentunya
kalian masih ingat bahwa salah satu hasil Konferensi Meja Bundar adalah bahwa Indonesia
menjadi Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Selanjutnya setelah KMB kemudian
dilaksanakan pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada RIS pada tanggal 27 Desember 1949.
Berdasarkan UUD RIS bentuk negara kita adalah federal, YANG TERDIRI DARI TUJUH NEGARA
BAGIAN DAN SEMBILAN DAERAH OTONOM.
1. Sumatera Timur
2. Sumatera Selatan
3. Pasundan
4. Jawa Timur
5. Madura
6. Negara Indonesia Timur
7. Republik Indonesia (RI)
Negara-negara bagian di atas serta daerah- daerah otonom merupakan negara boneka ( tidak
dapat bergerak sendiri) adalah ciptaan Belanda. Negara- negara boneka ini dimaksudkan akan
dikendalikan Belanda yang bertujuan untuk mengalahkan RI yang juga ikut di dalamnya. Bentuk
negara federalis bukanlah bentuk negara yang dicita- citakan oleh bangsa Indonesia sebab tidak
sesuai dengan cita- cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu setelah RIS
berusia kira- kira enam bulan, suara- suara yang menghendaki agar kembali ke bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia semakin menguat. Sebab jiwa Proklamasi 17 Agustus 1945
menghendaki adanya persatuan seluruh bangsa Indonesia. Hal inilah yang menjadi alasan
bangsa Indonesia untuk kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedudukan
golongan mereka yang setuju dengan bentuk negara Serikat (golongan federalis) semakin
terlihat kejahatannya ketika Sultan Hamid dari Kalimantan Barat yang menjabat sebagai Menteri
Negara bersekongkol dengan Westerling. Raymond Westerling melakukan aksi pembantaian
terhadap ribuan rakyat di Sulawesi Selatan yang tidak berdosa dengan menggunakan APRAnya.
Petualangan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung pada bulan Januari 1950
menjadikan rakyat semakin tidak puas terhadap kondisi pemerintahan RIS. Oleh karena itu
rakyat Bandung menuntut dibubarkannya pemerintahan negara Pasundan untuk
menggabungkan diri dengan RI. Pada bulan Februari 1950 pemerintah RIS mengeluarkan
undang-undang darurat yang isinya pemerintah Pasundan menyerahkan kekuasaannya pada
Komisaris Negara (RIS), Sewaka. Gerakan yang dilakukan di Pasundan ini kemudian diikuti oleh
Sumatera Selatan dan negara-negara bagian lain. Negara-negara bagian lain yang menyusul itu
cenderung untuk bergabung dengan RI. Pada akhir Maret 1950 tinggal empat negara bagian
saja dalam RIS, yakni Kalimantan Barat, Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, dan RI
setelah diperluas. Selanjutnya pada tanggal 21 April 1950 Presiden Sukawati dari NIT
mengumumkan bahwa NIT bersedia bergabung dengan RI menjadi negara kesatuan. Melihat
dukungan untuk kembali ke NKRI semakin luas, maka diselenggarakanlah pertemuan antara
Moh. Hatta dari RIS, Sukawati dari Negara Indonesia Timur dan Mansur dari Negara Sumatera
Timur. Akhirnya pada tanggal 19 Mei 1950 diadakanlah konferensi antara wakil-wakil RIS yang
juga mewakili NIT dan Sumatera Timur dengan RI di Jakarta. Dalam konferensi ini dicapai
kesepakatan untuk kembali ke Negara Kesatuan RI. Kesepakatan ini sering disebut dengan
Piagam Persetujuan
Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan kembali ke NKRI maka proses kembali ke NKRI tersebut
dilakukan dengan cara mengubah Undang-Undang Dasar RIS menjadi Undang- Undang Dasar
Sementara RI. Undang Dasar Sementara RI ini disahkan pada tanggal 15 Agustus 1950 dan
mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1950. Dengan demikian sejak saat itulah Negara Kesatuan RI
menggunakan UUD Sementara (1950) dan demokrasi yang diterapkan adalah Demokrasi Liberal
dengan sistem Kabinet Parlementer. Jadi berbeda dengan UUD 1945 yang menggunakan
Sistem Kabinet Presidensiil.
