Anda di halaman 1dari 10

GAMBARAN KEBIASAAN MEROKOK DI INDONESIA

BERDASARKAN INDONESIA FAMILY LIFE SURVEY 5


(IFLS 5)

Nisa Nisrina Salsabila1*, Noormarina Indraswari2, Budi Sujatmiko2

1Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran, Bandung

2Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedoketran, Universitas Padjadjaran, Bandung

* korespondensi: nisa17001@mail.unpad.ac.id

Abstrak
Karakteristik dan pola kebiasan merokok adalah data yang sangat penting dalam upaya
pengembangan program pengendalian merokok di Indonesia. Namun sampai saat ini belum ada data
yang komprehensif dan sistematik yang mewakili seluruh masyarakat Indonesia. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui karakteristik perokok, kebiasaan merokok, dan ketergantungan merokok
dalam kebiasaan merokok di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif cross-sectional
dengan menggunakan data IFLS 5. Subjek penelitian adalah penduduk berusia 15 tahun keatas dengan
jumlah sebanyak 12.591 orang. Hasil penelitian menunjukan bahwa perokok di Indonesia sebagian
besar berjenis kelamin laki-laki (95%), hanya lulusan SD (35%), bekerja (80%), memiliki ekonomi
rendah (79%), dan tinggal di perkotaan (57%). 46% mulai merokok saat remaja dengan jenis rokok
yang sering digunakan adalah rokok kretek filter. Nilai tengah rokok yang dikonsumsi adalah 12
batang/hari dengan pengeluaran Rp11.000,00/pembelian dan Rp56.000,00/minggu. 46% perokok
merokok >60 menit setelah bangun tidur, 68% sulit menahan diri untuk tidak merokok di tempat yang
terlarang, 37% perokok berat untuk tidak merokok di pagi hari, 21% perokok langsung merokok
setelah bangun tidur, dan 22% dari perokok akan tetap merokok pada saat sakit. Kondisi ini
menunjukan perilaku merokok masyarakat Indonesia yang buruk, sehingga diperlukan intervensi
berupa edukasi yang komprehensif, baik personal dan/atau komunitas pada kelompok dengan
demografi dan karakteristik tersebut.

Kata kunci: IFLS 5, Merokok, Karakteristik Perokok, Kebiasaan Merokok, Ketergantungan Merokok

Abstract
The characteristics and patterns of smoking behavior are very important data to develop smoking
control programs in Indonesia. However, until now there is no comprehensive and systematic data
that represents all Indonesian people. This study aims to determine smokers, smoking habits, and
smoking addiction in smoking habits in Indonesia based on IFLS 5. Using cross-sectional descriptive
using IFLS 5 data. The research subjects are residents aged 15 years and over with a total of 12,591.
The results show that smokers in Indonesia are mostly male (95%), only elementary school graduates
(35%), work (80%), have a low economy (79%), and live in urban areas (57%). 46% started smoking
as a teenager with the type of cigarette that is often used is filtered kretek cigarettes. The median
value of cigarettes consumed is 12 cigarettes/day by spending Rp. 11,000.00/purchase and Rp.
56,000.00/week. 46% of smokers smoke >60 minutes after waking up, 68% find it difficult to stop
smoking in prohibited places, 37% of heavy smokers do not smoke in the morning, 21% smoke
immediately after waking up and 22% of smokers will continue to smoke when sick. This condition
shows the poor smoking behavior of Indonesian people. So, it is necessary to intervene in the form of
comprehensive education both personal and/or community in groups with these demographics and
characteristics.

Keywords: IFLS 5, Smokers Characteristics, Smoking, Smoking Behavior, Smoking Dependence

