OLEH:
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan
karunia-Nya srhingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Hasil Penelitian
dengan judul “Optimasi Rasio Urea-Metanol, Waktu dan Suhu Kristalisasi
pada Kompleksasi Urea dalam Peningkatan Mutu Biodiesel Berbasis Minyak
Sawit”. Penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
menyelesaikan studi pada Program Studi Sarjana Teknik Kimia Universitas Riau.
Tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, penulis tidak dapat
menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Oleh sebab itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang tua dan keluarga yang sangat membantu baik doa, motivasi, dan
semangat bagi penulis
2. Ibu Prof. Zuchra Helwani, ST., MT., PhD. selaku Pembimbing Utama dan
Bapak Dr. Sunarno, ST., MT. selaku Pembimbing Pendamping yang
senantiasa menyediakan waktunya untuk membimbing penulis dalam
menyelesaikan penelitian ini.
3. Seluruh Dosen di Jurusan Teknik Kimia Universitas Riau yang telah
bersedia mengajarkan ilmunya kepada penulis selama ini.
4. Anggota Laboratorium Oleokimia.
5. Teman-teman Teknik Kimia S-1 Kelas A 2018
Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, penulis berharap untuk saran yang bersifat membangun untuk
perbaikan di masa mendatang. Atas perhatiannya, penulis ucapkan terima kasih
ii
OPTIMASI RASIO UREA-METANOL, WAKTU DAN SUHU
KRISTALISASI PADA KOMPLEKSASI UREA DALAM PENINGKATAN
MUTU BIODIESEL BERBASIS MINYAK SAWIT
ABSTRAK
iii
OPTIMIZATION OF UREA-METHANOL RATIO, TIME AND
TEMPERATURE OF CRYSTALLIZATION IN UREA COMPLEXATION IN
QUALITY IMPROVEMENT OF PALM OIL-BASED BIODIESEL
ABSTRACT
The research was conducted to determine the optimal conditions of the urea-
methanol ratio, time and temperature of crystallization in complexation of urea in
order to improve the quality of biodiesel so that it has an iodine number of 30-40
I2/100 gram. Complexation of urea can bind saturated fatty acids so that biodiesel
can be separated from polyunsaturated fatty acids which causes a high biodiesel
iodine number. Complexation of urea was carried out in a series of three neck
flasks and condensers. Urea and methanol are mixed at 60oC then biodiesel is
added until the mixture is clear. Then the mixture will be crystallized. After
crystals form, they are washed and separated. Optimization analysis using the
Response Surface Methodology (RSM) with the Central Composite Design (CCD)
model was obtained at a urea-methanol ratio of 1:1.7, a crystallization
temperature of 25oC and a crystallization time of 2 hours with an iodine number
of 30 I2/100 gram.
iv
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
ABSTRAK ............................................................................................................ iii
ABSTRACT ........................................................................................................... iv
DAFTAR ISI ...........................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ..................................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah .......................................................................................2
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................................4
1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................................4
1.5. Waktu dan Tempat Penelitian .....................................................................4
1.6. Sistematika Penulisan Usulan Penelitian ....................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biodiesel .....................................................................................................6
2.1.1. Parameter Biodiesel di Indonesia .....................................................6
2.2. Urea ...........................................................................................................10
2.3. Metanol .....................................................................................................10
2.4. Proses ........................................................................................................11
2.4.1. Ekstraksi Cair-cair ..........................................................................11
2.4.2. Fraksinasi Kompleksasi Urea .........................................................12
2.5. Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) ...............................15
2.6. Response Surface Method (RSM) .............................................................16
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Bahan dan Alat ..........................................................................................17
3.1.1. Bahan ..............................................................................................17
3.1.2. Alat .................................................................................................17
3.2. Variabel Penelitian ....................................................................................17
v
vi
x
BAB I
PENDAHULUAN
Biodiesel juga menghasilkan emisi yang lebih rendah, memiliki titik nyala
yang tinggi, daya pelumas yang lebih baik, dan cetane number tinggi.
Penggunaan biodiesel memiliki potensi untuk mengurangi tingkat polusi dan
mengurangi kemungkinanan karsinogen. (Novalina et al., 2020). Meski begitu,
ada pula kelemahan biodiesel yang harus diperhatikan terutama pada musim
dingin tiba, mengingat biodiesel dapat menggumpal ketika suhu (temperatur)
menurun. Titik api (temperatur nyala) yang rendah pada biodiesel juga
mempengaruhi kondisi awal penyalaan mesin (Sahbana & Fuhaid, 2012).
Untuk mendapatkan mutu biodiesel yang sesuai standar dan dapat
mengoptimalkan kinerja biodiesel dalam penggunaanya, maka diperlukan proses
lebih lanjut. Salah satu pendekatan yang dapat diaplikasikan untuk memperbaiki
karakteristik biodiesel adalah melalui modifikasi komposisi asam lemak dalam
biodiesel antara lain melalui fraksinasi metil ester (ME) CPO. Dengan aplikasi
teknologi tersebut maka dapat meningkatkan nilai jual biodiesel CPO Indonesia di
pasar Internasional
0oC dan waktu 8-24 jam dapat memisahkan asam lemak tak jenuh ganda hingga
93,8% (Swern & Parker, 1952, Komang, 2020).
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Menghasilkan biodiesel dengan kadar asam lemak tak jenuh ganda yang
rendah dan asam lemak jenuh yang tinggi.
2. Menghasilkan produk UCF berupa biodiesel jenuh dengan indikator
bilangan iodin <30-40 g I2/100 g.
3. Menentukan kondisi optimal dari rasio urea-metanol, waktu dan suhu
kristalisasi dalam proses kompleksasi urea.
2.1. Biodiesel
Biodiesel adalah bahan bakar cair yang berasal dari minyak nabati dan
lemak yang memiliki sifat pembakaran yang mirip dengan bahan bakar minyak
diesel biasa (dari minyak bumi). Biodiesel dapat diproduksi langsung dari minyak
nabati, minyak atau lemak hewan dan minyak jelantah. Biodiesel bersifat
biodegradable, tidak beracun, dan memiliki emisi yang lebih sedikit dibandingkan
minyak diesel yang berbasis minyak bumi ketika dibakar.
Keuntungan penggunaan biodiesel menurut (Mahfud, 2018) yaitu:
1. Biodisel adalah bio-renewable. Bahan bakunya dapat di perbarui satu kali
atau lebih.
2. Biodiesel sangat cepat terurai dalam lingkungan dan tidak beracun sehingga
tumpahannya mempunyai risiko yang jauh lebih sedikit daripada tumpahan
minyak diesel.
3. Dapat mengurangi ketergantungan pada minyak mentah
4. Baik untuk mesin. Biodiesel memiliki kualitas pelumasan yang lebih tinggi,
artinya pada dasarnya sifatnya lebih licin dari bahan bakar diesel normal.
Dengan menambahkan biodiesel pada mesin maka kerusakan akibat keausan
akan berkurang dan mesin lebih awet.
2.1.1 Parameter Biodiesel di Indonesia
Parameter biodiesel di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Parameter Biodiesel di Indonesia
No Parameter Satuan Nilai
o 3
1 Densitas pada 40 C Kg/m 850-890
o 2
2 Viskositas kinetic pada 40 C mm /s (cSt) 2,3-6,0
o
3 Flash point C Min. 100
o
4 Pour point C Maks. 18
6 Indeks setana - Min. 71
7 Bilangan Iodine g I2/100 g <115
8 Stablitas Oksidasi hour >6
(Sumber : SNI: 04-7182-2006 Risnoyatiningsih, S., 2010 dalam Devita, 2015)
6
7
ester) yang tinggi akan membuat stabilitas oksidasi rendah. Oksidasi pada
biodiesel dapat menghasilkan senyawa hasil dekomposisi berupa asam, aldehid,
ester, keton, peroksida, maupun alkohol, yang dapat mempengaruhi karakteristik
biodiesel maupun aktivitas pembakaran dalam mesin. Degradasi oksidatif selama
penyimpanan yang lama dapat terjadi terjadi karena adanya udara, panas, cahaya,
dan zat prooksidan. Hasil oksidasi dapat berupa asam yang akan mengkorosi
komponen seperti saluran dan tangki bahan bakar. Hasil stabilitas oksidasi
biodiesel menunjukkan bahwa berapa lama biodiesel akan tahan terhadap reaksi
oksidasi. Semakin baik stabilitas oksidasi biodiesel, maka ketahanan biodiesel
tersebut dari degradasi yang disebabkan reaksi oksidasi semakin baik (Ridho et
al., 2020).
5. Angka Setana
Angka setana merupakan salah satu karakteristik yang paling penting
dalam penentuan kualitas biodiesel. Angka setana mengukur kesiapan dan
kecepatan bahan bakar untuk terbakar secara otomatis ketika diinjeksikan pada
mesin. Angka setana sangat dipengaruhi oleh komposisi dari bahan bakar (Van
Gerpen, 1996; Holilah et al., 2013 dalam Efri Mardawati et al. 2019). Menurut
Van Gerpen et al. (2007) dalam Efri Mardawati et al. (2019), semakin tinggi
angka setana yang dihasilkan, maka semakin jenuh komponen yang terdapat di
dalam bahan bakar serta semakin tinggi nilai angka setana, maka semakin mudah
pembakaran dan semakin singkat keterlambatan pembakaran bahan bakar
(ignition delay). Hal ini menyebabkan berkurangnya pembentukan emisi NOx.