Semenjak Indonesia menggunakan sistem Kabinet Parlementer keadaan politik tidak stabil.
Partai-partai politik tidak bekerja untuk kepentingan rakyat akan tetapi hanya untuk kepentingan
golongannya saja. Wakil-wakil rakyat yang duduk di Parlemen merupakan wakil-wakil partai
yang saling bertentangan. Keadaan yang demikian rakyat menginginkan segera dilaksanakan
pemilihan umum. Pemilihan Umum merupakan program pemerintah dari setiap kabinet,
misalnya kabinet Alisastroamijoyo I bahkan telah menetapkan tanggal pelaksanaan pemilu.
Akan tetapi Kabinet Ali I tersebut sudah jatuh sebelum melaksanakan Pemilihan Umum.
Akhirnya pesta demokrasi rakyat tersebut baru dapat dilaksanakan pada masa pemerintahan
Kabinet Burhanuddin Harahap. Pelaksanaan Pemilihan Umum sesuai dengan rencana yang
telah ditetapkan Panitia Pemilihan Umum Pusat dilaksanakan dalam dua gelombang, yakni :
Pada Pemilu I tahun 1955 rakyat selain memilih anggota DPR juga memilih anggota badan
Konstituante. Badan ini bertugas menyusun Undang-Undang Dasar sebab ketika Indonesia
kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak tanggal 17 Agustus 1945 menggunakan
Undang-Undang Dasar Sementara (1950). Sejak itu pula di negara kita diterapkan Demokrasi
Liberal dengan sistem Kabinet Parlementer.
Karena keadaan politik yang tidak stabil maka Presiden Soekarno pada tanggal 21 Februari
1957 mengemukakan konsepnya yang terkenal dengan “Konsepsi Presiden” yang isinya antara
lain sebagai berikut.
1. Sistem Demokrasi Liberal akan diganti dengan Demokrasi Terpimpin.
2. Akan dibentuk “Kabinet Gotong Royong”, yang menteri-menterinya terdiri atas orang-orang
dari empat partai besar ( PNI, Masyumi, NU, dan PKI).
3. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri atas golongan-golongan fungsional dalam
masyarakat. Dewan ini bertugas memberi nasihat kepada kabinet baik diminta maupun tidak.
Partai-partai Masyumi, NU, PSII, Katholik, dan PRI menolak konsepsi ini dan berpenadapat
bahwa merubah susunan ketatanegaraan secara radikal harus diserahkan kepada konstituante.
Karena keadaan politik semakin hangat maka Presiden Soekarno mengumumkan Keadaan
Darurat Perang bagi seluruh wilayah Indonesia. Gerakan-gerakan di daerah kemudian
memuncak dengan pemberontakan PRRI dan Permesta. Setelah keadaan aman maka
Konstituante mulai bersidang untuk menyusun Undang-Undang Dasar. Sidang Konstituante ini
berlangsung sampai beberapa kali yang memakan waktu kurang lebih tiga tahun, yakni sejak
sidang pertama di Bandung tanggal 10 November 1956 sampai akhir tahun 1958. Akan tetapi
sidang tersebut tidak membuahkan hasil yakni untuk merumuskan Undang-Undang Dasar dan
hanya merupakan perdebatan sengit. Akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Sukarno
menyampaikan dekrit kepada seluruh rakyat Indonesia. Adapun isi Dekrit Presiden tersebut
adalah:
1) pembubaran Konstituante,
2) berlakunya kembali UUD 1945, dan tidak berlakunya lagi UUD S 1950, serta
3) pemakluman bahwa pembentukan MPRS dan DPAS akan dilakukan dalam waktu sesingkat-
singkatnya.
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka negara kita memiliki kekuatan hukum
untuk menyelamatkan negara dan bangsa Indonesia dari ancaman perpecahan. Sebagai tindak
lanjut dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka dibentuklah beberapa lembaga negara yakni:
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Dewan Pertimbangan Agung Sementara
(DPAS) maupun Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR – GR). Dalam pidato Presiden
Soekarno berpidato pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi
Kita”. Pidato yang terkenal dengan sebutan “Manifesto Politik Republik Indonesia” (MANIPOL)
ini oleh DPAS dan MPRS dijadikan sebagai Garisgaris Besar Haluan Negara (GBHN). Menurut
Presiden Soekarno bahwa inti dari Manipol ini adalah Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme
Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Kelima inti
manipol ini sering disingkat USDEK.
