Anda di halaman 1dari 72

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS

(SPEKTRUM AUTISME DAN ADHD), TELAAH EVIDENCE BASED PRACTICE

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 1 : TINGKAT 2A

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STELLA MARIS
MAKASSAR
T.A 2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya serta petunjuk sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah keperawatan anak
ini dengan judul “Asuhan keperawatan pada anak dnegan kebutuhan khusus “ spektrum
autisme dan ADHD” serta telaah evidance based practice)” dengan materi-materinya dari
berbagai sumber. Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah “Keperawatan Anak
Lanjut II”.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan
penulis, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan bimbingan, kritikan serta saran
demi sempurnanya makalah ini. Akhir kata, penulis mengharapkan makalah ini bermanfaat
bagi kita semua.

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................... iii

BAB I PENDAULUHAN

A. Latar Belakang ...................................................................................................................1

B. Tujuan ................................................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Autisme .................................................................................................................3

1. Defenisi .......................................................................................................................3

2. Prevalensi .....................................................................................................................4

3. Penyebab ......................................................................................................................4

4. Klasifikasi Autis ...........................................................................................................8

5. Gejala ..........................................................................................................................12

6. Patofisiologi .................................................................................................................13

7. Mengenal anak autis ....................................................................................................15

8. Kriteria diagnostik autisme ..........................................................................................17

9. Kriteria diagnostik autisme ..........................................................................................19

10. Deteksi autis .................................................................................................................20

11. Pemeriksaan diagnostik ................................................................................................20

12. Masalah kesehatan yang sering dialami anak autis ......................................................21

13. Penatalaksanaan anak autis ...........................................................................................21

B. Konsep Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) .................................................23

1. Pengertian ............ .....................................................................................................23

2. Penyebab ADHD .......................................................................................................


27

3. Karakteristik ADHD......................................................................................... 29

4. Identifikasi ADHD .......................................................................................... 30

5. Kebutuhan khusus ADHD............................................................................... 36

3
6. Hambatan belajar ADHD ............................................................................... 37

C. Asuhan Keperawatan Teoritis pada anak Autis ............................................................ 41

1. Pengkajian ...........................................................................................................

2. Diagnosa Keperawatan........................................................................................... 42

3. Rencana Asuhan Keperawatan ...............................................................................

4. Implementasi ........................................................................................................... 47

5. Evaluasi .....................................................................................................................47

BAB III Asuhan Keperawatan Pada Anak Autis

A. Pengkajian .................................................................................... 49

B. Diagnosa Keperawatan ................................................................. 53

C. Intervensi Keperawatan................................................................. 53

D. Telaah Evidance Based Practice ................................................... 56

BAB IV PENUTUP

1. Kesimpulan ......................................................................................... 59

DAFTAR PUSTAKA

4
5
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak yang tumbuh sehat adalah harapan terbesar orang tua. Kehadiran anak merupakan
kebahagian terbesar bagi orang tuanya. Namun kebahagian tersebut dapat menjadi kesedihan
apabila anaknya mengalami gangguan atau anaknya berbeda dengan anak-anak lainnya. Tak
seorang pun orangtua yang menginginkan anaknya mengalami gangguan dalam pertumbuhan
atau perkembangannya. Kelahiran anak yang mengalami gangguan atau disabilitas dapat
menimbulkan masalah yang berat bagi keluarga. Salah satu gangguan atau disabilitas
perkembangan yang berat pada anak adalah autis (Benson, Dyches, Wilder, Sudweeks,
Obiakor & Algozzine, 2004 dalam Bilgin & Kucuk, 2010). Anak dengan autis
dikelompokkan ke dalam anak yang memiliki kebutuhan khusus, yaitu anak yang mengalami
atau beresiko tinggi mengalami kondisi fisik, perkembangan, perilaku atau emosional kronis.
Selain itu juga memerlukan layanan kesehatan dan layanan yang terkait, dalam jenis atau
jumlah yang lebih dari yang dibutuhkan anak lain pada umumnya (Newacheck, et al, 1998
dalam Wong, 2008).

Kata autis berasal dari bahasa Yunani “auto” berarti sendiri yang ditujukan pada
seseorang yang menunjukkan gejala “hidup dalam dunianya sendiri”. Autis adalah gangguan
perkembangan pervasif pada anak ang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan
dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial (Judarwanto, 2006).

Gejala autis sangat bervariasi. Sebagian autis berperilaku hiperaktif dan agresif atau
menyakiti diri, tapi ada pula yang pasif. Mereka cenderung sangat sulit mengendalikan
emosinya dan sering tempertantrum (menangis dan mengamuk). Kadang-kadang anak autis
menangis, tertawa atau marah-marah tanpa sebab yang jelas (Yayasan Autis Indonesia,
2009). Autis dapat mempengaruhi semua aspek kehidupan anak, seperti aktifitas sehari-hari
di rumah maupun sekolah. Autis tidak hanya memberikan pengauh anak tetapi juga orangtua
dna tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan bagi mereka (Judarwanto, 2006). Seluruh
anggota keluarga penderita autis juga harus beradaptasi dengan keadaan anak autis tersebut.
Penderita autis umumnya tidak dapat disembuhkan kaena memerlukan penanganan secara
terus menerus (Myers, 2007).

6
Jumlah anak yang terkena autis semakin meningkat pesat diberbagai belahan dunia.
Angka kejadian autis diseluruh dunia diperkirakan antara 6,5-6,6 per 1000 anak (Myers,
2007). Sejak tahun 1980, terjadi peningkatan sampai 40% di Kanada dan Jepang. Autis juga
terjadi pada 6.000-15.000 anak dibawah usia 15 tahun di Amerika Serikat. Menurut Autism
Research Institute di San Diego, jumlah penderita autis pada tahun 1987 diperkirakan 1:5000
anak. Pada awal tahun 2002, kejadian autis meningkat sangat pesat di Inggris, dicurigai
terjadi pada 1:100 anak. Jumlah inimeningkat dengan sangat pesat dan pada tahun 2005 yaitu
menjadi 1:160 anak (Yayasan Autis Indonesia, 2009). Menurut The Centre for Disease
Control (CDC) and Prevention Autism and Developmental Disabilities Monitoring
(ADDM)jumlah penderita autis di Amerika Serikat pada akhir tahun 2009 ditemukan 1:110
pada anak usia 8 tahun didiagnosa Autism (Lottatore-French, 2010). Saat ini Indonesia belum
diketahui jumlah pasti penyandang autis, namun diperkirakan lebih dari 400.000 anak
(Kelana & Larasati, 2007). Perbandingan anak penderita autis antara laki-laki dan perempuan
adalah 2,6-4 : 1 (Judarwanto, 2006).

Anak yang mengalami autis memerlukan bantuan dalam berperilaku, memenuhi aktivitas
sehari-hari dan membutuhkna arahan dan pengawasan dalam berhubungan dengan orang lain.
Hal ini menimbulkan ketergantungan yang tinggi pada orangtua khususnya ibu dalam jangka
waktu yang lama. Karena itu ibu yang merawat anak dengan autis memerlukan bantuan
terutama untuk memahami perilaku anak mereka, mencari sumber-sumber pendukung yang
tepat, serta intervensi yang dapat memaksimalkan kemampuan anak. Perawat yang
mengetahui kebutuhan ibu yang merawat anak autis sangat diperlukan dalam memberikan
informasi yang benar tentang keadaan yang dialami anak, penanganan yang tepat bagi anak
autis serta bagaimana agar orangtua mampu dlaam menjalankan peran dan fungsi mereka
dengan baik. Kebutuhan tersebut diperoleh dari pengalaman ibu yang bervariasi.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Dapat memahami konsep asuhan keperawatan pada anak dengan kebutuhan khusus
dengan spektrum autisme dna ADHD serta telaah evidance based practice.
2. Tujuan Khusus
a. Dapat memahami tentang konsep anak dengan kebutuhan khusus dengan
spektrum autisme dan ADHD
b. Dapat memahami dan menelaah evidance based practice pada kasusanak dengan
kebutuhan khusus

7
BAB II

PEMBAHASA

A. Konsep autisme
1. Defenisi
Autis adalah suatu kecacatan perkembangan yang kompleks, seringkali
tampak pada usia tiga tahun pertama (Autism Society of America, 2003 dalam Galinat,
et, al, 2005). Sedangkan menurut APA (2000 dalam Phetrasuwan, 2009) Autism
spectrum disorders (ADS) merupakan sekelompok penyakit yang sangat erat
kaitannya dengan gangguan neurobiologi. Muncul sebelum usia 3 tahun dengan
karakteristik adanya hambatan dalam interaksi sosial, keterlambatan yang berat dalam
komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip
pada minat dan aktivitas.
Menurut Kanner (Dalam Wenar, 2004), autisme adalah salah satu gangguan
perkembangan perfasif yang dicirikan oleh tiga ciri utama, yaitu pengasingan yang
ekstrim (extreme isolation) dan ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain.
Kedua, kebutuhan patologis akan kesamaan. Kebutuhan ini berlaku untuk perilaku
anak dan lingkungannya. Dan ketiga yaitu mutism atau cara berbicara yang tidak
komunikatif termasuk ecolalia dan kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi.
Anak autis juga memiliki ketidakmampuan dalam menerjemahkan kalimat secara
harafiah dna pembalikan kata gantinya sendiri, biasanya anak memanggil dirinya
sendiri dengan kata “kamu”.
Menurut DSM IV-TR (APA, 2000), autisme adalah keabnormalan yang jelas
dna gangguan perkembangan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan keterbatasan
yang jelas dalam aktifitas dan ketertarikan. Manifestasi dari gangguan ini berganti-
ganti tergantung pada tingkat perkembangan dan usia kronologis dari individu.
Sedangkan menurut Safaria (2005) autisme adalah ketidakmampuan untuk beinteraksi
dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang
tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktifitas bermain yang
repetitif dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk
mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya.

8
Jadi autis adalah gangguan perkembangan syaraf yang ditandai dengan adanya
hambatan dalam interaksi sosial, bicara dan bahasa serta perilaku yang khas, tampak
sebelum anak berusia 3 tahun, yang memerlukan penanganan seumur hidup anak dan
menimbulkan dampak pada anggota keluarga lain.
2. Prevalensi
Penderita autisme saat awal diperkenalkan oleh Leo Kanner pada tahun 1943
sejumlah 4-5 per 10.000 anak, selanjutnya dari survei yang dilakukan antara tahun
1966 sampai tahun 1998 di 12 negara yaitu Amerika Serikat, Inggris, Denmark,
Jepang, Swedia, Irlandia, Jerman, Kanada, Perancis, Norwegia, Islandia, termasuk
Indonesia, ditemukan jumlah kasus baru atau prevalensi penderita autisme berkisar
antara 0,7-21,1 / 10.000, dengan rata-rata 5,2/10.000 atau 1/1923. Untuk insiden
semua bentuk Pervasive Developmental Disorder, prevalensinya adalah 18,7/10.000
atau 1/535 (Fombonne dalam Ratajczak, 2011).
Situs The Autism and Developmental Disabilities Monitoring (ADDM)
Network melakukan analisis data dengan membandingkan prevalensi autisme pada
tahun 2002 dengan tahun 2006 hasilnya prevalensi autisme 1/150 pada tahun 2002
dan 1/110 pada tahun 2006 dengan kenaikan rata-rata keseluruhan dari tahun 2002
sampai tahun 2006 adalah 57%. Prevalensi terbaru untuk America Serikat adalah rata-
rata 1/110 (Center for Disease Control and Prevention, 2010). Prevalensi autisme di
Inggris lebih tinggi daripada di Amerika Serikat. Pada tahun 2006, prevalensi autisme
dalam kohort anak-anak di South Thames adalah 1/86 (Braird, et al., 2006). Tiga
tahun kemudian, sebuah studi berbasis sekolah di Cambridgeshire melaporkan
prevalensi 1/64 (Baron-Cohen et al., 2009).
3. Penyebab
Hingga saat ini penyebabnya belum diketahui secara pasti. Saat ini para ahli
terus mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga
mereka pun dapat menemukan “obat” yang tepat untuk mengatasi fenomena ini.
Suryana (2004) mengatakan autis dapat disebabkan oleh faktor genetik, yang meliputi
gangguan pada kromosom 7 dan kromosom 15; faktor prenatal, intranatal, dan
postnatal; gangguan interpretasi sensory dan faktor makanan.
Judarwanto (2006) menjelaskan bahwa penyebab autis belum diketahui secara
pasti. Diduga autis disebabkan oleh multifaktorial, seperti gangguan biokimia,
gangguan psikiatri/jiwa, kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang

9
terkontaminasi zat-zat beracun yang menyebabkan kerusakan pada usus besar
sehingga timbul masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis.
Menurut Acocella (1996), ada 3 perspektif yang dapat digunakan untuk
menjelaskan penyebab autisme, yaitu :
a. Faktor neurobiologis
Gangguan neurobiologis pada susunan saraf pusat (otak). Biasanya, gangguan ini
terjadi dalam 3 bulan pertama masa kehamilan, bila pertumbuhan sel-sel otak di
beberapa tempat tidak sempurna (Maulana, 2007: 19).
b. Masalah selama kehamilan dan kelahiran
Masalah pada masa kehamilan dan proses melahirkan, resiko autisme
berhubungan dengan masalah-masalah yang terjadi pada masa 8 minggu pertama
kehamilan. Ibu yang mengkonsumsi alkohol, terkena virus rubella, menderita
infeksi kronis atau mengkonsumsi obat-obatan terlarang disuga mempertinggi
resiko autisme. Proses melahirkan yang sulit sehingga bayi kekurangan oksigen
juga diduga berperan penting. Bayi yang lahir prematur atau punya berat nadan
dibawah normal lebih besar kemungkinannnya untuk mengalami gangguan pada
otak dibandingkan bayi normal (ginanjar, 2008).
Menurut Hadis (2006: 45) lomplikasi prenatal, perinatal dan neonatal yang
meningkat juga ditemukan pada anak autistik. Komplikasi yang sering terjadi
ialah adanya perdarahan setelah trimester pertama dan adanya kotoran janin pada
cairan amnion yang merupakan tanda bahaya pada janin. Penggunaan obat-
obatan tertentu pada ibu yang sedang mengandung juga diduga dapat
menyebabkan timbulnya gangguan autisme. Komplikasi gejala saat bersalin
berupa bayi terlambat menangis, bayi mengalami gangguan pernapasa, bayi
mengalmai kekurangan darah juga diduga dapat menimbulkan gejala autisme.
c. Perspektif Psikodinamika
Bettelheim (1967) mengatakan bahwa dari autisme karena adanya penolakan
orangtua terhadap anaknya. Anak menolak orangtuanya dan mampu merasakan
perasaan negatif mereka. Anak melihat bahwa tindakannya hanya berdampak
kecil pada perilaku orangtua yang tidak responsif. Anak kemuadian meyakini
bahwa ia tidak memiliki dampak apaun disunia, sehingga anak menciptakan
“benteng kekosongan” autisme untuk melindungi dirinya dari penderitaan dan
kekecewaan.

10
d. Perspektif Biologi
1) Pendekatan biologis
Folstein & Butter (1997) mengadakan penelitian di Great Britain, antara 11
pasang monozygotic (MZ)kembar dan 10 pasang dyzygotic (DZ) kembar,
ditemukan satu pasang yang merupakan gen autisme. Pada kelompok MZ, 4
dari 11 diantaranya adalah gen autisme. Sedangkan pada DZ, tidak ada.
Walaupun demikian, pada MZ kembar tidak terdiagnosa sebagai autisme,
hanya akan mengalami gangguan bahasa atau kognisi.
2) Pendekatan kromosom
Kromosom yang menyebabkan autisme yaitu sindrom fragile X dan
kromosom XXY, namun kromosom XXY ini tidak menunjukkan hubungan
yang sekuat sindroma fragile X.
3) Pendekatan biokimia
Anak-anak autis memiliki kadar serotonin dan dopamine yang sangat tinggi.
Obat-obat dapat membantu menurunkan kadar dopamine yaitu seperti
phenotiazines yang dapat menurunkan gejala-gejala autisme.
4) Gangguan bawaan dan komplikasi
Adanya 2 penyebab autisme, yaitu virus herpes dan rubella. Autisme yang
berhubungan dengan komplikasi pada saat melahirkan berhubungan dengan
faktor genetik.
5) Pendekatan neurological
a) Penyebab autisme karena adanya kerusakan otak. Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya beberapa gejala
b) Karakteristik anak autis seperti gangguan perkembangan bahasa,
retardasi mental, tingkah laku motorik yang aneh, memiliki respon yang
rendah atau bahkan sangat tinggi terhadap stimulasi sensori, menentang
stimulus auditory dan visual berhubungan dengan fungsi sistem saraf
pusat.
c) Sistem saraf pusat menunjukkan abnormalitas seperti: gangguan otot,
alat koordinasi, mengeluarkan air liur dan hiperaktif
d) Memiliki electroencephalogram (EEG) yang abnormal. Penelitian ERP
menunjukkan tidak adanya respon memperhatikan objek atau stimulus
bahasa.

