Anda di halaman 1dari 3

Bagaikan sore-sore yang damai.

Matahari bersinar terang di barat menyisihkan secerca


cahaya yang hangat untuk para pemain bola di lapangan atau menyilaukan gelombang laut di
pesisir pantai. Seperti sore-sore yang lainnya hari ini aku bersepeda melewati jalan-jalan
penuh kendaraan menuju ke barat tepat matahari sedang terik-teriknya. Dengan kayuhan
sepeda sederhanaku menyapa sekumpulan orang di trotoar yang sedang asyik berbincang.
Melewati pasar yang ramai oleh pedangan asongan, buah-buah segar pun masih ada di kala
sore hari ini. Kayuhan sepedaku semakin kencang. Aku melewati masjid dan tempat ibadah
lainnya yang ternyata sepi dan suram.

Tak berhenti di sana aku menuju tempat paling favorit. Pantai. Mendengar deruhan ombak
dan suara camar laut membuat telingaku terasa nyaman bahkan ketika gunda sedang melanda
pikiran-pikiranku. Aku duduk di tepi dermaga melihat matahari di ujung barat yang mulai
terbenam juga para nelayan yang mulai kembali dari tengah laut untuk mengangkat jaring.
Beraneka ikan pun tertangkap dan kemudian di pinggir pantai sudah banyak pengepul yang
menunggu hasil tangkapan. Sebuah proses ekonomi sederhana. Namun aku menikmatinya.
Sore itu sepeertinya hari yang benar-benar indah. Para nelayan mendapatkan begitu banyak
ikan yang memenuhi perahunya setelah beberapa pekan kemarin para nelayan mengeluh
dengan hilangnya ikan-ikan mereka, mungkin karena kian banyak kapal-kapal tongkang
pembawa batu bara itu yang singgah. Lepas dari itu tangkapam sore ini begitu banyak dan
mungkin bapak nelayan itu sangat senang karena pulang nanti dapat membelikan sepatu roda
yang sudah lama diinginkan anaknya. Semoga.

Memikirkan nasib nelayan yang kian hari semakin susah aku juga mulai berpikir mengenai
kebiasaan masyarakat modern dewasa ini. Sepanjang jalan tadi pemuda dan begitu banyak
orang disibukan pergi ke pasar untuk berbelanja dan juga kelompok-kelompok orang yang
duduk manis di trotoar membicarakan sesuatu yang tak benar-benar penting, mungkin.
Namun jauh berbeda dengan tempat-tempat ibadah yang sepi bahkan suram. yah, mungkin
ramai ketika ada perayaan-perayaan ke agamaan seperti Maulidan, Natal atau peringatan
Haul seoarang Kiai. Tetapi ketika perayaan-perayaan itu tiba, yang menyambutnya bukan
hanya para jamaah atau santri yang ingin pergi ke pengajian dan ziarah namun juga ada
banyak pedagang dan penjual berbagai macam jenis barang di pinggir-pinggir jalan. Malah
ada beberapa kasus mungkin yang datang ke acara yang lebih banyak bukan dari golongan
peziarah atau jamaah justru para pedagang yang ingin mengais rezekinya. Barang tentu juga
niat dari banyak peziarah dan jamaah datang bukan untuk acara keagamaan tetapi justru
untuk membeli barang yang tersedia di sana. Aku pun tak tahu dengan pasti, tetapi aku
kurang yakin dengan niat yang murni. Begitu pun ketika natal tiba para pemilik toko
memasang diskon besar-besaran. Yang terjadi adalah ketika peayaan Natal tiba begitu banyak
orang yang bergegas untuk berbelanja daripada pergi ke Gereja untuk meminta
pengampunan. Mungkin berbelanja adalah salah satu metode baru dalam upaya
pengampunan dosa oleh masyarakat modern.

Suara-suara camar semakin sepi. Hari memang mulai gelap. Matahari juga sudah mulai
terbenam. Para nelayan yang tadi di tengah laut tadi kini sudah bertransaksi dengan para
pengepul dan siap bergegas untuk pulang. Aku pun juga demikian. Aku ambil sepedaku dan
ku kayuh lagi menuju rumah. Suara adzan maghrib menggema ketika aku kayuh sepedaku di
sepanjang jalan yang sama ketika berangkat tadi. Aku temui pasar-pasar dan trotoar sudah
mulai sepi dan melihat masjid di sana mulai dipenuhi manusia. Ah, ternyata tempat-tempat
ibadah tidak benar-benar mati. Masih banyak orang-orang yang peduli dengannya. Sebagai
muslim aku pun juga bergegas menuju masjid untuk sholat berjamaah.

