Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

SEMESTER VI MODUL XX
(KEGAWATDARURATAN MEDIK)
SKENARIO 4
“ISENG BERBUAH PETAKA”

Disusun Oleh:
ADE MARIAM FADILLA MASRI (71190811005)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
MEDAN
2022

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-
Nya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai dengan
kemampuan sederhana yang saya miliki . Tidak lupa saya juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca. Agar ke depannya dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih
baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya
yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu saya
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Medan, 14 Mei 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1

1.2 Identifikasi Masalah 2

1.3 Rumusan Masalah 2

1.4 Tujuan 2
BAB II 3
PEMBAHASAN 3
2.1 Golongan, farmakokinetik dan farmakodinamik dari racun atau bisa hewan sesuai
dengan literatur. 3

2.2 Farmakokinetik dan farmakodinamik dari antidotum spesifik serta obat-obat yang
umum digunakan untuk mengatasi kegawatdaruratan sistem kardiovaskuler dan sistem
respirasi karena racun atau bisa hewan sesuai dengan literatur. 10

2.3 Prinsip dasar tatalaksana farmakologis kondisi gawat darurat akibat racun atau
bisa hewan berdasarkan kondisi pasien sesuai dengan literatur. 14
BAB III 18
PENUTUP 18
3.1 KESIMPULAN 18

3.2 SARAN 19
DAFTAR PUSTAKA 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia Spesies ular
dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa memilikisepasang
taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat saluran bisa untuk
menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau intramuskular. Bisa
adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus
juga berperan pada sistem pertahanan diri.

Gigitan ular merupakan suatu keadaan gawat darurat yang apabila tidak segera
ditangani dapat menyebabkan kematian. Resiko infeksi gigitan lebih besar dari luka biasa
karena toksik / racun mengakibatkan infeksi yang lebih parah. Tidak semua ular berbisa
tetapi karena hidup pasien tergantung ketepatan diagnosa maka pada keadaan yang
meragukan ambil sikap menganggap semua gigitan ular berbisa. Pada kasus gigitan ular 11
% kemungkinan meninggal karena racun ular bersifat Hematotoksik, Neurotoksik, dan
Hitaminik.

1
1.2 Identifikasi Masalah

1. Seseorang terkena gigitan ular setelah itu mengalami nyeri di kepala atau
pusing, sesak dan perlu penanganan kegawatdaruratan segera.
2. Pada pasien di lakukan imobilisasi setelah itu di IGD di berikan infus berupa
SABU.

1.3 Rumusan Masalah

1. Apakah penyebab nyeri kepala dan sesak nafas pada pasien?


2. Bagaimana alur dari kegawatdaruratan jika terkena bisa ular ?
3. Apa kegunaan dari imobilisasi terhadap orang yang terkena bisa ular?
4. Apa saja kesalahan dalam pertolongan pertama jika sesorang mengalami
keracunan bisa binatang?
5. Bagaimana cara pemberian Sabu yang baik dan benar?
6. Sebutkan jenis jenis serum antikeracunan pada binatang dan dosis?

1.4 Tujuan

1. Mahasiswa mampu menjelaskan golongan, farmakokinetik dan


farmakodinamik dari racun atau bisa hewan sesuai dengan literatur.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan farmakokinetik dan farmakodinamik dari
antidotum spesifik serta obat-obat yang umum digunakan untuk mengatasi
kegawatdaruratan sistem kardiovaskuler dan sistem respirasi karena racun
atau bisa hewan sesuai dengan literatur.
3. Mahasiswa mampu menentukan prinsip dasar tatalaksana farmakologis
kondisi gawat darurat akibat racun atau bisa hewan berdasarkan kondisi
pasien sesuai dengan literatur.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Golongan, farmakokinetik dan farmakodinamik dari racun atau


bisa hewan sesuai dengan literatur.