11
e) Adanya keabnormalan pada bagian cerebellum dan sistem lymbik otak
yang sangat berpengaruh terhadap kognisi, memori, emosi dan tingkah
laku. Sistem lymbicnya lebih kecil dan bergumpal di beberapa area,
bagian dendrit saraf anak autis lebih pendek dan kurang lengkap.
e. Perspektif Kognitif
1) Ornitz, dkk (1974)mengatakan bahwa gangguan pada anak autis disebabkan
karena adanya masalah dalam mengatur dan menyatakan input terhadap alat
perasa. Contohnya, memberi respon yang rendah atau bahkan sangat tinggi
terhadap suara.
2) M. Rutter (1971) memfokuskan pada sensori persepsi, yaitu dimana anak
autisme tidak memberi respon terhada suara. Anak autis juga mengalami
gangguan bahasa seperti aphasia yaitu kehilangan kemampuan memakai
atau memahami kata-kata yang disebabkan karena kerusakan otak. Tetapi
dalam perspektif ini menyatakan bahwa anak autis tidak memberi respon
disebabkan adanya masalah perseptual
3) Loovas, dkk (1979) mengatakan bahwa anak autis sangat overselektif dalam
memperhatikan sesuatu. Anak autis hanya dapat memproses dan merespon
satu stimulus dalam satu waktu, hal ini disebabkan karena adanya gangguan
perceptual.
4) Anak autis tidak mampu mengolah sesuatu dalam pikiran. Misalnya, tidak
dapat memperkirakan dan memahami tingkah laku yang mendasari suatu
objek.
f. Terinfeksi virus
Lahirnya anak autistik diduga dapat disebabkan oleh virus seperti rubella,
toxoplasmosis, herpes, jamur, nutrisi yang buruk, perdarahan, dan keracunan
makanan pada masa kehamilan yang dapat menghambat pertumbuhan sel otak
yang disebabkan fungsi otak bayi yang dikandung terganggu terutama fungsi
pemahaman, komunikasi dan interaksi. Efek virus dan keracunan tersebut dapat
berlangsung terus setelah anak lahir dan terus merusak penbentukan sel otak,
sehingga anak kelihatan tidak memperoleh kemajuan dan gejala makin parah.
Gangguan metabolisme, pendengaran dan penglihatan juga diperkirakan dapat
menyebabkan lahirnya anak autistik (Maulana, 2007:19).

12
g. Vaksinasi
Vaksinasi MMR (Measles, Mumps dan Rubella) menjadi salah satu faktor yang
diduga kuat menjadi penyebab autisme walaupun sampai sekarang hal ini masih
jadi perdebatan. Banyak orangtua yang melihat anaknya yang tadinya
berkembang normal menujukkan kemunduran setelah memperoleh vaksinasi
MMR. Zat pengawet pada vaksinasi inilah(Thimerosal) yang dianggal
bertanggung jawab menyebabkan autisme. Untuk menghindari resiko maka
beredar informasi bahwa sebaiknya vaksinasi diberikan secara terpisah atau
menggunakan vaksinasi yang tidak mengandung thimerosal. Cara lain adalah
menunggu anak berusia 3 tahun untuk menyakinkan bahwa masa kemunculan
ciri-ciri autisme telah lewat.
4. Klasifikasi Autis
Pengklasifikasian gangguan autis tidak mudah tetapi karena rentang yang sangat lebar
dari yang ringan sampai yang berat, dari anak autis yang memiliki kecerdasan seperti
anak-anak umumnya atau lebih, atau autis yang disertai dengan ketunagrahita, Dodd
(2005) menulisakn derajat hambatan pada anak autis yang dibedakan dalam kelompok
: asperger syndrome, rett syndrome, child disintegratif disorder, pervasive
developmental disorder-not other wise (PDD-NOS).
a. Asperger Syndrome
Asperger syndrome oleh para praktisi sering disebut sebagai anak autis yang
high function. Mereka memiliki kecerdasan di atas rata-rata anak pada umumnya.
Asperger (Dianne Zager, 2005) menggambarkan bahwa asperger syndrome
merupakan hambatan qualitatif dalam hubungan sosial yang timbal balik,
dimanifestasikan dengan hubungan yang tidak luwes, sensitifitas, kesadaran yang
memadai tentang keunikasn sudaut pandang, perasaan dan sikap terhadap orang
lain. Asperger syndrome gagal untuk mengapresiasi makna isyarat non-verbal,
tujuan sosial, kedalaman dan rentang status perasaan dan bahwa komentar dan
perilaku memiliki dampak emosional terhadap orang lain (Klin, schultz, Rubin,
Bronen & Volkmar, 2001; Shamay-Tsoory, Tomer, Yaniv& Aharon Perezt, 2002
dalam Dianne Zager, 2005). Menurut DSM IV, kriteria diagnostik Asperger
Syndrome adalah sebagai berikut :
1) Hambatan kualitatif dalam interaksi sosial seperti diperlihatkan dalam
sekurang-kurangnya dua dari kriteria berikut:

13
 Hambatan yang jelas dalam menggunakan berbagai perilaku non-verbal,
seperti, bertatapan (eye-to-eye gaze), ekspresi wajah, postur tubuh, dan
gestur untuk mengatur interaksi sosial
 Gagal mengembangakan hubungan dengan teman sebaya secara tepat
sesuai tahap perkembangan;
 Kurang memperlihatkan spontanitas dalam berbagi kesenangan, minat,
atau keberhasilan dengan orang lain;
 Secara sosial atau emosional kurang timbal balik.
2) Pola perilaku yang terbatas : stereotype dan berulang-ulang, minat dan aktifitas
seperti dimanifestasikan sekurang-kurangnya satu dari kriteria berikut:
 Meliputi keasyikan yang stereoptip dan pola minta yang terbatas baik
dalam intensitas atau fokus
 Nampak tidak fleksibel dalam kepatuhan terhadap rutinitas khusus yang
tidak fungsional atau ritual;
 Gerak laku yang stereotipe dan berulang-ulang. Seperti: mengepak-
ngepakkan tangan atau jari tangan atau berputar-putar (twisting) atau
gerakan seluruh tubuh secara kompleks;
 Asyik dengan bagian-bagian dari obyek.
3) Gangguan klinis secara signifikan yang menyebabkan hambatan dalam sosial,
pekerjaan dan bidang penting lainnya
4) Secara umum mereka tidak memiliki keterlambatan dalam bahasa (contohnya
pada usia dua tahun menggunakan satu kata, pada usia tiga tahun menggunakan
satu kata, pada usia tiga tahun berkomunikasi menggunakan phrase)
5) Secara klinis tidak memiliki keterlambatan dalam perkembangan kognitif atau
dalam perkembangan keterampilan membantu diri sendiri (self-help), perilaku
adaptif (kecuali dalam interaksi sosial) dan keingintahuan tentang lingkungan
pada masa kanak-kanak (childhood).
6) Tidakada kriteria PDD spesifik yang lain atau schizoprenia.

Dari uraian diatas dapat dicermati bahwa anak asperger syndrometidak


memiliki hambatan berarti dalam bahasa dan perkembangan kognitif mereka juga
tidak mengalami keterlambatan. Dengan intervensi yang tepat dalam berkomunikasi
dan interaksi optimal dan bisa mencapai tingkat akademik yang tinggi

14
b. Rett Syndrome
Rett Syndrome mulai ditemukan oleh seorang dokter dari Austria yang
bernama Andreas Rett. Tahun 1966 Rett melaporkan bahwa ada 22 orang anak
perempuan dengan sindrom yang terdiri dari: gerakan tangan yang stereotip,
demensia, perilaku autistik, ataksia, pertumbuhan terhenti. Rett
Syndrome memiliki karakteristik pola kognitif dan stagnasi secara fungsional
berikut kemunduran pertumbuhan dan perkembangan otak. Rett
Syndrome kebanyakan (sebanyak 80%) dialami oleh anak-anak
perempuan. (Richard Van Acker, Jennifer A. Loncola, Eryn Y. Van Acker dalam
Fred R. Volkmar, Rhea Paul, Amy Klin, Donald Cohen, 2005). Kriteria Rett
Syndrome dalam DSM-IV tercantum sebagai berikut:
1) Semua yang berikut :
 Perkembangan selama perinatal dan natal nampak normal
 Perkembangan psikomotor nampak normal sampai lima bulan setelah lahir
 Perkembangan kepala ketika lahir normal
2) Satu dari seluruh seperti berikut setelah periode perkembangan normal
 Perlambatan pertumbuhan kepala antara 5 sampai 48 bulan
 Keterampilan tangan yang telah diperoleh sebelumnya menghilang antara
usia 5 sampai 30 bulan dan berikutnya berkembang gerakan tangan
stereotip. (meremas-remas tangan ataumencuci tangan)
 Kedekatan sosial awal hilang (meskipun perkembangan interaksi sosial
berkembangan kemudian)
 Gerakan tubuh atau koordinasi berjalan nampak kurang;
 Hambatan yang berat dalam perkembangan bahasa ekspresif dan reseptif
dengan keterbelakangan psikomotor yang berat

Pada tahun pertama perkembangan anak yang termasuk Rett Syndrome seperti
anak-anak pada umumnya, dan mulai menurun dan menghilang pada usia lima
bulan kehidupannya, terutama pada perkembangan motoriknya. Fungsi
kognitifnya juga mulai menurun.

c. Child Disintegratif Disorder


Child Disintegratif Disorders merupakan bentuk regresifPervasive
Depelopment Disorders yang lain dan mulai digambarkan sebagai disintegrative

15
psychosis oleh Heller pada awal tahun 1990 an. Satu persepuluh umumnya sama
seperti autis (Volkmar, Klin, Marras, 1997 dalam Zager, 2005). Perkembangan
anak CDD nampak sempurna seperti anak-anak pada umumnya pada sekurang-
kurangnya dua tahun pertama kehidupannya, keterampilannya menghilang
sekurang-kurangnya dua dari bidang-bidang berikut: bahasa, keterampilan sosial,
bermain, keterampilan gerak, dan toileting.
Kriteria anak CDD dalam DSM-IV, digambarkan seperti berikut:
1) Perkembangan nampak normal sekurang-kurangnya dua tahun pertama
kehidupan setelah lahir, komunikasi verbal dan nonverbal, hubungan sosial,
bermain, dan perilaku adaptif sesuai dengan umurnya.
2) Keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya secara klinis hilang secara
signifikan (sebelum usia 10 tahun) sekurang-kurangnya dua dari bidang-bidang
berikut:
 Bahasa ekspresif dan reseptif
 Keterampilan sosial atau perilaku adaptif
 Bermain
 Keterampilab motorik
3) Abnormalitas fungsi dalam sekurang-kurangnya dua dari bidang-bidang
berikut:
 Hambatan kualitatif dalam interaksi sosial. (hambatan dalam perilaku
nonverbal, gagal untuk mengembangkan hubungan dengan teman sebaya.
Kurang hubungan timbal balik baik secara emosi ataupun secara sosial)
 Hambatan kualitatif dalam komunikasi terlambat atau kurang dalam
bahasa verbal, ketidakmampuan untuk mengawali atau memelihara
pembicaraan, stereotype dan pengulangan dalam berbahasa, permainan
kurang bervariasi.
 Kurang spontanitas dalam bermain dan tidak variataif atau permainan
imitasi sosial tidak tepat dengan tahap perkembangannya.
 Pengulangan yang terbatas dan pola stereotipe dalam perilaku, minat, dan
kegiatan, termasuk stereotipe gerak
d. Pervasife Developmental Disorders-not other wise (PDD-Nos)
PDD-Nos tidak mudah untuk diidentifikasi, dilihat dari usia terjadinya PDD-
Nos tidak ada ketentuan, hambatan dalam keterampilan sosial bisa ada bisa tidak

16
ada, keterampilan komunikasi cukup sampai baik, rentang IQ tunagrahita berat
sampai normal.

5. Gejala
Menurut Phetrasuwan (2009) ada 3 masalah utama dalam perkembangan yang
dialami oleh anak dengan Autistic Disorder, yaitu :
a. Gangguan interaksi sosial (seperti gangguan perilaku nonverbal, kurangnya
hubungan dengan teman sebaya, kesulitan dalam berbagi kesenangan dan minat
dengan orang lain) dan kurangnya hubungan timbal balik dalam hal emosional dan
sosial.
b. Keterlambatan yang cukup parah dan kurangnya keterampilan komunikasi bahasa,
gangguan kemampuan untuk memulai dan mempertahankan komunikasi dengan
oranglain, menggunakan bahasa yang berulang-ulang,dan ketidaksesuaian dalam
bermain imitasi sosial.
c. Pola perilaku, minat dan aktivitas yang khas dan berulang

Karakteristik yang sering tampak pada anak dengan autis menurut Elder dan
D’Alessandro (2009) adalah keterlambatan bahasa dan bicara; gangguan yang
berkaitan dengan sosialisasi serta perilaku atau rutinitas yan terbatas dan khas.

Gejala yang berkaitan dengan keterlambatan bahasa dan bicara meliputi anak autis
menggunakan tangan orang lain sebagai alat untuk mendapatkan sesuatu yang tidak
bisa dia dapatkan dengan menunjuk atau memintanya; kesulitan yang sangat parah
dalam memulai berbahasa; perkembangannya tertinggal jauh dibandingkan usianya.
Pola bicara yang aneh; mengulang kata atau kalimat (Echolalia/scripting);
menggunakan kata-kata yang tidak masuk akal dan berbicara dengan suara yang
monoton juga sering menyertai anak autis.

Gejala yang berkaitan dengan gangguan sosialisasi meliputi kontak mata kurang,
memandang orang lain dari samping; mengabaikan atau menghindari kontak sosial
serta ketidakmampuan melakukan empati atau melihat dari perspektif orang lain.
Sementara gejala perilaku atau ritinitas yang khas dan terbatas meliputi anak tampak
kaku, rutinitas sangat terstruktur; anak mengalami distres akibat adanya perubahan
jadwal atau rutinitas; anak tampak asyik dengan hal-hal yang sama; pergerakan tubuh
yang berulang seperti mondar-mandir, bertepuk tangan, menjentikkan jari, bergoyang-

17
goyang, dan memukul dirinya sendiri serta kadang-kadang menangis dan berguling-
guling tanpa sebab (tempertantrum). Seringkali anak tidak sensitif terhadap nyeri dan
suhu; perilaku impulsif dan keterbatasan kesadaran akan rasa aman; kedekatan yang
tidak biasa terhadap benda-benda mati seperti mainan, tali atau benang, atau benda
yang bergoyang-goyang. Anak juga dapat berespon secara abnormal terhadap sensasi
(suara, cahaya, sentuhan); kadang-kadang seperti tidak mendengar, tetapi sebaliknya
kadang-kadang hypersensitif terhadap suara; serta mengalami ketakutan dan reaksi
yang tidak biasa (terhadap anjing, tangisan bayi atau suara batuk).

