Anda di halaman 1dari 3

hheehehheeh

Bangsat! Kenapa orang-orang itu terus menertawaiku dari jauh sana. apa juga
salahku. Apakah karena baju berwarna pink ini yang membuat mereka tertawa
terjungkal-jungkal. Tawa mereka membuntutui setiap lirik pandangan mata.
Suaranya tiada tapi gigi dan gerahamnya nampak jelas kulihat dari sini. Aku
masih begitu ragu apakah juga benar mereka dari jauh di depanku itu
menertawaiku seorang yang duduk dibangku taman umum ini. pandangannya
lurus padaku. Tiada seorang disini kecuali diriku sendiri. Aku tengok kanan kiri
pun juga sama sepi senya tiada seorang manusia. Aku tengok belakang sama saja,
dibelakangku tertanam pagar hidup rerumputan yang amat tinggi setinggi dua
manusia dewasa. Hijau rerrumputan itu menyegarkan mata. Apakah karena
warnaa hijau itu mereka semua tertawa.

Aku geram melihat tawa mereka yang kiranya boleh dihitung tujuh orang. Aku
duduk sendiri disini menyaksikan tawa mereka yang tertuju padaku atau mungkin
sekitarku. Tawa mereka membuat hati menjadi gundah. Harga diriku dihinakan
oleh tawa yang aku sendiri tak tau kenapa. Darahku naik, aku tak kuasa menahan
amarah. Ada masalah apa juga pemuda-pemuda itu menertawaiku dengan
seenaknya. Tiada guntur tiada angin aku bagaikan monyet sirkus ynag menjadi
hiburan mereka. Aku bagaikan monyet jalanan yang menjajakan kepatuhan
kepada majikan untuk tawa mereka. Sialan!

Aku terus mengumpat. Niat hati pergi ketaman untuk menenangkan jiwa dan
pikiran sejenak justru aku malah mendapatkan tambahan keruwetan pikiran.
Dipandangnya aku oleh mereka membuatku tak sudi untuk berlama-lama duduk
disini. Padalah sudah kuluangkan waktu unutk pergi ke taman umum ini seorang
diri. Menikmati hijaunya rerumputan, rimbunnya pepohonan di tengah-tengah
gedung megah peradaban. Di tengah kemacetan dan keruwetan kehidupan
metropolitan aku masih bersyukur ada taman yang begitu menjakjubkan semacam
ini. taman seluas hampir 10 hektare di tumbuhi pohon-pohon besar menyejukkan.
Rumput-rumpput hijaunya juga terhampar luas. Mereka semua terawat dengan
indah dan rapi. Ada juga danau kecil. Uh. Begitu indah menyejukan hati,
menyegarkan mata. Tiada aku dapat menikmati hal semacam ini dikantorku
apalagi dijalan yang penuh keruwetan dan kemacetan. Hari-hariku dipenuhi
kebisingan ketika pekerjaan telah datang di senin yang begitu sial. Tetapi yang
begitu sialnya lagi hari ini. Rela aku jauh-jauh pergi dari pusat kota sedikit melipir
kepinggran sini untuk menikmati ketenangan pikir dan kesegaran mata. Aku juga
menyempatkan waktuku yang begitu padat dengan pekerjaan dan tugas kantoran
yang setumpuk belum aku sentuk sama sekali itu tetapi justru disini malah aku
terganggu oleh tawa pemuda-pemuda itu disana. Mata dan pikirku terganggu
olehnya. Aku ingin kedamaian, tiada bising kendaraan, bunyi klakson yang
menderu-deru atau suara bos yang selalu membentakku. Aku ingin ketenangan
tiada mata yang selalu melirik dengan lirikan persaingan macam aku di kantor
saban hari itu, aku ingin senyum yang benar-benar senyum bukan senyuman palsu
yang sering aku tunjukan ketika presentasi di depan klienku itu.