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 13 Vol. 7 No. 1


PENDAHULUAN Berdasarkan WHO Report on the
Kebiasaan merokok sudah menjadi Global Tobacco Epidemic 2008, terdapat 6
masalah kesehatan utama yang terjadi di kebijakan yang digunakan untuk mengurangi
berbagai negara. Secara global, jumlah konsumsi rokok, yaitu memonitor kebijakan
perokok di seluruh dunia mencapai 1,3 milyar penggunaan dan pencegahan tembakau,
orang dengan 942 juta laki-laki dan 175 juta melindungi orang-orang dari asap rokok,
perempuan yang berusia 15 tahun lebih (Drope menawarkan bantuan untuk berhenti
et al., 2018). Menurut The Tobacco Control menggunakan tembakau, memperingatkan
Atlas ASEAN Region 4th Edition menunjukan mengenai bahaya merokok, menegakkan
bahwa Indonesia merupakan negara dengan larangan pada periklanan, promosi merokok,
jumlah perokok terbanyak di Association of dan peningkatan pajak rokok (WHO, 2008).
Southeast Asian Nations (ASEAN) dengan Direktorat Promosi Kesehatan dan
persentase perokok usia antara 25-64 tahun Pemberdayaan Masyarakat Kementerian
(36,3%) dimana sebanyak 66% perokok laki- Kesehatan melaksanakan program GERMAS
laki dan 6,7% perokok perempuan (Lian dan (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) yang
Dortheo, 2018). Prevalensi berhenti merokok bertujuan untuk memasyarakatkan budaya
meningkat sesuai dengan peningkatan usia hidup sehat yang memiliki 7 langkah, salah
(National Institute of Health Research and satunya adalah gerakan untuk tidak merokok
Development Ministry of Health of İndonesia, disertai cara menghindari perilaku merokok,
2011). Indonesia merupakan negara ke-5 karena memberi dampak buruk bagi kesehatan
terbesar dalam produksi tembakau. Total (Direktorat Promosi Kesehatan dan
produksi pada tahun 2011 sebanyak 258 juta Pemberdayaan Masyarakat Kementerian
batang tembakau dengan mayoritas perokok Kesehatan, 2017). Selain itu, Kementerian
dewasa di Indonesia mengonsumsi rokok Kesehatan juga telah melakukan
kretek saja, 5,6% hanya mengonsumsi rokok pengembangan Kawasan Tanpa Rokok di 7
linting, 3,7% hanya mengonsumsi rokok putih tatanan yang bertujuan untuk menurunkan
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, angka kecanduan rokok (Kementerian
2018). Kesehatan, 2011). Program RIAS (Remaja
Banyak sekali dampak negatif yang Siaga Asap Rokok) juga telah dilaksanakan di
dihasilkan seorang perokok, baik perokok aktif kota Bandung yang bertujuan untuk mencegah
maupun perokok pasif. Jika dilihat dari aspek dan mengatasi adiksi rokok pada remaja
kesehatan, rokok akan berdampak pada (Rahayuwati et al., 2018). Namun kebijakan
sirkulasi darah, jantung, lambung, kulit, ini belum cukup efektif untuk mengendalikan
tulang, otak, paru-paru, mulut dan kebiasaan merokok di masyarakat.
tenggorokan, reproduksi dan fertilitas, Indonesia Family LIFE Survey (IFLS)
termasuk dapat meningkatkan risiko infeksi merupakan survei longitudinal yang
tuberkulosis (TB) (Nhs.uk), (Rea dan Leung, dilaksanakan oleh Research and Development
2018), (Muthiah, Indraswari, dan Sujatmiko, (RAND) bekerjasama dengan lembaga
2019). Perokok di Indonesia 45% mengalami penelitian di masing-masing survei, sampelnya
stroke, 81% mengalami serangan jantung, dan sekitar 83% dari populasi Indonesia, dan berisi
85% mengalami kanker paru-paru (Asma et lebih dari 30.000 orang (13 dari 27 provinsi).
al., 2015). Selain itu, merokok juga dapat IFLS dilaksanakan dengan tujuan mempelajari
menyebabkan seseorang menjadi perilaku dan kesejahteraan ekonomi dan non-
ketergantungan yang berarti tidak dapat ekonomi dengan mengambil informasi secara
berhenti merokok dan selalu membutuhkan individu, keluarga, dan komunitas yang sudah
rokok dalam keadaan apapun (Charlotte berlangsung lama dari mulai IFLS 1
Herrick, 2010). (1993/1994), IFLS 2 (1997/1998) IFLS 3