6. Patofisiologi
Sel saraf otak (neuron) terdiri atas badan sel dan serabut untuk mengalirkan
impuls listrik (akson) serta serabut untuk menerima impuls listrik (dendrit). Sel saraf
terdapat di lapisan luar otak yang berwarna kelabu (korteks). Akson dibungkus
selaput bernama mielin, terletak di bagian otak berwarna putih. Sel saraf berhubungan
satu sama lain lewat sinaps.
Sel saraf terbentuk saat usia kandungan tiga sampai tujuh bulan. Pada
trimester ketiga, pembentukan sel saraf berhenti dan dimulai pembentukan akson,
dendrit, dan sinaps yang berlanjut sampai anak berusia sekitar dua tahun. Setelah anak
lahir, terjadi proses pengaturan pertumbuhan otak berupa bertambah dan
berkurangnya struktur akson, dendrit, dan sinaps. Proses ini dipengaruhi secara
genetik melalui sejumlah zat kimia yang dikenal sebagai brain growth factors dan
proses belajar anak.
Makin banyak sinaps terbentuk, anak makin cerdas. Pembentukan akson,
dendrit, dan sinaps sangat tergantung pada stimulasi dari lingkungan. Bagian otak
yang digunakan dalam belajar menunjukkan pertambahan akson, dendrit, dan sinaps.
Sedangkan bagian otak yang tak digunakan menunjukkan kematian sel, berkurangnya
akson, dendrit, dan sinaps. Kelainan genetis, keracunan logam berat, dan nutrisi yang
tidak adekuat dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada proses – proses tersebut.
Sehingga akan menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel saraf.
Pada pemeriksaan darah bayi-bayi yang baru lahir, diketahui pertumbuhan
abnormal pada penderita autis dipicu oleh berlebihnya neurotropin dan neuropeptida
otak (brain-derived neurotrophic factor, neurotrophin-4, vasoactive intestinal peptide,
calcitonin-related gene peptide) yang merupakan zat kimia otak yang bertanggung
jawab untuk mengatur penambahan sel saraf, migrasi, diferensiasi, pertumbuhan, dan

18
perkembangan jalinan sel saraf. Brain growth factors ini penting bagi pertumbuhan
otak.
Peningkatan neurokimia otak secara abnormal menyebabkan pertumbuhan
abnormal pada daerah tertentu. Pada gangguan autistik terjadi kondisi growth without
guidance, di mana bagian-bagian otak tumbuh dan mati secara tak
beraturan. Pertumbuhan abnormal bagian otak tertentu menekan pertumbuhan sel
saraf lain. Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel Purkinye (sel saraf
tempat keluar hasil pemrosesan indera dan impuls saraf) di otak kecil pada autisme.
Berkurangnya sel Purkinye diduga merangsang pertumbuhan akson, glia (jaringan
penunjang pada sistem saraf pusat), dan mielin sehingga terjadi pertumbuhan otak
secara abnormal atau sebaliknya, pertumbuhan akson secara abnormal mematikan sel
Purkinye. Yang jelas, peningkatan brain derived neurotrophic factor dan
neurotrophin-4 menyebabkan kematian sel Purkinye.
Gangguan pada sel Purkinye dapat terjadi secara primer atau sekunder. Bila
autisme disebabkan faktor genetik, gangguan sel Purkinye merupakan gangguan
primer yang terjadi sejak awal masa kehamilan. Degenerasi sekunder terjadi bila sel
Purkinye sudah berkembang, kemudian terjadi gangguan yang menyebabkan
kerusakan sel Purkinye. Kerusakan terjadi jika dalam masa kehamilan ibu minum
alkohol berlebihan atau obat seperti thalidomide.
Penelitian dengan MRI menunjukkan, otak kecil anak normal mengalami
aktivasi selama melakukan gerakan motorik, belajar sensori-motor, atensi, proses
mengingat, serta kegiatan bahasa. Gangguan pada otak kecil menyebabkan reaksi
atensi lebih lambat, kesulitan memproses persepsi atau membedakan target,
overselektivitas, dan kegagalan mengeksplorasi lingkungan.
Pembesaran otak secara abnormal juga terjadi pada otak besar bagian depan
yang dikenal sebagai lobus frontalis. Kemper dan Bauman menemukan berkurangnya
ukuran sel neuron di hipokampus (bagian depan otak besar yang berperan dalam
fungsi luhur dan proses memori) dan amigdala (bagian samping depan otak besar
yang berperan dalam proses memori).
Penelitian pada monyet dengan merusak hipokampus dan amigdala
mengakibatkan bayi monyet berusia dua bulan menunjukkan perilaku pasif-agresif.
Mereka tidak memulai kontak sosial, tetapi tidak menolaknya. Namun, pada usia
enam bulan perilaku berubah. Mereka menolak pendekatan sosial monyet lain,

19
menarik diri, mulai menunjukkan gerakan stereotipik dan hiperaktivitas mirip
penyandang autisme. Selain itu, mereka memperlihatkan gangguan kognitif.
Faktor lingkungan yang menentukan perkembangan otak antara lain
kecukupan oksigen, protein, energi, serta zat gizi mikro seperti zat besi, seng, yodium,
hormon tiroid, asam lemak esensial, serta asam folat.
Adapun hal yang merusak atau mengganggu perkembangan otak antara lain
alkohol, keracunan timah hitam, aluminium serta metilmerkuri, infeksi yang diderita
ibu pada masa kehamilan, radiasi, serta ko kain.
7. Mengenal anak autis
Suhardianto dalam buku pedoman diagnostik memaparkan beberapa gejala
anak autis antara lain :
a. Usia 0-6 bulan
1) Bayi tampak terlalu tenang (jarang menangis)
2) Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
3) Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila mandi
4) Tidak “babbling ( mengocek)”
5) Tidak ditemukan senyum sosial diatas 10 minggu
6) Tidak ada kontak mata diatas umur 3 bulan
7) Perkembangan motorik kasar/halus sering tampak normal
b. Usia 6-12 bulan
1) Bayi tampak terlalu tenang (jarang menangis)
2) Terlalu sensitive, cepat terganggu/terusik
3) Gerakan tangan dan kaki berlebihan
4) Sulit bila digendong
5) Tidak “babbling (mengoceh)”
6) Menggigit tangan dan badan orang lain secara berlebihan
7) Tidak ditemukan senyum sosial diatas 10 minggu
8) Tidak ada kontak mata diatas umur 3 bulan
9) Perkembangan motorik halus/kasar sering tampak normal
c. Usia 1-2 tahun
1) Kaku bila digendong
2) Tidak mau permainan sederhana (ciluk ba,...)
3) Tidak mau mengeluarkan kata, tidak tertarik pada benda (boneka)
4) Memperhatikan tangannya sendiri

20
5) Terdapat keterlambatan perkembangan motorik kasar dan halus
6) Mungkin tidak dapat menerima makanan cair
d. Usia 2-3 tahun
1) Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan teman orang lain
2) Melihat orang sebagai benda
3) Kontak mata terbatas
4) Tertarik pada benda tertentu
5) Kaku bila digendong
e. Usia 3-5 tahun
1) Tidak melakukan kontak mata dengan baik
2) Tidak tertarik dengan orang laindan lebih suka bermain sendiri
3) Menunjukkan respon yang tidak biasa mengganggu orang lain
4) Menggunakan bahasa yang berbeda dengan anak yang lain (sangat sedikit
berbahasa, berbahasa dengan baik tapi diulang-ulang, mengulangi kata dari
film, vidio, televisi atau yang lain) sulit dimengerti oleh orang lain
5) Punya sedikit atau tidak tertarik dengan permainan imajinasi
6) Tidak tertarik bergabung dalam permainan kelompok
7) Sangat terpaku pada beberapa permainan tertentu
8) Perilaku sangat rutinitas
9) Membuat gerakan tidak biasa seperti berputar atau berayun
10) Sangat sensitif dengan suara
11) Sangat sensitif dengan bau
12) Sangat sensitif dengan sentuhan
f. Usia 6-11 tahun
1) Melakukan kontak mata yang buruk
2) Tidak suka memberi sikap menunjuk, memberi tanda, melambai-lambai
3) Tidak punya teman sebaya
4) Tidak menunjukkan pekerjaannya kepada guru meskipun diminta
5) Lebih suka berbagi dengan anak-anak lain
6) Sulit untuk saling bergantian, dan selalu ingin menjadi yang pertama
7) Tidak tampak peduli terhadap perasaan orang lain
8) Mengatakan hal yang sama berulang-ulang
9) Tidak ingin dan tidak menikmati permainan berpura-pura
10) Tidak mudah berbicara dengannya, tentang apa yang ingin anda bicarakan

21
11) Bicara dengan cara yang tidak biasa (intonasi)
12) Ingin bermain dengan benda yang sama delama periode jangka waktu yang
panjang
13) Mengepakkan tangannya atau membuat gerakan aneh saat kesal atau
bersemangat
g. Usia 12-17 tahun
1) Sulit membuat kontak mata
2) Membuat ekspresi wajah yang datar tidak biasa
3) Sulit memiliki atau mempertahankan teman
4) Menunjukkan pemahaman buruk atas kebutuhan orang lain dalam
pembicaraan
5) Mengalami kesulitan memperkirakan apa yang orang lain pikirkan
6) Menunjukkan sikap yang tidak dapat diterima secara sosial
7) Menunjukkan kebutuhan obsesif atau rutinitas
8) Menunjukkan sikap kompulsif
8. Pantangan makanan anak autis
Anak autis memiliki alergi pada makanan tertentu. Menurut Jasaputra (2003),
alergi ini dapat disebabkan oleh gangguan sistem imun yang terjadi pada anak autis.
Winarno dan Agustinah (2008), autoimun adalah kekebalan baru yang diproduksi dan
dikembangkan oleh tubuh penderita itu sendiri. Tetapi jenis kekebalan yang timbul
akan merugikan tubuhnya sendiri. Kekebalan yang terjadi pada penderita adalah
kekebalan terhadap zat-zat gizi yang bermanfaat dan penting untuk tubuh dan
kemudian menghancurkannya sendiri sehingga tubuhnya akan kekeurangan zat gizi
essensial. Tubuh tidak dapat menyerap dan mencerna zat gizi ini, bahkan zat gizi
dimanfaatkan oleh beberapa jenis jamur yang merugikan di lambung. Alergi pangan
dapat memperburuk kondisi pasien autis (Winarno & Agustinah, 2008).
Winarno dan Agustinah (2008) juga mneyatakan, dua alergen utama pada
penderita autis, yaitu : gluten (protein gandum) dan kasein (protein susu). Gluten
adalah protein yang secara alami terdapat dalam keluarga wheat seperti tepung terigu,
oat, barley. Sedangkan kasein merupakan protein yang terdapat dalam susu dan
olahannya, seperti : keju dan yoghurt. Kedua bahan ini pada anak autis dapat memicu
masalah. Menurut Soenardi dan Soetardjo (2009), sampai sekarang belum ada diet
atau obat tertentu yang dapat memperbaiki jaringan syaraf dan struktur otak yang
mendasari gangguan autis karena gejala yang timbul pada anak dengan gangguan

22
autis sangat bervariasi, oleh kaena itu terapi pada anak autis tergantung pada keadaan
dan gejala yang timbul yang bersifat indivudual serta tidak bisa diseragamkan. Jenis
diet atau pantangan yang paling banyak dilakukan pada anak autis adalah :
a. Diet tanpa gluten dan kasein
Berbagai jenis diet sering direkomendasikan untuk anak dengan ganguan
autis. Pada umumnya, orangtua mulai dnegan diet tanpa gluten dna kasein, hal ini
berarti anak autis menghindari makanan dan minuman yang mengandung gluten
dan kasein. Pada orang sehat, mengkonsumsi gluten dan kasein tidak akan
mengakibatkan masalah yang serius/memicu timbulnya gejala. Penurunan gejala
autis dengan diet khusus biasanya dapat dilihat dalam waktu antara 1-3 minggu.
Apabila setelah beberapa bulan menjalankan diet tersebut tidak ada kemajuan,
berarti diet tersebut tidak cocok untuk anak autis (Soenardi & Soetardjo, 2009).
Dalam siregar (2003), gejala tingkah laku autis membaik ketika anak autis
melakukan diet terhadap susu sapi begitupun sebaliknya. Proses inflamasi
menahun pada usus dapat menyebabkan meningkatnya permeabilitas pada mukosa
usus. Keadaan ini memudahkan masuknya peptide dan zat racun pada makanan
yang dapat mengakibatkan perubahan tingkah laku pada anak autis (Munasir,
2003).
b. Diet zat adiktif
Makanan yang mengandung gula dapat menyebabkan peningkatan kadar gula
dengan cepat dan meningkatnya pelepasan insulin. Hal ini dapat menimbulkan
“reactive hypoglycaemia”, dan menyebabkan turun naiknya kadar gula tanpa
terkendali, kondisi ini sering disertai juga dengan penurunan serotonin, yang dapat
mengacaukan proses berpikir. Kadar gula yang mendadak tinggi menyebabkan
kemampuan tubuh untuk mempertahankan mineral tembaga (Cu) dan kromium
(Cr) rendah, sehingga kemampuan untuk menstabilkan kadar gula pun jadi
melemah. Penurunan kadar gula secara cepat dapat pula memicu pengeluaran
adrenalin yang mengakibatkan munculnya perilaku hiperkinetik, berupa bingung,
cemas, gelisah dan kasar (Hidayat dkk, 2006).
c. Diet gula murni
Diet ini diberikan kepada anak dengan gangguan infeksi jamur/yeast.
Pertumbuhan jamur berhubungan erat dengan gula, jadi makanan yang dihindari
adalah makanan yang mengandung gula, yeast, dan jamur (Soenardi dan Soetardjo,
2009).

23
d. Diet anti yeast/ragi atau jamur
Diet ini diberikan kepada anak dengan gangguan infeksi jamur/yeast.
Pertumbuhan jamur berhubungan erat dnegan gula, jadi makanan yang dihindari
adalah makanan yang mengandung gula, yeast, dan jamur (Soenardi dan
Soetardjo, 2009).

Berbagai jenis diet diatas tidak perlu dipantang seumur hidup dengan
bertambahnya umur anak, makanan yang dipantang dapat diperkenalkan satu persatu
dan sedikit demi sedikit. Bila tidak menimbulkan gejala, maka diet bisa dihentikan.
Perhatikan serta pengalaman orangtua dalam mengatur makanan tertentu sangat
bermanfaat untuk terapi diet tertentu (Soenardi dan Soetardjo, 2009).

9. Kriteria Diagnostik Autisme


Menurut DSM IV-TR (APA, 2000) kriteria diagnostik gangguan autisme
adalah :
a. Harus ada total 6 gejala dari (1), (2), dan (3), dengan minimal 2 dari gejala dari (1)
dan masing-masing 1 gejala dari (2) dan (3) :
1) Gangguankualitatif dalam interaksi sosial sebagai manifestasi paling sedikit
dua dari yang berikut :
 Kerusakan yang dapat ditandai dari penggunanaan beberapa perilaku non
verbal seperti pandangan mata ke mata, ekspresi wajah, sikap tubuh dan
gerak terhadap rutinitas dalam interaksi sosial
 Kegagalan dalam membentuk hubungan pertemanan sesuai tingkat
perkembangannya
 Kurang kespontanan dalam membagi kesenangan, daya pikat atau
pencapaian akan orang lain, seperti kurang memperlihatkan, mengatakan
atau menunjukkan objek yang menarik
 Kurang sosialisasi atau emosi yang labil
2) Gangguan kualitatif dalam komunikasi sebagai manifestasi paling sedikit
satu dari yang berikut :
 Keterlambatan atau berkurangnya perkembangan berbicara (tidak
menyertai usaha mengimbangi cara komunikasi alternatif seperti gerak
isyarat atau gerak meniru-niru)

24
 Individu bicara secara adekuat, kerusakan ditandai dengan kemampuan
dalam menilai atau meneruskan pembicaraan orang lain
 Mempergunakan kata berulang kali dan stereotif atau kata-kata aneh
 Kurang memvariasikan gerakan spontan yang seolah-olah atau pura-pura
bermain sesuai tingkat perkembangan
3) Tingkah laku berulang dan terbatas, tertarik dan aktif sebagai manifestasi
paling sedikit satu dari yang berikut :
 Keasyikan yang meliputi satu atau lebih stereotif atau kelainandalam
intensitas maupun fokus ketertarikanakan sesuatuyang terbatas
 Ketaatan terhadap hal-hal tertentu tampak kaku, rutinitas atau ritual pun
tidak fungsional
 Gerakan stereotif dan berulang misalnya, memukul, memutar arah jari
dan tangannya serta meruwetkan gerakan seluruh tubuhnya
 Keasyikan terhadap bagian-bagian objek yang stereotif
b. Keterlambatan atau kelainan fungsi paling sedikit satu dari yang berikut ini,
dengan serangan sebelum sampai usia 3 tahun :
1) Interaksi sosial
2) Bahasa yang dipergunakan dalam komunikasi sosial
3) Bermain simbol atau berkhayal
c. Gangguan ini tidak disebabkan oleh gangguan Rett atau gangguan disintegrasi
masa kanak
10. Deteksi autis
Autis sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti
dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Pendekatan secara multidisiplin
sangat diperlukan. Untuk mendeteksi autis, diperlukan suatu tim yang meliputi
perawat spesialis anak atau perawat jiwa anak, psikiater, psikolog, dokter spesialis
syaraf, ahli terapi bahasa, bicara dan okupasi (Myers, 2007).
Ada beberapa alat screening yang saat ini telah berkembang dan dapat
digunakan untuk mendiagnosa autis yaitu Childhood Autism Rating Scale (CARS),
The Checklis for Autism in Toddler (CHAT), Modified Cheklist for Autism in Toddlers
(M-CHAT), the Autism Screening Questionaire/Social Communication Questionaire
(SCQ), the Screening Test for Autism in Two-Years Old, Pervasive Developmental
Disorders Screening Test (PPDST), the Developmental Behaviour Cheklist-Early

25
Screen (DBC-ES) serta Early Screening of Autistic Traits (ESAT) (Eaves, 2004, Wong
et al, 2004, Gray et al, 2008).
11. Pemeriksaan Diagnostik
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi
bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes
secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka
beberapa instrumenscreening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk
mendiagnosa autisme:
a. Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-
kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang didasarkan pada
pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi
berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi
terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
b. The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme
pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan,
dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.
c. The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40
skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi
kemampuan komunikasi dan sosial mereka
d. The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tesscreening autisme bagi anak
usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada
3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.
12. Masalah kesehatan yang sering dialami anak autis
Scarpinato (2010) menyatakan bahwa masalah kesehatan yang sering dialami
anak autis adalah kejang, gangguan tidur, gangguan saluran cerna dan gangguan
psikiatri. Kejang seringkali berkaitan dengan epilepsi, dialami oleh sekitar 11-39%
anak autis. Kejang ini terjadi puncaknya pada usia 2 tahun sampai sebelum usia 5
tahun, dan sekali pada masa remaja. Sedangkan gangguan tidur dialami oleh 44-83%
anak autis dengan gejala sulit tidur, bangun lebih cepat, kurangnya rutinitas tidur dna
pola tidur-bangun yang tidak teratur. Sementara gangguan saluran cerna yang sering
terjadi adalah diare, konstipasi, nyeri abdomen kronik, dan sensitifitas terhadap
makanan. Gejala gangguan mood, agresif, fobia, perilaku obsesif konvulsif, depresi
dan ADHD seringkali menandai adanya gangguan psikiatri pada anak autis.
13. Penatalaksanaan pada anak autis