6. Flash Point
Flash point adalah suatu angka yang menyatakan suhu terendah dari bahan
bakar minyak dimana akan timbul penyalaan api sesaat, apabila pada permukaan
minyak tersebut didekatkan pada nyala api. Flash point dibutuhkan untuk
pertimbangan-pertimbangan keamanan dari penimbunan dan pengangkutan bahan
bakar minyak terhadap bahaya kebakaran. Flash point untuk biodiesel umumnya
tinggi (yaitu lebih besar dari 150°C). Batasannya untuk SNI yaitu 100-170°C. Jika
belum memenuhi standar SNI dapat menyebabkan kerusakan pada pompa bahan
bakar, tangki isian, elastomer, dan dapat menghasilkan daya pembakaran rendah.
9
7. Pour Point
Pour point adalah suatu angka yang menyatakan temperatur terendah dari
bahan bakar minyak, sehingga masih dapat mengalir karena adanya gaya
gravitasi. Nilai standar SNI dari pour poin maksimal sebesar 18°C. Jika nilai pour
point rendah maka bahan bakar tidak lagi bisa mengalir karena terbentuknya
kristal/gel yang menyumbat aliran bahan bakar, keberadaan kristal di dalam bahan
bakar bisa mempengaruhi kelancaran aliran bahan bakar di dalam filter, pompa,
dan injektor.
Secara kimia biodiesel termasuk dalam golongan mono alkil ester atau
metil ester dengan panjang rantai karbon antara 12-20. Hal ini yang
membedakannya dengan petroleum diesel (solar) yang komponen utamanya
adalah hidrokarbon (Nasution, M.A., et al., 2007 dalam Devita, 2015).
Tipe Asam lemak metil pada biodiesel dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Tipe asam lemak metil ester pada biodiesel
Common Formal Name CAS Abbreviation Molecular Molecular
Name No. Formula Weight
Lauric Dodecanoic acid 143- 12:0 C12H24O2 200,32
acid 07-7
Myristic Tetradecanoic 544- 14:0 C14H28O2 228,38
acid acid 63-8
Myristole cis-9- 544- 14:1 C14H26O2 226,26
ic acid Tetradecenoic 64-9
acid
Palmitic Hexadecanoic 57- 16:0 C16H32O2 256,43
acid acid 10-3
Palmitolei cis-9- 373- 16:1 C16H30O2 254,42
c acid Hexadecanoic 49-9
acid
Stearic Octadecanoic 57- 18:0 C18H36O2 284,48
acid acid 11-4
Oleic acid cis-9- 112- 18:1 C18H34O2 282,47
octadecanoic 80-1
acid
Linolenic cis-9,12,15- 463- 18:3 C18H30O2 278,44
acid Octadecatrienoic 40-1
acid
Arachidic Eicosanoic acid 506- 20:0 C20H40O2 312,54
acid 30-9
Gondoic cis-11- 5561- 20:1 C20H38O2 310,53
acid Eicosenoic acid 99-9
10
Tabel 2.2 Tipe asam lemak metil ester pada biodiesel (lanjutan)
Common Formal Name CAS Abbreviation Molecular Molecular
Name No. Formula Weight
Behenic Docosanoic acid 112- 22:0 C22H44O2 340,60
acid 85-6
Erucic cis-13- 112- 22:1 C22H42O2 338,58
acid Docosenoic acid 86-7
(Sumber : Hoekman et al. 2012)
2.2 Urea
Urea dikenal dengan nama carbamide resin, isourea, dan carbonyl diamide
dengan rumus molekul CO(NH2)2. Menurut Guo iet al. (2017) urea memiliki
bentuk tetragonal dengan diameter 5,2 – 5,7 Å
Sifat fisika urea dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Sifat – sifat Fisika Urea
Karakteristik Nilai
Berat Molekul 60,06
Specific Gravity 1,335 (20oC/4oC)
Titik Leleh 132,7oC
100 (17oC dalam 100% air)
Kelarutan
20 (20oC dalam 100% alkohol)
Panas Pembakaran -91,02.105 J/kg
(Sumber :Andriati, 2017)
2.3 Metanol
Metanol dipilih karena merupakan turunan alkohol yang memiliki berat
molekul paling rendah sehingga kebutuhannya untuk proses alkoholis relatif
sedikit, lebih murah dan lebih stabil, metanol memiliki daya reaktivitas yang
tinggi (Zulhardi et al., 2018). Selain itu, syarat pelarut yang digunakan pada
proses kompleksasi urea ialah pelarut tidak dapat berperan sebagai senyawa tamu
(guest molecule), sehingga tidak dapat membentuk kompleks inklusi dengan urea
(Mayurid, 2009). Metanol adalah senyawa kimia dengan rumus kimia CH3OH
(Wahyudin et al., 2018).
Sifat-sifat fisika dari metanol dapat dilihat pada Tabel 2.4.
11
2.4 Proses
2.4.1 Ekstraksi Cair-Cair
Ekstraksi merupakan metode pemisahan suatu zat berdasarkan pelarut
yang tepat, baik itu pelarut organik atau pelarut anorganik. Secara umum pelarut
etanol merupakan pelarut yang banyak digunakan dalam proses isolasi senyawa
organik bahan alam karena dapat melarutkan seluruh golongan metabolit sekunder
(Hernani, T et al, 2007 dalam Tambun et al., 2016). Menurut Tambun et al.,
(2016), faktor-faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi antara lain adalah:
a. Ukuran bahan
Pengecilan ukuran bertujuan untuk memperluas permukaan bahan sehingga
mempercepat penetrasi pelarut ke dalam bahan yang akan diekstrak.
b. Suhu ekstraksi
Ekstraksi akan lebih cepat dilakukan pada suhu tinggi.
c. Pelarut
Larutan yang akan dipakai sebagai pelarut merupakan pelarut pilihan yang
terbaik.
Pada proses ekstraksi pemilihan pelarut sangat penting dilakukan, hal ini
dikarenakan pelarut berperan dalam kecepatan pemisahan, peningkatan efisiensi,
dan faktor pemisahan (Laddha, G. S et al.,1976 dalam Basuki & Biyantoro, 2011).
Ekstraksi cair-cair atau yang dikenal dengan ekstraksi solvent merupakan proses
pemisahan fasa cair yang memanfaatkan perbedaan kelarutan zat terlarut yang
12
akan dipisahkan antara larutan asal dan pelarut pengekstrak (solvent) (Mirwan,
2013).
Ekstraksi relatif lebih mahal dibandingkan dengan operasi pemisahan lain.
Akan tetapi ekstraksi cair-cair menjadi operasi pemisahan yang unggul ketika
larutan-larutan yang akan dipisahkan mempunyai kemiripan sifat-sifat fisikanya
yaitu titik didih yang perbedaannya relatif kecil (Laddha dan Degaleesan, 1978
dalam Mirwan, 2013).
Prinsip dasar ekstraksi cair-cair ini melibatkan pengontakan suatu larutan
dengan pelarut (solvent) lain yang tidak saling melarut (immisible) dengan pelarut
asal yang mempunyai densitas yang berbeda sehingga akan terbentuk dua fasa
beberapa saat setelah penambahan solvent. Hal ini menyebabkan terjadinya
perpindahan massa dari pelarut asal ke pelarut pengekstrak (solvent). Perpindahan
zat terlarut ke dalam pelarut baru yang diberikan, disebabkan oleh adanya daya
dorong (dirving force) yang muncul akibat adanya beda potensial kimia antara
kedua pelarut. Sehingga proses ektraksi cair-cair merupakan proses perpindahan
massa yang berlangsung secara difusional (Laddha dan Degaleesan, 1978 dalam
Mirwan, 2013).
yang terbentuk. Penambahan urea tidak akan meningkatkan jumlah kristal jika
kondisi kesetimbangan telah tercapai (Jumari et al., 2015).
Kompleksasi urea memiliki keunggulan dimana kristal yang
dikomplekskan sangat stabil, dan disukai oleh banyak peneliti karena bergantung
pada konfigurasi gugus asam lemak karena adanya ikatan rangkap ganda, bukan
bergantung pada sifat fisik murni seperti titik leleh atau kelarutan (Wanasundara,
1996 dalam Wanasundara & Shahidi 1999).
Bagi Guo et al. (2017) dan Harris (2007), peran krusial urea pada
fraksinasi biodiesel terletak pada saat tahapan kristalisasi. Tahapan ini bertujuan
memberikan waktu terhadap larutan urea dan metanol untuk membentuk fasa
kristal, berupa clathrate atau senyawa inklusi karena memiliki kisi di setiap
sisinya sehingga memiliki efek penjerap. Kemudian molekul biodiesel akan
masuk dalam senyawa inklusi dan terjadi penyelarasan dengan ditandai oleh
terbentuknya kompleks inklusi atau dikenal juga dengan istilah urea adduct
(Wang et al., 2014). Berdasarkan proses tersebut menyebabkan struktur tetragonal
urea membesar 8 – 12 Å berbentuk heksagonal.
