Anda di halaman 1dari 37

GOLONGAN JAMUR

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas matakuliah Mikrobiologi yang diampu oleh


Prof. Dr.Dra. Utami Sri Hastuti, M.Pd dan Kennis Rozana, S.Pd., M.Si.

Disusun oleh:

Kelompok 1 / Offering C 2019

Fahrany Wahyu Andini 190341621684

Muhammad Faridzi Tamrin 190341621663

Rahmawati Istiqomah 190341621617

Safira Nurishita Sugiarto 200341617324

Tsania Ilma Rahmawati 190341621678

Zhafarina Dhiya 'Ulhaq 190341621604

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
Maret 2021
DAFTAR ISI

Halaman

Cover

Daftar Isi.............................................................................................................................. i

Daftar Gambar..................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang........................................................................................................ 1


1.2. Rumusan Masalah.................................................................................................. 2
1.3. Tujuan..................................................................................................................... 2

BAB II BAHASAN............................................................................................................. 3

2.1. Klasifikasi dan Reproduksi Fungi Secara Umum.................................................. 3


2.2. Ciri-ciri Cendawan Secara Umum.......................................................................... 11
2.3. Ciri-Ciri Kapang Secara Umum............................................................................. 16
2.4. Ciri-Ciri Khamir Secara Umum............................................................................. 17
2.5. Peranan Positif dan Negatif Fungi terhadap Lingkungan....................................... 20

BAB III PENUTUP............................................................................................................. 26

3.1. Kesimpulan............................................................................................................. 26
3.2. Saran....................................................................................................................... 27

DAFTAR RUJUKAN.......................................................................................................... 28

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
2.1 Siklus Hidup Zygomycota............................................................................................. 4
2.2 Struktur Tubuh Zygomycota......................................................................................... 5
2.3 Siklus Hidup Ascomycota............................................................................................. 6
2.4 Struktur Tubuh Ascomycota.......................................................................................... 7
2.5 Siklus Hidup Divisi Basidiomycota.............................................................................. 8
2.6 Siklus Hidup Volvariella Volvaceae.............................................................................. 9
2.7 Struktur Tubuh Basidiomycota...................................................................................... 9
2.8 Struktur Tubuh Deutromycota....................................................................................... 10
2.9 Morfologi Jamur Tiram Merah (Pleurotus Flabelatus)................................................ 12
2.10 Jamur Shitake (Lentinula Edodes)............................................................................... 13
2.11 Jamur Kuping (Auricularia Auricula).................................................................................... 13

2.12 Jamur Ganoderma Applanatum................................................................................... 14


2.13 Jamur Merang (Volvariella Volvaceae) ...................................................................... 15
2.14 Beberapa Jenis Jamur Yang Beracun.......................................................................... 15
2.15 Rhizopus Stolonifera.................................................................................................... 17
2.16 Koloni Khamir............................................................................................................. 18
2.17 Sel Khamir................................................................................................................... 18
2.18 Struktur Reproduksi Khamir Aseksual........................................................................ 19
2.19 Struktur Reproduksi Khamir Seksual.......................................................................... 20
2.20 Ektomikoriza Dan Endomikoriza Pada Akar Tanaman............................................... 22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fungi berasal dari bahasa latin yang menggambarkan tentang jamur. Jamur
adalah mikroorganisme yang tidak memiliki klorofil. Jamur memiliki banyak jenis,
baik yang bisa dikonsumsi maupun yang digunakan untuk fermentasi ataupun
produksi antibiotik (Rahmawati, 2015). Jamur mempunyai peranan penting dalam
ekosistem, yaitu sebagai dekomposer (pengurai). Jamur mampu menguraikan bahan
organik seperti selulosa, hemiselulosa, lignin, protein, dan senyawa pati dengan
bantuan enzim. Jamur menguraikan bahan organik menjadi senyawa yang diserap
dan digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan (Hasanuddin, 2014). Jamur
secara luas memiliki nilai gizi dan pengobatan, yang mana jamur memiliki rendah
lemak, protein tinggi dan vitamin. Jamur mengandung beberapa mineral dan elemen,
serta sejumlah serat makanan (Badalyan, 2012). Jamur biasanya tumbuh pada kondisi
lingkungan yang teduh dan tingkat kelembapan yang cukup tinggi (Hidayati dkk,
2015). Jamur berdasarkan ukuran tubuhnya ada yang makroskopis yang dapat dilihat
dengan mata telanjang dan jamur yang mikroskopis yaitu jamur yang berukuran kecil
dan hanya dapat dilihat dengan menggunakan alat bantu mikroskop. Jamur
makroskopis memiliki struktur umum yang terdiri atas bagian tubuh yaitu bilah,
tudung, tangkai, cincin, dan volva (Fitriani, dkk., 2018).
Berdasarkan morfologinya, jamur dapat digolongkan menjadi cendawan
(mushroom) yang berukuran besar dan dapat dilihat dengan mata telanjang
(makroskopik), kapang (mold) dan khamir (yeast) yang tergolong berukuran
mikroskopik (Ahmad, 2018). Cendawan merupakan istilah umum untuk jamur makro
(Khayati, 2018). Kapang adalah jamur renik yang mempunyai miselia dan massa
spora yang jelas (Ahmad, 2018). Sedangkan khamir adalah jamur uniseluler
nonfilamen (Cappucino & Welsh, 2017).
Sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan mengenai fungi, bentuk
morfologi serta klasifikasinya maka penulis menyusun makalah ini yang berisi
tentang deskripsi klasifikasi dan morfologi fungi secara umum, deskripsi klasifikasi

1
dan morfologi khamir secara umum, deskripsi klasifikasi dan morfologi kapang
secara umum, dan deskripsi klasifikasi dan morfologi cendawan secara umum.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah disusun, maka dapat diperoleh rumusan
masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana klasifikasi dan reproduksi fungi secara umum?
2. Bagaimana ciri-ciri cendawan secara umum?
3. Bagaimana ciri-ciri khamir secara umum?
4. Bagaimana ciri-ciri kapang secara umum?
5. Apa saja peranan positif dan negatif fungi terhadap lingkungan?

1.3 Tujuan
Tujuan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsiskan klasifikasi dan reproduksi fungi secara umum.
2. Mendeskripsikan ciri-ciri cendawan secara umum.
3. Mendeskripsiskan ciri-ciri khamir secara umum.
4. Mendeskripsiskan ciri-ciri kapang secara umum.
5. Menjelaskan peranan positif dan negatif fungi terhadap lingkungan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Klasifikasi dan Reproduksi Fungi

Berdasarkan cara reproduksinya, Kingdom Fungi dikelompokkan menjadi


empat divisi, antara lain: Zygomycota, Ascomycota, Basidiomycota, dan
Deutromycota (Heitman, 2011). Tidak seperti ragi (yeast) yang tumbuh sebagai sel
tunggal, sebagian besar jamur tumbuh sebagai filamen seperti benang. Filamen
disebut hifa yang setiap hifa terdiri dari satu atau lebih sel yang dikelilingi oleh
dinding sel tubular (Riquelme, et al., 2018). Massa hifa membentuk tubuh jamur,
yang disebut miselium (jamak, miselia). Hifa kebanyakan jamur dibagi menjadi sel
oleh dinding internal yang disebut septa (tunggal, septum). Septa biasanya memiliki
pori-pori kecil yang cukup besar untuk memungkinkan ribosom, mitokondria, dan
terkadang nukleus mengalir di antara sel. Hifa yang terbagi menjadi sel disebut hifa
septate. Namun, hifa beberapa jamur tidak dipisahkan oleh septa. Hifa tanpa septa
disebut hifa coenocytic yang merupakan sel besar dan berinti banyak (Reid &
Webster, 2012).

2.1.1 Divisi Zygomycota


Jamur dari divisi ini umumnya hidup di darat, di dalam tanah atau pada
tanaman dan hewan yang telah mati. Jamur divisi ini juga hidup pada makanan
yang busuk. Jamur Zygomycota diklasifikasikan sebagai filum tunggal.
Zygomycota memiliki dua macam reproduksi, yaitu seksual dan aseksual.
Reproduksi seksual oleh zigospora, sedangkan aseksual oleh sporangia
(Spatafora, et al., 2016). Tubuh Zgomycota tersusun atas hifa yang tidak
bersekat. Pada saat akan bereproduksi, beberapa hifa akan berdiferensiasi
membentuk Zigosporangium. Zigosporangium merupakan alat reproduksi
seksual pada jamur divisi ini. Sementara reproduksi aseksualnya berupa spora
aseksual (sporangiospora) (Mendoza, et al., 2015). Contoh jamur dari divisi
ini adalah Rhizopus stolonifer atau disebut jamur tempe. Jamur tersebut
digunakan dalam proses pembuatan tempe. Reproduksi Rhizopus stolonifer
terjadi secara aseksual dan seksual (Gryganskyi, et al., 2018).