26
Menurut Myers (2007), tujuan penanganan pada anak autis adalah
memaksimalkan tingkat kemandirian fungsional dan kualitas hidup anak dengan
meminimalkan gejala, memfasilitasi perkembangan dan proses belajar anak,
mengembangkan sosialisasi, mengurangi perilaku maladaptif serta mendidik dan
mendukung keluarganya. Peran perawat profesional dalam penanganan anak autis
adalah mengenali gejala autis, melaksanakan rujukan untuk evaluasi diagnostik,
melakukan penyelidikan terhadap penyebab, memberikan konseling genetik,
mendidik pengasuh anak (termasuk orang tua) tentang autis, perawatan dan
penanganannya.
Beberapa program penanganan pada anak autis antara lain adalah :
a. Intervensi pendidikan
Pendidikan disini didefenisikan sebagai kegiatan untuk membantu pencapaian
keterampilan dan pengetahuan anak autis agar mereka dapat mengembangkan
kemandirian dan tanggung jawab pribadi. Program ini tidak hanya melalui
pembelajaran secara akdemis, tetapi juga melalui sosialisasi, keterampilan adaptif,
komunikasi, memperbaiki perilaku yang terganggu, dan memperkenalkan anak
pada lingkungan umum (National Research Council, 2001 dalam Myers, 2007).
b. Applied Behaviour Analysis (ABA)
Metode ini digunakan untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku adaptif
yang diinginkan, mengurangi perilaku maladaptif atau mengurangi kondisi yang
memungkinkan itu terjadi, mengajarkan perilaku, lingkungan atau situasi yang
baru (Myers, 2007). Metode ini juga digunakan untuk membentuk perilaku positif
pada anak autis, dikenal dengan metode Lovaas (Handojo, 2003 dalam Ratnadewi,
2008).
c. Terapi bahasan dan bicara
Tujuan terapi ini adalah agar anak autis dapat melancarkan otot-otot mulutnya
sehingga mereka dapat berbicara lebih baik (Suryana, 2004). Anak autis lebih
mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers). Hal inilah yang
kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui
gambar-gambar, misalnya dengan metode PECS (Picture Exchange
Communication System). Beberapa vidio games bisa juga dipakai untuk
mengembangkan keterampilan komunikasi (Myers, 2007).
d. Terapi okupasi

27
Hampir semua anak autis mempunyai keterlambatan dalam perkembangan mtorik
halus. Terapi okupasi dilakukan untuk melatih otot-otot halus dengan benar.
Terapi ini juga membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan keterampilan
ototnya (Suryana, 2004).
e. Terapi fisik
Autis adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Fisioterapi dan terapi
integrasi sensoris membantu anak autis memperkuat otot-ototnya dan
memperbaiki keseimbangan tubuhnya. Hal ini disebabkan karena banyak
penderita autis mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasar.
Kadang-kadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat.
Keseimbangan tubuhnya kurang bagus (Yayasan Autis Indonesia, 2009).
f. Terapi sosial
Masalah yang paling mendasar pada anak autis adalah dalam bidang komunikasi
dan interaksi. Mereka membutuhkan pertolongan dalam keterampilan
berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama ditempat bermain.
Program ini bertujuan untuk memperkenalkan perilaku sosial pada anak autis,
meminimalkan perilaku yang stereotip, dan membentuk keterampilan perilaku
yang baru (Myers, 2007).
g. Terapi integrasi sensori
Bertujuan untuk meningkatkan kematangan susunan saraf pusat, sehingga anak
mampu meningkatkan kapasitas belajarnya. Dengan aktivitas fisik yang terarah,
diharapkan dapat menimbulkan respon yang adaptif, sehingga efisiensi otak makin
meningkat (Yayasan Autis Indonesia, 2009).
h. Terapi bermain
Bermaind dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan
interaksi sosial. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini
dengan teknik-teknik tertentu. Terapi ini merupakan terapi psikologis pada anak,
dengan menggunakan alat permainan sebagai sarana untuk mencapai tujuan
(Sutadi, dkk, 2003 dalam Ratnadewi, 2008).
i. Terapi biomedik
Tujuan terapi ini adalah untuk memperbaik metabolisme tubuh melalui diet dan
pemberian suplemen (Widyawati, 2003 dalam Ratnadewi, 2008).

B. Konsep ADHD

28
1. Pengertian
ADHD merupkan kependekan dari attention deficit hyperactivity disorder,
(Attention = perhatian, Deficit = berkurang, Hyperactivity = hiperaktif, dan Disorder
= gangguan). Atau dalam bahasa Indonesia, ADHD berarti gangguan pemusatan
perhatian disertai hiperaktif.
Sebelumnya, pernah ada istilah ADD, kependekan dari attention deficit
disorder yang berarti gangguan pemusatan perhatian. Pada saat ditambahkan
'hiperactivity/hiper-aktif’ penulisan istilahnya menjadi beragam. Ada yang ditulis
ADHD, AD-HD, ada pula yang menulis ADD/H. Tetapi, sebenarnya dari tiga jenis
penulisan istilah itu, maksudnya sama.
Istilah ini merupakan istilah yang sering muncul pada dunia medis yang
belakangan ini gencar pula diperbincangkan dalam dunia pendidikan dan psikologi.
lstilah ini memberikan gambaran tentang suatu kondisi medis yang disahkan secara
internasional mencakup disfungsi otak, di mana individu mengalami kesulitan dalam
mengendalikan impuls, menghambat perilaku, dan tidak mendukung rentang
perhatian atau rentang perhatian mudah teralihkan. Jika hal ini terjadi pada seorang
anak dapat menyebabkan berbagai kesulitan belajar, kesulitan berperilaku, kesulitan
sosial, dan kesulitan-kesulitan lain yang kaitmengait.
Jadi, jika didefinisikan, secara umum ADHD menjelaskan kondisi anak-anak
yang memperlihatkan simtom-simtom (ciri atau gejala) kurang konsentrasi,
hiperaktif,dan impulsif yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan sebagian besar
aktivitas hidup mereka.
Kenyataannya, ADHD ini tidak selalu disertai dengan gangguan hiperaktif.
Oleh karena itu, makna istilah ADHD di Indonesia, lazimnya diterjemahkan menjadi
Gangguan Pemusatan Perhatian dengan/tanpa Hiperaktif (GPP/H). Anak yang
mengalami ADHD atau GPP/H kerap kali tumpang tindih dengan kondisi-kondisi
lainnya, seperti disleksia (dyslexia), dispraksia (dyspraxsia), gangguan menentang dan
melawan (oppositional defiant disorderlODD). Selanjutnya pada tulisan ini akan
digunakan istilah ADHD.
ADHD merupakan suatu kelainan perkembangan yang terjadi pada masa anak
dan dapat berlangsung sampai masa remaja. Gangguan perkembangan tersebut
berbentuk suatu spectrum, sehingga tingkat kesulitannya akan berbeda dari satu anak
dengan anak yang lainnya. Dalam kaitannya dengan pengertian ADHD ini, sekilas
dapat dilihat dari perjalanan ditemukannya gangguan ini.

29
Istilah ADHD cenderung belum dikenal secara luas dan mungkin merupakan
istilah baru, tetapi anak yang memperlihatkan perilaku over aktif dan tidak terkendali
telah terjadi sejak lama. Pada 1845, Heinrich Hoffman, seorang neurolog,untuk
pertama kalinya menulis mengenai perilaku yang kemudian dikenal dengan hiperaktif
dalam buku 'cerita anak' karangannya.150 tahun berikutnya, kejadian perilaku serupa
diperlihatkan oleh seorang anak di Chicago, namanya Dusty. Meskipun terpisah
waktu selama 150 tahun, simtom atau ciri yang mereka perlihatkan adalah serupa,
yaitu simtom primer ADHD. Ada tiga jenis simtom, yaitu anak tidak konsentrasi
dengan ciri tidak fokus terhadap ajakan; hiperaktif dengan ciri tidak pernah mau diam
alias terus bergerak; dan impulsif dengan ciri bertindak tanpa berpikir.
Dalam literatur lain dijelaskan, ADHD pertama kali ditemukan pada 1902 oleh
seorang dokter Inggris, Profesor George F. Still, di dalam penelitiannya terhadap
sekelompok anak yang menunjukkan suatu "ketidakmampuan abnormal untuk
memusatkan perhatian, gelisah, dan resah'." la menemukan, bahwa anak-anak tersebut
memiliki kekurangan yang serius 'dalam hal kemauan' yang berasal dari bawaan
biologis. Anggapannya, bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh sesuatu 'di dalam'
diri anak dan bukan karena faktor-faktor lingkungan.
Pendapat lain menyatakan, bahwa ADHD disebabkan oleh epidemi
encephalitis (peradangan otak) yang menyebar ke seluruh dunia yang terjadi sejak
1917-1926. Bagi banyak anak yang bertahan hidup, hal itu dapat menimbulkan
berbagai masalah perilaku, termasuk mudah marah, perhatian yang lemah,dan
hiperaktif. Anak-anak yang mengalami trauma kelahiran, luka di bagian otak, atau
mengalami keracunan memperlihatkan masalah tingkah lakua yang diberi nama 'brain
injured child syndrome' yang terkadang dikaitkan dengan terbelakang mental.
Tahun 40 dan 50-an, label ini diterapkan untuk anak-anak yang
memperlihatkan perilaku serupa, tetapi pada diri mereka tidak ditemukan kerusakan
otak,dan memunculkan istilah 'minimal brain damage' disingkat MBD atau 'kerusakan
otak minimal' dan'minimal brain dysfunction' atau 'disfungsi minimal otak' disingkat
DMO (Strauss dan Lehtinen, 1986). Istilah-istilah ini membuka jalan bagi orang-
orang untuk menandai masalah tingkah laku yang disebabkan oleh kerusakan fisik
(Schachar, 1986).Meskipun luka otak tertentu dapat menjelaskan beberapa kasus
ADHD, teori kerusakan otak ternyata tidak banyak diterima karena hanya dapat
menjelaskan sedikit kasus (Rie, 1980).

30
Anggapan ini mendapat dukungan lebih jauh dari penemuan yang dilakukan
oleh Bradley pada 1937,bahwa psycho stimulan amphetamine dapat mengurangi
tingkat hiperaktivitas dan masalah perilaku. Akibatnya, istilah 'kerusakan otak
minimal' atau 'disfungsi otak minimal’ (minimal brain dysfunction) hanya digunakan
sampai akhir tahun 50-an. Dalam hal ini, tekanan bergeser dari etiologi menuju
ungkapan perilaku, dan hiperaktivitas menjadi ciri yang menentukan. Proses
menganalisis gejala-gejalanya sebagai cara menjelaskan sindrom tersebut diperkuat
oleh sejumlah peneliti yang berpengaruh. Mereka menganggap bahwa 'perhatian'
menjadi ciri kunci kondisi ADHD tersebut, bukan hiperaktivitas. Akibatnya,
'perhatian' menjadi kata kuncinya.
Di akhir tahun 50-an itulah, ADHD disebut hiperkinesis yang biasanya
ditujukan terhadap lemahnya penyaringan stimuli (rangsang) yang masuk ke dalam
otak (Laufer,Denhoff,dan Solomons,1957). Pandangan ini membawa pada definisi
sindrom anak hiperaktif, dimana gerak yang berlebih digambarkan sebagai ciri utama
ADHD (Chess, 1960). Namun, tidak lama berselang, bahwa hiperaktif bukanlah
satusatunya masalah, yaitu kegagalan anak mengatur aktivitas gerak yang selaras
dengan situasi.
Tahun 70-an, ada pendapat bahwa selain hiperaktif, rendahnya perhatian dan
kontrol gerak juga merupakan simtom utama ADHD (Douglas, 1972).Teori ini
banyak diterima dan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap Diagnostic and
Statistical Manual (DSM) dalam menggunakan definisi ADHD. Belakangan, simtom-
simtom pengaturan diri yang lemah dan mengalami kesulitan karena perilaku yang
terhambat menjadi fokus kajian sebagai penyebab utama yang memperparah
kerusakan otak (Barkley, 1997a; Douglas,1999; dan Nigg, 2001).
Meskipun ada kesepakatan yang semakin kuat mengenai sifat ADHD, namun
beberapa pandangan terus berusaha mendapatkan penemuan-penemuan dan
melakukan penelitian terbaru (Barkley, dkk., 2002 dan Nigg, 2003). Dalam
perkembangannya, setelah dilakukan usaha untuk merumuskan kembali ADHD yang
berulang-ulang sampai menghasilkan klasifikasi ragam gangguan, sekarang dapat
dibaca pada edisi keempat (edisi terakhir) dari American PsychiatricAssociation
(DSM IV) yang terbit pada 1994 dan revisi terakhir pada tahun 2005.
Uraian tentang kajian ADHD tersebut di atas, menunjukkan bahwa nampak
sejak awal ditemukan sampai pada rumusan akhir, menurut penulis tidak terdapat

31
perbedaan yang mencolok terutama di dalam menghubungan istilah ADHD dengan
ciri-ciri yang muncul berupa adanya gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif.
Namun kenyataannya saat ini banyak para ahli dari berbagai disiplin ilmu
yang mempunyi perhatian terhadap ADHD, terutama medis, psikologi, maupun
pendidikan yang mengalami kesulitan untuk menentukan bahwa seseorang dikatakan
sebagai penyandang ADHD. Sebagai contoh tidak mudah untuk membedakan
penyandang ADHD ringan dengan anak normal yang sedikit lebih aktif dibanding
anak yang lainnya.
Beberapa tampilan dari gangguan lain dapat mengaburkan ciri ADHD dan
beberapa simtom ADHD dapat terjadi pada diagnosa gangguan lainnya (misalnya
gangguan spectrum autistik dan obsessive compulsive). ADHD biasanya mulai timbul
pada usia 3 tahun, namun pada umumnya baru terdeteksi setelah anak duduk di
sekolah dasar, dimana situasi belajar yang formal menuntut pola perilaku yang
terkendali termasuk pemusatan perhatian dan konsentrasi yang baik. Ciri utama
adanya kecenderungan untuk berpindah dari satu kegiatan kepada kegiatan lain tanpa
dapat menyelesaikan tugas yang diberikan, tidak dapat konsentrasi dengan baik bila
mengerjakan suatu tugas yang menuntut keterlibatan kognitif, serta tampak adanya
aktivitas yang tidak beraturan, berlebihan, dan mengacau.
ADHD memiliki suatu pola yang menetap dari kurangnya perhatian dan atau
hiperaktivitas, yang lebih sering dan lebih berat bila dibandingkan dengan anak lain
pada taraf perkembangan yang sama. Biasanya kondisi ini menetap selama masa
bersekolah dan bahkan sampai usia dewasa, walaupun sekitar 30-40% dari kelainan
ini lambat laun menunjukkan perbaikan dalam perhatian dan kegiatannnya. Biasanya
didapatkan ciri-ciri ADHD ini pada dua atau lebih situasi yang berbeda seperti di
rumah, di sekolah, dan di tempat kerja. Kondisi ini bila dibiarkan akan berdampak
pada prestasinya di sekolah. Anak tidak dapat mencapai hasil yang optimal sesuai
dengan kemampuannya, ataupun mengalami kesulitan belajar. Akibat lain anak dapat
tidak naik kelas dan cukup besar kemungkinan untuk drop out dari sekolah dengan
segala permasalahan yang akan timbul.
Diperkirakan sekitar 2-20% anak usia sekolah di Amerika Serikat mengalami
ADHD dan rasio anak laki-laki: perempuan berkisar antara 3-5 berbanding 1.
Sedangkan menurut penelitian Breton tahun 1999, (dalam MIF Baihaqi & M.
Sugiarmin) ADHD lebih banyak dialami oleh anak laki-laki daripada anak perempuan
dengan estimasi 2-4 % untuk anak perempuan dan 6-9 % untuk anak lakilaki. Di

32
kalangan usia remaja, angka kejadian ADHD menjadi menurun, baik pada perempuan
maupun laki-laki, tetapi jumlah anak laki-laki tetap lebih banyak daripada perempuan
dengan rasio perbandingan 3:1. Rasio ini bahkan lebih tinggi lagi dalam sampel klinis
dimana perbandingannya mencapai 6:1 atau bahkan lebih.
Kebanyakan dari mereka yang mengalami gangguan ini mulai membutuhkan
bantuan pada usia 6-9 tahun, walaupun banyak orangtua yang mengatakan bahwa
masalah pada anaknya sebenarnya telah muncul sejak masa anak-anak ini duduk di
Taman Kanak-kanak. Namun demikian anak ADHD selalu memiliki tiga komponen
ciri utama yang sama yaitu inattention, impulsivitas, dan hyperaktif
2. Penyebab ADHD
Penyebab ADHD telah banyak diteliti dan dipelajari tetapi belum ada satu pun
penyebab pasti yang tampak berlaku bagi semua gangguan yang ada. Berbagai virus,
zat-zat kimia berbahaya yang banyak dijumpai di lingkungan sekitar, faktor genetika,
masalah selama kehamilan atau kelahiran, atau apa saja yang dapat menimbulkan
kerusakan perkembangan otak, berperan penting sebagai faktor penyebab ADHD ini.
Terdapat beberapa hal yang diduga menjadi penyebab terjadinya ADHD,
secara umum karena ketidakseimbangan kimiawi atau kekurangan zat kimia tertentu
di otak yang berfungsi untuk mengatur ‘perhatian dan aktivitas’ . Beberapa penelitian
menunjukan adanya kecenderungan faktor keturunan (herediter) tetapi banyak pula
penelitian yang menyebutkan bahwa faktor-faktor sosial dan lingkunganlah yang
lebih berperan.
Ada dugaan kuat bahwa televisi, komputer, dan videogame mempunyai andil
dalam memunculkan atau memperberat gejala ini. Anak dengan ciri ADHD tetapi
tidak ditemukan adanya kelainan neurologis, penyebabnya diduga ada kaitan dengan
faktor emosi dan pola pengasuhan. Namun untuk bahan kajian lebih lanjut akan
dikemukakan hasil penelitian Faron dkk, 2000, Kuntsi dkk, 2000, Barkley, 20003
(dalam MIF Baihaqi & Sugiarmin, 2006), yang mengatakan bahwa terdapat faktor
yang berpengaruh terhadap munculnya ADHD , yaitu:
a. Faktor Genetika
Bukti penelitian menyatakan bahwa faktor genetika merupakan faktor penting
dalam memunculkan tingkah laku ADHD. Satu pertiga dari anggota keluarga
ADHD memiliki gangguan, yaitu jika orang tua mengalami ADHD, maka
anaknya beresiko ADHD sebesar 60 %. Pada anak kembar, jika salah satu
mengalami. ADHD, maka saudaranya 70-80 % juga beresiko mengalami ADHD.