Reaksi yang terjadi dalam proses kompleksasi urea dapat dilihat pada
Gambar 2.1.
Gambar 2.1 (a) Terjadi Ikatan antara Host dan Guest Sepanjang Rongga Axis
(Harris, 2007), (b) Pembentukan Kristal Urea dengan Asam Lemak Rantai Linear
(Jumina et al., 2019)
Berdasarkan Gambar 2.1 (a) terlihat bahwa molekul urea saling terikat satu
sama lain dengan ikatan hidrogen dalam struktur helix seperti rantai DNA, dan
menyisakan rongga di bagian tengahnya berbentuk kanal. Setyawardhani et al
(2016) mengatakan inklusi tersebut terbentuk melalui ikatan hidrogen dan Van der
15
Waals, yang lazim dikenal dengan istilah “host” yang merujuk pada klatrat,
sedangkan “guest” untuk molekul yang terjerap ke dalamnya. Sedangkan Gambar
2.1 (b) memperlihatkan bahwa selain bersifat rigid, molekul asam lemak jenuh
dan sebagian asam lemak tak jenuh tunggal merupakan asam lemak dengan rantai
linear dan berdiameter kecil menyebabkannya relatif mudah memasuki kanal dan
dapat menyelaraskan rantai alifatiknya dengan urea. Namun tidak demikian
dengan senyawa asam lemak tak jenuh ganda dan sebagian asam lemak tak jenuh
tunggal lainnya yang tetap pada kondisi cair, sehingga telah terjadi proses separasi
(Mayurid, 2009).
Adapun kristal yang dihasilkan selama proses fraksinasi tampak seperti
jarum dengan ukuran yang cenderung besar serta bersifat stabil sehingga
memudahkan pemisahan antara fasa NUCF dan UCF. Hal ini terbukti karena
biodiesel memiliki kecenderungan yang lebih kuat berupa gugus esternya bersifat
polar sehingga meningkatkan gaya intermolekuler Van der Waals, yang secara
efektif menguatkan proses kristalisasi. Penggunaan urea memberikan dampak
yang signifikan terhadap fraksinasi biodiesel (Idris et al. 2014). Peran urea dalam
menjerap molekul asam lemak jenuh dan sebagian asam lemak tak jenuh,
sehingga menyisakan asam lemak tak jenuh ganda.
3.1.2. Alat
Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah rangkaian reaktor
berpengaduk untuk proses pencampuran biodiesel dan pelarut metanol-urea yang
terdiri dari labu leher tiga, kondensor, heater, magnetic stirrer, statip dan klem,
termometer. Sedangkan dalam proses pemisahan dan pencucian menggunakan
corong pemisah, corong buchner, kertas saring, dan erlenmeyer.
17
18
Keterangan :
1. Porous plate
2. Kertas saring
3. Kristal dalam pelarut
4. Vacum trap
3.4.1. Kristalisasi
Tahap kristalisasi dilakukan dengan mencampur 209,2032 g urea dan
209,2032 ml metanol 95% pada suhu 60oC hingga urea larut. Suhu dijaga konstan
agar metanol tidak menguap, hal ini dikarenakan titik didih metanol adalah
64,7oC. Setelah itu masukan 40 ml biodiesel kedalam campuran urea-metanol
hingga campuran berubah warna menjadi bening. Selanjutnya didinginkan pada
suhu 25, 20 dan 15oC selama 2, 4 dan 6 jam hingga terbentuk kristal.
3.4.2. Pemisahan
Kristal urea (urea complexing fraction) dan sisa campurannya (non urea
complexing fraction) yang dihasilkan pada tahap kristalisasi dipisahkan dengan
kertas saring dan corong Buchner.
3.4.3. Pencucian
Masing masing hasil dari tahap pemisahan dicuci menggunakan akuades
hangat (70oC) untuk menghilangkan urea-metanol. Selanjutnya dipisahkan
menggunakan corong pemisah selama 1 jam.
Prosedur yang sama dilakukan kembali untuk variasi lainnya, yaitu variasi
suhu, rasio biodiesel dan urea serta rasio biodiesel dan metanol.
Mulai
Metanol Urea
Urea - metanol
Dioven pada suhu 105 oC hingga berat Dioven pada suhu 105 oC hingga berat
konstan konstan
Mulai
Biodiesel
Ditritasi
YA
2 ml Indikator
Ditentukan titik akhir titrasi
amilum 0,5%
Dititrasi kembali
YA
Dicatat volume larutan standar yang habis
digunakan selama proses titrasi
Selesai
3.1 Hasil
3.1.1 Hasil Uji Yield dan Iodine Value
Hasil uji yield dan iodine value pada UCF yang telah dilakukan disajikan
dalam Tabel 4.1 sebagai berikut.
Tabel 4.1 Hasil Penelitian Pada Urea Complexion Fraction (UCF)
Rasio Urea- Suhu Waktu Bilangan
Run Metanol Kristalisasi Kristalisasi Yield (%) Iod (g I2/g
(w/v) (oC) (Jam) Biodiesel)
1 1 15 6 70,35 35,64
2 1 25 2 60,03 35,59
3 3 15 2 53,71 24,99
4 2 20 0,64 65,27 29,38
5 2 11,6 4 79,95 24,9
6 3 25 2 51,01 24,88
7 2 20 4 78,23 28,27
8 3,68 20 4 38,16 26,93
9 2 20 7,36 79,66 25,69
10 1 25 6 62,32 35,14
11 2 20 4 74,96 24,9
12 2 20 4 76,71 25,69
13 2 20 4 76,71 24,9
14 3 15 6 65,72 25,61
15 1 15 2 67,03 35,46
16 3 25 6 61,11 27,56
17 2 28,4 4 62,91 30,17
18 2 20 4 76,71 29,94
19 0,32 20 4 50,23 41,58
20 2 20 4 76,71 24,9
Hasil uji yield dan iodine value pada NUCF yang telah dilakukan disajikan
dalam Tabel 4.2 sebagai berikut.
Tabel 4.2 Hasil Penelitian Pada Non-Urea Complexion Fraction (NUCF)
Rasio Urea- Suhu Waktu Bilangan
Run Metanol Kristalisasi Kristalisasi Yield (%) Iod (g I2/g
(w/v) (oC) (Jam) Biodiesel)
1 1 15 6 0 0
2 1 25 2 0 0
3 3 15 2 20,26 41,72
24
25
Gambar 4.1 Hasil Uji Gas Cromatography Mass Spectrometry (GC-MS) Sampel
UCF
26
Gambar 4.2 Hasil Uji Gas Cromatogrpahy Mass Spectrometry (GC-MS) Sampel
NUCF
Metil elaidat memiliki komposisi terbesar yaitu sebesar 77,73%,
sedangkan metil linoleat cis-9, trans-12 merupakan komposisi terkecil masing-
masing sebesar 0,20%. Metil elaidat adalah asam lemak tak jenuh. Hal ini
membuktikan bahwa kandungan NUCF didominasi oleh senyawa asam tak lemak
jenuh. Data komponen yang terkandung dalam UCF biodiesel dapat dilihat pada
Tabel 4.4.
27
3.2 Pembahasan
Pengolahan data hasil penelitian ini menggunakan Response Surface
Methodology (RSM) dengan rancangan percobaan Central Composite Design
(CCD) pada software Design Expert 7.0. Metode yang digunakan untuk
mengetahui kesesuaian model adalah melihat nilai R2 pada interval 0 hingga 1.
Apabila R2 mendekati nilai 1 maka model diperkirakan cocok dengan data
percobaan. Nilai R2 mendekati 1 menunjukkan derajat korelasi yang tinggi antara
hasil observasi terhadap model yang dihasilkan (Montgomery et al, 2011). Model
yang dievaluasi mencakup linear, 2FI (2 Factor interaction), quadratic atau
cubic. Proses pemilihan model dilakukan berdasarkan uraian jumlah kuadrat dari
urutan model (Sequential Model Sum Of Squares), pengujian ketidaktepatan
model (lack of fit test) dan ringkasan model secara statistik (model summary
statistic). Parameter lack of fit mengartikan penyimpangan atau ketidaktepatan
terhadap model dalam suatu persamaan. Parameter tersebut digunakan untuk
mendeteksi apakah model persamaan sudah tepat menggambarkan desain
eksperimental. Jika nilai p-value pada lack of fit >0,05, maka parameter lack of fit
bernilai not significant. Apabila parameter lack of fit bernilai not significant, maka
model persamaan menggambarkan data eksperimental, sedangkan jika nilai p-
value pada lack of fit <0,05, maka parameter lack of fit bernilai significant. apabila
parameter lack of fit bernilai significant, maka model persamaan tidak tepat dan
tidak dapat menggambarkan data eksperimental. Parameter ini diperlukan karena
adanya pengamatan berulang (Kuswana et al., 2017).
