MAKALAH
Disusun oleh:
Halaman
Cover
Daftar Isi.............................................................................................................................. i
Daftar Gambar..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 1
BAB II BAHASAN............................................................................................................. 3
3.1. Kesimpulan............................................................................................................. 26
3.2. Saran....................................................................................................................... 27
DAFTAR RUJUKAN.......................................................................................................... 28
i
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Siklus Hidup Zygomycota............................................................................................. 4
2.2 Struktur Tubuh Zygomycota......................................................................................... 5
2.3 Siklus Hidup Ascomycota............................................................................................. 6
2.4 Struktur Tubuh Ascomycota.......................................................................................... 7
2.5 Siklus Hidup Divisi Basidiomycota.............................................................................. 8
2.6 Siklus Hidup Volvariella Volvaceae.............................................................................. 9
2.7 Struktur Tubuh Basidiomycota...................................................................................... 9
2.8 Struktur Tubuh Deutromycota....................................................................................... 10
2.9 Morfologi Jamur Tiram Merah (Pleurotus Flabelatus)................................................ 12
2.10 Jamur Shitake (Lentinula Edodes)............................................................................... 13
2.11 Jamur Kuping (Auricularia Auricula).................................................................................... 13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
dan morfologi khamir secara umum, deskripsi klasifikasi dan morfologi kapang
secara umum, dan deskripsi klasifikasi dan morfologi cendawan secara umum.
1.3 Tujuan
Tujuan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsiskan klasifikasi dan reproduksi fungi secara umum.
2. Mendeskripsikan ciri-ciri cendawan secara umum.
3. Mendeskripsiskan ciri-ciri khamir secara umum.
4. Mendeskripsiskan ciri-ciri kapang secara umum.
5. Menjelaskan peranan positif dan negatif fungi terhadap lingkungan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Reproduksi seksual pada jamur tempe terjadi dengan penyatuan (fusi)
gametangia dari ujung hifa positif dan negatif. Akibat fusi tersebut akan
terbentuk zigosporangium. Selanjutnya, terjadi penyatuan inti dan dihasilkan
zigosporangium dewasa yang diploid. Dalam kondisi lingkungan yang baik,
zigosporangium akan berkecambah dan membentuk hifa-hifa haploid (n).
Nantinya, hifa-hifa tersebut akan menghasilkan spora, sedangkan pada
reproduksi aseksual spora dibentuk di dalam sporangium yang terletak di
ujung-ujung hifa.
4
organisme berada dalam tahap vegetatif. Rhizopus stolonife memiliki
sporangia bengkak yang dikemas dengan spora hitam (Gryganskyi, et al.,
2018). Ketika spora mendarat di substrat yang sesuai, mereka berkecambah
dan menghasilkan miselium baru.
5
bersekat. Ascomycota multiseluler ada yang membentuk tubuh buah,
contohnya Morcella esculenta dan yang tidak membentuk tubuh buah,
contohnya Neurospora crassa. Bentuk tubuh buah Ascomycota beraneka
ragam, ada yang bulat serta ada yang berbentuk seperti mangkuk.
Reproduksi Ascomycota terjadi secara aseksual dan seksual. Pada
Ascomycota multiseluler, reproduksi aseksualnya terjadi dengan cara
membentuk konidia. Konidia merupakan spora aseksual yang dibentuk di
ujung konidiofor. Konidiofor adalah hifa yang termodifikasi membentuk
rangkai sporangium. Reproduksi secara seksual pada Ascomycota uniseluler
terjadi dengan cara konjugasi (Wallen & Perlin, 2018). Hasil dari konjugasi
adalah sel diploid. Sel diploid ini memiliki bentuk memanjang dan
membentuk askus. Askus merupakan struktur mirip kantung yang
mengandung spora (askospora). Inti diploid akan mengalami meiosis dan
membentuk inti yang haploid. Nantinya, kumpulan inti tersebut akan menjadi
askospora (Nieuwenhuis & James, 2016).
Reproduksi seksual pada Ascomycota multiseluler, terjadi dengan cara
perkawinan antara hifa haploid (n) yang berbeda jenis, yaitu hifa positif dan
hifa negative. Pada saat penyatuan, akan terbentuk hifa dikariotik (berinti
dua). Pada ujung hifa dikariotik ini akan terjadi fusi (penyautan) inti sehingga
sel-selnya menjadi diploid (2n). Setelah itu terjadi peristiwa meiosis yang akan
membentuk kembali inti-inti yang haploid (n). Pada hifa dikariotik, ujung-
ujungnya akan membentuk askus. Askus tersebut akan berkelompok
membentuk tubuh buah (askokarp) (Wilson, et al., 2019).