33
Pada studi gen khusus beberapa penemuan menunjukkan bahwa molekul
genetika gen-gen tertentu dapat menyebabkan munculnya ADHD.Dengan
demikian temuan-temun dari aspek keluarga, anak kembar, dan gen-gen tertentu
menyatakan bahwa ADHD ada kaitannya dengan keturunan.
b. Faktor Neurobiologis
Beberapa dugaan dari penemuan tentang neurobiologis diantaranya bahwa
terdapat persamaan antara ciri-ciri yang muncul pada ADHD dengan yang muncul
pada kerusakan fungsi lobus prefrontal. Demikian juga penurunan kemampuan
pada anak ADHD pada tes neuropsikologis yang dihubungkan dengan fungsi
lobus prefrontal. Temuan melalui MRI (pemeriksaan otak dengan teknologi
tinggi)menunjukan ada ketidaknormalan pada bagian otak depan. Bagian ini
meliputi korteks prefrontal yang saling berhubungan dengan bagian dalam bawah
korteks serebral secara kolektif dikenal sebagai basal ganglia.
Bagian otak ini berhubungan dengan atensi, fungsi eksekutif, penundaan
respons, dan organisasi respons. Kerusakan-kerusakan daerah ini memunculkan
ciriciri yang serupa dengan ciri-ciri pada ADHD. Informasi lain bahwa anak
ADHD mempunyai korteks prefrontal lebih kecil dibanding anak yang tidak
ADHD
3. Karakteristik ADHD
Menurut DSM IV (dalam Baihaqi & Sugiarman, 2006: *) kriteria ADHD
adalah sebagai berikut :
a. Kurang perhatian
Pada kriteria ini, penderita ADHD paling sedikit mengalami enam atau lebih dari
gejala-gejala berikutnya, dan berlangsung selama paling sedikit 6 bulan sampai
suatu tingkatan yang maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan
1) Seringkali gagal memerhatikan baik-baik terhadap sesuatu yang detail atau
membuat kesalahan yang sembrono dalam pekerjaan sekolah dan kegiatan-
kegiatan lainnya
2) Seringkali mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian terhadap tugas-
tugas atau kegiatan bermain
3) Seringkali tidak mendengarkan jika diajak bicara secara langsung
4) Seringkali tidak mengikuti baik-baik instruksi dan gagal dalam
menyelesaikan pekerjaan sekolah, pekerjaan, atau tugas tempat kerja (bukan
disebabkan karena perilaku melawan atau gagal untuk mengerti instruksi).

34
5) Seringkali mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas dan kegiatan
6) Sering kehilangan barang/benda penting untuk tugas-tugas dan kegiatan,
misalnya kehilangan permainan; kehilangan tugas sekolah; kehilangan pensil,
buku dan alat tulis lainnya.
7) Seringkali menghindar, tidak menyukai atau enggan untuk melaksankan
tugas-tugas yang menyentuh usaha mental yang didukung, seperti
menyelesaikan pekerjaan sekolah atau pekerjaan rumah.
8) Seringkali bingung/terganggu oleh rangsangan dari luar, dan
9) Sering lekas lupa dan menyelesaikan kegiatan sehari-hari.

b. Hiperaktivitas Impulsifitas
Paling sedikit enam atau lebih dari gejala-gejala hiperaktifitas impulsifitas
berikutnya bertahan selama paling sedikit 6 sapai dengan tingkat yang maladaptif
dan tidak dengan tingkat perkembangan
1) Hiperaktivitas
 Seringkali gelisah dengan tangan atau kaki mereka, dan sering
menggeliat di kursi
 Sering meninggalkan tempat duduk di dalam kelas atau dalam situasi
lainnya dimana diharapkan anaktetap duduk
 Sering berlarian atau naik-naik secara berlebihan dalam situasi dimana
hal ini tidak tepat (pada masa remaja atau dewasa terbatas pada perasaan
gelisah yang subjektif)
 Sering mengalami kesulitan dalam bermain atau terlibat dalam kegiatan
senggang secara tenang
 Sering bergerak atau bertindak seolah-olah dikendalikan oleh motor
 Sering berbicara berlebihan
2) Impulsifitas
 Mereka sering memberi jawaban sebelum pertanyaan selesai
 Mereka sering mengalami kesulitan menanti giliran
 Mereka sering menginterupsi atau mengganggu orang lain, misalnya
memotong pembicaraan atau permainan.

35
c. Beberapa gejala hiperaktifitas impulsifitas atau kurang perhatian yang
menyebabkan gangguan muncul sebelum anak berusia 7 tahun
d. Ada suatu gangguan di dua atau lebih setting/situasi
e. Harus ada gangguan yang secara klinis, signifikan di dalam fungsi sosial,
akademik, atau pekerjaan
f. Gejala-gejala tidak terjadi selama berlakunya PDD, skizofrenia, atau gangguan
psikotik lainnya, dan tidak dijelaskan dengan lebih baik oleh gangguan mental
lainnya.
4. Identifikasi ADHD
Seperti telah di kemukakan sebelumnya bahwa tidak mudah untuk
membedakan penyandang ADHD terutama yang tergolong ringan dengan anak
normal yang sedikit lebih aktif dibanding anak yang lainnya. Tidak ada tes untuk
mendiagnosa secara pasti jenis gangguan ini, mengingat gejalanya bervariasi
tergantung pada usia, situasi, dan lingkungan.
Hal ini menunjukan ADHD merupakan suatu gangguan yang kompleks
berkaitan dengan pengendalian diri dalam berbagai variasi gangguan tingkah laku.
Variasi gangguan ini seperti dikatakan oleh Lauer (1992) bahwa secara umum
gangguan pemusatan perhatian berkaitan dengan gangguan tingkah laku dan aktivitas
kognitif, seperti misalnya berpikir, mengingat, menggambar, merangkum,
mengorganisasikan dan lain-lain.
Berikut ciri ADHD, dimana ciri-ciri ini muncul pada masa kanak-kanak awal,
bersifat menahun, dan tidak diakibatkan oleh kelainan fisik yang lain, mental, maupun
emosional. Ciri utama individu dengan gangguan pemusatan perhatian meliputi:
gangguan pemusatan perhatian (inattention), gangguan pengendalian diri
(impulsifitas), dan gangguan dengan aktivitas yang berlebihan (hiperaktivitas).
Dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Inatensi
Yang dimaksud adalah bahwa sebagai individu penyandang gangguan ini
tampak mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatiannya. Mereka sangat
mudah teralihkan oleh rangsangan yang tiba-tiba diterima oleh alat inderanya atau
oleh perasaan yang timbul pada saat itu. Dengan demikian mereka hanya mampu
mempertahankan suatu aktivitas atau tugas dalam jangka waktu yang pendek,
sehingga akan mempengaruhi proses penerimaan informasi dari lingkungannya.
b. Impulsifitas

36
Yang dimaksud adalah suatu gangguan perilaku berupa tindakan yang tidak
disertai dengan pemikiran. Mereka sangat dikuasai oleh perasaannya sehingga
sangat cepat bereaksi. Mereka sulit untuk memberi prioritas kegiatan, sulit untuk
mempertimbangkan atau memikirkan terlebih dahulu perilaku yang akan
ditampilkannya. Perilaku ini biasanya menyulitkan yang bersangkutan maupun
lingkungannya
c. Hiperaktifitas
Yang dimaksud adalah suatu gerakan yang berlebuhan melebihi gerakan yang
dilakukan secara umum anak seusianya. Biasanya sejak bayi mereka banyak
bergerak dan sulit untuk ditenangkan. Jika dibandingkan dengan individu yang
aktif tapi produktif, perilaku hiperaktif tampak tidak bertujuan. Mereka tidak
mampu mengontrol dan melakukan koordinasi dalam aktivitas motoriknya,
sehingga tidak dapat dibedakan gerakan yang penting dan tidak penting.
Gerakannya dilakukan terus menerus tanpa lelah, sehingga kesulitan untuk
memusatkan perhatian

Pedoman Identifikasi

Untuk melakukan identifikasi ADHD dapat digunakan pedoman yang di


keluarkan oleh American Psychiatric Association, yang menerapkan kriteria untuk
menentukan gangguan pemusatan perhatian dengan mengacu kepada DSM IV
(Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 4th edition tahun 2005)
sebagai berikut:

a. Kurang perhatian
b. Hiperaktivitas Impulsifitas
c. Beberapa gejala hiperaktivitas impulsifitas atau kurang perhatian yang
menyebabkan gangguan muncul sebelum anak berusia 7 tahun.
d. Ada suatu gangguan di dua atau lebih seting/situasi
e. Harus ada gangguan yang secara klinis, signifikan di dalam fungsi sosia!,
akademik, atau pekerjaan
f. Gejala-gejala tidak terjadi selama berlakunya PDD, skizofrenia, atau gangguan
psikotik lainnya, dan tidak dijelaskan dengan lebih baik oleh gangguan mental
lainnya

Prosedur Identifikasi

37
Untuk melakukan identifikasi yang tepat, perlu memperhatikan hal-hal berikut
:

a. Perspektif orangtua meliputi beberapa hal, yaitu :


1) wawancara yang teliti, seperti tinjauan ciri-ciri, riwayat perkembangan,ciri-
ciri depresi orang tua, pengaruh-pengarh lain dari ciri yang muncul pada anak
terhadap oang tua,
2) lembar cek perilaku anak (Conner’s Rating Scale),
3) pertanyaan situasi rumah,
4) formulir riwayat perkembangan, dan
5) survei penyesuaian perkawinan menggunkan instrumen temuan dari
LockeWallace
b. Perspektif anak meliputi beberapa hal, yaitu :
1) wawancara,
2) pemeriksaan IQ,
3) tes prestasi,
4) kajian tentang keadaan sekolah,
5) observasi interaksi orang tua dan anak
c. Perspektif sekolah meliputi beberapa hal, yaitu
1) diskusi dengan orang tua,
2) observasi ruang kelas,
3) formulir penilaian guru atau Conner’s Rating Scale, dan
4) Rating Scale perilaku dengan instrumen Kendall-Wilcox

Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah pengaruh ADHD terhadap anak itu
sendiri dan orang-orang yang berada di lingkungannya. Meskipun kelihatannya
sederhana, namun pengaruh ADHD dapat dilihat dalam tiga bidang utama, yaitu
aspek pendidikan, perilaku, dan sosial anak.

Biasanya cara anak ADHD menunjukkan dirinya bergantung faktor yang


berhubungan dengan usia dan profil kesulitan tertentu. Informasi ini dapat membantu
dalam melakukan identifikasi. Adapun aspek-aspek tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:

a. pengaruh ADHD terhadap pendidikan :


 tidak dapat segera memulai suatu kegiatan,

38
 prestasi kurang,
 bekerja terlalu lmbat atau cepat,
 melupakan instruksi atau penjelasan,
 tidak melakukan tugas,
 selalu meninggalkan benda-benda samapai menit terakhir,
 selalu bingung,
 menangguhkan pekerjaan
 motivasi yang kurang,
 kesulitan mengerjakan tugas, dan
 menghindari tman, berperilaku kacau.
b. Pengaruh ADHD terhdap perilaku
 menuntut,
 turut campur dengan orang lain,
 mudah frustasi, kurang mengendalikan diri,
 tidak tenang/gelisah,
 lebih banyak bicara,
 suka menjadi pemimpin, mudah berubah pendiran,
 mengganggu, cenderung untuk mendapat kecelakaan, dan
 mudah bingung, mengalami hari-hari baik dan buruk.
c. Pengaruh ADHD terhadap aspek sosial
 mementingkan diri sendiri, egosentris,
 cemas, kasar , tidak peka,
 tidak dewasa, tertekan,
 harga diri rendah,
 keras/tenang, membuat keributan,
 tidak berfikir panjang,
 menarik diri dari kelompok,
 sering brperilaku tanpa perasaan, dan
 tidak mau menunggu giliran.

Gambaran ADHD ini dapat diterangkan lebih rinci sebagai berikut:

a. Perhatian yang pendek


Individu dengan gangguan ini mengalami kesulitan untuk memusatkan perhatian
dan cenderung melamun, kurang motivasi, sulit mengikuti instruksi. Mereka

39
sering menunda atau menangguhkan tugas yang diberikan dan kesulitan untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan karena cepat berpindah ke topik lain
b. Menurunnya daya ingat jangka pendek
Individu ini mengalami kesulitan dalam mengingat informasi yang baru didapat
untuk jangka wakyu yang pendek. Keadaan ini dapat mempengaruhi kegiatan
belajar, karena anak cenderung tidak dapat merespon dengan baik setiap instruksi.
Dengan demikian mereka juga mengalami kesulitan dalam mempelajari simbol-
simbol, seperti warna dan alphabet
c. Gangguan motorik dan koordinasi
Masalah perkembangan individu ini mempengaruhi keterampilan motorik kasar
dan halus atau koordinasi mata dan tangan. Dalam keterampilan motorik kasar,
mereka mengalami kesulitan dalam keseimbangan melompat, berlari, atau naik
sepeda. Dalam keterampilan motorik halus, seperti mengancingkan baju, memakai
tali sepatu, menggunting, mewarnai, dan tulisannya sulit dibaca. Dalam koordinasi
mata-tangan seperti melempar bola, menangkap bola, menendang, maka
gerakangerakannya cenderung terburu-buru. Hal ini tampak juga ketika mengikuti
kegiatan olah raga, gerakan-gerakannya tampak kurang terampil.
d. Gangguan dalam mengatur atau mengorganisir kegiatan
Gangguan dalam hal ini seringkali nampak ketika anak mengatur kamarnya.
Mereka kelihatannya kesulitan, demikian juga dalam kegiatan sehari-hari lainnya.
Hal ini nampak juga ketika anak mengikuti ulangan atau ujian. Mereka kurang
dapat memperhatikan atau menimbang jawaban yang tepat, sehingga seringkali
memperoleh nilai yang kurang dari rata-rata kelasnya.
e. Terdapat gangguan impulsivitas.
Individu dengan gangguan ini sering bertindak sebelum berpikir. Mereka tidak
memikirkan terlebih dahulu apa akibatnya bila melakukan suatu perbuatan.
Sebagai contoh ketika menyeberang jalan tanpa melihat dulu ke kiri dan ke kanan.
Sering memanjat. melompat dari ketinggian yang berbahaya untuk ukurannya.
menyalakan api, dan lain sebagainya.. Kecenderungannya, individu seakan-akan
menempatkan dirinya dalam suatu kondisi yang mempunyai resiko tinggi, bahkan
seringkali berbahaya bagi orang lain. Impulsivitas ini muncul pula dalam bentuk
verbal. Mereka berbicara tanpa berpikir lebih dahulu, tidak memperhitungkarn
bagaimana perasaan orang lain yang mendengarkan, apakah akar. menyinggung
atau menyakitkan hati. Bentuk lain dari impulsivita_ adalah anak seperti tidak