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 14 Vol. 7 No. 1


(2000), IFLS 4 (2007/2008), dan yang terakhir jumlah 12.591 orang dari total populasi
adalah IFLS 5 (2014/2015). sebanyak 34.271 orang.
Mengingat semakin banyaknya Variabel penelitian yang ada di dalam
penduduk Indonesia merokok sehingga penelitian ini adalah identitas perokok yang
semakin banyak dampak negatif dari mencakup usia, jenis kelamin, pendidikan,
kebiasaan merokok terutama yang akan pekerjaan, ekonomi, dan lokasi; kebiasaan
dirasakan di kemudian hari maka penting merokok yang mencakup usia pertama kali
untuk dilakukan pencegahan secara tepat dan merokok, jenis rokok, konsumsi rokok/hari,
efektif. Perancangan upaya pencegahan pemakaian uang setiap pembelian, pemakaian
kebiasaan merokok yang baik memerlukan uang dalam satu minggu, dan usia berhenti
pengetahuan tentang karakteristik dari merokok; dan ketergantungan merokok yang
kebiasaan merokok itu sendiri. Selama ini mencakup jeda waktu antara merokok dna
belum ada data karakteristik dan pola kebiasan bangun tidur, ketahanan diri untuk tidak
merokok di Indonesia yang dilaporkan secara merokok di tempat yang terlarang, kondisi
komprehensif dan mewakili seluruh paling berat untuk tidak merokok, kondisi
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, peneliti banyak merokok setelah bangun tidur, dan
ingin mengetahui dan mengeksplorasi merokok saat sakit.
gambaran kebiasaan merokok pada Survei IFLS 5 berada dibawah
masyarakat Indonesia berdasarkan IFLS 5. pengawasan Institutional Review Boards
Hasil yang didapatkan dari penelitian ini (IRBs) di Amerika Serikat (RAND) dan
sangat penting, karena hasilnya dapat Indonesia (Universitas Gadjah Mada). Selain
dijadikan sebagai acuan oleh Dinas Pendidikan itu, pengambilan data dilakukan setelah
dan Dinas Kesehatan dalam upaya pencegahan mendapatkan izin dari Komite Etik Penelitian
yang lebih tepat sasaran dan lebih efektif, juga Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
bisa dijadikan sebagai bahan studi lebih lanjut. Padjadjaran No: 648.UN6.KEP/EC/2020. Data
yang telah diperoleh diproses menggunakan
METODE aplikasi SPSS yang kemudian disajikan dalam
Penelitian ini dilakukan dengan bentuk tabel. Untuk data numerik akan
metode deskriptif cross-sectional disajikan dalam median dan nilai minimal
menggunakan data IFLS 5. Survei yang maksimal, sedangkan data kategorikal akan
dilakukan oleh IFLS bersifat berkelanjutan disajikan dalam jumlah dan persentase.
yang diambil secara acak dari sampel rumah
tangga pada daerah urban/rural di 13 provinsi HASIL
(Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selama periode penelitian, didapatkan
Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, 12.591 subjek penelitian yang diteliti. Tabel 1
Jawa Tengah, DI Yogyakarya, Jawa Timur, menggambarkan karakteristik perokok yang
Bali, NTB, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi mencakup usia, jenis kelamin, pendidikan,
Selatan) dengan menggunakan kuesioner. pekerjaan, ekonomi, dan lokasi yang
Survei berkelanjutan ini dilakukan selama didapatkan dari data IFLS 5. Berdasarkan usia,
beberapa periode survei. Survei berkelanjutan perokok di Indonesia memiliki nilai tengah 38
juga merupakan survei yang melakukan dengan perokok termuda pada usia 15 tahun
monitoring terhadap perkembangan dan/atau dan perokok tertua pada usia 110 tahun.
perubahan yang terjadi pada sampel penelitian. Berdasarkan jenis kelamin, mayoritas perokok
IFLS 5 diterbitkan pada tahun 2014-2015. di Indonesia adalah laki-laki yaitu sebesar
Subjek penelitian ini adalah penduduk berusia 11.908 orang (95%). Berdasarkan pendidikan,
15 tahun keatas yang merokok dengan orang yang memiliki pendidikan terakhir SD
menggunakan total sampling yaitu lebih banyak merokok dengan persentase
pengambilan seluruh sampel yang ada dengan sebesar 35%. Berdasarkan pekerjaan, orang

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 15 Vol. 7 No. 1


yang bekerja lebih banyak merokok masyarakat ekonomi tinggi dengan persentase
dibandingkan tidak bekerja dengan persentase sebesar 79% dan jika dilihat berdasarkan
sebesar 80%. Dilihat berdasarkan ekonomi, lokasi, perokok lebih banyak tinggal di
masyarakat dengan ekonomi rendah lebih perkotaan dibanding dengan yang tinggal di
banyak merokok dibandingkan dengan yang pedesaan yaitu sebesar 57%.