D Dampak Persoalan Hubungan Pusat Daerah terhadap Kehidupan Politik Nasional dan Daerah
Sampai Awal Tahun 1960-an
Semenjak diakuinya kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949 sampai tahun 1960 Indonesia
mengalami berbagai situasi sebagai dampak dari keadaan politik nasional. Beberapa hal yang
menjadi persoalan di antaranya adalah hubungan pusatdaerah, persaingan ideologi, dan
pergolakan sosial politik.
1. Hubungan Pusat-Daerah
Setelah memperoleh pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 bangsa Indonesia
telah berhasil melaksanakan agenda besar yakni Pemilihan Umum I tahun 1955. Pemilu I yang
merupakan pengalaman awal tersebut telah terlaksana dengan lancar dan aman sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Hanya saja hasil dari Pemilu I tersebut belum dapat merubah nasib
bangsa Indonesia ke arah yang lebih sejahtera karena parta- partai politik hanya memikirkan
kepentingan partainya. Terbentuknya Kabinet Ali Sastroamijoyo II pada tanggal 24 Maret tahun
1956 berdasarkan perimbangan partai- partai dalam Parlemen tidak berumur panjang karena
mendapat oposisi dari daerah- daerah di luar Jawa dengan alasan bahwa pemerintah
mengabaikan pembangunan daerah. Pada akhir tahun 1956 beberapa panglima militer di
berbagai daerah membentuk dewan-dewan yang ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat,
yakni sebagai berikut.
(1) Pada tanggal 20 November 1956 di Padang, Sumatera Barat berdiri Dewan Banteng yang
dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein.
(2) Di Medan, Sumatera Utara berdiri Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Simbolon.
(3) Di Sumatera Selatan berdiri Dewan Garuda yang dipimpin oleh Kolonel Barlian.
(4) Di Manado, Sulawesi Utara berdiri Dewan Manguni yang dipimpin oleh Kolonel Ventje
Sumual.
Terbentuknya beberapa dewan di atas merupakan oposisi dari daerah yang guna melakukan
protes terhadap kebijakan pemerintah pusat. Pangkal permasalahan dari pertentangan antara
Pemerintah Pusat dan beberapa Daerah ini adalah masalah otonomi serta perimbangan
keuangan antara Pusat dan Daerah. Hal ini menjadikan hubungan antara Pemerintah Pusat
dengan Daerah kurang harmonis.
Pemilihan Umum I 1955 belum dapat membawa perubahan menuju kesejahteraan bagi rakyat
Indonesia, misalnya belum ada tanda-tanda perbaikan ekonomi terutama di daerah-daerah. Hal
ini menimbulkan protes baik secara langsung maupun tidak langsung oleh daerah terhadap
pemerintah pusat. Protes tidak langsung pertama kali terjadi pada tahun 1956 yang dijadikan
sebagai sasarannya adalah orang Cina terutama dianggap hanya mencari untung di bumi
Indonesia. Sebagai penggerak dalam protes ini adalah Asaat (Mantan Menteri Dalam Negeri
Kabinet Natsir dan Pejabat Presiden RI ketika Soekarno menjabat Presiden RIS) yang didukung
oleh pengusaha-pengusaha pribumi. Dalam menghadapi protes ini akhirnya pemerintah
menegaskan tekadnya untuk membantu usaha-usaha pribumi.
Salah satu isi dari persetujuan KMB Pada tanggal 2 November 1949 adalah bahwa
pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai intinya. Ternyata pembentukan
APRIS ini menimbulkan ketegangan-ketegangan dan dipertajam dengan pertentangan politik
antara golongan “federalis” yang ingin tetap mempertahankan bentuk negara bagian dengan
golongan “unitaris” yang menghendaki negara kesatuan. Pada tanggal 23 Januari 1950 di
Bandung Kapten Raymond Westerling memimpin gerombolan Angkatan Perang Ratu Adil
(APRA). Gerombolan ini memberikan ultimatum kepada pemerintah RIS dan Negara Pasundan
agar mereka diakui sebagai “Tentara Pasundan” dan menolak usaha-usaha untuk
membubarkan negara boneka tersebut. Gerombolan APRA yang menyerang kota Bandung
gersebut berjumlah kurang lebih 800 orang dan terdiri dari bekas KNIL. Dalam serangannya ke
kota Bandung, tentara APRA juga melakukan perampokan-perampokan. Upaya pemerintah RIS
untuk menumpas gerombolan APRA tersebut dengan mengirimkan bantuan kesatuan-kesatuan
polisi dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akhirnya pada tanggal 24 Januari 1950 pasukan TNI
berhasil menghancurkan gerombolan APRA sedangkan Westerling melarikan diri ke luar negeri
dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda.