40
sabaran, kurang mampu untuk menuna: keinginan, menginterupsi pembicaraan
orang lain. Cepat marah jika orang lain melakukan sesuatu di luar keinginannya
f. Kesulitan untuk menyesuaikan diri.
Individu dengan gangguan ini sering mempunyai masalah dalam penyesuaian diri
terhadap semua hal yang baru, misalnya sekolah, guru, rumah, baju baru. Mereka
lebih menyukai lingkungan yang sudah dikenal dengan baik, tidak mudah
berubah, dan bersifat kekeluargaan. Keadaan ini dapat menyebabkan mereka lebih
cepat menjadi putus asa. Seringkali apa yang sudah menjadi kebiasaan sejak kecil
akan berlanjut terus sampai dewasa
g. Gangguan memiliki ketidakstabilan emosi, baik watak maupun suasana hati
Individu dengan gangguan ini menampakkan pula perilaku sangat labil dalam
menentukan derajat suasana hati dari sedih ke gembira. Stimulus yang
menyenangkan akan menyebabkan kegembiraan yang berlebihan, sedang
rangsang yang tidak menyenangkan akan memunculkan kemarahan yang besar.
Anak seringkali marah hanya disebabkan oleh faktor pemicu yang sepele. Mereka
juga cenderung mengalami masalah untuk merasakan kegembiraan. Pada masa
remaja kurang merasakan perasaan kehilangan semangat atau tidak berdaya.
Selain itu pada gangguan ini konsep diri yang dimiliki sangat rendah. Kebanyakan
mereka menolak untuk bermain dengan teman seusianya, mereka lebih suka
bermain dengan yang lebih mudah usianya. Keadaan ini menunjukkan pertanda
awal dari harga diri yang rendah. Apabila dikemudian hari mereka tidak
menunjukkan kemajuan di sekolah atau tidak dapat mengembangkan keterampilan
sosial, akan menimbulkan perasaan citra diri yang negatif yang membuat rasa
harga dirinya semakin menurun.
5. Kebutuhan khusus ADHD
Pertumbuhan dan perkembangan individu serta keharusannya untuk
mempelajari pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan untuk bersosialisasi dalam
masyarakat merupakan suatu perpaduan yang komplek. Bila seseorang hendak
mengembangkan kepribadiannya ia harus belajar mengendalikan dorongan-dorongan
emosionalnya, sehingga dapat menselaraskan dan menstabilkan perasaan serta
tindakannya. Selain itu mampu memusatkan perhatiannya serta menyusun sesuatu
yang akan dilakukannya secara tepat dan benar.
Anak ADHD karena masalah yang menyertainya mengalami kesulitan untuk
melakukan proses tindakan atau menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Keadaan

41
ini menuntut pengaturan yang memungkinkan anak dapat mengontrol diri dalam
segala perbuatannya. Selain itu setiap perlakuan yang diberikan pada anak ADHD
membutuhkan umpan balik yang segera dan konsisten. Hal ini penting untuk
memperkuat tingkah laku yang dikehendaki dan menghindarkan tingkah laku yang
tidak dikehendaki.
Berdasarkan hal tersebut, maka terdapat beberapa hal yang dibutuhkan anak
ADHD, hal ini tidak terlepas dari masalah yang dialaminya yaitu :
a. Yang berkaitan dengan kebutuhan pengendalian diri
Kebutuhan pengendalian diri lebih berkaitan dengan mengurangi atau
menghilangkan hyeraktivitas, meningkatkan rentang perhatian, dan pengendalian
impulsivitas. Oleh karena itu yang dibutuhkan anak ADHD adalah
1) Rutinitas, struktur, dan konsistensi
2) Fokuskan pada hal-hal positif
3) Penjelasan yang sederhana dan singkat
4) Hindari argumentasi dan eskalasi
5) Abaikan hal-hal yang tidak penting
b. kebutuhan belajar
Anak ADHD seperti anak pada umumnya membutuhkan pengembangan diri
yaitu melalui belajar. Karena hambatan yang dialaminya pemenuhan kebutuhan
akan belajar pada anak ADHD tidak semulus pada anak umumnya. Tanpa bantuan
yang dirancang secara khusus akan sulit bagi anak untuk bisa belajar secara
optimal. Ia akan kesulitan mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Padahal
secara umum potensi kecerdasannya relatif baik, bahkan sama seperti anak pada
umumnya.
Untuk memenuhi kebutuhan belajar anak ADHD tidaklah mudah, dibutuhkan
pengetahuan dan keterampilan yang lebih. Dan yang paling mendasar adalah
ketangguhan , kesungguhan , dan kesabaran dalam membantu anak belajar yang
memang lain dari yang lain. Oleh karena itu penting terutama bagi orang tua dan
guru bekerjasama dan mencari cara-cara terbaik untuk dapat memilih berbagai
strategi pembelajaran yang sesuai bagi anak
Kegagalan dalam belajar pada anak ADHD lebih disebabkan karena anak
mengalami kesulitan mengendalikan diri. Dorongan-dorongan emosional yang
muncul seperti ke luar dari tempat duduk, tindakan impulsivitas, yang tanpa bisa
dikendalikan sangat merugikan diri anak sendiri dan orang lain. Keadaan ini

42
sering mengganggu lingkungan belajar di kelas, sehingga anak dijauhi atau
diasingkan oleh teman-temannya.
Untuk belajar anak butuh lingkungan yang tenang, kondusif, dan terkendali.
Pengelolaan kelas dengan memperhatikan keberagaman peserta didik, jika dapat
diterapkan secara konsisten dan konsekuen akan dapat membantu menciptakan
suasana yang memungkinkan semua anak dapat belajar.
Oleh karena itu anak ADHD pengaturan kegiatan yang terjadwal tidak hanya
dalam pengendlian diri tetapi juga pengaturan di dalam memenuhi kebutuhan
belajar. Pengaturan belajar yang konsisten tetapi fleksibel dapat diterapkan dalam
pengaturan kelas, pembelajaran, dan ketika pemberian tugas.
6. Hambatan belajar ADHD
Beberapa masalah perilaku yang muncul yang menghambat proses belajar
pada anak ADHD dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Aktivitas motorik yang berlebihan
Masalah motorik pada anak ini disebabkan karena kesulitan mengontrol dan
melakukan koordinasi dalam aktivitas motoriknya, sehingga tidak dapat
membedakan kegiatan yang penting dan yang tidak penting. Gerakannya
dilakukan terus-menerus tanpa lelah, sehingga kesulitan memusatkan perhatian.
Aktivitas motorik berlebihan ini seperti, jalan-jalan di kelas atau bertindak
berlebihan.
b. Menjawab tanpa ditanya
Masalah ini sangat membutuhkan kesabaran guru. Ciri impulsif demikian ini
merupakan salah satu sifat yang dapat menghambat proses belajar anak. Keadaan
ini menunjukkan bahwa anak tidak dapat mengendalikan dirinya untuk berespon
secara tepat. Mereka sangat dikuasai oleh perasaannya sehingga sangat cepat
bereaksi, sulit untuk mempertimbangkan atau memikirkan terlebih dahulu perilaku
yang akan ditampilkannya. Perilaku ini biasanya menyulitkan yang bersangkutan
maupun lingkungannya.
Keadaan impulsivitas ini sering ditampilkan dalamberbgai perbuatan. Mereka
tidak memikirkan terlebih dahulu apa akibatnya bila melakukan suatu perbuatan.
Sebagai contoh ketika menyeberang jalan tanpa melihat dulu ke kiri dan ke kanan.
Sering memanjat. melompat dari ketinggian yang berbahaya untuk ukurannya.
menyalakan api, dan lain sebagainya.. Kecenderungannya, Anak ADHD seakan-

43
akan menempatkan dirinya dalam suatu kondisi yang mempunyai resiko tinggi,
bahkan seringkali berbahaya bagi orang lain.
Impulsivitas ini muncul pula dalam bentuk verbal. Mereka berbicara tanpa
berpikir lebih dahulu, tidak memperhitungkan bagaimana perasaan orang lain
yang mendengarkan, apakah akan menyinggung atau menyakitkan hati. Bentuk
lain dari impulsivitas adalah anak seperti tidak sabaran, kurang mampu untuk
menuna: keinginan, menginterupsi pembicaraan orang lain. Cepat marah jika
orang lain melakukan sesuatu di luar keinginannya
c. Menghindari tugas
Masalah ini muncul karena biasanya anak merasa cepat bosan, sekalipun dengan
tugas yang menarik. Tugas-tugas belajar kemungkinan sulit dikerjakan karena
anak mengalami hambatan untuk menyesuaikan diri terhadap kegiatan belajar
yang diikutinya. Keadaan ini dapat memunculkan rasa frustasi. Akibatnya anak
kehilangan motivasi untuk belajar.

d. Kurang perhatian
Kesulitan dalam mendengar, mengikuti arahan, dan memberikan perhatian
adalah merupakan masalah umum pada anak-anak ini. Kesulitan tersebut muncul
karena kemampuan perhatian yang jelek. Sebagian anak mempunyai kesulitan
dengan informasi yang disampaikan secara visual sebagian lainnya, sebagian kecil
mempunyai kesulitan dengan materi pelajaran yang disampaikan secara auditif.
Perhatian yang mudah teralihkan sangat menghambat dalam proses belajar.
Anak ADHD mengalami kesulitan untuk memusatkan perhatian dan
cenderung melamun, kurang motivasi, sulit mengikuti instruksi. Mereka sering
menunda atau menangguhkan tugas yang diberikan dan kesulitan untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan karena cepat berpindah ke topik lain
e. Tugas yang tidak diselesaikan
Masalah ini berhubungan dengan masalah pengabaian tugas. Jika anak
mengabaikan tugas, boleh jadi tidak menyelesaikan tuganya. Sekali
mengembangkan kebiasaan belajar yang jelek di sekolah maupun di rumah, pola-
pola tersebut akan terjadi pula di tempat lain.
Masalah ini berhubungan dengan penghargaan waktu yang kurang baik,
frustasi terhadap tugas, serta berbagai sikap yang merusak, namun membangun

44
kebiasaan yang baik secara konsisten merupakan langkah yang penting agar tugas
dapat diselesaikan dengan baik. Harus diingat bahwa anak-anak ini mempunyai
masalah dalam perencanaan, penataan, dan perkiraan waktu
f. Bingung akan arahan-arahan
Masalah ini berpangkal pada perhatian, ketika perhatian pecah selama
kegiatan permbelajaran, terjadi perpecahan proses informasi yang mengakibatkan
kebingungan sehingga informasi yang diterima tidak utuh.
Selain itu dapat menurunkan daya ingat jangka pendek. Anak ADHD
mengalami kesulitan dalam mengingat informasi yang baru didapat untuk jangka
waktu yang pendek. Keadaan ini dapat mempengaruhi kegiatan belajar, karena
anak cenderung tidak dapat merespon dengan baik setiap instruksi. Dengan
demikian mereka juga mengalami kesulitan dalam mempelajari simbol-simbol,
seperti warna dan alphabet.
g. Disorganisasi
Pada umumnya anak-anak ini mengalami disorganisasi, impulsif, ceroboh, dan
terburu-buru dalam melakukan tugas yang mengakkibatkan pekerjaan acak-
acakan, bingung, dan sering kali lupa beberapa bagian tugas. Anak akan gagal
melakukan seluruh tugas karena ia lupa atau salah menginterpretasikan keperluan
dalam menyelesaikan tugas tersebut atau meski ia dapat menyelesaikan tugas, ia
sering kali lupa membawa kembali tugas tersebut ke sekolah.
Selain itu, seringkali nampak ketika anak mengatur kamarnya. Mereka
kelihatannya kesulitan, demikian juga dalam kegiatan sehari-hari lainnya. Hal ini
nampak juga ketika anak mengikuti ulangan atau ujian. Mereka kurang dapat
memperhatikan atau menimbang jawaban yang tepat, sehingga seringkali
memperoleh nilai yang kurang dari rata-rata kelasnya
h. Tulisan yang jelek
Anak-ank ini seringkali memiliki tulisan tangan yang jelek. Masalah ini bisa
ditemukan pada tingkat berat sampai ringan. Tulisan yang jelek ada hubungannya
dengan masalah aktivitas motorik dan sikap impulsif yang teburu-buru.
Masalah ini juga erat kaitannya dengan masalah koordinasi motorik yang
mengaruhi keterampilan motorik kasar dan halus atau koordinasi mata dan tangan.
Dalam keterampilan motorik kasar, mereka mengalami kesulitan dalam
keseimbangan melompat, berlari, atau naik sepeda. Dalam keterampilan motorik
halus, seperti mengancingkan baju, memakai tali sepatu, menggunting, mewarnai,

45
dan tulisannya sulit dibaca. Dalam koordinasi mata-tangan seperti melempar bola,
menangkap bola, menendang, maka gerakan-gerakannya cenderung terburu-buru.
Hal ini tampak juga ketika mengikuti kegiatan olah raga, gerakangerakannya
tampak kurang terampil.
i. Masalah-masalah sosial
Meskipun masalah dalam hubungan teman sebaya tidak ditemukan pada
semua anakanak ini, namun kecenderungan impulsif, kesulitan menguasai diri
sendiri, serta toleransi rasa frustasi yang rendah, tidaklah mengherankan jika
sebagian anak mempunyai masalah dalam kehidupan sosial, kesulitan bermain
dengan aturan, dan aktivitas lainnya yang tidak hanya terbatas di sekolah saja
tetapi di lingkungan sosial lainnya.
Masalah penyesuaian diri ini, bisa ditemukan dalam semua hal yang baru,
misalnya sekolah, guru, rumah, baju baru. Mereka lebih menyukai lingkungan
yang sudah dikenal dengan baik, tidak mudah berubah, dan bersifat kekeluargaan.
Keadaan ini dapat menyebabkan mereka lebih cepat menjadi putus asa. Seringkali
apa yang sudah menjadi kebiasaan sejak kecil akan berlanjut terus sampai dewasa
j. Gangguan memiliki ketidakstabilan emosi, baik watak maupun suasana hati
Anak ADHD menampakkan pula perilaku sangat labil dalam menentukan
derajat suasana hati dari sedih ke gembira. Stimulus yang menyenangkan akan
menyebabkan kegembiraan yang berlebihan, sedang rangsang yang tidak
menyenangkan akan memunculkan kemarahan yang besar. Anak seringkali marah
hanya disebabkan oleh faktor pemicu yang sepele. Mereka juga cenderung
mengalami masalah untuk merasakan kegembiraan. Pada masa remaja kurang
merasakan perasaan kehilangan semangat atau tidak berdaya.
Selain itu pada gangguan ini konsep diri yang dimiliki sangat rendah.
Kebanyakan mereka menolak untuk bermain dengan teman seusianya, mereka
lebih suka bermain dengan yang lebih mudah usianya. Keadaan ini menunjukkan
pertanda awal dari harga diri yang rendah. Apabila dikemudian hari mereka tidak
menunjukkan kemajuan di sekolah atau tidak dapat mengembangkan keterampilan
sosial, akan menimbulkan perasaan citra diri yang negatif yang membuat rasa
harga dirinya semakin menurun.