Gigitan binatang berbisa adalah gigitan atau serangan yang di akibatkan


oleh gigitan hewan berbisa seperti ular, laba-laba, kalajengking, dll. Racun adalah
zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara yang
menghambat respons pada sistem biologis dan dapat menyebabkan gangguan
kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Di sekeliling kita ada racun alam yang
terdapat pada beberapa tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah gigitan ular
berbisa yang sering terjadi di daerah tropis dan subtropis.
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan
mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut
merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus.
Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah
parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa
ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran
kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada
spesies, ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah
hanya satu atau kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang
terjadi. Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada
umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk
famili ini adalah ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular
tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus).
Ular berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili
Elapidae, Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan tegak
3
permanen. Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora
intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan
ular king kobra (Ophiophagus hannah).
Bisa ular mengandung toksin dan enzim yang berasal dari air liur. Bisa
tersebut bersifat:
• Neurotoksin: berakibat pada saraf perifer atau sentral. Berakibat fatal
karena paralise otot-otot lurik. Manifestasi klinis: kelumpuhan otot
pernafasan, kardiovaskuler yang terganggu, derajat kesadaran menurun
sampai dengan koma.
• Hamotoksin: bersifat hemolitik dengan zat antara fosfolipase dan enzim
lainnya atau menyebabkan koagulasi dengan mengaktifkan protrombin.
Perdarahan itu sendiri sebagai akibat lisisnya sel darah merah karena
toksin. Manifestasi klinis: luka bekas gigitan yang terus berdarah,
haematom pada tiap suntikan IM, hematuria, hemoptisis, hematemesis,
gagal ginjal.
• Myotoksin: mengakibatkan rhabdomiolisis yang sering berhubungan
dengan mhaemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan
ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.
• Kardiotoksin: merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan
kerusakan otot jantung.
• Cytotoksin: dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya
berakibat terganggunya kardiovaskuler.
• Cytolitik: zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di
jaringan pada tempat patukan
• Enzim-enzim: termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran
bisa.
Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada
korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke
tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku,
dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi
sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada

4
korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring (fang
marks), nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah
bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat
gigitan ular dari famili Viperidae).
Komposisi bisa ular 90% terdiri dari protein. Masing-masing bisa memiliki
lebih dari ratusan protein berbeda: enzim (meliputi 80-90% bisa viperidae dan 25-
70% bisa elapidae), toksin polipeptida non-enzimatik, dan protein non-toksik,
seperti faktor pertumbuhan saraf. Enzim pada bisa ular meliputi hidrolase digestif,
hialuronidase, dan aktivator atau inaktivator proses fisiologis, seperti kininogenase.
Sebagian besar bisa mengandung L-asam amino oksidase, fosfomono- dan
diesterase, 5`-nukleotidase, DNAase, NAD-nukleosidase, fosfolipase A2, dan
peptidase.
Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada
korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke
tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku,
dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi
sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada
korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring (fang
marks), nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah
bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat
gigitan ular dari famili Viperidae).
Gigitan binatang berbisa adalah gigitan atau serangan yang di akibatkan
oleh gigitan hewan berbisa seperti ular, laba-laba, kalajengking, dll. Racun adalah
zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara yang
menghambat respons pada sistem biologis dan dapat menyebabkan gangguan
kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Di sekeliling kita ada racun alam yang
terdapat pada beberapa tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah gigitan ular
berbisa yang sering terjadi di daerah tropis dan subtropis.
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan
mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut
merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus.