6
Seperti Basidiomycota, kebanyakan Ascomycota tumbuh dari spora
menjadi miselia haploid (McConnaughey, 2014). Miselia dapat menghasilkan
dua jenis struktur reproduksi. Pertama, mereka dapat menghasilkan konidiofor
untuk reproduksi aseksual. Kedua, ascomycota menghasilkan struktur
reproduksi seksual yang disebut gametangia. Struktur ini bisa jantan atau
betina. Gametangia jantan dapat berupa apa saja dari sel yang terlepas (disebut
spermatium) hingga daerah yang dibedakan yang disebut antheridium.
Struktur betina selalu merupakan daerah yang dibedakan yang dikenal sebagai
ascogonium.
7
2.1.3 Divisi Basidiomycota
Basidiomycota merupakan filum yang memiliki banyak spesies kedua
dari Kingdom Fungi, sebanyak 32.000 spesies. Basidiomycota merupakan
jamur paling kompleks dan multiselularitas (Naranjo-Ortiz & Gabaldón,
2019). Nama dari divisi ini diambil dari bentuk diploid yang terjadi pada
siklus hidupnya, yaitu basidium. Basidiomycota hidup sebagai decomposer
pada kayu. Basidiomycota memiliki tubuh buah (basidiokarp) yang besar
sehingga mudah untuk diamati. Jamur ini ada yang berbentuk seperti payung,
kuping, dan setengah lingkaran. Tubuh buah Basidiomycota terdiri atas tudung
(pileus), bilah (lamella), dan tangkai (stipe).
Reproduksi pada jamur ini terjadi secara aseksual dan seksual.
Reproduksi secara aseksual menghasilkan konidia, sedangkan secara seksual
terjadi dengan cara perkawinan antara hifa yang berbeda jenisnya. Pada saat
perkawinan, hifa yang berbeda jenis tersebut bersatu dan dinding selnya
hancur. Akibat hancurnya dinding sel ini, plasma sel akan bercampur,
sehingga disebut plasmogami. Pada saar pencampuran plasma sel, inti pun
bersatu dan berkembang menjadi hifa dikariotik yang diploid. Hifa dikariotik
ini akan mengalami meiosis menjadi inti yang haploid. Contoh jamur divisi ini
adalah jamur merang (Volvariella volvaceae) dan jamur kuping (Auricularia
polytricha).
8
Gambar 2.6 Siklus Hidup Volvariella Volvaceae
(Sumber: Gummert et al., 2020)
Kelompok ini juga termasuk jamur rak, yang menempel pada kulit
pohon seperti rak kecil. Selain itu, basidiomycota termasuk jamur api dan
9
karat, yang merupakan patogen tanaman penting, dan jamur payung. Salah
satu ciri yang digunakan untuk mengidentifikasi Basidiomycota, selain
keberadaan basidia, Basidiomycota memiliki lebih banyak hifa septate
daripada Zygomycota, meskipun septanya berlubang, memungkinkan
sitoplasma mengalir bebas antar sel (Myasari, et al., 2015).
10
1. Pembentukan miselium heterokariotik, yaitu kondisi dimana inti yang
berbeda secara genetik terkait dalam sitoplasma umum.
2. Pembelahan kariogami dan mitosis inti diploid: Mengikuti pembentukan
heterokarion, fusi beberapa inti haploid yang secara genetik sama akan
berfusi serta yang berbeda secara genetik.
3. Persilangan Mitotik. Selama profase mitosis, penyeberangan mitosis dapat
terjadi antara kromatid kromosom homolog dan dapat menghasilkan
rekombinan genetik yang unik. Kromosom rekombinan terpisah, selama
anafase, dan menimbulkan inti yang secara genetik berbeda dari inti yang
ada dalam protoplasma.
4. Haploidisasi (bukan meiosis) inti diploid. Haploidisasi (bukan meiosis) inti
diploid. Selama mitosis, sering terjadi kesalahan. Inti diploid sering
membentuk satu inti dengan tiga salinan dari satu kromosom (2N + 1) dan
yang lainnya dengan satu salinan dari satu kromosom (2N-1). Dalam
nukleus terakhir, hilangnya kromosom secara terus-menerus dan berurutan
dengan dua salinan dapat terjadi yang pada akhirnya menimbulkan nukleus
haploid. Ketika haploidisasi terjadi pada diploid heterozigot, haploid yang
dihasilkan akan menghasilkan kombinasi genetik baru.
Ada berbagai macam konidia yang berbeda secara morfologis yang
diproduksi dalam bentuk- filum Deuteromycota. Konidia bisa bulat, bulat
telur, memanjang, berbentuk bintang dan sebagainya. Karakteristik
konidial ini adalah dasar untuk klasifikasi buatan. Anggota kelompok ini
kebanyakan adalah saprob, tetapi ada pula yang bersifat parasit pada
tumbuhan dan hewan, termasuk manusia. Ada banyak variasi konidia yang
berbeda secara morfologis yang dihasilkan dalam bentuk filum
Deuteromycota (Darmuh, et al., 2018). Contoh fungi yang termasuk
Deutromycota adalah Epidermophyton floocosum (penyebab kutu air) dan
Trychophyton tonsarus (penyebab ketombe).