3
Reproduksi seksual pada jamur tempe terjadi dengan penyatuan (fusi)
gametangia dari ujung hifa positif dan negatif. Akibat fusi tersebut akan
terbentuk zigosporangium. Selanjutnya, terjadi penyatuan inti dan dihasilkan
zigosporangium dewasa yang diploid. Dalam kondisi lingkungan yang baik,
zigosporangium akan berkecambah dan membentuk hifa-hifa haploid (n).
Nantinya, hifa-hifa tersebut akan menghasilkan spora, sedangkan pada
reproduksi aseksual spora dibentuk di dalam sporangium yang terletak di
ujung-ujung hifa.

Gambar 2.1 Siklus Hidup Zygomycota


(Sumber: Satyanarayana et al., 2019)

Zygomycota atau jamur konjugasi (conjugated fungi) (Muszewska, et


al., 2014). Termasuk jamur yang umumnya mengontaminasi roti, buah, serta
produk makanan lainnya. Kontaminasi pada roti biasanya disebabkan oleh
salah satu spesies yaitu Rhizopus stolonifera (Natawijaya, et al., 2015). Ciri-
ciri Zygomycota adalah pembentukan zygospora selama reproduksi seksual
dan kurangnya dinding sel hifa kecuali pada struktur reproduksi (Berman,
2012). Tidak seperti yang disebut jamur tingkat tinggi lain yang terdiri dari
Ascomycota dan Basidiomycota yang menghasilkan misellia septate secara
teratur, kebanyakan Zygomycota membentuk hifa yang umumnya coenocytic
karena tidak memiliki dinding silang atau septa. Zygomycota memiliki talus
hifa coenocytic (hifa tanpa septa) di mana nukleusnya haploid ketika

4
organisme berada dalam tahap vegetatif. Rhizopus stolonife memiliki
sporangia bengkak yang dikemas dengan spora hitam (Gryganskyi, et al.,
2018). Ketika spora mendarat di substrat yang sesuai, mereka berkecambah
dan menghasilkan miselium baru.

Gambar 2.2 Struktur Tubuh Zygomycota


(Sumber: Malloch, 2015)

Rhizoid seperti akar membantu sporangia untuk tetap berlabuh ke


objek apa pun yang mungkin mereka temui. Benang yang memanjang ke
kanan dan ke bawah adalah stolon, hifa yang tumbuh hingga bertemu dengan
tempat lain yang sesuai untuk menempelkan rizoid dan membangun sporangia.
Stolon, rizoid, dan sporangia semuanya mencirikan genus Rhizopus.
Sporangia seharusnya mengandung spora, tetapi spora tersebut masih belum
matang atau kemungkinan besar telah menyebarkan spora mereka dan
sekarang hanya tersisa sebagai sporangiofor (batang), dan columellae (bagian
apikal yang membengkak) (Souza, et al., 2017).

2.1.2 Divisi Ascomycota


Nama Ascomycota ini diambil dari kata askus (menyerupai kantung),
sehingga Asomycota disebut jamur kantung. Askus merupakan ujung hifa
yang mengalami perubahan inti dan akan membentuk tubuh buah (Heitman et
al., 2017). Ascomycota sebagian besar anggotanya multiseluler, namun ada
juga yang uniseluler seperti Saccharomyces cerevicae. Sementara contoh yang
multiseluler adalah Penicillium. Ascomycota multiseluler memiliki hifa yang

5
bersekat. Ascomycota multiseluler ada yang membentuk tubuh buah,
contohnya Morcella esculenta dan yang tidak membentuk tubuh buah,
contohnya Neurospora crassa. Bentuk tubuh buah Ascomycota beraneka
ragam, ada yang bulat serta ada yang berbentuk seperti mangkuk.
Reproduksi Ascomycota terjadi secara aseksual dan seksual. Pada
Ascomycota multiseluler, reproduksi aseksualnya terjadi dengan cara
membentuk konidia. Konidia merupakan spora aseksual yang dibentuk di
ujung konidiofor. Konidiofor adalah hifa yang termodifikasi membentuk
rangkai sporangium. Reproduksi secara seksual pada Ascomycota uniseluler
terjadi dengan cara konjugasi (Wallen & Perlin, 2018). Hasil dari konjugasi
adalah sel diploid. Sel diploid ini memiliki bentuk memanjang dan
membentuk askus. Askus merupakan struktur mirip kantung yang
mengandung spora (askospora). Inti diploid akan mengalami meiosis dan
membentuk inti yang haploid. Nantinya, kumpulan inti tersebut akan menjadi
askospora (Nieuwenhuis & James, 2016).
Reproduksi seksual pada Ascomycota multiseluler, terjadi dengan cara
perkawinan antara hifa haploid (n) yang berbeda jenis, yaitu hifa positif dan
hifa negative. Pada saat penyatuan, akan terbentuk hifa dikariotik (berinti
dua). Pada ujung hifa dikariotik ini akan terjadi fusi (penyautan) inti sehingga
sel-selnya menjadi diploid (2n). Setelah itu terjadi peristiwa meiosis yang akan
membentuk kembali inti-inti yang haploid (n). Pada hifa dikariotik, ujung-
ujungnya akan membentuk askus. Askus tersebut akan berkelompok
membentuk tubuh buah (askokarp) (Wilson, et al., 2019).

Gambar 2.3 Siklus Hidup Ascomycota


(Sumber: Satyanarayan et al., 2019)

6
Seperti Basidiomycota, kebanyakan Ascomycota tumbuh dari spora
menjadi miselia haploid (McConnaughey, 2014). Miselia dapat menghasilkan
dua jenis struktur reproduksi. Pertama, mereka dapat menghasilkan konidiofor
untuk reproduksi aseksual. Kedua, ascomycota menghasilkan struktur
reproduksi seksual yang disebut gametangia. Struktur ini bisa jantan atau
betina. Gametangia jantan dapat berupa apa saja dari sel yang terlepas (disebut
spermatium) hingga daerah yang dibedakan yang disebut antheridium.
Struktur betina selalu merupakan daerah yang dibedakan yang dikenal sebagai
ascogonium.

Gambar 2.4 Struktur Tubuh Ascomycota


(Sumber: Sparknotes, 2021)

Banyak Ascomycota membentuk tubuh buah, atau ascoma, mirip


dengan Basidiomycota, tetapi dengan perbedaan penting (Noverita, et al.,
2019). Tubuh buah Ascomycota sebagian besar terdiri dari hifa monokariotik
terjerat dari miselia jantan dan betina daripada hifa dikariotik yang terbentuk
dari penggabungan hifa dari dua miselia, seperti pada Basidiomycota. Satu-
satunya struktur dikariotik dalam tubuh buah adalah yang diproduksi oleh
gametangia setelah plasmogami (Sarbhoy, 2014).

7
2.1.3 Divisi Basidiomycota
Basidiomycota merupakan filum yang memiliki banyak spesies kedua
dari Kingdom Fungi, sebanyak 32.000 spesies. Basidiomycota merupakan
jamur paling kompleks dan multiselularitas (Naranjo-Ortiz & Gabaldón,
2019). Nama dari divisi ini diambil dari bentuk diploid yang terjadi pada
siklus hidupnya, yaitu basidium. Basidiomycota hidup sebagai decomposer
pada kayu. Basidiomycota memiliki tubuh buah (basidiokarp) yang besar
sehingga mudah untuk diamati. Jamur ini ada yang berbentuk seperti payung,
kuping, dan setengah lingkaran. Tubuh buah Basidiomycota terdiri atas tudung
(pileus), bilah (lamella), dan tangkai (stipe).
Reproduksi pada jamur ini terjadi secara aseksual dan seksual.
Reproduksi secara aseksual menghasilkan konidia, sedangkan secara seksual
terjadi dengan cara perkawinan antara hifa yang berbeda jenisnya. Pada saat
perkawinan, hifa yang berbeda jenis tersebut bersatu dan dinding selnya
hancur. Akibat hancurnya dinding sel ini, plasma sel akan bercampur,
sehingga disebut plasmogami. Pada saar pencampuran plasma sel, inti pun
bersatu dan berkembang menjadi hifa dikariotik yang diploid. Hifa dikariotik
ini akan mengalami meiosis menjadi inti yang haploid. Contoh jamur divisi ini
adalah jamur merang (Volvariella volvaceae) dan jamur kuping (Auricularia
polytricha).