5
Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah
parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular
tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran
kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada
spesies, ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah
hanya satu atau kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi.
Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada umumnya
bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini adalah
ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali
(Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus).
Ular berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili
Elapidae, Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan tegak
permanen. Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora
intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan
ular king kobra (Ophiophagus hannah).
WHO mengklasifikasi ular berbisa yang penting secara medis pada regional
Asia tenggara yaitu dijumpai tiga famili ular berbisa pada Asia Tenggara (Elapidae,
Viperidae, dan Colubridae) (Warrell 2010):
• Elapidae: memiliki gigi taring pendek di depan (proteroglyph). Famili ini
meliputi kobra, raja kobra, kraits, ular koral, ular Australia dan ular laut.
Elapidae secara relatif merupakan ular yang cukup panjang, kurus, memiliki
warna seragam dengan sisik simetrikal besar halus pada puncak kepala.
Beberapa kobra, meninggikan bagian depan tubuhnya dari tanah dan
melebar dan merata dari leher untuk membentuk kerudung. Beberapa
spesies kobra dapat meludahkan bisanya hingga 1 meter atau lebih terhadap
mata korbannya. Ular laut berbisa memiliki ekor yang lebar seperti padel
dan skala ventral mengecil atau hilang.
• Viperidae: memiliki gigi taring yang cukup panjang (solenogyph) yang
secara normal terlipat rata terhadap rahang atas, tetapi saat menyerang akan
menjadi tegang. Ada dijumpai dua subfamili, viper tipikal (Viperinae) dan

6
viper pit (Crotalinae). Crotalinae memiliki organ khusus untuk mendeteksi
korban berdarah panas yang terletak diantara hidung dan mata. Viperidae
merupakan ular yang relatif pendek, bertubuh tebal dengan banyak sisik
kasar pada puncak kepala dan pola warna yang khas pada permukaan dorsal
tubuh.
• Colubridae: dua spesies penting yang telah diidentifikasi pada regional Asia
Tenggara adalah Rhabdophis subminiatus berleher merah dan Rhabdophis
triginus. Piton besar (Boidae), merupakan Python reticularis di Indonesia,
pernah dilaporkan menyerang dan menelan manusia, yang biasanya petani.

Golongan bisa ular:


• Neurotoksin: berakibat pada saraf perifer atau sentral. Berakibat fatal karena
paralise otot-otot lurik. Manifestasi klinis: kelumpuhan otot pernafasan,
kardiovaskuler yang terganggu, derajat kesadaran menurun sampai dengan
koma.
• Hepatoksik: beracun pada hati
• Nefrotoksik: beracun pada ginjal
• Pneumotoksik: beracun pada paru-paru.
• Hemotoksin: bersifat hemolitik dengan zat antara fosfolipase dan enzim
lainnya atau menyebabkan koagulasi dengan mengaktifkan protrombin.
Perdarahan itu sendiri sebagai akibat lisisnya sel darah merah karena toksin.
• Myotoksin: mengakibatkan rhabdomiolisis yang sering berhubungan
dengan mhaemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan
ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.
• Kardiotoksin: merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan
kerusakan otot jantung.
• Cytotoksin: dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya
berakibat terganggunya kardiovaskuler.
• Cytolitik: zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di
jaringan pada tempat patukan.

7
Klasifikasi Gigitan Ular Berbisa
Derajat 0
• Bekas gigitan satu/ banyak dan datar Tidak nyeri
• Eritema minimal
• Tanpa gejala sistemik 12 jam pertama
Derajat 1
• Didapatkan bekas taring
• Nyeri dan eritema sampai 12 jam pertama
• Oedema 1-5 cm sekitar gigitan
Derajat 2
• Tampak bekas taring Nyeri berat
• Edema dan eritema 6-12 jam pertama dan meluas ± gejala sistemik mual,
neurotosik, dan syok.
Derajat 3
• Derajat 2 + gejala sistemik hipotensi, petekiae, ekimosis, dan syok.
Derajat 4
• Derajat 3 dengan multiple organ failure seperti gagal ginjal, koma, sputum
berdarah, edema distal dari gigitan.