Pemberontakan ini terjadi di Ambon pada tanggal 25 April 1950 yang dilakukan oleh orang-
orang Indonesia bekas anggota KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) yang pro Belanda.
Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dipimpin oleh Dr. Soumokil, bekas Jaksa Agung
Negara Indonesia Timur. Untuk menumpas pemberontakan RMS, pemerintah semula mencoba
menyelesaikan secara damai dengan mengirimkan suatu misi yang dipimpin oleh Dr. Leimena.
Akan tetapi upaya ini tidak berhasil. Oleh karena itu pemerintah segera mengirimkan pasukan
ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel AE. Kawilarang. Pada tanggal 25 September 1950 seluruh
Ambon dan sekitarnya dapat dikuasai oleh pasukan pemerintah. Dalam pertempuran melawan
pemberontak RMS ini gugurlah seorang pahlawan ketika memperebutkan benteng Nieuw
Victoria, yakni Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Tokoh-tokoh lain dari APRIS (TNI) yang gugur
adalah Letnan Kolonel S. Sudiarso dan Mayor Abdullah.
d. Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Pemberontakan
Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta)
Pertentangan antara Pemerintah Pusat dan beberapa Daerah yang menjadi pangkal
permasalahan adalah masalah otonomi dan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah.
Pertentangan ini semakin meruncing dan terbentuklah Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan
Manguni, dan pengambilalihan kekuasaan pemerintah setempat akhirnya pecah menjadi perang
terbuka pada bulan Februari 1958, yang dikenal sebagai pemberontakan PRRI-Permesta. Pada
tanggal 10 Februari 1958 Letnan Kolonel Ahmad Husein mengultimatum kepada pemerintah
pusat agar dalam waktu 5 x 24 jam seluruh anggota Kabinet Juanda mengundurkan diri.
Pemerintah mengambil sikap tegas dalam menghadapi ultimatum tersebut.
Pada tanggal 1 Maret 1957 Letnan kolonel H.N. Ventje Sumual, panglima TT VII Timur
mengikrarkan Gerakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Gerakan ini menuntut
dilaksanakannya Repelita dan pembagian pendapatan daerah secara adil, yakni daerah surplus
mendapat 70 % dari hasil ekspor. Tokoh-tokoh lain yang mendukung Permesta ini antara lain
Mayor Gerungan, Mayor Runturambi, dan Letnan Kolonel Saleh Lahade. Gerakan Permesta ini
dapat menguasai daerah Sumatera Utara dan Sumatera Tengah. Gerakan ini juga mendapat
bantuan dari seorang penerbang sewaan berkebangsaan Amerika bernama Allan Lawrence
Pope. Untuk menumpas PRRI di Sumatera dan Permesta di Indonesia bagian timur ini
pemerintah mengambil sikap tegas yakni dengan kekuatan senjata.
Dengan berbagai operasi di atas akhirnya para pimpinan PRRI menyerah. Pada tanggal 29 Mei
1961 secara resmi Achmad Husein melaporkan diri beserta anak buahnya. Sedangkan untuk
menumpas pemberontakan Permesta di Indonesia bagian Timur dilancarkan operasi gabungan,
yakni Operasi Merdeka di bawah pimpinan Kolonel Rukminto Hendraningrat. Pada tanggal 18
Mei 1958 pesawat Allan Lawrence Pope ditembak jatuh di kota Ambon dan pada bulan Agustus
1958 gerakan Permesta dapat ditumpas. Adapun sisa-sisa gerakan ini masih ada sampai tahun
1961 namun atas seruan pemerintah untuk kembali ke NKRI mereka berangsur-angsur
memenuhi himbauan pemerintah Indonesia. Berbagai pergolakan di daerah tersebut di atas
sebagai dampak dari hubungan pemerintah pusat dan daerah yang kurang harmonis. Dengan
demikian kehidupan politik nasional dan daerah sampai awal tahun1960-an tidak stabil
Pengakuan kedaulatan ternyata belum bisa menyelesaikan perjuangan yang dijalankan bangsa
Indonesia. Belanda meninggalkan beban utang luar negeri kita sebesar Rp1,5 miliar dan utang
dalam negeri sejumlah Rp2,8 miliar.