Gambar 2.5 Siklus Hidup Divisi Basidiomycota


(Sumber: El-Ramady et al., 2018)

8
Gambar 2.6 Siklus Hidup Volvariella Volvaceae
(Sumber: Gummert et al., 2020)

Basidiomycota penghasil jamur ini kadang-kadang disebut sebagai


"jamur insang" karena adanya struktur seperti insang di bagian bawah tutupnya.
"Insang" sebenarnya adalah hifa yang dipadatkan di mana basidia berada
(Wahyudi, et al., 2016). Seperti gambar dibawah ini.

Gambar 2.7 Struktur Tubuh Basidiomycota


(Sumber: Sparknotes, 2021)

Kelompok ini juga termasuk jamur rak, yang menempel pada kulit
pohon seperti rak kecil. Selain itu, basidiomycota termasuk jamur api dan

9
karat, yang merupakan patogen tanaman penting, dan jamur payung. Salah
satu ciri yang digunakan untuk mengidentifikasi Basidiomycota, selain
keberadaan basidia, Basidiomycota memiliki lebih banyak hifa septate
daripada Zygomycota, meskipun septanya berlubang, memungkinkan
sitoplasma mengalir bebas antar sel (Myasari, et al., 2015).

2.1.4 Divisi Deutromycota


Divisi Deuteromycota sering disebut sebagai jamur tidak sempurna
(Imperfect Fungi) karena anggota kelompok ini tidak memiliki reproduksi
tahap seksual (Suciatmih, 2015). Ciri-ciri umum dari jamur yang tidak
sempurna adalah multiseluler, memiliki hifa bersekat dengan tubuh yang
berukuran mikroskopis, bersifat parasit pada inangnya serta hidup saprofit
pada sampah, dan hidup di daratan dan tempat lembab. Jamur ini tidak dapat
dimasukkan dalam kelompok Ascomycota karena tidak memiliki ascus, dan
tidak dapat diklasifikasikan sebagai Basidiomycota karena tidak memiliki
basidium. Beberapa jamur tidak sempurna kekurangan konidia dan hanya
membentuk sklerotia.

Gambar 2.8 Struktur Tubuh Deutromycota


(Sumber: Libretexts, 2021)

Reproduksi aseksual Deutromycota dilakukan melalui konidia (jamak


= konidium) yang nantinya menghasilkan hifa khusus yang disebut konidiofor.
Walaupun tidak memiliki reproduksi seksual, namun rekombinasi genetiknya
masih bisa terjadi, yaitu melalui siklus paraseksual. Siklus ini pertama kali
ditemukan oleh Pontecorvo dan Roper (1952) pada Apergirllus nidulans.
Dalam siklus paraseksual terjadi peristiwa sebagai berikut:

10
1. Pembentukan miselium heterokariotik, yaitu kondisi dimana inti yang
berbeda secara genetik terkait dalam sitoplasma umum.
2. Pembelahan kariogami dan mitosis inti diploid: Mengikuti pembentukan
heterokarion, fusi beberapa inti haploid yang secara genetik sama akan
berfusi serta yang berbeda secara genetik.
3. Persilangan Mitotik. Selama profase mitosis, penyeberangan mitosis dapat
terjadi antara kromatid kromosom homolog dan dapat menghasilkan
rekombinan genetik yang unik. Kromosom rekombinan terpisah, selama
anafase, dan menimbulkan inti yang secara genetik berbeda dari inti yang
ada dalam protoplasma.
4. Haploidisasi (bukan meiosis) inti diploid. Haploidisasi (bukan meiosis) inti
diploid. Selama mitosis, sering terjadi kesalahan. Inti diploid sering
membentuk satu inti dengan tiga salinan dari satu kromosom (2N + 1) dan
yang lainnya dengan satu salinan dari satu kromosom (2N-1). Dalam
nukleus terakhir, hilangnya kromosom secara terus-menerus dan berurutan
dengan dua salinan dapat terjadi yang pada akhirnya menimbulkan nukleus
haploid. Ketika haploidisasi terjadi pada diploid heterozigot, haploid yang
dihasilkan akan menghasilkan kombinasi genetik baru.
Ada berbagai macam konidia yang berbeda secara morfologis yang
diproduksi dalam bentuk- filum Deuteromycota. Konidia bisa bulat, bulat
telur, memanjang, berbentuk bintang dan sebagainya. Karakteristik
konidial ini adalah dasar untuk klasifikasi buatan. Anggota kelompok ini
kebanyakan adalah saprob, tetapi ada pula yang bersifat parasit pada
tumbuhan dan hewan, termasuk manusia. Ada banyak variasi konidia yang
berbeda secara morfologis yang dihasilkan dalam bentuk filum
Deuteromycota (Darmuh, et al., 2018). Contoh fungi yang termasuk
Deutromycota adalah Epidermophyton floocosum (penyebab kutu air) dan
Trychophyton tonsarus (penyebab ketombe).
2.2 Ciri - Ciri Cendawan Secara Umum

Jamur atau fungi adalah mikroorganisme yang tersusun dari sel atau benang
yang bercabang serta mempunyai dinding sel yang terdiri atas kitin dan glukan
sehingga membedakan sel jamur dengan sel hewan dan sel tumbuhan (Sutanto, 2013).
Berdasarkan jumlah selnya, jamur atau fungi ini memiliki dua jenis yaitu jamur

11
multiseluler yang memiliki struktur kompleks seperti tubuh buah dan jamur uniseluler
yang hanya terdiri dari benang yang disebut hifa seperti khamir (Achmad, dkk.,
2013). Morfologi yang khas dari jamur adalah memiliki tudung atau pileus yang
berbentuk beragam, yaitu bentuk cangkang tiram, payung, kuping, setengah lingkaran,
dan bulat. Tudung dan batang jamur merupakan bagian dari tubuh buah jamur yang
berperan dalam menghasilkan spora sebagai alat untuk berkembang biak (Trubus,
2010 dalam Ernawati, 2019).

2.2.1 Jamur Tudung Tiram

Gambar 2.9 Morfologi Jamur Tiram Merah (Pleurotus Flabelatus)


(Sumber: Suriawiria, 2011)

Didalam Suriawiria (2011), salah satu jenis jamur, yaitu jamur tiram
merah (Pleurotus flabelatus) memiliki tudung berwarna kemerah-merahan
yang memiliki spora, dan tersusun atas sel lepas atau satuan yang bergabung
memembentuk benang yang bersekat atau tidak bersekat yang disebut dengan
hifa (benang) jamur. Hifa ini terdiri dari sel yang memiliki satu inti dan
bersifat haploid yang ketika hifa menyatu membentuk suatu kumpulan, maka
akan terbentuk suatu jaringan yang disebut dengan miselium. Miselium
berkembang menjadi bercanbang-cabang dan pada titik pertemuannya akan
membentuk sporangium yang akan tumbuh menjadi tubuh buah jamur yang
terdiri dari tudung dan batang jamur (Djarijah & Djarijah, 2001 dalam
Fardiyah, 2018).

12
2.2.2 Jamur Tudung Payung

Gambar 2.10 Jamur shitake (Lentinula edodes)


(Sumber: Aroyandini, dkk., 2020)

Salah satu spesies yang memiliki tudung jamur berbentuk payung adalah
jamur shiitake atau shitake (Lentinula edodes). Tudung payungnya berwarna
coklat muda hingga coklat tua yang terdapat bintik-bintik dengan istilah
“renda” serta tudungnya sedikit keras dan terdapat selaput kutikula. Pada
bagian bawahnya, terdapat lamella yang menyerupai insang berisi spora
sebagai alat perkembangbiakan (Prahastuti, 2001 dalam Aroyandini dkk.,
2020).

2.2.3 Jamur Tudung Kuping

Gambar 2.11 Jamur kuping (Auricularia auricula)


(Sumber: Suriawiria, 2011)

13
Jamur kuping (Auricularia auricula) adalah salah satu jamur yang
boleh dikonsumsi. Jamur ini dinamakan kuping karena tudungnya yang
berbentuk seperti telinga atau kuping manusia. Bagian tubuh buahnya bersifat
kenyal seperti gelatin ketika keadaan basah dan bersifat keras ketika keadaan
kering. Tudungnya berlekuk-lekuk dan berwaran ungu tua hingga coklat
kehitaman. Bagian yang menempel pada substrat adalah tubuh buahnya yang
pendek (Sutanto, 2013).