2.2 Ciri - Ciri Cendawan Secara Umum
Jamur atau fungi adalah mikroorganisme yang tersusun dari sel atau benang
yang bercabang serta mempunyai dinding sel yang terdiri atas kitin dan glukan
sehingga membedakan sel jamur dengan sel hewan dan sel tumbuhan (Sutanto, 2013).
Berdasarkan jumlah selnya, jamur atau fungi ini memiliki dua jenis yaitu jamur
11
multiseluler yang memiliki struktur kompleks seperti tubuh buah dan jamur uniseluler
yang hanya terdiri dari benang yang disebut hifa seperti khamir (Achmad, dkk.,
2013). Morfologi yang khas dari jamur adalah memiliki tudung atau pileus yang
berbentuk beragam, yaitu bentuk cangkang tiram, payung, kuping, setengah lingkaran,
dan bulat. Tudung dan batang jamur merupakan bagian dari tubuh buah jamur yang
berperan dalam menghasilkan spora sebagai alat untuk berkembang biak (Trubus,
2010 dalam Ernawati, 2019).
Didalam Suriawiria (2011), salah satu jenis jamur, yaitu jamur tiram
merah (Pleurotus flabelatus) memiliki tudung berwarna kemerah-merahan
yang memiliki spora, dan tersusun atas sel lepas atau satuan yang bergabung
memembentuk benang yang bersekat atau tidak bersekat yang disebut dengan
hifa (benang) jamur. Hifa ini terdiri dari sel yang memiliki satu inti dan
bersifat haploid yang ketika hifa menyatu membentuk suatu kumpulan, maka
akan terbentuk suatu jaringan yang disebut dengan miselium. Miselium
berkembang menjadi bercanbang-cabang dan pada titik pertemuannya akan
membentuk sporangium yang akan tumbuh menjadi tubuh buah jamur yang
terdiri dari tudung dan batang jamur (Djarijah & Djarijah, 2001 dalam
Fardiyah, 2018).
12
2.2.2 Jamur Tudung Payung
Salah satu spesies yang memiliki tudung jamur berbentuk payung adalah
jamur shiitake atau shitake (Lentinula edodes). Tudung payungnya berwarna
coklat muda hingga coklat tua yang terdapat bintik-bintik dengan istilah
“renda” serta tudungnya sedikit keras dan terdapat selaput kutikula. Pada
bagian bawahnya, terdapat lamella yang menyerupai insang berisi spora
sebagai alat perkembangbiakan (Prahastuti, 2001 dalam Aroyandini dkk.,
2020).
13
Jamur kuping (Auricularia auricula) adalah salah satu jamur yang
boleh dikonsumsi. Jamur ini dinamakan kuping karena tudungnya yang
berbentuk seperti telinga atau kuping manusia. Bagian tubuh buahnya bersifat
kenyal seperti gelatin ketika keadaan basah dan bersifat keras ketika keadaan
kering. Tudungnya berlekuk-lekuk dan berwaran ungu tua hingga coklat
kehitaman. Bagian yang menempel pada substrat adalah tubuh buahnya yang
pendek (Sutanto, 2013).
14
2.2.5 Jamur Tudung Bundar
1 2 3 4
5 6
Gambar 2.14 Beberapa Jenis Jamur Yang Beracun; (1) Amanita, (2) Boletus, (3)
Coprinus, (4) Cortinarus, (5) Lactarius, (6) Lepiota.
(Sumber: Hidayu & Ariusmedi, 2019)
15
Selain dapat dibedakan jenisnya berdasarkan morfologi tudungnya,
identifikasi morfologi juga berguna untuk mengetahui jenis jamur yang
beracun. Jamur yang mengandung racun memiliki warna yang mencolok dan
menarik perhatian sertau bau yang menyengat (Nugraha, 2013). Kadar Racun
dari jamur ini berasal dari senyawa yang diproduksi oleh mereka sendiri atau
akibat adanya akumulasi racun yang terkandung pada media tanamnya
sehingga terserap oleh mereka (Achmad, dkk., 2013).
Seperti pernyataan Yunitasari (2013), terdapat ciri-ciri pada jamur yang
beracun, yaitu sebagai berikut:
1. Pada umumnya, jenis jamur beracun memiliki warna yang mencolok
yang menarik perhatian, seperti hitam legam, merah darah, biru tua,
dan lain-lain. Namun terdapat juga yang berwarna terang seperti
kuning atau putih dan ada juga jamur berwarna gelap yang aman
dikonsumsi seperti cokelat tua.
2. Mengeluarkan bau yang menyengat dan busuk seperti bangkai atau
ammonia.