Absorpsi (Proses Invasi)


Semua proses transfer xenobiotik dari lingkungan menuju sistem peredaran
darah dirangkum kedalam proses invasi, proses ini juga digambarkan sebagai
resorpsi. Laju resorpsi xenobiotik ditentukan oleh daerah paparan (topikal, oral,
inhalasi atau injeksi), bentuk farmasetik xenobiotik (tablet, salep, sirop, aerosol,
suspensi atau larutan), proses resorpsi, sifat fisikokimia xenobiotik dan
konsentrasinya. Pada pemakaian oral (misal sediaan dalam bentuk padat), maka
terlebih dahulu kapsul/tablet akan terdistegrasi, sehingga xenobiotika akan telarut
di dalam cairan saluran pencernaan. Paparan xenobiotika (rute administrasi) dapat
melalui oral, inhalasi, topikal, rektal, atau vaginal. Sedangkan pemasukan
xenobiotika langsung ke sirkulasi sistemik (injeksi), dapat dikatakan bahwa
xenobiotika tidak mengalami proses absorpsi
8
Distribusi
Setelah xenobiotik mencapai sistem peredahan darah, bersama darah akan
terdistribusi ke seluruh tubuh. Weiss (1990) membagi distribusi ke dalam konveksi
(transpor xenobiotik bersama peredaran darah) dan difusi (difusi xenobiotik di
dalam sel atau jaringan). Sirkulasi sistemik sangat memegang peranan penting
dalam transport xenobiotika antar organ dan jaringan di dalam tubuh. Sehingga laju
peredaran darah di dalam organ atau jaringan juga akan menentukan kecepatan
distribusi xenobiotika di dalam tubuh. Organ tubuh seperti ginjal, hati, otak, paru-
paru, jantung, lambung dan usus, adalah organ-organ yang memiliki laju aliran
darah (perfusi) yang baik. Karena laju aliran darah dalam organ-organ ini sangat
baik, maka xenobiotika akan sangat cepat terdistribusi homogen di dalam organ
tersebut, jika dibandingkan pada organ-organ yang memiliki laju aliran darah relatif
lambat.
Eliminasi
Metabolisme dan ekskresi dapat dirangkum ke dalam eliminasi, yaitu proses
hilangnya xenobiotika dari dalam tubuh organisme. Eliminasi suatu xenobiotika
dapat melalui reaksi biotransformasi (metabolisme) atau ekskresi xenobiotika
melalui ginjal, empedu, saluran pencernaan, dan jalur eksresi lainnya (kelenjar
keringat, kelenjar mamae, kelenjar ludah, dan paru-paru). Jalur eliminasi yang
paling penting adalah eliminasi melalui hati (reaksi metabolisme) dan eksresi
melalui ginjal.
Bisa ular yang telah masuk kedalam darah korbannya akan memblokade
tempat rreseptor jaringan tubuh. Sehingga akan menghalangi proses biokimawi dan
fisiologis tubuh, seperti pernapasan, hemodinamik, dan pergerakan otot.
Mekanisme kerja toksik dan efek toksik adalah hal yang berbeda.
Mekanisme kerja toksik adalah meliputi interaksi antara molekul xenobiotik dengan
tempat kerja atau reseptor. Organ target dan tempat kerja tidak selalu sama, sebagai
contoh: suatu zat kimia toksik yang bekerja pada sel ganglion pada sistem saraf
pusat juga dapat menimbulkan efek kejang pada otot seran lintang. Konsentrasi zat
toksik menentukan kekuatan efek biologi yang ditimbulkan. Pada umumnya dapat