2.2.4 Jamur Tudung Setengah Lingkaran

Gambar 2.12 Jamur Ganoderma applanatum


(Sumber: Herliyana, dkk., 2012)

Jamur Ganoderma applanatum adalah satu jenis jamur yang memiliki


tubuh buah yaitu tudungnya seperti setengah lingkaran. Jamur ini tumbuh pada
kayu lapuk dengan ciri-ciri tubuh buahnya berwarna coklat keabu-abuan
dengan ukuran yang lumayan besar. Tubuh buah pada jamur ini tidak memiliki
tangkai dan langsung melekat ke substrat yang pada sisi atasnya memiliki
garis dengan pola radial dan disisi bawahnya terdapat himenifor berupa pori-
pori (Kuo, 2010 dalam Fatmah, 2011).

14
2.2.5 Jamur Tudung Bundar

Gambar 2.13 Jamur merang (Volvariella volvaceae)


(Sumber: Aroyandini, dkk, 2020)

Jamur merang (Volvariella volvaceae) merupakan jenis jamur yang


memiliki karakteristik tubuh buah berbentuk oval seperti telur muda, warna
cokelat gelap hingga abu-abu, terlindungi oleh suatu selubung ketika muda.
Ketika mamasuki tahap dewasa, tudung berbentuk seperti cawan (volva) yang
berwarna cokelat tua keabu-abuan dan batangnya berwarna cokelat muda dan
terdapat struktur seperti cincin. Ketika masih muda, bagian bilah pada
tudungnya ada yang rapat dan ada yang bebas yang berwarna putih dan
berubah warna merah muda ketika spora menjadi dewasa. (Wydia, 2008 dalam
Aroyandini, dkk, 2020).

1 2 3 4

5 6

Gambar 2.14 Beberapa Jenis Jamur Yang Beracun; (1) Amanita, (2) Boletus, (3)
Coprinus, (4) Cortinarus, (5) Lactarius, (6) Lepiota.
(Sumber: Hidayu & Ariusmedi, 2019)

15
Selain dapat dibedakan jenisnya berdasarkan morfologi tudungnya,
identifikasi morfologi juga berguna untuk mengetahui jenis jamur yang
beracun. Jamur yang mengandung racun memiliki warna yang mencolok dan
menarik perhatian sertau bau yang menyengat (Nugraha, 2013). Kadar Racun
dari jamur ini berasal dari senyawa yang diproduksi oleh mereka sendiri atau
akibat adanya akumulasi racun yang terkandung pada media tanamnya
sehingga terserap oleh mereka (Achmad, dkk., 2013).
Seperti pernyataan Yunitasari (2013), terdapat ciri-ciri pada jamur yang
beracun, yaitu sebagai berikut:
1. Pada umumnya, jenis jamur beracun memiliki warna yang mencolok
yang menarik perhatian, seperti hitam legam, merah darah, biru tua,
dan lain-lain. Namun terdapat juga yang berwarna terang seperti
kuning atau putih dan ada juga jamur berwarna gelap yang aman
dikonsumsi seperti cokelat tua.
2. Mengeluarkan bau yang menyengat dan busuk seperti bangkai atau
ammonia.
3. Memiliki bagian cincin dan cawan, namun terdapat juga yang aman
dikonsumsi seperti jamur merang.
4. Biasanya berkembang biak ditempat yang kotor.
5. Pada umumnya mudah hancur ketika disentuh.
6. Terdapat organisme seperti hewan yang mati disekitarnya karena
kemungkinan memakan jamur beracun tersebut.
7. Ketika dimasak, teksturnya menjadi sangat lunak.
8. Pada beberapa adat istiadat, terdapat cara untuk menentukan jamur
beracun atau tidak, yaitu dengan cara memepes jamur dengan nasi
putih. Jika warna nasi menjadi gelap, maka mengandung racun.
9. Ketika dipotong dengan gunting atau pisau yang berbahan logam
perak, maka terjadi perubahan warna menjadi gelap.

2.3 Ciri-Ciri Kapang Secara Umum


Kapang atau mold merupakan salah satu jenis dari fungi yang dapat dilihat
dengan mata secara langsung. Kapang merupakan organisme multiseluler. Banyak
ditemui tumbuh pada makanan seperti roti atau buah jeruk. Kapang tersusun atas
beberapa miselium. Filamen yang membentuk miselium disebut dengan hifa. Hifa

16
adalah dinding sel berbentuk tabung yang mengelilingi membran sitoplasma. Panjang
hifa umumnya sekitar 1-2µm atau 5-10µm. Hifa ada yang bersekat yang membagi
antar dinding setiap fia menjadi sel yang terpisah, hifa bersekat pada filum
ascomycota dan basidiomycota, sedangkan hifa tidak bersekat dimiliki oleh filum
oomycota dan zygomycota. Morfologi koloni kapang memiliki tekstur seperti kapas,
bludru, atau serbuk (Cappucino & Welsh, 2017).
Salah satu contoh jenis kapang yang umum atau banyak ditemukan pada roti
adalah Rhizopus stolonifer (Gambar 2.15) yang termasuk ke dalam zigomycota.
Organisme ini bereproduksi secara seksual maupun aseksual. Pada fase aseksual,
miselia membentuk sporangia yang di dalamnya diproduksi spora haploid. Setelah
spora dilepaskan, spora menyebar lalu berkecambah. Pada fase seksual, gametangia
miselia dari jenis pasangan yang berbeda menghasilkan sel heterokariotik yang
disebut zygosporangium, zygosporangium dapat tidak aktif dan bertahan dari kondisi
yang tidak menguntungkan. Kemudian ketika kondisi sudah memungkinkan, inti
haploid yang berbeda bergabung menjadi diploid lalu melakukan meiosis
menghasilkan spora haploid. Kemudian terjadi pelepasan spora seperti pada saat
reproduksi aseksual (Madigan, et al., 2012).

Gambar 2.15 Rhizopus stolonifer


(Sumber: Madigan et al., 2012)

2.4 Ciri-Ciri Khamir Secara Umum

Khamir adalah jamur uniseluler nonfilamen (Cappucino & Welsh, 2017).


Khamir merupakan mikroorganisme eukariotik yang hidup di berbagai ekologi
(Kristiandi, dkk., 2021). Khamir atau yeast adalah jamur bersel satu (uniselluler),

17
mikroskopik, berbentuk oval atau bulat, tidak berflagela, dan berukuran lebih besar
dibandingkan sel bakteri, dengan lebar berkisar 1-5mm. Khamir kultur menyerupai
bakteri saat tumbuh di permukaan media laboratorium buatan, namun memiliki
ukuran 5 sampai 10 kali lebih besar dari bakteri (Cappucino & Welsh, 2017). Koloni
khamir diilustrasikan sebagai berikut:

Gambar 2.16 Koloni Khamir


Sumber : (Cappucino, J.G., Welsh, C. 2017)

Secara mikroskopis, sel khamir mungkin berbentuk ellipsoidal, bulat, atau pada
beberapa kasus, silinder (Cappucino & Welsh, 2017).

18
Gambar 2.17 Sel Khamir
(Sumber: Cappucino, J.G., Welsh, C. 2017)

Sel khamir secara mikroskopik terdiri dari kapsul, dinding sel, membran
sitoplasma, nukleus, vakuola, mitokondria, globula lipid, volutin atau polifosfat, dan
sitoplasma. Strukur luar beberapa jenis khamir tertutup oleh komponen ekstraseluler
yang berlendir dan disebut kapsul. Kapsul yang menutupi dinding luar sel sebagian
besar terdiri atas polisakarida termasuk glukofosfomanan yang merupakan polimer
menyerupai pati, dan heteropolisakarida; polimer yang mengandung lebih dari satu
macam unit gula seperti pentosa, heksosa, dan asam glukuronat (Sari, 2010).
Cara hidup dari khamir yaitu sebagai saprofit dan parasit, yang hidup di dalam
tanah maupun debu di udara. Khamir memiliki bentuk bulat (spreroid), elipsoidal,
batang maupun silindris (Fifendy, 2017). Reproduksi yang utama bagi khamir yaitu
dengan tunas, yang mana khamir akan menghasilkan sel baru dan identik secara genetik
(Kristiandi, dkk., 2021).
Dalam tunas, kuncup dari sel induk akan terjepit yang nantinya akan terlepas
menghasilkan sel anak. Pada saat bertunas, induk sel akan memanjang, nukleusnya

19
membelah, dan membelah secara merata menjadi dua sel anak (Cappucino & Welsh,
2017).