28
3.2.1 Desain dan Analisa Model untuk Respon Yield dengan Response
Surface Methodology (RSM)
3.2.1.1 Urea Complexation Fraction (UCF)
Rangkuman nilai p-value dan R2 untuk model quadratic dalam bentuk
Sequential Model Sum Of Squares dan model summary statistic pada UCF dapat
dilihat pada Tabel 4.5 dan Tabel 4.6.
Tabel 4.5 Sequential Model Sum Of Squares Yield UCF
Respon
Yield UCF
Model (quadratic) Lack of fit
Sum of Square 2568,63 22,09
Derajat Kebebasan 9 5
Mean Square 285,40 4,42
F-value 103,94 4,12
p-value > F < 0,0001 (significant) 0,0732 (not significant)
3.2.2 Desain dan Analisa Model untuk Respon Iodine Value dengan
Response Surface Methodology (RSM)
3.2.2.1 Urea Complexation Fraction (UCF)
Rangkuman nilai p-value dan R2 untuk model quadratic dalam bentuk
Sequential Model Sum Of Squares dan model summary statistic pada UCF dapat
dilihat pada Tabel 4.9 dan Tabel 4.10.
Tabel 4.9 Sequential Model Sum Of Squares Iodine Value UCF
Respon
Iodine Value UCF
Model (quadratic) Lack of fit
Sum of Square 428,15 16,54
Derajat Kebebasan 9 5
30
Tabel 4.9 Sequential Model Sum Of Squares Iodine Value UCF (lanjutan)
Respon
Iodine Value UCF
Model (quadratic) Lack of fit
Mean Square 47,57 3,31
F-value 11,95 0,71
p-value > F 0,0003 (significant) 0,6416 (not significant)
3.2.3 Pengaruh Rasio Urea-Metanol pada Yield dan Iodine Value UCF dan
NUCF
Berdasarkan Tabel 4.1 dan Tabel 4.2 pengaruh rasio metanol pada yield
dan iodine value menggunakan software Design Expert 7.0 dengan metode
response surface central composite design, seperti yang ditampilkan Gambar 4.3
dan Gambar 4.4.
32
Gambar 4.3 Grafik Uji Respon Nilai Yield pada UCF Variabel Rasio Urea-
Metanol
Berdasarkan grafik diatas, dapat dilihat bahwa grafik pada mulanya
mengalami peningkatan kemudian menurun pada rasio 3. Jika dilihat dari bentuk
grafik yang sangat melengkung, artinya rasio urea-metanol berpengaruh sangat
signifikan terhadap yield UCF. Pada rasio 1, jumlah urea sama dengan jumlah
metanol, metanol tidak dapat melarutkan urea secara sempurna, sehingga urea
tidak mampu berikatan dengan asam lemak jenuh. Pada rasio 2, perbandinan urea
dalam campuran urea-metanol semakin kecil, yield mengalami peningkatan
karena urea larut dengan sempurna dalam metanol, kemudian urea dan asam
lemak jenuh akan membentuk kristal (UCF). Pada rasio 3, perbandinan urea
dalam campuran urea-metanol semakin kecil, yield akan berkurang kembali.
Meskipun pada rasio 3 urea larut keseluruhan dalam metanol, namun karena
jumlah urea yang sedikit, maka hanya dapat mengikat asam lemak tak jenuh yang
lebih sedikit dibandingkan rasio 2. Hal ini sesuai menurut Hayes et al., (1998)
yield yang dihasilkan cenderung semakin tinggi seiring peningkatan rasio urea.
Untuk nilai yield NUCF, memiliki korelasi dengan yield UCF dimana
yield NUCF berbanding terbalik dengan yield UCF. Jika yield UCF-nya tinggi
33
maka yield NUCF-nya rendah, sebaliknya jika yield UCF-nya rendah maka yield
NUCF-nya tinggi.
Gambar 4.4 Grafik Uji Respon Nilai Iodine Value pada UCF Variabel Rasio
Ureea-Metanol
Berdasarkan grafik diatas, grafik mngalami penurunan. Jika dilihat dari
bentuk grafiknya yang sangat melengkung artinya rasio urea-metanol sangat
berpengaruh terhadap iodine value UCF. Grafik yang terbentuk menurun dengan
semakin sedikitnya urea yang digunakan. Menurut Jiang et al., (2014)
bertambahnya jumlah urea meningkatkan kemampuan urea membentuk kompleks
dengan asam lemak tak jenuh tunggal, sehingga konsentrasi asam lemak tak jenuh
tunggal pada UCF meningkat. Pada rasio 1, iodine value nya besar karena asam
lemak tak jenuh ganda ikut membentuk bersama asam lemak jenuh dan asam
lemak tak jenuh tunggal. Pada rasio 2, iodine value-nya mengalami penurunan.
Hal ini dikarenakan, urea mengikat asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh
tunggal serta sedikit asam lemak tak jenuh ganda. Sedangkan pada rasio 3, iodine
value paling rendah, karena urea hanya mengikat asam lemak jenuh.
Untuk iodine value pada NUCF semakin meningkat. Iodine value pada
salah satu fraksi akan berbanding terbalik dengan fraksi lainnya. Saat iodine value
34
cenderung tinggi pada NUCF maka iodine value pada UCF-nya akan rendah
(Soerawidjadja, 2015).
3.2.4 Pengaruh Suhu Kristalisasi pada Yield dan Iodine Value UCF dan
NUCF
Berdasarkan Tabel 4.1 dan Tabel 4.2 pengaruh suhu kristalisasi pada yield
dan iodine value menggunakan software Design Expert 7.0 dengan metode
response surface central composite design, seperti yang ditampilkan Gambar 4.5
dan Gambar 4.6.
Gambar 4.5 Grafik Uji Respon Nilai Yield pada UCF Variabel Suhu Kristalisasi
Dari grafik diatas, grafik mengalami penurunan. Jika dilihat dari bentuk
grafiknya yang sangat melengkung artinya suhu kristalisasi berpengaruh cukup
signifikan terhadap yield UCF. Suhu kristalisasi yang rendah akan menginisiasi
pembentukan kristal yang semakin banyak. Menurut Idris, et al., (2014) Kondisi
ini suhu yang rendah mengarah pada proses fraksinasi yang maksimal, yakni asam
lemak jenuh dan sebagian asam lemak tak jenuh tunggal semakin mudah
terinklusi sehingga diperoleh fraksi asam lemak tak jenuh dengan kemurnian yang
tinggi. Sedangkan pada fraksi NUCF, karena nilai yield UCF dan NUCF
berbanding terbalik, maka ketika suhu meningkat yield UCF menurun maka yield
35
NUCF akan meningkat. Seperti yang telah dilakukan oleh Bi et al., (2010), yield
NUCF meningkat secara perlahan seiring suhu dari 10-30°C.
Gambar 4.6 Grafik Uji Respon Nilai Iodine Value pada UCF Variabel Suhu
Kristalisasi
Dari grafik diatas, grafik mngalami peningkatan. Jika dilihat dari bentuk
grafiknya yang sangat melengkung artinya suhu kristalisasi berpengaruh secara
signifikan terhadap iodine value. Iodine value UCF dan NUCF mengalami
peningkatan secara perlahan ketika suhu kristalisasi diatur semakin rendah pada
interval suhu 15°C, yakni rentang 15 – 25°C. Sesuai dengan pernyataan Jumari et
al., (2015), yakni semakin rendah suhu kristalisasi yang digunakan maka akan
semakin banyak komponen asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh tunggal
yang terkristal.
3.2.5 Pengaruh Waktu Kristalisasi pada Yield dan Iodine Value UCF dan
NUCF
Berdasarkan Tabel 4.1 dan Tabel 4.2 pengaruh waktu kristalisasi pada
yield dan iodine value menggunakan software Design Expert 7.0 dengan metode
36
response surface central composite design, seperti yang ditampilkan Gambar 4.7
dan Gambar 4.8.
Gambar 4.7 Grafik Uji Respon Nilai Yied pada UCF Variabel Waktu Kristalisasi
Berdasarkan grafik diatas, grafik mngalami peningkatan. Jika dilihat dari
bentuk grafiknya yang sangat melengkung artinya waktu berpengaruh cukup
sinifikan terhadap yield fraksi UCF. Semakin lama waktu kristalisasi maka yield
fraksi UCF akan semakin besar. Menurut Mayurid (2009), jika waktu yang
digunakan terlalu singkat maka hanya sedikit asam lemak yang membentuk
kompleks inklusi sehingga akan diperoleh fasa NUCF berupa konsentrat dengan
yield tinggi namun kadar asam lemak tak jenuh rendah. Estiasih (2010),
mengkonfirmasi fenomena ini terjadi karena penggabungan molekul
membutuhkan waktu penyesuaian tertentu agar mencapai hasil yang maksimal,
yakni telah terjadi kesetimbangan kristalisasi dinamis. Kondisi ini tercapai saat
reaksi terus berlangsung ke dua arah yang berlawanan secara mikroskopis, dengan
laju reaksi yang sama besar (Bi et al., 2010).