3. Memiliki bagian cincin dan cawan, namun terdapat juga yang aman
dikonsumsi seperti jamur merang.
4. Biasanya berkembang biak ditempat yang kotor.
5. Pada umumnya mudah hancur ketika disentuh.
6. Terdapat organisme seperti hewan yang mati disekitarnya karena
kemungkinan memakan jamur beracun tersebut.
7. Ketika dimasak, teksturnya menjadi sangat lunak.
8. Pada beberapa adat istiadat, terdapat cara untuk menentukan jamur
beracun atau tidak, yaitu dengan cara memepes jamur dengan nasi
putih. Jika warna nasi menjadi gelap, maka mengandung racun.
9. Ketika dipotong dengan gunting atau pisau yang berbahan logam
perak, maka terjadi perubahan warna menjadi gelap.
16
adalah dinding sel berbentuk tabung yang mengelilingi membran sitoplasma. Panjang
hifa umumnya sekitar 1-2µm atau 5-10µm. Hifa ada yang bersekat yang membagi
antar dinding setiap fia menjadi sel yang terpisah, hifa bersekat pada filum
ascomycota dan basidiomycota, sedangkan hifa tidak bersekat dimiliki oleh filum
oomycota dan zygomycota. Morfologi koloni kapang memiliki tekstur seperti kapas,
bludru, atau serbuk (Cappucino & Welsh, 2017).
Salah satu contoh jenis kapang yang umum atau banyak ditemukan pada roti
adalah Rhizopus stolonifer (Gambar 2.15) yang termasuk ke dalam zigomycota.
Organisme ini bereproduksi secara seksual maupun aseksual. Pada fase aseksual,
miselia membentuk sporangia yang di dalamnya diproduksi spora haploid. Setelah
spora dilepaskan, spora menyebar lalu berkecambah. Pada fase seksual, gametangia
miselia dari jenis pasangan yang berbeda menghasilkan sel heterokariotik yang
disebut zygosporangium, zygosporangium dapat tidak aktif dan bertahan dari kondisi
yang tidak menguntungkan. Kemudian ketika kondisi sudah memungkinkan, inti
haploid yang berbeda bergabung menjadi diploid lalu melakukan meiosis
menghasilkan spora haploid. Kemudian terjadi pelepasan spora seperti pada saat
reproduksi aseksual (Madigan, et al., 2012).
17
mikroskopik, berbentuk oval atau bulat, tidak berflagela, dan berukuran lebih besar
dibandingkan sel bakteri, dengan lebar berkisar 1-5mm. Khamir kultur menyerupai
bakteri saat tumbuh di permukaan media laboratorium buatan, namun memiliki
ukuran 5 sampai 10 kali lebih besar dari bakteri (Cappucino & Welsh, 2017). Koloni
khamir diilustrasikan sebagai berikut:
Secara mikroskopis, sel khamir mungkin berbentuk ellipsoidal, bulat, atau pada
beberapa kasus, silinder (Cappucino & Welsh, 2017).
18
Gambar 2.17 Sel Khamir
(Sumber: Cappucino, J.G., Welsh, C. 2017)
Sel khamir secara mikroskopik terdiri dari kapsul, dinding sel, membran
sitoplasma, nukleus, vakuola, mitokondria, globula lipid, volutin atau polifosfat, dan
sitoplasma. Strukur luar beberapa jenis khamir tertutup oleh komponen ekstraseluler
yang berlendir dan disebut kapsul. Kapsul yang menutupi dinding luar sel sebagian
besar terdiri atas polisakarida termasuk glukofosfomanan yang merupakan polimer
menyerupai pati, dan heteropolisakarida; polimer yang mengandung lebih dari satu
macam unit gula seperti pentosa, heksosa, dan asam glukuronat (Sari, 2010).
Cara hidup dari khamir yaitu sebagai saprofit dan parasit, yang hidup di dalam
tanah maupun debu di udara. Khamir memiliki bentuk bulat (spreroid), elipsoidal,
batang maupun silindris (Fifendy, 2017). Reproduksi yang utama bagi khamir yaitu
dengan tunas, yang mana khamir akan menghasilkan sel baru dan identik secara genetik
(Kristiandi, dkk., 2021).
Dalam tunas, kuncup dari sel induk akan terjepit yang nantinya akan terlepas
menghasilkan sel anak. Pada saat bertunas, induk sel akan memanjang, nukleusnya
19
membelah, dan membelah secara merata menjadi dua sel anak (Cappucino & Welsh,
2017).
Beberapa khamir juga dapat mengalami reproduksi seksual ketika dua spora
seksual berkonjugasi. Inti dari sel akan membelah dengan meiosis, menghasilkan empat
sel baru inti haploid (spora seksual), disebut askospora yang terkandung dalam struktur
yang disebut ascus. Ketika ascus pecah, askospora dilepaskan dan konjugasi.