Gambar 2.18 Struktur Reproduksi Khamir Aseksual


(Sumber: Cappucino, J.G. & Welsh, C., 2017)

Beberapa khamir juga dapat mengalami reproduksi seksual ketika dua spora
seksual berkonjugasi. Inti dari sel akan membelah dengan meiosis, menghasilkan empat
sel baru inti haploid (spora seksual), disebut askospora yang terkandung dalam struktur
yang disebut ascus. Ketika ascus pecah, askospora dilepaskan dan konjugasi.

Gambar 2.19 Struktur Reproduksi Khamir Seksual


(Sumber : Cappucino, J.G. & Welsh, C. 2017)

Peranan khamir salah satunya Saccharomyces cerevisiae digunakan dalam


pembuatan adonan roti. Dua strain utama khamir, Saccharomyces carlsbergensis dan
Saccharomyces cerevisiae, digunakan untuk pembuatan bir. Industri anggur bergantung
pada khamir liar (hadir pada anggur) untuk fermentasi jus anggur, yang ditambahkan
dengan Saccharomyces ellipsoideus untuk memulai fermentasi. Selain itu, kandungan
vitaminnya yang tinggi khamir membuatnya sangat berharga sebagai makanan
suplemen. Ada manfaat seperti beberapa khamir adalah beberapa spesies yang dapat
menimbulkan masalah di industri makanan atau berbahaya bagi manusia. Seperti
khamir yang tidak diinginkan harus dikeluarkan dari pembuatan jus buah, seperti jus
anggur atau sari apel, untuk cegah fermentasi gula buah menjadi alkohol. Pencemaran

20
keju lunak oleh beberapa bentuk khamir akan merusak produk. Akhirnya, beberapa
jamur seperti Candida albicans bersifat patogen dan akan menginfeksi saluran kemih
dan vagina, dikenal sebagai moniliasis, dan infeksi pada mulut disebut sariawan
(Cappucino & Welsh, 2017).

2.5 Peranan Positif dan Negatif Fungi terhadap Lingkungan

Dalam kehidupannya setiap organisme pasti memiliki peranan yang positif


dan juga negatif baik terhadap lingkungan maupun terhadap organisme lainnya, tak
terkecuali jamur. Beberapa peranan positif jamur terhadap lingkungan, yaitu:

2.5.1 Jamur sebagai dekomposer yang berperan dalam siklus energi


Jamur merupakan salah satu dari organisme yang mampu
mendekomposisi penyusun tubuh organisme yang telah mati menjadi
komponen yang lebih sederhana. Jamur atau fungi merupakan salah satu dari
dekomposer (Mącik, et al., 2020). Biasanya fungi akan mendekomposisi
komponen kompleks, seperti selulosa, lignin, kitin, dan juga keratin.
Komponen kompleks akan didekomposisi menjadi nitrogen, gula pentosa, dan
juga fosfat yang merupakan unit struktural penyusun organisme (Yashavantha
Rao, et al., 2020). Beberapa dekomposer fungi banyak yang berasal dari genus
Penicillium, Mucor, dan Rhizopus. Peran ini didukung oleh adanya enzim
yang terkandung pada fungi, yakni ligninase merupakan enzim peroksidase
yang membutuhkan H2O2 sebagai reaktan dalam reaksi katalitiknya dengan
lignin (Flores-Félix, et al., 2018).
Selain itu, enzim laccase yang merupakan pengoksidasi fenol lainnya
diproduksi oleh sebagian besar jamur peran dalam dekomposisi lignin.
Laccase juga memainkan peran kunci dalam dekomposisi selobiosa oleh
selobiosa dehidrogenase (Watkinson, 2016). Unit sederhana yang merupakan
hasil dekomposisi akan memberikan kandungan hara yang baik bagi pada
tanah dan menghindari adanya polusi tanah. Senyawa yang telah berhasil
dipecah menjadi molekul yang lebih sederhana akan melakukan proses
selanjutnya dalam siklus energi, siklus energi (siklus nitrogen, karbon, dan
fosfat) yang baik akan mendukung keberlangsungan hidup dari mahkluk
hidup (Folli-Pereira, et al., 2020).

2.5.2 Fungi sebagai biofertilizer


21
Penerapan spesies jamur pada lahan subur untuk meningkatkan
kualitas tanah semakin menonjol dan sangat menjanjikan. Hal ini merupakan
proses di mana komposisi biologis jamur yang terdiri dari mikroba menjajah
daerah akar tanaman untuk meningkatkan pertumbuhan. Jamur dapat dijadikan
sebagai biofertilizer yang ramah lingkungan memainkan peran penting dalam
menjaga kesuburan tanah, pengayaan nutrisi, dan keberlangsungan tanah yang
sehat secara turun temurun (McNear Jr., 2013). Dalam hal ini jamur
bersimbiosis dengan akar tanaman membentuk mikoriza. Berinteraksi dengan
tanaman ini dan meningkatkan serapan fosfor (P), nitrogen (N), seng (Zn),
tembaga (Cu), besi (Fe), sulfur (S), dan boron (B) (Gadd, et al., 2007).
Mikoriza terbagi menjadi 2 jenis, yaitu ektomikoriza dan juga endomikoriza.
Pada ektomikoriza hifa jamur hanya akan melakukan penetrasi pada korteks
tanaman dan tidak melakukan invasi ke dalam sel. Pada korteks tersebut hifa
secara ekstensif akan membentuk Hartig-net sebagai tempat pertukaran nutrisi
antara tanaman dan juga jamur (Reddy & Saravanan, 2013). Tanaman yang
memiliki ektomikoriza biasanya ditandai dengan adanya mantel atau selubung
jamur yang menutupi akar inang. Ektomikoriza biasanya dibentuk oleh fungi
pada kelas Basidiomycetes dan Ascomycetes dengan tanaman. Jamur
ektomikoriza meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman abiotik.
Selain menurunkan tingkat racun dalam tanah, dan menurunkan pH tanah
yang ekstrem, tanaman ini juga melindungi akar tanaman dari stres terkait
biologis (Newbound, et al., 2010).

22
Gambar 2.20 Ektomikoriza dan Endomikoriza pada Akar Tanaman

(Sumber: McNear Jr., 2013)

Berbeda dengan endomikoriza yang mana hifa akan terpenetrasi hingga


masuk di dalam sel. Endomikoriza ini merupakan mikoriza umum yang sering
ditemui pada tanaman, Glomeromycota merupakan filum dari jamur yang
membentuk endomikoriza (Sadhana, 2014). Pada endomikoriza biasanya
ditandai dengan adanya klamidiospora yang berperan dalam reproduksi
aseksual jamur. Endomikoriza berdasarkan bentuk hifanya dibedakanmenjadi
arbuskular, ericoid, dan orchid mikoriza (Kamko, et al., 2020). Secara umum
endomikoriza yang biasanya ditemui ialah arbuscular mikoriza. Endomikoriza
merupakan pemulung fosfat yang mempercepat perekrutan fosfat terlarut dari
akuifer tanah. Karena jamur mikoriza lebih efisien dalam penyerapan nutrisi
tertentu seperti P, Ca, Zn, S, N, B dan tahan terhadap patogen yang terbawa
tanah. Selain itu, anggota penting komunitas mikroba tanah, jamur
endomikoriza memainkan peran kunci dalam peningkatan pertumbuhan
tanaman, perlindungan tanaman, dan peningkatan kualitas tanah (Amballa &
Bhumi, 2017).
2.5.3 Fungi sebagai mikorizoremediasi
Fungi mikoriza sebagai organisme tanah menjadi kunci dalam
memfasilitasi penyerapan hara oleh tanaman. Hubungan antara mikoriza
arbuskula sangat erat terhadap remediasi logam berat pada tanaman (Bhaduri
& Fulekar, 2012). Jenis tumbuhan yang hidup di lahan tercemar, biasanya ada
mampu bertahan hidup, beradaptasi, dan terdapat juga yang mengakumulasi
logam berat dalam jumlah berlebih. Mikoriza berkontribusi terhadap
imobilisasi logam berat dalam tanah pada rizosfer tanaman(Muleta &
Woyessa, 2014). Mikoriza mampu meningkatkan fitostabilisasi yang sama
dengan apa yang dilakukan oleh tanaman (Upadhyaya, et al., 2010). Fungi
mikoriza pada lahan tambang dapat berfungsi sebagai penjaga stabilitas tanah.
Pengikatan logam berat pada kitin di dinding sel fungi yang akan menurunkan
konsentrasi logam berat di sekita miselium fungi dalam tanah. Adsorpsi pasif
hifa mampu mengikat hingga 0,5 mg Cd/ mg biomassa kering (Alori &
Fawole, 2012). Permukaan yang besar dan luas pada hifa fungi dalam tanah
mampu mengikat logam berart, sehingga dinilai baik untuk pembersihan