9
ditemukan konsentrasizat kimia toksik yang cukup tinggi dalam hepar (hati) dan
ren (ginjal) karena pada kedua organ tersebut zat toksik dimetabolisme dan
diekskresi. Sedangkan efek toksik adalah hasil sederetan proses, hingga adanya
perubahan fungsional yang disebabkan interaksi bolak-balik (reversible) antara zat
asing (xenobiotik) dengan substrat biologi. Pengaruh toksik dapat hilang jika zat
asing tersebut dikeluarkan dari dalam plasma.
Efek toksik adalah hasil sederetan proses, hingga adanya perubahan
fungsional yang disebabkan interaksi bolak-balik (reversible) antara zat asing
(xenobiotik) dengan substrat biologi. Bahasan ini membagi efek toksik berdasarkan
respon di jaringan utama dan organ manusia, yaitu sistem pernafasan, kulit, hati,
darah dan sistem kardiovaskular, sistem kekebalan tubuh, sistem endokrin, sistem
saraf, sistem reproduksi, dan ginjal serta kandung kemih. Hal ini sesuai dengan jalur
utama paparan, pengangkutan, dan penghapusan racun dalam tubuh manusia.
Seperti dibahas sebelumnya, racun dapat dihirup melalui sistem pernapasan atau
diserap melalui kulit. Senyawa yang tertelan melalui sistem pencernaan biasanya
melewati hati. Toksisitassistemik dibawa oleh darah dan melaluisistem getah
bening ke berbagai organ dan dapat mempengaruhi sistem endokrin, sistem saraf,
dan sistem reproduksi. Akhirnya, ginjal dan saluran kencing merupakan rute utama
untuk menghilangkan metabolit toksik sistemik dari tubuh.

2.2 Farmakokinetik dan farmakodinamik dari antidotum spesifik serta


obat-obat yang umum digunakan untuk mengatasi
kegawatdaruratan sistem kardiovaskuler dan sistem respirasi
karena racun atau bisa hewan sesuai dengan literatur.

Racun dapat diklasifikasikan berdasarkan atas berbagai hal seperti: sumber,


sifat kimiawi dan fisikanya, bagaimana dan kapan terbentuknya, efek terhadap
kesehatan, kerusakan organ, dan hidup/tidaknya racun tersebut.

Farmakodinamik

10
Fase toksodinamik adalah interaksi antara tokson dengan reseptor (tempat
kerja toksik) dan juga proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya muncul efek
toksik/farmakologik.
Interaksi tokson-reseptor umumnya merupakan interaksi yang bolakbalik
(reversibel). Selain interaksi reversibel, terkadang terjadi pula interaksi tak bolak-
balik (irreversibel) antara xenobiotika dengan subtrat biologik.
Interaksi ini didasari oleh interaksi kimia antara xenobiotika dengan subtrat biologi
dimana terjadi ikatan kimia kovalen yang bersbersifat irreversibel atau berdasarkan
perubahan kimia dari subtrat biologi akibat dari suatu perubaran kimia dari
xenobiotika.
Efek toksik/farmakologik suatu xenobiotika tidak hanya ditentukan oleh
sifat toksokinetik xenobiotika, tetapi juga tergantung kepada actor yang lain
seperti:
• Bentuk farmaseutika dan bahan tambahan yang digunakan
• Jenis dan tempat eksposisi,
• Keterabsorpsian dan kecepatan absorpsi,
• Distribusi xenobiotika dalam organisme,
• Ikatan dan lokalisasi dalam jaringan,
• Biotransformasi (proses metabolisme),
• Keterekskresian dan kecepatan ekskresi, dimana semua actor di atas dapat
dirangkum ke dalam parameter farmaseutika dan toksokinetika (farmakokinetika)

Farmakokinetik
Serum Anti Bisa Ular (SABU) adalah suatu serum tipikal mengandung anti
venom/anti venin terhadap racun ular jenis tertentu, yang dibuat dari
antibodi hewan. Venom dari C.rhodostoma bersifat prokoagulan dan
hemotoksik, sedangkan venom dari Naja sp dan Bungarus sp bersifat
neurotoksik, yang menyebabkan paralisis neuromuskular, gagal napas dan
kematian dalam hitungan menit hingga jam. Dalam waktu 15‒30 menit setelah
pemberian SABU ini, biasanya perdarahan akan terhenti, namun proses normalisasi
gangguan koagulasi memerlukan waktu hingga 6 jam. Dalam waktu 30 menit akan

11
mengalami perbaikan terhadap efek neurotoksik racun ular, dimana untuk
pemulihan secara total perlu waktu sekitar 24 hingga 48 jam. Eliminasi SABU jenis
fragmen Fab adalah cepat, karenanya, perlu diberikan injeksi SABU untuk dosis
berikutnya. Rute primer eliminasi venom dan antivenom, serta produk degradasinya
adalah melalui urine.