37
Gambar 4.8 Grafik Uji Respon Nilai Iodine Value pada UCF Variabel Waktu
Kristalisasi
Berdasarkan grafik diatas, iodine value akan mengalami penurunan dari 2
jam hingga waktu 4 jam kemudian akan meningkat pada suhu 6 jam, namun
perubahan ini tidak terlalu besar. Hal yang sama dikonfirmasi dalam penelitian
oleh Bi et al., (2010). Terlihat bahwa semakin lama waktu kristalisasi yang
digunakan akan berdampak pada peningkatan iodine value. Sebaliknya ketika
waktu yang digunakan cenderung singkat akan mengarah pada rendahnya
perolehan iodine value. Hal ini berlangsung karena pada selang waktu singkat
tersebut senyawa asam lemak junuh melampaui komponen asam lemak tak jenuh
tunggal perihal membentuk kompleks inklusi dengan urea. Adapun yang
menyebabkan lebih tingginya perolehan iodine value pada variabel kristalisasi 2
jam dibandingkan waktu 4 jam diduga dipengaruhi oleh faktor kolaps.
variabel rasio ura-metanol (A) dan waktu kristalisasi (C) dinyatakan sebagai AC,
dan interaksi variabel suhu kristalisasi (B) dan waktu kristalisasi (C) dinyatakan
sebagai BC.
(a) (b)
(c)
Gambar 4.9 Grafik Tiga Dimensi Respon Yield UCF Interaksi Rasio Urea-
Metanol dan Suhu Kristalisasi (a) 2 jam (b) 4 jam (c) 6 jam
Pengaruh interaksi rasio urea-metanol (A) dan suhu kristalisasi (B)
terhadap nilai yield biodiesel dapat dilihat pada Gambar 4.9. Untuk menentukan
pengaruh interaksi rasio urea-metanol (A) dan suhu kristalisasi (B), maka waktu
kristalisasi dijaga selama 2 jam, 4 jam dan 6 jam, sesuai variasi waktu pada
penelitian ini. Yield biodiesel tertinggi untuk waktu 2 jam adalah ketika rasio
urea-metanol dan suhu kristalisasi berturut-turut sebesar 1:1,75 dan 22,5oC
dengan yield biodiesel prediksi sebesar 69,50%. Yield biodiesel tertinggi untuk
waktu 4 jam adalah ketika rasio urea-metanol dan suhu kristalisasi berturut-turut
sebesar 1:1,8 dan 21,5oC dengan yield biodiesel prediksi sebesar 75,20%. Yield
biodiesel tertinggi untuk waktu 6 jam adalah ketika rasio urea-metanol dan suhu
kristalisasi berturut-turut sebesar 1:1,9 dan 21oC dengan yield biodiesel prediksi
sebesar 77,87%. Jadi, rasio urea-metanol dan suhu kristalisasi untuk menghasilkan
yield biodiesel tertinggi diperoleh pada waktu kristalisasi 6 jam dengan rasio urea-
metanol 1:1,9 dan suhu kristalisasi 21oC dimana yield biodiesel prediksi sebesar
77,87% sedangkan yield biodiesel hasil penelitian berkisar antara 74,96 – 79,66%.
39
(a) (b)
(c)
Gambar 4.10 Grafik Tiga Dimensi Respon Yield UCF Interaksi Rasio Urea-
Metanol dan Waktu Kristalisasi (a) 15oC (b) 20oC (c) 25oC
Pengaruh interaksi rasio urea-metanol (A) dan waktu kristalisasi (C)
terhadap nilai yield biodiesel dapat dilihat pada Gambar 4.10. Untuk menentukan
pengaruh interaksi rasio urea-metanol (A) dan waktu kristalisasi (C), maka suhu
kristalisasi dijaga pada 15oC, 20oC dan 25oC, sesuai variasi suhu pada penelitian
ini. Yield biodiesel tertinggi untuk suhu 15oC adalah ketika rasio urea-metanol dan
waktu kristalisasi berturut-turut sebesar 1:1,8 dan 3,3 jam dengan yield biodiesel
prediksi sebesar 76,71%. Yield biodiesel tertinggi untuk suhu 20oC adalah ketika
rasio urea-metanol dan waktu kristalisasi berturut-turut sebesar 1:1,8 dan 3,9 jam
dengan yield biodiesel prediksi sebesar 74,80%. Yield biodiesel tertinggi untuk
suhu 25oC adalah ketika rasio urea-metanol dan waktu kristalisasi berturut-turut
sebesar 1:1,82 dan 4 jam dengan yield biodiesel prediksi sebesar 68,98%. Jadi,
rasio urea-metanol dan waktu kristalisasi untuk menghasilkan yield biodiesel
tertinggi diperoleh pada suhu kristalisasi 15oC dengan rasio urea-metanol 1:1,8
dan waktu kristalisasi 3,3 jam dimana yield biodiesel prediksi sebesar 76,71
sedangkan yield biodiesel hasil penelitian berkisar antara 78,23-79,95%.
40
(a) (b)
(c)
Gambar 4.11 Grafik Tiga Dimensi Respon Yield UCF Interaksi Suhu Kristalisasi
dan Waktu Kristalisasi (a) 1:1 (b) 1:2 (c) 1:3
Pengaruh interaksi suhu kristalisasi (B) dan waktu kristalisasi (C) terhadap
nilai yield biodiesel dapat dilihat pada Gambar 4.11. Untuk menentukan pengaruh
interaksi suhu kristalisasi (B) dan waktu kristalisasi (C), maka rasio urea-metanol
dijaga sebesar 1:1, 1:2 dan 1:3, sesuai variasi rasio urea-metanol pada penelitian
ini. Yield biodiesel tertinggi untuk rasio urea metanol 1:1 adalah ketika suhu
kristalisasi dan waktu kristalisasi berturut-turut sebesar 18oC dan 4,4 jam dengan
yield biodiesel prediksi sebesar 70,05%. Yield biodiesel tertinggi untuk rasio urea-
metanol 1:2 adalah ketika suhu kristalisasi dan waktu kristalisasi berturut-turut
sebesar 18,5oC dan 4,7 jam dengan yield biodiesel prediksi sebesar 78,23%. Yield
biodiesel tertinggi untuk rasio urea-metanol 1:3 adalah ketika suhu kristalisasi dan
waktu kristalisasi berturut-turut sebesar 19,5oC dan 4,6 jam dengan yield biodiesel
prediksi sebesar 64,21%. Jadi, suhu kristalisasi dan waktu kristalisasi untuk
menghasilkan yield biodiesel tertinggi diperoleh pada rasio urea-metanol 1:2
dengan suhu kristalisasi 18,5oC dan waktu kristalisasi 4,7 jam dimana yield
biodiesel prediksi sebesar 78,23 sedangkan yield biodiesel hasil penelitian sebesar
74,96-79,95%.
41
(a) (b)
(c)
Gambar 4.12 Grafik Tiga Dimensi Respon Iodine Value UCF Interaksi Rasio
Urea-Metanol dan Waktu Kristalisasi (a) 2 jam (b) 4 jam (b) 6 jam
Pengaruh interaksi rasio urea-metanol (A) dan suhu kristalisasi (B)
terhadap nilai iodine value biodiesel dapat dilihat pada Gambar 4.12. Untuk
menentukan pengaruh interaksi rasio urea-metanol (A) dan suhu kristalisasi (B),
maka waktu kristalisasi dijaga selama 2 jam, 4 jam dan 6 jam, sesuai variasi
waktu pada penelitian ini. Iodine value biodiesel 30-40 untuk waktu 2 jam adalah
ketika rasio urea-metanol berkisar 1:1,1-1:1,5 dan suhu kristalisasi 20-20,5oC
dengan iodine value biodiesel prediksi berkisar 30,29-34,09 g I2/100 g biodiesel.
Iodine value biodiesel 30-40 untuk waktu 4 jam adalah ketika rasio urea-metanol
berkisar 1:1,1-1:1,2 dan suhu kristalisasi berkisar 21-22,4oC dengan iodine value
biodiesel prediksi berkisar 31,3-33,15 g I2/100 g biodiesel. Iodine value biodiesel
42
30-40 untuk waktu 6 jam adalah ketika rasio urea-metanol berkisar 1:1,1-1:1,2
dan suhu kristalisasi berkisar 20,5-22,5oC dengan iodine value biodiesel prediksi
berkisar 31.51-33,25 g I2/100 g biodiesel.