23
logam berat pada lingkungan tercemar. Fungi yang toleran terhadap logam
berat memiliki afinitas yang lebih tinggi daripada akar tanaman (Souza, et al.,
2013). Penyerapan unsur Pb dan imoblisasinya oleh tanaman bermikoriza
lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang tidak memiliki mikoriza
(Adewole, et al., 2010). Selain itu juga, fungi dapat memperbaiki tanah
dengan mengeluarkan glikoprotein glomalin. Glomalin mampu meningkatkan
pembentukan pori tanah yang lebih baik (Suharno & Sahcayaningsih, 2013).

2.5.4 Fungi sebagai pengendali hama pada tanaman


Fungi Beauveria bassiana yang merupakan kapang dapat digunakan
sebagai pengendali hama pada tanaman. Beauveria bassiana mengendalikan
kumbang dan belalang sebagai hama pada tanaman. Sekret berupa protein
bassiacridin yang dikeluarkan oleh spesies ini menunjukkan toksisitas
terhadap nimfa instar dari serangga dan dapat menyebabkan kematian (Singh,
et al., 2015). Interaksi bassiacridin dengan sel inang (hama) dan dampaknya
terhadap lingkungan sehingga dapat memasukkan protein ini sebagai bahan
aktif biopestisida. Selain itu, Beauveria bassiana menghasilkan senyawa
eauvericin yang merupakan ionofor siklo-oligomerikeksadepsipeptida yang
dengan aktivitas insektisida yang telah diakui (Gurulingappa, et al., 2010).
Selama fase patogenesis, hifa Beauveria bassiana terus berkembang
melepaskan enzim hidrolitik ekstraseluler yang membantu penetrasi jamur dari
integumen serangga dan senyawa eauvericin akan dinjeksikan mengakibatkan
timbulnya faktor virulensi yang melumpuhkan dan menghancurkan sistem
kekebalan tubuh yang menyebabkan kematiannya (Wang, et al., 2012).
Selain peran positif yang diberikan oleh jamur ke lingkungan, terdapat
juga dampak dampak negatif jamur terdahap lingkungan ialah menjadi
patogen terhadap beberapa tumbuhan. Phytotophtora cinnamani merupakan
fungi yang termasuk dalam kapang dapat menyerang tanaman nanas, buah
nanas dapat mengalami kerusakan akibat dari invasi spesies kapang ini. Selain
buah yang busuk, spesies kapang ini juga dapat menyerang daun dan akar
tanaman nanas yang dapat mengakibatkan busuk dan mati. Perubahan yang

24
dapat teramati atas infeksi kapang ini ialah warna menjadi kuning atau coklat
akibat gejala nekrotik pada pangkal daun (Redkar & Doehlemann, 2016).
Basidiomycota Ustilago maydis menyebabkan penyakit jamur pada jagung
(Zea mays) dengan menginfeksi semua jaringan tanaman. Infeksi
menyebabkan klorosis daun dan merangsang tanaman untuk menghasilkan
ceruk yang kaya nutrisi (yaitu tumor), di mana jamur dapat berkembang biak
dan menyelesaikan siklus hidupnya (Lemonnier, et al., 2014). Penelitian
sebelumnya telah mencatat akumulasi gula larut dan pati yang tinggi di dalam
tumor ini. Akumulasi gula di dalam tumor yang bertepatan dengan ekspresi
diferensial dari gula tanaman pada akhirnya akan diekspor menjadi transporter
dan proton (Sosso, et al., 2019). Untuk mengakumulasi gula tanaman, jamur
menyebarkan perangkat pengangkut gulanya sendiri, menghasilkan gradien
gula dalam sitosol jamur (Kretschmer, et al., 2017). Jenis kapang ini tidak
seperti patogen nekrotrofik, yang mengganggu sel inang untuk mengakses
nutrisi, biotrof seperti Ustilago maydis memprogram ulang sel hidup untuk
mendistribusikan nutrisi secara ke sel inang dengan memodifikasi transporter
gula (Perez-Nadales, et al., 2014). Kerusakan tumbuhan yang disebabkan oleh
infeksi kapang tersebut dapat mengurangi keanekaragaman gentik yang ada.
Selain itu, tumbuhan yang difungsikan dalam asimilasi CO2 akan berkurang
dan menjadikan dampak yang besar jika infeksi ini terjadi dalam skala besar,
hal tersebut tentu akan mengganggu keseimbangan ekosistem.

25
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan cara reproduksinya, Kingdom Fungi dikelompokkan menjadi empat
divisi, antara lain: Zygomycota, Ascomycota, Basidiomycota, dan Deutromycota.
Zygomycota memiliki dua macam reproduksi, yaitu seksual oleh zigospora dan
aseksual oleh sporangia. Reproduksi Ascomycota terjadi secara aseksual dengan
membentuk konidia dan seksual dengan perkawinan antara hifa haploid (n) yang
berbeda jenis. Reproduksi Basidiomycota terjadi secara aseksual dengan
menghasilkan konidia, sedangkan secara seksual terjadi dengan cara perkawinan
antara hifa yang berbeda jenisnya. Reproduksi aseksual Deutromycota dilakukan
melalui konidia yang nantinya menghasilkan hifa khusus yang disebut konidiofor.
Walaupun Deutromycota tidak memiliki reproduksi seksual, namun rekombinasi
genetiknya masih bisa terjadi, yaitu melalui siklus paraseksual.
2. Jamur atau fungi adalah mikroorganisme yang tersusun dari sel atau benang yang
bercabang serta mempunyai dinding sel yang terdiri atas kitin dan glukan
sehingga membedakan sel jamur dengan sel hewan dan sel tumbuhan. Morfologi
yang khas dari jamur adalah memiliki tudung atau pileus yang berbentuk
beragam, yaitu bentuk cangkang tiram, payung, kuping, setengah lingkaran, dan

26
bulat. Tudung dan batang jamur merupakan bagian dari tubuh buah jamur yang
berperan dalam menghasilkan spora sebagai alat untuk berkembang biak.
3. Kapang merupakan organisme multiseluler dengan panjang hifa sekitar 1-2µm
atau 5-10µm. hifanya ada yang bersekat dan tidak bersekat. Morfologi koloni
seperti kapas, bludru, atau serbuk. Kapang bereproduksi secara seksual dan
aseksual. Banyak ditemukan di makanan dan buah-buah. salah satu contoh
spesiesnya adalah Rhizpous stolonifer yang ditemukan pada roti.
4. Khamir adalah jamur uniseluler nonfilamen, mikroskopik, tidak berflagela dan
berukuran lebih besar dari bakteri. Sel khamir memiliki bentuk ellipsoidal, bulat,
silinder.Sel khamir secara mikroskopik terdiri dari kapsul, dinding sel, membran
sitoplasma, nukleus, vakuola, mitokondria, globula lipid, volutin atau polifosfat,
dan sitoplasma. Cara hidup dari khamir yaitu sebagai saprofit dan parasit, yang
hidup di dalam tanah maupun debu di udara. Reproduksi yang utama bagi khamir
yaitu dengan tunas. Khamir juga dapat mengalami reproduksi seksual ketika dua
spora seksual berkonjugasi. Peranan positif khamir yaitu dapat digunakan sebagai
pembuatan adonan roti, dan pembuatan bir. Selain itu khamir juga dapat
berdampak negatif yang dapat menimbulkan masalah di industri makanan atau
berbahaya bagi manusia.
5. Terdapat peranan positif dan negatif fungi terhadap lingkungan, peranan positif
fungi diantaranya ialah sebagai dekomposer yang memainkan pean kunci dalam
siklus energi. Fungi juga dapat dimanfaatkan menjadi biofertilizer ramah terhadap
lingkungan yang sangat bermanfaat dalam bidang pertanian dan juga sebagai
pengendali hama serangga. Fungi juga dapat dimanfaatkan sebagai
mikorizoremediasi di lingkungan tercemar logam berat. Namun, selain peranan
positif yang diberikan oleh fungi terdapat juga peranan negatifnya terhadap
lingkungan, diantaranya ialah menyebabkan penyakit bagi tumbuhan.
Phytotophtora cinnamani menyebabkan kebusukan pada buah nanas, daun, dan
juga pada akarnya. Ustilago maydis menyebabkan penyakit dan menyerang
bagian buah tanaman jagung.