20
keju lunak oleh beberapa bentuk khamir akan merusak produk. Akhirnya, beberapa
jamur seperti Candida albicans bersifat patogen dan akan menginfeksi saluran kemih
dan vagina, dikenal sebagai moniliasis, dan infeksi pada mulut disebut sariawan
(Cappucino & Welsh, 2017).
22
Gambar 2.20 Ektomikoriza dan Endomikoriza pada Akar Tanaman
23
logam berat pada lingkungan tercemar. Fungi yang toleran terhadap logam
berat memiliki afinitas yang lebih tinggi daripada akar tanaman (Souza, et al.,
2013). Penyerapan unsur Pb dan imoblisasinya oleh tanaman bermikoriza
lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang tidak memiliki mikoriza
(Adewole, et al., 2010). Selain itu juga, fungi dapat memperbaiki tanah
dengan mengeluarkan glikoprotein glomalin. Glomalin mampu meningkatkan
pembentukan pori tanah yang lebih baik (Suharno & Sahcayaningsih, 2013).
24
dapat teramati atas infeksi kapang ini ialah warna menjadi kuning atau coklat
akibat gejala nekrotik pada pangkal daun (Redkar & Doehlemann, 2016).
Basidiomycota Ustilago maydis menyebabkan penyakit jamur pada jagung
(Zea mays) dengan menginfeksi semua jaringan tanaman. Infeksi
menyebabkan klorosis daun dan merangsang tanaman untuk menghasilkan
ceruk yang kaya nutrisi (yaitu tumor), di mana jamur dapat berkembang biak
dan menyelesaikan siklus hidupnya (Lemonnier, et al., 2014). Penelitian
sebelumnya telah mencatat akumulasi gula larut dan pati yang tinggi di dalam
tumor ini. Akumulasi gula di dalam tumor yang bertepatan dengan ekspresi
diferensial dari gula tanaman pada akhirnya akan diekspor menjadi transporter
dan proton (Sosso, et al., 2019). Untuk mengakumulasi gula tanaman, jamur
menyebarkan perangkat pengangkut gulanya sendiri, menghasilkan gradien
gula dalam sitosol jamur (Kretschmer, et al., 2017). Jenis kapang ini tidak
seperti patogen nekrotrofik, yang mengganggu sel inang untuk mengakses
nutrisi, biotrof seperti Ustilago maydis memprogram ulang sel hidup untuk
mendistribusikan nutrisi secara ke sel inang dengan memodifikasi transporter
gula (Perez-Nadales, et al., 2014). Kerusakan tumbuhan yang disebabkan oleh
infeksi kapang tersebut dapat mengurangi keanekaragaman gentik yang ada.
Selain itu, tumbuhan yang difungsikan dalam asimilasi CO2 akan berkurang
dan menjadikan dampak yang besar jika infeksi ini terjadi dalam skala besar,
hal tersebut tentu akan mengganggu keseimbangan ekosistem.
25
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan cara reproduksinya, Kingdom Fungi dikelompokkan menjadi empat
divisi, antara lain: Zygomycota, Ascomycota, Basidiomycota, dan Deutromycota.
Zygomycota memiliki dua macam reproduksi, yaitu seksual oleh zigospora dan
aseksual oleh sporangia. Reproduksi Ascomycota terjadi secara aseksual dengan
membentuk konidia dan seksual dengan perkawinan antara hifa haploid (n) yang
berbeda jenis. Reproduksi Basidiomycota terjadi secara aseksual dengan
menghasilkan konidia, sedangkan secara seksual terjadi dengan cara perkawinan
antara hifa yang berbeda jenisnya. Reproduksi aseksual Deutromycota dilakukan
melalui konidia yang nantinya menghasilkan hifa khusus yang disebut konidiofor.
Walaupun Deutromycota tidak memiliki reproduksi seksual, namun rekombinasi
genetiknya masih bisa terjadi, yaitu melalui siklus paraseksual.
2. Jamur atau fungi adalah mikroorganisme yang tersusun dari sel atau benang yang
bercabang serta mempunyai dinding sel yang terdiri atas kitin dan glukan
sehingga membedakan sel jamur dengan sel hewan dan sel tumbuhan. Morfologi
yang khas dari jamur adalah memiliki tudung atau pileus yang berbentuk
beragam, yaitu bentuk cangkang tiram, payung, kuping, setengah lingkaran, dan
26
bulat. Tudung dan batang jamur merupakan bagian dari tubuh buah jamur yang
berperan dalam menghasilkan spora sebagai alat untuk berkembang biak.
3. Kapang merupakan organisme multiseluler dengan panjang hifa sekitar 1-2µm
atau 5-10µm. hifanya ada yang bersekat dan tidak bersekat. Morfologi koloni
seperti kapas, bludru, atau serbuk. Kapang bereproduksi secara seksual dan
aseksual. Banyak ditemukan di makanan dan buah-buah. salah satu contoh
spesiesnya adalah Rhizpous stolonifer yang ditemukan pada roti.