(a) (b)
(c)
Gambar 4.13 Grafik Tiga Dimensi Respon Iodine value UCF Interaksi Rasio
Urea-Metanol dan Waktu Kristalisasi (a) 15oC (b) 20oC (c) 25oC
Pengaruh interaksi rasio urea-metanol (A) dan waktu kristalisasi (C)
terhadap nilai iodine value biodiesel dapat dilihat pada Gambar 4.13. Untuk
menentukan pengaruh interaksi rasio urea-metanol (A) dan waktu kristalisasi (C),
maka suhu kristalisasi dijaga pada 15oC, 20oC dan 25oC, sesuai variasi suhu pada
penelitian ini. Iodine value biodiesel 30-40 untuk suhu 15oC adalah ketika rasio
urea-metanol berkisar 1:1,2-1:1,25 dan waktu kristalisasi berkisar 3-4 jam dengan
iodine value biodiesel prediksi berkisar 31,62-33,5 g I2/100 g biodiesel. Iodine
value biodiesel 30-40 terendah untuk suhu 20oC adalah ketika rasio urea-metanol
berkisar 1:1,2-1:1,3 dan waktu kristalisasi berkisar 3-4 jam dengan iodine value
biodiesel prediksi berkisar 31,62-33,39 g I2/100 g biodiesel. Iodine value biodiesel
30-40 untuk suhu 25oC adalah ketika rasio urea-metanol berkisar 1:1,1-1:1,45 dan
waktu kristalisasi berkisar 3,1-4 jam dengan iodine value biodiesel prediksi
berkisar 30,99-34,32 g I2/100 g biodiesel.
43
(a) (b)
(c)
Gambar 4.14 Grafik Tiga Dimensi Respon Iodine Value UCF Interaksi Suhu
Kristalisasi dan Waktu Kristalisasi (a) 1:1 (b) 1:2 (c) 1:3
Pengaruh interaksi suhu kristalisasi (B) dan waktu kristalisasi (C) terhadap
nilai iodine value biodiesel dapat dilihat pada Gambar 4.14. Untuk menentukan
pengaruh interaksi suhu kristalisasi (B) dan waktu kristalisasi (C), maka rasio
urea-metanol dijaga sebesar 1:1, 1:2 dan 1:3, sesuai variasi rasio urea-metanol
pada penelitian ini. Iodine value biodiesel 30-40 untuk rasio urea metanol 1:1
adalah ketika suhu kristalisasi berkisar 15-25oC dan waktu kristalisasi berkisar 2-
4,1 jam dengan iodine value biodiesel prediksi berkisar 33,96-35,58 g I2/100 g
biodiesel. Iodine value biodiesel untuk rasio urea-metanol 1:2 ketika suhu
kristalisasi 15-25oCdan waktu kristalisasi 2-6 jam berkisar antara 26,44-27,90 g
I2/100 g biodiesel. Nilai ini tidak memenuhi nilai yang diinginkan.
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah kami lakukan diperoleh sejumlah
kesimpulan yaitu :
1. Kompleksasi urea dapat memisahkan asam lemak tak jenuh ganda dari
biodiesel.
2. Didapat bilangan iodin 30-40 g I2/100 g biodiesel pada kondisi rasio urea-
metanol 1:2, suhu kristalisasi 20oC dan waktu kristalisasi 4 jam sesuai
kriteria biodiesel berperforma tinggi (< 30 – 40 g I2/100 g biodiesel).
3. Diperoleh kondisi optimal (bilangan iodin 30-40 g I2/100 g biodiesel) pada
variabel rasio urea-metanol 1:1,7 , suhu kristalisasi 25°C dan waktu
kristalisasi 2 jam dengan bilangan iodinnya 30 I2/100 g biodiesel.
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, saran dalam rangka
pengembangan hasil penelitian adalah diperlukan penelitian lebih lanjut dalam hal
menentukan kondisi terbaik proses selain dari faktor yang diteliti seperti rasio
biodiesel-metanol.
45
DAFTAR PUSTAKA
Adhani, L., Aziz, I., Nurbayti, S., & Oktaviana, C. O. (2016). Pembuatan
Biodiesel dengan Cara Adsorpsi dan Transesterifikasi Dari Minyak Goreng
Bekas. Jurnal Kimia VALENSI: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Ilmu
Kimia, 2(15), 71–80.
Andriati, K. (2017). Modifikasi Surfaktan CPC (Cetylpyridinium Chloride)
Berbantu Microwave pada Karbon Aktif untuk Meningkatkan Kapasitas
Adsorpsi Urea. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Anggraeni, N. F. (2018). Optimasi Komposisi Daun Katuk (Sauropus
Androgynus), Pektin dan Gula dengan Metode RSM (Response Surface
Methodology) dalam Pembuatan Selai Lembaran Buah Naga. Skripsi.
Universitas Jember.
Awaluddin, A. S., Nelvia, S., & W. (2012). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Produksi Biodiesel dari Minyak Sawit Mentah Menggunakan Katalis Padat
Kalsium Karbonat yang Dipijarkan. Jurnal Natur Indonesia, 11(2), 129.
Basuki, K. T., & Biyantoro, D. (2011). Kinetika Reaksi Pemisahan Zr – Hf pada
Ekstraksi Cair-Cair dalam Media Asam Nitrat. Jurnal Teknologi Bahan
Nuklir, 7(1), 44-55.
Devita, L. (2015). Biodiesel sebagai Bioenergi Alternatif dan Prospeftif. Jurnal
Agrica Ekstensia, 9(2), 23–26.
Efri Mardawati, Mahdi Singgih Hidayat, Devi Maulida Rahmah, & Rosalinda.
(2019). Produksi Biodiesel Dari Minyak Kelapa Sawit Kasar Off Grade
Dengan Variasi Pengaruh Asam Sulfat Pada Proses Esterifikasi Terhadap
Mutu Biodiesel Yang Dihasilkan. Jurnal Industri Pertanian, 1(3), 46–60.
Guo, W., Zhu, Y., Han, Y., Wei, Y., dan Luo, B. (2017). Separation mechanism
of fatty acids from waste cooking oil and its flotation performance in iron ore
desiliconization. Journal of Mineral, 7(244), 1-13.
Harris, K. D. M. (2007). Fundamental and applied aspects of urea and thiourea
inclusion compounds. Supramolecular Chemistry, 19(01-02), 47-53.
Hayes, D. G., Bengtsson, Y. C., Alstine, J. M. Van, & Setterwall, F. (1998). Urea
Complexation for the Rapid, Ecologically Responsible Fractionation of Fatty
46
47
Acids from Seed Oil. Journal of the American Oil Chemists' Society, 75 (10).
Hoekman, S. K., Broch, A., Robbins, C., Ceniceros, E., & Natarajan, M. (2012).
Review of Biodiesel Composition, Properties, and Specifications. Renewable
and Sustainable Energy Reviews, 16(1), 143-169.
Idris, N. A., Loh, S. K., dan Choo, Y. M. (2014). Urea fractionation of used palm
oil methyl esters. Journal of Oil Palm Research, 26(3), 226-231.
Julianti, N. K., Wardani, T. K., & Gunardi, I. (2014). Pembuatan Biodiesel dari
Minyak Kelapa Sawit RBD dengan Menggunakan Katalis Berpromotor
Ganda Berpenyangga γ-Alumina (CaO/MgO/ γ-Al2O3) dalam Reaktor
Fluidized Bed. Jurnal Teknik Pomits, 3(2), 143–148.
Jumari, A. (2015). Fraksinasi Kompleksasi Urea Pada Minyak Dedak Padi Dalam
Peningkatan Konsentrasi Asam Lemak Tak Jenuh. Journal of Ekuilibium,
14(1), 17–22.
Jumina, J., Lavendi, W., Singgih, T., Triono, S., Steven Kurniawan, Y., &
Koketsu, M. (2019). Preparation of Monoacylglycerol Derivatives from
Indonesian Edible Oil and Their Antimicrobial Assay against Staphylococcus
aureus and Escherichia coli. Journal of Scientific Reports, 9(1), 1–8.
Khasanah, E. U. (2018). Karakteristik Asam Lemak Hasil Inklusi Urea dari
Minyak Kepala Ikan Patin (Pangasius djambal). Skripsi. Universitas Jember.
Knothe, G. (2005). Dependence of biodiesel fuel properties on the structure of
fatty acid alkyl esters. Journal of Fuel Processing Technology, 86(10), 1059–
1070.
Knothe, G. (2008). “Designer” biodiesel: Optimizing fatty ester composition to
improve fuel properties. Journal of Energy and Fuels, 22(2), 1358–1364.
Komang, H. (2020). Fraksionasi Metil Ester Asam Lemak (Biodiesel)
Menggunakan Pelarut Urea. JOM FTEKNIK, Vol. 7.
Kuswana, W. W., Gadri, A., & Suparman, A. (2017). Optimasi Formula Sediaan
Lipstik dengan Kombinasi Basis Beeswax dan Carnauba Wax Menggunakan
Metode SLD (Simplex Lattice Design). Prosiding Farmasi, 3(2), 142–149.
Lee, Y.-H., Shin, J.-A., Zhang, H., Lee, K.-T., Kim, K.-S., Jang, Y.-S., & Park,
K.-G. (2012). Improvement of Low Temperature Property of Biodiesel from
Palm Oil and Beef Tallow Via Urea Complexation. Journal of The Korean
48
Crude Palm Oil (Cpo) Sebagai Bahan Bakar Alternatif Melalui Proses
Transesterifikasi Langsung. Jurnal Teknologi Agro-Industri, 2(1), 38.