3.2 Saran
Kingdom fungi memiliki berbagai peranan bagi lingkungan dan juga
kehidupan. Peranan positif fungi diharapkan dapat memberikan solusi terhadap
berbagai problematika di berbagai bidang. Perlu dilakukan penelitian lanjut untuk

27
dapat mengeksplorasi dan memanfaatkan manfaat fungi secara menyeluruh. Dengan
penjabaran berbagai karakteristik dari kingdom fungi para pembaca diharapkan dapat
memperoleh wawasan akan berbagai kriteria fungi dan dapat membedakan fungi
yang dapat dikonsumsi dan tidak.

DAFTAR RUJUKAN

Achmad, Mugiono, Ardianti, Tias, Azmi, Chotimatul. 2013. Panduan Lengkap Jamur.
Bogor: Penebar Swadaya

Adewole, M. B., Awotoye, O. O., Ohiembor, M. O., & Salami, A. O. 2010. Influence of
mycorrhizal fungi on phytoremediating potential and yield of sunflower in Cd and Pb
polluted soils. Journal of Agricultural Sciences, Belgrade, 55(1), 17-28.

Ahmad, RZ. 2018. Medium tapioka untuk preservasi kapang yang bermanfaat untuk
veteriner. Jurnal Mikologi Indonesia. 2(1): 2.
Alori, E., Fawole, O. 2012. Phytoremediation of Soils Contaminated with Aluminium and
Manganese by Two Arbuscular Mycorrhizal Fungi. Journal of Agricultural Science,
4(8), 246-252.

Amballa, H., Bhumi, N. R. 2017. Significance of Arbuscular Mycorrhizal Fungi and


Rhizosphere Microflora in Plant Growth and Nutrition. Plant-Microbe Interaction: An
Approach to Sustainable Agriculture , 417-452.
Aroyandini, E. N., Lestari, Y. P., & Karima, F. N. 2020. Keanekeragaman Jamur di
Agrowisata Jejamuran sebagai Sumber Belajar Biologi Berbasis Potensi Lokal (Fungi
Diversity in Jejamuran Agrotourism as a Learning Resource for Local Potential-Based
Biology). Bioedusiana: Jurnal Pendidikan Biologi. DOI:
https://doi.org/10.37058/bioed.v5i2.2336.

28
Badalyan, S.M. (2012). Edible Ectomycorrhizal Mushrooms. Berlin: Springer-Verlag.
Berman, J. J. (2012). Zygomycota. In Taxonomic Guide to Infectious Diseases (pp. 191–193).
https://doi.org/10.1016/b978-0-12-415895-5.00034-9

Bhaduri, A. M., & Fulekar, M. H. 2012. Assessment of arbuscular mycorrhizal fungi on the
phytoremediation potential of Ipomoea aquatica on cadmium uptake. 3 Biotech, 2, 193-
198.

Cappucino, J.G., Welsh, C. 2017. Microbiology: A Laboratory Manual, 11th Edition.


Malaysia : Pearson Education.

Darmuh, S., Arif, A., & Taskirawati, I. (2018). KERAGAMAN JENIS JAMUR YANG
MENYERANG TANAMAN MAHONI (Swietenia Macrophylla KING.) DI KAMPUS
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR, SULAWESI SELATAN. Perennial,
14(1), 9. https://doi.org/10.24259/perennial.v14i1.4998

Ernawati, Ernawati. 2019. Pertumbuhan Miselium Bibit F1 Jamur Tiram Merah (Pleurotus
flabellatus) Dengan Penambahan Media Kulit Kacang Tanah Dan Kulit Biji Bunga
Matahari (Dimanfaatkan Sebagai Sumber Belajar Biologi). Malang: Undergraduate
(S1) Thesis University of Muhammadiyah Malang. DOI:
http://eprints.umm.ac.id/id/eprint/46941.

Fardiyah, Usifatul. 2018. Pengaruh Penambahan Rumput Gajah (Pennisetum purpureum)


Pada Media Tanam Terhadap Pertumbuhan Miselium Jamur Tiram Merah (Pleurotus
flabellatus) Dimanfaatkan Sebagai Sumber Belajar Biologi. Malang: Undergraduate
(S1) Thesis University of Muhammadiyah Malang. DOI:
http://eprints.umm.ac.id/id/eprint/38141.

Fatmah, H. S. 2011. Keanekaragaman jamur Basidiomycota di kawasan Gunung


Bawakaraeng (Studi kasus: kawasan sekitar Desa Lembanna Kecamatan Tinggi
Moncong Kabupaten Gowa). Jurnal Bionature UNM Makassar, 12(2).
https://doi.org/10.35580/bionature.v12i2.1402

Fifendy, M. 2017. Mikrobiologi. Edisi Pertama. Depok: Kencana.

Fitriani, L., Krisnawati, Y., Anorda, M., O., R., dan Lanjarini, K. 2018. Jenis-jenis dan
potensi jamur makroskopis yang terdapat di pt perkebunan hasil musi lestari dan PT
Djuanda Sawit Kabupaten Musi Rawas. Jurnal Biosilampari: Jurnal Bilogi. 1(1): 3.

29
Flores-Félix, J. D., Menéndez, E., Rivas, R., Encarnación Velázquez, M. 2018. Future
perspective in organic farming fertilization. In Organic Farming: Global Perspectives
and Methods, 269-315
Folli-Pereira, M. da S., Garlet, J., Bertolazi, A. A. 2020. Agriculturally Important Fungi for
Sustainable Agriculture. Gewerbestrasee: Spinger Nature Switzerland
Gadd, G. M., Watkinson, S. C., & Dyer, P. S. 2007. Fungi in the environment. England:
Cambridge University Press.

Gryganskyi, A. P., Golan, J., Dolatabadi, S., Mondo, S., Robb, S., Idnurm, A., Muszewska,
A., Steczkiewicz, K., Masonjones, S., Liao, H. L., Gajdeczka, M. T., Anike, F., Vuek,
A., Anishchenko, I. M., Voigt, K., de Hoog, G. S., Smith, M. E., Heitman, J., Vilgalys,
R., & Stajich, J. E. (2018a). Phylogenetic and phylogenomic definition of Rhizopus
species. G3: Genes, Genomes, Genetics, 8(6), 2007–2018.
https://doi.org/10.1534/g3.118.200235

Gummert, M., Hung, N. V., Chivenge, P., & Douthwaite, B. (Eds.). (2020). Sustainable Rice
Straw Management. Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-
030-32373-8

Gurulingappa, P., Sword, G. A., Murdoch, G., McGee, P. A. 2010. Colonization of crop
plants by fungal entomopathogens and their effects on two insect pests when in planta.
Biological Control, 55(1), 34-41.

Hasanuddin. (2014). Jenis Jamur Kayu Makroskopis Sebagai Media Pembelajaran Biologi
(Studi di TNGL Blangjerango Kabupaten Gayo Lues). Jurnal Biotik. 2(1): 1-76.
Heitman, Howlett, Crous, Stukenbrock, James, & Gow (Eds.). (2017). Fungal Sex: The
Ascomycota. In The Fungal Kingdom (pp. 117–145). American Society of
Microbiology. https://doi.org/10.1128/microbiolspec.FUNK-0005-2016

Heitman, J. (2011). Microbial pathogens in the fungal kingdom. Fungal Biology Reviews,
25(1), 48–60. https://doi.org/10.1016/j.fbr.2011.01.003

Herliyana, E. N., Taniwiryono, D., & Minarsih, H. 2012. Root Diseases Ganoderma sp. On
the Sengon in West Java and East Java. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 18(2), 100–
109. https://doi.org/10.7226/jtfm.18.2.100

30
Hidayati, Hidayat, R.M., & Asmawati. (2015). Pemanfaatan Serat Tandan Kosong Kelapa
Sawit Sebagai Media Pertumbuhan Jamur Tiram Putih. Jurnal Biopropal Industri. 6(2),
73-80.
Hidayu, D. M., & Ariusmedi, M. S. 2019. Jamur Beracun Dalam Karya Grafis. Serupa The
Journal of Art Education, 8(1).
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/serupa/article/viewFile/105278/102062

Kamko J. D., Tchiechoua Y. H., Ngonkeu E. L. M., Nzweundji J. G., Tchatat M., Eloumou


D., Mam C. E., Chamedjeu R. R., Tekeu H., Lessa F. T., Foko B., Damdjo A., Ngo
Ngom A., Boyomo B. 2020. Effect of Arbuscular Mycorrhizal Fungi as Biofertizer for
Vegetative Propagation of Prunus africana (Hook.f) Kalkman. International Journal of
Plant Research, 10(3), 53-60.