Tabel 1. Karakteristik Perokok


Variabel N / Me %/Min-Max
Umur (n=12588) 38 15-110
Jenis Kelamin (n=12589)
Perempuan 681 5
Laki-laki 11908 95
Pendidikan (n=12040)
Tamat SD 4189 35
Tamat SMP 2484 21
Tamat SMA 4024 33
Tamat D1/D2/D3 PT 1306 11
Lainnyaa 37 0
Pekerjaan (n=12589)
Tidak Bekerjab 2538 20
Bekerja 10051 80
Ekonomi (n=11222)
Ekonomi rendah 8869 79
Ekonomi tinggi 2353 21
Lokasi (n=12591)
Pedesaan 5458 43
Perkotaan 7133 57
aLainnya termasuk pesantren, sekolah luar biasa, dll.
bTidak bekerja termasuk mencari pekerjaan, masih sekolah, pensiun, sakit, ibu rumah tangga, dll.

Tabel 2 menunjukkan hasil kebiasaan tertinggi sebanyak 98 batang/hari. Pengeluaran


merokok berdasarkan IFLS 5. Dari data, rata-rata sebesar Rp11.00,00/pembelian dan
ditemukan 46% memulai pertama kali merokok Rp56.000,00/minggu dengan pengeluaran
pada rentang usia 15-19 tahun, jenis rokok yang tertinggi sebesar Rp500.000,00/pembelian dan
paling sering digunakan adalah rokok kretek Rp840.000,00/minggu. Untuk usia berhenti
filter. Rokok yang dihabiskan dalam satu hari merokok paling banyak berhenti pada usia 25-44
rata-rata 12 batang/hari dengan konsumsi tahun dengan persentase sebesar 43%.

Tabel 2. Kebiasaan merokok


Variabel N / Me %/Min-Max

Usia Pertama kali merokok (n=11920)

5-9 tahun 91 1
10-14 tahun 1413 12
15-19 tahun 5470 46
20-24 tahun 2978 25
25-29 tahun 1049 9

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 16 Vol. 7 No. 1


Variabel N / Me %/Min-Max
≥30 tahun 919 7

Jenis Rokoka (n=11244)


Rokok putih filter 3144 28
Rokok putih tanpa filter 118 1
Rokok kretek filter 5975 53
Rokok kretek tanpa filter 2005 18
Cerutu 2 0

Konsumsi Rokok/hari (batang, n=12264) 12 0-98

Pemakaian uang setiap pembelian (Rp, n=10341) 11000 0-500000

Pemakaian uang dalam satu minggu (Rp,


56000 0-840000
n=12339)
Usia berhenti merokok (n=1597)
15-24 tahun 285 18
25-44 tahun 679 43
45-64 tahun 456 28
≥65 tahun 177 11
aJenis rokok yang dipakai bisa lebih dari 1 jenis

Tabel 3 menunjukkan ketergantungan merokok di tempat yang terlarang. Menurut data,


perokok terhadap rokok. Dari data yang tersedia, 37% perokok berat untuk tidak merokok di pagi
ditemukan bahwa mayoritas perokok merokok hari, 21% perokok banyak merokok setelah
dengan jeda waktu sebanyak >60 menit dari bangun tidur dan 22% dari perokok akan tetap
bangun tidur dan tidak tahan untuk tidak merokok saat sakit.

Tabel 3. Ketergantungan merokok


Variabel N / Me %/Min-Max
Jeda waktu merokok dan bangun tidur (n=12432)
5 menit 1355 11
6-30 menit 3075 25
31-60 menit 2208 18
>60 menit 5794 46

Ketahanan diri untuk tidak merokok di tempat


terlarang (n=11279)
Ya 3656 32
Tidak 7623 68
Kondisi paling berat untuk tidak merokok
(n=11276)
Merokok pertama di pagi hari
4205 37

Merokok di saat yang lain 7071 63


Kondisi banyak merokok setelah bangun tidur
(n=11279)