Sabinazan musadhaz, D. S. dan D. H. T. (2012). Pembuatan Biodiesel Biji Karet
Dan Biodiesel Sawit Dengan Instrumen Ultrasonik Serta Karakteristik
Campurannya. Jurnal Teknologi Industri Pertanian, 22(3), 180–188.
Sahbana, M. A., & Fuhaid, N. (2012). Pengaruh Variasi Temperatur Pemanasan
Awal Biodisel Terhadap Konsumsi Bahan Bakar Dan Daya Pada Motor
Disel 4 Tak 4 Silinder. PROTON, 4(01), 6-11.
Setyawardhani, Dwi Ardiana, Sulistyo, H., Sediawan, W. B., & Fahrurrozi, M.
(2016). Peranan Waktu Pengadukan Terhadap Karakteristik Kompleksasi
Urea sebagai Sarana Pemisahan Asam Lemak Omega dari Minyak Nabati.
Reaktor, 16(2), 81–86.
Setyawardhani, Dwi Ardina, Laras, D. S., & Prasetya, K. J. (2020). Journal of
Chemical Process Engineering Lemak Omega dari Minyak Biji Anggur.
Journal of Chemical Process Engineering, 5(2655), 1–8.
Swern, D., & Parker, W. E. (1952). Application of urea complexes in the
purification of fatty acids, esters, and alcohols. I. Oleic acid from inedible
animal fats. Journal of the American Oil Chemists Society, 29(10), 431–434.
Tambun, R., Limbong, H. P., Pinem, C., & Manurung, E. (2016). Pengaruh
Ukuran Partikel, Waktu dan Suhu pada Ekstraksi Fenol dari Lengkuas
Merah. Jurnal Teknik Kimia USU, 5(4), 53–56.
Wahyudin, Tambunan H, A., Purwanti, N., Joelianingsih, & Nabetani, H. (2018).
Tinjauan Perkembangan Proses Katalitik Heterogen dan Non-Katalitik untuk
Produksi Biodiesel. Jurnal Ketenikan Pertanian, 6(1), 136.
Wanasundara, U. N., & Shahidi, F. (1999). Concentration of omega 3-
polyunsaturated fatty acids of seal blubber oil by urea complexation:
Optimization of reaction conditions. Food Chemistry, 65(1), 41–49.
Wang, W., Mugford, F. P., dan Heuvel, C. T. D. (2014). 2014/140864 A2. Patent
Cooperation Treaty.
Zulhardi, R., Restuhadi, F., & Zalfiatri, Y. (2018). Penambahan Metanol pada
Pembuatan Biodiesel dari Minyak Jelantah dengan Katalis Abu Gosok.
Jurnal UR, 5(1), 1–10.
LAMPIRAN A
PERHITUNGAN KEBUTUHAN REAGEN DAN UJI
= 0,87168 gram/ml
= x 209,2032 gram
= 653,76 gram
2. Urea : Metanol 1:1
Urea (w) : Metanol (v)
1 : 1
= 209,2032 ml
= x 209,2032 gram
= 209,2032 gram
3. Urea : Metanol 1:2
Urea (w) : Metanol (v)
1 : 2
= 209,2032 ml
= x 209,2032 gram
= 104,6016 gram
4. Urea : Metanol 1:3
Urea (w) : Metanol (v)
1 : 3
= 209,2032 ml
= x 209,2032 gram
= 69,7344 gram
5. Urea : Metanol 1 : 3,68
Urea (w) : Metanol (v)
1 : 3,68
= 209,2032 ml
= x 209,2032 gram
= 56,8487 gram
= 12,4 gram
=
A.4.3 Larutan Amilum 0,5%
=
=
LAMPIRAN B
DIAGRAM ALIR
Mulai
Metanol Urea
Urea - metanol
Dioven pada suhu 105oC hingga berat Dioven pada suhu 105oC hingga berat
konstan konstan
Biodiesel
Ditritasi
YA
2 ml Indikator
Ditentukan titik akhir titrasi
amilum 0,5%
Dititrasi kembali
YA
Dicatat volume larutan standar yang habis
digunakan selama proses titrasi
Selesai
Tabel C.2-2 Rancangan Tabel Data Asam Lemak dalam Filtrat (non-urea
complexing fraction)
No. Komponen Persentase (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
LAMPIRAN D
PERHITUNGAN HASIL
Yield (%) =
= 70,35 %
b. NUCF
= 45,2015 gram
= 45,2015 gram
=
= 45,2015 gram – 45,2015 gram
= 0 gram
Yield (%) =
=0%
Yield (%) =
= 60,03 %
b. NUCF
= 45,3122 gram
= 45,3122 gram
=
= 45,3122 gram – 45,3122 gram
= 0 gram
Yield (%) =
=0%
3. Rasio Urea:Metanol 1:3, suhu kristalisasi 15oC dan waktu kristalisasi 2
jam
a. UCF
= 42,5551 gram
= 61,2823 gram
=
= 61,2823 gram – 42,5551 gram
= 18,7272 gram
Yield (%) =
= 53,71 %
b. NUCF
= 44,1722 gram
= 47,9663 gram
=
= 47,9663 gram – 44,1722 gram
= 3,7941 gram
Yield (%) =
= 20,26 %
4. Rasio Urea:Metanol 1:2, suhu kristalisasi 20oC dan waktu kristalisasi 0,64
jam
a. UCF
= 45,6364 gram
= 68,3942 gram
=
= 68,3942 gram – 45,6364 gram
= 22,7578 gram
Yield (%) =
= 65,27 %
b. NUCF
= 45,6603 gram
= 47,0804 gram
=
= 47,0804 gram – 45,6603 gram
= 1,4201 gram
Yield (%) =
= 6,24 %
= 79,95 %
b. NUCF
= 45,642 gram
= 47,4372 gram
=
= 47,4372 gram – 45,642 gram
= 1,7952 gram
Yield (%) =
= 6,44 %
Yield (%) =
= 51,01 %
b. NUCF
= 46,661 gram
= 50,3498 gram
=
= 50,3498 gram – 46,661 gram
= 3,6888 gram
Yield (%) =
=0%
Yield (%) =
= 78,23 %
b. NUCF
= 46,7516 gram
= 47,2208 gram
=
= 47,2208 gram – 46,7516 gram
= 0,4692 gram
Yield (%) =
= 1,72 %
Yield (%) =
= 38,16 %
b. NUCF
= 46,7144 gram
= 52,4490 gram
=
= 52,4490 gram – 46,7144 gram
= 5,7346 gram
Yield (%) =
= 43,1 %
9. Rasio Urea:Metanol 1:2, suhu kristalisasi 20oC dan waktu kristalisasi 7,36
jam
a. UCF
= 46,7617 gram
= 74,5369 gram
=
= 74,5369 gram – 46,7617 gram
= 27,7752 gram
Yield (%) =
= 79,66 %
b. NUCF
= 46,7144 gram
= 48,5087 gram
=
= 48,5087 gram – 46,7144 gram
= 1,7943 gram
Yield (%) =
= 6,46 %
10. Rasio Urea:Metanol 1:1, suhu kristalisasi 25oC dan waktu kristalisasi 6
jam
a. UCF
= 46,0211 gram
= 67,7503 gram
=
= 67,7503 gram – 46,0211 gram
= 21,7292 gram
Yield (%) =
= 62,32 %
b. NUCF
= 45,3566 gram
= 45,3566 gram
=
= 45,3566 gram – 45,3566 gram
= 0 gram
Yield (%) =
=0%
11. Rasio Urea:Metanol 1:2, suhu kristalisasi 20oC dan waktu kristalisasi 4
jam
a. UCF
= 45,0332 gram
= 71,1697 gram
=
= 71,1697 gram – 45,0332 gram
= 26,1365 gram
Yield (%) =
= 74,96 %
b. NUCF
= 46,7516 gram
= 48,4348 gram
=
= 48,4348 gram – 46,7516 gram
= 1,6832 gram
Yield (%) =
= 6,44 %
12. Rasio Urea:Metanol 1:2, suhu kristalisasi 20oC dan waktu kristalisasi 4
jam
a. UCF
= 46,2165 gram
= 72,9631 gram
=
= 2,9631 gram – 46,2165 gram
= 26,7466 gram
Yield (%) =
= 76,71 %
b. NUCF
= 46,1896 gram
= 47,9148 gram
=
= 47,9148 gram – 46,1896 gram
= 1,7252 gram
Yield (%) =
= 6,45 %
13. Rasio Urea:Metanol 1:2, suhu kristalisasi 20oC dan waktu kristalisasi 4
jam
a. UCF
= 46,2165 gram
= 72,9631 gram
=