4. Khamir adalah jamur uniseluler nonfilamen, mikroskopik, tidak berflagela dan
berukuran lebih besar dari bakteri. Sel khamir memiliki bentuk ellipsoidal, bulat,
silinder.Sel khamir secara mikroskopik terdiri dari kapsul, dinding sel, membran
sitoplasma, nukleus, vakuola, mitokondria, globula lipid, volutin atau polifosfat,
dan sitoplasma. Cara hidup dari khamir yaitu sebagai saprofit dan parasit, yang
hidup di dalam tanah maupun debu di udara. Reproduksi yang utama bagi khamir
yaitu dengan tunas. Khamir juga dapat mengalami reproduksi seksual ketika dua
spora seksual berkonjugasi. Peranan positif khamir yaitu dapat digunakan sebagai
pembuatan adonan roti, dan pembuatan bir. Selain itu khamir juga dapat
berdampak negatif yang dapat menimbulkan masalah di industri makanan atau
berbahaya bagi manusia.
5. Terdapat peranan positif dan negatif fungi terhadap lingkungan, peranan positif
fungi diantaranya ialah sebagai dekomposer yang memainkan pean kunci dalam
siklus energi. Fungi juga dapat dimanfaatkan menjadi biofertilizer ramah terhadap
lingkungan yang sangat bermanfaat dalam bidang pertanian dan juga sebagai
pengendali hama serangga. Fungi juga dapat dimanfaatkan sebagai
mikorizoremediasi di lingkungan tercemar logam berat. Namun, selain peranan
positif yang diberikan oleh fungi terdapat juga peranan negatifnya terhadap
lingkungan, diantaranya ialah menyebabkan penyakit bagi tumbuhan.
Phytotophtora cinnamani menyebabkan kebusukan pada buah nanas, daun, dan
juga pada akarnya. Ustilago maydis menyebabkan penyakit dan menyerang
bagian buah tanaman jagung.
3.2 Saran
Kingdom fungi memiliki berbagai peranan bagi lingkungan dan juga
kehidupan. Peranan positif fungi diharapkan dapat memberikan solusi terhadap
berbagai problematika di berbagai bidang. Perlu dilakukan penelitian lanjut untuk
27
dapat mengeksplorasi dan memanfaatkan manfaat fungi secara menyeluruh. Dengan
penjabaran berbagai karakteristik dari kingdom fungi para pembaca diharapkan dapat
memperoleh wawasan akan berbagai kriteria fungi dan dapat membedakan fungi
yang dapat dikonsumsi dan tidak.
DAFTAR RUJUKAN
Achmad, Mugiono, Ardianti, Tias, Azmi, Chotimatul. 2013. Panduan Lengkap Jamur.
Bogor: Penebar Swadaya
Adewole, M. B., Awotoye, O. O., Ohiembor, M. O., & Salami, A. O. 2010. Influence of
mycorrhizal fungi on phytoremediating potential and yield of sunflower in Cd and Pb
polluted soils. Journal of Agricultural Sciences, Belgrade, 55(1), 17-28.
Ahmad, RZ. 2018. Medium tapioka untuk preservasi kapang yang bermanfaat untuk
veteriner. Jurnal Mikologi Indonesia. 2(1): 2.
Alori, E., Fawole, O. 2012. Phytoremediation of Soils Contaminated with Aluminium and
Manganese by Two Arbuscular Mycorrhizal Fungi. Journal of Agricultural Science,
4(8), 246-252.
28
Badalyan, S.M. (2012). Edible Ectomycorrhizal Mushrooms. Berlin: Springer-Verlag.
Berman, J. J. (2012). Zygomycota. In Taxonomic Guide to Infectious Diseases (pp. 191–193).
https://doi.org/10.1016/b978-0-12-415895-5.00034-9
Bhaduri, A. M., & Fulekar, M. H. 2012. Assessment of arbuscular mycorrhizal fungi on the
phytoremediation potential of Ipomoea aquatica on cadmium uptake. 3 Biotech, 2, 193-
198.
Darmuh, S., Arif, A., & Taskirawati, I. (2018). KERAGAMAN JENIS JAMUR YANG
MENYERANG TANAMAN MAHONI (Swietenia Macrophylla KING.) DI KAMPUS
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR, SULAWESI SELATAN. Perennial,
14(1), 9. https://doi.org/10.24259/perennial.v14i1.4998
Ernawati, Ernawati. 2019. Pertumbuhan Miselium Bibit F1 Jamur Tiram Merah (Pleurotus
flabellatus) Dengan Penambahan Media Kulit Kacang Tanah Dan Kulit Biji Bunga
Matahari (Dimanfaatkan Sebagai Sumber Belajar Biologi). Malang: Undergraduate
(S1) Thesis University of Muhammadiyah Malang. DOI:
http://eprints.umm.ac.id/id/eprint/46941.
