Anda di halaman 1dari 6

Ringkasan Modul PWKL4203

Prasarana Wilayah dan Kota

Air Limpasan
Aliran permukaan atau air limpasan merupakan air hujan yang jatuh ke permukaan
bumi. Aliran permukaan merupakan bagian dari siklus hidrologi. Sebagian dari air hujan
yang jatuh ke permukaan bumi akan menjadi aliran permukaan dan sebagian lagi akan
masuk ke dalam tanah.

Kuantitas dan kualitas aliran permukaan sangat tergantung pada tingkat perkembangan
kota. Perkembangan kota umumnya ditandai dengan meningkatnya tutupan lahan yang
tidak permeable. Semakin banyak permukaan lahan yang tidak permeable, semakin
besar kuantitas aliran permukaan dan semakin buruk kualitasnya.

Hubungan antara luasan dan jenis tutupan lahan dapat dijelaskan dengan menggunakan
rumus rasional, yang didefinisikan sebagai Q=(250/9) C.A.R, dimana Q adalah aliran
permukaan (liter/detik), C adalah koefisien aliran permukaan atau faktor
impermeablilitas, A adalah luas lahan (hektar), dan R adalah intensitas hujan (cm/jam).
Berdasarkan rumus diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat sejumlah faktor yang
mempengaruhi kuantitas aliran permukaan, disamping luasan dan jenis tutupan lahan.
Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan sebagai faktor meteorologi dan elemen-
elemen daerah pengaliran. Faktor meteorologi meliputi intensitas hujan dan lamanya
curah hujan, sedangkan elemen-elemen daerah pengaliran meliputi kondisi daerah
pengaliran, luas daerah pengaliran, dan kondisi topografi.

Aliran permukaan mengandung sedimen, senyawa organik, nutrien, logam, klor, bakteri,
dan minyak, yang mana komponen-komponen ini sangat tinggi konsentrasinya di daerah
perkotaan

Penanganannya
Air limpasan, terutama di daerah perkotaan, perlu mendapat penanganan. Bentuk
penanganan yang biasa dilakukan adalah dengan membuat drainase, yaitu saluran yang
digunakan untuk mengalirkan air limpasan ke badan air penerima. Drainase dapat
diklasifikasikan berdasarkan cara terbentuknya, sistim pengalirannya, tujuan/sasaran
pembuatannya, tata letaknya, fungsinya, dan konstruksinya. Drainase merupakan suatu
sistem hirarki, yang terdiri dari drainase tersier, sekunder, dan primer. Drainase
sekunder dan tersier pada umumnya merupakan drainase buatan, sedangkan drainase
primer merupakan drainase alami, umumnya berupa sungai. Air limpasan mengalir dari
drainase tersier ke sekunder, selanjutnya ke drainase primer. Disamping berdasarkan
hirarki tersebut, drainase juga dapat dibagi menjadi saluran interseptor, saluran
kolektor, dan saluran konveyor. Struktur drainase membentuk pola-pola drainase yang
dapat dibagi menjadi pola siku, pola paralel, grid iron, alamiah, jaring-jaring, dan radial.

Penanganan terhadap air hujan pada saat ini telah mengalami pergeseran paradigma.
Paradigma lama menangani air limpasan dengan secepat-cepatnya mengalirkan air
limpasan ke badan air penerima. Paradigma baru menangani air limpasan dengan
memanfaatkan terlebih dahulu air limpasan tersebut sebelum dibuang ke badan air
penerima. Bentuk-bentuk infrastruktur berdasarkan paradigma baru tersebut tidak
hanya berupa saluran (drainase), tetapi dengan mengkombinasikan saluran dengan
detensi, extended detention, infiltrasi, dan pemanenan air hujan. Detensi adalah
infrastruktur yang bertujuan mengendalikan banjir di hilir dan mengurangi erosi dengan
cara memperlambat laju aliran, extended detention adalah infrastruktur yang berperan
dalam memperbaiki kualitas air dengan cara menampung air limpasan didalam kolam-
kolam penampungan. Selama berada di kolam penampungan, partikel-pertikel terlarut
akan mengendap dan bahan-bahan kimia akan terserap oleh sedimen-sedimen di bawah
permukaan kolam. Infiltrasi adalah infrastruktur yang dapat mengatasi persoalan banjir,
erosi, kualitas air, meningkatkan imbuhan air tanah, dan penyediaan air bersih, dengan
cara mengalirkan air limpasan secara vertikal ke dalam tanah. Infrastruktur pemanenan
air hujan adalah infrastruktur yang digunakan untuk menangkap dan menampung air
hujan dalam kolam-kolam penampungan, dan selanjutnya air hujan tersebut dapat
digunakan sebagai sumber air bersih.

Penanganan terhadap air limpasan pada dasarnya tidak hanya bersifat struktur melalui
penyediaan infrastruktur fisik seperti yang telah disebutkan, yaitu dengan menyediakan
drainase, kolam detensi, extended detention, infiltrasi, maupun infrastruktur
pemanenan air hujan. Penanganan air limpasan dapat pula berbentuk penanganan yang
bersifat non struktur. Penanganan non struktur dipercaya lebih dapat mengatasi
persoalan yang berkaitan dengan air limpasan dengan lebih efektif, bahkan upaya ini
juga lebih murah dibandingkan dengan upaya struktur. Bentuk penanganan non
struktural di antaranya pembatasan perkembangan kota, penetapan peraturan
menyangkut KDB, Garis Sempadan Jalan, Jarak Antar Bangunan, Garis Sempadan Sungai,
dan peraturan menyangkut pemanfaatan lahan lainnya maupun usaha penyuluhan
mengenai upaya pelestarian drainase kota.

Contoh : Gambar2
Gambar 4.3 Proses Masuknya Aliran Permukaan ke dalam Drainase

(Sumber: Buttler dan Davies, 2000)

Kolam

Gambar 4.10 Gambar Skematik Kolam Detensi


(Sumber: Ferguson, 1998)

Gambar 4.11 Contoh Kolam Detensi


(Sumber: www.graniteridgegroup.com)
Gambar 4.12 Penggunaan Ruang Terbuka yang sebagai
Tempat Menyimpan Air pada Musim Tertentu
(Sumber: Kiprah, 2011)

Kolam Outlet

Gambar 4.13 Gambar Skematik Extended Detention


(Sumber: Ferguson, 1998)
Gambar 4.14 Contoh Extended Detention
(Sumber: www.bossintl.com)

Gambar 4.14 Gambar Skematik Infiltrasi


(Sumber: Ferguson, 1998)

Gambar 4.15 Contoh Kolam Infiltrasi


(Sumber: portlandonline.com)
Gambar 4.16 Contoh Pemanenan Air Hujan

Anda mungkin juga menyukai