Defisit pemerintah waktu itu sejumlah Rp5,1 miliar. Ada beberapa langkah yang diambil oleh
pemerintah untuk mengurangi beban tersebut.
2) Pemerintah mengajukan pinjaman kepada negara-negara luar. Jumlah yang didapat dari
pinjaman wajib sebesar Rp1,6 miliar dan dari negeri Belanda sebesar Rp200.000.000,00.
Pinjaman-pinjaman itu bisa digunakan untuk mengurangi defisit.
3) Pemerintah berusaha mendapatkan kredit dari luar negeri. Kredit tersebut akan digunakan
untuk pembangunan prasarana ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah mengirim Misi Djuanda.
Menteri Kemakmuran Ir. Djuanda dikirim ke Amerika Serikat dan mendapat kredit dari Exim
Bank of Washington sejumlah $ 100.000.000.
Mulai tahun 1951 penerimaan pemerintah mulai berkurang. Saat itu volume perdagangan
internasional mengalami penurunan. Indonesia sendiri tidak memiliki barang-barang ekspor
lainnya kecuali hasil perkebunan.
Hal itu diperparah dengan semakin tingginya pengeluaran pemerintah. Pengeluaran ini
dilatarbelakangi adanya ketidakstabilan situasi politik, perluasan program pemerintah, dan
biaya untuk operasioperasi keamanan dalam negeri.
Kondisi itu menimbulkan defisit anggaran. Oleh karena defisit ini, ada kecenderungan untuk
mencetak uang baru. Dampak selanjutnya adalah tingginya laju inflasi yang bisa menghambat
produksi karena naiknya upah.
Ir. Soekarno
Ir. Soekarno merupakan Presiden pertama Republik Indonesia. Bung Karno lahir di Surabaya,
Jawa Timur, 6 Juni 1901, dan meninggal di Jakarta, pada 21 Juni 1970.
Bung Karno menyusun konsep teks proklamasi di rumah Laksamana Tadashi Maeda bersama
Bung Hatta dan Mr. Achmad Soebardjo.
Ia kemudian menandatangani teks proklamasi atas nama bangsa Indonesia bersama Bung
Hatta. Bung Karno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di kediamannya di
Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta.
Drs. H. Mohammad Hatta
Drs. H. Mohammad Hatta atau Bung Hatta, lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, 12 Agustus 1902.
Beliau wafat di Jakarta, 14 Maret 1980 pada usia 77 tahun. Bung Hatta berperan menyusun
konsep teks proklamasi bersama Bung Karno dan Mr. Achmad Soebardjo.
Ia ikut menandatangani teks proklamasi atas nama bangsa Indonesia bersama Bung Karno.
Mohammad Hatta adalah Wakil Presiden pertama Indonesia. Selain itu, beliau juga dikenal
sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo lahir di Karawang, Jawa Barat, 23 Maret 1896, dan wafat
pada 15 Desember 1978 pada usia 82 tahun. Beliau Menteri Luar Negeri Indonesia yang
pertama. Achmad Soebardjo merupakan salah seorang tokoh dari golongan tua yang berperan
mempersiapkan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Achmad Soebardjo berperan menyusun
konsep teks proklamasi di rumah Laksamana Tadashi Maeda bersama Bung Karno dan Bung
Hatta.
Laksamana Tadashi Maeda
Laksamana Tadashi Maeda merupakan seorang perwira tinggi Angkatan Laut Kekaisaran
Jepang. Beliau membantu persiapan konsep teks Proklamasi Kemerdekaan dengan
mempersilakan rumahnya digunakan untuk kegiatan penting.