Sial! Aku terus mengumpati pemuda-pemuda disana. Apa juga yang mereka
tertawai dari tadi. Tiada henti tawa mereka semakin lama semakin mengganggu
dan mencekam. Ingin ku terkam satu persatu pemuda-pemdua itu. Persetan! Aku
sudah naik pitam. tak sabar aku ingin memarahi mereka. Begitu tidak sopankah
pemudai-pemuda di zaman Millenium ini. apakah begitu sikap seorang pemuda
ditempat umum saat ini. menertawai orang tua sepertiku ini apakah sudah menjadi
kewajaran di era ini. Apa pula yang diajarkan sekolah olehnya. Apakah sekolah
tidak memiliki satu pelajaran untuk kesopanan dan adab. Kurikulum macam apa
dan sekolah macam itu. Tidak. Aku yakin sekolah pasti masih waras dan memiliki
setidaknya satu pelajaran untuk akhlak dan kesopanan. Pemuda ini saja mungkin
yang terlampau sialan. Tapi memang, teman sekantorku juga banyak pemuda-
pemuda yang juga tidak begitu sopan kepadaku, setidakya kepada orang tua
macam aku ini. sudahkah kesopanan lenyap dimuka bumi ini. Siapa pula yang
melenyapkan. Sudah benar tiada terdidik dengan kesopanan pemuda-pemudi di
zaman ini. mereka lupa dengan akhlak dan adab. Menghormati orang yang lebih
tua apalagi. Aduhaii Gusti... kelak jadi apa pula bangsa ini jika sopan sudah hilang
dari muka bumi. Bukankah adab merupakan setinggi-tingginya pencapaian ilmu
pengetahuan. Ah apapula hebatnya ilmu itu jika tiada sopan santun yang
ditunjukan. Iblis juga jauh berilmu.

Tidak berhenti aku mengumpat entah berapa kali. Aku sudah hilang kesabaran.
aku berdiri beranjak dari tempat dudukku. Sebuah bangku panjang muat tiga
orang. Aku berdiri menatap pemuda itu yang masih tertawa terbahak-bahak
dengan menatap pula kearahku. Tujuh pemuda aku datangi sendiri orang tua ini.
tetapi aku benar-benar tak kuasa lagi untuk bersabar. Penghinaan! Ini benar-benar
penghinaan terhadap diriku. Diinjak-injak harga diriku ditempat umum. Akan ku
maki-maki pula mereka. Setidaknya aku akan berikan sedikit kelas keksopanan
yang mungkin tak mereka dapatkan disekolah. Sudah waktunya orang tua ini
memberiikan sedikit pelajaran kepada sikap setan semacam ini. aku hampiri tujuh
pemuda itu. Berjalan aku dengan tongkat penyanggah. Daun-daun berjatuhan
waktu terasa berjalan lamban. Aku menghampiri mereka yang masih tertawa
terbahak-bahak ada juga yang smapai terjungkal-jungkal. Aih.. bahagianya pula
mereka merendahkan harga diri seorang orang tua ini. Memang zaman ini entah
kenapa seringkali penderitaan orang merupakan kebahagiaan orang yang lain.
Zaman ini entah bagaimana arti sebuah kebahagaiaan itu. Kenapa pula
penderitaan seorang menjadi acuan kebahagiaan seorang. Aku terus berjalan
menuju mereka bertujuh. Tawa mereka semakin keras terengar oleh telingakutawa
yang begitu keras menyayat hatiku,tawa yang menginjak-injak diriku. Aku tak
kuasa mendengarkannya. Aku tak terima, ingin segera aku maki-maki mereka biar
lega hati ini, biar lega amarah yang sudah memuncak ini. aku terus berjalan dan
kini sudah tepat dihadapan mereka.

Kenapa kau tertawai aku. Kataku menyala-nyala menyemprot tujuh pemuda itu.
Mereka masih tertawa tersipu. Kini tawa mereka malu-malu seolah kesopnan
sudah mengisi sedikit kalbunya. Tiada satu orang pun menjawab padaku. Aku
hentak lagi dengan pertanyaanku yang sama, kali ini lebih keras, lebih tegas, lebih
menyala-nyala. Mereka semua terdiam malu menunduk meratapi tanah. Beberapa
pemuda masih cekikian dibelakang punggung temannya. Aku masih mendengar
ceikikikan itu aku semakin naik pitam, harga diriku masih diinjak bahkan sudah
ada dihadapnnya langsung. Bagaimanapun dalamm kamus kesopananku orang tua
ada di atas segalanya semuanya, tak patut orang tua dihinakan dengan tawa dan
cekikian semacam ini. dulu sudah tamparan bapak melayang seketika jika aku
cengengesan semacam itu. Dan kini, adab apa pula yang ditunjukan oleh pemuda-
pemuda ini. kamus kesopanan apa pula yang mereka pakai. Orang tua marah
menyala-nyala justru mereka tertawai. Hendak aku bertanya lagi namun seorang
pemuda menyelaku. Beribu ampun ia layangkan kepadaku, ia memohon-mohon
dan lalu ia katakan dengan terbata-bata dan malu.

Celana tuan tiada yang membuat hamba tertawa. Kamipun malu ingin
memperingati tuan yang sembari tadi nampak begitu marah. Tawa tuan. Tertawa
membuat hati gembira.....

......

17/05/2021

Anda mungkin juga menyukai