Ya 2363 21
Tidak 8916 79

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 17 Vol. 7 No. 1


Variabel N / Me %/Min-Max
Merokok saat sakit (n=11279)
Ya 2490 22
Tidak 8789 78

DISKUSI kecanduannya dalam merokok (Zhu et al.,


Indonesia merupakan negara dengan 2010). Namun, tingkat pendidikan bukan satu-
jumlah perokok terbanyak di ASEAN. Hal ini satunya faktor yang mempengaruhi perilaku
sesuai dengan Atlas Tembakau yang merokok pada seseorang. Kegiatan bekerja
mengatakan bahwa rentang usia antara 25-44 sambil merokok sudah menjadi budaya di
tahun dan lebih banyak pada laki-laki (Lian Indonesia, hal ini sesuai dengan laporan
dan Dortheo, 2018). Begitu juga prevalensi Riskesdas 2018 dan survei tembakau global
konsumsi tembakau pada penduduk Indonesia yang menyatakan bahwa perokok lebih banyak
usia ≥15 tahun pada 2007-2018 lebih banyak pada orang yang bekerja dibandingkan dengan
laki-laki yang merokok dibandingkan orang yang tidak bekerja (National Institute of
perempuan ( Badan Penelitian dan Health Research and Development Ministry of
Pengembangan Kementerian Kesehatan, Health of İndonesia, 2011), (Kementerian
2018). Survei nasional mendukung hasil ini Kesehatan, 2018). Penelitian di China pun
dengan menunjukan bahwa laki-laki yang mendukung hasil ini, yang menemukan bahwa
merokok 30 kali lipat lebih banyak dari pekerjaan memiliki pengaruh terhadap
perempuan (National Institute of Health peningkatan perilaku merokok (Wang et al.,
Research and Development Ministry of Health 2018).
of İndonesia, 2011), (Kementerian Kesehatan, Kondisi finansial yang buruk tidak
2018). Anggapan pembuktian sebagai laki-laki mempengaruhi perilaku seseorang untuk
sejati dengan merokok bisa menjadi suatu berhenti merokok. Hal tersebut sesuai dengan
alasan laki-laki lebih banyak merokok studi yang dilakukan pada remaja di Indonesia
dibandingkan perempuan (Ng, Weinehall dan yang menyebutkan bahwa perokok lebih
Öhman, 2007). banyak terjadi pada orang dengan ekonomi
Tingkat pendidikan mempengaruhi rendah (Kusumawardani et al., 2018). Begitu
perilaku seseorang dalam mengonsumsi rokok. juga dengan hasil penelitian di China Utara,
Semakin tinggi tingkat pendidikan maka yang menemukan bahwa semakin tingginya
semakin rendah konsumsi terhadap rokok. Hal tingkat merokok, semakin rendah
tersebut dikarenakan lebih terbentuknya sosioekonominya (Wang et al., 2019).
kesadaran terhadap bahaya merokok. Hal ini Menurut penelitian di Amerika Serikat,
serupa dengan hasil survei Ttembakau global dikatakan bahwa konsumsi rokok yang tinggi
yang menyatakan bahwa prevalensi merokok menyebabkan pengeluaran yang tinggi pula,
banyak pada orang yang memiliki pendidikan tekanan keuangan, dan kekurangan biaya
rendah (National Institute of Health Research untuk kebutuhan pangan rumah tangga
and Development Ministry of Health of (Siahpush et al., 2018). Menurut WHO, hal ini
İndonesia, 2011). Hal ini sejalan juga dengan terjadi karena adanya pengalihan kegunaan
penelitian yang dilakukan di China, bahwa uang yang seharusnya digunakan dalam
individu yang memiliki tingkat pendidikan memenuhi kebutuhan primer menjadi untuk
lebih tinggi ini memiliki kemungkinan yang pembelian rokok. Hal ini pula yang
kecil terhadap perilaku merokok (Wang et al., menyebabkan perekonomian semakin
2018). Selain itu, rendahnya pendidikan lebih memburuk, ditambah risiko penyakit yang
cenderung tidak memiliki upaya dalam disebabkan oleh rokok bisa menguras
berhenti merokok, bahkan dapat meningkatkan penghasilannya untuk berobat (WHO, 2004).