46
C. Asuhan Keperawatan Teoritis dengan Autis
A. Pengkajian
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, no. MR
b. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat kesehatan dahulu (RKD)
Pada kehamilan ibu pertumbuhan dan perkembangan otak janin terganggu.
Gangguan pada otak inilah nantinya akan mempengaruhi perkembangan dan
perilaku anak kelak nantinya, termasuk resiko terjadinya autisme Gangguan
pada otak inilah nantinya akan mempengaruhi perkembangan dan perilaku
anak kelak nantinya, termasuk resiko terjadinya autisme. Gangguan
persalinan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya autism adalah :
pemotongan tali pusat terlalu cepat, Asfiksia pada bayi (nilai APGAR
SCORE rendah < 6 ), komplikasi selama persalinan, lamanya persalinan, letak
presentasi bayi saat lahir dan erat lahir rendah ( < 2500 gram)

2) Riwayat kesehatan sekarang (RKS)


Anak dengan autis biasanya sulit bergabung dengan anak-anak yang lain,
tertawa atau cekikikan tidak pada tempatnya, menghindari kontak mata atau
hanya sedikit melakukan kontak mata, menunjukkan ketidakpekaan terhadap
nyeri, lebih senang menyendiri, menarik diri dari pergaulan, tidak membentuk
hubungan pribadi yang terbuka, jarang memainkan permainan khayalan,
memutar benda, terpaku pada benda tertentu, sangat tergantung kepada benda
yang sudah dikenalnya dengan baik, secara fisik terlalu.
3) Riwayat kesehatan keluarga (RKG)
Dilihat dari faktor keluarga apakah keluarga ada yang menderita autisme
c. Psikosoisal
Biasanya menunjukkan perilaku menarik diri, tidak responsif terhadap orang tua,
memiliki sikap menolak perubahan secara ekstrem, keterikatan yang tidak pada
tempatnya dengan objek, perilaku menstimulasi diri, pola tidur tidak teratur,
permainan stereotip, perilaku destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain,
tantrum yang sering, peka terhadap suara-suara yang lembut bukan pada suatu
pembicaraan, kemampuan bertutur kata menurun, menolak mengkonsumsi
makanan yang tidak halus.
47
d. Neurologis
Biasanya memiliki respon yang tidak sesuai dengan stimulus, reflek mengisap
buruk, dan tidak mampu menangis ketika lapar
e. Gastrointestinal
Biasanya mengalami penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan

B. Diagnosa Keperawatan
Kemungkinan diagnosa yang muncul :
1. Hambatan komunikasi berhubungan dengan kebingungan terhadap stimulus
2. Resiko membahayakan diri sendiri atau orang lain yang berhubungan dengan rawat
inap di rumah sakit
3. Resiko perubahan peran orangtua berhubungan dengan gangguan

C. Rencana Asuhan Keperawatan

Diagnosa Tujuan & kriteria Intervensi Rasional


Keperawatan Evaluasi Hasil Keperawatan
Hambatan Anak 1. Ketika 1. Kalimat yang sederhana
komunikasi mengkomunikasikan berkomunikasi dan diulang-ulang
berhubungan kebutuhannya dengan anak, mungkin merupakan
dengan dengan bicaralah dengan satu-satunya cara
kebingungan menggunakan kata- kalimat singkat berkomunikasi karena
terhadap kata atau gerakan anak yang autistik
yang terdiri atas
stimulus tubuh yang mungkin tidak mampu
satu hingga tiga
sederhana. Konkrit : mengembangkan tahap
kata, dan ulangi
bayi dengan efektif pikiran operasional yang
perintah sesuai
dapat konkret. Kontak mata
yang diperlukan.
mengkomunikasikan langsung mendorong
kebutuhannya Minta anak anak berkonsentrasi pada
(keinginan akan untuk melihat pembicaraan serta
makan, tidur, kepada anda menghubungkan
kenyamanan dan ketika anda pembicaraan dengan
sebagainya). berbicara dan bahasa dan komunikasi.
pantau bahasa Karena artikulasi anak
tubuhnya dengan yang tidak jelas, bahasa

48
cermat. tubuh dapat menjadi satu-
satunya cara baginya
untuk mengomunikasikan
pengenalan atau
pemahamannya terhadap
isi pembicaraan

2. Gerakan fisik dan suara


membantu anak
mengenali integrasi tubuh
2. Gunakan irama, serta batasan-batasannya
musik, dan sehingga mendorongnya
gerakan tubuh terpisah dari objek dan
untuk membantu orang lain
perkembangan
komunikasi
sampai anak
3. Memahami konsep
dapat memahami
penyebab dan efek
bahasa
membantu anak
3. Bantu anak membangun kemampuan
mengenali untuk terpisah dari objek
hubungan antara serta orang lain dan
sebab dan akibat mendorongnya
dengan cara mengekpresikan
menyebutkan kebutuhan serta
perasaannya perasaannya melalui
yang khusus dan kata-kata
mengidentifikasi
penyebab
4. . Biasanya anak austik
stimulus bagi tidak mampu
mereka membedakan antara
4. Ketika realitas dan fantasi, dan
berkomunikasi gagal untuk mengenali
dengan anak, nyeri atau sensasi lain
bedakan serta peristiwa hidup
kenyataan dengan cara yang
dengan fantasi, bermakna. Menekankan
dalam perbedaan antara realitas
pernyataan yang dan fantasi membantu
singkat dan jelas anak mengekpresikan
kebutuhan serta
perasaannya

49
Resiko Anak 1. Sediakan 1. Anak yang austik dapat
membahayakan memperlihatkan lingkungan berkembang melalui
diri sendiri penurunan kondusif dan lingkungan yang
atau orang lain kecenderungan sebanyak kondusif dan rutinitas,
yang melakukan mungkin dan biasanya tidak
berhubungan kekerasan atau rutinitas dapat beradaptasi
dengan rawat perilaku merusak sepanjang terhadap perubahan
inap di rumah diri sendiri, yang periode dalam hidup mereka.
sakit ditandai oleh perawatan di RS Mempertahankan
frekuensi tantrum programyang teratur
dan sikap agresif dapat mencegah
atau destruktif perasaan frustasi, yang
berkurang, serta dapat menuntun pada
peningkatan ledakan kekerasan
kemampuan 2. Sesi yang singkat dan
mengatasi frustasi 2. Lakukan sering memungkinkan
intervensi anak mudah mengenal
keperawatan perawat serta
dalam sesingkat lingkungan rumah sakit.
dan sering. Mempertahankan sikap
Dekati anak tenang, ramah dan
dengan sikap mendemontrasikan
lembut, prosedur pada orang
bersahabat dan tua, dapat membantu
jelaskan apa anak menerima
yang anda akan intervensi sebagai
lakukan dengan tindakan yang tidak
kalimat yang mengancam, dapat
jelas, dan mencegah perilaku
sederhana. destruktif
Apabila 3. Restrain fisik dapat
dibutuhkan, mencegah anak dari
demontrasikan tindakan mencederai
prosedur kepada diri sendiri. Biarkan
orang tua anak terlibat dalam
perilaku yang tidak
terlalu membahayakan,
misalnya membanding
bantal, perilaku
semacam ini
memungkinkan
3. Gunakan menyalurkan
restrain fisik amarahnya, serta

50
selama prosedur mengekpresikan
ketika frustasinya dengan cara
membutuhkann yang aman
ya, untuk
memastikan
keamanan anak
dan untuk
mengalihkan
amarah dan
frustasinya,
misalnya untuk
mencagah anak
dari 4. Pemberian imbalan dan
membenturkan hukuman dapat
kepalanya ke membantu mengubah
dinding perilaku anak dan
berulang-ulang, mencegah episode
restrain badan kekerasan
anak pada
bagian atasnya,
tetapi
memperbolehka
n anak untuk
memukul bantal
4. Gunakan teknik
modifikasi
perilaku yang
tepat untuk
menghargai
perilaku positif
dan
menghukum
perilaku yang
negatif.
Misalnya,
hargai perilaku
yang positif
dengan cara
memberi anak
makanan atau
mainan
5. Setiap peningkatan
kesukaannya,
perilaku agresif
beri hukuman
menunjukkan perasaan

51
untuk perilaku stres meningkat,
yang negatif kemungkinan muncul
dengan cara dari kebutuhan untuk
mencabut hak mengomunikasikan
istimewanya sesuatu
5. Ketika anak
berperilaku
destruktif,
tanyakan
apakah ia
mencoba
menyampaikan
sesuatu,
misalnya
apakah ia ingin
sesuatu untuk
dimakan atau
diminum atau
apakah ia perlu
pergi ke kamar
mandi
Resiko Orangtua 1. Anjurkan orang 1. Membiarkan orang tua
perubahan mendemontrasikan tua untuk mengekpresikan
peran orangtua keterampilan peran mengekpresikan perasaan dan
berhubungan menjadi orang tua perasaan dan kekhawatiran mereka
dengan yang tepat yang kekhawatiran tentang kondisi kronis
gangguan ditandai oleh mereka anak membantu mereka
perilaku dan ungkapan beradaptasi terhadap
sikap anak kekhawatiran frustasi dengan lebih
mereka tentang baik, suatu kondisi yang
kondisi anak dan tampaknya cenderung
mencari nasehat meningkat
serta bantuan 2. Kelompok pendukung
memperbolehkan orang
tua menemui orang tua
dari anak yang
2. Rujuk orang tua menderita autisme
ke kelompok untuk berbagi informasi
pendukung dan memberikan
autisme dukungan emosional
setempat dan 3. Kontak dengan
kesekolah kelompok swabantu
khusus jika membantu orang tua

52
diperlukan memperoleh informasi
tentang masa terkini,
dan perkembangan yang
berhubungan dengan
3. Anjurkan orang autisme
tua untuk
mengikuti
konseling (bila
ada)

D. Implementasi

Setelah rencana disusun , selanjutnya diterapkan dalam tindakan yang nyata untuk
mencapai hasil yang diharapkan. Tindakan harus bersifat khusus agar semua perawat dapat
menjalankan dengan baik, dalam waktu yang telah ditentukan. Dalam implementasi
keperawatan perawat langsung melaksanakan atau dapat mendelegasikan kepada perawat lain
yang dipercaya

E. Evaluasi

Merupakan tahap akhir dimana perawat mencari kepastian keberhasilan yang dibuat dan
menilai perencanaan yang telah dilakukan dan untuk mengetahui sejauh mana masalah klien
teratasi. Disamping itu perawat juga melakukan umpan balik atau pengkajian ulang jika yang
ditetapkan belum tercapai dalam proses keperawatan

53
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK AUTIS

KASUS

An. C umur 12 tahun adalah seorang anak yang berkebutuhan khusus, yang
bersekolah di SD Negeri Kota Bandung. An. C terlahir sebagai anak luar biasa yaitu

penyandang autis. Menurut penuturan Wali Kelasnya, awal kepindahannya dari MIN ke SD
Negeri , ia sering memberontak dan menangis tanpa diketahui penyebabnya. Ketika beberapa
bulan di SD negri tersebut, sulung dari tiga bersaudara ini mulai bisa tenang. Hanya saja dia
tidak mau bersosialisasi dengan teman-temannya mengalami kesulitan saat berkomunikasi
dan keterbatasan kognitif. Dari awal pembelajaran sampai akhir pembelajaran dia tetap duduk
di bangkunya dan tidak mau bersosialisasi dengan temannya.

Bapak An. C yang bernama Bp. D adalah seorang Pegawai Negeri Sipil yang bekerja
di Kantor Kelurahan. Sedangkan Ibunya sedang merampungkan program doktoral (S3) di
Bogor. Bisa dikatakan yang mengurusi segala keperluan An. C adalah sang Ayah.Pada saat
pembelajaran, ketika An. C disuruh menulis oleh gurunya dia tidak merespek apa yang
dikatakan oleh gurunya. Namun, ketika dibimbing oleh gurunya secara intensif (face to face)
barulah An. C mau mengikuti apa yang dikatakan oleh gurunya. Orang tua klien juga
mengatakan An. C juga tidak mampu membedakan bagian-bagian tubuhnya, suka melakukan
sesuatu yang tidak jelas, suka menyendiri dan kadang-kadang terlihat berbicara sendiri.
Ketika diajak komunikasi kontak mata kurang, anak lebih suka duduk lama dan sibuk dengan
tangannya.

Ketika pembelajaran telah selesai, teman-temannya mengantarkan An. C ke pos


satpam. Di pos satpam bapaknya yang menjemputnya. Begitulah setiap hari. Selama
bersekolah di SD Negeri , An. C tidak pernah dijahili oleh teman-temannya. Sebaliknya,
teman-temannya perhatian terhadap An. C terbukti dengan teman-temannya mengantarkan
An. C ke pos satpam, kemudian teman-temannya membimbing An. C saat pembelajaran, dan
mengajak An. C bermain walaupun An. C tidak menanggapi mereka. Dari pengamatan
gurunya teman-temannya perhatian dan menyanyangi An. C.

Dari yang dikatakan oleh bapaknya kepada wali kelasnya, di rumah An. C mau untuk
menulis pelajaran. Hanya saja ketika di sekolah kemauannya berkurang. Pihak sekolah telah
menyarakan kepada orang tua An. C agar memindahkan An. C ke Sekolah Luar Biasa.
Namun, orangtua An. C menolak saran tersebut. Orangtua An. C pun telah memeriksakan
54
An. C ke psikolog yaitu dengan pernyataan bahwa An. C masih bisa disekolahkan di SD
biasa. Mungkin karena alasan itu pula orangtua An. C menolak anaknya disekolahkan di SD
Luar Biasa.

55
A. .Pengkajian
1. Biodata anak
Nama : An. C
Umur :12 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Anak ke : Pertama
Agama : Islam
Pendidikan saat ini :SMP Kelas 1 SLB
Alamat : Bandung
Diagnosa medik : Autisme

2. Biodata orangtua
a. Ayah
Nama : Tn. D
Umur :40 tahun
Pendidikan : S2
Pekerjaan : PNS
Agama : Islam
Alamat : Bandung
b. Ibu
Nama : Ny. Z
Umur : 35 tahun
Pendidikan : S2
Pekerjaan : PNS
Agama : Islam
Alamat : Bandung

3. Keluhan utama
Anak datang diantar oleh orangtua karena anak kesulitan komunikasi dan keterbatasan
kognitif
4. Faktor predisposisi
Wali kelas klien mengatakan bahwa An. C mengalami keterbatasan kognitif,
mengalami kesulitan dalam berkomunikasi
5. Psikososial
56
a. Konsep diri
1) Citra tubuh : An. C tidak mampu membedakan bagian-bagian dari
tubuhnya
2) Identitas diri : An. C mengetahui bahwasanya dia berjenis kelamin laki-laki
dan bersekolah tingkat SMP di SLB
3) Ideal diri : anak suka melakukan sesuatu yang tidak jelas, klien lebih
cenderung ingin sendiri, fokus pada satu kegiatan, anak lebih suka duduk
lama dan sibuk dengan tangannya. Saat istirhat klien lebih memlilih untuk
tetap duduk dibangkunya dan tidak mau bersosialisasi dengan temannya.

Masalah : gangguan inteaksi sosial

b. Hubungan sosial
Orang terdekat klien adalah ayahnya, klien kurang berperan serta dalam setiap
kegiatan baik dirumah maupun di luar rumah
c. Spiritual
Anak beragama Islam dan anak selalu dibimbing orangtuanya untuk beribadah.
Ayahnya selalu mengajak klien untuk selalu ikut kalau pergi ibadah ke Mesjid.
6. Status mental
a. Penampilan
Anak selalu berpenampilan rapi dan sederhana
b. Pembicaraan
Anak sulit diajak berbicara, anak hanya mau berkomunikasi dengan ayah dan
ibunya
c. Aktivitas motorik
Anak lebih suka diam, menyendiri
d. Afek : kadang-kadang anak tenang
e. Interaksi selama wawancara : kontak mata kurang, anak lebih suka duduk lama
dan sibuk dnegan tangannya, sehingga informasi didapatkan dari ayahnya
f. Tingkat konsentrasi dan berhitung : anak belum bisa membaca dan berhitung
dengan baik
7. Aktivitas sehari-hari
a. Nutrisi
Kondisi Saat ini

57
Selera makan Baik
Frekuensi makan 3 x sehari
Makanan pantangan Tidak ada
Cara makan Disuap
Ritual makan Anak dibimbing ibunya berdoa

b. Cairan
Kondisi Saat ini
Jenis minuman Air putih
Frekuensi minum
8-9 gelas/hari
Cara pemenuhan
Menggunakan gelas

c. Eliminasi BAB/BAK
Kondisi Saat ini
Frekuensi 2 x/hari
Tempat pembangan Kamar mandi (WC)
Kesulitan Tidak ada

d. Istirahat dan tidur


Kondisi Saat ini
Jam tidur
 Siang Jam 14.00 WIT
 malam
Jam 20.00 WIT
Pola tidur
Baik
 Kebiasaan sebelum tidur
berdoa

e. Personal hygiene
Kondisi Saat ini
Mandi
 Cara
Mandi sendiri
 Frekuensi
Cuci rambut

58
 Cara 2x/hari
 Frekuensi
Gunting kuku
Sendiri
 Cara
 Frekuensi 2x/hari
Gosok gigi
 Cara
 Frekuensi Dibantu oleh ibu
1 minggu sekali

Sendiri
2xsehari

f. Aktifitas/mobilitas fisik
Kondisi Saat ini
Aktivitas dirumah Anak suka bermain PS
Aktivitas di luar rumah
Aktivitas di sekolah Anak lebih suka menyendiri
Anak sibuk bermain sendiri

8. Mekanisme koping
Anak tidak mampu memecahkan masalahnya sendiri, anak terlihat suka dengan
kesibukannya sendiri, yaitu sibuk dengan tanggannya
9. Masalah psikososial dan lingkungan
 Menarik diri dan tidak responsif terhadap orang sekitar
 Memiliki sikap menolak
 Perilaku menstimulasi diri
 Perilaku destruktif terhadap diri sendiri dna orang lain
 Menolak jika diajak berbicara

Analisa data

No Data Masalah Etiologi

1 Ds : Hambatan Kebingungan

 Orang tua anak mengatakan komunikasi verbal terhadap stimulus

59
anaknya tidak suka bergaul
dengan teman – temannya
 Orang tua anak mengatakan
anaknya kurang interkasi dengan
lingkungan.
 Klien lebih cenderung diam dan
duduk dikelas

Do :

 Anak tampak suka menyendiri


 Anak tampak menarik diri dari
kontak fisik dengan orang lain.