Fitriani, L., Krisnawati, Y., Anorda, M., O., R., dan Lanjarini, K. 2018. Jenis-jenis dan
potensi jamur makroskopis yang terdapat di pt perkebunan hasil musi lestari dan PT
Djuanda Sawit Kabupaten Musi Rawas. Jurnal Biosilampari: Jurnal Bilogi. 1(1): 3.
29
Flores-Félix, J. D., Menéndez, E., Rivas, R., Encarnación Velázquez, M. 2018. Future
perspective in organic farming fertilization. In Organic Farming: Global Perspectives
and Methods, 269-315
Folli-Pereira, M. da S., Garlet, J., Bertolazi, A. A. 2020. Agriculturally Important Fungi for
Sustainable Agriculture. Gewerbestrasee: Spinger Nature Switzerland
Gadd, G. M., Watkinson, S. C., & Dyer, P. S. 2007. Fungi in the environment. England:
Cambridge University Press.
Gryganskyi, A. P., Golan, J., Dolatabadi, S., Mondo, S., Robb, S., Idnurm, A., Muszewska,
A., Steczkiewicz, K., Masonjones, S., Liao, H. L., Gajdeczka, M. T., Anike, F., Vuek,
A., Anishchenko, I. M., Voigt, K., de Hoog, G. S., Smith, M. E., Heitman, J., Vilgalys,
R., & Stajich, J. E. (2018a). Phylogenetic and phylogenomic definition of Rhizopus
species. G3: Genes, Genomes, Genetics, 8(6), 2007–2018.
https://doi.org/10.1534/g3.118.200235
Gummert, M., Hung, N. V., Chivenge, P., & Douthwaite, B. (Eds.). (2020). Sustainable Rice
Straw Management. Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-
030-32373-8
Gurulingappa, P., Sword, G. A., Murdoch, G., McGee, P. A. 2010. Colonization of crop
plants by fungal entomopathogens and their effects on two insect pests when in planta.
Biological Control, 55(1), 34-41.
Hasanuddin. (2014). Jenis Jamur Kayu Makroskopis Sebagai Media Pembelajaran Biologi
(Studi di TNGL Blangjerango Kabupaten Gayo Lues). Jurnal Biotik. 2(1): 1-76.
Heitman, Howlett, Crous, Stukenbrock, James, & Gow (Eds.). (2017). Fungal Sex: The
Ascomycota. In The Fungal Kingdom (pp. 117–145). American Society of
Microbiology. https://doi.org/10.1128/microbiolspec.FUNK-0005-2016
Heitman, J. (2011). Microbial pathogens in the fungal kingdom. Fungal Biology Reviews,
25(1), 48–60. https://doi.org/10.1016/j.fbr.2011.01.003
Herliyana, E. N., Taniwiryono, D., & Minarsih, H. 2012. Root Diseases Ganoderma sp. On
the Sengon in West Java and East Java. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 18(2), 100–
109. https://doi.org/10.7226/jtfm.18.2.100
30
Hidayati, Hidayat, R.M., & Asmawati. (2015). Pemanfaatan Serat Tandan Kosong Kelapa
Sawit Sebagai Media Pertumbuhan Jamur Tiram Putih. Jurnal Biopropal Industri. 6(2),
73-80.
Hidayu, D. M., & Ariusmedi, M. S. 2019. Jamur Beracun Dalam Karya Grafis. Serupa The
Journal of Art Education, 8(1).
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/serupa/article/viewFile/105278/102062
Khayati, L., Warsito H. 2018. Keanekaragaman jamur makro di Arboretum Inamberi. Jurnal
Mikologi Indonesia. 2(1): 2.
Kretschmer, M., Croll, D., & Kronstad, J. W. 2017. Maize susceptibility to Ustilago maydis
is influenced by genetic and chemical perturbation of carbohydrate allocation.
Molecular Plant Pathology, 18(9), 1222-1237.
Kristiandi K., Lusiana, S., A., A’yunin, N., A., Q., Ramdhini, R., N., Marzuki, I., Rezeki, S.,
Erdiandini, I., Yunianto, A., E., Lestari, S., D., Ifadah, R., A., Kushargina, R., Yuniarti,
T., Pasanda, O., S. 2021. Teknologi Fermentasi Bogor: Yayasan Kita Menulis.
Lemonnier, P., Gaillard, C., Veillet, F., Verbeke, J., Lemoine, R., Coutos-Thévenot, P., La
Camera, S. 2014. Expression of Arabidopsis sugar transport protein STP13
differentially affects glucose transport activity and basal resistance to Botrytis cinerea.
Plant Molecular Biology, 85(4), 473-484.