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 18 Vol. 7 No. 1


Pengeluaran kesehatan Indonesia akibat dari Health Research and Development Ministry of
konsumsi rokok tidak dalam nominal kecil. Health of İndonesia, 2011), (Kementerian
Berdasarkan data dari Lembaga Penerbit Kesehatan, 2018), (Asma et al., 2015). Hal ini
Badan Penelitian dan Pengembangan tentu memerlukan perhatian khusus, dimana
Kesehatan, total pengeluaran kesehatan akibat seseorang mulai merokok pada saat remaja
konsumsi rokok di Indonesia pada tahun 2015 yang mana tidak mengetahui risiko dan bahaya
adalah sebesar Rp 13,67 triliun (Kosen et al., dari rokok terutama efek ketagihan dan
2017). Tentu hal ini jika terjadi terus-menerus, dampak dari pembeliannya ini bisa menjadi
perekonomian rumah tangga akan semakin beban orang lain terutama keluarga
memburuk dengan pengeluaran yang akan (Kementerian Kesehatan, 2015).
semakin membesar. Rokok kretek filter menjadi rokok
Kesempatan bekerja di perkotaan lebih pilihan terbanyak pada perokok, yang sesuai
banyak dibandingkan di daerah pedesaan. dengan laporan yang menyebutkan bahwa
Kota menyediakan berbagai jenis lapangan jenis rokok yang sering digunakan adalah
pekerjaan dari hulu ke hilir. Seiring dengan rokok kretek. Jumlah rokok yang dihabiskan
banyaknya lapangan pekerjaan yang sekitar 11 batang/hari. Hal tersebut mirip
ditawarkan dengan tingkat pendapatan di dengan survei nasional yang menyebutkan
perkotaan yang lebih tinggi dibadingkan di bahwa rata-rata rokok yang dikonsumsi sekitar
pedesaan mendorong orang-orang desa 12.8 batang dalam satu harinya dan 8.6
terutama yang memiliki pendidikan rendah batang/minggu (National Institute of Health
untuk mencari pekerjaan di daerah perkotaan. Research and Development Ministry of Health
Hal itu menyebabkan perokok di kota lebih of İndonesia, 2011), (Kementerian Kesehatan,
banyak dibanding di desa. Namun hal ini 2018). Berdasarkan data pembelian rokok
bertolak belakang dengan hasil studi yang pada setiap pembelian dan setiap minggu,
menunjukan bahwa perokok lebih banyak hasilnya tidak berbeda jauh dengan hasil
yang tinggal di pedesaan dibandingkan survei tembakau global yang menyatakan rata-
perkotaan (National Institute of Health rata harga kretek per bungkus yang berisi 20
Research and Development Ministry of Health batang adalah sekitar Rp12.699,00 dengan
of İndonesia, 2011), (Kementerian Kesehatan, rata-rata pengeluaran per bulannya sebanyak
2018), (Wang et al., 2018). Perbedaan ini juga Rp198.761,00 atau sekitar
didukung dengan penelitian yang dilakukan Rp49.690,00/minggu (National Institute of
oleh Erika dkk. yang menemukan bahwa Health Research and Development Ministry of
penurunan merokok di pedesaan tertinggal Health of İndonesia, 2011).
daripada penurunan di perkotaan (Ziller et al., Terdapat perbedaan rentang usia
2019). berhenti merokok dengan hasil penelitian
Usia remaja merupakan usia yang sebelumnya. Di Amerika Serikat menunjukan
rentan dalam memulai perilaku merokok, bahwa perokok sudah berhenti merokok
karena pada usia tersebut remaja akan lebih berada pada rentang usia 18-24 tahun,
untuk mencari jati diri dengan mencoba-coba sedangkan jika dilihat dari rasa keinginan
hal baru dan mudah terpengaruh oleh orang untuk berhenti merokokonya berada pada usia
lain. Hal ini sesuai dengan hasil laporan 25-44 tahun (Babb et al., 2017). Begitu juga
Riskesdas 2018 yang melaporkan bahwa dengan hasil survei tembakau global yang
perokok memulai merokok mayoritas pada menunjukan bahwa usia yang paling banyak
usia 15-19 tahun, begitu pula dengan hasil sudah berhenti merokok berada pada rentang
survei tembakau pada dewasa secara global usia 15-24 tahun (National Institute of Health
menyebutkan bahwa rata-rata mulai merokok Research and Development Ministry of Health
pada usia 17.6 tahun yang paling banyak pada of İndonesia, 2011).
rentang usia 17-19 tahun (National Institute of