Khayati, L., Warsito H. 2018. Keanekaragaman jamur makro di Arboretum Inamberi. Jurnal
Mikologi Indonesia. 2(1): 2.
Kretschmer, M., Croll, D., & Kronstad, J. W. 2017. Maize susceptibility to Ustilago maydis
is influenced by genetic and chemical perturbation of carbohydrate allocation.
Molecular Plant Pathology, 18(9), 1222-1237.

Kristiandi K., Lusiana, S., A., A’yunin, N., A., Q., Ramdhini, R., N., Marzuki, I., Rezeki, S.,
Erdiandini, I., Yunianto, A., E., Lestari, S., D., Ifadah, R., A., Kushargina, R., Yuniarti,
T., Pasanda, O., S. 2021. Teknologi Fermentasi Bogor: Yayasan Kita Menulis.
Lemonnier, P., Gaillard, C., Veillet, F., Verbeke, J., Lemoine, R., Coutos-Thévenot, P., La
Camera, S. 2014. Expression of Arabidopsis sugar transport protein STP13
differentially affects glucose transport activity and basal resistance to Botrytis cinerea.
Plant Molecular Biology, 85(4), 473-484.

Mącik, M., Gryta, A., Frąc, M. 2020. Biofertilizers in agriculture: An overview on concepts,
strategies and effects on soil microorganisms. In Advances in Agronomy, 162, 31-87

Madigan, M.T., Mantino, J.M., Stahl, D.A., Clark, D.P. 2012. Brock Biology of
Microorganism. Pearson Education.

McConnaughey, M. (2014). Physical Chemical Properties of Fungi. In Reference Module in


Biomedical Sciences (Issue July, pp. 1–3). Elsevier Inc. https://doi.org/10.1016/b978-0-
12-801238-3.05231-4

McNear Jr., D. H. 2013. The Rhizosphere - Roots, Soil and Everything In Between. Nature

31
Education Knowledge, 4(3).

Mendoza, L., Vilela, R., Voelz, K., Ibrahim, A. S., Voigt, K., & Lee, S. C. (2015). Human
Fungal Pathogens of Mucorales and Entomophthorales. Cold Spring Harbor
Perspectives in Medicine, 5(4), a019562–a019562.
https://doi.org/10.1101/cshperspect.a019562

Muleta, D., Woyessa, D. 2014. Importance of arbuscular mycorrhizal fungi in legume


production under heavy metal-contaminated soils. Toxicity of Heavy Metals to Legumes
and Bioremediation, 5(3), 219-241.

Muszewska, A., Pawłowska, J., & Krzyściak, P. (2014). Biology, systematics, and clinical
manifestations of Zygomycota infections. European Journal of Clinical Microbiology
and Infectious Diseases, 33(8), 1273–1287. https://doi.org/10.1007/s10096-014-2076-0

Myasari, I., Linda, R., & Khotimah, S. (2015). Jenis-jenis jamur basidiomycetes di hutan
bukit Beluan kecamatan Hulu Gurung kabupaten Kapuas Hulu. Protobiont, 4(1), 22–
28.

Naranjo‐Ortiz, M. A., & Gabaldón, T. (2019). Fungal evolution: Diversity, taxonomy and
phylogeny of the Fungi. Biological Reviews, 94(6), 2101–2137.
https://doi.org/10.1111/brv.12550

Natawijaya, D., Saepudin, A., & Pangesti, D. (2015). Uji Kecepatan Pertumbuhan Jamur
Rhizopus Stolonifer dan Aspergilus Niger yang Diinokulasikan pada Beberapa Jenis
Buah Lokal. Jurnal Siliwangi, 1(1), 32–40.

Newbound, M., Mccarthy, M. A., & Lebel, T. 2010. Fungi and the urban environment: A
review. Landscape and Urban Planning, 96(3), 138-145

Nieuwenhuis, B. P. S., & James, T. Y. (2016). The frequency of sex in fungi. Philosophical
Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, 371(1706), 20150540.
https://doi.org/10.1098/rstb.2015.0540

Noverita, N., Armanda, D. P., Matondang, I., Setia, T. M., & Wati, R. (2019).
Keanekaragaman Dan Potensi Jamur Makro Di Kawasan Suaka Margasatwa Bukit
Rimbang Bukit Baling (Smbrbb) Propinsi Riau, Sumatera. Pro-Life, 6(1), 26.
https://doi.org/10.33541/pro-life.v6i1.935

Nugraha, T.U. 2013. Kiat Sukse Budidaya Jamur Tiram. Bandung: Yrama Widya

32
Perez-Nadales, E., Almeida Nogueira, M. F., Baldin, C., Castanheira, S., El Ghalid, M.,
Grund, E., Lengeler, K., Marchegiani, E., Mehrotra, P. V., Moretti, M., Naik, V., Oses-
Ruiz, M., Oskarsson, T., Schäfer, K., Wasserstrom, L., Brakhage, A. A., Gow, N. A. R.,
Kahmann, R., Lebrun, M. H., … Wendland, J. 2014. Fungal model systems and the
elucidation of pathogenicity determinants. Fungal Genetics and Biology, 70, 42-67.

Reddy, C. A., & Saravanan, R. S. 2013. Polymicrobial Multi-functional Approach for


Enhancement of Crop Productivity. Advances in Applied Microbiology, 82, 53-113.

Redkar, A., & Doehlemann, G. 2016. Ustilago maydis Virulence Assays in Maize. BIO-
PROTOCOL, 6(6).

Reid, D. A., & Webster, J. (2012). Introduction to Fungi. Plant Health Instructor, 28(1), 1–
30. https://doi.org/10.2307/4117096

Riquelme, M., Aguirre, J., Bartnicki-García, S., Braus, G. H., Feldbrügge, M., Fleig, U.,
Hansberg, W., Herrera-Estrella, A., Kämper, J., Kück, U., Mouriño-Pérez, R. R.,
Takeshita, N., & Fischer, R. (2018). Fungal Morphogenesis, from the Polarized Growth
of Hyphae to Complex Reproduction and Infection Structures. Microbiology and
Molecular Biology Reviews, 82(2), 1–47. https://doi.org/10.1128/mmbr.00068-17

Rahmawati, S. 2015. Jamur sebagai obat. Jurnal Agroindustri Halal. 1(1): 2.


Sari, Ni Ketut. 2010. Pemanfaatan Biosolit. Klaten: Humainora.
Sarbhoy, A. K. (2014). Fungi: Classification of the Hemiascomycetes. In Encyclopedia of
Food Microbiology: Second Edition (Second Edi, Vol. 2, pp. 41–43). Elsevier.
https://doi.org/10.1016/B978-0-12-384730-0.00138-5

Souza, C. A. F. de, Lima, D. X., Gurgel, L. M. S., & Santiago, A. L. C. M. de A. (2017).


Coprophilous Mucorales (ex Zygomycota) from three areas in the semi-arid of
Pernambuco, Brazil. Brazilian Journal of Microbiology, 48(1), 79–86.
https://doi.org/10.1016/j.bjm.2016.09.008

Spatafora, J. W., Chang, Y., Benny, G. L., Lazarus, K., Smith, M. E., Berbee, M. L., Bonito,
G., Corradi, N., Grigoriev, I., Gryganskyi, A., James, T. Y., O’Donnell, K., Roberson,
R. W., Taylor, T. N., Uehling, J., Vilgalys, R., White, M. M., & Stajich, J. E. (2016). A
phylum-level phylogenetic classification of zygomycete fungi based on genome-scale
data. Mycologia, 108(5), 1028–1046. https://doi.org/10.3852/16-042

33
Sutanto, Inge. 2013. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Unus, Suriawiria. 2011. Mikrobologi Dasar. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.

34

Anda mungkin juga menyukai