Mącik, M., Gryta, A., Frąc, M. 2020. Biofertilizers in agriculture: An overview on concepts,
strategies and effects on soil microorganisms. In Advances in Agronomy, 162, 31-87
Madigan, M.T., Mantino, J.M., Stahl, D.A., Clark, D.P. 2012. Brock Biology of
Microorganism. Pearson Education.
McNear Jr., D. H. 2013. The Rhizosphere - Roots, Soil and Everything In Between. Nature
31
Education Knowledge, 4(3).
Mendoza, L., Vilela, R., Voelz, K., Ibrahim, A. S., Voigt, K., & Lee, S. C. (2015). Human
Fungal Pathogens of Mucorales and Entomophthorales. Cold Spring Harbor
Perspectives in Medicine, 5(4), a019562–a019562.
https://doi.org/10.1101/cshperspect.a019562
Muszewska, A., Pawłowska, J., & Krzyściak, P. (2014). Biology, systematics, and clinical
manifestations of Zygomycota infections. European Journal of Clinical Microbiology
and Infectious Diseases, 33(8), 1273–1287. https://doi.org/10.1007/s10096-014-2076-0
Myasari, I., Linda, R., & Khotimah, S. (2015). Jenis-jenis jamur basidiomycetes di hutan
bukit Beluan kecamatan Hulu Gurung kabupaten Kapuas Hulu. Protobiont, 4(1), 22–
28.
Naranjo‐Ortiz, M. A., & Gabaldón, T. (2019). Fungal evolution: Diversity, taxonomy and
phylogeny of the Fungi. Biological Reviews, 94(6), 2101–2137.
https://doi.org/10.1111/brv.12550
Natawijaya, D., Saepudin, A., & Pangesti, D. (2015). Uji Kecepatan Pertumbuhan Jamur
Rhizopus Stolonifer dan Aspergilus Niger yang Diinokulasikan pada Beberapa Jenis
Buah Lokal. Jurnal Siliwangi, 1(1), 32–40.
Newbound, M., Mccarthy, M. A., & Lebel, T. 2010. Fungi and the urban environment: A
review. Landscape and Urban Planning, 96(3), 138-145
Nieuwenhuis, B. P. S., & James, T. Y. (2016). The frequency of sex in fungi. Philosophical
Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, 371(1706), 20150540.
https://doi.org/10.1098/rstb.2015.0540
Noverita, N., Armanda, D. P., Matondang, I., Setia, T. M., & Wati, R. (2019).
Keanekaragaman Dan Potensi Jamur Makro Di Kawasan Suaka Margasatwa Bukit
Rimbang Bukit Baling (Smbrbb) Propinsi Riau, Sumatera. Pro-Life, 6(1), 26.
https://doi.org/10.33541/pro-life.v6i1.935
Nugraha, T.U. 2013. Kiat Sukse Budidaya Jamur Tiram. Bandung: Yrama Widya
32
Perez-Nadales, E., Almeida Nogueira, M. F., Baldin, C., Castanheira, S., El Ghalid, M.,
Grund, E., Lengeler, K., Marchegiani, E., Mehrotra, P. V., Moretti, M., Naik, V., Oses-
Ruiz, M., Oskarsson, T., Schäfer, K., Wasserstrom, L., Brakhage, A. A., Gow, N. A. R.,
Kahmann, R., Lebrun, M. H., … Wendland, J. 2014. Fungal model systems and the
elucidation of pathogenicity determinants. Fungal Genetics and Biology, 70, 42-67.
Redkar, A., & Doehlemann, G. 2016. Ustilago maydis Virulence Assays in Maize. BIO-
PROTOCOL, 6(6).
Reid, D. A., & Webster, J. (2012). Introduction to Fungi. Plant Health Instructor, 28(1), 1–
30. https://doi.org/10.2307/4117096
Riquelme, M., Aguirre, J., Bartnicki-García, S., Braus, G. H., Feldbrügge, M., Fleig, U.,
Hansberg, W., Herrera-Estrella, A., Kämper, J., Kück, U., Mouriño-Pérez, R. R.,
Takeshita, N., & Fischer, R. (2018). Fungal Morphogenesis, from the Polarized Growth
of Hyphae to Complex Reproduction and Infection Structures. Microbiology and
Molecular Biology Reviews, 82(2), 1–47. https://doi.org/10.1128/mmbr.00068-17
Spatafora, J. W., Chang, Y., Benny, G. L., Lazarus, K., Smith, M. E., Berbee, M. L., Bonito,
G., Corradi, N., Grigoriev, I., Gryganskyi, A., James, T. Y., O’Donnell, K., Roberson,
R. W., Taylor, T. N., Uehling, J., Vilgalys, R., White, M. M., & Stajich, J. E. (2016). A
phylum-level phylogenetic classification of zygomycete fungi based on genome-scale
data. Mycologia, 108(5), 1028–1046. https://doi.org/10.3852/16-042
33
Sutanto, Inge. 2013. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
34