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 19 Vol. 7 No. 1


Rokok menyebabkan seseorang Indonesia (Universitas Gadjah Mada) dan juga
menjadi ketergantungan karena memiliki memiliki informed consent responden tertulis
nikotin didalamnya. Seseorang yang sudah sebelum pengumpulan data (Strauss, Witoelar
memiliki ketergantungan akan langsung and Sikoki, 2016).
merokok setelah bangun tidur. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian ini dan hasil KESIMPULAN DAN SARAN
surveitembakau global yang menunjukan Berdasarakan hasil analisis penelitian
bahwa kebanyakan orang mulai merokok ini tingkat konsumsi dan ketergantungan
dalam waktu >60 menit setelah bangun tidur merokok masyarakat Indonsia sudah sangat
(National Institute of Health Research and memprihatinkan. Perlu dilakukan intervensi
Development Ministry of Health of İndonesia, dan penanganan yang masif dan komprehensif
2011). Jeda waktu dan jumlah batang rokok terutama pada kelompok masyarakat dengan
dalam satu hari ini merupakan determinan karakter seperti laki-laki, remaja, masyarakat
untuk menentukan ketergantungan terhadap pedesaan, kalangan pekerja, dan kalanagan
nikotin, semakin rendahnya jeda waktu antara masyarakat berpenghasilan rendah.Pencegahan
bangun tidur dan merokok, maka semakin ini bisa dilakukan dari berbagai pihak
tinggi tingkat ketergantungannya terhadap termasuk individu yang harus memiliki
rokok (Fagerström, 2003). Tempat tidak pengetahuan dan niat yang baik untuk tidak
menjadikan suatu alasan bagi seseorang untuk merokok, keluarga, masyarakat, guru dan juga
tidak merokok, hal ini sesuai dengan data klinisi yang bisa memberikan informasi dan
Riskesdas 2018 yang menyebutkan bahwa dukungan untuk tidak merokok, selain itu juga
perokok tidak tahan untuk tidak merokok di pemerintah terutama Dinas Kesehatan dan
tempat umum (Kementerian Kesehatan, 2018). Dinas Pendidikan berperan penting dalam
Menurut Fagerstrom Test for Nicotine upaya pencegahan merokok. Upaya tersebut
Dependence (FTND) yang merupakan alat bisa dilakukan dengan pemberian informasi
untuk mengetahui ketergantungan seseorang yang jelas dan masif ditambah bantuan sosial
terhadap nikotin, terdapat 6 pertanyaan yang media yang sedang marak digunakan oleh
bisa dijadikan sebagai acuan, yaitu jeda waktu masyarakat mengenai bahaya dan risiko dari
merokok setelah bangun tidur, ketahanan diri rokok, sehingga penerimaan informasi bisa
untuk tidak merokok di tempat yang dilarang, lebih efektif dan jelas.
kondisi paling berat untuk tidak merokok,
jumlah batang rokok yang dihisap perhari, REFERENSI
kondisi banyaknya merokok setelah bangun Asma, S. et al. (2015) The Global Adult
tidur, dan kondisi merokok pada saat sakit Tobacco Survey Atlas, CDC Foundation.
doi: http://dx.doi.org/10.1002/cncr.23197
(Heatherton, Todd F. Kozlowski, Lynn T.
Frecker, Richard C. Fagerstrom, 1991). Setiap Babb, S. et al. (2017) ‘Quitting Smoking
jawaban memiliki nilai masing-masing untuk Among Adults — United States, 2000–
menunjukan ketergantungan terhadap nikotin. 2015’, MMWR, 65(52), pp. 1457–1464.
Penelitian ini memiliki keterbatasan, doi: 10.1016/s0084-3873(12)00225-8.
salah satunya adalah data yang tidak lengkap
diisi oleh responden, sehingga jumlahnya Charlotte Herrick, charles H. M. M. (2010)
100 Questions & Answers About How to
bervariasi yang seharusnya setiap variabel
Quit Smoking. America: Jones And
berjumlah 12.591. Hal ini mungkin disebabkan Bartlett.
karena responden kurang mengerti dengan
pertanyaan yang dimaksud pada kuesionernya. Drope, Jeffrey et al. (2018) The Tobacco
Data IFLS 5 dan prosedurnya sudah ditinjau Atlas.
dan disetujui oleh Institutional Review Boards
(IRBs) di Amerika Serikat (RAND) dan Fagerström, K. (2003) ‘Time to first cigarette;