Di rumahnya berkumpul para tokoh bangsa yang berjasa besar. Walau beliau orang Jepang,
beliau rela membantu Indonesia dalam mempersiapkan proklamasi kemerdekaan karena
simpati terhadap rakyat Indonesia.
Sukarni
Sukarni lahir di Blitar, Jawa Timur, 14 Juli 1916. Beliau wafat di Jakarta, 7 Mei 1971 pada usia
54 tahun. Nama lengkapnya adalah Sukarni Kartodiwirjo.
Sukarni adalah salah seorang tokoh pemuda dan pejuang yang gigih melawan penjajah. Sukarni
mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi adalah Bung Karno dan Bung Hatta
atas nama bangsa Indonesia.
Fatmawati
Fatmawati yang bernama asli Fatimah, lahir di Bengkulu pada 1923, dan meninggal dunia di
Jakarta pada 1980. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Kalibata, Jakarta.
Fatmawati merupakan sosok yang menjahit bendera pusaka sang Saka Merah Putih yang
dikibarkan pada upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No.
56, Jakarta.
Sayuti Melik
Teks proklamasi kemerdekaan diketik oleh Sayuti Melik. Sayuti Melik adalah tokoh pemuda
yang juga sangat berperan dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Sayuti Melik mengetik naskah proklamasi setelah ia sempurnakan dari tulisan tangan Bung
Karno.
Salah satu dampak politik etis dalam bidang pendidikan yakni melahirkan golongan intelektual
atau kaum terpelajar. Kaum intelektual merupakan kaum cerdik pandai dan berwawasan luas.
Kaum intelektual berhasil menumbuhkan
nasionalisme yang diwujudkan dalam pergerakan nasional yang modern. Kaum intelektual
membukakan mata bahwa menggunakan cara tradisional untuk berjuang dengan bamboo
runcing, tidak terlalu berhasil. Harus menggunakan organisasi yang bersifat modern. Menurut
kaum intelektual, perjuangan tidak boleh tergantung
Pada umumnya, bentuk kerja sama internasional dilakukan dalam bidang politik, hukum,
ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Berikut bentuk kerja sama Indonesia dengan negara lain
di bidang-bidang tersebut.
Bidang Politik
Mengutip buku Pendidikan Kewarganegaraan SMA Kelas XI oleh Drs. Hasim M, salah satu kerja
sama pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain dalam bidang politik meliputi kerja
sama bilateral maupun multilateral , di antaranya:
Kerja sama dengan organisasi Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi
Islam.
Kerja sama ASEAN dengan negara-negara di Asia Tenggara yang tergabung dalam
ASEAN.
Bidang Hukum
Sama seperti di bidang politik, kerja sama dalam bidang hukum meliputi kerja sama yang
sifatnya bilateral atau multilateral. Kerja sama dalam bidang hukum antara lain:
Kerja sama antara Kepolisian RI dengan negara-negara lain yang tergabung dalam
Interpol.
Bidang Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, kerja sama antara Indonesia dengan negara lain meliputi kerja sama
bilateral, regional, multilateral, serta kerja sama dengan organisasi internasional lainnya. Kerja
sama dalam bidang ekonomi misalnya:
Sosial Budaya
Kerja sama dalam bidang sosial budaya umumnya meliputi kerja sama pendidikan, teknologi,
pertukaran budaya. Beberapa kerja sama dalam bidang sosial budaya, yaitu:
Pertukaran pelajar.
Pemberian Beasiswa.
Pertukaran dosen.
Tampilnya budaya Indonesia di acara internasional.
Pertukaran tenaga ahli dan teknologi tinggi seperti pembuatan pesawat dan teknologi
nuklir.
Kerja sama bidang militer atau pertahanan dan keamanan yang dilakukan dilakukan Indonesia
dengan negara lain di antaranya:
Dinamika politik, perubahan sosial ekonomi pada masa Orde Baru dan reformasi
Kehidupan Politik :
Kehidupan Ekonomi :
Revolusi Industri lahir dengan latar belakang ilmu pengetahuan yang pekat. Ketika Indonesia
dijajah oleh Inggris, maka hal itu pun sangat berpengaruh. Raffless yang dalam kesempatan
tersebut menjadi gubernur jendral yang sangat perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan alam,
maka salah satu bunga bangkai yang ditemukan di Bengkulu dinamai dengan bunga Raflesia
Arnoldi. Bahkan, Kebun Raya Bogor juga merupakan itikad dari istri Raffles. Dalam hal ilmu
perbintangan, di Bandung didirikan pula tempat obsevasi yang didirikan Van den Bosch.