= 72,9631 gram – 46,2165 gram
= 26,7466 gram
Yield (%) =
= 76,71 %
b. NUCF
= 46,1896 gram
= 47,9121 gram
=
= 47,9121 gram – 46,1896 gram
= 1,7225 gram
Yield (%) =
= 6,44 %
14. Rasio Urea:Metanol 1:3, suhu kristalisasi 15oC dan waktu kristalisasi 6
jam
a. UCF
= 46,7639 gram
= 69,6786 gram
=
= 69,6786 gram – 46,7639 gram
= 22,9147 gram
Yield (%) =
= 65,72 %
b. NUCF
= 46,6821gram
= 53,1211 gram
=
= 53,1211 gram – 46,6821 gram
= 6,4390 gram
Yield (%) =
= 28,1 %
15. Rasio Urea:Metanol 1:1, suhu kristalisasi 15oC dan waktu kristalisasi 2
jam
a. UCF
= 45,3457gram
= 68,7172 gram
=
= 68,712 gram – 45,3457 gram
= 23,3715 gram
Yield (%) =
= 67,03 %
b. NUCF
= 45,2015 gram
= 45,3955 gram
=
= 45,3955 gram – 45,2015 gram
= 0,1940 gram
Yield (%) =
= 0,83 %
16. Rasio Urea:Metanol 1:3, suhu kristalisasi 25oC dan waktu kristalisasi 6
jam
a. UCF
= 45,8154 gram
= 67,1227 gram
=
= 67,1227 gram – 45,8154 gram
= 21,3073 gram
Yield (%) =
= 61,11 %
b. NUCF
= 45,7329 gram
= 51,8929 gram
=
= 51,8929 gram – 45,7329 gram
= 6,1600 gram
Yield (%) =
= 28,91 %
17. Rasio Urea:Metanol 1:2, suhu kristalisasi 28,4oC dan waktu kristalisasi 4
jam
a. UCF
= 46,4823 gram
= 68,4173 gram
=
= 68,4173 gram – 46,4823 gram
= 21,9350 gram
Yield (%) =
= 62,91 %
b. NUCF
= 46,7184 gram
= 47,3677 gram
=
= 47,3677 gram – 46,7184 gram
= 0,6493 gram
Yield (%) =
= 2,96 %
18. Rasio Urea:Metanol 1:2, suhu kristalisasi 20oC dan waktu kristalisasi 4
jam
a. UCF
= 46,2165 gram
= 72,9631 gram
=
= 72,9631 gram – 46,2165 gram
= 26,7466 gram
Yield (%) =
= 76,71 %
b. NUCF
= 46,1896 gram
= 48,5005 gram
=
= 48,5005 gram – 46,1896 gram
= 2,3109 gram
Yield (%) =
= 8,64 %
19. Rasio Urea:Metanol 1:0,32, suhu kristalisasi 20oC dan waktu kristalisasi 4
jam
a. UCF
= 45,6778 gram
= 63,1916 gram
=
= 63,1916 gram – 45,6778 gram
= 17,5138 gram
Yield (%) =
= 50,23 %
b. NUCF
= 45,4567 gram
= 45,4567 gram
=
= 45,4567 gram – 45,4567 gram
= 0 gram
Yield (%) =
=0%
20. Rasio Urea:Metanol 1:2, suhu kristalisasi 20oC dan waktu kristalisasi 4
jam
a. UCF
= 46,2165 gram
= 72,9631 gram
=
= 72,9631 gram – 46,2165 gram
= 26,7466 gram
Yield (%) =
= 76,71 %
b. NUCF
= 46,1896 gram
= 47,9121 gram
=
= 47,9121 gram – 46,1896 gram
= 1,7225 gram
Yield (%) =
= 6,44 %
A.6 Perhitungan Bilangan Iod
Perhitungan bilangan iod sebagai berikut
IN =
b. NUCF
= 39 ml
= ml
IN =
= 0 I2/100 gram
IN =
IN =
= 0 I2/100 g
IN =
= 24,99 I2/100 g
b. NUCF
= 39 ml
= 25,7 ml
IN =
= 41,72 I2/100 g
4. Rasio Urea:Metanol 1:2, suhu kristalisasi 20oC dan waktu kristalisasi 0,64
jam
a. UCF
= 39 ml
= 29,8 ml
IN =
= 29,38 I2/100 g
b. NUCF
= 39 ml
= 19,8 ml
IN =
=62,06 I2/100 g
IN =
=24,9 I2/100 g
b. NUCF
= 39 ml
= 22,79 ml
IN =
= 51,72 I2/100 g
6. Rasio Urea:Metanol 1:3, suhu kristalisasi 25oC dan waktu kristalisasi 2
jam
a. UCF
= 39 ml
= 31,2 ml
IN =
= 24,88 I2/100 g
b. NUCF
= 39 ml
= 11,7 ml
IN =
= 87,34 I2/100 g
IN =
= 28,27 I2/100 g
b. NUCF
= 39 ml
= 31,1 ml
IN =
= 25,02 I2/100 g
IN =
= 26,93 I2/100 g
b. NUCF
= 39 ml
= 30,2 ml
IN =
= 28,38 I2/100 g
9. Rasio Urea:Metanol 1:2 , suhu kristalisasi 20oC dan waktu kristalisasi 7,36
jam
a. UCF
= 39 ml
= 31 ml
IN =
= 25,69 I2/100 g
b. NUCF
= 39 ml
= 22,99 ml
IN =
= 50,97 I2/100 g
10. Rasio Urea:Metanol 1:1 , suhu kristalisasi 25oC dan waktu kristalisasi 6
jam
a. UCF
= 39 ml
= 28 ml
IN =
= 35,14 I2/100 g
b. NUCF
= 39 ml
= 39 ml
IN =
= 0 I2/100 g
11. Rasio Urea:Metanol 1:2, suhu kristalisasi 20oC dan waktu kristalisasi 4
jam
a. UCF
= 39 ml
= 31,2 ml
IN =
= 24,9 I2/100 g
b. NUCF
= 39 ml
= 22,7 ml
IN =
= 51,72 I2/100 g
12. Rasio Urea:Metanol 1:2, suhu kristalisasi 20oC dan waktu kristalisasi 4
jam
a. UCF
= 39 ml
= 30,9 ml
IN =
= 25,69 I2/100 g
b. NUCF
= 39 ml
= 22,6 ml
IN =
= 52,79 I2/100 g
13. Rasio Urea:Metanol 1:2, suhu kristalisasi 20oC dan waktu kristalisasi 0,64
jam
a. UCF
= 39 ml
= 31,3 ml
IN =
= 24,9 I2/100 g
b. NUCF
= 39 ml
= 22,8 ml
IN =
= 51,72 I2/100 g
14. Rasio Urea:Metanol 1:3, suhu kristalisasi 15oC dan waktu kristalisasi 6
jam
a. UCF
= 39 ml
= 30,9 ml
IN =
= 25,61 I2/100 g
b. NUCF
= 39 ml
= 20,9 ml
IN =
=58,64 I2/100 g
15. Rasio Urea:Metanol 1:1, suhu kristalisasi 15oC dan waktu kristalisasi 2
jam
a. UCF
= 39 ml
= 27,9 ml
IN =
= 35,46 I2/100 g
b. NUCF
= 39 ml
= 35,7 ml
IN =
= 10,63 I2/100 g
16. Rasio Urea:Metanol 1:3, suhu kristalisasi 25oC dan waktu kristalisasi 6
jam
a. UCF
= 39 ml
= 30,4 ml
IN =
= 27,56 I2/100 g
b. NUCF
= 39 ml
= 21,8 ml
IN =
= 55,97 I2/100 g
17. Rasio Urea:Metanol 1:2, suhu kristalisasi 28,4oC dan waktu kristalisasi 4
jam
a. UCF
= 39 ml
= 29,7 ml
IN =
= 30,17 I2/100 g
b. NUCF
= 39 ml
= 33 ml
IN =
= 19,5 I2/100 g
18. Rasio Urea:Metanol 1:2, suhu kristalisasi 20oC dan waktu kristalisasi 4
jam
a. UCF
= 39 ml
= 29,7 ml
IN =
= 29,94 I2/100 g
b. NUCF
= 39 ml
= 18,6 ml
IN =
= 64,87 I2/100 g
19. Rasio Urea:Metanol 1:0,32, suhu kristalisasi 20oC dan waktu kristalisasi 4
jam
a. UCF
= 39 ml
= 25,9 ml
IN =
= 41,58 I2/100 g
b. NUCF
= 39 ml
= 39 ml
IN =
= 0 I2/100 g
20. Rasio Urea:Metanol 1:2, suhu kristalisasi 20oC dan waktu kristalisasi 4
jam
a. UCF
= 39 ml
= 31,3 ml
IN =
= 24,9 I2/100 g
b. NUCF
= 39 ml
= 22,9 ml
IN =
= 51,41 I2/100 g
LAMPIRAN E
DOKUMENTASI
Gambar E.1 Proses pelarutan padatan Gambar E.2 Kondisi larutan setelah
urea dengan metanol ditambahkan biodiesel
Gambar E.3 Proses separasi terhadap Gambar E.4 Proses pemisahan hasil
perolehan hasil kristalisasi NUCF
(a) (b)
Gambar E.5 Proses pemisahan hasil Gambar E.6 Produk hasil (a) NUCF
UCF dan (b) UCF
Gambar E.7 Campuran sampel, Gambar E.8 Hasil titrasi tahap awal
larutan CaCl3 dan
larutan Wijs
Gambar E.9 larutan setelah ditambah Gambar E.8 Hasil titrasi akhir
Indikator amilum