Antidotum rabies
§ Vaksin anti rabies (VAR)
VAR diberikan secara intradermal (ID) atau intramuscular (IM). ID injeksi 0,1 ml
di 2 lokasi pada hari ke-0, 3 dan 8. IM hari ke-0 (dua dosis), 7 dan 21 (regimen
Zagreb).
§ Serum anti rabies (SAR)
SAR (Serum Anti Rabies) à SAR dapat digolongkan dalam golongan serum
homologyang berasal dari manusia (Human Rabies Immune Globulin = HRIG) dan
serum heterolog yang berasal dari hewan.SAR diberikan secara infiltrasi pada luka
berat (kecuali yang sudah divaksin rabies sebelumnya). Dosis 20 IU/kgBB untuk
jenis serum manusia dan 40 IU/kgBB untuk jenis serum kuda

Antidotum envenominasi
§ Serum anti bisa ular (SABU)
serum Anti Bisa Ular (SABU) IV/ intra arteri, dapat diulangi sesuai keparahan
gigitan dan gejala klinis, contoh: 3-5 vial diberikan IV drips dalam 500cc NaCl
0,9%/ Dextrose 5% dapat ditambahkan menjadi 6-8 ampul, Pemberian fibrinogen
Pemberian kortikosteroid, Pemberian adrenalin 0,5 IM dan hidrokortison 100 mg
IV, bila ada tanda-tanda laringospasme, urtikaria, hipotensi.

Antidotum envenominasi
§ Serum anti bisa ular (SABU)
serum Anti Bisa Ular (SABU) IV/ intra arteri, dapat diulangi sesuai keparahan
gigitan dan gejala klinis, contoh: 3-5 vial diberikan IV drips dalam 500cc NaCl
0,9%/ Dextrose 5% dapat ditambahkan menjadi 6-8 ampul, Pemberian fibrinogen

12
Pemberian kortikosteroid, Pemberian adrenalin 0,5 IM dan hidrokortison 100 mg
IV, bila ada tanda-tanda laringospasme, urtikaria, hipotensi.

Antidotum adalah zat yang memiliki daya kerja bertentangan dengan racun
dapat mengubah sifat kimia racun atau mencegah absorbsi racun.
Dikelompokan menjadi 3:
1) Antidotum yang bekerja secara kimiawi
- Zat-zat pembentuk Kelat
- Fab fragment à suatu antibodi monoklonal dapat mengikat digoksin
dan mempercepat ekskresinya melalui filtrasi glomelurus.
- Dikobaltedetat dan hidrokobalamin à untuk keracunan sianida
- Detoksifikasi enzimatik
o Etanol àkeracunan metanol/etilen glikol
o Atropin à keracunan pestisida organofosfat

2) Antidotum yang bekerja secara farmakologi


Yaitu suatu antidotum yang bekerja mirip dengan zat toksik, bekerja pada
reseptor yang sama atau berbeda.
- Nalokson hidroklorida à keracunan opium
- Flumazamil àkeracunan benzodiazepin
- Oksigen à keracunan CO
3) Antidotum yang bekerja secara fungsional
Antidotum antagonis fungsional dapat juga digolongkan sebagai antidotum
non spesifik karena berguna sebagai terapi simtomatik dan mengantagonis
beberapa jenis zat toksik. Sebagai contoh penggunaan diazepam untuk
menghambat konvulsi (kejang) dan fasciculasi yang disebabkan zat seperti
organofosfat, karbamat dan stimulan.

Mekanisme Kerja Antidotum:


1) Membentuk senyawa komplek dengan racun dimerkaprol, EDTA,
penisilamin, dikobal edetat dll

13
2) Mempercepat detoksifikasi racun : natrium tiosulfat
3) Berkompetisi dengan racun dalam interaksi dengan reseptor: oksigen,
nalokson
4) Blokade reseptor esensial: atropine
5) Efek antidot melampaui efek racun: oksigen, glukagon
6) Mempercepat pengeluaran racun
7) Absorbsi racun: karbon aktif
8) Menghambat absorbsi racun: MgSO4

2.3 Prinsip dasar tatalaksana farmakologis kondisi gawat darurat


akibat racun atau bisa hewan berdasarkan kondisi pasien sesuai
dengan literatur.