Seiring dengan munculnya hubungan Hindia Belanda dengan Inggris, maka sedikit demi sedikit
masyarakat Indonesia dikenalkan juga dengan kemajuan teknologi tersebut. Penjajahan
Indonesia yang sempat kembali ke tangan Belanda menghentikan kemajuan tersebut, namun
dalam perkembangan kontemporer, pengaruh Revolusi Industri sangat terlihat dan terasa.
Pada masa ini juga dilakukan pembangunan jalur kereta api dilakukan antara Bayah-Cikara
(Banten) sepanjang 83 kilometer, kemudian dilakukan pembangunan jalur Muaro-Pakanbaru
sepanjang 22 kilometer. Pembangunan jalur kereta api yang dilakukan pada masa pendudukan
Jepang ini mengerahkan tenaga romusha atau pekerja paksa dan banyak menelan korban.
Setelah Indonesia merdeka (17 Agustus 1945), karyawan kereta api yang tergabung dalam
Angkatan Moeda kereta api (AMKA) mengambil-alih perusahaan perkeretaapian dan pihak
Jepang. Peristiwa bersejarah ini terjadi tanggal 28 September 1945 dan kemudian diperingati
sebagai Hari Kereta Api Indonesia.
Sedangkan dalam bidang pertanian diperkenalkannya sistem baru bagi pertanian yaitu line
system. Sistem ini akan memberikan pengaturan bercocok tanam yang efisien sehingga akan
meningkatkan produksi pangan.
Pada awal kemerdekaan, perkembangan iptek yang paling terlihat adalah di bidang informasi.
Contohnya radio. radio berperan menyebarkan berita Proklamasi. Tanggal 11 September 1945
diadakan rapat di Jakarta yang dipimpin oleh Abdurrachman Saleh dan dihadiri oleh 16
pemimpin dari Jakarta, Bandung, Purwokerto, Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta.
Pada masa orde baru Indonesia membangun Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD)
Palapa. SKSD Palapa adalah sistim satelit komunikasi yang dikendalikan oleh sistim satelit
komunikasi pengendali bumi yang dibuat oleh HAC (Hughes Aircraft Company) Perumtel
Indonesia. Nama Palapa diambil dari sumpah Gajah Mada yang akan mempersatukan
Nusantara.
SKSD Palapa dibangun tahun 1974-1976 dengan peluncuran generasi 1-A1. Sampai tahun 1996
sudah generasi 3 dengan code C2 yang jarak jangkauannya dari Irian sampai Vladiovostok
(Rusia), dari Australia sampai Selandia Baru. Juga dipakai oleh Negara-negara tetangga,
Australia, Papua Nugini, Maca, Selandia Baru, dan Vietnam.
Pada masa orde baru pula Indonesia Televisi mulai menyebar luas. TVRI lahir berdasarkan SK
Merpen tahun 1961 untuk menayangkan semua kegiatan kejuaraan Asia Games IV di Jakarta.
Proyek ini ditangabi oleh perusahaan elektronika Jepang Nippon Electric Company (NEC). TVRI
berhasil mengudara pada acara liputan 17 Agustus 1962 di Istana Negara. Tanggal 24 Agustus
1962, TVRI diresmikan oleh Presiden Soekarno.
Internet mulai booming pada masa reformasi. Internet sebagai media komunikasi, merupakan
fungsi internet yang paling banyak digunakan dimana setiap pengguna internet dapat
berkomunikasi dengan pengguna lainnya dari seluruh dunia.
Jaringan perdagangan dan posisi Indonesia Diambil dari buku The Silk Roads: Highways of
Culture and Commerce (2000) karya Vadime Elisseeff, sejak abad ke-5 Indonesia sudah dilintasi
jalur perdagangan laut antara India dan China. Jalur perniagaan dan pelayaran yang melalui laut,
dimulai dari China menuju Kalkuta, India. Di mana jalur tersebut melalui Laut China Selatan
kemudian Selat Malaka.