2 Ds Gangguan identitas Tugas-tugas tidak


diri terselesaikan dari
 Orang tua mengatakan An. C sulit
rasa percaya Vs
dekat dengan orang baru
tidak percaya
Do :

 An. C tidak mampu membedakan


bagian-bagian dari tubuhnya
 Klien sering mengulang kata-kata
baik yang didengar ataupun yang
ada dipikirannya

B. Diagnosa Keperawatan
1. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan kebingungan terhadap stimulus
2. Gangguan identitas diri berhubungan dengan Tugas-tugas tidak terselesaikan dari rasa
percaya Vs tidak percaya
C. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Tujuan &Kriteria Intervensi Rasional


keperawatan hasil

Hambatan Tujuan : Anak akan 1. Pertahankan 1. Hal ini


komunikasi verbal membentuk konsistensi tugas Memudahkan

60
kepercayaan dengan staf untuk kepercayaan dan
seorang pemberi memahami kemampuan
perawatan ditandai tindakan- untuk memahami
dengan sikap tindakan dan tindakan-
responsive dan komunikasi anak tindakan dan
kontak mata dalam komunikasi
waktu yang telah pasien
ditentukan dengan 2. Pemenuhan
kriteria hasil: 2. Antisipasi dan kebutuhan pasien
penuhi akan dapat
 Pasien mampu kebutuhan- mengurangi
berkomunikasi kebutuhan anak kecemasan anak
dengan cara sampai kepuasan sehingga anak
yang dimengerti pola komunikasi akan dapat mulai
oleh orang lain terbentuk menjalin
 Pesan-pesan komunikasi
nonverbal pasien dengan orang
sesuai dengan lain dengan
pengungkapan asertif
verbal 3. Teknik-teknik ini
 Pasien memulai digunakan untuk
berinteraksi memastikan
verbal dan non akurasi dari
3. Gunakan tehnik
verbal dengan pesan yang
validasi
orang lain diterima,
konsensual dan
menjelaskan
klarifikasi untuk
pengertian-
menguraikan
pengertian yang
kode pola
tersembunyi di
komunikasi (
dalam pesan.
misalnya :"
Hati-hati untuk
Apakah anda
tidak "berbicara
bermaksud untuk
atas nama pasien
mengatakan
tanpa seinzinnya
bahwa…..?" )
4. Kontak mata
mengekspresikan
minat yang
murni terhadap
dan hormat
4. Gunakan kepada
pendekatan tatap seseorang
muka
berhadapan

61
untuk
menyampaikan
ekspresi-ekspresi
nonverbal yang
benar dengan
menggunakan
contoh
Gangguan identitas Tujuan: Pasien akan 1. Fungsi pada 1. Interaksi pasien
diri berhubungan menyebutkan hubungan satu- staf
dengan Tugas-tugas bagian-bagian tubuh satu dengan anak meningkatkan
tidak terselesaikan diri sendiri dan pembentukan
dari rasa percaya Vs bagian-bagian tubuh data kepercayaan
tidak percaya dari pemberi
perawatan dalam 2. Membantu anak 2. Kegiatan-
waktu yang untuk kegiatan ini
ditentukan untuk mengetahui hal- dapat
mengenali fisik dan hal yang terpisah meningkatkan
emosi diri terpisah selama kegiatan- kewaspadaan
dari orang lain saat kegiatan anda terhadap
pulang dengan perawatan diri, diri sebagai
kriteria hasil: seperti sesuatu yang
berpakaian dan terpisah dari
 Pasien mampu makan orang lain
untuk
membedakan 3. Jelaskan dan
bagian-bagian bantu anak
dari tubuhnya dalam 3. Kegiatan-
dengan bagian- menyebutkan kegiatan ini
bagian dari bagian-bagian dapat
tubuh orang lain tubuhnya meningkatkan
 Pasien kewaspadaan
menceritakan anak terhadap
kemampuan diri sebagai
untuk sesuatu yang
memisahkan diri 4. Tingkatkan terpisah dari
dari kontak fisik orang lain
lingkungannya secara bertahap 4. Bila gerak
dengan demi tahap, isyarat ini dapat
menghentikan menggunakan diintepretasikan
ekolalia sentuhan untuk sebagai suatu
(mengulangi menjelaskan ancaman oleh
kata-kata yang di perbedaan- pasien
dengar) dan perbedaan antara
pasien dengan

62
ekopraksia perawat. Berhati-
(meniru gerakan- hati dengans
gerakan yang entuhan sampai
dilihatnya) kepercayaan
anak telah
terbentuk
5. Tingkatkan
upaya anak
untuk
mempelajari
bagian-bagian
dari batas-batas
tubuh dengan
menggunakan
5. Dapat
cermin dan
memberikan
lukisan serta
gambaran
gambar-gambar
tentang bentuk
dari anak
tubuh dan
gambaran diri
pada anak secara
tepat

D. Telaah Evidance Based Practive


1. Evidance based practice terkait Autis
a. Penelitian yang dilakukan oleh Connie Kasari tahun 2013 di Los Angeles AS,
mengenai intervention in schools for children with autism spectrum disorder.
Intervensi yang dapat dilakukan untuk anak usia sekolah dengan ASD adalah
dengan rancangan percobaan subjek tunggal atau bisa disebut dengan Single-
subject experimental design (SSEDs). SSEDs ini, masing-masing peserta belajar
untuk mengontrol dirinya sendiri dengan membuat prosedur yang dapat digunakan
untuk mengajarkan keterampilan khusus, meliputi sistem penguatan dan jadwal
yang disajikan dalam serangkaian gambar (jadwal visual). sehingga prosedur ini
memungkinkan anak dengan ASD dapat meningkatkan kemandirian mereka,

63
dapat beraktivitas dengan baik, membina hubungan sosial, bergabung dalam
kegiatan masyarakat, atau dapat meningkatkan kualitas hidup mereka secara
umum.
b. Penelitian tentang pengaruh terapi bermain menggunting terhadap peningkatan
motorik halus pada anak autisme usia 11-15 tahun oleh Desta Sarasati Raharjo,
Dera Alfiyanti dan S. Eko Purnomo.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terapi bermain dengan
menggunting dapat membantu perkembangan motorik halus anak autis, hal ini
karena perkembangan otot-otot kecil seperti jari-jari tangan serta latihan
koordinasi mata dengan anggota tubuh yang lain akan membantu anak untuk dapat
mengembangkan saraf motorik halusnya. Selain itu keterampilan menggunting
membutuhkan konsentrasi serta ketelitian sehingga anak dilatih untuk mampu
mengikuti instruksi dan memiliki koordinasi tangan-mata yang lebih baik.
c. Penelitian yang dilakukan oleh Kurniana Bektiningsih tentang program terapi
anak autis.
Program terapi yang dibuat berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan dan
dijabarkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang disesuaikan dengan kebutuhan
anak. Program terapi yang ada adalah program intervensi dini, program terapi
penunjang dan program sekolah lanjutan. Program intervensi dini dikelompokkan
menjadi tiga yaitu kemampuan tingkat dasar, kemampuan tingkat menengah, dan
kemampuan tingkat lanjut. Program terapi penunjang yang dilaksanakan adalah
bagi anak yang menagalami terapi okupasi; terapi integrasi sensori, dan terapi
fisio. Program sekolah lanjutan yaitu kelas C; kelas C1 dan D. Kurikulum kelas C
sama dengan sekolah reguler hanya ditambah materi tentang keterampilan bina
diri. Kurikulum kelas C1 sama dengan kelas C hanya ditambah dengan materi
kemampuan khusus. Kurikulum kelas D berisi materi tentang keterampilan bina
diri, kemampuan khusus dan keterampilan-keterampilan yang sesuai dengan
kondisi anak autis. Kegiatan program ini di evaluasi yang dilaksanakan dalam 3
kegiatan yakni evaluasi kasus, evaluasi program semester dan tindak lanjut.
Evaluasi program intervensi dini dan terapi penunjang, dilaporkan dalam bentuk
narasi yang menjelaskan tentang hasil kemajuan kegiatan belajar anak selama satu
semester. Evaluasi program sekolah lanjutan dilaporkan dalam bentuk rapor
seperti biasa. Tahap tindak lanjut dilakukan berdasarkan hasil evaluasi program
semester.

64
d. Penelitian yang dilakukan oleh Rani Marienzi tentang meningkatkan kemampuan
mengenal konsep angka melalui metode multisensori bagi anak autis. Dengan
menggunakan metode multisensori anak akan lebih mudah mengerti dan paham
dengan apa yang disampaikan guru karena metode multisensori merupakan
pembelajaran yang melibatkan seluruh sensori yang ada pada anak. Adapaun indra
yang dipakai adalah visual (penglihatan), audio (pendengaran), tactile (perabaan),
kinestik (gerakan) dan lebih dikenal dengan VAKT, sehingga anak akan lebih
mudah memahami suatu konsep baru yang dilihatnya, contohnya saja dalam
memahami konsep angka 1 sampai 10. Dengan cara tersebut anak secara aktif
akan ikut terlibat dalam proses pembelajaran. Maka berdasarkan dari penelitian
tersebut maka diperoleh hasil bahwa metode multisensori dapat meningkatkan
kemampuan mengenal konsep angka anak autis.
2. Evidance based practice terkait ADHD
a. Penelitian yang dilakukan oleh Nuligar Hatiningsih (2013) tentang play therapy
untuk meningkatkan kosentrasi pada anak attention deficit hyperactive disorder
(ADHD). Penelitian ini berhasil menunjukkan adanya perubahan tingkat
konsentrasi subjek setelah diberikan play therapy, yang mana perubahan
konsentrasi subjek pada saat setting terapi dan situasi sesungguhnya lebih tinggi
dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini dikarenakan teknik yang digunakan
dalam menigkatkan konsentrasi memang sudah dirancang untuk anak-anak yang
memiliki kesulitan dalam mengontrol tindakannya agar dapat selalu fokus pada
tugasnya, diantaranya permainan mengalahkan waktu, dimana rumahku, dan
treatment menulis. Play terapi sangat membantu anak untuk meningkatkan
konsentrasi karena dalam permainan anak belajr untuk melatih perkembangan
motorik, sensori, kognitif dan konsentrasi. Dengan demikian play therapy dapat
digunakan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan konsentrasi pada anak
ADHD
b. Penelitian mengenai efektifitas terapi menulis untuk menurunkan hiperaktivitas
dan impulsivitas pada anak dengan Attention deficit hyperactive disorder (ADHD)
yang dilakukan oleh Iffa Dwi Hikmawati & Erny Hidayati (2014). Berdasarkan
analisis visual pada penelitian ini diketahui bahwa pemberian terapi menulis
efektif untuk menurunkan perilaku hiperaktifitas dan impulsivitas anak ADHD.
Terapi menulis merupakan salah satu bagian dari sensori integrasi. Terapi sensori
integrasiini sangat berguna dalam merangsang impuls sensori anak sehingga anak

65
hiperaktif dapat mengkoordinasikan gerakan otot tubuh sesuai perintah otak.
Dalam penelitian ini terapi menulis digunakan sebagai perlakuan kepada anak
ADHD untuk menurunkan perilaku hiperaktivitas dan impulsif karena dalam
terapi menulis dibutuhkan kemampuan mengintegrasikan alat indra antara mata,
telinga, taktil, vestibulari dan proprioseptif. Oleh karena itu, terapi menulis
diharapkan mampu digunakan sebagai salah satu alernatif terapiyang murah dan
aman bagi anak dengan ADHD.

66
BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan
Autis suatu gangguan perkembangan yang sangat kompleks, yang secara klinis
ditandai oleh gejala – gejala diantaranya kualitas yang kurang dalam kemampuan
interaksi sosial dan emosional, kualitas yang kurang dalam kemampuan komunikasi

timbal balik, dan minat yang terbatas, perilaku tak wajar, disertai gerakan-gerakan
berulang tanpa tujuan (stereotipik). Selain itu tampak pula adanya respon tak wajar
terhadap pengalaman sensorik, yang terlihat sebelum usia 3 tahun. Sampai saat ini
penyebab pasti autis belum diketahui, tetapi beberapa hal yang dapat memicu adanya
perubahan genetika dan kromosom, dianggap sebagai faktor yang berhubungan dengan
kejadian autis pada anak, perkembangan otak yang tidak normal atau tidak seperti
biasanya dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada neurotransmitter, dan akhirnya
dapat menyebabkan adanya perubahan perilaku pada penderita. Dalam kemampuan
intelektual anak autis tidak mengalami keterbelakangan, tetapi pada hubungan sosial dan
respon anak terhadap dunia luar, anak sangat kurang. Anak cenderung asik dengan
dunianya sendiri. Dan cenderung suka mengamati hal – hal kecil yang bagi orang lain
tidak menarik, tapi bagi anak autis menjadi sesuatu yang menarik.Terapi perilaku sangat
dibutuhkan untuk melatih anak bisa hidup dengan normal seperti anak pada umumnya,
dan melatih anak untuk bisa bersosialisasi dengan lingkungan

67
68
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. (1996). Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Depdikbud


Dirjen Dikti.

Acocella, dkk. (1996). Abnormal psychology (7th ed). New York : Mc Graw Hill.

Alberto, P. A,. & Anne, C. A,. (1986). Applied Behavior Analysis for Teachers. Ohio: Merrill
Publishing Company

American Psychiatric Association. (2004). Diagnostic & statistical manual of mental


disorder IV-TR )4th ed). Washington : APA.

. (2005). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM IV).


Washington, DC. American Psychiatric Associations.

Baron-Cohen & Howlin, P. (2009). The theory of mind deficit in autism: some question for
teaching. Oxford: Oxford University Press.

Bektiningsih, Kurniana. (2009). Program terapi anak Autis di SLB Negeri Semarang. Jurnal
Kependidikan, Volume XXXIX, Nomor 2, November 2009.

Center for Disease Control and Prevention (CDC). (2006). Prevalence of autisme spectrume
disorder-autisme and developmental disabilities monitoring network, United States.
MMWR Surveill Summ 2009, 58(SS-10).

Grad, L. Flick. (1998). ADD/ADHD Behavior-change Resource Kit. New York: The Center
for Applied Research in Education

Hidayat, Boerhan, dkk. (2006). Nutrisi dan perilaku.


http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-iot84u-pkb.pdf. Diunduh 22 September 2017.

Hatiningsih, Nuligar. (2013). Play therapy untuk meningkatkan konsentrasi pada anak
attention deficit hyperactive disorder (ADHD). Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan
Universitas Muhammadiyah Malang, Vol. 01, No. 02, Agustus 2013.

Hikmawati, Iffa Dwi., & Erny Hidayati. (2014). Efektivitas terapi menulis untuk menurunkan
hiperaktivitas dan impulsivitas pada anak dengan Attention Deficit Hyperactivity
Disorder (ADHD). Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Vol. 2, No. 1,
69
Juli 2014.

Indira, L. G. (1997). Pengalaman Upaya Penanganan Anak dengan Gangguan Pemusatan


Perhatian di PPPTKA. Yogyakarta.

Ingersoll, B. D., & Sam, G. (1993). Attentian Deficit Disorder and Learning Disabilities.
New York: Doubleday

Jasaputra, DianaKrisanti. (2003). Penatalaksanaan holistik autisme : alergi makanan pada


anak autis. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

70
Kasari, Connie., 7 Tristram Smith. (2013). Intervention in school for children with autism
spectrum disorder : methods and recommendations. Sagepub Journals Permissions.

Kisker, G. W. (1985). The Disorganized Personality. Singapore: McGraw-Hill Book Co.

Lerner, J. W. (1988). Learning Disabilities: Theories, Diagnosis, and Teaching Strategies.


New Jersey: Haoughton Mifflin Company.

Luke S. Watson, J. (1973). Child Behavior Modification: A Manual for Teachers and
Parents. United States of Amerika: Pergamon Press.

Marienzi, Rani. (2012). Meningkatkan kemampuan mengenal konsep angka melalui metode
multisensori bagi anak Autis. Ejournal Ilmiah Pendidikan Khusus Volume 1 Nomor 3
September 2012.

MIF Baihaqi & M.Sugiarmin (2006). Memahami dan Membantu Anak ADHD. Bandung:
Refika Aditama

M. Sugiarmin (2005). Terapi Psikoedukatif bagi anak GPPH dan Kesulitan Belajar.Makalah
Seminar,Bandung

Munasir, Zakiudin. (2003). Penatalaksanaan holistik autisme : alergi makanan dan autisme.
Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

Raharjo, Desta Sarasati., Dera Alfiyanti., & S. Eko Purnomo. (2014). Pengaruh terapi
bermain menggunting terhadap peningkatan motorik halus pada anak autisme usia 11-
15 tahun di sekolah luar biasa Negri Semarang. Semarang

Serfontein, G. (1990). The Hidden Handicap. Australia: Paramount Communications


Company

Sidhi. (2006). Peranan Parent Support Group dalam Penanganan Anak GPPH. Jakarta:
Konferensi Nasional Neurodevelopmental.

Siregar, Sjawitri. (2003). Alergi susu sapi dan ASD. Makalah lengkap konferensi Nasional
Autisme. Jakarta.

Soenardi, Tuti., dan Susirah Soetardjo. (2009). Terapi makanan anak dengan gangguan
autisme.

71
http://www.p3gizi.litbang.depkes.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&i
d=52. Diunduh pada tanggal 22 September 2017.

Taylor, E. (1988). Anak yang Hiperaktif. Jakarta: Gramedia

Volkmar, F.D, Paul, R, Klin,A, Cohen, D, (2005), Handbook of Pervasive Devlopmental


Disorders Volume 1, third edition, New Jwesey: John Willey & Sons, Inc

Wenar, Charles. (1994). Developmental psychopathology : from infancy through adolescence


(3th ed). New York : MC Graw Hill.

Winarno, F. G dan Widya Agustinah. (2008). Pangan dan autis.


http://www.lspr.edu/csr/autismawareness/media/seminar/Autism%20dan%20Peran%20
Pangan%20-%20Prof%20Winarno%2020-09-08.pdf. Diunduh pada tangal 22
September 2017.

Zager, D, (2005), Autism Spectrum Disorders Identification, Education and Treatment, third
edition, London: Lawrence Erlbaum Associates Publishers

72

Anda mungkin juga menyukai