Penanganan gigitan ular


• Perawatan pertolongan pertama
• Transportasi ke rumah sakit
• Penilaian klinis yang cepat danresusitasi
• Penilaian klinis terperinci dan diagnosis spesies
• Investigasi/tes laboratorium
• Perawatan antibias
• Mengamati respon terhadap antibias
• Memutuskan apakah dosis lebih lanjut antivenom diperlukan
• Perawatan suportif/tambahan
• Perawatan bagian yang digigit
• Rehabilitasi
• Pengobatan kroniskomplikasi
• Menyarankan cara menghindari gigitan di kemudian hari
Gigitan ular pada keadaan darurat medis:
anamnesis, gejala dan tanda harus diperoleh dengan cepat sehingga
sesuai, perawatan mendesak dan menyelamatkan jiwa dapat diberikan Resusitasi
14
jantung paru mungkin diperlukan, termasuk administrasi oksigen dan
pemasangan infus.

Adapun penatalaksanaan korban gigitan ular di Instalasi Gawat Darurat


menurut Setyohadi yaitu pertama adalah mengidentifikasi ular yang menggigit
korban bisa dengan foto atau saksi yang melihat kronologi kejadian gigitan ular,
apabila mungkin ular yang mengigit kroban bisa di bawa ke IGD yang berguna
untuk di identifikasi lebih lanjut. Kemudian apabila korban tidak di ketahui jenis
ular yang mengigit maka korban harus di rawat inap yang berguna untuk
mengobservasi ketat keadaan korban gigitan ular. Tindakan yang dilakukan di
IGD yang pertama yaitu melakukan imobilisasi dengan pembidaian dan
menggunakan elastic bandage (tidak dianjur untuk menggunakan tensocrepe).

Setelah itu bebaskan jalan nafas korban dan patenkan jalan nafas korban,
terutama pada gigitan ular dengan kandungan bisa neurotoxin yang dapat
menimbulkan dampak paralisis. Kemudian mengambil sampel darah korban guna
untuk dilakukan untuk pemeriksaan darah lengkap, meliputi pemeriksaan faal
hemostasis tiap 6 jam sekali. Selanjutnya melakukan pemeriksaan EKG yang
berguna untuk melihat adanya kelainan fungsi jantung, beri tanda jika terdapat
luas pembengkakan jaringan tiap 2 jam. Untuk indikasi pemberian serum anti
bisa ular (SABU) meliputi pemeriksaan coagulopathy, trombopeni, INR> 1.2,
non-clotting 20 menit WBCT, neurotoxin (ptosis, paralysis), hipotensi, edema

15
berat (lebih dari setengah ekstrimitas yang tergigit), hemoglobinuria dan terdapat
limfadenitis di sistem limfatik regional bekas dari gigitan ular. Sedangkan untuk
terapi suportifnya sendiri seperti cairan, neostigmin atropin, hingga penggunaan
ventilator di khususkan untuk korban yang mengalami gagal nafas.
Penatalaksanaan terapi non farmakologi ini bertujuan untuk
memperlambat penyerapan bisa, mempertahankan angka hidup korban dan
menghindari terjadinya komplikasi pada korban gigitan sebelum sampai ke
rumah sakit. Kemudian selama perjalanan menuju ke rumah sakit upaya
selanjutnya yaitu mengimobilisasi bagian anggota tubuh yang tergigit dengan
cara membidai agar tidak terjadi kontraksi pada otot yang dapat menimbulkan
peningkatan penyerapan bisa ke dalam aliaran darah dan getah bening.