Selepas semua ritual yang aku lakukan sudah selesai, aku mengambil kembali sepedaku dan
ingin lekas aku kayuh menuju rumah namun nampak di gerbang masjid ada sesuatu hal yang
menarik perhatianku. Seorang wanita lanjut yang kira-kira berusia 70 atau 80’an tahun
sedang duduk bersandar di dinding gerbang ssambil menengadahkan tangannya kepada para
jamaah yang keluar dari masjid. Wajahnya pucat, bibirnya kering dan sangat ringkih mungkin
ia sangaat kelelahan sehingga tubuhnya sampai-sampai disenderkan ke dinding gerbang itu.
Aku memandanginya begitu banyak orang yang hanya lewat begitu saja seolah tak
memperdulikan ibu itu. Padahal ibu itu sangat jelas di depan mata dan mungkin banyak dari
mereka yang menunjukan gelagat memang tidak ingin melihatnya. Mungkin merasa jijik
melihat Si Ibu itu. Tetapi aku yang melihat dari sini merasa jijik kepada orang-orang itu.
Bagaimana tidak bahkan setelah ibadah pun banyak orang yang masih angkuh. aku bergegas
menemui Ibu itu menanyakan keadaannya dan melakukan apapun yang bisa aku perbuat
untuk membantunya. Tentu tidak hanya dengan doa semoga ibu baik-baik saja dan sehat
selalu. Tentu tidak.

Di jalan menuju rumah yang sudah petang. Lampu-lampu jalan yang terang ini sangat
membantu menuntunku menuju rumah tetapi juga mungkin menghabiskan banyak uang
hanya untuk membayar tagihan listriknya. Juga jalan mulus ini sangat membantu roda-roda
sepedaku untuk berjalan dengan baik meskipun juga harus memakan banyak biaya untuk
membangunnya, mengaspalnya dan bahkan merawatnya ketika ada yang berlubang. Begitu
banyak uang yang digelontorkan untuk memenuhi fasilitas orang-orang yang memiliki moda
transportasi. Sepeda salah satunya. Sedangkan di sisi lain juga ada seorang Ibu tua yang
dengan terpaksa harus meminta-minta hanya demi memenuhi makannya untuk hari ini.
Ketika banyak orang yang meminta kepada Tuhan di dalam tempat ibadah Ibu itu justru
sebaliknya. Mungkin ia sudah pasrah dan lelah.

Kebanyakan orang pergi beribadah dengan kepercayaan bahwa ketika ia menjalankan semua
ritual-ritual keagaamnnya dengan taat maka semua keinginannya di dunia dan bahkan di
akhirat kelak yakni masuk surga akan segera terpenuhi semuanya. Hal ini menandakan bahwa
ibadah tak lebih hanya pemuas ego kita belaka. Sedangkan di luar sana begitu banyak orang-
orang yang membutuhkan saluran bantuan dari kita. Justru kita mengabaikannya dan lagi-lagi
hanya mementingkan ego. Nafsu dan keinginan material semata. Fenomena demikian
menimbulkan penghakiman dan klaim yang mengatas namakan agama yang tak mendasar.
Ketika sudah merasa paling taat menjalankan ritual-ritual keagamaan. Kebanyakan dari kita
juga mengklaim dekat dengan Tuhan lebih dari siapa pun. Yang kemudian membuat kita
semakin ego dan mulai menyalahkan kelompok-kelompok lain dengan kekufuran karena
menganggap dirinya yang paling taat dan benar. Tak heran ketika Ibu itu sedang meminta-
minta bahkan ketika yang diminta baru saja selesai beribadah pun tak ada yang menghiraukan
dan buang muka begitu saja. Bukan berniatan untuk membantunya, yang ada mungkin malah
menasehati Si Ibu dengan fatwa dan dalil bahwa meminta-minta itu haram dan tidak boleh
oleh hukum agama lalu menakut-nakuti dengan kekufuran dan neraka. Padahal yang
dibutuhkan Si Ibu bukan itu. Yang ia butuhkan ialah saluran bantuan.

Dalam perjalanan pulang ini. Kembali dalam benakku memikirkan tentang agamaku sendiri.
Apakah benar agamaku mengajarkan hal yang keebanyakan orang lakukan. Beribadah
dengan sangat taat lantas mengabaikan masalah-masalah sosial. Kemiskinan misalkan.

Anda mungkin juga menyukai