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 20 Vol. 7 No. 1


The best single indicator of tobacco
dependence?’, Monaldi Archives for Chest Muthiah, A., Indraswari, N. and Sujatmiko, B.
Disease - Pulmonary Series, 59(1), pp. 91– (2019) ‘Karakteristik Pasien Tuberkulosis
94. Lost to Follow Up dari Empat RS di Kota
Bandung Characteristics of Tuberculosis
Heatherton, Todd F. Kozlowski, Lynn T. Lost to Follow Up Patients from Four
Frecker, Richard C. Fagerstrom, K. (1991) Hospitals in Bandung’, Jurnal
‘The Fagerström Test for Nicotine Epidemiologi Kesehatan Indonesia, 3(1),
Dependence: a revision of the Fagerstrom pp. 25–34.
Tolerance Questionnaire’, British Journal
of Addiction, 86(9), pp. 1119–1127. doi: National Institute of Health Research and
10.1111/j.1360-0443.1991.tb01879.x. Development Ministry of Health of
İndonesia, W. (2011) Global Adult
Kementerian Kesehatan Direktorat Promosi Tobacco Survey: Indonesia Report 2011.
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
(2017) GERMAS - Gerakan Masyarakat Ng, N., Weinehall, L. and Öhman, A. (2007)
Hidup Sehat. Available at: ‘“If I don’t smoke, I’m not a real man” -
https://promkes.kemkes.go.id/germas. Indonesian teenage boys’ views about
smoking’, Health Education Research,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 22(6), pp. 794–804. doi:
(2011) ‘Pedoman Pengembangan Kawasan 10.1093/her/cyl104.
Tanpa Rokok’, Pusat Promosi Kesehatan,
Kementerian Kesehatan Republik Nhs.uk (no date) Effects of smoking on the
Indonesia. body. Available at:
https://www.nhs.uk/smokefree/why-
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia quit/smoking-health-problems (Accessed: 6
(2018) Laporan Nasional Riskesdas 2018. November 2019).

Kementerian Kesehatan RI (2015) Perilaku Rahayuwati, L. et al. (2018) ‘Program RIAS


Merokok Masyarakat Indonesia (Remaja Siaga Asap Rokok): Mencegah
Berdasarkan Riskesdas 2007 dan 2013. dan Mengatasi Adiksi Rokok pada Remaja
doi: 24422-7659. di Cisaranten Kulon’, Media Karya
Kesehatan, 1(1), pp. 79–89. doi:
Kementerian Kesehatan RI Badan Penelitian 10.24198/mkk.v1i1.16863.
dan Pengembangan (2018) Hasil Utama
Riskesdas 2018, Kementrian Kesehatan Rea, E. and Leung, T. (2018) ‘A cluster of
Republik Indonesia Republik Indonesia. tuberculosis cases linked to smoking: An
doi: 1 Desember 2013. under-recognized challenge for tuberculosis
elimination’, Canada Communicable
Kosen, S. et al. (2017) Health and Economic Disease Report, 44(3/4), pp. 86–90. doi:
costs of Tobacco in Indonesia, Lembaga 10.14745/ccdr.v44i34a03.
Penerbit Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Siahpush, M. et al. (2018) ‘Socioeconomic
status and cigarette expenditure among US
Kusumawardani, N. et al. (2018) ‘Socio- households: Results from 2010 to 2015
economic, demographic and geographic Consumer Expenditure Survey’, BMJ
correlates of cigarette smoking among Open, 8(6), pp. 1–8. doi: 10.1136/bmjopen-
Indonesian adolescents: results from the 2017-020571.
2013 Indonesian Basic Health Research
(RISKESDAS) survey’, Global Health Strauss, J., Witoelar, F. and Sikoki, B. (2016)
Action. Taylor & Francis, 11(1), pp. 54–62. ‘The Fifth Wave of the Indonesia Family
doi: 10.1080/16549716.2018.1467605. Life Survey : Overview and Field Report’.

Lian, T. Y. and Dortheo, U. (2018) The Wang, Q. et al. (2018) ‘Income, occupation
Tobacco Control Atlas ASEAN Region. and education: Are they related to smoking

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 21 Vol. 7 No. 1


behaviors in China?’, PLOS ONE, 13(2), s/en/.
pp. 1–17. doi:
10.1371/journal.pone.0192571. WHO (2008) ‘WHO report on the global
tobacco epidemic, 2008: the MPOWER
Wang, X. et al. (2019) ‘The association package’.
between socioeconomic status, smoking,
and chronic disease in Inner Mongolia in Zhu, S. H. et al. (2010) ‘Disparity in smoking
northern China’, International Journal of prevalence by education: can we reduce
Environmental Research and Public it?’, Global health promotion, 17(1 Suppl),
Health, 16(2), pp. 1–12. doi: pp. 29–39. doi:
10.3390/ijerph16020169. 10.1177/1757975909358361.

WHO (2004) Tobacco increases the poverty of Ziller, E. C. et al. (2019) ‘Rural-urban
individuals and families, WHO. Available differences in the decline of adolescent
at: cigarette smoking’, American Journal of
https://www.who.int/tobacco/communicati Public Health, 109(5), pp. 771–773. doi:
ons/events/wntd/2004/tobaccofacts_familie 10.2105/AJPH.2019.304995.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia 22 Vol. 7 No. 1

Anda mungkin juga menyukai