Tujuan Tatalaksana pada kasus gigitan ular berbisa adalah:


• Menghalangi/memperlambat absopsi bisa ular
• Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah
• Mengatasi efek lokal dan sistemik
Tindakan tatalaksana
Tatalaksana sebelum penderita ke pusat pengobatan
• Penderita diisirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka
• Penderita dilarang meminum alcohol
• Penderita dilarang berjalan
• Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia Antivenin, ikat
daerah proksimal dan Distal dari gigitan. Tindakan mengikat ini kurang
berguna ketika pasca gigitan ular berbisa sudah berjalan kurang lebih 30
menit. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan
Aliran vena/arteri, sehingga ikatan tidak boleh lebih menekan lebih dari 20
mmhg.

Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suporatif sebagai


berikut:
• Tatalaksana Jalan napas

16
• Tatalaksana Fungsi pernapasan
• Tatalaksana sirkulasi: beri infus cairan kristaloid
• Beri pertolongan pertama pada luka gigitan:
v Perban ketat dan luas diatas luka
v Imobilisasi luka
• Ambil 5-10 ml darah untuk pemeriksaan untuk pemeriksaan
v waktu prothrombin
v D-dimer
v Fibrinogen
v Hb, leukosit, trombosit, kreatin, urea N, elektrolit, dan
creatine kinase(CK)
• Periksa waktu pembekuan, jika 10 menit, menunjukan kemungkinan
adanya koagulopati
• Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dkebalkan) Polivalen
1ml berisi
v 10-50 LD50 bisa ankystrodon
v 25-50 LD50 bisa bungarus

17
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Serum anti bisa ular mengandung antibodi. Antibodi adalah suatu protein
atau globulin dengan berat molekul diatas 150.000 Da yang merupakan bagian
dari sistem pertahanan tubuh dan disebut imunoglobulin. Antibodi di dalam tubuh
pada umumnya bersifat poliklonal yang mempunyai banyak sisi aktif yang dapat
mengikat berbagai jenis antigen sehingga antibodi tersebut bekerja secara tidak
spesifik. Antibodi memiliki dua fungsi yaitu megenali dan mengikat target spesifik
dari bakteri (antigen), dan mengundang sistem pertahanan lain untuk
menghancurkan bakteri, misalnya makrofag dan komplemen.

18
3.2 SARAN

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Untuk itu diperlukan kritik atau saran terhadap penulisan dan tanggapan
terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah dijelaskan.

19
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Factsheet of snakebite envenoming
[internet]. Geneva: Word Health Organization. 2019.
2. Adiwinata R, Nelwan EJ. Snakebite in Indonesia. Acta Med Indones.
2015; 47(4): 358-365.
3. Slagboom, J., Kool, J., Harrison, R. A., & Casewell, N. R. (2017).
Haemotoxic Snake Venoms: Their Functional Activity, Impact on
Snakebite Vtims and Pharmaceutical Promise. British Journal of
Haematology, 177(6), 947–959.
4. Adiwinata, R., & Nelwan, E. J. (2015). Snakebite in Indonesia. Acta
Medica Indonesiana – The Indonesian Journal of Internal Medicine. Vol.
45(4), 358-365.
5. NHS UK (2016). Snake bites.
6. Mayo Clinic (2018). Snakebites: First Aid.
7. St. John Ambulance Australia (2018). Snake Bite.
8. Balentine, J. R. eMedicine Health (2018). Snakebite (Snake Bite).
9. Ellis, E. M. Healthline (2016). Snake Bites

20
Lembar Penilaian Makalah

NO BAGIAN YANG DINILAI SKOR NILAI


1. Ada Makalah 60

2. Kesesuaian dengan LO 0-10

3. Tata cara penulisan 0-10

4. Pembahasan materi 0-10

5. Cover dan penjilidan 0-10

Total :

NB :
LO = Learning Objective

Medan, 14 Mei 2022

Dinilai oleh:
Tutor

dr. Bilkes Harris Sp. KK, FINSDV, FAADV

21

Anda mungkin juga menyukai